"AZIMAT BERWAFAK" EKSPRESI SIMBOLIK MASYARAKAT ISLAM DI CIREBON (Analisa Bahasa Rupa "Azimat Berwafak" di Cirebon - Jawa Barat)
TESIS SM.720
Oleh: TRI KARYONO NIM: 27099505
PROGRAM MAGISTER SENI RUPA DAN DESAIN PROGRAM PASCASARJANA NSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG I 2001
DR. A. SUBARNA Pembimbing I
DR. DUDY WIYANCOKO Pembimbing II
DR. A. SUBARNA Ketua Unit Implementasi Program Magister Seni Rupa Dan Desain
Abstrak Azimat Berwafak: Ekspresi Simbolik Masyarakat Islam Di Cirebon (Analisa Bahasa Rupa "Azimat Berwafak" di Cirebon - Jawa Barat) oleh: Tri Karyono Program Studi Seni Murni Program Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung, 2001 Pembimbing: Dr. Subarna dan Dr. Dudy Wiyancoko
Azimat sebagai lokalitas dan warns lokal seni tradisi merupakan karya yang termarjinalkan oleh arus informasi yang menyeret perubahan-perubahan pola berfikir masyarakatnya. Azimat berwafak ini mencmpakan ciri lokal khas Cirebon sekaligus juga memiliki citra spiritualitas seni Islam yang kuat pula. Kaligrafi, geometrik dan pengulangan yang menjadi ciri khas seni Islam nampak pada azimat berwafak ini. Tapi bila kita analisa ternyata kekhasan seni Islam pada azimat berwafak ini tidak sepenuhnya meniru dari kekhasan seni Islam. Ini terbukti adanya simbol binatang realistik, tokoh pewayangan senjata, bahkan menciptakan simbl-simbol abstrak yang unik. Ini membuktikan apapun yang datang dari luar ke Indonesia akan selalu mengalami proses alkulturasi. Alkulturasi itu akan menimbulkan suatu bentuk seni budaya yang berakarkan pada ciriciri kebudayaan asing dan kebudayaan sendiri atau disebut hibridisasi. Penelitian ini merupakan penelitian pertama (original) yang mengkaji dan menganalisa azimat berwafak dari segi bahasa rupa. Pads penelitian ini akan diteliti berbagai hal yang berkenaan dengan identitas (local genius) baik bentuk, filosofi, simbol maupun konsep estetik azimat. Azimat berwafak ini memiliki ungkapan rupa berupa simbol-simbol mulai dari bentuk, warns, material dan huruf-huruf magis. Ungkapan rupa azimat ini tentu merupakan special case of meaning dimana hanya orang-orang tertentu saja yang mengerti. Dalam hal ini peneliti ingin mengungkap lebih dalam tentang hal-hal tersebut diatas, sebab peneliti meyakini bahwa manifestasi tradisi azimat berwafak ini tidak semata estetik belaka namun menitipkan ungkapan simbolis, filosofis, kosmologi serta nilainilai luhur yang erat kaitannya dengan konsep atau slam fikiran pembuatnya dan masyarakat pendukungnya. Masyarakat Cirebon yang membuat, memakai azimat kebanyakan masih memegang tradisi leluhurnya, dunia idenya kuat lekat dengan konsep religi, oleh sebab itu pads azimat berwafak ini tercermin dan memancarkan budaya mitis kuat. Kendala subject matter penelitian ini karena bagi sebagian masyarakat Cirebon terutama pemakai azimat maupun pembuat azimat masih menganggap azimat berwafak ini bends suci, regalia yang di hormati dalam statusnya tabu untuk dijamah sembarang orang.
