Ekspresi Seni Budaya Islam di Tengah Kemajemukan Masyarakat Banten Huriyudin Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta
[email protected] The article is based on a field study investigated the general map of religious art and culture in Banten, a province on the western tip of the island of Java , known as a strong Islamic identity. Using the theory of concentric circles and approaches the sub- division of Tawheed Art built by Razi Ismail Al-Faruqi, a work of this initial study resulted in interesting findings. Namely, the Banten community, an expression of art and culture has a high degree of heterogeneity, and fills the entire concentric circles. In fact, most of the growing culture of artistic expression in Islamic Banten not show a strong color, especially in the hilly areas and the agricultural community as well as around the coast. Islamic art and culture in Banten are generally found in urban areas and in some areas since the beginning at the center of the spread of Islam. Keywords: expression of art and culture, the concentric circles, the subdivision Artikel yang didasarkan atas kajian lapangan ini mengupas tentang peta umum seni budaya keagamaan di Banten, sebuah provinsi di ujung barat pulau Jawa yang dikenal dengan identitas keislamannya yang kental. Menggunakan teori lingkaran konsentris dan pendekatan sub-divisi tentang Seni Tauhid yang dibangun oleh Ismail Razi Al-Faruqi, tulisan yang merupakan kajian awal ini menghasilkan temuan menarik. Yakni, pada masyarakat Banten, ekspresi seni budaya memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi, dan mengisi seluruh lingkaran konsentris. Bahkan, sebagian besar ekspresi seni budaya yang berkembang di Banten tidak menunjukkan warna keislaman yang kental, terutama di kawasan pegunungan dan masyarakat agraris serta di sekitar pesisir pantai. Seni budaya keislaman di Banten umumnya ditemukan di daerah perkotaan dan di beberapa daerah yang sejak awal menjadi pusat penyebaran Islam. Kata kunci: ekspresi seni budaya, lingkaran konsentris, sub-divisi
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 257 - 296
“Siapa yang mengamati gerak kesenian di Indonesia dengan kacamata kepribadian Indonesia, tak pelak lagi ia akan mengakui betapa merebaknya kesenian sekularisma, menyusup dalam ke dalam tubuh kebudayaan Indonesia. Hal ini tentu tidak akan menjadi perkara, kalaulah kita menghendaki peralihan kepada kepribadian sekularisma. Tetapi manakala bangsa Indonesia berkehendak mempertahankan dan membina Pancasila, kita harus mencari imbangan atau alternatif terhadap seni sekuler itu. Imbangan atau alternatif itu kita temukan dalam pandangan Islam tentang kesenian. Tetapi sayangnya sebagian masyarakat Islam itu sendiri tengah dihanyutkan pula oleh seni sekuler itu. Jangankan akan menegakkan seni Islam, bagaimana pandangan Islam tentang kesenianpun belum lagi dikenal. (Drs. Sidi Gazalba, Pandangan Islam tentang Kesenian, Jakarta: Bulan Bintang, 1977, h. 8). Pendahuluan Mungkin bukan suatu kebetulan kalau aspek seni budaya keagamaan di Indonesia tidak mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah, khususnya Kementerian Agama. Setahu saya, bahkan penelitian dan kajian terhadap aspek artistik dan estetik dalam agama ini belum pernah dilakukan secara serius. Secara struktural memang terdapat salah satu unit di Ditjen Bimas Islam yang membidangi masalah seni budaya, yakni Bagian Tamaddun Islam. Tetapi karena posisi strukturalnya yang rendah, bidang ini tidak dapat berperan secara optimal —selain juga karena tugas dan fungsinya yang spesifik hanya ditujukan bagi komunitas Islam, sehingga tidak mengurusi aspek seni budaya lain yang ada dalam —dan dikembangkan oleh pemeluk agama lain. Akibatnya, pelayanan keagamaan yang diberikan pemerintah kepada umat beragama tidak dilaksanakan secara utuh, karena tidak menjangkau seluruh aspek penting dalam agama. Fenomena ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti anggapan bahwa seni budaya bukan wilayah yang penting dalam agama; adanya pergulatan paham tentang posisi seni dalam agama (khususnya di dunia Islam: ada atau tidak, halal atau haram, maslahat atau mudharat, suara 258
Ekspresi Seni Budaya Islam di Tengah Kemajemukan Masyarakat Banten — Huriyudin
perempuan aurat atau bukan, dan lain-lain); dominannya perhatian terhadap aspek lain (seperti pendidikan, haji, peribadatan, kerukunan dan paham keagamaan, dll.) dalam Islam; tingginya unsur “bukan agama” dalam seni budaya (tradisional-moderen, murni atau sinkretik, dll), dan sebagainya. Padahal, sebagai salah satu aspek keagamaan yang penting, ekspresi seni budaya ini memiliki pengaruh yang tidak kecil terhadap corak kehidupan keagamaan para pemeluknya, karena dimensi ini merupakan salah satu manifestasi paling kongkret dari ekspresi, pemahaman, dan pengalaman keagamaan. Karena itu, tak satu pun agama yang sepi dari ekspresi artistik dan estetik, bahkan di kalangan kelompok yang paling spiritualistik sekalipun --seperti komunitas tarekat dan mistisisme dalam agama. Maka dapat dipahami bila tak satu pun komunitas agama yang tidak memiliki dan mengembangkan aspek seni budaya, sesempit dan seluas apa pun persepsi dan pemahaman para pemeluk agama terhadapnya.1 Sebagai langkah awal ke arah terealisasinya pelayanan agama yang menjangkau seluruh dimensi keagamaan, usaha inventarisasi seni budaya keagamaan merupakan suatu hal yang sangat penting dilakukan. Tetapi dalam prakteknya langkah ini sungguh tidak mudah. Memilah dan memilih seni budaya keagamaan di tengah tumpukan jenis seni budaya yang tidak jelas unsur keagamaannya dan tidak jelas pula unsur “bukan-agama”-nya, ternyata tidak 1
Untuk kajian yang sangat baik tentang fenomena seni budaya Islam di Indonesia, lihat misalnya Choirotun Chisaan, Lesbumi Strategi Politik Kebudayaan, LKiS, Jogjakarta: Cet I, 2008. Fenomena Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia, organisasi seni budaya di bawah Nahdhatul Ulama) menarik dikaji, antara lain karena kehadirannya sebagai antitesis atas tingginya pengaruh Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang berafiliasi kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 60-an, serta semangatnya yang tinggi dalam membongkar ideologi “Seni untuk Seni” (l’art pour l’art). Lesbumi yang dibidani oleh 3 (tiga) tokoh utama, Asrul Sani, Usmar Ismail, dan Jamaluddin Malik, lahir di tengah momen politik dan momen mudaya sekaligus. Dalam momen politik, ia lahir di tengah munculnya Manifesto Politik 1959 oleh Bung Karno dan ideologi Nasakom dalam tata kehidupan sosial-politik. Sementara dalam konteks momen budaya Lesbumi lahir di tengah perlunya advokasi terhadap kelompok-kelompok seni budaya di lingkungan Nahdhiyin dan kebutuhan akan modernisasi seni budaya itu sendiri.
259
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 257 - 296
semudah membuat klasifikasi di atas kertas. Dangdut atau wayang, atau kasidah moderen, misalnya. Menyebut dangdut sebagai senibudaya sekuler jelas tidak salah, terlebih bila menyaksikan goyangan sebagian penyanyinya yang mengumbar syahwat dan mendengar syairnya yang merangsang birahi. Tetapi ketika mendengarkan beberapa syairnya yang mengupas sifat munafik (Ida Laila dan S. Ahmadi), ajakan untuk menghormati ibu dan mempercayai hari kiamat, atau syair L± Il±ha Ilall±h (Rhoma Irama), unsur sekularitas dangdut itu menjadi kabur. Mungkin tak ada yang menyangkal menyebut wayang sebagai jenis kesenian yang tidak berasal –dan tidak menjadi bagian dari—seni budaya Islam; karena dari tokoh-tokoh pewayangannya saja jelas bahwa seni panggung ini berasal dari epos Ramayana dan Mahabharata, dua dari sekian banyak kitab suci utama agama Hindu. Tetapi jika mengetahui bahwa wayang pernah menjadi instrumen dakwah dalam proses Islamisasi di Jawa oleh Sunan Kalijaga dengan efektifitas yang sungguh sangat mencengangkan, kesimpulan itu perlu dipertimbangkan kembali, terlebih dengan melihat kenyataan dari sebagian dalang yang menjadi pelakon utamanya dapat dikatakan “tidak buta agama” –seperti nampak dari kerapnya mengutip ayat atau hadits, atau dari kepiawaiannya mengupas masalah tertentu dalam agama. Sesuai namanya, kasidah secara umum disepakati sebagai salah satu jenis seni budaya Islam, karena instrumen musiknya bernuansa Arab, cara berbusananya yang tertutup rapat, dan syairnya yang mengajak pada spirit keagamaan Islam. Tetapi saat ini tidak sedikit penyanyi kasidah moderen yang mendendangkan syair dangdut berbau mesum dengan goyangan yang tidak kurang hot-nya.2 Lalu, ke dalam kategori mana unsur 2
Secara anekdotal masyarakat pedesaan di kawasan Sukabumi dan sekitarnya menyebut seni kasidah jenis ini sebagai “Dangdut Sirotol” (diambil dari salah satu kata dalam surat al-Fatihah, Ihdin± a¡-¡ir±¯ al-mustaq³m). Dapat diduga, sebutan ini awalnya bernada pejoratif, karena selain mendendangkan lagu padang pasir bernuansa Islam, klub ini juga dapat menyanyikan lagu-lagu dangdut. Sejatinya, Dangdut Sirotol merupakan seni kasidah modern yang beberapa instrumennya sama dengan musik dangdut, seperti gitar, gendang, organ, dan suling. Fenomena “Dangdut Sirotol” ini dengan mudah dapat pula ditemui di kawasan pesisir Jawa, di daerah pinggiran Ibukota (Tangerang,
260
Ekspresi Seni Budaya Islam di Tengah Kemajemukan Masyarakat Banten — Huriyudin
musik ini akan dimasukkan? Itu baru dari sisi seni budaya Islam, dan dengan mengungkap sebagian contoh kecil secara sambil lalu. Belum lagi kita juga harus memilih dan memilah unsur seni budaya keagamaan lain yang bukan Islam, seperti Kristen, Katolik, Hindu, Budhha, dan Konghucu. Sebab di tengah bazaar budaya yang demikian intens, dinamik, dan menjangkau rentang waktu yang panjang, saling pengaruh antar-unsur budaya itu menjadi tak terhindarkan, seperti pada pemakaian alat dan instrumen musik, penggunaan syair, isi pesan yang diusung, tahapan dan proses penampilan, cara berpakaian, dan sebagainya. Instrumen seni tradisi angklung atau tanjidor, misalnya. Instrumen ini sekarang digunakan juga sebagai pengiring kidung jemaat di beberapa gereja, sehingga memasukkannya ke dalam jenis seni budaya agama tertentu menjadi bermasalah; sama bermasalahnya jika tidak dimasukkan ke dalamnya, karena para pegiatnya menyatakan diri sebagai pemeluk agama “resmi” tertentu dan sebagian syairnya memiliki pesan keagamaan tertentu. Lebih dari itu, kajian, inventarisasi dan pemetaan terhadap seni budaya keagamaan di Indonesia mesti dilakukan dengan mempertimbangkan fenomena pergulatan kultural dan politik di panggung sejarah nasional, yakni “Polemik Kebudayaan” pada tahun 1930-an3 dan geger “Manifesto Kebudayaan” tahun 1960-an yang melibatkan segenap budayawan, sastrawan, dan pegiat seni
Bekasi, Bogor, Karawang), dan di Banten. Umumnya seni musik ini dipilih oleh kalangan Muslim santri untuk hiburan dalam pesta perkawinan atau khitanan, karena sikapnya yang tidak simpatik kepada musik dangdut yang penyanyinya tampil seronok. Tetapi, atas pesanan para undangan yang beragam, “Dangdut Dirotol” dapat pula menampilkan lagu-lagu yang biasa dinyanyikan oleh para biduan musik dangdut. 3 Polemik Kebudayaan pada tahun 1930-an terjadi sebagai bagian tak terpisahkan dari usaha para pendiri bangsa dalam menemukan dan membangun jati diri dan identitas bangsa dari sebuah negara yang dicita-citakan merdeka. Perdebatan yang berlangsung sengit, produktif, akademis, dan penuh gairah itu melibatkan tokoh-tokoh penting seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Achdiat K. Mihardja, Muhammad Yamin, dan Ki Hajar Dewantara. Lihat, Achdiat K. Mihardja, Polemik Kebudayaan, Pustaka Jaya, Jakarta, 1986.
