ELEGI SEORA G TURIS: I TERKULTURALITAS PUISI-PUISI D. ZAWAWI IMRO DALAM REFREI DI SUDUT DAM THE TOURIST’S ELEGY: I TERCULTURALITY I THE POETRY BY D. ZAWAWI IMRO E TITLE REFREI DI SUDUT DAM Abimardha Kurniawan Universitas Indonesia Jalan Lingkar Kampus, Beji, Depok, Jawa Barat Ponsel: 085655445662 Pos-el:
[email protected] (Makalah diterima tanggal 30 Januari 2015—Disetujui tanggal 16 April 2015) Abstrak: Festival sastra tahunan Winternachten telah membawa penyair terkemuka Indonesia, D. Zawawi Imron, menjalani kontak dengan budaya di Negeri Belanda. Ia mendokumentasikannya melalui puisi-puisi yang terkumpul dalam Refrein di Sudut Dam (2003). Melalui puisi-puisi tersebut kita bisa mengamati bagaimana komunikasi interkultural terjadi. Sebagai subjek puisi-puisi tersebut, yang direpresentasikan sebagai “Aku” dalam teks, sang penyair memaknai dan menilai praktik budaya yang ia temui di luar lokus budayanya. Tindak pemaknaannya dipengaruhi oleh memori kolektif orang Indonesia tentang kolonialisasi Belanda maupun konstruksi identitasnya sebagai Muslim, orang Indonesia, dan Madura. Ia juga mengalami keterkejutan budaya dalam kontak budaya tersebut. Untuk mengantisipasi kondisi itu, ia punya strategi adaptasi. Akan tetapi jika strategi itu gagal, maka ia memilih kembali kepada “budaya-ibu” miliknya. Ia punya banyak pilihan untuk kembali karena ia hanyalah seorang turis yang pergi mengunjungi negeri asing. Kata Kunci: puisi, komunikasi interkultural, adaptasi, turisme. Abstract: The annual literatur festival named Winternachten brought the fame Indonesian poet D. Zawawi Imron making contact with cultural things in the etherlands. He documented his cultural contact through poems that collected in anthology Refrein di Sudut Dam (2003). By those poems we can see how the intercultural communication had been. As subject of those poems, who represented by “Aku” within texts, the poet interpreted to make an assessment of the cultural practices which founded by him on the outside of his cultural locus. His interpretations act had influenced by Indonesian collective memories about Dutch colonization and also his identity construction as Moslem, Indonesian and Madura people. He also got any cultural shocks for his cultural contact. The anticipation to its condition was the strategies of adaptation. But if those strategies were failing, he had chosen to return to his mother-culture at all. He had many options to return because he just a tourist who went to visit the foreign country. Keywords: poetry, intercultural communication, adaptation, tourism.
PE DAHULUA
Bulan Januari tahun 2002, Zawawi Imron (selanjutnya ZI) mendapat undangan untuk menghadiri acara Winternachten1 di Negeri Belanda. 1
Winternachten merupakan festival sastra tahunan berskala internasional yang diselenggarakan pada musim dingin dan bertempat di beberapa kota di egeri Belanda.
Selama tiga belas hari, ZI mengaku tidak hanya terkonsentrasi pada acara tersebut. Ia masih terlibat dalam proses kreatif untuk menulis puisi. Tiga puluh puisi berhasil ditulisnya selama di Negeri Belanda. Puisi-puisi tersebut lantas dikumpulkan dan terbit tahun 2003 sebagai antologi Refrein di Sudut Dam (selanjutnya RSD). Antologi tersebut memuat seratus
1
BÉBASAN, Vol. 2, No. 1, edisi Juni 2015: 1—14
puisi, namun ZI (2003:vi) mengaku bahwa puisi-puisi lainnya ditulis setelah pulang ke Indonesia, kendati tetap “lahir dari kehangatan dan angan-angan yang ia dapatkan di Negeri Belanda”. Sayangnya, tidak dapat diketahui puisi-puisi mana yang benar-benar ditulis di Negeri Belanda. Setiap puisi tidak disertai keterangan lokasi serta titimangsa penggubahan.2 Kendati demikian, satu hal yang jelas, yakni ZI telah bermigrasi. Puisi-puisi yang terkumpul dalam RSD merupakan wujud reaksi atas pengalaman-pengalaman sosialnya dalam dua lokus budaya yang berbeda. Sebagai individu, ZI punya latar belakang budaya yang membentuk sudut-pandangnya dalam memaknai segala fenomena sosial yang ditemuinya. Terkait dengan hal itu, Jandt (2004:65—6) berpendapat: “In a similar way, cultures affect how people perceive the world. Everyone is able to sense the world in the same way, but cultures teach us how to process and understand the information obtained from our senses” (Dalam cara yang sama, budaya memengaruhi bagaimana seseorang memersepsikan dunia. Setiap orang mampu untuk merasakan dunia dalam cara yang sama, tetapi budaya mengajarkan kita bagaimana
memproses dan memahami informasi yang diperoleh dari indera kita).
Dengan demikian, puisi-puisi dalam RSD merupakan produk interkultur yang melibatkan satu sudut pandang individu untuk dua lokus budaya. Berangkat dari latar belakang itulah, permasalahan dan fokus penelitian ini tertuju kepada pengalaman-pengalaman interkultural ZI ketika berinteraksi dengan renik budaya di negeri yang dikunjunginya. Tulisan ini bertujuan untuk memaknai proses interkultural yang tergambar dalam teks-teks puisi ZI serta faktor apa yang memicunya. Sejauh ini, belum banyak kajian yang mengambil objek RSD. Penelitian mutakhir pernah dilakukan Gevey (2011). Gevey melihat bahwa puisi-puisi dalam RSD ibarat catatan perjalanan yang mengungkapkan sikap kritis terhadap masyarakat di sekeliling penyair, selain sebagai ungkapan perasaan penyair terhadap sejarah kolonialisme Belanda di Nusantara. Gejala semacam itu memang nampak dalam RSD. Akan tetapi, semua itu bermula dari problem interkultural dan sudut pandang budaya. Dua hal itulah, menurut hemat penulis, yang perlu mendapat tekanan. Ketika puisi terlontar sebagai kritik, artinya ada “ketidakseimbangan” yang dilihat penyair. KAJIA TEORI
2
Melalui keterangan lokasi dan titimangsa, pembaca bisa mengetahui konteks penggubahan sebuah teks puisi. Khusus dalam RSD, pembaca bisa menebak lokasi penggubahan puisi melalui judul maupun diksi yang menggunakan toponimi beberapa tempat di egeri Belanda. Untuk titimangsa, pembaca bisa berpegang pada rentang tahun 2002—2003, yakni antara kunjungan Zawawi ke egeri Belanda hingga terbitnya RSD. Lazimnya dalam suatu penelitian, baik lokasi maupun titimangsa memang bukan prioritas. Dua hal itu hanya sarana bantu.