Betapapun sulitnya penelitian ini, penulis sangatlah disadarkan oleh dua pernyataan bijak mengenai budaya Indonesia dari Prof. Dr. Primadi Tabrani dan Jacob Oetomo
• "Jangan sampai atas nama modern seni tradisi tergusur" . • "Kita hares punya pandangan dan keyakinan bahwa Indonesia modern akan tetap bersosok Indonesia"
Abtract Azimat Berwafak (Amulet of Wafak) The Symbolic Expression of Islamic Comunnity in Cirebon (Visual Language Analysis of "Azimat Berwafak" of Cirebon Comunnity, West Java) by Tri Karyono Fine Arts Program, Post Graduate School of ITB, 1999 Thesis Advisors: Dr. Subarna and Dr. Dudy Wiyancoko
Azimat (amulet, talisman, or mascot) as a traditional arts locality and local colour is marginalized work by information stream that carry away the changes of its community's way thingking. Amulet of wafak represents the local unique character of Cirebon Community, and at the same time it also has the strong spirituality image of Islamic arts. Caligraphy, geometric, and repetition as the unique characters of Islamic arts are able seen on amulet of wafak.. But in contrary, if analysed deeper the arts of wafak, indeed the Islamic arts uniqueness of wafak does not fully imitate the uniqueness of Islamic arts. It can be proved from the available of realistic animal symbols, the prominents of weapon, `puppet performance' (wayang), and even the creation of unique abstract symbols. They prove that whatever foreign cultures come into cultures of Indonesia, they usually experience the process of acculturation. The acculturation would generate a form of culture arts in which can be traced in to characters of foreign and self internal cultures, or it's termed culture hybridization. The study is a an original research to trace and analyze the amulet of wafak of according to the `visual language'. The research of studied whatever aspecs in related to the indentities (local genius), whether it's form, philosophical, symbols or wafak's esthetic concept. The amulet of wafak has special visual includes forms, colours, materials, and magic alphabet. In fact, the visual language of amulet represents the specials case of meaning, in the meaning of visual are just understood by particular persons. The particular communities of Cirebon who make and use the amulet of wafak most of the holds and maintains their ancestor's tradition, the realm of their ideas are so firmly devoted to the religious concepts, that wafak reflects and springs the firm mystical culture. The subject matter obstacle of he reseach was caused of a part community members of Cirebon, particulary the users and make makers of wafak still assume that amulet of wafak is holly matter, the reflected regalia, and has the status in which is taboo or sacred to be attached by habitual persons. Even though the difficulty of researh, the researcher was much made become conscious by two wise statements in dealing with cultures of Indonesia, i.e. Prof Dr. Primadi Tabrani, and Jacob Utomo
That wise statements are:
• Don't lets hauled down of traditional arts for modernization • We must have the contemplation and belief that modern Indonesia is continue characterize the uniqueness of Indonesia
BAB V
Kesimpulan dan Rekomendasi
A. Kesimpulan
Bab ini merupakan warns. sari atau kesimpulan berdasarkan hasil temuan lapangan (field work) serta hasil analisis yang menjawab persoalan-persoalan yang termuat pada rumusan penelitian. Meskipun sebenarnya secara comprehensive atau luas meliputi banyak hal yang bersangkut-pact dengan azimat berwafak telah dijelaskan pada bab III dan IV. Dari serangkaian proses penelitian penulis menemukan beberapa pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
1. Perihal simbol-simbol bagi masyarakat pendukung azimat berwafak merupakan spiritualitas (berhubungan dengan atau bersifat rohani) yang ejawantahkan dalam bentuk gambar, huruf magi, tulisan magi yang `mempertegas keyakinan terhadap spa yang diharapkannya' dalam arti pemenuhan mistic personality (Anne Marie Schimel) Khusus simbol yang berupa gambar bersifat `lentur' menyesuaikan dengan manfaat azimat berwafak.
Misalnya azimat berwafak untuk keselamatan
berkendaraan maka simbol gambarnya adalah motor (ikonografis). Huruf magis dan
195
angka magis menempati bagian utama yang berkenaan dengan manfaat yang dikandungnya Namun simbol lain seperti Semar, Macan Ali, Pedang Ali, Cakramanggilingan, segi tiga (musalas), segiempat (muroba)
adalah simbol yang secara sadar diangkat
karena mempunyai nilai filosofi tinggi yang berkaitan dengan, kebenaran, moral dan etika yang difahami secara turun menurun.
