Proteomik Sebagai Tool dalam Pembuatan Vaksin Emerging dan Re-Emerging Disease SEJAK awal Abad ke-21, dunia kedokteran telah mengalami banyak revolusi, khususnya pada aspek epidemiologi molekular. Salah satu penemuan yang menjadi tonggak kemajuan ilmu medis tersebut adalah genomik. Perlu diketahui bahwa genomik merupakan salah satu teknik biologi molekular yang dikembangkan dari teori ekspresi, regulasi, dan struktur gen dalam tubuh manusia. Seiring dengan berjalannya waktu, genomik dirasa masih kurang mampu menjawab proses kompleks dalam tubuh manusia yang terdiri atas kurang lebih 100.000 gen. Padahal, setiap gen dapat menghasilkan lebih dari satu jenis protein dengan fungsi yang beragam. Kombinasi jenis protein yang berbeda itu juga akan menghasilkan fungsi yang berbeda pula. Dalam hal ini, genomik tidak bisa digunakan untuk memprediksi stuktur dan properti dinamis dari semua rangkaian protein tersebut. Oleh karena itu, muncullah istilah proteomik yang secara khusus mempelajari tentang struktur dan fungsi protein. Penelitian yang dilakukan oleh Akhter J Dkk pada tahun 2009 menyebutkan bahwa proteomic sangat bermanfaat dalam kedokteran klinis, yaitu untuk uji diagnostik dan prognosis, identifikasi target terapeutik, serta terapi penyakit tertentu. Indonesia merupakan negara yang terletak di wilayah tropis. Ini dibuktikan dengan salah satu propinsinya yang terletak di daerah khatulistiwa. Indonesia juga dikenal sebagai negara yang memiliki mega biodiversitas flora dan fauna terbesar di dunia, tak terkecuali dengan penyakit. Penyakit
di
Indonesia
sebagai
negara
tropis
memiliki
spesifikasi dibandingkan dengan negara-negara lain yang memiliki empat musim. Penyakit seperti demam berdarah, malaria, kusta, filariasis, diare, TBC, flu burung, merupakan penyakit emerging dan re-emerging yang masih memiliki prevalensi atau angka kesakitan yang tinggi dan belum terpecahkan sampai dengan saat ini. Penggunaan proteomik dalam vaksin emerging dan re-emerging khususnya flu burung (merupakan salah satu penyakit yang memiliki daya bunuh sangat cepat dan menempatkan Indonesia menjadi negara nomor satu korban manusia dengan jumlah terbanyak di dunia), dan itu telah dibuktikan. Penelitian tersebut antara lain adalah telah ditemukannya protein yang bereaksi antara virus H5N1 di lapangan dengan vaksin flu burung homolog dan heterolog. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Qosimah (2008), virus H5N1 yang berada di lapangan dapat digunakan untuk mengetahui reaksi vaksin H5N1 homolog dan heterolog berdasarkan ekspresi protein. Hasil penelitian lain yang berkaitan dengan proteomik dan vaksin Influenza, khususnya flu burung, adalah penelitian yang dilakukan oleh Hayati (2012) yang menemukan bahwa unggas yang telah divaksin dengan menggunakan vaksin flu burung memiliki ekspresi protein berbeda dengan isolate asli flu burung. Ini memberikan sinyal bahwa berdasarkan analisis proteomik, virus yang dikeluarkan dari hospes pasca vaksinasi telah terjadi perubahaan bentuk atau mutasi. Selain dua penelitian diatas, proteomik yang berkaitan dengan vaskin influenza, khususnya flu burung, adalah penelitian yang dilakukan oleh Alamudi (2013). Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa vaksin Influenza, khususnya flu burung, memiliki jalur berbeda di dalam memberikan perlindungan terhadap infeksi flu burung dari lapangan berdasarkan proteomik. Infeksi virus flu burung yang berasal dari unggas pada hospes akan menginduksi timbulnya apoptosis dan
inflamasi. Hal ini berbeda dengan ketika infeksi virus flu burung berasal dari manusia. Berdasarkan ekspresi protein atau proteomik, ketika terjadi infeksi pasca vaksinasi, hospes tidak hanya memberikan respon timbulnya apoptosis dan inflamasi, namun akan memicu timbulnya mekanisme penghambatan terhadap pembentukan virion baru dan penyebaran progeni virus antar sel. Dari hasil pemaparan diatas, diharapkan memunculkan penemuanpenemuan baru dengan menggunakan bidang proteomic, khususnya dalam bidang pembuatan vaksin penyakit emerging dan reemerging seperti demam berdarah, malaria, filariasis, TBC. (*) Editor: Bambang Bes
Bisa Ular Penanggulangan Tropis
untuk Penyakit
JIKA Anda menjumpai ular, pasti Anda merasa takut (ophidiophobia). Atau bahkan Anda tidak segan-segan untuk membunuhnya. Padahal, Indonesia memiliki tingkat biodiversitas yang tinggi pada keanekaragaman spesies ular, sekitar 380 spesies ular dapat dijumpai di negeri ini. Bahkan delapan persen diantaranya adalah ular berbisa dan berbahaya bagi manusia. Namun, sebenarnya dibalik itu bisa ular memiliki manfaat yang tersembunyi. Snake venom atau bisa ular merupakan senyawa kimiawi yang diproduksi oleh kelenjar khusus dari sejumlah
spesies ular tertentu yang digunakan untuk melumpuhkan mangsa dan mempertahankan diri. Bisa ular mengandung lebih dari 20 jenis senyawa berbeda, kebanyakan adalah protein. Hasil riset terkini menyebutkan bahwa bisa ular dapat digunakan untuk mengatasi organismeorganisme yang menimbulkan masalah, khususnya penyakit tropis. Sayangnya, masih sedikit sekali para peneliti life sciences di dunia yang tertarik untuk bergerak pada riset snake venom ini. Penyakit tropis merupakan salah satu bentuk penyakit yang sering terjadi di daerah yang beriklim tropis dan subtropis. Jenis penyakit tropis itu ada tiga macam, yaitu penyakit infeksi oleh bakteri, penyakit infeksi oleh virus, dan penyakit infeksi oleh parasit. Penyakit infeksi oleh bakteri misalnya tuberkulosis, tetanus, batuk rejan, dan yang lainnya. Penyakit infeksi oleh virus misalnya zika, demam berdarah dengue (DBD), flu burung, dan lainnya. Sedangkan penyakit infeksi oleh parasit misalnya penyakit chagas, malaria, leishmaniasis, dan yang lainnya. Gigitan ular berbisa seringkali mematikan, kecuali jika berhasil mendapatkan pertolongan yang tepat. Tetapi, biological components pada bisa ular memiliki sifat terapeutik yang signifikan. Hal inilah yang kemudian membuat bisa ular memiliki potensi yang bagus untuk mengeliminasi organismeorganisme yang menimbulkan masalah penyakit tropis pada skala laboratorium. Ketiadaan vaksin yang efektif untuk solusi penanganan penyakit tropis saat ini merupakan salah satu penunjang bahwa penelitian bisa ular ini menjadi sangat penting untuk dikembangkan di masa mendatang. Penelitian secara in vitro menyebutkan bahwa peptida-peptida bisa ular Naja atra memiliki aktivitas untuk melawan multidrug-resistant tuberculosis atau MDR-TB, yaitu bakteri yang dapat membentuk resistensi terhadap obat antimikroba yang digunakan sebagai pengobatan penyakit tersebut. MDR-TB tidak
