Proteomik Sebagai Tool dalam Pembuatan Vaksin Emerging dan Re-Emerging Disease SEJAK awal Abad ke-21, dunia kedokteran telah mengalami banyak revolusi, khususnya pada aspek epidemiologi molekular. Salah satu penemuan yang menjadi tonggak kemajuan ilmu medis tersebut adalah genomik. Perlu diketahui bahwa genomik merupakan salah satu teknik biologi molekular yang dikembangkan dari teori ekspresi, regulasi, dan struktur gen dalam tubuh manusia. Seiring dengan berjalannya waktu, genomik dirasa masih kurang mampu menjawab proses kompleks dalam tubuh manusia yang terdiri atas kurang lebih 100.000 gen. Padahal, setiap gen dapat menghasilkan lebih dari satu jenis protein dengan fungsi yang beragam. Kombinasi jenis protein yang berbeda itu juga akan menghasilkan fungsi yang berbeda pula. Dalam hal ini, genomik tidak bisa digunakan untuk memprediksi stuktur dan properti dinamis dari semua rangkaian protein tersebut. Oleh karena itu, muncullah istilah proteomik yang secara khusus mempelajari tentang struktur dan fungsi protein. Penelitian yang dilakukan oleh Akhter J Dkk pada tahun 2009 menyebutkan bahwa proteomic sangat bermanfaat dalam kedokteran klinis, yaitu untuk uji diagnostik dan prognosis, identifikasi target terapeutik, serta terapi penyakit tertentu. Indonesia merupakan negara yang terletak di wilayah tropis. Ini dibuktikan dengan salah satu propinsinya yang terletak di daerah khatulistiwa. Indonesia juga dikenal sebagai negara yang memiliki mega biodiversitas flora dan fauna terbesar di dunia, tak terkecuali dengan penyakit. Penyakit
di
Indonesia
sebagai
negara
tropis
memiliki
spesifikasi dibandingkan dengan negara-negara lain yang memiliki empat musim. Penyakit seperti demam berdarah, malaria, kusta, filariasis, diare, TBC, flu burung, merupakan penyakit emerging dan re-emerging yang masih memiliki prevalensi atau angka kesakitan yang tinggi dan belum terpecahkan sampai dengan saat ini. Penggunaan proteomik dalam vaksin emerging dan re-emerging khususnya flu burung (merupakan salah satu penyakit yang memiliki daya bunuh sangat cepat dan menempatkan Indonesia menjadi negara nomor satu korban manusia dengan jumlah terbanyak di dunia), dan itu telah dibuktikan. Penelitian tersebut antara lain adalah telah ditemukannya protein yang bereaksi antara virus H5N1 di lapangan dengan vaksin flu burung homolog dan heterolog. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Qosimah (2008), virus H5N1 yang berada di lapangan dapat digunakan untuk mengetahui reaksi vaksin H5N1 homolog dan heterolog berdasarkan ekspresi protein. Hasil penelitian lain yang berkaitan dengan proteomik dan vaksin Influenza, khususnya flu burung, adalah penelitian yang dilakukan oleh Hayati (2012) yang menemukan bahwa unggas yang telah divaksin dengan menggunakan vaksin flu burung memiliki ekspresi protein berbeda dengan isolate asli flu burung. Ini memberikan sinyal bahwa berdasarkan analisis proteomik, virus yang dikeluarkan dari hospes pasca vaksinasi telah terjadi perubahaan bentuk atau mutasi. Selain dua penelitian diatas, proteomik yang berkaitan dengan vaskin influenza, khususnya flu burung, adalah penelitian yang dilakukan oleh Alamudi (2013). Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa vaksin Influenza, khususnya flu burung, memiliki jalur berbeda di dalam memberikan perlindungan terhadap infeksi flu burung dari lapangan berdasarkan proteomik. Infeksi virus flu burung yang berasal dari unggas pada hospes akan menginduksi timbulnya apoptosis dan
inflamasi. Hal ini berbeda dengan ketika infeksi virus flu burung berasal dari manusia. Berdasarkan ekspresi protein atau proteomik, ketika terjadi infeksi pasca vaksinasi, hospes tidak hanya memberikan respon timbulnya apoptosis dan inflamasi, namun akan memicu timbulnya mekanisme penghambatan terhadap pembentukan virion baru dan penyebaran progeni virus antar sel. Dari hasil pemaparan diatas, diharapkan memunculkan penemuanpenemuan baru dengan menggunakan bidang proteomic, khususnya dalam bidang pembuatan vaksin penyakit emerging dan reemerging seperti demam berdarah, malaria, filariasis, TBC. (*) Editor: Bambang Bes
Membaca Sebagai Terapi Rehabilitasi Bagi Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) MENJALANI pendidikan pascasarjana di Taiwan, membuka lebarlebar pengalaman, pemahaman, dan memperdalam ketertarikan saya di bidang kesehatan jiwa. Ini yang saya alami selama menjadi mahasiswa Program Master of Nursing di Taipei Medical University. Clinical practicum yang saya jalani selama enam minggu di Taipei Medical University Hospital membuat saya takjub melihat cara orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) diperlakukan. Bagian paling menarik adalah adanya terapi membaca. Setiap pagi dalam enam hari selama seminggu, ODGJ yang sedang
menjalani pengobatan jalan mereka dengan sukarela datang ke Daycare Unit (unit rawat jalan). Setelah bersama melaksanakan senam pagi, para ODGJ berkumpul di satu ruangan kerja. Sembari setengah berebut, mereka memilih satu artikel di koran baru yang terbit hari itu untuk dibaca. Koran itu disediakan oleh perawat ruangan. Setelah dibaca, setiap orang memiliki tugas untuk menuliskan judul atau topik artikel tersebut di papan tulis secara berurutan. Kemudian dibacakan dan dipresentasikan di tengah kelompok terapi tersebut. Sesuai dan dengan tepat waktu, perawat ruangan datang untuk memulai kegiatan membaca di pagi itu. Satu persatu artikel dibacakan bergiliran. Setiap satu artikel selesai dibaca, perawat ruangan dengan tegas dan cekatan membimbing diskusi, mengungkapkan apa yang menjadi pendapatnya dan menanyakan pendapat masing-masing orang dalam kelompok terapi itu, sehingga terciptalah diskusi aktif dan menarik. Meskipun saya hanya dapat memahami dari raut wajah dan emosi yang terlihat saat masing-masing ODGJ mulai berpendapat mengenai topik yang baru saja disampaikan oleh anggota kelompok yang lain. Setelah semua artikel selesai dibaca, perawat mengajak semua yang hadir untuk memberikan applause, lalu kegiatan itu ditutup dengan ucapan terimakasih untuk setiap orang yang sudah membacakan berita hari ini. Disinilah saya merasa takjub. Di Indonesia, selama lima tahun menempuh pendidikan sarjana keperawatan, saya belum pernah menemukan terapi sederhana namun sangat bermanfaat ini dilaksanakan baik di rumah sakit jiwa (RSJ) baik swasta maupun pemerintah, atau di Dinas Sosial yang juga menampung dan memberikan perawatan dan terapi bagi pasien ODGJ. Tetapi di Taiwan, ODGJ diperlakukan tidak seperti pasien jiwa kebanyakan yang di kucilkan, dianggap tidak tahu menahu, keterbelakangan dan terkungkung dalam pikirannya sendiri. Tujuan dari terapi rehabilitasi bagi pasien jiwa adalah