2. Simbol yang terdapat pada azimat dapat dikelompokan menjadi empat jenis: a. Bentuk abstrak simbolis yaitu bentuk abstrak yang melambangkan sesuatu pengertian seperti simbol bulan, bintang, b. Bentuk abstrak filosofis seperti huruf Arab, angka-angka arab yang berdiri sendiri c. Bentuk abstrak murni seperti lingkarari, bujur sangkar, segitiga_ d. Bentuk figuratif/abstraktif adalah bentuk alam yang telah dirubah bentuk-bentuk yang menyimpang dari bentuk aslinya. Perubahan ini bisa dilakukan dengan cara menyederhanakan bentuk (stilasi), merubah bentuk (deformasi) atau merubah proporsi (deformasi). Bentuk figuratif biasanya mengacu kepada bentuk-bentuk yang diambil dari bentuk alami (khususnya bentuk manusia) misalnya wayang e.
Bentuk realistik; pada azimat nampak realistik-nya sangat naif Berupaya realistik namun secara teknis tidak tercapai. Misalnya gambar manusia setengah badan, macan.
196
3. Azimat berwafak merupakan seni tradisi keberaksaraan (istilah: Amin Sweney) dilihat dari artifaknya namun seni tradisi lisan dari proses tranmisi budaya. Orang yang bisa membuat azimat bewafak, belajar secara lisan dari gurunya selebihnya is mengandalkan "nalar" (baca: kemampuan pikiran untuk mengingat kembali yang pemah is pelajari). Oleh sebab itu distorsi atau penyimpangan penulisan dapat terjadi. Terutama yang berkaitan dengan penulisan huruf magis yang dikaitkan dengan nilai numeriknya, cara penulisan kutipan kutipan dari Alquran atau hadits.
4. Anasir Hindu masih nampak pada azimat berwafak. Beberapa simbol visualisasi maupun maknanya hampir serupa. Seperti misalnya segitiga, Secara psikologireligius ini merupakan bukti bahwa belum diputuskan afinitasnya dengan alam pikiran Meru dalam Hindu.
Meru yang dengan referent
gunung atau simbol
gunung (antefix) sebagai tempat tinggal para dews. Alam pikiran itu merupakan paralelisme dengan fase Pra Hindu yang beranggapan arwah leluhur itu berasal dari gunung clan kembali ke gunung. Sedangkan dalam fase Islam simbol segitiga (musalas) itu dimaknai sebagai falsafah tingkat pemahaman seorang muslim; yakni Islam (berserah diri pada tataran syariat), Ihsan (mensucikan diri pada tataran tasaut) clan Iman (percaya kepada Allah, Utusan, Malaikat, Kitab, Hari Kiamat clan Takdir) atau juga terkait
dengan simbolisasi yakni tingkatan keimanan seorang muslim yakni
syariat, hakikat, ma'rifat. Hal yang sama dalam seni rupa lainnya, dapat dilihat dengan jelas pads
197
pengambilan bentuk arsitektur mesjid
beratap tumpang, afinitas terhadap alam pikiran meru
sangat kental. Menurut sejarahnya adalah konsepsi syiar Islam dalam upaya menarik
orang-orang supaya agama Hindu. terhadap daerah
memeluk agama Islam terutama yang masih memeluk
Selain tentu tropis.
secara teknis diperhitungkan sebagai antisipasi
Demikian pula dengan azimat berwafak menurut
masyarakat pendukungnya kecenderungan semacam itu yakni
syiar Islam
menjadi tujuan, disamping fungsi, manfaat, cara penggunaannya bersifat mistik. Simbol lainnya yang diserap dari simbol Hindu adalah tapak dara, tapak kaki, lengkung silang tolak bala dan lain-lain.
5. Selain tulisan kutipan Al-quran, angka dan huruf magi juga terdapat paduan dengan gambar wayang misalnya Semar. Nampak dalam hal ini terjadi kompromi budaya dimana satu sama lain saling mengisi. Semar dimaknai sebagai orang yang setara dengan orang yang mencapai makrifat menjadi pelindung dan panutan bagi masyarakatnya. Penekanan ajaran Islam diusung dengan ditandai sekujur tubuh Semar bertuliskan Kalimat Syahadat sebagai ikrar suci sebelum masuk agama Islam. Istilah yang secara kebetulan hampir mirip antara Jimat Kalimasada dan Kalimat Syahadat memudahkan "pengisalaman" melalui jalur kesenian wayang.