memberikan respon pada dua jenis obat yang ampuh untuk antiTB, yaitu isoniazid dan rifampicin. Selain itu, bisa ular dari Naja naja, Daboia russelli, Bungarus fasciatus, dan Naja kaouthia memiliki aktivitas antiMDR-TB, sehingga perlu dilakukan eksplorasi lebih dalam sebagai obat anti-TB yang lebih ampuh. Bungarus fasciatus adalah spesies ular berbisa dari famili Elapidae yang merupakan salah satu ular paling berbahaya dan mematikan di Indonesia. Pada dunia virologi atau cabang ilmu yang mempelajari tentang virus, LAAO (L-Amino acid oxsidase) yang diisolasi dari bisa ular Bothrops jararaca, menunjukkan aktivitas sebagai antivirus melawan virus dengue serotipe 3. Sedangkan bisa ular dari Crotalus durissus terrificus, dapat menghambat replikasi virus Measles dan bisa ularnya tidak memiliki sifat sitotoksisitas berdasarkan penelitian berbasis laboratorium. Selain itu, senyawa immunokine, salah satu derivat dari αtoxin yang diisolasi dari bisa ular Naja siamensis, menunjukkan daya hambat infeksi limfosit oleh virus HIV dan FIV. Disisi yang lain, phospholipase A2 atau PLA2 dan 12 peptida turunan dari PLA2 yang diisolasi dari bisa ular, memiliki aktivitas anti-HIV. Bisa ular dari Naja sumatrana, Bungarus candidus, Hydrophis cyanocinctus, dan Oxyuranus candidus memiliki sifat anti-HIV berdasarkan penelitian berbasis laboratorium. Naja sumatrana adalah salah satu jenis golongan kobra yang paling mematikan di dunia yang berada di Pulau Sumatera, Indonesia. Crotoxin B yang diisolasi dari Crotalus durissus cumanensis, memiliki aktivitas untuk melawan Plasmodium falciparum penyebab penyakit malaria. Sedangkan whole venom dari Naja haje, Cerastes cerastes, Crotalus viridis, Philodryas baroni, dan Hypisglena torquata memiliki aktivitas untuk melawan Trypanosoma cruzi (penyebab penyakit Chagas) dan Leishmania
spp (penyebab penyakit Leishmaniasis). Selain itu, LAAO yang diisolasi dari bisa ular Lachesis muta, Bothrops atrox, dan Bothrops moojeni juga dapat melawan Leishmania spp. dan Trypanosoma cruzi. Pada penelitian berbasis laboratorium, bisa ular atau snake venom memiliki potensi sebagai kandidat obat untuk melawan agen-agen penyakit tropis seperti bakteri, parasit, dan virus. Namun, perlu dilakukan riset lebih mendalam lagi untuk mendapatkan manfaat langsung pada aplikasi klinis. Inilah yang seharusnya sudah menjadi salah satu keunggulan riset bidang life sciences di Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara lain, karena Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, terutama pada golongan herpetofauna yang di dalamnya termasuk ular berbisa. (*) Editor: Bambang Bes
Eksplorasi Rektal, Satu Keahlian Mahasiswa Kedokteran Hewan MEMBICARAKAN tentang Universitas Airlangga, rasanya tidak afdol jika tidak menengok salah satu fakultasnya yang berdiri di kampus C. Ya, Fakultas Kedokteran Hewan tampil dengan 1001 keunikan yang menarik untuk ditelisik. Mulai dari “mini zoo” dengan berbagai hewannya, kandang hewan coba, serta Teaching Farm yang berada di wilayah Kabupaten Gresik yang digunakan mahasiswa untuk praktikum lapangan, juga Rumah Sakit Hewan Pendidikan, serta ilmunya yang spektakuler.
Teori (ilmu) dalam perkuliahan serta praktikum yang tak hanya membahas tentang kehewanan, lebih dari itu mahasiwa FKH juga belajar banyak tentang ekonomi kewirausahaan, kesehatan lingkungan, kesehatan masyarakat, ilmu penyakit satwa aquatik, obat-obatan, dan fisiologis yang tak jarang juga belajar mengenai ilmu kedokteran manusia. Satu dari 1001 yang unik dari kemampuan mahasiswa Kedokteran Hewan UNAIR yang menarik untuk dibahas adalah kemampuan indera perasa dalam mendiagnosa sesuatu yang tanpa melibatkan indera penglihatan. Mahasiswa sering menyebutnya sebagai Eksplorasi Rektal. Kegiatan salah satu praktikum wajib bagi mahasiswa semester VII ini dilakukan di Kandang Hewan Coba FKH, dan tak jarang juga dilakukan di Teaching Farm di Gresik. Untuk bisa melaksanakan Eksplorasi Rektal ini dituntut memiliki kemampuan tinggi dan bisa menyingkirkan rasa jijik jauh-jauh. Bagaimana tidak? Ketika tangan para praktikum harus memasuki rektum hewan, contohnya sapi, terlebih dahulu harus membersihkan kotoran yang ada didalamnya. Kemudian harus bisa mendiagnosa organ reproduksi serta kelainan-kelainan yang terjadi di dalamnya. Otomatis, hanya tangan saja yang masuk, dan mata tidak bisa melihat apa yang ada di dalam dan yang terpegang oleh tangan. Kemampuan intuisi dan perasaan hebat inilah yang harus dimiliki sebagai salah satu skill mahasiswa FKH. Namun sebenarnya tidak semata hanya masalah perasaan, tentu harus dikaitkan dengan teori yang telah diperoleh sebelum melakukan praktikum. Jadi bukan ilmu perdukunan. Belum lagi jika hewan yang akan di-Rectal memiliki temperamen tinggi, sehingga sulit dikendalikan. Kemampuan mengendalikan hewan ini pun juga wajib dimiliki mahasiswa Kedokteran Hewan, dengan tetap memperhatikan konsep Animal Welfare, tanpa menyakiti hewan. Karena hewan coba juga punya hak-hak yang harus dipenuhi oleh para praktikan (mahasiswa praktik) dan sejawat yang menggunakan sebagai media pendidikan.