2
Interkultural merupakan proses bagaimana suatu budaya dipahami, dinilai, diterima atau ditolak dalam satu perspektif dan tindakan budaya yang berbeda. Oleh karena prespektif serta tindakan interkultural yang dimaksud berada dalam domain sastra, maka prosesnya mengerucut pada praktik penulisan karya sastra. Proses interkultural yang berlangsung,
Elegi Seorang Turis: … (Abimardha Kurniawan)
menurut Salam (2011:41—2), mengarah kepada serta menjadi suatu bentuk kehidupan lain yang berbeda dari bentuk kehidupan nyata dan empiris. Proses interkultural tersebut terjadi di wilayah fiksi, sehingga disebut “imajinasi interkultur” yang kehadirannya selalu dilingkupi konteks, formasi diskursif ataupun peristiwa-peristiwa sosial yang mengkondisikan keberadaan karya sastra. Lebih lanjut, Salam (2011:42) menjelaskan bahwa proses interkultural dalam karya sastra bisa dilihat melalui beberapa lingkup, antara lain: 1. Pengarang. Sebagai manusia, bisa diasumsikan bahwa diri pengarang merupakan hasil dari proses panjang interkulturalisasi. Karya yang dihasilkannya, secara langsung maupun tidak, juga merupakan produk interkultural. 2. Teks karya sastra. Sebagai suatu yang mandiri, teks karya sastra punya gambaran tentang proses interkultural jika di dalamnya beberapa budaya yang berbeda diposisikan, dikelola, dinilai dan dinarasikan. Indikasinya adalah munculnya tokoh-tokoh dari latar budaya yang berbeda dan membangun interaksi dalam narasi dan fakta cerita. Dari sini akan bisa diketahui bagaimana dua atau beberapa budaya dipertemukan untuk saling mengisi ataupun saling menentang. 3. Latar sosial. Karya sastra bisa juga dianggap sebagai teks yang lahir akibat persentuhan antarbudaya, yakni antara pengarang dan budaya tertentu. Cara pandang, narasi dan artikulasi adalah masalah yang perlu dikaji untuk mengetahui bagaimana suatu budaya (yang berbeda
budaya pengarang) dipahami dan dinilai karena karya sastra menjadi wadah negosiasi antara beberapa budaya. 4. Pembaca. Mekanisme hubungan antara sastra dan interkulturalisme terbentuk melalui upaya penafsiran teks karya sastra dalam perspektif budaya penafsir. Keempat poin di atas sejalan dengan empat orientasi kritik sastra yang pernah dirumuskan Abrams (1976), namun perspektif interkultural dalam karya sastra memiliki spesifikasi. Fokus kajiannya adalah interaksi beberapa budaya. Baik itu dalam lingkup pengarang, fakta-fakta tekstual karya sastra, gambaran sosial masyarakat ataupun pembaca. Disamping itu, karya sastra merupakan hasil pemaknaan seorang pengarang terhadap hidup dan lingkungannya. Oleh karena itulah, pemaknaan terhadap karya sastra ibarat “pemaknaan di atas pemaknaan” (Salam, 2011:49). Pada tataran analisis, orientasi pemaknaan bisa mengambil salah satu dari empat lingkup di atas. Akan tetapi, untuk memperoleh kemungkinan gambaran yang lebih utuh dan komprehensif tentang proses interkultural yang terjadi dan tersirat dalam teks, keempatnya perlu dilibatkan. Pengkajian teks karya sastra dalam perspektif interkultural tidak sebatas menyampaikan deskripsi berbagai fakta tekstual menyangkut pertemuan atau relasi berbagai budaya yang berimplikasi kepada proses memahami, menilai, menerima atau menolak budaya tertentu. Analisis dengan perspektif interkultural berupaya mencari faktor-faktor yang memengaruhi proses tersebut serta apa atau ke mana tujuannya. Perspektif interkultural berupaya menjelaskan relasi antarbudaya, proses negosiasi,
3
BÉBASAN, Vol. 2, No. 1, edisi Juni 2015: 1—14
faktor apa saja yang memengaruhi relasi dan negosiasi tersebut, juga mengapa hal itu bisa terjadi. Faktorfaktor tersebut mungkin berupa politik, ekonomi, pendidikan, agama, teknologi, seksualitas, tradisi hingga gender. Oleh karena objek yang dibahas adalah puisi, salah satu jenis karya sastra yang penuh ketidaklangsungan ekspresi, maka butuh metode khusus untuk memaknainya. Dua metode pembacaan yang diperkenalkan Riffaterre (1978), yakni pembacaan heuristic dan retroactive, akan diterapkan secara simultan terhadap beberapa sampel puisi yang diindikasi punya gambaran proses interkultural yang dimaksud. Setelah melalui pembacaan pada tataran teks (mikro), analisis dilanjutkan ke tataran makro guna mencapai tujuan tulisan ini. HASIL DAN PEMBAHASAN Memori Kolektif: Penegasan Identitas Kontak antara ZI dengan segala renik budaya di Negeri Belanda melibatkan memori tentang kolonialisme. Sungguh sulit melepaskan diri dari memori kolektif yang menjadi titik tolak pandangan serta penilaiannya terhadap negeri yang pernah menjajah tanah nenek moyangnya. Memori kolektif adalah wujud konsensus. Memori kolektif juga merupakan distribusi kepercayaan, perasaan, penilaian moral dan pengetahuan tentang masa lampau dalam masyarakat. Suatu individu tidak bisa mengetahui masa lampau seorang diri, kecuali secara kolektif melalui pengetahuan yang disampaikan para pendahulu mereka (Schwartz, 2007:588). Baik individu maupun masyarakat kolektifnya, tidak pernah memiliki pengalaman empiris.