198
Cara semacam itu disebut `penyamaran' seperti halnya Cemeti Ruhmin sebagai bentuk penyamaran dari kata Rahman artinya pengasih. Upaya semacam inipun sama merupakan upaya syiar Islam dengan konsepsi tanpa pemaksaan melainkan menyesuaikan dengan budaya setempat. Fenomena yang sama dapat dilihat secara historis dari gamelan sekaten, ritual panjang jimat.
6. Simbol lainnya Lingkaran (mustajaroh); simbol matahari sebagai pusat energi sekaligus kehidupan, imago mundi atau citra dunia, cakra manggilingan clan lainlain semuanya merujuk pada konsepsi yang sama, baik Hindu maupun Islam. Bagi Hindu selain simbol matahari atau kehidupan juga "simbol kesucian clan kebersihan". Berdasarkan sifat fisiknya lingkaran diartikan kesempurnaan hidup, setelah itu bermetamorfosa menjadi cakra manggilingan bermakna tansah ewah
gingsir artinya yang sifatnya duniawi senantiasa berubah-ubah atau mengalami perputaran laksana roda. Imago Mundi atau citra dunia kehidupan manusia menuju sang khalik melewati pelapisan atau tingkatan. Sufi Andalusia Ibnu Masarah mengambarkan pelapisan tingkatan sebagai kosmologi, dimana Tuhan menyimbolkan semua sintesa kosmos.
7. Simbol segiempat atau murabba, mempunyai afinitas dengan konsep macapat (sedulur papat kelima pancer) yang secara rumit (Coplicated) terkait pula dengan sistem arah angin, sifat logam, naktu, sifat warna, karakter warna clan lain-lain.
199
Dalam hal ini pemaknaan nampak tumpang tindih. Kendati demikian selaras satu sama lain, saling mengisi memberikan penjelasan atau pemaknaan yang mirip seperti halnya kecenderungan pada umumnya bila simbol Hindu yang mengalami "Islamisasi makna". Bagi pendukung azimat berwafak persegi dimaknai sebagai Allah dan Nabi Muhamm SAW pada pusat dan empat sudut lainnya adalah sahabatnya Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali. Pandangan hidup menurut Islam tidaklah anthropos-sentris menjadikan manusia sebagai pusat kehidupan. Tetapi pandangan hidup harus bermula dari Tuhan atau Theo-sentris. Perhatikan pada azimat berwafak selain tulisan Nabi Muhammad selalu muncul tulisan empat sahabat Nabi Muhammad tersebut. Modus pemaknaan dari simbol semacam ini kerap kali ditemukan dalam berbagai bentuk kesenian Cirebon.
8. Simbol Macan Ali dan Pedang Ali, baik dari visual maupun konsep pemahaman merupakan fenomena menarik.
"Ali" (sahabat Nabi Muhammad SAW) biasanya
mempunyai afiliasi kuat terhadap ajaran syiah, seperti halnya di Timur Tengah. Namun kenyataan ajaran ini di Cirebon tidak tumbuh, melainkan yang hidup adalah Tarekat Tijaniyah tumbuh dibawah bendera Nakhdatul Ulama. Konsep mengangkat simbol Macan Ali ternyata menurut pendukung ajimat berwafak di Cirebon terkait dengan sebuah keterangan yang berbunyi "Tiada pemuda sejati selain Ali dan tiada pedang selain dzulfigor" (la fataa illa Ali wa la saifa ills dzulfigor) kalimat ini pads azimat berwafak termasuk terbanyak. Pemahaman terhadap kalimat ini bagi masyarakat pendukung azimat berwafak dimaknai sebagai "simbol kekuatan yang disimbolkan dengan macan yang berarti
200
keberanian menegakkan kebenaan" keunggulan inilah `diagungkan' dan dijadikan simbol pada azimat berwafak disamping huruf dan angka magis melengkapi membuat kesan magis itu terpancar dari benda azimat berwafak.
Sinkretis sebagai pilihan kompromis budaya adalah merupakan ciri dari kesenian Cirebon. Leburnya ajaran dan filsafat Hindu dengan Islam yang bertemu dan mencari sintesis tersendiri di Cirebon. Dalam kesenian Cirebon
keduanya
mengalami sintesa yang terbentuk dalam gubahan yang tidak tarik menarik namun difahami sebagai kompromi budaya. Dalam istilah Yunani disebut Alokhton yang di Othoktonkan dimana agama `baru' melengkapi ruang kosong yang tidak dimiliki agama `lama' (lihat Rahmat Subagja dalam Agama Ash Indonesia).