261
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 257 - 296
budaya dari berbagai orientasi politik, kultural, dan sosial keagamaan di Indonesia. Dalam sejarah kebudayaan Indonesia moderen, seperti dicatat Choirotun Chisaan (2008, 2-10), ada relasi yang sangat erat antara seni budaya dan politik. Bahkan pada fase tertentu, seni budaya dipandang sebagai produk sebuah proses politik. Fenomena ini dapat ditemukan pada munculnya berbagai lembaga kesenian dan kebudayaan yang berafiliasi dengan partai politik tertentu dalam kurun waktu 1950-1960-an. Pengamatan terhadap fenomena ini menunjukkan bahwa seni budaya telah dimanfaatkan secara ekstensif sebagai alat tindakan politik. Hampir dapat dipastikan bahwa partai-partai politik berbasis massa politik seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Nahdhatul Ulama (NU), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan bahkan beberapa partai kecil seperti Partai Katolik, Partai Indonesia (Parsindo), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) memiliki lembaga seni budayanya masing-masing. Fakta bahwa lembaga seni budaya pada tahun 1950-1960-an memiliki afiliasi politik kepada partai politik tertentu dapat dilihat dari tabel yang diolah dari Chairotun Chisaan (h. 2-3) berikut ini: Tabel 1 Lembaga Seni Budaya dan Afiliasi Partai Politik di Indonesia Tahun 1950-1960-an No 1 2 3
4
262
Lembaga Seni Budaya
Afiliasi Partai Politik
Lembaga Kebudayaan Nasional Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI)
Partai Nasional Indonesia (PNI) Partai Komunis Indonesia (PKI) Nahdhatul Ulama (NU)
Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi)
Ket.
Ekspresi Seni Budaya Islam di Tengah Kemajemukan Masyarakat Banten — Huriyudin
5 6 7
8
Lembaga Kebudayaan Indonesia Katolik (LKIK) Lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbi) Lembaga Kebudayaan dan Seni Muslim Indonesia (Laksmi) Lembaga Kebudayaan dan Seni Islam (Leksi)
Partai Katolik Partai Indonesia (Partindo) Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
Implikasi tak terhindarkan dari afiliasi lembaga seni budaya kepada partai politik adalah bahwa karya seni budaya dari masingmasing lembaga itu dipublikasikan melalui media massa masingmasing partai politik. Dengan kata lain, media massa yang dimiliki, berafiliasi atau bersimpati pada partai politik turut mempromosikan dan mempublikasikan produk-produk kebudayaan lembagalembaga seni budaya partai poltik tersebut. Sebagai contoh, produk Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) melalui Koran Sulindo (Suluh Indonesia) mendukung PNI; produk Lekra melalui Koran Harian Rakyat dan Bintang Timur mendukung PKI; produk Lesbumi melalui Koran Duta Masyarakat mendukung Partai NU; dan sebagainya. Akibat lain yang muncul dari afiliasi ini adalah semaraknya polemik politik dalam domain kebudayaan, yang memuncak pada munculnya Manifest Kebudayaan yang ditandatangani oleh sejumlah seniman dan cendekiawan seperti Goenawan Mohammad dan Taufik Ismail. Hiruk-pikuk pergulatan politik dan seni budya pada dekade 1960-an itu tak pelak telah menimbulkan “prahara budaya” yang tak mudah dilupa, meski sebagian orang berusaha untuk tak lagi mengingatnya. Sebab, sebagaimana rakyat terpolarisasi ke dalam berbagai partai politik, demikian juga halnya dengan lembaga seni budaya yang terpecah ke dalam afiliasi politik, dengan jargonnya sendiri-sendiri, kecenderungan kulturalnya sendiri, jenis seni budayanya sendiri, pesan politik dan keagamaannya sendiri, dan sebagainya. Akibatnya, setiap lembaga seni budaya yang telah berafiliasi ke dalam partai politik menutup dirinya secara eksklusif 263
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 257 - 296
dari kemungkinan dipengaruhi unsur lain, serta menafikan peluang untuk berdialog dengan lembaga sejenis di luarnya. Tanpa harus dibuka kembali, dapat dipastikan, konflik-konflik kultural itu masih menyisakan bekas-lukanya hingga saat ini. Akibat luka sejarah itu, sebagian kelompok seni budaya hilang tanpa jejak, sebagian yang lain mencoba bermeta-morfosis menjadi sesuatu yang sama sekali baru, sebagiannya lagi bersembunyi tanpa aktivitas, dan sebagainya. Dan akhirnya, afiliasi politik lembaga seni budaya itu hancur tanpa bentuk seiring dengan dibubarkannya partai-partai politik, diikuti oleh munculnya kebijakan politik fusi partai pada awal pemerintahan Orde Baru. Dari Afiliasi Politik ke Orientasi Keagamaan: Menuju Paradigma Baru Seni Budaya Afiliasi politik lembaga seni budaya pada tahun 1950-1960-an kepada partai politik tertentu telah menjadi hambatan kultural bagi tumbuhnya dialog budaya yang sehat di Indonesia. Karena itu, melakukan pemetaan terhadap seni budaya yang bersifat keagamaan, sungguh bukan hal yang sederhana. Selain karena latar belakang afiliasi politik di masa lalu, juga terdapat berbagai faktor yang sangat berpengaruh, seperti orientasi budaya, corak varian kultural, pemahaman keagamaan, dan sebaginya. Untuk “mendamaikan” problem metodologis dan kebingungan historis, di sini akan ditawarkan pendekatan dan kerangka teori yang diharapkan dapat memberikan jalan keluar sebagai alternatif ke arah terbangunnya peta seni budaya keagamaan di Indonesia yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Dengan tawaran ini diharapkan akan terbangun paradigma baru seni budaya di Indonesia, dari afiliasi politik ke orientasi keagamaan. Bila pada afiliasi politik kedekatan seni budaya didasarkan pada ikatan politik, doktrin dan orientasi politik, serta cita-cita politik partai; maka pada paradigma orientasi keagamaan kedekatan seni budaya lebih disebabkan oleh karena ikatan keagamaan, doktrin dan
264
Ekspresi Seni Budaya Islam di Tengah Kemajemukan Masyarakat Banten — Huriyudin
orientasi keagamaan, serta cita-cita sosial keagamaan dari suatu ajaran yang dianut.4 Usaha ke arah terbangunnya paradigma baru seni budaya di Indonesia sesungguhnya telah dilakukan melalui kegiatan kolosal dalam bentuk Festival Istiqlal pada tahun 1990-an. Selain menampilkan berbagai produk budaya keagamaan Islam dan pelbagai diskusi serius tentang khazanah dan masa depan peradaban Islam di Indonesia, festival ini juga menampilkan serangkaian seminar tentang estetika Islam dan permasalahan kesenian masa kini, yang di dalamnya dikupas pula masalah ekspresi estetik Islam di Indonesia. Dalam forum ini tampil para pemerhati budaya dari berbagai disiplin ilmu dengan presentasi yang menarik (1993: h. 13-165), seperti Ali Audah (Kreativitas Kesenian dalam Tradisi Islam), Syu’bah Asa (Estetika Islam dan Permasalahan Kesenian Masa Kin), Endang Saifuddin Anshari (Estetika Islami, Nilai dan Kaidah Islami tentang Seni), Abdul Hadi WM (Sastera Transendental dan Kecenderungan Sufistik Kepengarangan di Indonesia), Wiyoso Yudoseputro (Ekspresi Estetik Islam di Indonesia), dan Edi Sedyawati (Masalah Penandaan Keislaman dalam Karya-karya Seni Jawa). Sayangnya, selain “hanya” menghasilkan berdirinya “Museum Istiqlal” di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, yang menyimpan sebagian karya seni yang ditampilkan dalam festival tersebut, undangan ke arah terbangunnya paradigma baru kesenian ini seperti terhenti di tengah jalan. Karena itu, langkah ini harus 4
Karena fokus kajian ini dibatasi pada aspek seni budaya keagamaan Islam, tawaran ini lebih spesifik bernuansa Islam. Karena itu, mungkin kurang memadai untuk dikenakan kepada seni budaya yang berkembang dalam agama lain, seperti Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan Konghucu. Tetapi, sedikitnya sebagai usaha intellectual exercise, pendekatan ini dapat pula digunakan, misalnya dengan mengganti kata Islam dengan agama lainnya. Meski demikian, dengan spesifikasinya masing-masing, agama-agama lain dapat menawarkan pendekatan baru yang lebih relevan, sambil tetap memberikan apresiasi terhadap pelbagai pendekatan yang dilakukan.