4
Menilik biografi ZI, tidak bisa dipastikan bahwa ia mengalami sendiri proses kolonialisasi Belanda di kepulauan Nusantara. ZI lahir di ujung timur Pulau Madura pertengahan dekade 1940-an3, pada masa-masa akhir kolonialisme di Indonesia. Dalam beberapa puisi, terdapat diksi yang merepresentasikan bahwa proses kolonialisasi dialami bukan oleh penyair, melainkan para pendahulunya. Sebagai contoh adalah diksi “nenek/kakekmoyang” yang digunakan secara produktif. Dalam “Topeng Slendro”, misalnya, Negeri Belanda disebut ‘negeri musuh nenek moyangku’ (Imron, 2003:41; cetak tebal dari penulis), atau dalam “Percakapan tak Enak” melalui ungkapan si “aku”: “Moyangmu dulu lebih tiga abad menempati tanahku, dan/melakukan segala yang tidak kumau” (Imron, 2003:92), atau juga puisi “Mencari Multatuli”: “Rangkasbitung,Ibukota Penderitaan Kakekmoyang Kami” (Imron, 2003:33). Penggunaan istilah “kakek/nenekmoyang” sebagai figur 3
Seperti rata-rata orang segenerasi Zawawi maupun sebelumnya, tradisi pencatatan tanggal lahir tidak menjadi hal yang wajib dilakukan. Kapan persisnya tanggal lahir Zawawi tidak diketahui pasti, bahwa oleh Zawawi sendiri. Hal itu terungkap dalam transkripsi wawancara antara Abdul Wachid B.S dengan sang penyair yang terlampir dalam buku Bantalku Ombak Selimutku Angin: Empat Kumpulan Sajak 1963—1995 (Zawawi Imron, 2000: 141—155). Akan tetapi, dalam bagian “Biografi Singkat” buku Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang, Jilid 4 yang disunting Pamusuk Eneste (2009: 261) disebutkan bahwa Zawawi lahir pada tanggal 14 September 1946. Dalam buku Madura, Akulah Darahmu, juga disebutkan bahwa tahun kelahiran sang penyair adalah 1946 (Zawawi Imron, 1999: 121). Dengan demikian, tahun 1946 dijadikan landasan pemahaman tentang kapan sang penyair lahir.
Elegi Seorang Turis: … (Abimardha Kurniawan)
masa lampau, tidak berarti ada keterikatan genealogi langsung dengan si Aku. enek/kakekmoyang bukanlah figur yang jelas teridentifikasi ataupun bisa dirunut silsilahnya. Nenek/kakekmoyang berfungsi sebagai simbol kolektif. Konsekuensi atas penggunaannya adalah si Aku bergeser dari dimensi individu ke dimensi kolektif. Hal itu, misalnya, tercermin dari penggunaan sufiks “– ku” (individu) yang digeser jadi pronomina “kami” (kolektif).4 Si Aku memahami posisinya di dalam sejarah masyarakatnya. Si Aku juga melegitimasi identitasnya sebagai keturunan bangsa terjajah. Batas-batas etnis sudah lebur dalam hal ini. Lantas, dari mana si Aku memperoleh pengetahuan tentang penderitaan nenek/kakekmoyangnya? Jawabnya: dari kolektivitas itu sendiri, terutama dari wacana sejarah yang diresepsi si Aku atau penyairnya. Akan sangat mudah menemukan wacana kolonialisme Belanda di Indonesia dalam buku pelajaran sejarah di sekolah. Wacana tersebut terus di(re)produksi (tanpa penilaian kritis yang seksama) hingga kemudian tertanam dan menjadi konsesus di kalangan masyarakat Indonesia pascakolonial. Wacanawacana tentang, misalnya, tiga 4
Dalam kasus ini, yang dipilih bukan pronomina “kita”, melainkan “kami”. Pronominal “kami” memberi kesan kolektifeksklusif daripada “kita” (lihat Alwi dkk., 2000: 249). Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alwi dkk., 2007) memberi penjelasan tentang perbedaan kedua pronomina tersebut. Jika “kami”: yang berbicara/menulis bersama orang lain yang tidak termasuk lawan bicara (Alwi dkk., 2007: 497 s.v. kami), maka “kita” termasuk juga lawan bicaranya (Alwi dkk., 2007: 573 s.v. kita). Artinya jelas, pemilihan pronomina “kami” menegaskan identitas kolektif si Aku yang bukan bagian dari kolektif masyarakat yang pernah menjajah tanah airnya.
setengah abad kolonialisasi Belanda di Indonesia5 (puisi “Percakapan tak Enak”), kerja rodi pembangunan jalan pos Anyer-Panarukan yang diprakarsai Daendels (puisi “ Di Simpang Jalan”), memberi peluang bagi subjek untuk merekonstruksi identitasnya dalam relasi antara “budaya mantan jajahan” dan “budaya mantan penjajah” yang saling beroposisi dalam konteks kekinian, tepatnya dalam lingkup zaman ketika puisi-puisi ZI diciptakan. Mengingat puisi-puisi dalam RSD cenderung bercorak lirik yang menegaskan pandangan subjektif si Aku, pengoperasian relasi oposisional tersebut hanya terjadi dalam satu sudut pandang saja, yakni sudut pandang si Aku yang merepresentasikan “budaya mantan jajahan”. Hal itu berpengaruh pada pemaknaan dan penilaian subjektif si Aku terhadap budaya Belanda (budaya mantan penjajah) di 5
Wacana tentang 350 tahun kolonialisasi Belanda mulai masuk ke dalam kanon sejarah bangsa Indonesia semenjak diangkat Presiden Soekarno dalam pidato kenegaraan memperingati satu tahun proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1946 (lihat transkripsi pidato dalam Said, tanpa tahun: 1421—7). Wacana tersebut lantas menjadi mitos yang menjadi tulang punggung untuk menumbuhkan sikap antiimperialisme sekaligus anti-Belanda pada masa revolusi fisik pasca proklamasi 1945. Mitos itu masih dianut, dimasukkan dalam kurikulum pengajaran sejarah di sekolahsekolah, bahkan hingga saat ini. Sanggahan kritis pernah dilontarkan Resink (1968), bahwa durasi kolonialisasi Belanda di Indonesia tidak dihitung sejak kedatangan Cornelis de Houtman di abad XVII. Sampai tahun 1870 masih ada negeri-negeri yang merdeka dan berdaulat di kepulauan usantara. Wacana 350 kolonialisasi Belanda menandai terkesan pars pro toto dengan menempatkan kolonialisasi Belanda di Jawa pada abad XIX selain digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda sendiri sebagai legitimasi historis untuk mempertahankan kekuasaannya.