membantu individu dengan kondisi disabled untuk mengembangkan kemampuan emosi, sosial dan intelektual untuk hidup, belajar dan bekerja kembali di kehidupan normal bermasyarakat dengan bantuan beberapa tenaga professional kesehatan. Ada dua prinsip strategis dalam pelaksanaan terapi rehabilitasi, antara lain individual-centered therapy yang bertujuan mengembangkan kemampuan pasien dengan cara meningkatkan interaksi dengan situasi yang stressful (mengancam). Strategi yang kedua adalah menyediakan sebuah lingkungan yang aman dan mengurangi stressor potensial yang dapat memicu kembali kondisi ketidakstabilan jiwa. Membaca koran dan mendiskusikannya, menjadi sebuah terapi rehabilitatif yang efektif dan efisien serta sesuai dengan tujuan terapi rehabilitasi bagi pasien dengan gangguan jiwa. Tidak perlu memakan waktu lama untuk menyiapkan ide terapi atau mengerjakan proposal terapi, informasi terbaru dan bahan diskusi dapat dengan mudah di dapat melalui koran, perawat sebagai leader memberikan tugas untuk membaca dan menuliskan topik bacaan di papan tulis, kemudian cukup mendengarkan dan memberikan feedback, serta menciptakan diskusi aktif di tengah kelompok terapi. Secara tidak langsung pasien diajak berfikir, dituntut berani berbicara dan presentasi di tengah kelompok. Kegiatan mengutarakan pendapat dan diskusi aktif sebagai bentuk pengembalian kepercayaan diri, komentar yang keluar dari setiap orang dalam kelompok terapi ini, baik positif maupun negatif memberikan makna. Berita hangat yang disampaikan pun membantu pasien untuk merasakan aktualisasi diri, termasuk sebagai bentuk latihan dan adaptasi dengan kehidupan normal yang harus dijalani pasien ODGJ ketika kembali bermasyarakat dan bertemu dengan keluarganya. Melalui kegiatan rutin membaca ini pula perawat mampu melaksanakan evaluasi terhadap kemampuan mengontrol emosi, interaksi sosial antar-pasien, dan kemampuan intelektual dalam
menyampaikan kembali topik berita. Akan tersaring pula siapa saja pasien yang potensial untuk diberikan terapi rehabilitasi tahap lanjut dan dinilai sanggup dipekerjakan sebagai pegawai rumah sakit (beberapa dari pasien bahkan menjadi sekretaris asisten perawat, membantu administrasi dan diberikan pekerjaan sebagai tenaga pembantu harian di rumah sakit, sebagai volunteer). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kegiatan membaca menjadi salah satu alternatif solusi terapi rehabilitasi bagi ODGJ yang bermanfaat, berpotensi mengurangi beban negara dalam pembiayaan perawatan dan pengobatan pasien jiwa, serta menunggu untuk diaplikasikan di Indonesia. (*) Rossler Wulf (2006), Psychiatric Rehabilitation Today: An Overview, World Psychiatry, 2006 Oct 5(3): 151-157. (*) Editor: Bambang Bes
Setelah Dokter Turun ke Jalan PEMERINTAH melalui Kementerian Kesehatan dan Kemenristek Dikti telah membuka program studi Dokter Layanan Primer (DLP). Pemerintah berharap DLP ini dapat meningkatkan kemampuan dokter yang berada di layanan primer, sehingga mampu menekan angka rujukan ke rumah sakit, yang kemudian diharapkan berujung pada penekanan biaya pengobatan masyarakat. Namun dalam perjalanannya, program DLP ini mendapat pertentangan dari berbagai pihak, utamanya para dokter yang menjadi subyek dari kebijakan pemerintah. Di mata Ikatan Dokter Indonesia (IDI), DLP ini ibarat menutup asap tanpa mematikan api. Hasilnya akan sia-sia. Mengapa dikatakan siasia? Karena akar permasalah kesehatan di Indonesia bukan
terletak pada kemampuan dokter semata, melainkan dari banyak faktor. Ada keganjilan dalam UU No 20 Tahun 2013 karena memasukkan DLP sebagai spesialisasi baru di bidang kedokteran. Dalam UU tertulis program DLP merupakan kelanjutan dari program profesi dokter dan program internsip yang setara dengan program dokter spesialis. Disisi lain, UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis. Kita tidak mengenal istilah DLP, jadi secara hukum, kewenangan dan area pekerjaan akan rawan tumpang tindih dengan profesi dokter yang sudah ada. Keganjilan kedua, saat ini terdapat 114,602 dokter umum (data KKI, Oktober 2016), sedang yang boleh membuka sekolah DLP hanya Fakultas Kedokteran (FK) yang terakreditasi A, yang saat ini jumlahnya “hanya” 17 dari 75 FK yang ada di Indonesia (belum termasuk FK yang baru berdiri). Bisa diperhitungkan perlu waktu puluhan tahun untuk men-DLP-kan semua dokter umum yang akan bekerja di layanan primer. Itupun belum termasuk 8.000 dokter baru yang terus dihasilkan setiap tahunnya. Meskipun pemerintah menyatakan akan membiayai program DLP ini, hal itu sangat tidak efisien dan malah membebani negara. AKAR MASALAH KESEHATAN Masyarakat perlu tahu bahwa DLP bermula dari tuduhan pemerintah yang menyatakan bahwa tingginya angka rujukan ke rumah sakit disebabkan kompetensi dokter umum yang masih minim. Perlu dicatat bahwa kompetensi dokter memang salah satu faktor yang berperan dalam suatu rujukan, namun itu bukan hal utama yang dihadapi di Indonesia saat ini. Menurut Hendrik L. Blum, Guru Besar Administrasi Kesehatan dari University Of California Berkeley, terdapat empat faktor yang mempengaruhi tingkat kesehatan manusia; yaitu kesehatan lingkungan, perilaku manusia, pelayanan kesehatan, dan
genetik. Faktor Pertama, kesehatan lingkungan. Baru-baru ini DPR mendesak pemerintah untuk memperkuat infrastruktur air bersih. Berdasarkan penilaian BPPSPAM, kondisi PDAM yang sehat hanya 50% dari total PDAM yang ada. Sisanya masuk katagori kurang sehat dan sakit. Padahal 60-70% komposisi tubuh manusia adalah air. Kemudian masalah kesediaan pangan. Dalam laporan FAO (Food and Agriculture Organization/Organisasi Pangan Dunia) pada tahun 2015 ditemukan hampir 37% atau 7,6 juta balita di Indonesia mengalami stunting (kekerdilan) karena terhambat pertumbuhannya akibat kekurangan gizi. Faktanya, Indonesia belum bisa menjadi negara swasembada pangan. Beras, kedelai, gula, dan daging saja kita masih impor. Ini sangat memprihatinkan para dokter. Untuk sekedar mendapatkan air bersih dan makanan yang sehat untuk kehidupan sehari-hari saja masih susah. Lantas dokterkah yang dipersalahkan ketika kondisi ini menyebabkan penyakit kronis yang berujung pada tingginya angka rujukan? Faktor
kedua,
perilaku
manusia.