265
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 257 - 296
kembali dilanjutkan. Melalui kajian terhadap seni budaya keagamaan di Banten, tulisan ini mencoba kembali mengungkap aspek seni budaya keagamaan yang dalam perjalanan sejarahnya telah memberikan kontribusi yang penting bagi terbangunnya kebudayaan Islam bernuansa lokal di Indonesia. Sejauh wilayah penelitian yang dilakukan di Provinsi Banten yang dikenal dengan identitas keislamannya yang kental, kerangka ini dapat diterapkan dengan beberapa pengecualian yang tidak signifikan. Dari data seni budaya yang berhasil dikumpulkan, dan sejauh hasil wawancara, seminar terbatas, dan diskusi intensif dengan beberapa pihak –seperti akan diuraikan pada bahasan berikutnya—kerangka ini diharapkan dapat membantu memberikan pemahaman yang lengkap tentang kategorisasi seni budaya keagamaan yang berkembang di Banten, sebuah provinsi baru (berdiri pada 17 Oktober 2000) yang terbagi ke dalam 8 (delapan) kabupaten dan kota, meliputi Kab. Serang, Kota Serang, Kota Cilegon, Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan. Analisis Lingkaran Konsentris dan Sub-Divisi: Sebuah Tawaran Awal Kerangka ini sepenuhnya didasarkan atas pemikiran Al-Faruqi tentang Seni Tauhid.5 Apa yang disebutnya sebagai seni tauhid adalah pandangan tentang keindahan yang muncul dari pandangan dunia tauhid yang merupakan inti ajaran Islam, yaitu keindahan yang dapat membawa kesadaran penanggap kepada ide transendensi. Karena itu, seni Islam, dalam pandangan al-Faruqi, meliputi segala produk historis yang memiliki nilai estetis yang telah dihasilkan oleh orang-orang Muslim, dalam kurun sejarah Islam, berdasarkan pandangan estetika tawhid dan selaras dengan 5
Lihat, Ismail Raji al-Faruqi, Seni Tauhid, Esensi dan Ekspresi Estetika Islam, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999. Sebagai perbandingan, lihat pula, Drs. Sidi Gazalba, Pandangan Islam tentang Kesenian, Jakarta: Bulan Bintang, 1977. Periksa pula, C. Israr, Sejarah Kesenian Islam, Jilid I dan 2, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979)
266
Ekspresi Seni Budaya Islam di Tengah Kemajemukan Masyarakat Banten — Huriyudin
keseluruhan peradaban Islam, dengan enam ciri yang diambilkan dari ideal al-Qur’an, yakni abstraksi, struktur modular, kombinasi suksesif, repetisi, serta dinamis dan rumit (1999: 8-13). Dengan abstraksi dimaksudkan bahwa seni Islam bersifat abstrak. Meskipun representasi figuratif tidak sepenuhnya dihilangkan, tetapi mengalami denaturalisasi dan teknik stilisasi agar lebih sesuai dengan peran sebagai pengingkar naturalisme dan bukan sebagai penghadir fenomena natural. Dengan struktur modular dimaksudkan bahwa seni Islam tersusun atas berbagai bagian atau modul yang dikombinasikan untuk membangun rancangan atau kesatuan yang lebih besar. Disebut kombinasi suksesif, karena polapola infinit dalam seni Islam menunjukkan adanya kombinasi berkelanjutan [suksesif] dari modul-modul dasar penyusunnya; elemen-elemen tersebut disusun untuk membangun sebuah desain yang lebih besar, yang utuh, dan independen. Dengan repetisi dimaksudkan bahwa dalam rangka menciptakan kesan infinitas dalam sebuah objek seni, maka diperlukan pengulangan dengan intensitas yang cukup tinggi. Dengan dinamisme dimaksudkan bahwa seni Islam bersifat dinamis, yakni merupakan desain yang harus dialami melalui waktu. Sedangkan kerumitan dimaksudkan bahwa detil yang rumit merupakan salah satu ciri penting dari sebuah karya seni Islam. Keenam karakteristik ekspresi estetik ini, dalam kajian al-Faruqi, nampak dengan jelas dalam 5 (lima) jenis ekspresi estetik, yakni seni sastra, kaligrafi, ornamentasi, seni ruang, dan seni suara. Mengikuti batasan inventarisasi dalam kajian ini yang hanya meliputi seni pertunjukan dan seni tradisi, maka kerangka al-Faruqi yang relevan untuk digunakan di sini adalah pemikirannya tentang seni suara yang disebutnya sebagai Handasah a¡-¢aut atau seni suara. Istilah bahasa Arab ini, menurutnya, menunjuk kepada semua kombinasi artistik nada dan ritme yang ada dalam budaya Islami.6 Dikatakan, meskipun tidak ada istilah yang seragam untuk 6
Pilihan terminologi ini didasarkan atas anggapan bahwa istilah “music” atau musiqa, dalam bahasa Arab tidak berlaku untuk semua jenis aransemen dan ritme artistik vokal atau instrumental, seperti pada istilah bahasa Inggeris atau bahasa-bahasa Eopa lainnya. Menurut al-Faruqi, istilah mµsiq± berlaku hanya
267
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 257 - 296
ekspresi musikal, sikap-sikap terhadap handasah a¡-¡aut serta penggunaannya dalam masyarakat Islam di seluruh dunia menunjukkan berbagai faktor homogen, baik dalam aspek kategori jenis musik (religius, sekuler, rakyat, seni, dan seterusnya), konteks pertunjukan, para pemain, partisipasi hadirin, ekstensi historis, dan relevansi interegional. Artinya, secara katgoris Islam tidak mengenal pembedaan jenis musik dari aliran yang dibawanya, tetapi dari pesan yang diusungnya; tidak adanya konteks yang tegas bagi pertunjukan berbagai jenis seni suara; dapat dimainkan oleh orang yang sama untuk pelbagai jenis musik yang berbeda dalam berbagai fungsi yang berbeda pula; tidak ada penikmatan yang dipaksakan atau pendidikan khusus untuk mengapresiasikannya (seperti terhadap musik klasik di Barat, misalnya); serta memiliki kesesuaian dan keterkaitan langsung dengan corak seni yang berkembang sebelumnya sampai perkembangan historisnya hingga saat ini (kasidah, misalnya: telah ada sejak pra Islam, dan ciricirinya masih dipertahankan hingga saat ini). Akhirnya, ekspresi estetik Islam menunjukkan adanya homogenitas interregional. Artinya, walau dalam teori musik, dalam instrument, dalam jenis, dan dalam praktik ada beberapa perbedaan permainan dari negara ke negara, kota ke kota, namun terdapat banyak sifat yang telah menyatukan budaya musik bangsa-bangsa Muslim. Dalam konteks homogenitas handasah a¡-¡aut itulah muncul model-model kreativitas estetik di dunia Islam yang secara konsentris terpusat pada seni al-Qur’an sebagai silinder pertama. Lingkaran konsentris berikutnya (kedua) adalah lagu-lagu yng terkait dengan panggilan salat (azan) atau haji, dan bacaan syair tentang Nabi. Silinder atau lingkaran ketiga meliputi improvisasi instrumen dan vokal, misalnya taqasim, layali, dan kasidah; pada jenis-jenis (genre) seni suara tertentu; dan untuk sebagian besar, istilah ini hanya menunjuk kepada jenis-jenis seni suara yang memiliki status diragukan atau dianggap memalukan dalam budaya Islam. Oleh karena itu, kalau hanya membahas “music”, sebagaimana dimengerti dalam budaya Islam, akan terbatas pada pembahasan terhadap segmen tertentu dari jenis seni suara, dan tidak akan membahas jenis-jenis lain yang lebih penting dan diterima dalam masyarakat Islam. Ibid., hal. 186-187.
268
Ekspresi Seni Budaya Islam di Tengah Kemajemukan Masyarakat Banten — Huriyudin
keempat, lingkaran konsentris yang semakin kurang kesesuaiannya dengan ciri-ciri utama yang terdapat dalam lagu al-Qur’an, seperti nasyid dan ghazal (Asia Tenggara); dan silinder konsentris kelima adalah jenis seni yang secara umum menunjukkan lebih banyak kebebasan isi, yakni lagu-lagu solo atau kelompok dengan tematema sekuler dan komposisi-komposisi instrumental. Kategori terakhir ini juga memperlihatkan dengan jelas pengaruh-pengaruh budaya asing dan pra Islam. Dengan demikian, tingkatan-tingkatan konsentris ini makin keluar makin menunjukkan kurangnya kesesuaian dengan ciri-ciri utama, sampai pada lingkaran keenam yang tidak lagi berada dalam ekspresi estetik Islam. Ini berlaku untuk semua daerah dalam dunia Islam. Di semua daerah dan wilayah, tingkat kesesuaian yang tertinggi adalah pada lagu alQur’an (Faruqi, 194-199). Tabel 2 Lingkaran Konsentris Seni Islam
LK6
LK5 LK4 LK3 LK2 LK 1
Terkait dengan hal ini, perbedaan-perbedaan dalam penerapan dan pengaruh dengan lingkaran konsenteris estetik Islam yang utama ini (lagu al-Qur’an) pada masing-masing komunitas Muslim, menurut al-Faruqi (1999: 200-205), tergantung pada 4 (empat) faktor, yakni kedekatan dengan tempat kelahiran agama dan budaya Islam yaitu Timur Tengah; tingkat kesesuaian dengan basis budaya 269
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 257 - 296
pra-Islam; lamanya berlangsung proses Islamisasi; dan keintensifan pengalaman Islam dalam daerah itu. Atas dasar inilah al-Faruqi kemudian memetakan 3 (tiga) wilayah Handasah a¡-¢aut dunia Muslim yang menunjukkan ragam tingkat kesesuaian atau penyimpangan terhadap 6 (enam) ciri-ciri utama ekspresi estetik dalam budaya Islami ke dalam sub-divisi, yakni: Pertama, Subdivisi I, meliputi Masyriq, Maghrib, Turki dan Iran, yang dipandangnya sebagai wilayah yang memperlihatkan kesesuaian terbesar dengan ciri-ciri utama al-Qur’an. Tingkat kesesuaian yang tinggi pada sub-divisi ini disebabkan oleh adanya kedekatan dengan tanah kelahiran Islam, basis kultural pra-Islam daerah ini paling berkesesuaian dengan perkembangan Islam yang mengikutinya, mengalami perkenalan paling lama dengan Islam, dan memiliki pemeluk mayoritas Muslim terbesar sehingga meluaskan dampak kulturalnya dalam masyarakat. Kedua, Sub-divisi II, meliputi Asia Tengah dan Anak Benua India. Pengaruh yang agak berkurang dari ciri-ciri utama handasah a¡-¡aut di daerah-daerah ini terjadi karena secara geografis lebih jauh jaraknya dari tanah kelahiran Islam dibandingkan dengan subdivisi I, sehingga menyebabkan pengaruh estetis menjadi lebih sulit. Selain itu, kesenjangan ini disebabkan pula oleh basis kultural pra-Islam sebagai dasar untuk meletakkan ideologi Islam lebih beragam, pengaruh Islam yang belum lama berkembang karena penduduknya lebih belakangan memeluk Islam, dan adanya sejumlah besar penduduk non-Muslim. Bahkan, di daerah-daerah yang berjarak semakin jauh dari pusat, terdapat pengaruh yang juga semakin kuat dari unsur budaya lokal dan semakin berkurangnya ciri-ciri utama. Ketiga, Sub-divisi III, meliputi Afrika Tengah dan Timur Jauh, di mana Islam merupakan kekuatan religio-kultural yang penting. Di daerah-daerah ini masih tampak jelas pengaruh ciri utama seni Islam dalam jenis seni musik tertentu meskipun terdapat berbagai penyimpangan dan pengaruh budaya lokal yang lebih besar dibandingkan dengan kedua sub-divisi terdahulu. Selain itu, daerah ini memiliki tingkat perbedaan lebih besar antara budaya-budaya pribumi pra-Islam dengan budaya Islam. Bahkan, masuknya Islam 270
Ekspresi Seni Budaya Islam di Tengah Kemajemukan Masyarakat Banten — Huriyudin
ke daerah ini pada umumnya lebih belakangan. Karena itu, walau wilayah ini berpenduduk mayoritas Islam tetapi persentase penduduk non-Islam jauh lebih besar dibandingkan dengan kedua sub-divisi terdahulu. Indonesia, oleh al-Faruqi, dimasukkan ke dalam kategori ini, meski dengan beberapa pengecualian khusus – antara lain karena penduduknya yang mayoritas Muslim, bahkan terbesar di dunia. Tetapi karena kebaruannya sebagai komunitas Muslim, di kawasan ini terdapat pula kasus di mana orang-orang tertentu, yang katanya Islam, berpartisipasi dalam ritual dan kegiatan yang jelas-jelas berasal dari kepercayaan dan praktik religius pra-Islam atau non-Islam.7 Tanpa mengurangi signifikansi kerangka yang ditawarkan alFaruqi, perspektif ini dapat pula diberlakukan dalam lingkup kasus yang lebih kecil di Indonesia, bahkan juga pada kawasan lebih sempit di tingkat provinsi seperti Banten. Kurang lebih, melalui kerangka inilah tatapan terhadap aspek seni budaya keagamaan di Banten akan dilihat. Pendekatan sub-divisi model Al-Faruqi akan diadopsi dengan beberapa modifikasi. Beberapa patokan penggunaan pendekatan ini didasarkan atas asumsi bahwa proses Islamisasi di Banten yang berlangsung sejak sekitar abad ke-15 terjadi dalam tahapan subdivisi itu, dengan Serang, Pandeglang, Cilegon, Menes, Caringin, Ciruas, dan Kronjo-Tirtayasa sebagai pusat awal peradaban Islam. Secara kategoris kota-kota ini dapat dimasukkan ke dalam subdivisi I. Beberapa ciri utama kawasan ini adalah kedekatanya dengan pusat kekuasaan kesultanan dan kemudian pemerintah 7
Tentang partisipasi orang-orang Muslim di Indonesia dalam ritual yang berasal dari kepercayaan dan praktik religius pra-Islam telah dilakukan berbagai kajian, dalam kategori Geertz, disebut sebagai abangan. Lihat, The Religion of Java, terj. Aswab Mahasin, cet. 2, Pustaka Jaya, Jakarta, 1983. Bandingkan, Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta, 1986. Kajian yang lebih komprehensif tentang tradisi Islam di Cirebon, dilakukan oleh Muhaimin AG. Lihat, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2002. Buku ini merupakan terjemahan dari disertasinya, The Islamic Traditions of Cirebon. Ibadat and Adat Among Javanese Muslims.