Proses penyerapan budaya asing di Cirebon memakan waktu yang cukup panjang dan pada akhirnya dengan tegas masyarakat masyarakat Cirebon bentuk kesenian dari hasil sintesa beragam kebudayaan yang
menemukan
bersentuhan seiak
lama. Salah satunya kecenderungan itu dapat dilihat pada azimat berwafak. Dalam azimat berwafak konsep semacam itu masih dipertahankan bahkan azimat berwafak masih
mengangkat harkat seni Islam
kendati `anarsir lama' pun
masih
dipertahankan. Artinya budaya pendatang tidak menggeser kedudukan budaya lama namun terjadi proses hibrida.
Jalur jalur kesenian pada saat penyebaran Islam oleh para wali merupakan cara utama dalam proses Islamisasi. Namun demikian tidak terjadi pemaksaan akan
201
tetapi disesuaikan dengan alam pikiran clan kebutuhan rohani masyarakat Cirebon saat itu menganut agama Hindu.
Salah satu bukti diantaranya lambang keraton
Cirebon berupa Harimau Putih adalah peninggalan kerajaan Hindu-Sunda.
9. Pengulangan (repetition) clan cara simetris yang menjadi ciri seni rupa Islam dalam azimat berwafak
nampak cukup mendominasi meskipun tidak seluruhnya
mengikuti aturan ini. Konsep pengulangan baik bentuk maupun kutipan al-quran, hadits, ornamen geometris, huruf magi clan angka magi, didasarkan kepada "konsep
dzikrullah" yakni memuji nama Allah secara berulang-ulang demi memperoleh keridloannya. Dalam konsep logika sufistik disebutkan memuji nama Allah secara berulang-ulang (dzikir) dimaksudkan jika melakukan berpuluh, beratus bahkan beribu kali maka terciptalah kekhusuan yang pada akhirnya proses transendental dapat menggapai ridho Sang Khalik. Cara simetris
dalam seni Islam dimaknai sebagai simbol keseimbangan hidup
antara dunia clan akhirat.
10. Simbol tidak pernah merupakan representasi yang cukup (Driyarkara,1980:14). Azimat berwafak yang melayani kebutuhan rohani berupa berbagai pengharapan yang didambakan dalam benak pemakainya. Harapan itu sendiri sifanya tidak terbatas. Manusia sebagai animal symbolicum tidak akan henti memproduksi simbol guna pemenuhan kebutuhan hakikinya. Demikian pula dengan azimat berwafak dalam hal ini demi menyesuaikan dengan perkembangan zaman baik dari
202
segi simbolisasi maupun, media ataupun teknik pembuatannya
mengalami
pembaharuan. Tujuan lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah upaya mempertahankan
eksistensi, dilain pihak masih teguh mempertahankan essensi ditengah arus global
yang dilanda budaya pop yang berpotensi memarjinalkan budaya lainnya yang tidak punya `ketahanan' (survival) akibat ditinggalkan masyarakat pendukungnya.
11. Dalam azimat berwafak simbol bukanlah sesuatu yang mengikat (kaku) tidak bisa digantikan dari masa ke masa, melainkan terjadi dapat saja terjadi pembaharuan. Simbol baru dapat diciptakan pendukungnya.
asal
`membumi'
diterima oleh masyarakat
Simbol baru itu dapat saja orang yang berkharisma, misalnya
`tumbal tanam Bung Karno, bentuk azimat berwafak berupa balok logam kuningan seberat
setengah kilogram.
Tongkat Bung Karno, Slampe Hasanuddin, miniatur pedang
Dzulfikor (biasanya berupa simbol lihat pada selendang hikmah), Pecut Ruhmin (biasanya
hanya simbol lihat pada rompi hikmah) bahkan simbol kendaraan
bermotorpun dibuat
melengkapi azimat berwafak yang
manfaatya
untuk
keselamatan berkendaraan. Perkembangan semacam ini menarik karena seni tradisi yang dapat dianggap "kuna" ini masih hidup dengan masyarakat pendukungnya `manusia modern'.