Tersedianya
sarana
dan
prasarana kesehatan lengkap yang tanpa disertai perubahan perilaku manusia, akan sia-sia. Meningkatnya insiden penyakit metabolik seperti diabetes, stroke, dan penyakit jantung koroner disebabkan karena gaya hidup yang tidak sehat. Gaya hidup seperti makan makanan berlemak, merokok, minum alkohol, jarang berolahraga akan memicu penyakit metabolik kronis yang berujung pada rujukan ke rumah sakit yang memiliki fasilitas terapi penyakit metabolik itu. Faktor ketiga, pelayanan kesehatan. Setinggi apapun kompetensi dokter, tetap tidak akan bisa menangani penyakit yang jadi bidang keahliannya jika fasilitas dan obat tidak tersedia. Sudahkah kita melihat kondisi sarana dan prasarana kesehatan di Puskesmas atau fasilitas kesehatan layanan primer? Apakah alat kesehatan dan obat-obatan sudah tersedia lengkap sehingga dokter tidak perlu merujuk? Fakta menunjukkan bahwa pelayanan
kesehatan belum terdistribusinya dokter di Indonesia secara merata. Masih banyak Puskesmas belum memiliki dokter. Kekosongan Puskesmas ini yang semestinya menjadi prioritas pemerintah. Dibandingkan menyekolahkan dokter umum untuk mengikuti DLP, alangkah baiknya pemerintah memfasilitasi dan menjamin agar kekosongan ini dapat teratasi. Faktor keempat, faktor genetik. Faktor ini paling kecil perannya dibandingkan ketiga faktor lainnya. Namun bisa kita cermati lebih lanjut. Anak yang lahir dari orangtua penderita kanker memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker dibandingkan anak yang lahir dari orang tua bukan penderita kanker. Walau hal in dapat diminimalisasi dengan melakukan pola hidup sehat dan deteksi kanker secara dini. Semakin banyak penduduk memiliki penyakit bawaan akan semakin sulit pula upaya meningkatkan kualitas kesehatan di Indonesia. SOLUSI SELAIN DLP Pemerintah mengatakan, perbedaan dokter umum dan DLP adalah DLP memiliki kompetensi lebih dibandingkan dokter umum, karena nantinya DLP akan dibekali pendidikan tambahan berupa dokter keluarga dan kesehatan masyarakat. Hodgetss dan Cascio membagi dua pelayanan kesehatan, yaitu pelayanan kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan perorangan, dimana pelayanan kesehatan masyarakat dilaksanakan oleh ahli kesehatan masyarakat dengan perhatian utama pada upaya memelihara kesehatan rakyat dan mencegah penyakit. Lantas, mengapa kita tidak bekerjasama dengan teman-teman dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) untuk memperkuat layanan primer? Untuk apa pemerintah membuka FKM jika para tenaga kesehatan tidak bersatu memperkuat layanan primer? Dokter dan ahli kesehatan masyarakat serta tenaga kesehatan lain dapat bahu-membahu meningkatkan derajat kesehatan masyarat di level primer. Memperkuat
kompetensi
dokter
di
layanan
primer
adalah
keharusan. Pemerintah perlu melihat masalah ini dari hulu hingga hilir. FK sebagai “pabrik” dokter umum ini kondisinya masih belum merata. Hanya 22,6% FK yang terakreditasi A. Sisanya masih B dan C (KKI dan BAN PT 2016). Bukannya malah berupaya meningkatkan kualitas FK yang ada, Kemenristek Dikti malah membuka moratorium dan mendirikan delapan FK baru tahun ini. Pemerintah perlu berkomitmen untuk lebih serius dalam meningkatkan kualitas, bukannya malah fokus pada kuantitas dalam pengembangan pendidikan kedokteran. Fakultas Kedokteran yang baik tentu akan menghasilkan dokter yang baik dan kompeten pula. IDI membawa usulan lebih realistis. Indonesia ini luas dan sangat beragam, hingga kebutuhan kompetensi dokter juga belum “seragam”. Misalnya DLP yang bekerja di daerah industri membutuhkan keterampilan berbeda dengan yang bekerja di daerah pesisir/pedalaman. Akan lebih realistis bila peningkatan kompetensi dokter yang bekerja di layanan primer menimba keterampilan dengan sistem “shopping” di Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) sesuai kebutuhannya. Disini, jelas penguatan P2KB lebih realistis. Semua
solusi
sudah
tersedia,
tinggal
menunggu
komitmen
pemerintah. Ada pepatah yang mengatakan: “Di setengah kehidupan kita mengorbankan kesehatan untuk mendapatkan uang. Di setengah lainnya kita mengorbankan uang untuk mendapatkan kembali kesehatan.” Tentu pembangunan infrastruktur itu penting, tetapi jangan lupa untuk juga membangun manusianya. (*) Editor: Bambang Bes
Membendung Radikalisasi di Kampus, Mencegah Bibit Terorisme PADA tahun 2011, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menerbitkan sebuah laporan yang cukup mencengangkan. Dalam laporan itu disebutkan telah terjadi peningkatan paham radikalisme di lima kampus besar di Indonesia, yakni UGM, UI, IPB, Undip, dan UNAIR. Studi yang lebih baru pada tahun 2013 yang dilakukan Maarif Institute, yang rupanya mengonfirmasi hasil penelitian LIPI, menunjukkan bahwa ekspansi gerakan Negara Islam Indonesia (NII) –suatu gerakan radikal atas nama Islam yang menolak NKRI– terjadi akibat meluasnya paham radikalisme di kampus. Hasil penyelidikan terhadap aksi teror di Jakarta pada awal 2016 lalu semakin menegaskan betapa kampus menjadi “ladang subur” bagi merebaknya pemahaman radikal yang kemudian menghasilkan bibit teroris. Otak aksi tersebut, Bahrun Naim, adalah seorang pemuda yang mulai melibatkan diri dalam gerakan radikal sejak ia kuliah di Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS). Pemahaman radikal yang telah tertanam kuat dalam dirinya membuatnya melakukan tindakan lebih berani dengan bergabung pada organisasi terorisme internasional. Lagi-lagi lingkungan kampus terindikasi menjadi tempat strategis bagi kelompok-kelompok radikal untuk mengekspansi ide dan memobilisasi calon teroris baru. Berawal dari Radikalisme Pada dasarnya sebuah tindakan yang secara nyata dilakukan oleh manusia adalah hasil refleksinya atas ideologi yang terdapat dalam dirinya. Ideologi, dengan demikian memainkan peranan penting sebagai akar sekaligus pengendali tindakan manusia, terlepas tindakan itu bernilai positif atau tidak. Proposisi
tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa tindakan atau aksi teror dapat terjadi. Atau, dalam skala yang lebih mikro, mengapa seseorang atau golongan tertentu melakukan aksi teror yang notabene berlawanan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan? Dalam sebuah paparannya, Fanani (2013) menyatakan radikalisme adalah satu tahapan sebelum terorisme. Sebagaimana Rizal Sukma (2004) juga menyebut radicalism is only one step short terrorism. Sekalipun keduanya tampak sama, namun keduanya memiliki definisi dan kedudukan berbeda. Maarif (2002) menjelaskan bahwa radikalisme lebih menunjukkan pada cara pengungkapan keberagamaan seseorang atau kelompok yang didominasi oleh cara pandang sempit serta menempatkan dirinya dalam posisi lebih benar dari kelompok lain. Sedangkan terorisme adalah tindakan kriminal yang didasarkan atas pemahaman radikal. Pemahaman radikal tidak selalu menghasilkan aksi terorisme, tetapi aksi terorisme selalu berakar dari pemahaman atau ideologi radikal. Untuk menghancurkan benih-benih aksi terorisme, maka yang harus dilakukan mula-mula adalah membendung paham radikalisme. Terorisme akan tetap tumbuh subur manakala radikalisme tidak dibendung dan terus melebarkan sayap ke banyak orang untuk memobilisasi calon-calon teroris baru. Ketika paham radikalisme menyusut, maka besar kemungkinan aksi-aksi teror tidak akan ada lagi, karena akar pemahamannya telah menjauh – jika tidak disebut sirna. Dari sinilah tugas pemberantasan terorisme itu harus dimulai. Mencegah Kampus dari Radikalisme Kampus menjadi lingkungan yang menjanjikan bagi pengusung paham radikal. Mereka membidik para mahasiswa yang secara psikologis masih dalam proses pencarian jati diri. Dalam banyak kasus, pegiat paham radikal membidik mahasiswa yang “polos”, artinya yang tidak memiliki latar belakang keagamaan