5
BÉBASAN, Vol. 2, No. 1, edisi Juni 2015: 1—14
masa kini. Pemaknaan dan penilaian itu, misalnya, terungkap pada bait ke-3 dan ke-4 puisi ‘Di Simpang Jalan’ berikut: Masih di simpang jalan Aku tegak tapi tak menghitung lada dan pala yang dulu diangkut ke mari
mampu
Kemegahan ini mungkin hanya kekosongan Saat seorang profesor berteori yang kudengar hanya kebohongan (Imron, 2003:20)
Kemegahan aset budaya bangsa Belanda dalam pandangan si Aku hanyalah kekosongan semata. Semua itu dibangun dengan hasil “jarahan” berupa “lada dan pala” yang merupakan simbol komoditas dagang paling menguntungkan dari tanah jajahan. Demi “lada dan pala” pula, Gubernur Jenderal van den Bosch menggagas Cultuurstelsel (Sistem Budidaya) di tahun 1830-an, yang oleh Jan Breman, pakar sosiologi pedesaan berkebangsaan Belanda, lebih tepat disebut gedwongen coffieteelt atau Tanam Paksa, istilah yang lazim dipakai bangsa Indonesia. Sejarawan konservatif, Cees Fasseur, sebagaimana dikutip Wibisono (2011), menyebut bahwa dengan laba penjualan komoditas cultuurstelsel, yang kemudian disebut Indische baten (keuntungan Hindia), Belanda bisa membangun jaringan kereta api, dua jalan air yang penting (Noordzeekanaal dan de Nieuwe Waterweg), mungkin juga 6 membangun kemegahan lain. Ada 6
Cuulturstelsel pada mulanya bertujuan untuk menutup masalah finansial yang melilit kas egeri Belanda di paroh pertama abad XIX. Kas negara tersedot habis untuk biaya militer menhadapi perang apoleon, perang Belanda-Belgia, serta pemberontakan di
6
sentimen budaya yang timbul dari proses pemaknaan dan penilaian interkultural. Si Aku merasa iri melihat kemegahan negeri mantan penjajah yang tidak ia temui di negeri sendiri. Kemegahan itu sejatinya hanyalah hutang sejarah pihak kolonial. Konflik semacam ini nantinya berimbas pula pada siapa yang patut didudukkan sebagi pahlawan. Antara mantan penjajah dan mantan terjajah punya versi masing-masing, bahkan saling beroposisi. Sekali lagi, masingmasing pihak memiliki konsensus. Konsensus itu terbentuk melalui apa yang disebut Schwartz (2007:589) “sejarah dan perayaan”, yakni sebuah mekanisme tentang bagaimana wacana sejarah melengkapi perayaan (apakah itu dalam peringatan-peringatan hari besar nasional, pengajaran sejarah, monumen, atau yang lain) serta bagaimana simbolisme perayaan itu mendefinisikan kepentingan sejarah. Ujung dari mekanisme itu terungkap, misalnya, dalam baris terakhir puisi ‘Refrein Sejarah’: “Di sini yang kita anggap perampok dipandang sangat berjasa” (Imron, 2003:31), serta puisi ‘Sebuah Monumen’: tanah jajahan, khususnya pemberontakan Dipanagara di Jawa (1825—1830). Banyak hutang serta beban bunganya yang harus dilunasi pemerintah Kerajaan Belanda saat itu. Dengan cultuurstelsel semua masalah finansial itu dapat diatasi dalam waktu relatif singkat. Pada tahun 1831, neraca anggaran Belanda telah seimbang, hutang-hutang lama VOC telah dilunasi, namun cuulturstelsel masih tetap dijalankan. Sepanjang tahun 1831—1877, Belanda telah menerima pemasukan sebesar 832 juta gulden. Dengan pemasukan sebesar itu perekonomian egeri Belanda menjadi stabil, pembangunan infrastruktur dalam negeri bisa dijalankan , serta beberapa urusan di negeri jajahan bisa diatasi. Inilah yang dimaksud dengan Indische baten. Jawa menghasilkan surplus anggaran walau dengan jalan paska (lihat Ricklefs, 1994:182—8; Kartodirdjo dkk., 1977:1—14)
Elegi Seorang Turis: … (Abimardha Kurniawan)
Orang-orang banyak percaya pada monumen Patung pahlawan, katanya. Apa betul? Bagiku hanya seorang pengamen yang sedang menyiapkan airmata darah (Imron, 2003:59)
Keterkejutan Budaya Kontak antara si Aku dengan budaya di Negeri Belanda memunculkan efek psikologis yang spesifik, yakni “keterkejutan budaya” (cultural shock). Oberg (1960 dalam Yusuf, 1991:31), antropolog yang pemperkenalkan istilah tersebut, menyebutkan bahwa keterkejutan budaya memiliki enam aspek, antara lain (1) ketegangan akibat kebutuhan adaptasi psikologis; (2) merasa hilang dari perhatian teman, status, profesi dan hak milik; (3) merasa ditolak oleh anggota kebudayaan yang baru; (4) bingung dalam peran, harapan, nilainilai, rasa dan identitas diri; (5) terguncang, cemas dan merasa benci setelah menyadari perbedaan budaya; dan akhirnya (6) impotensi perasaan akibat ketidakmampuan mengatasi lingkungan baru. Keenam aspek tersebut mungkin tidak terjadi secara serempak atau kesemuanya dalam diri Aku. Mungkin dalam sebuah situasi yang spesifik, si Aku mengalami salah satunya. Atau mungkin juga salah satu aspek memengaruhi kemunculan aspek yang lain. Puisi ‘Pertama Datang’ menandai awal keterkejutan budaya itu: “Ini bukan dunia lain / yang kesasar tiba di bumi” (Imron, 2003:3). Si Aku memasuki lokus budaya baru. Keterkejutan yang dirasakan beriringan dengan keyakinan bahwa Si Aku bertemu sebuah realitas yang belum pernah dialaminya secara langsung. Ungkapan “Daun-daun