Komunitas ini beranggapan harapan, keinginan, cita-cita itu
dapat terlaksana bila melalui media (berupa azimat) dan mediator (orang yang
203
memberi khodam) yang `disugesti' dapat memberi `sesuatu' atas ijin yang maha kuasa.
Berkenaan dengan hal tersebut diatas, material untuk pembuatan azimatpun mengalami "penyesuaian" misalnya bahan tulang digantikan dengan polister resin yang meniru aslinya, demikian juga batu, logam mulia mas digantikan dengan
kuningan dan lain-lain. Sementara yang aslinya sebenarnya masih tersedia namun dalam jumlah tertentu karena berkaitan dengan daya beli. Yang tetap tidak mengalami perubahan adalah tulisan (huruf dan angka magi), simbol-simbol ,
menurut analisa makna maupun rupa, mirip
Hindu
bahkan
diantaranya ada yang berawal diambil dari Hindu. Perupaan Bulan-Bintang, segiempat, lingkaran yang mengatur huruf dan angka magis,
masih tetap dipertahankan bahkan menjadi ciri khas azimat berwafak.
Bagaimanapun juga
azimat berwafak sebagai bagian dari seni tradisi,
mengandung pesan-pesan budaya berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan dasariah yang pada gilirannya menjadi sarana bagi upaya mempertahankan kolektivitas sosial. Secara empirik pendukung
kesenian individu-individu pada
masyarakat tersebut yang memiliki rasa dan penghayatan yang sama.
12. Pada masyarakat Hindu Bali dikenal pula sejenis azimat berwafak dengan nama
204
Rerajahan yang bermanfaat untuk tolak bala dan sihir. Sedangkan pada azimat berwafak manfaat lainnya selain dua hal tersebut juga sebagai pengasihan, pesugihan, keselamatan, gangguan binatang, kekuatan, kesehatan dan lain-lain . Cara penggunaan hampir sama ada yang di gambar pada logam, kulit, ditanam ditanah dan lain-lain.
Secara struktur bentuk dan struktur penyusunan unsur rupa hampir sama. Perbedaannya,
pada Hindu Bali lebih didominasi gambar yang stilistik, ciri
umum seni rupa Bali nampak kuat. Sedangkan pada azimat berwafak di Cirebon unsur wafak atau berupa kalimat, huruf, angka magi lebih diutamakan dibandingkan simbol berupa gambar. Beberapa unsur rupa Hindu diserap dalam azimat berwafak namun dalam pemaknaan dan perupaan mengalami perubahan. Bila membanding dengan kitab Al-aufak karangan Al-Gazali yang memuat tulisan dan huruf magi,
unsur gambar justru tidak ada.
Perbedaan ini
menunjukkan azimat berwafak bukanlah produk yang imitation culture melainkan hasil karya gubahan milik kolektif masyarakat pendukungnya. Bila dilihat dari kekhasan makna dan rupa azimat berwafak dalam prakteknya sebenarnya masih mempertahankan anarsir lama (animisme, dinamisme, Hindu) sementara penekanan `kelslamannya' lebih ditonjolkan. Ini menandakan azimat berwafak sebenarnya merupakan seni tradisi yang tidak tercerabut dari tradisi sebelumnya (culturally uprooted) disamping azimat berwafak cenderung terbuka terhadap perubahan dan perkembangan,
205
oleh sebab itu dapat mempertahankan keberadaan di tengah masyarakat pendukungnya (conditioning).
13. Fenomena lain pada penelitian azimat berwafak ini selain visual, meaning, juga
usage yang berarti kebiasaan, pemakaian atau juga arti keduanya kebiasaan dalam cara pemakaian.
Usage
merupakan bagian dari pengalaman interaksi yang
sifatnya external yang terkait erat dengan pengalaman interaksi- internalnya yakni "cara berfikir" (L. Pospisil). Cara pemakaian azimat berwafak sebenarnya selalu terkait dengan masalah hakekat dari hubungan manusia dengan Tuhan (alam gaib). Dalam persoalan ini sesuai dengan "nilai sebuah kebudayaan' yang di defmisikan C. Kluchohn. Dari pengertian itu usage berkaitan erat dengan sistem kosmologi. Misalnya cara pemakaian azimat Tumbal Tanam Cakramanggilingan yaitu dengan cara
`ditanam' ditanah. Cara berfikir masyarakat pendukung azimat terhadap
perilaku ini terkait dengan analogi "berpulang ke tanah; asal dari tanah kembali tanah" artinya pengambaran ritual siklus hidup alamiah. Proses penyadaran terhadap semesta yang akan mengalami decay (kehancuran).