kuat. Kepolosan mahasiswa ini dimanfaatkan oleh pengusung paham radikal dengan memberikan doktrinasi keagamaan yang monolitik, kaku, dan jauh dari kontekstualisasi. Pada proses inilah radikalisme ditanamkan dan disebarluaskan melalui sistem kaderisasi yang ketat dan cenderung tertutup. Dari gambaran proses kaderisasi yang dilakukan oleh kelompok radikal keagamaan yang membidik mahasiswa “polos” sebagai generasi penerusnya dan dilakukan tertutup, maka kita dapat mengambil kesimpulan. Pertama, mahasiswa yang tidak memiliki latar keagamaan yang kuat justru merekalah yang memiliki belajar keagamaan yang cukup tinggi. Ironisnya, tersebut justru ditangkap oleh kelompok radikal,
belakang semangat semangat sehingga
mahasiswa mudah terdoktrinasi dan terjebak dalam ajaran radikal. Kedua, pola tertutup dalam kaderisasi paham radikal menjadi titik penting proses doktrinasi paham radikal itu sendiri, dimana semakin eksklusif suatu perkaderan maka radikalisasi semakin tidak terbendung. Karenanya, upaya yang efektif untuk mencegah kampus dari radikalisasi adalah dengan melakukan strategi yang berlawan dari dua kesimpulan penting di atas. Pertama, kampus harus memberikan fasilitas belajar keagamaan yang proporsional kepada mahasiswa, terutama untuk menampung mereka yang sesungguhnya memiliki semangat belajar agama cukup tinggi, sekalipun tidak memiliki latar belakang keagamaan yang kental. Sehingga mereka tidak belajar agama kepada kelompok radikal dan eksklusif yang berbahaya. Kedua, kampus secara berkala harus mengupayakan penyebaran ajaran keagamaan dengan suasana terbuka dan menekankan moderatisme. Selain mampu membendung radikalisasi dan mencegah bibit teroris, kedua upaya itu bisa menjadi strategi jitu untuk membangun moralitas mahasiswa yang seimbang dengan keunggulannya secara akademik (excellence with morality). (*)
Editor : Bambang Bes
Potlach, Sebuah Konsep Pemberian Masyarakat Kuno Perkembangan era globalisasi terus menerus mengasah kemampuan manusia untuk lebih terbuka dengan informasi baru. Era ini berdampak pada sendi-sendi perilaku manusia yang sering disebut manusia modern yang semakin sibuk dengan pekerjaannya cenderung individualis. Amerika sebagai negara penganut paham ideologi liberalis sering dijadikan contoh sebagai negara masa depan bagi negara-negara berkembang. Karena itulah, kemajuan teknologi selalu dikaitkan dengan kepribadian orang-orang di Amerika. Mereka dipandang manusia yang individualis, sehingga setiap orang mengira bahwa perilakunya itu akibat dari arus globalisasi yang semakin mengakar ini. Komunikasi yang terjadi pun atas dasar kepentingan semata, yaitu kekeluargaan. Seolah jiwa sosial mereka digambarkan oleh sebagian orang sudah mulai luntur. Akibatnya, interaksi mereka pun hanya sebatas pada pekerjaan semata. Hal ini berbeda dengan negara-negara berkembang, apalagi negara miskin yang masih terlihat interaksi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari yang tidak didasarkan pada pekerjaan semata. Terkadang masyarakat berkumpul hanya sekadar bertukar cerita tentang kehidupannya masing-masing sehingga masih dimungkinkan terjadinya saling bertukar barang atau saling memberi satu sama lain ketika ada tetangga atau orang di sekitarnya yang sedang mengalami kesulitan. Kewajiban Membalas Pemberian
Kegiatan saling memberi atau benda pemberian diartikan oleh beberapa masyarakat tidak hanya sekadar memberikan atau menerima suatu benda kepada dan dari orang lain, namun kegiatan itu memiliki makna mendalam. Di Samoa misalnya, setiap pemberian meninggalkan kewajiban bagi yang mendapatkan pemberian itu untuk membalas pemberian tersebut. Mereka berkewajiban untuk mengembalikan hadiah yang telah diterima, yang diatur oleh adanya hukuman akan kehilangan nama, otoritas, dan kekayaan apabila tidak melakukannya. Contoh lain terjadi di Suku Taonga pada suku Maori. Ketika kita mendapatkan hadiah dari orang yang kita beri suatu benda atau hadiah yang lainnya, di sana suatu pemberian itu dimaknai sebagai sebuah kebaikan yang harus dibalas dengan kebaikan. Jadi ada semacam kewajiban untuk menerima dan memberi. Kewajiban memberi ini terjadi pada suku Dayak, ketika mereka akan melaksanakan makan, kemudian ada orang lain, maka orang lain itu akan diajak bersama-sama untuk turut makan. Orang yang mengetahui ada proses penyajian makanan, maka orang itu pun wajib diajak ikut makan bersama-sama. Hal lain yang unik pada beberapa masyarakat suku bangsa bahwa ketika menolak untuk memberi hadiah atau lalai mengundang, adalah –sama dengan menolak untuk menerima– sama dengan membuat suatu pernyataan perang; ini sama dengan suatu penolakan terhadap saling berhubungan dan persahabatan. Makna-makna pemberian ini dibahas lengkap dalam sebuah buku karya Marcell Mauss yang berjudul “Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno”. Pada festival Mia-mila, sebuah potlach untuk menghormati yang sudah mati, dua macam vaygu’a – benda-benda kuala dan yang Malinowski mendeskripsikannya untuk pertama kali sebagai vaygu’a yang permanen – diperlihatkan dan ditawarkan kepada para ruh, yang mengambil bayangan dari semuanya ini dan membawanya ke tempat mereka yang sudah meninggal; di mana para ruh itu bersaing satu sama lain dalam hal kekayaan sebagaimana yang dilakukan manusia dalam kepulangan kembali dari kuala yang bersifat keagamaan. Van
Ossenbrugen, seorang ahli teori dan juga seorang pengamat unggul telah mencatat suatu permasalahan lain. Pemberian hadiah kepada sesama manusia dan kepada dewa-dewa mempunyai tujuan yang lebih jauh untuk membeli perdamaian. Pentingnya memberi kepada orang lain, terutama kepada si miskin ini memunculkan tindakan konsep sedekah, ini didasarkan bahwa manusia muncul sebagai perwakilan dari dewa-dewa dan mereka yang sudah mati. Orang Hausa sering menderita penyakit demam endemik pada waktu jagung-guinea sudah siap dipanen, dan cara satu-satunya untuk mengatasinya ialah dengan memberikan hadiah gandum kepada orang miskin. Jadi konsep berpikir tentang pemberian tersebut kemungkinan diadopsi oleh beberapa lembaga kemanusiaan yang tidak selalu mempunyai orientasi profit dalam menjalankan kegiatannya. Hal itu pula mirip dengan konsep ajaran-ajaran agama, misalnya Islam yang menganjurkan membantu sesama manusia tanpa pamrih dan ketika membalas kebaikan orang lain harus lebih dari apa yang ia terima. Kedermawanan, Kehormatan dan Uang Kepulauan Andaman, Manusia Pygmi. Sasaran dari tukar-menukar itu untuk menghasilkan persahabatan diantara dua orang yang bersangkutan; dan jika ini tidak terlaksana maka maksud tujuan itu telah gagal. Sistem perdagangan di Kepulauan Trobriand, yaitu Kula, adalah bentuk luas dari Potlatch, karena disini terjadi tukar-menukar barang dalam jumlah besar yang terjadi antar-suku bangsa. Perdagangan Kula ini bersifat aristokratis, dan hanya diperuntukkan bagi para-kepala yang merupakan pemimpin armada Kula dan kano-kano, para pedagang untuk vasal-vasal mereka (anak-anak dan para ipar), dan tampaknya juga bagi kepala dari sejumlah desa-desa vasal. Pertukaran itu dilakukan dalam tata cara kebangsawanan, netral, dan sopan. Masih terkait dengan potlatch, di Fiji terdapat satu musim,