271
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 257 - 296
kolonial, pusat gerakan dakwah dan pendidikan Islam, pusat perkembangan pondok pesantren, serta menjadi pusat pembaharuan pemikiran Islam. Seperti akan nampak dari data di bawah, di kawasan-kawasan inilah umumnya ditemukan lembaga seni budaya keagamaan Islam yang lebih berdekatan secara kultural dengan model lingkaran konsentris I, II, dan III. Untuk sub divisi II dapat dimasukkan kota seperti Rangkasbitung, Pasarkemis, Petir, Malingping, Saketi, Baros, Padarincang, Anyer, Bojonegara, dan Balaraja. Pada sebagian besar dari kota-kota kecil ini –kecuali Rangkasbitung— tumbuh lembagalembaga seni tradisi bernuansa Islam seperti kasidah, marawis, dan orkes gambus, meski pada saat yang bersamaan bertebaran juga kelompok seni tradisi yang kondisinya seringkali memprihatinkan. Sedangkan beberapa kota kecil seperti di sekitar kawasan Gunungkencana, Mauk, Sepatan, Pakuhaji, Bayah, Cikeusik, Leuwidamar dan sekitarnya dapat dimasukkan ke dalam sub divisi III. Meski sejak masa Orde Baru pertumbuhan lembaga-lembaga keagamaan Islam di kawasan ini cukup pesat, tetapi jejak historis yang ditancapkannya tidak nampak kokoh, antara lain karena usianya yang umumnya kurang dari 50 tahun, manajemen pengelolaannya yang sporadis, basis kultural dan ekonominya yang lemah, dan dukungan sosialnya yang tidak menyeluruh. Karena itu, di kawasan pegunungan dan agraris ini tumbuh lebih banyak seni tradisi ketimbang seni keagamaan bernuansa Islam. Tentu catatan harus segera diberikan. Penyebutan nama-nama daerah dalam peta seni tradisi keagamaan ini sepenuhnya bersifat umum dan terbuka, mengingat penggunaan perspektif sub divisi ini tidak mungkin mengabaikan keberadaan kelompok seni tradisi dan keagamaan yang tumbuh pada tempat dan masa yang bersamaan. Karena itu, kategorisasi dan klasifikasi ini lebih didasarkan pada kecenderungan umum perkembangan budaya, daya dukung sosial terhadap lembaga seni budaya, serta basis kultural bagi tumbuhnya kelompok-kelompok seni budaya dan keagamaan.
272
Ekspresi Seni Budaya Islam di Tengah Kemajemukan Masyarakat Banten — Huriyudin
Banten: Sebuah Entitas Budaya yang Tengah Mencari Bentuk Sebagai salah satu provinsi terbaru di Indonesia, Banten belum memiliki identitas budaya yang ajeg. Meski kawasan ini telah dikenal luas sejak sekitar abad ke-16 sebagai salah satu kesultanan terpenting di Nusantara, posisinya sebagai bagian –dan menjadi subkultur dari-- Jawa Barat selama puluhan tahun, setelah sebelumnya berada di bawah kekuasaan kolonial, telah membuat wilayah ini kehilangan bentuk kulturalnya yang adiluhung. Melalui kurikulum pendidikan sejak sekolah dasar sampai Sekolah Menengah Atas, sejak tahun 1970-an, para siswa lebih diperkenalkan dengan bahasa Sunda versi Priangan-Pasundan, jenis-jenis kesenian Sunda-Priangan (angklung Bandung, degung, lagu Bubuy Bulan, dll), dan cerita rakyat kawasan Pasundan (Lutung Kasarung, Tangkuban Parahu, Situ Ciburuy, cerita Si Kabayan, dan sebagainya) ketimbang mengelaborasi khazanah kebudayaan yang ada di kawasan Banten. Akibatnya, khazanah kultural Banten terkubur dalam di tengah “gempuran” budaya “Sunda-Priangan” yang dilakukan oleh pemerintah Jawa Barat melalui lembaga pendidikan ---dan pada titik inilah perhatian dan kepedulian kultural pemerintah Jawa Barat kepada masyarakat Banten yang menjadi bagian dari pemerintahannya saat itu acapkali dipertanyakan. Selain itu, karena posisinya yang berdekatan dengan Jakarta sebagai ibukota negara dengan berbagai unsur yang mengikutinya (pusat pemerintahan, pusat media informasi dan komunikasi, pusat ekonomi dan perdagangan, dan sebagainya), ekspresi kultural Banten tidak mendapat perhatian yang memadai dan tidak dapat berkembang secara optimal. Bahkan, sebagian (untuk tidak mengatakan sebagian besar) masyarakat di beberapa kawasan di Banten, terutama Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang, dan sebagian Kabupaten Tangerang, lebih mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari Jakarta (selain dipandang lebih bergensi dan karena memang dinyatakan sebagai kawasan penyangga Ibukota) ketimbang berorientasi ke Serang-Banten yang jaraknya lebih jauh dengan akses yang lebih sulit. Perubahan orientasi kultural masyarakat di Kabupaten dan Kota yang berada di pinggiran 273
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 257 - 296
Ibukota ini diperparah oleh tingginya urbanisasi yang membuat sebagian warga di kawasan Tangerang ini merupakan warga pendatang yang berasal dari berbagai daerah dan kawasan di Indonesia. Dalam pada itu, berbarengan dengan gencarnya modernisasi dan industrialisasi, secara geografis Banten terbagi pula ke dalam 2 (dua) kutub besar budaya, yakni agraris dan industri, yang membelah selatan dan timur (agraris: Lebak dan Pandeglang) dengan barat dan utara (industrial: Serang, Cilegon, Tangerang). Pemilahan ke dalam 2 (dua) kutub budaya ini memiliki pengaruh yang sangat besar tidak hanya pada corak kehidupan ekonomi dan sirkulasi uang, tetapi juga pada corak budaya, perilaku keagamaan, dan khazanah seni budaya. Untuk konteks yang terakhir, khazanah seni budaya di kawasan agraris umumnya bersifat tradisional, mitis, dan sinkretik; sementara di kawasan industri yang modern berkembang jenis kesenian urban yang dinamis, rasional, dan sesuai selera pasar. Kurang lebih, di dalam kedua kutub kultural itulah jenis-jenis seni budaya keagamaan ditemukan dalam kondisinya yang nyaris tanpa bentuk dan tanpa apresiasi yang memadai. Akibatnya, seni budaya keagamaan di Banten tidak berkembang secara optimal, serta semakin tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap bangunan sosial keagamaan. Peran seni budaya Islam di Banten kini tidak lagi diperhitungkan sebagai daya tarik keagamaan yang mendorong untuk memperdalam pemahaman keagamaan. Sehingga, daya tarik terhadap Islam di Banten tidak terjadi karena tingginya kualitas ekspresi estetik tetapi lebih karena sesuatu yang lain di luar wilayah seni budaya. Menemukan Corak Islam dalam Inventarisasi Seni Budaya di Banten Usaha ke arah “ditemukannya” kembali identitas kebudayaan di Banten belakangan ini telah dilakukan secara cukup serius dan intens, melalui berbagai kajian, forum ilmiah, dan beberapa festival budaya. Selain Dinas Kebudayaan dan Patiwisata di tingkat 274
Ekspresi Seni Budaya Islam di Tengah Kemajemukan Masyarakat Banten — Huriyudin
provinsi dan kabupaten serta beberapa unit terkait lainnya, terlibat pula unsur perguruan tinggi seperti Universitas Tirtayasa, Serang, IAIN “Sultan Maulana Hasanuddin” Serang, dan beberapa lembaga swadaya yang concern dengan masalah seni budaya (Bantenologi, Lembaga Seni Budaya Banten, Banten Herritage, Gong Smash, Rumah Dunia, Bamboo Village, dll). Salah satu hasilnya adalah diterbitkannya data lembaga seni budaya Banten yang dikumpulkan dari semua kabupaten dan kota, dan munculnya beberapa buku yang secara khusus mengupas beberapa jenis seni budaya. Sayangnya, baik data seni budaya Banten maupun profil lembaga kesenian yang telah diterbitkan belum sepenuhnya mencakup semua bentuk dan jenis seni budaya yang ada. Bahkan, untuk beberapa kabupaten atau kota seperti Pandeglang, Lebak, dan Tangerang Selatan, data yang tercantum di dalamnya jauh dari memadai, baik dari segi jumlah maupun mutu. Buku data seni budaya itu juga tidak memberikan deskripsi yang memadai untuk masing-masing jenis seni budaya, sehingga tidak tergambarkan unsur-unsur detil yang terkandung di dalamnya, kecuali tempat dan beberapa pimpinan dari masing-masing lembaga itu. Pendek kata, pembaca dibiarkan kebingungan di tengah hamparan data yang nyaris tak berwujud. Lebih dari itu, tidak pula dilakukan klasifikasi dan kategorisasi berdasarkan jenis dan bentuk seni budaya, karena dipilah hanya berdasarkan wilayah kabupaten atau kota. Karena itu, harapan akan tersedia informasi tentang data, jenis dan klasifikasi seni budaya keagamaan di Banten jauh lebih tidak memungkinkan lagi. Mengenai hal ini mestinya mendapat jawaban dari Kanwil Provinsi atau Kakankemenag Kabupaten dan Kota. Tetapi karena berbagai sebab yang tidak harus diurai di sini, unsur Kemenag pun tidak memiliki data yang memadai tentang ini, kecuali sekedar menyebut nama dan alamat, itu pun dalam jumlah yang sama sekali tidak masuk akal: jumlahnya sedikit, deskripsinya tidak tersedia, alamatnya kabur, kategorisasinya tidak ada, ciri khas dan nuansa keagamaannya tidak ditemukan, dan sebagainya. Bahkan, Kankemenag kabupaten Lebak sama sekali tidak memiliki data tentang seni budaya keagamaan ini, dan bimbingan serta pelayanan pun nyaris tidak pernah dilakukan. Meski demikian, 275
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 257 - 296