Keselamatan diri sendiri tetap menjadi prioritas utama, namun untuk mahasiswa Kedokteran Hewan, rasanya belum “lengkap” kalau belum merasakan bagaimana disepak atau ditendang sapi sebagai “salam perkenalannya”. Apalagi praktikum Eskplorasi Rektal ini sering dilakukan pada hewan besar seperti sapi, kuda, kerbau dan hewan besar lainnya yang digunakan untuk kepentingan Inseminasi Buatan (IB), Diagnosa Kebuntingan, atau hanya sekedar pemeriksaan fisiologis patologis organ reproduksi hewan tersebut. Untuk bisa melakukan Eksplorasi Rektal dengan baik, memang tak cukup hanya sekali mencoba. Tetapi diperlukan berulang kali praktik atau percobaan agar dapat melakukan teknik dengan benar. Peralatan penunjang seperti baju pelindung Cattle Pack, sepatu boots, dan sarung tangan (glove) khusus, perlu digunakan untuk mencegah sesuatu hal yang tidak diinginkan. Itu belum lagi dengan persoalan bau kandang. Harus berani kotor. Setiap hari bertemu pasien (hewan) dengan berbagai temperamen, dan bertemu pemilik hewan dengan berbagai latar belakang, menjadi kegiatan rutin harian mahasiswa FKH. Dari realitas seperti itu, jangan heran jika tidak semua mampu melakukan teknik Eksplorasi Rektal. Untuk itu sebagai mahasiswa FKH patut berbangga jika dapat menguasai ilmu tersebut, sebab teknik ini sering dilakukan di lapangan untuk melaksanakan Inseminasi Buatan pada ternak, membantu peternak untuk meningkatkan kualitas kehidupan ekonomi dan membantu pemerintah dalam menggalakan program swasembada daging bagi masyarakat Indonesia. Jadi, pekerjaan mulia tidak dilihat dari banyaknya materi yang dihasilkan, namun seberapa besar pekerjaan tersebut bermanfaat bagi masyarakat, meski pekerjaan tersebut tidak mudah. Begitulah professi dokter hewan digambarkan. (*) Editor: Bambang Bes
Budaya di Balik Media Sosial Kekinian dan Kemajuan Negara AKHIR-AKHIR
ini,
akun-akun
bermotifkan
bisnis
banyak
membanjiri media sosial. Mulai akun yang hanya menjual produkproduk umum, hingga yang mempromosikan barang dan jasa lainnya. Namun ternyata tidak semua akun itu mempertimbangkan aspek sosiologis. Pada akhirnya, mereka yang tidak bijak menjadikan apapun yang sedang tren di pasaran sebagai nilai jual untuk mendatangkan uang. Sayangnya, tren-tren yang digeluti peselancar media sosial ini ada pada kisaran cinta, jokes yang tidak jelas, dan bahkan sensual. Baik LINE atau pun Instagram, informasi yang disajikan tidak banyak yang positif. Sebaliknya, tak sedikit informasi yang disajikan justru kurang bermanfaat, bahkan negatif. Misalnya informasi-informasi yang hanya bergelut dalam beragam perasaan (kegalauan, menyindir-nyindir, dan lainnya). Bahkan ada yang negatif (bahasanya kotor, ada perilaku menghina tetapi dibalut dengan kebahagiaan, juga konten-konten sensual). Padahal, kondisi sajian informasi yang seperti itu dapat membentuk budaya para pengguna media sosial, lebih-lebih para pemuda yang juga aktif di dalamnya. Sejalan dengan Horton dan Hunt (1987: 58), budaya adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat. Kebudayaan meliputi keseluruhan pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, semua kemampuan dan kebiasaan (Tylor dalam Damsar, 2015: 5). Bisa dikatakan, anggota masyarakat tak hanya mempelajari dan menjalani budaya yang ada, melainkan juga menciptakan budaya yang baru melalui proses belajar.
Belajar adalah suatu usaha untuk menjadi mengerti kenyataan dan/atau mampu melakukan sesuatu. Jadi, selama manusia memahami kenyataan atau perilaku, pada saat itu juga dia bisa menghayatinya, membiasakannya dalam pikiran, melakukannya, dan bahkan menjadikannya sebagai salah satu prinsip kehidupan. Dan akhirnya, yang dipelajari itu akan menjadi bagian dari hidupnya, entah itu gaya bicara, diksi, dan bahkan paradigma. Dalam satu periode, manusia akan mempelajari dan menerapkan budaya yang dimunculkan lingkungannya, sembari merubah budaya itu berdasarkan pengetahuan-pengetahuan yang baru didapat. Hasilnya, bisa berupa kebudayaan positif (berpikir kritis, sopan, peduli sesama, dan hal positif lainnya), serta bisa juga berupa kebudayaan negatif (berpikir sederhana, emosional, dan bahkan individualistik), sebab bergantung kepada apa yang dipelajari dan diterimanya. Apabila kita kembali menengok media sosial, maka para pengguna bisa mempelajari dan membentuk budaya hidup yang tidak positif. Apalagi informasi-informasi itu disajikan secara berulang-ulang, meskipun terkadang dengan bentuk pesan yang berbeda. Dengan demikian, manakala suatu anggota masyarakat aktif menelusuri media sosial, meskipun dia sudah berbudaya secara bagus (misalnya religious) maka budayanya akan berpotensi untuk mengalami perubahan: entah bercampur-baur dengan yang salah, bahkan tidak lagi religius. Gerakan Menuju Indonesia Lebih Baik Untuk mencegah munculnya budaya yang semakin negatif, maka ada baiknya bagi kita untuk menekan informasi-informasi yang tak berguna dan negatif. Caranya bisa dengan beragam macam. Kita bisa menyebarkan informasi lebih bermanfaat, tidak mendukung —seperti “like and share”— akun-akun yang menyebarkan informasi kurang bermanfaat dan cenderung merusak. Bahkan bila perlu melaporkan hal yang negatif kepada pihak berwenang. Informasi bermanfaat sebenarnya tidak hanya yang diproduksi
oleh “Taste Made”. Makna manfaat itu sangat dalam jika ditelusuri secara analitis. Namun, singkatnya, kita bisa maknai itu sebagai upaya untuk berkontribusi dalam pembangunan negara. Misalnya memberikan informasi keilmuan memecahkan masalah bangsa, karya-karya ilmiah (teknologi, gagasan, dsb), motivasi hal positif, saling mengingatkan dalam kebaikan, update seputar pemerintahan, mengajari hidup harmonis dalam konteks multicultural Indonesia, dan kegiatan sosial lain yang berorientasi membantu pemerintah memberantas masalah-masalah yang belum tertangani. Sebenarnya ada banyak masalah yang bermunculan di masyarakat. Subyek yang menyelesaikan masalah masyarakat itu, menurut asumsi sosiologis, tidak hanya dilakukan oleh institusiinstitusi sosial (seperti institusi pendidikan, agama, organisasi, budaya dan lainnya) melainkan juga dilakukan oleh anggota masyarakatnya. Dengan menyeimbangkan semua bidang di negara ini, maka kemajuan pesat sudah didepan mata. Demikian pula dengan bidang budaya. Kemajuan suatu bangsa tidak hanya terletak pada banyaknya teknologi dan uang yang dipegang oleh anggota masyarakatnya, melainkan kemajuan semua bidang negaranya. Namun apabila kita tidak meluangkan waktu untuk memahami kenyataan, menghayati masalah-masalah yang ada, merenungkan pemecahan masalahnya, penulis kira majunya bangsa hanya berbentuk angan-angan yang dibangga-banggakan. (*) Editor: Bambang Bes