yaitu kerekere yang pada waktu musim itu orang dilarang untuk menolak apapun yang diminta oleh siapa pun. Mata uang Fiji dari gigi binatang kachalot sama dengan uang di Trobriand. Ini dikenal sebagai tambua. Dalam sistem potlatch, seseorang dibatasi untuk mengeluarkan sesuatu yang dimiliki sampai habis-habisan. Orang kaya yang memperlihatkan kekayaannya dengan cara mengeluarkan biaya tanpa perhitungan, adalah seorang yang memenangkan prestise. Kedudukannya juga bisa hilang seperti dalam perang, perjudian dll. Kadang tidak ada keraguan mengenai penerimaan imbalan ini; seseorang menghancurkan sesuatu semata karena hendak memberi kesan bahwa ia tidak ingin menerima imbalan apa pun. Pada sistem potlatch ini, orang Kwakiutl dan Tsimshian membuat perbedaan terhadap barang yang dimiliki yang berlaku pada zaman Romawi, orang-orang Trobriand dan Samoa. Mereka mempunyai barang-barang biasa didistribusikan, dan juga harta
untuk dikonsumsi dan kekayaan keluarga yang
berharga —jimat-jimat, tembaga-tembaga yang diberi dekorasi, selimut-selimut kulit dan kain-kain yang dibordir. (*)
Diaspora Pergerakan Mahasiswa dalam Globalisasi KETIKA roda jaman mulai berganti, era keterbukaan yang semakin masif telah dirasakan bahwa saat inilah kita berada dalam era globalisasi. Ya, globalisasi dewasa ini tidak hanya mempengaruhi bentuk perekonomian, politik, keamanan, atau kebudayaan suatu negara. Dewasa ini globalisasi ternyata juga telah mempengaruhi bentuk pergerakan mahasiswa. Selama ini mahasiswa menjadi salah satu aktor yang tidak bisa
dilepaskan dalam setiap dinamika perkembangan jaman. Di beberapa negara, pergerakan yang dilakukan mahasiswa mampu menghasilkan suatu bentuk perubahan besar terhadap kondisi internal negara tersebut. Inilah yang setidaknya pernah terlihat di beberapa negara seperti Mesir dan juga Indonesia, yang menyoal bagaimana pergerakan mahasiswa berperan. Di Mesir kita mengenal Ikhwanul Muslimim (IM) yang mampu menjadi pejuang kemerdekaan di negara itu. Anggota IM memang tidak sepenuhnya dari kalangan mahasiswa (pelajar). Sekalipun demikian tidak mengurangi betapa pergerakan mahasiswa telah menjadi kekuatan tersendiri dari suatu masyarakat. Hal serupa juga terjadi di Indonesia, beberapa pergerakan mahasiswa mampu mereformasi struktur pemerintahan seperti halnya peralihan orde lama ke orde baru dan orde baru menuju era reformasi. Sejatinya begitu besar kekuatan (power) yang dimiliki mahasiswa sebagai aktor yang dapat dinilai jauh dari kepentingan-kepentingan politis (political interests) di dalam setiap pergerakannya. Berdasarkan pada fakta sejarah, pergerakan mahasiswa sangat identik dengan permasalahan high politic suatu negara. Mahasiswa menjadi pihak yang merasa sangat marah ketika pemerintah mengambil sikap/kebijakan yang tidak pro-rakyat. Terlihat jelas ketika tahun 1974 mahasiswa menjadi pihak yang lantang menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei yang hendak melakukan kerjasama dengan pemerintah RI saat itu. Peristiwa yang kemudian dikenal dengan Malari (Malapetaka limabelas januari) itu didasari atas idealisme mahasiswa yang menolak kehadiran kembali bangsa asing untuk meletakkan kembali kaki dan tangan kotornya di bumi Pertiwi ini. Idealisme seperti inilah yang dulu melatar belakangi setiap pergerakan mahasiswa. Hal serupa juga dilakukan mahasiswa beberapa waktu belakangan ini, ketika pemerintah mengambil kebijakan melepas sebagian pengelolaan Blok Mahakam dan
memperpanjang kontrak Freeport, maka mahasiswa kembali turun bersuara. Namun terdapat perbedaaan yang sangat nyata dari dua peristiwa tersebut. Perbedaannya adalah kekuatan (jumlah) mahasiswa dalam berhimpun. Mengapa? Sebab dalam globalisasi, konsep kesatuan aksi pergerakan mahasiswa tidak lagi terlihat. Seakan konsep itu bukanlah suatu hal yang harus dipertahankan, sehingga yang terjadi pergerakan mahasiswa mengalami “diaspora”, bukan dalam hal wilayah namun dalam ide dan bentuk pergerakannya. Diaspora pergerakan mahasiswa dalam globalisasi membawa ide dan bentuk pergerakan menjadi beragam (divers). Hal ini tidak seperti yang terjadi pada pengaruh globalisasi terhadap kebudayaan, dimana sebelumnya adalah hal yang beragam (divers) menjadi hal yang seragam (uniform). Sebaliknya globalisasi membawa ide dan bentuk pergerakan yang sebelumnya seragam (uniform) menjadi sangat beragam. Inilah yang terjadi ketika pergerakan mahasiswa telah dipengaruhi oleh faktor-faktor globalisasi. Kemudahan akses informasi dan transportasi menghasilkan sebuah fenomana unlimited interconection yang membuat pergerakan mahasiswa mampu “ber-diaspora”. Sehingga sangat terlihat jelas perbedaan pergerakan pada saat ini, mahasiswa memiliki banyak alternatif gerakan yang dapat dipilih sesuai dengan passion, tidak lagi hanya soal aksi protes dan demonstrasi terhadap rezim. Salah satunya melalui komunitas, sehingga beragam komunitas lahir dengan spesifikasi berbeda-beda. Ada yang didasari atas kesamaan hobi, tetapi juga yang berlatar belakang permasalahan sosial seperti komunitas anti-rokok, komunitas anti korupsi, dan komunitas lain yang bergerak di bidang social development. Beberapa telah mencerminkan adanya pergerakan yang inspiratif seperti pergerakan yang concern dalam social development. Tetapi banyak juga mahasiswa yang tergabung dalam pergerakan sangat tidak produktif yang mana hanya berlatar belakang hobi
dan kesenangan pribadi semata. Globalisasi membawa hal baru bagi pergerakan mahasiswa yaitu internasionalisasi. Berbagai komunitas mahasiswa telah mampu mengenalkan pergerakannya di dunia melalui forum-forum internasional. Sehingga inilah yang membuat diaspora pergerakan tidak melulu hanya pada satu tempat/negara, namun dapat menyebar luas di barbagai penjuru dunia. Sayangnya, disisi lain globalisasi telah melunturkan semangat kesatuan aksi pergerakan mahasiswa. Mahasiswa tak lagi peka terhadap isu-isu high politic seperti pada masa reformasi. Sekalipun beragam pergerakan dirasa cukup mampu menyentuh isuisu low politic seperti permasalahan pendidikan, kemiskinan, dan lingkunga, namun hal itu belumlah cukup. Pergerakan mahasiswa harus tetap mampu mempertahankan eksistensinya melalui konsep kesatuan aksi, bukan malah berdiaspora sehingga semakin mengecilkan hardpower mereka sebagai mahasiswa. Hal ini terbukti dalam kasus Blok Mahakam, mahasiswa tidak mampu menjadi preasure group yang digdaya untuk pemerintah, tidak seperti era peristiwa Malari. Hal ini mencerminkan sebuah bentuk “gradasi” pergerakan yang membuat tidak ada satu warna yang dominan. Hingga menyebabkan melemahnya power gerakan mahasiswa secara umum. Ketika globalisasi membawa inovasi dalam pergerakan mahasiswa, maka alangkah bijak bila hal itu tidak menghilangkan identitas dan peranan mahasiswa sebagai agent of change, moral force dan iron stock bagi masa depan bangsa dan negara. Fenomena “diaspora” pergerakan mahasiswa harus mendapat suatu bentuk pengawalan, yaitu kesatuan visi. Hal ini untuk tetap konsisten menjaga dan mengawal setiap kebijakan pemerintah sekalipun mereka telah berdiaspora. (*) Editor : Bambang Bes