akan segera bersemi / dan menjawab teka-teki matahari //” selanjutnya, merupakan kiasan umum yang menyiratkan harapan si Aku untuk bisa mengenal dan memahami lingkungan fisik maupun budaya di tempatnya berada saat ini. Si Aku menganggap sesuatu yang pertama kali dialaminya ibarat “teka-teki”. Hal itu menandai sikap Si Aku yang siap beradaptasi dengan sesuatu yang masih asing karena ia sadar bahwa masing-masing budaya punya kekhasan, tidak akan sama persis. Dengan begitu, Si Aku berpegang pada pepatah lama: “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” yang dalam puisi ‘Percakapan tak Enak” dimodifikasi menjadi: “Di mana sepatu menapak di situ gedung ku sanjung” (Imron, 2003:92). Itulah landasan etis Si Aku dalam menjalin komunikasi interkultural. Landasan etis itu tidak serta merta mendorong Si Aku menyerap segala yang baru ditemuinya. Si Aku memiliki kerangka acuan untuk mengontrol posisi-keakuan dan menakar batas toleransi-interaktifnya. Ketika Si Aku mengalami budaya yang lebih kosmopolit, kontrol itu juga berjalan, misalnya dalam puisi ‘Ramah Tamah’: “Pada meja yang satu ini ada Belanda, / Indonesia dan Karibia / Bagaimana aku bisa menuangkan cinta / pada sebuah gelas kristal / Tatacara di sini tak pernah kuhapal // Mereka menuang anggur / merah hitam warnanya / Aku menuang air yang jernih / bagai air siwalan muda //” (Imron, 2003:5). Awalnya, Si Aku terasing dari tatacara yang kurang dikenalnya. Ritual minum anggur dan toash dalam pola interaksi kosmopolit merupakan simbol persahabatan. Tapi bagi Si Aku, ritual itu justru memicu dilema.
7
BÉBASAN, Vol. 2, No. 1, edisi Juni 2015: 1—14
Pada satu sisi Si Aku menginginkan persahabatan. Pada sisi lain ia menolak tatacara-simbolisnya karena bertentangan dengan frame kepercayaan yang dianutnya, yakni Islam.7 Si Aku ingin lebur dalam nilai positif yang universal, namun melalui cara yang fleksibel. Sebagai alternatif, Si Aku menuang air putih dengan dalih bahwa air-putihlah “anggur murni / yang belum dicemari warna dan aroma” (Imron, 2003:5). Simbolisme air akhirnya bersubtitusi dengan simbolisme anggur. Dengan begitu, mekanisme adaptasi digerakkan dengan cara yang fleksibel. Strategi itu berhasil untuk kasus ini. Dalam kasus lain, keterkejutan budaya berakhir dengan jalan buntu, tidak terjawab dengan strategi adaptasi. Sebagai contoh, ketika Si Aku dan kawan-kawannya ketinggalan kereta (puisi ‘Terlambat Lima Detik’). Mereka terlambat lima detik dan tidak ada toleransi atas keterlambatan itu. Mereka harus menunggu setengah jam untuk kereta berikutnya (Imron, 2003:39). Disiplin dan kebiasaan semacam itu memang belum pernah ditemui Si Aku di lokus budaya asalnya. Strategi adaptasi tidak memungkinkan karena tidak ada toleransi dalam hal ini, tapi si Aku tetap memilih bersepakat dengan disiplin dan kebiasaan itu.
Akan tetapi, ada pula kondisi keterkejutan budaya yang tidak bisa diselesaikan dengan strategi adaptasi maupun kesepakatan untuk menerima kebiasaan. Si Aku mengambil sikap resisten. Hal itu terlihat dalam puisi ‘Narasi Tulang Rusuk’. Si Aku memilih menghindari praktik prostitusi yang termasyur di Negeri Belanda. Ungkapan “Jangankan untuk mendapat sorga / Masuk neraka pun orang harus membayar mahal” (Imron, 2003:37), menandai proses pemaknaan dan penilaian Si Aku terhadap fenomena tersebut melalui dua standar toleransi, yakni agama (masuk neraka) dan ekonomi (membayar mahal). Mekanisme semacam itu juga terdapat dalam puisi ‘Etalase Tubuh’ dan ‘Sujud di Tepi Amstel’.8 Dalam berinteraksi dengan budaya yang baru dialaminya, ada kalanya Si Aku coba beradaptasi, menjadi partisipan serta mengikuti segala kebiasaan. Sayangnya, proses tersebut sering berjalan hanya sampai beberapa tahap saja dan berhenti secara prematur. Hal ini terjadi dalam kontak Si Aku dengan kuliner di Negeri Belanda. Islam tetap menjadi standar. Si aku memilih yang biasa dan tidak bertentangan dengan standarnya, misalnya kopi (puisi ‘Meeting Point’), jus anggur (puisi ‘Jeda’), minuman sari apel (puisi ‘Meneguk Sari Apel’), maupun cokelat (puisi ‘Coklat’). Semua itu
7
Anggur atau wine tergolong minuman berakohol dan berpotensi memabukkan. Larangan atau cara antisipasi terhadap potensi tersebut termaktub dalam Quran 5:90, “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya arak dan judi dan sembelihan untuk berhala dan undi-undi nasib, adalah kotor dan pekerjaan syaithan. Maka hendaklah kamu jauhi dia, supaya kamu beroleh kejayaan.” (lihat Hamka, 1984 VII: 38). Hukum tersebut kemudian digunakan sebagai standar pemaknaan dan penilaian.
8
8
Apa yang menjadi latar puisi ‘ arasi Tulang Rusuk’, ‘Etalase Tubuh’ dan ‘Sujud di Tepi Amstel’ nampaknya adalah red-light district De Wallen di kota Amsterdam. Di situlah tempat prostitusi menjadi industri dan tubuh menjadi komoditas. Karena begitu masyur ke seluruh dunia, para pelancong menjadikan De Wallen sebagai salah satu destinasi wisata, namun tidak semuanya punya motivasi untuk mengadakan transaksi seksual (lihat Wikipedia, 2015).