Branding Melalui Optimalisasi
Website Kampus DI era digital, upaya branding atau penguatan citra perguruan tinggi, dimensinya menjadi luas. Baik offline maupun online. Baik turun langsung untuk berkiprah di masyarakat, maupun melalui kegencaran “berkampanye” di dunia maya. Semua porsinya sama. Sama-sama mesti diperhatikan sekuat tenaga. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sudah membuat disparitas interaksi masyarakat di dunia nyata dan maya begitu tipis. Mungkin tidak semua masyarakat melek internet. Namun semua kampus tetap mesti bermain lihai di ranah ini. Pasar mereka tidak hanya yang “buta” internet. Perguruan tinggi bukan sekadar mesin pembabat kebutaan macam itu. Sebaliknya, pendidikan tinggi harus menjadi garda terdepan untuk segala kemajuan teknologi. Terlebih, upaya branding melalui dunia maya menjadi salah satu ujung tombak pemeringkatan di level dunia. Sebut saja salah satunya webometrics. Dari namanya saja, sudah jelas kalau pemeringkatan ini bersandar pada elemen website. Setidaknya ada empat parameter website yang diukur oleh sentra perankingan ini. Yaitu, excellence atau jumlah artikel-artikel ilmiah publikasi perguruan tinggi. Presence atau jumlah halaman website (html) dan halaman dinamik yang tertangkap mesin pencari. Impact atau jumlah eksternal link unik yang diterima oleh domain web universitas yang tertangkap mesin pencari. Openness atau jumlah file yang online di bawah website universitas. Tentu, penjelasan secara rinci dan detail tentang parameter di atas butuh space yang tidak sebatas satu artikel koran. Tetapi paling tidak, dapat tergambar secara umum kalau terobosan pengelolaan website merupakan keniscayaan bagi kampus. Khususnya yang ingin mengejar ranking webometrics. Universitas Airlangga (UNAIR) mengendus isu ini. Melalui Pusat
Informasi dan Humas (PIH), kampus yang berdiri sejak 1954 ini tampak ingin membenahi official website. Apa yang jadi sasaran utama? Rubrik news. Perubahannya cukup radikal. PIH membuat struktur informal bernama newsroom. Pekerjaannya mirip dengan kantor berita professional pada umumnya. Ada tiga platform: website, edisi cetak (majalah), dan radio. Namun, yang dirombak secara habishabisan di sini adalah lini online. Memang tidak se-euforia dan “sekapitalis” industri portal pada berita komersial. Minimal, ada kultur yang dipegang: harus ada berita baru setiap hari. Sejak akhir Desember 2015, saat domain news.unair.ac.id diluncurkan, minimal ada update berita tiga kali sehari. Bahkan, bisa sampai enam update. Data terakhir hingga 31 Desember 2016, setidaknya ada lebih dari 1.560 update berita per tahun, dengan rata-rata sekitar 130 berita per bulan. Kabarnya, sudah ada dua kampus swasta besar dan dua perguruan tinggi negeri yang ingin studi banding ke UNAIR, sang pemilik 14 fakultas dan satu sekolah pasca sarjana ini. Berita dari kampus tidak akan habis. Apalagi sekelas UNAIR. Kalau ditanya, apa manfaat update banyak berita saban hari? Tentu bisa dijawab dengan mengaitkannya pada parameter webometrics di atas. Memang tidak semua poin berhubungan dengan rubrik news, namun update yang dimaksud setidaknya bisa mendongkrak pada parameter presence dan impact. Baiklah, webometrics tidak selalu menarik untuk dijadikan perspektif bagus tidaknya suatu kampus. Orang bisa saja mengklaim, perankingan tidak selamanya objektif dan bisa luput menjajaki semua elemen. Tapi paling tidak, dari segi branding, penguatan rubric news cukup representatif. Syaratnya, mesti tersinergi dengan jejaring sosial official kampus yang lain, misalnya facebook, twitter, instagram, dan lain sebagainya. Yang terpenting, semua jejaring sosial juga harus dikelola
dengan baik. Upaya share, tagging, mention, dan “penjangkauan” yang tepat sasaran menjadi kunci. Penjangkauan yang dimaksud, termasuk di dalamnya, koneksifitas pada akun para alumni dan pemangku kepentingan: akademisi kampus lain, dunia bisnis, dan pemerintah. Pada aspek tersebut, strategi media sosial amat diperlukan. Kapabilitas tentang optimalisasi interaksi berperan sentral. Percuma bila produksi berita lancar, tapi sosialisasi, promosi dan gembar-gembor di media sosial (yang mewakili dunia maya) dibiarkan minim. Kalau sejumlah langkah maksimalisasi tadi sudah bergerak, branding kampus di dunia maya boleh dikata sudah berjalan. Tinggal menjaga konsistensi. Berbicara soal branding, tolok ukurnya bukan lagi perankingan, melainkan kepuasaan karena telah mempopulerkan atau menjaga popularitas kampus. Paling tidak, netizen menilai, kampus tersebut selalu membuat berita dan tersebar di dunia maya. Kepuasan tersebut sudah berada jauh dari aspek ukuran ranking. Analoginya mungkin sama seperti yang dilakukan Sufyan AtsTsauri, ulama zuhud kelahiran Kufah, yang selalu konsisten beribadah pada Tuhan. Apa yang dilakukannya hanya untuk kepuasaan dan kebahagiaan batin. Sama sekali bukan untuk diukur atau diranking oleh orang lain. Dia selalu bercengkerama dengan sesama. Tetapi, itu dianggapnya ibadah tanpa mengharap pujian, dan tak peduli hujatan. Branding yang brilian dan sukses akan membuat kampus menjadi puas dan bahagia. Bisa berinteraksi secara maksimal dengan dunia luar merupakan pencapaian yang abstrak di atas kertas. Meskipun dinamika dan fluktuasi website selalu bisa diukur dengan statistik, hal itu tidak selalu menjadi yang utama. (*) Editor: Bambang Bes
Mengukuhkan Pusat Kesehatan Tropis Se-Asia Tenggara DIES Natalis merupakan salah satu momentum untuk mengingatkan kembali memori terlahirnya sebuah lembaga. Dalam hal ini pada Universitas Airlangga yang sedang merayakan peringatan dies natalisnya yang ke-62. Universitas terbesar di kawasan Indonesia Timur ini memiliki puluhan ribu mahasiswa dan alumni yang berasal dan tersebar di seluruh Indonesia bahkan di beberapa negara manca. Tidak lepas juga dari berbagai macam prestasi yang begitu banyak dicapai, mulai dari prestasi mahasiswa, dosen maupun para Guru Besar. Tak lupa juga berbagai macam fasilitas pendidikan dan penunjangnya yang begitu lengkap nan canggih, baik yang terletak di lingkungan kampus A, kampus B, maupun kampus C. Sebutlah mulai dari bus kampus (flash) sampai dengan fasilitas laboratorium terbesar dan tercanggih se-Asia Tenggara. Seperti kita ketahui, Indonesia merupakan negara yang dikenal dengan mega-biodiversitas, baik flora maupun faunanya. Selain itu, di negeri khatulistiwa ini juga banyak ditemukan berbagai macam penyakit yang tidak didapatkan di negara-negara nontropis. Penyakit tersebut Antara lain malaria, demam berdarah dengue (DBD), flu burung (avian influenza), filariasis, penyakit yang berhubungan dengan cacing, malnutrisi/gizi buruk, non infeksius seperti penyakit yang disebabkan oleh gaya hidup (diabetes, stroke, dll). Penyakit-penyakit tersebut merupakan gangguan kesehatan yang selalu ada tiap tahun dan belum terselesaikan sampai dengan saat ini. Contoh nyata adalah ketika musim hujan yang telah