data-data ini tentu tetap ada gunanya, setidaknya sebagai informasi awal ke arah kajian dan penelitian lebih lanjut. Sebagai wilayah provinsi dengan identitas keislaman yang kental serta dengan perjalanan sejarah keagamaan yang cukup panjang, tidak heran bila ragam seni budaya keagamaan di Banten didominasi oleh unsur Islam. Statemen ini tidak berarti bahwa di Banten tidak terdapat unsur seni budaya keagamaan lain, karena di Banten juga terdapat pemeluk agama lain dalam jumlah yang cukup signifikan, dengan sarana ibadah yang lengkap, dan ekspresi budaya keagamaan yang beragam: Kristen, Katolik, Hindu, Budhha, dan Konghucu. Untuk agama-agama non-Islam ini, umumnya terdapat di perkotaan (Serang, Cilegon, Rangkasbitung, Tangerang) dan kawasan urban –sementara hanya sangat sedikit pemeluk non-Muslim yang ada di kawasan pedesaan-agraris. Kurang lebih, di tempat-tempat kawasan urban-kota-moderen itulah seni budaya keagamaan non-Islam berkembang, seperti barongsai (Tangerang, Konghucu), kidung jemaat, dan jenis seni keagamaan lainnya. Sementara pada sebagian terbesar kawasan lainnya berkembang seni budaya keagamaan lokal-tradisional dengan sifatnya yang cenderung mitis, sinkretik, dan arkaik. Akan tetapi, menarik bahwa hampir semua unsur seni budaya tradisi itu menyatakan dirinya sebagai bagian dari ekspresi estetik Islam, hatta seni debus dan pencak silat sekalipun. Unsur-unsur keislaman dari pelbagai ragam seni budaya di Banten itu didasarkan atas pelaku (pemain)-nya yang Muslim, prosesi sebelum dilakukan pertunjukan (doa, sedekah, dll.), ajakan berbuat baik dan meninggalkan kejahatan serta mengingat Tuhan dalam syair dan cerita yang dibawakan, cara berpakaian yang sopan, dan sebagainya. Karena itu, memosisikan jenis seni budaya tradisoinal tertentu sebagai bukan Islam akan menimbulkan reaksi yang keras dari para pelakunya, sebagaimana telah terjadi dalam kasus fatwa MUI Provinsi Banten yang mengharamkan debus.8 8
Pada tahun 2011 yang lalu MUI Provinsi Banten mengeluarkan fatwa haram terhadap debus, seni tradisi khas Banten yang terkesan keras, garang, telengas, dan ekstrem: mematahkan golok, memotong leher, bermain bola api,
276
Ekspresi Seni Budaya Islam di Tengah Kemajemukan Masyarakat Banten — Huriyudin
Pada titik ini, usaha pemetaan dan analisis terhadap seni budaya keagamaan di Banten jelas perlu dilakukan secara hati-hati. Karena itu, menggunakan kerangka dan pisau analisis yang ditawarkan Ismail Razi al-Faruqi seperti dikemukakan di atas dapat menjadi jalan keluar yang menarik di tengah potensi konflik kultural yang mungkin muncul di dunia seni budaya. Opersionalisasi kerangka al-Faruqi dalam memetakan seni budaya keagamaan di Banten ini juga akan menjadi tantangan intelektual yang menarik, di tengah miskinnya pendekatan dan kajian tentang seni budaya di dunia Islam –termasuk di Indonesia. Dengan menggunakan kerangka ini nampak bahwa ekspresi seni budaya keagamaan Islam di Banten mengisi setiap lingkaran konsentris. Pada pusat lingkaran utama sebagai ekspresi paling sublim dari seni budaya Islam, di Banten terdapat tradisi qiraat alQuran yang tinggi, sebagaimana nampak dari berdirinya beberapa pesantren tua berusia puluhan tahun bahkan lebih satu abad di pusat ibukota propinsi, Serang, seperti Pesantren al-Quran Kyai Makmun9 di Lontar Sumur Bor dan Benggala. Kuatnya tradisi seni qiraat ini juga nampak dari munculnya tokoh-tokoh qiraat dari menusuk perut dengan linggis tajam dengan cara dipukul menggunakan palu besi yang besar, memasak dengan tungku di atas kepala, dan lain-lain. Fatwa ini mendapat reaksi keras dari para pegiat debus, sampai memaksa masuk ke ruang sidang dan melakukan orasi secara emosional. Bagi mereka fatwa itu dipandang bodoh, tidak berdasar, dan mengada-ada. Bodoh, karena para ulama tidak paham hakekat debus, sejarah kehadirannya, kaitannya yang erat dengan kelompok tarekat tertentu, dan kentalnya unsur Islam dalam bacaan-bacaan doanya. Tidak berdasar, karena fatwa itu dikeluarkan hanya dengan pendekatan fikih yang sempit. Mengada-ada, karena sebagai seni tradisi Islam, debus telah berumur ratusan tahun dan berkembang di berbagai penjuru daerah di Banten. 9 Dalam catatan sejarah, KH. Makmun merupakan salah seorang pendiri dan peletak dasar tradisi qiraat di Indonesia. Pesantren ini dilanjutkan oleh putranya, KH Sholeh Makmun, dan keturunan seterusnya hingga saat ini. Kepadanya berguru banyak ulama al-Quran yang kemudian mendirikan pesantren sejenis di Banten dan di wilayah lain di Indonesia. Selain itu, beberapa muridnya aktif sebagai tokoh pergerakan pendidikan Islam dan memasukkan pelajaran qiraat (atau setidaknya ilmu tajwid) ke dalam kurikulum pendidikannya, seperti nampak pada pada tokoh KH. Mas Abdurrahman bin Jamal al-Janakawi (salah seorang tokoh utama pendiri Mathla’ul Anwar) di Menes, Pandeglang.
277
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 257 - 296
Banten yang berprestasi tidak hanya di tingkat wilayah dan nasional, tetapi bahkan juga internasional –sebagaimana juga diakui oleh al-Faruqi. Pada lingkaran konsentris kedua, di Banten juga terdapat beberapa nada azan yang populer, dengan suara indah dan syahdu yang ritme dan iramanya disesuaikan dengan waktu salat. Artinya, irama suara azan maghrib berbeda dengan irama azan subuh, tetapi dengan tingkat kesyahduan yang sama tingginya. Demikian pula hanya dengan seni budaya Islam pada lingkaran konsentris ketiga. Di Banten terdapat cukup banyak grup kasidah dan burdah, serta terdapat banyak pula kelompok dan masyarakat yang memelihara seni tradisi dengan corak keislaman yang kental, seperti yalil, rampak bedug, marawis, tari saman, marhaban, walimatus safar, dan rudat. Sementara pada lingkaran konsentris keempat, muncul berbagai ekspresi estetik Islam yang mulai agak buram. Ke dalam lingkaran ini dapat dimasukkan jenis seni budaya tahlilan, dalail, ilmu jurus silat takbir, ilmu pembuka fatehah, debus, dan sebagainya. Akan halnya untuk lingkaran konsentris kelima, dapat dimasukkan berbagai jenis seni budaya seperti wayang golek, ubrug, beluk, jaipongan, angklung gubrag, pencak silat, tanjidor, wayang kulit, gambang kromong, topeng, degung, dan sebagainya. Dengan menerapkan ketiga kerangka sub-divisi yang ditawarkan al-Faruqi, dapat pula dikenali corak perkembangan seni budaya berdasarkan lingkungan geografis sosio-demografis masyarakat Islam. Seperti telah disinggung di muka, perkembangan seni budaya keagamaan berlangsung dalam situasi geografis tertentu, dalam corak keagamaan tertentu, serta dalam orientasi sosio-ekonomi tertentu. Pada titik ini, perkembangan seni budaya yang berada pada level 4 dan 5 dari lingkaran konsentris terpusat pada kelompok masyarakat awam, abangan, Islam nominal, dan kawasan pegunungan dengan tradisi kepetanian yang kental. Dalam kerangka al-Faruqi, corak seni budaya Islam jenis ini berada pada kelompok sub-divisi III, karena tingginya pengaruh budaya lokal,
278
Ekspresi Seni Budaya Islam di Tengah Kemajemukan Masyarakat Banten — Huriyudin
masih kuatnya kepercayaan pra-Islam, dan jauhnya dari lingkaran konsentris utama. Sementara pada sub-divisi II, ekspresi estetik keagamaan masyarakat Banten nampak pada komunitas perkotaan, masyarakat terpelajar, dan kalangan santri, serta berkembang di lingkungan pesantren tradisional di pedesaan. Sedangkan untuk sub-divisi I, ekspresi estetik Islam dapat ditemui di pesantren al-Quran, di masjid-masjid besar, serta pada kelompok Muslim elite di perkotaan. Dengan demikian, gejala Islam yang sesungguhnya dan mendekati lingkaran konsentris utama adalah gejala kota yang dinamis, mobil, terbuka, dan rasional. Kawasan ini umumnya merupakan kota-kota yang menjadi pusat pendidikan Islam, atau di daerah pedesaan dengan pengaruh ulama pesantren yang kuat. Dalam pada itu, di tengah terbatasnya data dan profil seni budaya di Banten, kajian ini harus diposisikan sebagai studi awal yang diharapkan dapat merangsang kajian berikutnya. Memasukkan beberapa jenis seni tradisi dan keagamaan ke dalam kotak-kotak lingkaran konsentris di tengah tidak tersedianya profil yang lengkap terhadap seluruh jenis seni budaya tentu akan memunculkan ruang perdebatan tersendiri. Karena itu, tulisan ini sekaligus dapat diposisikan sebagai udangan ke arah diskusi dan perdebatan itu, untuk menghasilkan peta seni budaya dengan tingkat validitas yang lebih kokoh. Secara kategoris, peta seni budaya keagamaan di Banten dapat dilihat dalam klasifikasi umum sebagai berikut: Lingkaran Konsentris I 1. Qiraat Al-Quran Seni Qira’at al-Quran merupakan tradisi yang telah berlangsung lama di Banten. Bahkan, untuk konteks Indonesia, Banten merupakan wilayah yang paling awal mengembangkan seni qiraat al-Quran, yakni sekitar pertengahan abad ke-19. Semula qiraat al-Quran dibawa dari Mesir oleh seorang ulama terkenal, K.H. Makmun. Ulama ini kemudian mendirikan pesantren al-Quran di 279
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 257 - 296
Lontar Sumur Bor, Kota Serang, Banten, yang kini dikenal dengan Pesantren al-Qur’an Sholeh Makmun. Kepada KH. Makmun berguru beberapa santri (yang kemudin menjadi ulama terkenal, dan mendirikan pesantren dan lembaga pendidikan Islam, seperti KH. Mas Abdurrahman bin Jamal (Menes). Pesantren inilah yang merupakan cikal bakal munculnya berbagai pesantren Qiraat al-Quran di daerah lain di Banten, bahkan di wilayah lain di Indonesia. Selain di Sumur Bor, pesantren qiraat juga berdiri di Benggala (K.H. Shobri), Cipare, dan beberapa pesantren lainnya. Kini terdapat beberapa pesantren qiraat lain di Banten, antara lain di Malingping (K.H. Ahmad Subaeta/Kyau Baet alm.), dan lain-lain. Popularitas seni qiraat di Banten sedemikian rupa, sampai tidak satu pun qari/qariah nasional dan internasional (dari berbagai propinsi di Indonesia) yang tidak menimba ilmu qiraat di Banten. Untuk sekedar menyebut beberapa nama, antara lain Nanang Qosim, Mu’ammar Z.A., dan Humaedi Hambali. Sebagai seni, qiraat al-Quran telah menjadi disiplin ilmu tersendiri, yang terkait tidak hanya dengan keindahan bacaan, tetapi juga dengan ilmu tajwid dan mazhab-mazhab qiraat yang berkembang di dunia Islam (qiraat Sab’ah). Seni qiraat juga telah memiliki rumus-rumus bacaan yang baku dan mapan, seperti bayati, shaba, qarar, jawab, jawab al-jawab, ziharkah, syirkah, nahawand, dan sebagainya. Meski berada jauh dari pusat lingkaran konsentris di Timur Tengah, prestasi seni qiraat di Indonesia diakui dunia, dan memiliki reputasi internasional. El-Faruqi sendiri secara terbuka mengakui reputasi Indonesia dalam bidang ini. 2. Seni Kaligrafi al-Quran Selain ilmu qiraat, Banten juga merupakan salah satu wilayah yang mengembangkan seni kaligrafi al-Quran, yakni seni menulis indah ayat-ayat al-Quran. Salah satu 280