Elegi Seorang Turis: … (Abimardha Kurniawan)
memberinya peluang untuk beradaptasi. Proses adaptasi menjadi prematur ketika Si Aku mulai resisten terhadap budaya kuliner yang tidak biasa baginya, terutama bagi lidahnya. Sebagai contoh, saat mencicipi salad Si Aku merasa “lidahnya membantah” karena tiada kecocokan rasa dan selera. Padahal, dalam anggapan orang setempat salad adalah “… makanan kami yang paling cocok / untuk segala musim” alasannya “Selain bergizi / membuat kami tegar berjalan kaki” (puisi ‘Mencicipi Salad’, Imron, 2003:77). Si Aku juga mulai jengah dengan makanan yang rutin dikonsumsinya selama di Negeri Belanda, yakni roti. Kejengahan itu mendorongnya untuk membeli gadogado kendati harganya sangat mahal (puisi ‘Makan Gado-gado’). Dalam puisi bertajuk ‘Makan’, Si Aku mengaku bahwa ia “tidak (pernah) (ber)pura-pura dalam makan” (Imron, 2003:42). Ia lebih memilih sayur tahu dan nasi ketimbang roti. Kembali ke “Ibu” Kegagalan dalam proses adaptasi, terlebih setelah tiada lagi strategi yang memungkinkan, membuat Si Aku kembali ke budaya asal atau “budaya ibu” yang melahirkan dan membentuknya sebagai subjekindividu. Ia kembali kepada simbolsimbol yang akrab, membuat nyaman serta memperkokoh konstruksi identitasnya sebagai orang Islam, Indonesia dan Madura. Kondisi yang tidak nyaman membuatnya terkenang tanah air. Puisi ‘Refrein Hotel’ mengilustrasikan hal itu: Kasur berteriak tiba-tiba mengaku ditiduri buaya Untung, di dinding kamar kulihat repro lukisan kuda Dibawanya aku lari ke tanah Sunda Seruling mendayu
Mengantarkan senyum Bunda (Imron, 2003:6)
Si Aku beruntung karena masih bisa menemukan renik budaya negerinya di negeri mantan penjajah itu. Melihat lukisan tentang alam Hindia yang indah, arca-arca batu dan peninggalan masa silam lainnya (puisi ‘Mooi Indie’), membuat Si Aku serasa pulang kendati sadar bila kondisi negerinya timpang, sering terjadi konflik politik (puisi ‘Slendro Terkenang tanah Air’). Si Aku cenderung berprinsip: lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang, atau “mangan ora mangan ngumpul” dalam pandangan Jawa. Sikap Si Aku berkebalikan dengan seorang “sawo matang” yang ditemuinya di Negeri Belanda (puisi ‘Ketemu di Rantau’). Si “Sawo Matang” juga orang Indonesia, namun merasa terusir dari negeri asalnya. Ia mengalami sendiri konflik sosial di negerinya karena merasa berada dalam pusaran konflik itu hingga akhirnya tersegregasi dari masyarakat. Konsekuensinya, ia merantu, bermigrasi, beradaptasi dengan budaya di negerinya yang baru karena tuntutan agar ia menemukan “rumah” baru. Sementara Si Aku, yang notabene hanya tamu, punya banyak opsi dalam mekanisme interkultural: menolak dengan ketegasan, mengafirmasi dengan toleran, bahkan kembali ke “budaya ibu”. Setidaknya, ada tiga faktor penyebab hal itu. Pertama, proses adaptasi budaya sangat sulit terjadi dalam durasi yang singkat, mengingat kunjungan ZI ke Negeri Belanda yang hanya tiga belas hari. Perlu pemahaman yang intens serta mendalam bagi subyek lintas budaya terhadap seluk-beluk budaya barunya.
9
BÉBASAN, Vol. 2, No. 1, edisi Juni 2015: 1—14
Ada indikasi bahwa kebutuhan untuk beradaptasi, berafiliasi dan berintegrasi dengan masyarakat di lokus budaya lain belum menjadi sesuatu yang krusial bagi Si Aku. Si Aku hanya sebagai turis. Kedua, Si Aku membutuhkan identitas untuk mempertegas posisinya dalam proses interakasi antarbudaya. Kehadiran Si Aku dalam festival Winternachten yang mempertemukannya dengan individuindividu dari beragam lokus budaya, secara tidak langsung menuntut Si Aku menampilkan kekhasan budaya asalnya. Ilustrasi mengenai hal itu terdapat, misalnya, dalam puisi ‘Teater Den Haag’. Ketika Si Aku ditanya oleh Ide Hintze dari Austria mengenai bunyi “ketipak ketipung” dalam puisinya. Ide bertanya, apakah itu bagian tradisi atau temuan baru. Si Aku menjawab: “Minumku air sumur Darahku campuran lempuyang dan air kencur Hatiku separuh gelombang separuhnya sunyi Sujudku menafsirkan hidup memaknai mati” (Imron, 2003:94)
Bagi Si Aku, kekinian adalah konsekuensi dari tradisi. Tradisi dalam kekinian bisa memberi indentitas yang khas bagi subjek. Ketiga, sebagai individu, Si Aku cenderung konservatif. Sikap konservatif itu ditunjukkan untuk mempertegas posisi Si Aku sebagai anggota komunitas agama, budaya dan sejarah yang spesifik. Dalam puisi ‘Dam’, misalnya, orientasi sikap konservatif itu adalah sejarah. Si Aku menunjukkan posisinya. Di sinilah segi-segi diperbincangkan
10
sejarah
Engkau boleh engkau dan aku tetap aku (Imron, 2003:68)
Hal tersebut mungkin terkait dengan biografi ZI sebagai penyair. ZI punya latar belakang keluarga santri yang taat. Itulah mengapa Islam selalu menjadi kerangka acuannya. ZI juga merupakan model dari masyarakat pedalaman, bukan masyarakat pesisir, kendati punya silsilah keluarga pelaut. Karakter masyarakat pedalaman kurang memiliki dinamika budaya yang beragam. Dinamika budaya cenderung dimiliki masyarakat pesisir yang sering mengalami kontak budaya dengan masyarakat luar (lihat Wertheim, 1999). Di samping itu, ZI adalah salah satu penyair yang memilih tetap tinggal di desa tempat kelahirnannya. Menurutnya, di situlah tempat paling nyaman untuk menulis puisi. ZI memilih untuk tidak bermigrasi. Mungkin, kenyamanan itulah yang ekuivalen dengan sikap konservatifnya. Sebenarnya, ZI cenderung akrab dengan tradisi merantu. Ketika muda, ZI pernah merantau, namun dalam radius tidak teralu jauh dan durasi yang tidak lama. Tahun 1964, misalnya, ZI pernah merantau ke Rogojampi, Banyuwangi, untuk beberapa bulan sebelum kembali lagi ke Madura (Imron, 2009:193). Agaknya tidak perlu ada mekanisme adaptasi yang signifikan karena di wilayah tersebut, khususnya di wilayah Propinsi JawaTimur bagian timur, cukup banyak bermukim etnis Madura.9 Jadi, tidak ada perbedaan 9