mengguyur kota-kota di Indonesia, musim ini memicu timbulnya bangsal-bangsal atau lorong-lorong di rumah sakit dipenuhi oleh banyak pasien yang terinfeksi diantara penyakit diatas, misalnya demam berdarah. Belum lagi, penyakit yang muncul akibat dari banjir (genangan air) di musim penghujan. Ancaman penyakit seperti leptospirosis, kolera, juga mengancam kehidupan masyarakat, yang terbaru adalah kemunculan virus zika yang ditularkan melalui nyamuk. Universitas Airlangga yang merupakan salah satu universitas terkemuka di Indonesia dan di Asia Tenggara memiliki peluang sebagai Pusat Kesehatan Tropis di Asia Tenggara. Hal ini didorong karena Universitas Airlangga memiliki Fakultas Kedokteran termasuk yang tertua di Indonesia, usia historisnya sudah 103 tahun dihitung sejak era NIAS (Nederlands Indische Artsen School) atau Sekolah Dokter Hindia Belanda yang berdiri tahun 1913. Kemudian FK UNAIR juga memiliki program Magister Kedokteran Tropis. Selain itu Universitas Airlangga memiliki pusat penelitian yang mengkhususkan terhadap penyakit tropis, dan ini merupakan satu-satunya di Indonesia. Tentu saja, juga memiliki para pakar yang kemampuan kompetensinya untuk mengembangkan vaksin maupun herbal medicine, terutama untuk penyakit-penyakit yang sedang berkembang di Indonesia. Asset yang besar ini merupakan sebuah kekuatan dan modal dalam menggapai Universitas Airlangga sebagai pusat kesehatan tropis di Asia Tenggara maupun sebagai World Class University yang terkemuka, baik di Indonesia maupun manca negara. Oleh sebab itu, seiring dengan peringatan dies natalis ke-62 tahun 2016 ini, diharapkan civitas akademika Universitas Airlangga membuka kembali dan merenungkan kembali sumber daya dan kekuatan yang dimiliki, sehingga mampu mengembalikan kejayaan universitas ini menjadi universitas terbaik di
Indonesia maupun di kawasan internasional, sesuai dengan Hyme Airlangga yang selalu dinyanyikan pada setiap kesempatan acara akademik, misalnya upacara wisuda, pengukuhan Guru Besar/dokter/professi, seminar nasional, dsb. “Di timur Jawa Dwipa, Megah engkau bertakhta, Satria Airlangga, Kusuma Negara, Dari engkau kudapat, Budaya Pusaka, Airlangga dikau permata, Indonesia Raya”. Selamat Ulang Tahun Universitas Airlangga tercinta. Jayalah selalu. (*)
Menanamkan Rasa Sebagai Mahasiswa Almamater
Bangga Terhadap
SEBELUM akhirnya menapakkan jejak-jejak perjuangan sebagai mahasiswa berjaket biru dongker berlambang Garuda Wisnu Kencana di bagian dada sebelah kiri, almamater berwarna apa yang engkau impikan, kawan? Apakah warna kuning yang begitu gagah dengan lambang makara? Atau mungkin warna hijau berlambangkan ganesha? Dengan fakta bahwa hampir semua program studi di Universitas Airlangga (UNAIR) telah terakreditasi A, tidak heran jika banyak yang menjawab bahwa UNAIR merupakan pilihan pertamanya. Jadi, menjadi bagian dari UNAIR adalah suatu kebanggaan. Namun ada juga yang sebenarnya memimpikan universitas yang peringkat nasionalnya di atas UNAIR. Artinya UNAIR dijadikan opsi kedua, bahkan ketiga. Angan-angan indah untuk bisa menjadi mahasiswa di ibu kota negara, di “kota hujan” Bogor, di kota “gudeg” Jogyakarta,
atau di “kota kembang” Bandung; sekedar ingin tahu bagaimana rasanya menjadi mahasiswa di universitas nomor satu di Indonesia? Tentu ada yang tertanam sampai ke hati. Sebagian dari kita merasa bahwa melupakan mimpi indah itu bukanlah hal mudah. Padatnya kegiatan sebagai mahasiswa, diakui atau tidak, dapat mengalihkan perhatian tersebut, dengan seolah-olah telah dapat menikmati kehidupan di kampus pilihan kita. Tetapi sebenarnya, “dendam” itu masih ada dan termanifestasikan dalam bentuk rendahnya perasaan bangga dan kesadaran bahwa kita merupakan bagian dari UNAIR. Bangga dalam konteks ini bukanlah kesombongan, tetapi bangga yang mengarah pada perasaan ikut memiliki dan merasa bagian dari kelompok, atau yang oleh McMillan dalam teori Sense of Community-nya disebut sebagai spirit atau membership. Kebanggaan itu dapat mengantarkan kita menjadi mahasiswa yang bersemangat untuk bergiat diri guna mengangkat nama baik universitas di kancah regional hingga internasional. Meskipun ada universitas yang pada aspek-aspek tertentu lebih baik dari UNAIR, tetapi kita harus menerima kekurangan dan kelebihan yang ada sebagai hal yang harus diperbaiki dan ditingkatkan bersama. Berikut ini beberapa cara dan alasan mengapa kita harus bangga menjadi mahasiswa UNAIR? Pertama: Mari membuka mata dan bersyukur! Harus diakui UNAIR belum menjadi yang pertama di Indonesia, namun kita sudah bertekad bulat untuk menuju kesana. Selain itu, kita sadar bahwa sebenarnya banyak universitas lain yang masih berjuang untuk setidaknya sejajar dengan UNAIR. Ketika fasilitas fisik seperti ruangan kelas yang nyaman, perpustakaan dengan koleksi buku dan jurnal yang lengkap, bahkan bus kampus sudah kita miliki, di tempat lain tak sedikit mahasiswanya harus bersabar atas proses belajarmengajarnya yang tak senyaman disini akibat ruangan kelas dan
tenaga pengajarnya yang kurang memadai. Lalu bagaimana mungkin kita yang telah diberi kekuatan untuk menembus persaingan yang sangat ketat, kemudian memiliki banyak fasilitas ini tidak bersyukur dan terus merasa kurang? Kedua, menjadi perwakilan UNAIR dalam berbagai acara (sesuai passion masing-masing). Lyntar Ghendis, mahasiswi Fakultas Keperawatan mengaku bahwa terhadap almamater sebelumnya biasabiasa saja. Namun begitu ia menjadi salah satu wakil UNAIR di arena bergengsi PIMNAS, tiba-tiba tumbuh rasa cintanya yang sangat terhadap UNAIR. Dengan menjadi perwakilan, maka akan muncul keinginan kuat dalam diri kita untuk membela dan memberikan yang terbaik kepada almamater. Bukankah ini motivasi sangat baik untuk kita menjadi mahasiswa yang berprestasi? Ketiga, menyadari bahwa mengeluh justru akan merugikan diri sendiri. Alkisah sekitar 27 tahun silam, ada seorang mahasiswa yang kuliah di sebuah universitas di kota kecil. Banyak yang tak tahu bahwa ada universitas itu. Kalau pun tahu, banyak yang memandang dengan sebelah mata. Namun mahasiswa ini tak menganggap hal tersebut sebagai persoalan. Ia memilih menjadi mahasiswa yang bersyukur dengan cara menikmati setiap tugas kuliah, bahkan ia dipercaya menjadi ketua dari beberapa organisasi mahasiswa. Akhirnya, ia pun memetik hasil sukses bekerja seseorang yang hal baik dalam dilupakan.