B. Rekomendasi
Sebagai peneliti pertama mengenai azimat berwafak, dengan fokus utama kajian unsur rupa dan ungkapannya. Berbagai analisa yang telah dilakukan penulis dengan berbekal informasi dari masyarakat pendukungnya. Melalui penelitian ini sisi-sisi lain yang belum diteliti mulai `nampak' sehingga bagi pihak yang berkepentingan dapat
206
memberikan jalan untuk menindak lanjuti penelitian ini, untuk itu penulis memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1. Masyarakat pendukung Azimat Berwafak adalah masyarakat yang menutup diri. Terlebih bila is ditanya mengenai fungsi dan manfaat azimat berwafak. Hal ini dimaklumi karena fungsi maupun manfaat itu berkaitan dengan harapan-harapan yang sifatnya pribadi (tidak ingin diketahui orang lain). Dilain pihak benda azimat berwafak itu sendiri bagi masyarakat pendukungnya dianggap `suci', 'tabu', sehingga dalam kedudukannya tersebut berkenaan dengan isi yang terkandung didalamnya pada awalnya `enggan' untuk menjelaskannya. Bagi peneliti yang hendak meneliti azimat berwafak secara lebih mendalam sebaiknya tidak sekedar memusatkan perhatian pada artefak semata melainkan pengguna dan pembuatnya harus dijadikan informan utama agar pola pikir mengenai simbol-simbol dapat terungkap lebih mendalam. Dengan demikian penelitian terhadap azimat berwafak berkenaan dengan perilaku mistis yang dikaji dari cara penggunaannya (usage) dan afinitas dengan dengan kesemestaan (kosmologi) secara khusus cukup menarik untuk diteliti. Sisi lainya, memungkinkan pula melihat dari sudut pandang psikologi, sosial, teknologi.
2. Unsur rupa dan pemaknaan yang `tumpang tindih' dalam azimat berwafak dapat diteliti
dengan jalan studi komparatif secara lebih detil dengan didukung unsur
kesejarahannya. Misalnya dibagi atas fase Pra Hindu, fase Hindu dan fase Islam.
207
3. Ditengah arus global budaya mitis benda-benda yang disebut azimat.
masih tumbuh, diantaranya ditandai adanya Keberadaan atau eksistensi azimat ditengah
atmosfer modern yang serba rasional tidak membuat azimat berwafak tergusur. Eksistensi dengan masih mempertahankan esensi azimat berwafak dalam konteks modern patut ditiru oleh seni tradisi lainnya. Bagaimanapun juga ketahanan terhadap
arus
modern
bagai
azimat
berwafak sudah
teruji.
Masyarakat
pendukungnya cukup kreatif dengan membuat berbagai variant azimat sesuai dengan kebutuhan user (pemakai).
Bersamaan dengan hal itu, simbo l-simbo 1
diciptakan `dibumikan' menyesuaikan dengan pola pikir mitis yang sedang berlaku pada masyarakat setempat. Sementara simbol-simbol lama seperti wayang, tokoh
karamah atau binatang mitologi tetap dipertahankan keberadaannya. Penelusuran simbol berdasarkan kurun waktu penciptaan dan mengapa simbol baru itu diciptakan tidak mustahil menjadi kajian yang menarik untuk ditarik kepermukaan kajian ilmiah.
4. Studi lapangan yang otentik dapat menyulitkan, terlebih harus menyusun hasilnya menjadi sebuah karya yang relevan dan mudah dipahami banyak kalangan demikian kata Malinowski (1935). Penulis menyadari penelitian ini tidak `fixed
and finished" karena saat membuat simpulan penelitian ini, berbagai persoalan yang berkenaan dengan azimat berwafak dirasakan masih banyak aspek yang perlu diteliti lebih mendalam. Harapan penulis, ada penelitian berikutnya yang dapat melengkapi kekurangan dari penelitian ini.
208