Banyuwangi di masa kolonial masuk ke dalam wilayah karesidenan Besuki. Migrasi orang-orang Madura ke wilayah tersebut terkait dengan Cultuurstelsel sekitar tahun 1830-an, khususnya dalam budidaya tanaman tembakau sebagai komoditas ekspor. Petani
Elegi Seorang Turis: … (Abimardha Kurniawan)
budaya yang berarti. Terkait dengan profesinya sebagai penyair atau sastrawan, ZI kerap pergi keluar dari lokus budayanya, namun kondisi itu tidak terlalu berpengaruh, apalagi jika dalam radius yang tidak jauh ataupun durasi yang pendek. Pada akhirnya, bisa dilihat, ZI akan selalu kembali kepada “ibu”: lingkup budaya yang melahirkan dan membentuk subjektifitasnya, sebagaima salah puisinya yang termasyur itu. kalau aku merantau lalu datang musim kemarau sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting hanya mata air airmatamu, ibu, yang tetap lancar mengalir […] ibu adalah gua pertapaanku dan ibulah yang meletakkan aku di sini […] (puisi ‘Ibu’; Imron, 1999:3)
tembakau Madura tergolong berhasil dalam budidaya tersebut, namun sayang, sebagaimana informasi Residen Surabaya saat itu, kondisi geografis Madura kurang memungkinkan. Oleh karena itu, banyak orang Madura didatangkan ke wilayah Besuki yang tanahnya cocok untuk budidaya tembakau. Para migran dari Pulau Madura semakin banyak jumlahnya ketika cuulturstelsel berakhir sekitar tahun 1866 dan tanah-tanah perkebunan diambil alih oleh perusahaan-perusahaan swasta dengan sewa jangka panjang. Para migran Madura tertarik dengan sistem kerja yang tidak terikat di perkebunan-perkebunan swasta tersebut. Seolah-olah mereka memiliki tanah sendiri dan jam kerja yang tidak terikat. Mungkin itulah awal migrasi besar-besaran orangorang Madura ke karesidenan Besuki yang awalnya berpenduduk jarang. Sebagian para migran itu ada yang kembali ke Madura untuk mengembangkan budidaya tembakau sendiri, namun banyak juga di antara mereka yang tetap tinggal hingga saat ini dan tidak pernah kehilangan identitas mereka sebagai orang Madura (lihat Jonge, 1989:148—56; Prayugi, 2012)
SIMPULA
Kunjungan ZI ke Negeri Belanda pada dasarnya hanya menempatkan dirinya sebagai turis, bukan imigran yang ingin menemukan suatu perlindungan dan kenyamanan di tanah harapan. Akan tetapi perlu mendapat perhatian, ZI bukanlah turis yang sekadar turis. ZI adalah pelaku “turisme budaya” (cultural tourism) yang menurut Smith (2007:919): tourism that focuses on cultural attractions and activities as a primary motivating factor for travel (turisme yang memfokuskan diri pada atraksi dan aktivitas budaya sebagai faktor atau motivasi yang utama dalam perjalanannya). Sebenarnya, tidak diketahui persis, apakah ZI memang punya motivasi untuk melihat aktivitas budaya di Negeri Belanda, yang ia niatkan sejak awal sebelum berangkat. Ataukah motivasi dan ketertarikan itu baru hadir ketika tiba dan berada di negeri itu? Jelasnya, ZI juga berniat menulis beberapa puisi sebagai “oleholeh” dari kunjungannya tersebut sebagaimana terungkap di bagian pengantar RSD. Artinya, ZI adalah juga pelaku atas fenomena yang disebut Smith (2007:920) sebagai “turisme kreatif” (creative tourism). Puisi-puisi dalam RSD merepresentasikan pemaknaan dan penilaian interkultural, yang berarti ada kontak antara penyair dengan budaya setempat. Jika ZI menganggap puisi-puisi RSD ibarat “jendela”, tepatnya jendela untuk melihat Negeri Belanda, maka jendela yang dimaksud tentu bukan jendela yang memungkinkan pembaca melihat secara langsung panorama di luarnya, tetapi jendela dengan “tabir kaca” karena puisi-puisi itu lahir sebagai “respons” subjektif penyair atas teksteks budaya yang ditemuinya. Interteks puisi-puisi dalam RSD adalah dunia makro nonsastra meliputi semua
11
BÉBASAN, Vol. 2, No. 1, edisi Juni 2015: 1—14
pengalaman sosial penyair, biografi penyair, dan tidak lupa dunia mikro sastra itu sendiri (cf. Riffaterre, 1978; Teeuw, 1980:4). Kontak budaya yang tergambar melalui puisi-puisi dalam RSD mencuatkan pula rasa kehilangan dalam diri sang turis (baca: penyair). Melihat kemegahan Negeri Belanda melalui memori kolektif bangsanya, maka yang terbayang olehnya adalah penderitaan nenek moyangnya. Tapi ia tidak memilih untuk larut dalam dendam sejarah walau tetap mengutuk segala bentuk kolonialisasi yang berujung kepada dehumanisasi. Keterkejutan budaya serta kegagalan mekanisme adaptasi membawanya ke dalam konflik batin. Apalagi, kunjungan ZI di awal tahun 2002 berlangsung ketika dunia internasional masih dalam suasana penuh curiga terhadap orang-orang Islam akibat peristiwa 11 September 2001. Dengan beridentitas Islam, si penyair agaknya merasa jadi sasaran kecurigaan itu, sebagaimana terungkap dalam puisi ‘Jakarta-Amsterdam, 10 januari 2002’, ‘Refrein Hotel’, dan ‘Percakapan tak Enak’. Akhirnya, dalam beberapa kesempatan, sang turis kehilangan rasa nyaman untuk tinggal pada lokus budaya yang berada jauh dari negerinya. Ia jauh dari segala kenyamanan tanah air dan budaya yang melahirkan identitas dan subjektifitasnya. Puisi-puisi yang digubahnya jadi berkesan lirik-elegis yang mengungkapkan rasa jauh dan kehilangan tersebut.10 Satu dan lain 10