Catatan Hati Seorang Guru Les Menjadi seorang guru les merupakan salah satu pekerjaan (profesi) yang banyak dilakoni oleh mahasiswa, terutama mahasiswa peraih Bidikmisi, yang kebanyakan mencari tambahan biaya untuk agar tetap bisa bertahan hidup dan melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi. Ini profesi yang menyenangkan, sebagai menjadi bagian yang bisa mendidik generasi dan menjadikan pelajar bagi para pembelajar. Sebagai pelajar, idealnya yang mereka lakukan ya belajar. Bukan hanya sekolah. Namun di sekolah, anak-anak itu tidak merasa banyak belajar. Metode pembelajaran yang ada tampaknya menuntunnya untuk hanya mampu menghafal, bukan memahami. Disinilah ketika di kelas les, guru les harus menjelaskan lagi konsep pembelajaran dari awal, padahal materi tersebut sudah diterangkan oleh guru di sekolahnya. Jadi, yang dilakukan hanyalah transfer knowledge, bukan transfer pemahaman. Mereka hanya di-drill untuk lulus UN (Ujian Nasional), sehingga tidak menumbuhkan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan. Alhasil tujuan pendidikan berdasarkan UU Sisdiknas 2003 pasal 3 yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, tampaknya hanya akan menjadi slogan semata. Beberapa orang tua sengaja memberikan les tambahan pada anakanaknya, karena menyadari dirinya punya keterbatasan, sehingga merasa perlu untuk menitipkan buah hatinya agar memiliki pengetahun yang lebih di tempat les, karena pendidikan di sekolah belum cukup untuk mengasah potensi anak mereka. Pada sisi lain, para orang tua itu sebenarnya bergelar sarjana, tetapi tidak memiliki waktu untuk mendidik anak dan mengevaluasi proses belajar anak di sekolahnya. Dari kesibukannya itulah banyak ibu yang menyerahkan pengasuhan dan
pendidikan anaknya kepada pembantu, tetangga, dan nenek mereka. Masalah ekonomi ikut mempengaruhi disini, sebab kebutuhan ekonomi yang sulit memaksa para orang tua, termasuk para ibu, meninggalkan peran keibuannya dan bekerja keras diluar rumah. Sebagai guru les akhirnya harus berperan layaknya ibu bagi mereka, tempat curahan keluh kesahnya di sekolah, mencurahkan keinginan dan cita-citanya, tentang gurunya, teman-teman, dan tak jarang juga mengeluhkan kesibukan orang tuanya yang tidak sempat menanyakan sekedar: ”bagaimana nilai ulanganmu hari ini?”. Hal-hal seperti itu banyak kita jumpai dalam kelas-kelas les. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan, justru menjadi sarana untuk melampiaskan rasa protes terhadap kondisi lingkungan keluarga, sekolah yang amburadul, ada guru mengajar asal-asalan, buku paket yang banyak rusak, dsb. Bisa jadi, adanya pelajar yang amburadul itu karena besar di lingkungan keluarga/sekolah yang juga amburadul. Disana tidak ada panutan, tidak ada arahan, tidak ada contoh keteladanan dan pendampingan. Sudah banyak kasus dari bobroknya output pendidikan seperti itu. Generasi pembelajar mengalami degradasi moral, seperti yang terjadi pada pasca Unas 2015 dimana pelajar tak lagi coret-coret di baju seragamnya dan konvoi kendaraan, namun juga terjadi kasus perzinaan masal, tawuran dan perbuatan maksiat lainnya. Di Siantar, misalnya, seusai Unas ratusan siswa bersuka-ria mencorat-coret bajunya, bahkan beberapa siswa melakukan aksi-aksi asusila. Di Purwakarta (Jawa Barat) dua kelompok siswa diamankan polisi karena melakukan tawuran. Kemudian di Kendal (Jateng), masih pasca Unas, puluhan pelajar tertangkap basah berbuat mesum di sebuah kamar hotel. Belakangan kita dihebohkan dengan tersebarnya undangan “pesta bikini” bagi anak SMA usai pelaksanaan Unas yang bertajuk “Good Bye UN”.
Mengkaji dari peristiwa diatas kita tidak bisa menutup mata bahwa secara rata-rata sistem pendidikan belum menghasilkan generasi unggul. Seandainya negeri ini memiliki visi politik yang jelas terhadap pendidikan, tentu hal-hal seperti itu tidak akan terjadi. Kegagalan melahirkan output bermoral dan pemerataan pendidikan yang berkualitas, disinyalir terkait dengan kapitalisme yang merangsang biaya pendidikan semakin mahal. Kapitalisme inilah konon yang ikut membuat kaum perempuan terpaksa meninggalkan perannya sebagai ibu demi membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Kondisi seperti ini mungkin saja akan menjadi semakin parah jika kita diamkan dan membiarkan keadaan. Jadi kesalahan ini harus diluruskan. Pertama, pendidikan adalah kebutuhan pokok rakyat karena setiap warga negara berhak memperoleh akses pendidikan. Hal ini tentu sangat bisa dipahami karena majumundurnya suatu peradaban sangat bergantung pada kualitas pendidikan manusianya. Kedua, output pendidikan berupa generasi bertakwa yang unggul pada seluruh aspek kehidupan, menuntut perhatian serius dari kompenen terkait yaitu keluarga, masyarakat, sekolah, yang kondusif serta kebijakan pemerintah yang mendukung. Ketiga, untuk mewujudkan hal itu negara harus memiliki sistem ekonomi yang kuat, karena kedua hal ini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dengan potensi sumber daya alam yang kuat, tentu negeri ini memiliki pemasukan yang besar untuk bisa mewujudkannya, asalkan SDA itu dikelola dengan benar yaitu menjadikan aset hajat hidup publik milik rakyat dikelola oleh negara. Satu misal dari Blok Mahakam saja berpotensi menghasilkan pendapatan kotor Rp 1.700 triliun, sehingga jika kita memiliki 79 blok migas, tentu ini merupakan sumber APBN yang diharapkan juga bisa memberi kesejahteraan kepada rakyat. Hal demikian tentu tidak akan terwujud jika paradigma ekonomi neoliberal yang menjadi rujukan dan hajat hidup publik diprivatisasi dan dimiliki asing yang menyebabkan negeri ini terjerat dalam
penjajahan gaya baru (neoimperialisme). Semoga sedikit curahan hati ini menjadi inspirasi untuk tidak henti-hentinya menjadikan pendidikan di negeri ini lebih baik. Potensi optimalisasi generasi muda sebagai aset berharga bangsa menjadi kenyataan, dan terlahir jutaan intelektual hebat dengan penghargaan luar biasa dan mampu mewujudkan peradaban gemilang mercusuar dunia. (*) Editor : Bambang Bes
Virus-Virus yang Menjangkiti Generasi Muda Indonesia Indonesia merupakan negara terpadat keempat didunia dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa. Berdasarkan data CIA World Facthbook tahun 2015, jumlah penduduk Indonesia sekitar 27,3 % berusia 0-14 tahun, 66,5 % berumur 15-64 tahun, dan 6,1 % berumur 6,1 %. Hal ini menunjukkan begitu besar jumlah usia produktif di negeri ini. Sehingga, tidak salah bila pada 100 tahun kemerdekaan Indonesia yaitu tahun 2045, Indonesia diprediksikan menjadi salah satu negara termaju di dunia. Namun, sungguh sangat mengejutkan terhadap apa yang terjadi pada generasi muda Indonesia saat ini. Seolah budaya konsumtif dan materialistik sudah menjamur dan mengikis budaya khas Indonesia seperti berke-Tuhanan, gotong royong, sopan santun hingga berbagai hal yang telah tercantum dalam nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hal inilah yang sedang menjangkit di generasi muda, dan itulah Sindrom. Ada tiga gejala yang menandakan hal ini. Yaitu, adanya virus Triavialism: suatu penyakit yang menjangkit generasi muda