dari usahanya. Ketika lulus kuliah kini ia di salah satu BUMN. Lalu akankah sama dengan terus mengeluh sehingga lupa bahwa selalu ada setiap keterbatasan? Terkadang ini yang banyak
Akhirnya, di atas langit itu masih ada langit. Sekalipun jika kita menjadi mahasiswa universitas nomor satu, pasti akan ada satu-dua aspek dimana universitas lain lebih unggul. Maka banggalah dan bersyukurlah pada pilihan. Lantas mengapa kita tidak memilih untuk menjadi mahasiswa yang bahagia dengan mensyukuri dan mencintai apa yang telah Tuhan berikan kepada
kita, untuk kemudian mengisi dan melengkapi kekurangannya? Nah, mari kawanku. (*) Editor: Bambang Bes
Membaca Sebagai Terapi Rehabilitasi Bagi Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) MENJALANI pendidikan pascasarjana di Taiwan, membuka lebarlebar pengalaman, pemahaman, dan memperdalam ketertarikan saya di bidang kesehatan jiwa. Ini yang saya alami selama menjadi mahasiswa Program Master of Nursing di Taipei Medical University. Clinical practicum yang saya jalani selama enam minggu di Taipei Medical University Hospital membuat saya takjub melihat cara orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) diperlakukan. Bagian paling menarik adalah adanya terapi membaca. Setiap pagi dalam enam hari selama seminggu, ODGJ yang sedang menjalani pengobatan jalan mereka dengan sukarela datang ke Daycare Unit (unit rawat jalan). Setelah bersama melaksanakan senam pagi, para ODGJ berkumpul di satu ruangan kerja. Sembari setengah berebut, mereka memilih satu artikel di koran baru yang terbit hari itu untuk dibaca. Koran itu disediakan oleh perawat ruangan. Setelah dibaca, setiap orang memiliki tugas untuk menuliskan judul atau topik artikel tersebut di papan tulis secara berurutan. Kemudian dibacakan dan dipresentasikan di tengah kelompok terapi tersebut. Sesuai dan dengan tepat waktu, perawat ruangan datang untuk memulai kegiatan membaca di pagi
itu. Satu persatu artikel dibacakan bergiliran. Setiap satu artikel selesai dibaca, perawat ruangan dengan tegas dan cekatan membimbing diskusi, mengungkapkan apa yang menjadi pendapatnya dan menanyakan pendapat masing-masing orang dalam kelompok terapi itu, sehingga terciptalah diskusi aktif dan menarik. Meskipun saya hanya dapat memahami dari raut wajah dan emosi yang terlihat saat masing-masing ODGJ mulai berpendapat mengenai topik yang baru saja disampaikan oleh anggota kelompok yang lain. Setelah semua artikel selesai dibaca, perawat mengajak semua yang hadir untuk memberikan applause, lalu kegiatan itu ditutup dengan ucapan terimakasih untuk setiap orang yang sudah membacakan berita hari ini. Disinilah saya merasa takjub. Di Indonesia, selama lima tahun menempuh pendidikan sarjana keperawatan, saya belum pernah menemukan terapi sederhana namun sangat bermanfaat ini dilaksanakan baik di rumah sakit jiwa (RSJ) baik swasta maupun pemerintah, atau di Dinas Sosial yang juga menampung dan memberikan perawatan dan terapi bagi pasien ODGJ. Tetapi di Taiwan, ODGJ diperlakukan tidak seperti pasien jiwa kebanyakan yang di kucilkan, dianggap tidak tahu menahu, keterbelakangan dan terkungkung dalam pikirannya sendiri. Tujuan dari terapi rehabilitasi bagi pasien jiwa adalah membantu individu dengan kondisi disabled untuk mengembangkan kemampuan emosi, sosial dan intelektual untuk hidup, belajar dan bekerja kembali di kehidupan normal bermasyarakat dengan bantuan beberapa tenaga professional kesehatan. Ada dua prinsip strategis dalam pelaksanaan terapi rehabilitasi, antara lain individual-centered therapy yang bertujuan mengembangkan kemampuan pasien dengan cara meningkatkan interaksi dengan situasi yang stressful (mengancam). Strategi yang kedua adalah menyediakan sebuah lingkungan yang aman dan mengurangi stressor potensial yang dapat memicu kembali kondisi ketidakstabilan jiwa.
Membaca koran dan mendiskusikannya, menjadi sebuah terapi rehabilitatif yang efektif dan efisien serta sesuai dengan tujuan terapi rehabilitasi bagi pasien dengan gangguan jiwa. Tidak perlu memakan waktu lama untuk menyiapkan ide terapi atau mengerjakan proposal terapi, informasi terbaru dan bahan diskusi dapat dengan mudah di dapat melalui koran, perawat sebagai leader memberikan tugas untuk membaca dan menuliskan topik bacaan di papan tulis, kemudian cukup mendengarkan dan memberikan feedback, serta menciptakan diskusi aktif di tengah kelompok terapi. Secara tidak langsung pasien diajak berfikir, dituntut berani berbicara dan presentasi di tengah kelompok. Kegiatan mengutarakan pendapat dan diskusi aktif sebagai bentuk pengembalian kepercayaan diri, komentar yang keluar dari setiap orang dalam kelompok terapi ini, baik positif maupun negatif memberikan makna. Berita hangat yang disampaikan pun membantu pasien untuk merasakan aktualisasi diri, termasuk sebagai bentuk latihan dan adaptasi dengan kehidupan normal yang harus dijalani pasien ODGJ ketika kembali bermasyarakat dan bertemu dengan keluarganya. Melalui
kegiatan
rutin
membaca
ini
pula
perawat
mampu
melaksanakan evaluasi terhadap kemampuan mengontrol emosi, interaksi sosial antar-pasien, dan kemampuan intelektual dalam menyampaikan kembali topik berita. Akan tersaring pula siapa saja pasien yang potensial untuk diberikan terapi rehabilitasi tahap lanjut dan dinilai sanggup dipekerjakan sebagai pegawai rumah sakit (beberapa dari pasien bahkan menjadi sekretaris asisten perawat, membantu administrasi dan diberikan pekerjaan sebagai tenaga pembantu harian di rumah sakit, sebagai volunteer). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kegiatan membaca menjadi salah satu alternatif solusi terapi rehabilitasi bagi ODGJ yang bermanfaat, berpotensi mengurangi beban negara dalam pembiayaan perawatan dan pengobatan pasien jiwa, serta menunggu untuk diaplikasikan di Indonesia. (*)
Rossler Wulf (2006), Psychiatric Rehabilitation Today: An Overview, World Psychiatry, 2006 Oct 5(3): 151-157. (*) Editor: Bambang Bes
Setelah Dokter Turun ke Jalan PEMERINTAH melalui Kementerian Kesehatan dan Kemenristek Dikti telah membuka program studi Dokter Layanan Primer (DLP). Pemerintah berharap DLP ini dapat meningkatkan kemampuan dokter yang berada di layanan primer, sehingga mampu menekan angka rujukan ke rumah sakit, yang kemudian diharapkan berujung pada penekanan biaya pengobatan masyarakat. Namun dalam perjalanannya, program DLP ini mendapat pertentangan dari berbagai pihak, utamanya para dokter yang menjadi subyek dari kebijakan pemerintah. Di mata Ikatan Dokter Indonesia (IDI), DLP ini ibarat menutup asap tanpa mematikan api. Hasilnya akan sia-sia. Mengapa dikatakan siasia? Karena akar permasalah kesehatan di Indonesia bukan terletak pada kemampuan dokter semata, melainkan dari banyak faktor. Ada keganjilan dalam UU No 20 Tahun 2013 karena memasukkan DLP sebagai spesialisasi baru di bidang kedokteran. Dalam UU tertulis program DLP merupakan kelanjutan dari program profesi dokter dan program internsip yang setara dengan program dokter spesialis. Disisi lain, UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis. Kita tidak mengenal istilah DLP, jadi secara hukum, kewenangan dan area pekerjaan akan rawan tumpang tindih dengan profesi dokter yang sudah ada.