Etimologi istilah elegy mengacu kepada jenis puisi bermetrum elegiac dengan pola baris heksameter dan pentameter secara bergantian. Pada perkembangannya, terminologi elegy mengerucut kepada puisipuisi tentang ratapan dan rasa kehilangan sesuatu yang dicintai. Kecenderungan itu terdapat tradisi puisi Inggris Kuna masa
12
hal yang menjadi penyebabnya adalah gap yang ada selama proses interaksi dan komunikasi interkultural antara sang turis dengan segala aspek budaya yang ditemuinya di Negeri Belanda. Gap tersebut merupakan hasil dari permainan sudut pandang subjektif yang sebenarnya juga memberi suatu individu sebuah peluang untuk merekonstruksi identitas. Gap dalam interaksi dan komunikasi interkultural semacam itu seolah tergambar melalui hubungan antara perempuan dan anjingnya dalam puisi ‘Kisah Seekor Anjing’, di mana si perempuan tidak pernah tahu mengapa si anjing berguling-guling sambil menggigit tali pengikatnya (Imron, 2003:80). Apakah anjing itu bergurau, marah atau ingin bebas? Tidak jelas. Akan tetapi, manusia selalu punya strategi untuk mengatasi gap dalam komunikasi interkultural dan intersubjektif.
DAFTAR PUSTAKA Abrams, M.H. 1976. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. United States of America: Oxford University Press. __________. 1999. Glossary of Literary Terms, Seventh Edition. Boston: Heinle & Heinle. Alwi, Hasan dkk. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Renaisans akhir abad XVI dan awal abad XVII. Model metrum elegiac tidak lagi menjadi syarat (lihat Abrams, 1999:72—3 s.v. elegy).
Elegi Seorang Turis: … (Abimardha Kurniawan)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka. Alwi, Hasan dkk. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka. Gevey, Alexa. 2011. “Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Refrein di Sudut Dam karya D. Zawawi Imron: Tinjauan Semiotik”, skripsi pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBSI, Universitas Kristen Maranatha Bandung (tidak diterbitkan). Hamka. 1984. Tafsir Al-Azhar, Juz’ 7. Jakarta: Pustaka Panjimas. Imron, D Zawawi. 1999. Madura, Akulah Darahmu: Pilihan Sajak 1966—1996. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. ______________. 2000. Bantalku Ombak Selimutku Angin: Empat Kumpulan Sajak 1963—1995. Yogyakarta: Gama Media. ______________. 2003. Refrein di Sudut Dam. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Communication: Identities in a Global Community. Thousand Oaks, London dan New Delhi: Sage Publications. Jonge, Huub de. 1989. Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi dan Islam. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, KITLV dan LIPI. Kartodirdjo, Sartono, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1977. Sejarah asional Indonesia, Jilid V. Jakarta: Balai Pustaka. Prayugi, Ika Hafidiana. 2012. “Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di Karesidenan Besuki Tahun 1830—1870” skripsi pada Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Jember (tidak diterbitkan). Resink, G.J. 1968. Indonesia’s History Between the Myths. The Hague: W van Hoeve Publishers Ltd. Ricklefs, M.C. 1994. Sejarah Indonesia Modern, diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
______________. 2009. “Berpuisi di Tengah Malam”, dalam Pamusuk Eneste (Ed.), Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang, Jilid 4. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington dan London: Indiana University Press.
Jandt, Fred E. 2004. An Introduction to Intercultural
Said, Moch. (tanpa tahun). Pedoman untuk Melaksanakan Amanat
13
BÉBASAN, Vol. 2, No. 1, edisi Juni 2015: 1—14
Studi Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Penderitaan Rakjat, Jilid II. Surabaya: Penerbit Permata. Salam, Aprinus. 2011. “Beberapa Catatan tentang Sastra (Indonesia) dalam Perspektif Interkulturalisme” dalam Aprinus Salam, Henri Chambert Loir dan M. Haji Salleh (Ed.) Jejak Sastra dan Budaya: Prosiding Seminar Internasional Persembahan untuk 70 Tahun Prof. Dr. Siti Chamamah-Soeratno, hal. 41—54. Yogyakarta: Elmatera Publishing. Schwartz, Barry. 2007. “Collective Memory”, dalam George Ritzer (Ed.), The Blackwell Encyclopedia of Sociology, hal. 588—590. Oxford: Blackwell Publishing. Smith,
Melanie. 2007. “Cultural Tourism”, dalam George Ritzer (Ed.), The Blackwell Encyclopedia of Sociology, hal. 919—922. Oxford: Blackwell Publishing. Teeuw, A. 1991. 1980. “Estetik, Semiotik dan Sejarah Sastra”, Basis XXX (1) Oktober 1980, hal. 1—12. Yogyakarta: Yayasan BP Basis.
Wachid, Abdul. 2000. “D. Zawawi Imron: Vitalitas dari Alam” (transkripsi wawancara) dalam Zawawi Imron, Bantalku Ombak Selimutku Angin: Empat Kumpulan Sajak 1963—1995, hal. 141—155. Yogyakarta: Gama Media. Wertheim, W.F. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi:
14
Yusuf,
Yusmar. 1991. Psikologi Antarbudaya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sumber Internet Wibisono, Joss. 2011. “Mitos 350 Tahun Penjajahan”. http://www.majalahhistoria.com/berita-495-mitos350-tahunpenjajahan.html. Diakses pada tanggal 8 Januari 2012. Wikipedia. 2015. “De Wallen”. http://en.wikipedia.org/wiki/De _Wallen. Diakses pada tanggal 10 Januari 2015.