untuk selalu bersenang-senang dan melakukan hal-hal yang menghiburnya saja tanpa memikirkan nilai edukatif didalamnya. Lalu, virus Cinderella: suatu penyakit yang inginnya selalu instan dan praktis tanpa ingin berlelah-lelah terlebih dahulu. Muaranya, mengakibatkan virus yang ketiga. Yaitu, virus NEET (No Education, Employee, and Training). Hal ini pun didukung dengan berkembangnya media yang seolah hanya menayangkan hal-hal yang bersifat menghibur tanpa ada suatu edukasi didalamnya. Maka tak segan-segan Presiden Indonesia saat ini yaitu Ir. Jokowi menegur media saat ini terutama televisi. Ada ungkapan baru mengatakan, “Tontonan jadi tuntunan dan Tuntunan jadi Tontonan”. Sebagian generasi muda ketika ditanya apa cita-citanya, langsung menjawab ingin jadi artis, penyanyi, dan lainnya yang bisa masuk tv dan gajinya tinggi. Seolah menjadi artis adalah cita-cita tertinggi. Padahal yang dikatakan orang besar adalah bukan mereka yang besar gaji atau tinggi jabatannya. Melainkan, mereka yang mampu mendedikasikan dirinya, ilmunya, ketrampilan hingga jiwanya untuk mengabdi pada masyarakat. Teknologi Menjauhkan Yang Dekat Seolah-olah, semakin maju suatu zaman, teknologi dan ilmu pengetahuan, semakin manusia meninggalkan sifat fitrahnya sebagai makhluk sosial. Mereka lebih asyik ngobrol, update status ataupun hanya lihat status media sosial dibandingkan dengan berbicara atau berdiskusi dengan orang disekitarnya. Atau, melihat fenomena disekitarnya dan memberikan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi. Apakah ini yang dimaksud, “Menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh”. Apalagi, pasar-pasar tradisional pun mulai ditinggalkan berganti pasar modern. Seolah tak ada lagi kesempatan untuk tawar menawar secara langsung, bertemu dengan beragam orang tuk saling mengenal, menyapa bahkan mendoakan satu sama lain. Yang semua itu sejatinya semakin membuat kedekatan hati dan
kerekatan persahabatan serta persaudaraan antar sesama. Mari bebaskan diri dari belenggu-belenggu diri dan berbagai sindrom atau virus di atas. Karena, Indonesia adalah bangsa pejuang. Bukan bangsa yang bermalas-malasan dan pasrah dengan keadaan. Seperti satu slogan yang terus leluhur gemborkan dulu, “Merdeka atau Mati”. Imam Syafi’i pun telah mengajarkan, “Tidaklah mungkin orang yang punya mimpi dan bercita-cita besar hanya duduk berpangku tangan. Tinggalkanlah watan dan kenyamanan maka kau akan menemukan gantinya karena kenikmatan hidup didapatkan setelah kau melewati kelelahan”. Begitupun pepatah lama mengajarkan, “Berakit-rakit kehulu, berenang-renang ketepian. Bersakitsakitlah terlebih dahulu, dan bersenang-senanglah kemudian”. Jadikan hidup penuh dengan pengorbanan. Semakin menjadi hartawan, semakin pula bertambah dermawan. Semakin terkenal, maka ia pun semakin menjadi teladan. Semakin tinggi suatu jabatan, semakin kebermanfaatan dan kemaslahatan yang selalu dipikirkan. Satu ungkapan lama lagi yang mulai terlupakan, “Bersatu kita teguh, bercerai kita berantakan”. Mari hidupkan gotong royong, bantu membantu satu sama lain. Karena, itulah pengabdian. Bukan banyaknya gaji ataupun upah yang didapatkan. Bukan pula seberapa banyak media yang meliput. Namun, satu yang selalu diniatkan. Yaitu, mendapat keberkahan. Juga, keikhlasan yang selalu diperjuangkan. (*)
Antara Kuliah di UNAIR dan
Taiwan, Apa Perbedaannya? Salam dari Taiwan, Bumi Formosa, untuk segenap civitas akademika Universitas Airlangga (UNAIR). Saat ini, saya berada di National Taiwan University of Science and Technology (NTUST), Taipei. Kampus yang masuk dalam kategori empat terbaik di negeri asal F4 ini. Dalam alam bawah sadar, predikat prestise itu mengingatkan saya pada UNAIR. Kampus yang tercatat di list empat terbaik se-Indonesia. Pada Selasa, 16 Februari 2016, saya bersama Naili Saidatin (alumni Fisika UNAIR angkatan 2010), dan Dewi Sartika (alumni Fisika UNAIR angkatan 2009), bertolak ke Taiwan dari Bandara Internasional Juanda. Di masa yang sama, seorang alumni Teknobiomedik UNAIR angkatan 2011, Evelyne Calista, pun berangkat dengan penerbangan lain dari Jakarta. Kami punya misi yang sama. Melanjutkan studi pasca sarjana. Saya sendiri adalah mahasiswa S2 jurusan biomedical engineering. Memang, cukup banyak alumni kampus Airlangga yang melanjutkan studi di NTUST. Misalnya, empat alumni Fisika angatan 2009. Yakni, Ni’matut Tamimah, Septia Kholimatussa’diyah, Ilmi Masfufiah dan Bandiyah Sri Aprilia. Teknis Perkuliahan Berbeda Berbeda dengan di Indonesia, di sini mahasiswa bebas memilih mata kuliah. Dari jurusan mana pun dia berasal! Para professor umumnya memberikan arahan kepada mahasiswa bimbingan tentang mata kuliah apa yang sebaiknya diambil untuk mendukung tugas akhir. Mahasiswa S2/S3 diperkenankan mengambil mata kuliah S1. Namun, yang bersangkutan dikenakan biaya per SKS. Nilainya tidak akan masuk perhitungan IPK. Kebijakan itu dibuat untuk memfasilitasi mahasiswa yang memiliki background S1 berbeda dengan jurusannya saat ini.
Sehingga, dia membutuhkan materi tertentu yang berkaitan dengan studinya. Sementara itu, kegiatan penelitian di sini sangat aktif dan memiliki pola yang mapan. Khususnya, di bidang keluwesan pembiayaan. Pemerintah Taiwan memberikan dukungan dana penelitian cukup besar kepada kampus. Termasuk, dengan memberikan beasiswa kepada mahasiswa internasional untuk turut memajukan penelitian tersebut. Ada berbagai macam beasiswa yang ditawarkan di Taiwan. Baik dari pemerintah, organisasi, maupun dari kampus. Saya adalah penerima beasiswa kampus, NTUST Scholarship. Untuk jenjang master, beasiswa diberikan selama dua tahun. Akan tetapi, nominal beasiswa pada tahun kedua bergantung dari prestasi akademik mahasiswa. Jika baik, akan mendapatkan nominal sesuai dengan yang diterima pada tahun pertama. Sedangkan bila prestasi akademik kurang baik, nominal beasiswa juga bisa berkurang dibandingkan pada tahun pertama. Aturan ini jelas membuat kami semakin giat dan serius dalam belajar. Aktivitas di Taiwan Taiwan termasuk wilayah subtropik dengan 4 musim. Saya tiba di sini pada penghujung winter. Suhunya antara 9-14 derajat celcius. Saya dan kawan-kawan dijemput oleh asosiasi mahasiswa Indonesia NTUST dengan mobil kampus. Mereka juga membantu kami untuk mengurus berkas pendaftaran ulang. Kami tinggal di student dormitory. Di dorm 3 (khusus perempuan), satu kamar diisi lima bed untuk lima mahasiswa. Ada AC dan kamar mandi dalam. Masing-masing bed diberi fasilitas LAN. Selain fasilitas kamar, ada fasilitas umum yang lengkap. Yakni, water fountain, mesin cuci dan pengering, study room, lounge, loker, dan dapur. Di sini, kartu mahasiswa adalah segalanya. Selain untuk akses masuk ke dormitory, kartu mahasiswa juga menjadi easy card. Easy card adalah kartu yang bisa diisi deposit untuk belanja,
naik MRT dan bis, serta menggunakan sepeda umum You Bike. Maka itu, pemandangan mahasiswa yang ke mana-mana berkalung kartu tersebut adalah sangat wajar. Ada diskon bagi pelajar yang menggunakan kartu mahasiswanya sebagai easy card untuk membayar MRT dan bis. Perkuliahan semester ini dimulai pada 22 Februari 2016. Seminggu setelahnya, saya mulai melakukan aktivitas di laboratorium. Saya bergabung dengan Profesor Wei-Chun Hsu, fisioterapis Piala Dunia 1998, di Laboratorium Biomekanik. Saya belajar eksperimen tentang keseimbangan gerak pada pasien stroke bersama teman lab saya, mahasiswa lokal Taiwan. Selain kegiatan akademik, saya juga mengikuti kegiatan nonakademik. Seperti, menjadi penjaga booth di Indonesian Culture Exhibition, dan bergabung dengan Badan Pelaksana Universitas Terbuka Taiwan. Indonesian Culture Exhibition adalah even tahunan yang digelar mahasiswa Indonesia di NTUST. Budaya Indonesia mulai dari pakaian, makanan, lagu daerah, tarian, alat musik tradisional dan folklore ditampilkan di acara ini. Po-Yi Chiang, salah satu teman lab saya mengapresiasi acara ini. “Bagus, saya suka,” katanya. Sementara itu, Badan Pelaksana UT Taiwan adalah badan yang dibentuk untuk membantu pelaksanaan proses pembelajaran jarak jauh, layanan luar negeri UT bagi para Buruh Migran Indonesia (BMI) di Taiwan. Dalam sebuah kesempatan berbincang dengan salah satu tutor, saya bertanya tentang bagaimana antusiasme para BMI dalam belajar. Tutor tersebut mengatakan mereka sangat antusias. Hanya, tutor perlu menggunakan bahasa yang sederhana dan memahami kondisi masing-masing mahasiswa. Sebab, mereka di sini bekerja dengan kondisi pekerjaan dan majikan yang bermacam-macam. Gegar Budaya