Ekspresi Seni Budaya Islam di Tengah Kemajemukan Masyarakat Banten — Huriyudin
tokoh penting yang menekuni bidang ini di Serang adalah Drs. Sarbani Amir. Meski tidak secara spesifik mengembangkan seni kaligrafi, Prof. KH. Wahab Afif, MA juga dapat disebut sebagai salah satu tokoh yang memberikan inspirasi bagi tumbuhnya seni kaligrafi alQuran di Banten. Tentang kaligrafi al-Quran, kita tidak mungkin mengabaikan peran yang dimainkan oleh Lembaga Kaligrafi al-Quran (Lemka) di Fakultas Adab IAIN (kini UIN) Jakarta pada tahun 1980-an, melalui tokoh utamanya D. Sirojuddin AR. Kini, kang Didin telah memiliki murid dan generasi penerus dalam jumlah yang signifikan (ratusan orang) dan tersebar di seluruh wilayah dan pelosok tanah air, antara lain Sdr. Ali Akbar yang kini mengawal lembaga Bayt Al-Quran dan Museum Istiqlal, Jakarta. Kini para alumni Lemka telah berperan aktif dalam berbagai event MTQ (tingkat kabupaten, provinsi, nasional, dan internasional), baik sebagai peserta, dewan juri, maupun pemandu kaligrafi. Mereka juga telah terlibat secara intens menghiasi raturan bahkan ribuan mesjid dengan kaligrafi indah di berbagai kota di seluruh Indonesia. 3. Khataman al-Quran Khataman al-Quran merupakan khazanah seni budaya yang penting di Banten, dan tersebar hampir merata di segenap daerah berbudaya santri, seperti Serang, Pandeglang, Malingping, Cilegon, Balaraja, Caringin, Menes, dan sebagainya. Seni budaya ini diselenggarakan pada moment-moment tertentu, seperti peristiwa anak khatam al-Quran, perempuan yang akan menikah dan melepas masa lajang, atau pada saat tertentu sesuai dengan nazar seseorang. Kegiatan ini dapat dilakukan secara sendiri-sendiri (terutama bagi yang mampu) maupun kolektif (biasanya dilakukan pada perayaan keagamaan tertentu seperti muludan, rajaban, atau nuzulul Quran).
281
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 257 - 296
Biasanya seorang peserta khatam al-Quran didaulat untuk membaca juz terakhir di depan khalayak dengan suara lantang dan semi berlagu, setelah sebelumnya ustadz membacakan doa-doa, zikir, dan tahlil. Setelah selesai menamatkan al-Quran para peserta kemudian diarak keliling kampung (seringkali dengan ditandu, terutama untuk anakanak), didudukkan di mesjid, dan diiringi dengan makanmakan (slametan) dan hiburan tertentu yang bernafaskan Islam. Ke dalam lingkaran konsentris ini juga dapat pula dimasukkan ekspresi estetik Islam yang lain seperti azan, tahlilan, dan prosesi walimatus-safar. Terlepas dari adanya unsur lokal, karena tujuan dan prosesinya yang sepenuhnya Islami, tradisi seni budaya ini dapat dimasukkan lingkaran utama ini. Lingkaran Konsentris II 1. Marhabanan Marhabanan (di beberapa tempat disebut juga mar¥ab±n atau marhaba) merupakan tradisi yang berkembang di seluruh pelosok di Banten (tradisi yang sama juga berkembang di kalangan komunitas lain di Betawi, Jawa Barat, dan bahkan di berbagai pelosok Nusantara, terutama di lingkungan Nahdhiyyin). Marhabanan dilakukan dalam bentuk pembacaan nadzam yang diambil dari kitab Barjanzi dengan suara melengking dan saling bersahutan. Sebelum seluruh jamaah mengambil posisi berdiri, terlebih dahulu dibacakan (umumnya masyarakat telah menghafal di luar kepala) beberapa bait nadzam sebagai pengantar awal. Bayt-bayt nadzam dalam marhabanan berisi pujian dan sanjungan kepada Rasulullah dan keluarganya (terutama kedua cucunya, Hasan dan Husein). Setelah selesai, kemudian dibacakan doa untuk keselamatan anak, agar menjadi anak yang saleh dan berbakti kepada kedua orangtuanya. Marhabanan dilakukan untuk menyambut kelahiran anak, cukuran rambut yang pertama kali, pada saat 282
Ekspresi Seni Budaya Islam di Tengah Kemajemukan Masyarakat Banten — Huriyudin
acara sunatan anak laki-laki, atau pada momen-momen tertentu dalam daur hidup yang dianggap penting. 2. Kasidah Di kawasan Timur Tengah kasidah merupakan bentuk syair epik sastra Arab berisi puji-pujian yang dinyanyikan. Umumnya, syair-syair itu mengandung unsur dakwah dan nasihat sesuai dengan ajaran Islam, dan biasanya dinyanyikan dengan penuh rasa gembira diiringi rebana – sejenis alat musik tradisional yang terbuat dari kayu yang dilobangi dan ditutup kulit binatang. Selain kasidah, di Banten jenis musik ini dikenal dengan sebutan rebana, mawalan, dan tagoni. Awalnya rebana berfungsi sebagai instrumen dalam menyanyikan lagu-lagu keagamaan berupa puji-pujian kepada Allah SWT. dan rasul-Nya, shalawat, syair-syair Arab, ajakan untuk mentaati ajaran Islam, dan lain-lain. Di Banten terdapat banyak sekali kelompok kasidah di berbagai kampung, terutama pada kampung-kampung di mana di sekitarnya terdapat pesantren, atau perkampungan santri. Biasanya musik ini didendangkan setelah belajar mengaji al-Quran, pada acara ikhtifalan (acara kenaikan kelas) di madrasah, atau pada acara peringatan hari besar Islam, sunatan, dan pesta perkawinan. Musik ini biasanya dimainkan oleh beberapa orang (5-9 orang), masing-masing memainkan rebana, terkadang termasuk juga penyanyinya. Dalam perkembangannya, kasidah tidak hanya dimainkan dengan alat musik rebana, tetapi juga memasukkan unsur suling, gitar, biola, dan organ – kemudian dikenal dengan sebutan kasidah moderen. 3. Marawis Marawis merupakan kesenian bernuansa Islami yang berkembang di Tangerang, Banten. Aslinya, kesenian ini berasal dari tradisi Muslim yang dibawa oleh bangsa Yaman. 283
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 257 - 296
Kesenian ini merupakan kombinasi antara seni perkusi dan ritmis dinamis yang dilakukan oleh lebih dari 10 orang pemain pria dan atau wanita sebagai pemain musik, penyanyi dan penari. Seni ini tidak hanya hadir dalam prosesi tradisional, namun kini menjadi seni yang cukup digemari karena menarik. Kini tidak sedikit sekolah dan madrasah di Banten yang menjadikan marawis sebagai mata pelajaran ekstra-kurikuler. Seperti kasidah, nyanyian dalam marawis juga berisi puji-pujian kepada Allah dan Nabi, serta ajakan untuk melaksanakan ajaran agama. Berbeda dengan kasidah, musik marawis biasanya bernada tinggi, ritmis, dan penuh semangat. Selain ketiga seni budaya keagamaan ini, ke dalam lingkaran konsentris ini dapat pula dimasukkan beberapa jenis kesenian lain seperti nasyid, yalil, dalail, saman, almadad, dan dalail waj’hun. Seperti nampak dari namanya, jenis kesenian ini memiliki kedekatan yang kuat dengan seni Islami. Lingkaran Konsentris III 1. Orkes Gambus Secara umum orkes gambus memiliki kedekatan yang kuat dengan kasidah, dan bahkan merupakan perkembangan baru dari seni kasidah yang dimodernisasikan –dan karena itu disebut juga dengan istilah kasidah moderen. Tetapi pada saat yang bersamaan, seni budaya ini memiliki kedekatan yang kuat pula dengan musik dangdut seperti nampak dari bunyi gendangnya yang menghentak–dan karenanya disebut sebagai salah satu jenis orkes, selain orkes dangdut dan orkes melayu. Yang membedakan orkes gambus dengan jenis orkes lainnya, selain adanya instrumen gambus (sejenis gitar yang badannya kembung dan cenderung setengah bulat), adalah syair nyanyiannya yang lebih bernuansa keagamaan. Tetapi, berbeda dengan kasidah yang nada irama dan syairnya lebih dekat dengan musik Timur Tengah, pada orkes gambus irama dan nadanya lebih 284
Ekspresi Seni Budaya Islam di Tengah Kemajemukan Masyarakat Banten — Huriyudin
menghentak, dengan syair yang umumnya berbahasa Indonesia, serta kerap dinyanyikan dengan irama yang sedikit genit. Meski cukup populer, di Banten kelompok musik ini tidak begitu marak, kecuali beberapa yang terdapat di Rangkasbitung (Lebak, di bawah pimpinan salah seorang pensiunan Kemenag), Serang, Cilegon, Pandeglang, dan Tangerang. Antara lain karena instrumen musiknya yang mahal, dengan berbagai alat musik, dan serba elektronis, orkes gambus hanya berkembang di kawasan perkotaan. 2. Dzikir Saman Dzikir saman disebut juga dzikir maulud, sejenis seni tradisional rakyat yang berkembang di Kabupaten Pandeglang yang pertunjukkannya dilakukan dengan menggunakan media gerak dan lagu (vokal). Syair-syair yang dilantunkan berisi puji-pujian kepada Allah dan penghormatan kepada Nabi. Disebut dzikir saman karena secara historis berkaitan dengan arti saman (£aman) yaitu delapan, dan dicetuskan pertama kali oleh Syekh Saman dari Aceh. Tari saman dibawa oleh para ulama pada abad 18 sebagai seni keagamaan untuk memperingati hari kelahiran Nabi. Dalam perkembangannya dzikir saman ditampilkan pula pada upacara selametan, khitanan, pernikahan, atau selametan rumah. Pertunjukan dzikir saman diperankan oleh 26 sampai 46 orang pemain, dengan 2 sampai 4 orang di antaranya berperan sebagai vokalis yang membacakan syair. 3. Rudat Rudat merupakan jenis seni tradisional yang semula tumbuh dan berkembang di lingkungan pesantren. Seni Rudat merupakan paduan seni gerak dan vokal diiringi tabuhan ritmis dan waditra sejenis terbang. Syair-syair yang terkandung dalam nyanyiannya berisi puji-pujian yang 285