Keganjilan kedua, saat ini terdapat 114,602 dokter umum (data KKI, Oktober 2016), sedang yang boleh membuka sekolah DLP hanya Fakultas Kedokteran (FK) yang terakreditasi A, yang saat ini jumlahnya “hanya” 17 dari 75 FK yang ada di Indonesia (belum termasuk FK yang baru berdiri). Bisa diperhitungkan perlu waktu puluhan tahun untuk men-DLP-kan semua dokter umum yang akan bekerja di layanan primer. Itupun belum termasuk 8.000 dokter baru yang terus dihasilkan setiap tahunnya. Meskipun pemerintah menyatakan akan membiayai program DLP ini, hal itu sangat tidak efisien dan malah membebani negara. AKAR MASALAH KESEHATAN Masyarakat perlu tahu bahwa DLP bermula dari tuduhan pemerintah yang menyatakan bahwa tingginya angka rujukan ke rumah sakit disebabkan kompetensi dokter umum yang masih minim. Perlu dicatat bahwa kompetensi dokter memang salah satu faktor yang berperan dalam suatu rujukan, namun itu bukan hal utama yang dihadapi di Indonesia saat ini. Menurut Hendrik L. Blum, Guru Besar Administrasi Kesehatan dari University Of California Berkeley, terdapat empat faktor yang mempengaruhi tingkat kesehatan manusia; yaitu kesehatan lingkungan, perilaku manusia, pelayanan kesehatan, dan genetik. Faktor Pertama, kesehatan lingkungan. Baru-baru ini DPR mendesak pemerintah untuk memperkuat infrastruktur air bersih. Berdasarkan penilaian BPPSPAM, kondisi PDAM yang sehat hanya 50% dari total PDAM yang ada. Sisanya masuk katagori kurang sehat dan sakit. Padahal 60-70% komposisi tubuh manusia adalah air. Kemudian masalah kesediaan pangan. Dalam laporan FAO (Food and Agriculture Organization/Organisasi Pangan Dunia) pada tahun 2015 ditemukan hampir 37% atau 7,6 juta balita di Indonesia mengalami stunting (kekerdilan) karena terhambat pertumbuhannya akibat kekurangan gizi. Faktanya, Indonesia belum bisa menjadi negara swasembada
pangan. Beras, kedelai, gula, dan daging saja kita masih impor. Ini sangat memprihatinkan para dokter. Untuk sekedar mendapatkan air bersih dan makanan yang sehat untuk kehidupan sehari-hari saja masih susah. Lantas dokterkah yang dipersalahkan ketika kondisi ini menyebabkan penyakit kronis yang berujung pada tingginya angka rujukan? Faktor kedua, perilaku manusia. Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan lengkap yang tanpa disertai perubahan perilaku manusia, akan sia-sia. Meningkatnya insiden penyakit metabolik seperti diabetes, stroke, dan penyakit jantung koroner disebabkan karena gaya hidup yang tidak sehat. Gaya hidup seperti makan makanan berlemak, merokok, minum alkohol, jarang berolahraga akan memicu penyakit metabolik kronis yang berujung pada rujukan ke rumah sakit yang memiliki fasilitas terapi penyakit metabolik itu. Faktor ketiga, pelayanan kesehatan. Setinggi apapun kompetensi dokter, tetap tidak akan bisa menangani penyakit yang jadi bidang keahliannya jika fasilitas dan obat tidak tersedia. Sudahkah kita melihat kondisi sarana dan prasarana kesehatan di Puskesmas atau fasilitas kesehatan layanan primer? Apakah alat kesehatan dan obat-obatan sudah tersedia lengkap sehingga dokter tidak perlu merujuk? Fakta menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan belum terdistribusinya dokter di Indonesia secara merata. Masih banyak Puskesmas belum memiliki dokter. Kekosongan Puskesmas ini yang semestinya menjadi prioritas pemerintah. Dibandingkan menyekolahkan dokter umum untuk mengikuti DLP, alangkah baiknya pemerintah memfasilitasi dan menjamin agar kekosongan ini dapat teratasi. Faktor keempat, faktor genetik. Faktor ini paling kecil perannya dibandingkan ketiga faktor lainnya. Namun bisa kita cermati lebih lanjut. Anak yang lahir dari orangtua penderita kanker memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker dibandingkan anak yang lahir dari orang tua bukan penderita kanker. Walau hal in dapat diminimalisasi dengan melakukan pola hidup sehat dan deteksi kanker secara dini. Semakin
banyak penduduk memiliki penyakit bawaan akan semakin sulit pula upaya meningkatkan kualitas kesehatan di Indonesia. SOLUSI SELAIN DLP Pemerintah mengatakan, perbedaan dokter umum dan DLP adalah DLP memiliki kompetensi lebih dibandingkan dokter umum, karena nantinya DLP akan dibekali pendidikan tambahan berupa dokter keluarga dan kesehatan masyarakat. Hodgetss dan Cascio membagi dua pelayanan kesehatan, yaitu pelayanan kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan perorangan, dimana pelayanan kesehatan masyarakat dilaksanakan oleh ahli kesehatan masyarakat dengan perhatian utama pada upaya memelihara kesehatan rakyat dan mencegah penyakit. Lantas, mengapa kita tidak bekerjasama dengan teman-teman dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) untuk memperkuat layanan primer? Untuk apa pemerintah membuka FKM jika para tenaga kesehatan tidak bersatu memperkuat layanan primer? Dokter dan ahli kesehatan masyarakat serta tenaga kesehatan lain dapat bahu-membahu meningkatkan derajat kesehatan masyarat di level primer. Memperkuat kompetensi dokter di layanan primer adalah keharusan. Pemerintah perlu melihat masalah ini dari hulu hingga hilir. FK sebagai “pabrik” dokter umum ini kondisinya masih belum merata. Hanya 22,6% FK yang terakreditasi A. Sisanya masih B dan C (KKI dan BAN PT 2016). Bukannya malah berupaya meningkatkan kualitas FK yang ada, Kemenristek Dikti malah membuka moratorium dan mendirikan delapan FK baru tahun ini. Pemerintah perlu berkomitmen untuk lebih serius dalam meningkatkan kualitas, bukannya malah fokus pada kuantitas dalam pengembangan pendidikan kedokteran. Fakultas Kedokteran yang baik tentu akan menghasilkan dokter yang baik dan kompeten pula. IDI membawa usulan lebih realistis. Indonesia ini luas dan sangat beragam, hingga kebutuhan kompetensi dokter juga belum