Hal yang paling membuat gegar budaya adalah bahasa. Di sini, mayoritas warga lokal tidak mahir berbahasa Inggris. Bahkan, salah satu teman lab saya ada yang mengatakan tidak suka bahasa Inggris. Tetapi karena memiliki teman internasional, mau tidak mau dia harus berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Saya memiliki pengalaman menarik. Saat itu saya belum mendapatkan kunci kamar. Saya menanyakan kepada penjaga dormitory dalam bahasa inggris, tetapi dia menjawab dalam bahasa Mandarin sambil memberi isyarat dengan mengacungkan satu jari telunjuknya. Saya kira saya harus membayar 100 NT untuk mengambil kunci saya. Saya pun menyodorkan uang 100 NT. Tetapi, ditolak dan dia memberi isyarat tidak dengan menyilang-nyilangkan kedua tangannya. Untung ada teman yang lewat, dan dia mengerti Mandarin. Ternyata, kuncinya belum ada dan saya diminta datang lagi jam 1. Hal kedua adalah makanan. Mencari makanan halal tentu sukar. Namun, Alhamdulillah, di kampus ada kantin mediteran, kantin vegetarian dan kantin halal yang bisa diandalkan. Meskipun, semua kantin di kampus hanya buka pada jam makan siang (pukul 11.00 – 13:00) dan makan malam (17:00 – 19:00). Gegar budaya yang lain pada penggunaan lajur kanan saat berkendara maupun berjalan. Namun yang menyenangkan, akses transportasi massal di sini sangat mudah. Mass Rapid Transportation (MRT) ada setiap saat, begitu pula bis. Selain itu, jika tidak punya sepeda dan ingin bersepeda, bisa memanfaatkan You Bike. Yang lebih menyenangkan lagi, banyak tempat-tempat wisata yang bisa dikunjungi dengan tiket masuk sangat murah sampai gratis. Satu bulan di sini, saya sudah mengunjungi beberapa tempat. Diantaranya, Museum Nasional Taiwan, Museum Dinosaurus, dan Chiang Kai Shek Memorial Hall. (*)
Kemandirian Pangan dan Sejuta Permasalahannya Indonesia banyak disebut sebagai surga dunia. Negeri ini memiliki keagungan Sumber Daya Alam (SDA) melimpah. Hal tersebut bisa diamati dari beranekaragamnya flora dan fauna yang kita sebut sebagai keanekaragaman hayati. Potensi alam yang melimpah tentu saja menjadi aset dan kekuatan potensial untuk mendongkrak Indonesia menjadi negara yang disegani dan maju. Sayangnya, apa yang terjadi pada negara ini sangat bertolak belakang dari harapan tersebut. Indonesia terpuruk dan masih berstatus sebagai negara berkembang dengan berbagai polemik yang tidak kunjung selesai. Salah satu masalah adalah kemandirian sektor pangan. Jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) yang melimpah membuat krisis daya catu bahan pangan perlu serius diperhatikan. Tuntutan masyarakat akan tersedianya makanan sehat, aman, namun tetap terjangkau, menjadikan produsen pangan menjadi panik. Sulitnya mencari bahan produksi, keterbatasan alat dan minimnya pengawasan dan standarisasi dari pemerintah menjadikan oknum produsen berani berbuat curang dengan mengelabuhi konsumen. Hal ini dilakukan dengan dalih agar mereka dapat bertahan dari gempuran produk impor yang datang membanjiri pasar. Pemerintah melalui Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian, Dinas Peternakan dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) bersama-sama Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak mau jika hanya diam dan melihat polemik masalah pangan ini. Mereka peduli dan turut andil berperan serta dalam menjaga kesehatan masyarakat melalui edukasi yang gencar terkait persoalan
makanan ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal), terlebih makanan yang tergolong protein hewani. Hadirnya sistem ASUH digunakan untuk melindungi masyarakat agar tidak salah dalam mengonsumsi dan menghindarkan mereka dari makanan berbahaya yang berpotensi menyebabkan penyakit. Selain itu, sistem ASUH diterapkan sebagai media evaluasi dan kontrol pemerintah terhadap industri pangan. Manfaatnya meminimalkan segala bentuk kecurangan maupun pelanggaran. Ditemukannya daging palsu, yaitu daging babi dalam perdagangan daging sapi, adanya campuran ayam tiren (mati kemarin) dalam perdagangan daging ayam, terdapatnya bahan pengawet dan kimia berbahaya dalam makanan, adalah contoh kecil problematika pangan hewani. Hal ini merupakan indikator kepanikan kalangan produsen dalam memenuhi standar ASUH yang ditetapkan untuk konsumen Indonesia. Selain
berbagai
masalah
yang
telah
disebutkan
diatas,
Indonesia juga mengalami kepelikan dalam hal ketersediaan stok bahan pangan domestik yang berkualitas. Hal tersebut diakibatkan pemakaian insektisida dan obat-obatan secara terus-menerus sehingga menimbulkan pemakaian bahan kimia pada hewan. Penyebab lain adalah optimalisasi rumah potong hewan dan unggas yang masih rendah dan manajemen peternakan yang kurang modern. Penanganan hewan berpotensi zoonosis yang kecil, kelangkaan sumber plasma nutfah dengan genetik yang baik, pengolahan limbah rumah potong hewan dan peternakan yang tidak efektif, sistem perekonomian dan pasar yang termonopoli, serta masih lemahnya fungsi pengawasan pangan yang terjamin oleh BPOM juga dituding sebagai penyebab. Selain itu, lemahnya daya beli masyarakat terhadap protein hewani, semisal daging sapi menjadi masalah tersendiri bagi masyarakat. Kondisi yang kian merosot ini patut menjadi cermin sebagai bahan evaluasi bersama. Indonesia harus belajar dan berbenah dalam menghadapi permasalahan krisis pangan ini. Peternakan
rakyat dengan teknologi dan manajeman modern, sinergisitas kuat antara peternak, swasta dan pemerintah harus dikembangkan. Selain itu edukasi yang gencar kepada masyarakat terkait pemilihan pangan ASUH dan penegakkan hukum dengan bijaksana, baik di pusat maupun di daerah harus diklakukan. Hal ini semata untuk meningkatkan kualitas dan daya saing produk dalam negeri. Penerapan disiplin ilmu Kesehatan Masyarakat Veteriner melalui Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dan Epidemiologi Veteriner saat ini perlu dipikirkan secara matang dan ditingkatkan implementasinya oleh pemerintah. Penerapan HACCP dan epidemiologi yang tepat akan membuat rantai regulasi bahan pangan asal hewan dan perekonomiannya mengalami kenaikan mutu, terjaga keamanannya dan mencegah peluang tindakan penyelewengan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Demi mencapai hasil yang lebih besar, sinergitas antara Kementerian Pertanian, Puslitnak, Badan Ketahanan Pangan, MUI, Kementerian Kesehatan, Kementerian Industri dan Kementerian Kehutanan harus segera diwujudkan. Peran strategis setiap lembaga sesuai koridornya dengan kerja yang terintegrasi akan mewujudkan harapan masyarakat: yakni tercapainya kemandirian pangan di Indonesia. Hal lain yang tidak kalah vital dalam menunjang terwujudnya kemandirian pangan di Indonesia adalah kualitas eksekutornya, yaitu pemuda. Keberadaan pemuda, terlebih mahasiswa dengan gelarnya sebagai kaum intelektual kritis dan generasi perubahan, mendapat peran besar dalam membantu memecahkan problematika pangan. Sudah selayaknya mahasiswa melalui karya dan kontribusinya kepada masyarakat memberikan bukti bahwa kualitas SDM di negeri ini tetap handal dan terus berkembang. Ayo generasi muda! (*)