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 257 - 296
mengagungkan Allah dan shalawat pada Rasul, yang bertujuan untuk lebih menebalkan iman masyarakat terhadap agama Islam dan kebesaran Allah. Dengan demikian seni Rudat adalah paduan seni gerak dan vokal yang diiringi musik terbangan dengan unsur utama beladiri dan seni suara. Pertunjukan rudat semula merupakan instrumen kesenian untuk penyebaran agama Islam yang dilakukan pada hari besar keagamaan, seperti mauludan, rajaban, idul fitri, dan idul adha. Seni ini didedikasikan untuk mendidik masyarakat agar menjadi manusia yang bermoral tinggi berlandaskan agama Islam dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT, sehingga terwujud manusia berbudaya, berbudi pekerti luhur, serta keimanan yang kuat. Pada perkembangan berikutnya seni rudat biasa dipertunjukkan sebagai sarana hiburan di lingkungan pesantren, tampil pada upacara perkawinan atau khitanan, untuk menjemput tamu, dan media dakwah dalam penyebaran agama Islam. Ke dalam lingkaran konsentris ini dapat pula dimasukkan jenis kesenian lain seperti terbang gedebus, rentak rebana, seni buroq, dan beberapa jenis seni tradisi lainnya. Lingkaran Konsentris IV 1. Terbang Gede Terbang gede merupakan salah satu seni tradisional Banten yang tumbuh dan berkembang pada masa waktu para penyebar agama Islam menyebarkan ajarannya di Banten. Oleh karena itu kesenian terbang gede berkembang secara pesat di lingkungan pesantren dan mesjid-mesjid. Kesenian ini disebut terbang gede karena salah satu instrumen musik utamanya adalah terbang besar (gede). Pada awalnya kesenian terbang gede berfungsi sebagai sarana penyebaran agama Islam, namun kemudian 286
Ekspresi Seni Budaya Islam di Tengah Kemajemukan Masyarakat Banten — Huriyudin
berkembang sebagai upacara ritual seperti: ngarak panganten, ruwatan rumah, syukuran bayi, hajat bumi, dan juga hiburan. Terbang gede dimainkan oleh beberapa orang, biasanya laki-laki yang telah lanjut usia, terdiri atas penabuh terbang gede (besar), penabuh sela, penabuh pengarak, penabuh kempul, penabuh koneng, yang diiringi dengan bacaan shalawat nabi dengan bahasa Arab ataupun Jawa. 2. Rampak Bedug Rampak Beduk merupakan sajian instrumen berupa perkusi, yang ditingkahi suara bedug berbagai ukuran. Ada empat bedug diikat kain merah biru, yang dipukul oleh pemain yang berdiri di tengah. Di pinggirannya, kelompok musik menimpali dengan bedug berbagai ukuran. Sesekali suara terdengar dari mulut para pemainnya, mirip suara musik tiup. Namun, tak ada sajian instrumen tiup. Yang terdengar, suara harmonis antara bedug dan para vokalis tradisi saling menyahut. Seni Rampak Bedug berawal dari kebiasaan penduduk berkeliling kampung sambil memukul bedug saat sahur di bulan puasa, yang kemudian dijadikan ajang untuk beradu keras memukul bedug. Alhasil terjadilah pertemuan antar mereka, saling beradu kekuatan bedug, seperti nampak dari pertunjukan Tari Rampak Beduk Banten yang dimainkan oleh sekelompok orang secara massal. 3. Debus Debus merupakan seni pertunjukan yang memperlihatkan permainan kekebalan tubuh terhadap pukulan, tusukan, dan tebasan benda tajam. Dalam pertunjukanya, debus banyak menampilkan aktraksi kekebalan tubuh sesuai dengan keinginan pemain. Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa pada abad ke-17, debus digunakan sebagai media untuk membangkitkan semangat para pejuang dalam melawan 287
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 257 - 296
penjajah. Pada perkembangan selanjutnya, debus menjadi salah satu bagian ragam seni budaya masyarakat Banten, sebagai hiburan yang langka dan menarik. Seni debus berkembang di kabupaten Lebak, Pandeglang, Cilegon dan Serang. Menurut A Sastrasuganda, kata “debus” berasal dari bahasa Sunda yang berarti tembus, yang menunjukkan bahwa alat-alat dalam kesenian debus benar-benar benda tajam yang dapat menembus badan para pemainnya. Selain itu, debus juga berasal dari kata “gedebus” yang merupakan salah satu benda tajam yang digunakan dalam kesenian tersebut. Karena debus merupakan kesenian yang mempertunjukkan kekebalan tubuh, maka debus bisa pula diartikan ‘tidak tembus’ oleh segala benda tajam yang dibacokkan atau ditusukkan ke tubuh manusia. Dalam berbagai kajian, kesenian debus ini disebut sebagai bentuk ekspresi estetik salah satu kelompok tarekat di Banten, dank arena itu memiliki nuansa keagamaan yang cukup kental. Pertunjukan debus biasanya membuat para penonton merasa ngeri karena berbagai senjata tajam seperti golok, gedebus, dan lain-lain ditusukkan atau dibacokkan ke tubuh para pemainnya. Tetapi, karena para pemain debus telah dibekali dengan ilmu kekebalan tubuh, serangan dan tusukan benda tajam itu tidak melukai tubuhnya. Ke dalam lingkaran konsentris ini dapat pula dimasukkan beberapa jenis seni tradisi lain seperti rampak terbang Ciloang, rentak rebana,bedug tradisi, patingtung, pencak silat, dan bandrong. Lingkaran Konsentris V 1. Beluk Beluk merupakan seni tradisional yang erat hubungannya dengan kesusastraan wawacan yang menggunakan aturan pupuh. Pupuh yang biasa dipergunakan dalam kesenian Beluk di antaranya kinanti, asmarandana, dangdanggula, sinom, pangkur, davina, lambung, ludrang, magatru, maskurnambang, gambuh, dan 288
Ekspresi Seni Budaya Islam di Tengah Kemajemukan Masyarakat Banten — Huriyudin
gurisa. Ciri khusus kesenian beluk adalah aluknya, yakni suara petit atau jeritan yang tinggi. Kesenian ini sangat menjunjung tinggi budaya leluhur yang terikat pada ketatnya aturan dan tata cara baku yang turun- temurun. Pada mulanya seni beluk hanya sekedar untuk menghibur diri dan sebagai alat komunikasi. Tapi sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat maka beluk berfungsi religius, sosial dan rekreatif (hiburan). Seperti seni tradisional lain, Beluk tidak lepas dan mitos atau legenda yang beranggapan bahwa dengan menyanyikan beluk dalam acara syukuran bayi 40 hari, pernikahan atau sunatan akan mendapat berkah dalam hidupnya. Beluk lahir di daerah Jawa Barat dan Banten pada masyarakat ladang, yaitu masyarakat yang menanam padinya dengan berhuma. Dahulu, karena daerahnya masih hutan belantara, jarak satu huma dengan huma lain berjauhan. Oleh karena itu komunikasi antar petani menggunakan suara yang berfrekuensi tinggi (meluk) hingga terdengar saling bersahutan. Selain itu, hidup di hutan belantara penduduk sering diganggu binatang buas. Maka sebelum anak berumur 40 hari selalu ditunggu secara bergantian, dan untuk rnenghilangkan rasa kantuk mereka bernyanyi menghibur diri secara bergantian dengan menggunakan suara tinggi, dan salah satu dari mereka membaca guguritan pupuh. Suara yang dilantunkan dengan keras membuat binatang buas tidak berani mendekat. Selain menghibur diri, dahulu beluk digunakan sebagai alat komunikasi yang dilakukan ketika berada di tengah ladang atau saat melewati hutan belantara. Mereka bernyanyi untuk memberitahukan posisi masing- masing. Pertunjukan beluk dipimpin oleh seorang dalang yang membacakan kalimat-kalimat dalam wawacan secara bergiliran antara penembang yang satu dengan penembang lainnya. Penembang ini disebut “tukang meuli” (pembeli). Tukang meuli ini tidak ditentukan secara khusus, siapa saja di antara pemain yang ingin meuli (dengan cara menimpali 289
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 257 - 296
atau menjawab) kalimat yang dibacakan oleh dalang. Selain itu ada pula “tukang naekeun”, yaitu petugas yang bertugas menaikkan nada nada yang sedang ditambangkan ke nada yang lebih tinggi, dan ini pun tidak ditentukan orangnya. Beluk biasanya tampil semalam suntuk --dengan sesajen yang lengkap agar terhindar dari gangguan makhluk halus-- setelah shalat isya sampai menjelang subuh. Sepuluh hari sebelum pelaksanaan, biasanya para pemain memelihara suaranya dengan minum ramuan jamu yang berkhasiat melegakan tenggorokan dan melakukan pantangan (tidak makan makanan berminyak dan beraroma bau). 2. Bandrong Lesung Bendrong Lesung merupakan salah satu kesenian tradisional masyarakat Cilegon-Banten, yang tumbuh dan berkembang secara turun temurun hingga saat ini. Awalnya kesenian ini merupakan tradisi masyarakat setempat dalam menyambut panen raya, sebagai ungkapan bahagia dan syukur atas jerih payah yang telah membuahkan hasil. Dalam perkembangannya, Bendrong Lesung tidak hanya tampil pada penyambutan panen raya, tetapi juga pada acara pesta perkawinan atau upacara peresmian gedung. Bendrong Lesung memadukan musik lesung atau lisung (tempat menumbuk padi) dengan musik lainnya yang dimainkan oleh beberapa orang. Di daerah Banten Selatan, seni ini disebut Adu Lisung. Biasanya dimainkan oleh para ibu atau perempuan secara bersama-sama, setelah selesai menumbuk padi atau menumbuk beras, dengan memukulkan alu dengan berbagai cara untuk memunculkan bunyi tertentu. Untuk menghasilkan bunyi yang lebih meriah, para pemain biasannya meletakkan benda-benda logam (sendok, garpu, piring kaleng) di atas lesung. Di tengah alunan irama lesung, acapkali tampil secara spontan salah seorang pemain mendendangkan sembarang nyanyian, ditimpali suara riuh-rendah ibu-ibu lainnya. Kesenian ini juga sering 290