“seragam”. Misalnya DLP yang bekerja di daerah industri membutuhkan keterampilan berbeda dengan yang bekerja di daerah pesisir/pedalaman. Akan lebih realistis bila peningkatan kompetensi dokter yang bekerja di layanan primer menimba keterampilan dengan sistem “shopping” di Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) sesuai kebutuhannya. Disini, jelas penguatan P2KB lebih realistis. Semua solusi sudah tersedia, tinggal menunggu komitmen pemerintah. Ada pepatah yang mengatakan: “Di setengah kehidupan kita mengorbankan kesehatan untuk mendapatkan uang. Di setengah lainnya kita mengorbankan uang untuk mendapatkan kembali kesehatan.” Tentu pembangunan infrastruktur itu penting, tetapi jangan lupa untuk juga membangun manusianya. (*) Editor: Bambang Bes
Sang Inspirator Zaman “Ketika kau ingin menjadi orang besar, maka milikilah panutan dan teladan yang berkepribadian besar” (Hikmah) Sungguh setiap manusia akan binasa, kecuali mereka yang berilmu. Setiap yang berilmu pun akan tiada, kecuali mereka yang beramal. Dan, setiap yang beramal pun juga akan binasa kecuali mereka yang ikhlas. Begitu banyak manusia, namun sedikit yang mau berjuang dan melakukan perubahan serta pengorbanan. Dari yang sedikitnya tadi, ternyata lebih sedikit lagi yang bersabar dan istiqomah. Dari sedikitnya yang istiqomah itu, lebih sedikit lagi yang memperoleh dan menghasilkan karya nyata.
Itulah sedikitnya sosok pahlawan. Mereka terus berkarya dan bekerja walau tak pernah diliput media. Tidak tinggi hati ketika dipuji, dan tidak pula rendah diri ketika dicaci dan dimaki. Segalanya, jiwa, raga, dan harta terus dikorbankan untuk terus meraih kemerdekaan dan kesejahteraan serta mengisinya dengan penuh kebaikan. Bukan jabatan, uang, pujian atau pun yang lain yang ia butuhkan, tetapi hanya satu yaitu keberkahan, maka pantaslah namanya terkenang sepanjang zaman. Ketika kau ingin menjadi orang besar, maka milikilah panutan dan teladan yang berkepribadian besar. Mereka semua pada awalnya sama dengan kita. Terus belajar dan mencoba, bahkan tak jarang juga yang melakukan kesalahan. Namun satu yang menjadi pedoman, yaitu mereka dibimbing oleh ayat-ayat Tuhan yang seolah tertanam di dalam dada. Mereka hadirkan Tuhan selalu di aktivitas kegiatannya, sehingga sumber motivasinya bukanlah dari pujian, uang, dorongan dari orang lain, tapi kekuatannya dari Sang Pemilik Kehidupan. Mereka
menolong
dan
mengasihi
orang
sebagaimana
Tuhan
mengasihi dan memberi. Ia pun sabar akan cobaan sebagaimana sabarnya Tuhan dengan mengahadapi insan. Ia pun dengan mudahnya memaafkan sebagaimana Tuhan mengampuni dosa dan kesalahan yang dimaafkan. Mereka berusaha dan terus mencoba melakukan kebaikan, karena mereka sadar dalam kebaikan, disitulah Tuhan berada. Bukan saatnya hanya mencari teladan, tapi cobalah jadi teladan dan inspirator terbaik. Ketauhilah, dari sekian banyak manusia, ada manusia-manusia terbaik didalamnya, yang seolah menjadi bintang-bintang ditengah kegelapan. Merekalah yang paling baik akhlaknya dan terbaik pula kebermanfaatannya. Hidupnya penuh dengan pengabdian. Semakin ia bertambah kaya, semakin pula ia bertambah dermawan. Semakin ia terkenal dan populer, semakin pula ia menjadi teladan. Semakin tinggi
jabatannya, semakin pula ia tambah amanahnya. Semakin luas dan dalam ilmunya, semakin besar pula rasa takutnya kepada Tuhannya. Merekalah para permata surga yang terlahir di dunia. Menawan akhlaknya, suci jiwanya, bersih hatinya, kuat akidahnya, khusyuk ibadahnya, cerdas dan terbuka pemikirannya. Luas ilmunya, brilian ide-idenya, mulia akhlaknya, teduh parasnya, santun ucapannya, soleh-soleha gelarnya, dzikir diamnya, nasihat ucapannya, pengabdian gerak-geriknya, dan petuah bijak kalimatnya serta segalanya pun jadi ibadah. Ketika susah, sabar perilakunya. Ketika dapat nikmat, syukur tak lupa acuannya. Segalanya dipandang dengan positif pikirannya. Bukan menyalahkan atau mengambinghitamkan pihak lain, namun mengevaluasi diri terhadap apa kesalahan yang telah dilakukan. Tengoklah kisah para teladan dan orang-orang besar dunia. Lihatlah kisah Muhammad bin Abdullah, Isa bin Maryam, Nuh, Ibrahim, Musa, Yusuf, Abu Bakar, Umar bin Khattab, hingga Sir Izac Newton, Albert Einstein, Thomas Alfa Edison, ataupun yang lainnya yang mengubah dan mewarnai dunia. Tiap hari mereka dicaci dan dilempari. Bodoh dan gila itulah gelar yang disandangnya dari yang membenci. Tak jarang pula mereka dikucilkan, diasingkan, bahkan diusir dari kampung halaman. Padahal satu yang dibawanya: yaitu kebenaran dan kebaikan. Tak ada hal yang disesali, karena ia yakin semua atas izin Illahi. Ketika satu pintu tertutup, pasti ada pintu lain yang telah terbuka. Mimpinya bukan tuk pribadi, tapi untuk kemaslahatan negeri. Seolah selalu iri diri ini ketika melihat mereka yang mampu menjadi pribadi sekelas itu. Seolah itulah yang menjadi makanan dan sumber energinya. Saya pun selalu berdoa dan mendo’akan Anda semua, semoga suatu saat bisa menjadi manusia sekualitas itu dan bukan lagi mencari
teladan, tetapi menjadi teladan yang dikenang sepanjang zaman. (*) Editor: Bambang Bes