Ekspresi Seni Budaya Islam di Tengah Kemajemukan Masyarakat Banten — Huriyudin
menjadi instrumen pelengkap saat perayaan khitanan atau perkawinan, untuk mengundang masyarakat agar datang ke tempat perayaan. 3. Angklung Gubrag Angklung gubrag merupakan salah satu seni tradisional yang telah langka. Namun masyarakat di desa Kemuning, kecamatan Kresek, kabupaten Tangerang masih melestarikan kesenian ini pada acara khitanan, perkawinan dan selamatan kehamilan. Di masa lalu, seni tradisi ini ditampilkan pada saat ritual penanaman padi agar hasil panen berlimpah. Instrumen yang digunakan dalam angklung gubrag adalah 6 (enam) buah angklung menggunakan bambu hitam, masing-masing bernama bibit, anak bibit, engklok 1, engklok 2, gonjing dan panembal, dilengkapi dengan terompet, kendang pencak, dan seruling. Di atas angklung diikatkan pita kembang wiru. Menurut kepercayaan setempat, kembang wiru dan air yang berasal dari angklung dipercaya dapat menjadi obat dan penyubur tanaman. Semua pemain berdiri, tidak menari kecuali penabuh dogdog lojor yang menabuh sambil ngibing, diiringi beberapa penari perempuan dengan kostum kebaya dan kain. Ke dalam lingkaran konsentris ini dapat pula dimasukkan jenis seni tradisi kudalumping, ubrug, tanjidor, jaipongan, goong rancag, gendreh karuhun, gitek ganjen, gitek cokek, lenggang sedanten, nandak cokek, dan wadhon prigel. Lingkaran Konsentris VI Seperti diisyaratkan oleh Faruqi, pada lingkaran terluar ini pengaruh Islam dalam sni tradisi sama sekali tidak nampak, dan karena itu tidak dimasukkan ke dalam seni tradisi Islami. Ke dalam lingkaran terluar ini, karenanya, dapat pula dimasukkan semua jenis 291
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 257 - 296
kesenian yang berkembang dalam komunitas agama lainnya, seperti barongsay, kidung jemaat, dan sebagainya. Selain itu, pada lingkaran terluar ini masuk pula setiap jenis kesenian yang tidak dimaksudkan sebagai pembawa pesan keagamaan, karena sifatnya yang murni hiburan. Dengan demikian, ke dalam lingkaran ini dapat pula dimasukkan beberapa jenis seni budaya yang berada pada lingkaran konsentris sebelumnya. 1. Angklung Buhun Angklung buhun merupakan alat musik tradisional khas kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Dinamakan buhun karena kesenian ini lahir bersamaan dengan hadirnya masyarakat Baduy. Buhun berarti tua, kuno, atau baheula. Angklung buhun adalah angklung tua yang menjadi kesenian pusaka masyarakat Baduy. Kesenian ini dianggap memiliki nilai magis dan sakral. Selain itu kesenian ini juga memiliki arti penting sebagai penyambung amanat untuk mempertahankan generasi masyarakat Baduy. Biasanya angklung buhun ditabuh pada saat masyarakat Baduy memulai menanam padi di huma, atau ketika merayakan panen padi, atau saat mereka melalukan seba, yakni menyerahkan hasil panen atau “seren taun” kepada pemerintah setempat (bupati atau gubernur, yang mereka sebut sebagai bapa gede dan ema gede). 2. Dogdog Lojor Dogdog merupakan alat musik yang terbuat dari batang kayu bulat, tengahnya diberi rongga, namun kedua ujung ruasnya mempunyai bulatan diameter yang berbeda (± 12 – 15 cm) dengan panjang ± 90 cm. Pada ujung bulatan yang paling besar ditutup dengan kulit kambing yang telah dikeringkan dan diikat dengan bambu melingkar yang dipaseuk/baji untuk menyetel suara atau bunyi. Suara yang dihasilkan akan berbunyi dog dog dog, sehingga alat ini disebut dogdog. Sedangkan kata “lojor” berarti lonjong atau lodor yang sepadan dengan kata panjang. 292
Ekspresi Seni Budaya Islam di Tengah Kemajemukan Masyarakat Banten — Huriyudin
Kesenian ini berkembang di Lebak, Banten Selatan, dengan pemain sebanyak 12 orang. Awalnya pertunjukan dogdog lojor dilakukan sebagai pelengkap dalam pelaksanaan upacara adat seperti seren taun, sedekah bumi, atau acara ruwatan. Sejalan dengan perkembangan zaman, pertunjukan dogdog lojor dilakukan dengan penuh kegembiraan sehingga berkembang menjadi seni pertunjukan dan permainan rakyat. 3. Gambang Kromong Gambang Kromong sering ditanggap dalam acara pesta perkawinan untuk mengiringi para tamu yang hendak ngibing cokek. Pertunjukan lenong pun disebut bukan lenong kalau tidak diiringi gambang kromong. Gambang kromong juga dikenal sebagai budaya Betawi dan sudah jadi trademark masyarakat Betawi. Di beberapa wilayah di Kab. Tangerang cukup banyak perkumpulan gambang kromong dan wayang cokek, terutama di kalangan komunitas Tionghoa. Menurut Ninuk Kleden-Probonegoro (2002), ada empat kecamatan di kab Tangerang yang terbanyak memiliki grup gambang kromong dan wayang cokek, yakni Teluk Naga, Kosambi, Sepatan dan Legok. Selain itu, gambang kromong tak terpisahkan dari kehidupan kesenian masyarakat Cina Benteng, yakni masyarakat Tionghoa Peranakan yang sejak beberapa generasi bermukim di Kabupaten dan Kota Tangerang. Pada waktu senggang mereka memainkan lagu-lagu Tionghoa dari kampung kakek moyang mereka di Cina dengan instrument gesek Tionghoa su-kong, teh-hian, dan konghian, bangsing (suling) dan ningning, dipadukan dengan gambang. Gambang, instrument yang diambil dari khazanah instrumen Sunda/Jawa, digunakan sebagai pengganti fungsi iang-khim, yakni semacam kecapi Tionghoa, tetapi dimainkan dengan semacam alat pengetuk yang dibuat dari bambu pipih. 293
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 257 - 296
Pada perkembangan selanjutnya, sekitar 1880-an, diprakarsai Wijkmeester Teng Tjoe dari Pasar Senen, Batavia, barulah orkestra gambang ditambah dengan kromong, gendang, kempul dan gong. Maka, terciptalah gambang kromong. Ke dalam lingkaran konsentris ini dapat pula dimasukkan beberapa jenis kesenian lain seperti wayang golek, lenong, topeng, degung, degung kacapi, ubrug, calung, calung renteng, reog, kacapi suling, seni pencak silat bodor, karawitan, dodod, terbang ngarak, dogdog kerok, mater bedug, dan topeng sempilan. Penutup Sebagai kata akhir, nampaknya perlu disampaikan beberapa catatan pamungkas: Pertama, sebagai kajian awal, inventarisasi seni budaya keagamaan ini perlu ditindaklanjuti, dan ditangani secara serius dengan melibatkan berbagai kalangan: budayawan, seniman, antropolog, dan sosiolog. Sebagai langkah awal, tentu usaha pemetaan seni budaya keagamaan yang dilakukan di Banten perlu dilanjutkan ke wilayah provinsi lain di seluruh Indonesia, serta dilakukan terhadap seluruh aspek seni budaya. Ini penting, agar pengetahuan dan pemahaman atas seni budaya keagamaan ini dapat dilakukan secara komprehensif. Kedua, karena penting dan besarnya pengaruh seni budaya keagamaan dalam kehidupan sosial, pendidikan, dan kehidupan keagamaan, sudah waktunya pemerintah (dalam hal ini Kementerian Agama) memberikan apresiasi, asistensi, dan fasilitasi secara memadai terhadap pelbagai ekspresi seni budaya keagamaan yang tumbuh di tengah segenap komunitas agama. Sebagaimana pernah terjadi di masa lalu, ekspresi seni budaya keagamaan ini dapat dimanfaatkan sebagai media dakwah dan pendidikan, sarana bagi pemberdayaan sosial ekonomi umat, dan alat untuk membangun kehidupan keagamaan yang indah, lembut, toleran, dan penuh ceria.[]
294
Ekspresi Seni Budaya Islam di Tengah Kemajemukan Masyarakat Banten — Huriyudin
Daftar Pustaka al-Faruqi, Ismail Raji. 1999. Seni Tauhid, Esensi dan Ekspresi Estetika Islam. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Sidi Gazalba, Drs. 1977. Pandangan Islam tentang Kesenian, Jakarta: Bulan Bintang. Chisaan, Choirotun. 2008. Lesbumi Strategi Politik Kebudayaan. Jogjakarta: LkiS. Cet I. Israr, C. 1979. Sejarah Kesenian Islam, Jilid I dan 2. Jakarta: Bulan Bintang. Abdul Hadi, W.M, Dr. 2000. Islam Cakrawala Estetika dan Budaya. Jakarta: Pustaka Firdaus. Dinas Kebudayaan Provinsi Banten. 2011. Seni Tradisi di Banten, Serang. Abdullah, Taufik dkk. 1993. Islam dan Kebudayaan Indonesia Dulu, Kini dan Esok, Jakarta, Yayasan Festival Istiqlal. Cet. I. Geertz, Clifford. 1983. Santri, Abangan, dan Proyayi dalam Masyarakat Jawa. terj. Aswab Mahasin, Cet. 2. Jakarta: Pustaka Jaya. Dhofier, Zamakhsyari. 1986. Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES. AG, Muhaimin. 2002. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Bantenologi. 2012. Inventarisasi Seni Budaya Banten. Serang. Bantenologi. 2011. Focus Group Discussion Kajian Budaya Banten. Jabbar, Abdul. 1988. Seni di Dalam Peradaban Islam. Bandung: Pustaka. Mihardja, Achdiat K. 1986. Polemik Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Mahdiduri, Urgensi Rencana Induk Pelestarian (RIP) Kebudayaan Daerah Provinsi Banten. http://www.nimusinstitute.com/artikel-mahdiduri http://content.rajakamar.com/asal-usul-kesenian-debus/ 295
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 257 - 296
https://sites.google.com/site/nimusinstitut/masyarakat-adat-baduy http://content.rajakamar.com/seni-dan-budaya-khas-banten/ https://sites.google.com/site/nimusinstitut/patingtung https://sites.google.com/site/nimusinstitut/gambang-kromong
296