Beragam Islam, Beragam Ekspresi: Islam Indonesia dalam Praktik Judul: Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia Editor: Greg Fealy and Sally White Penerbit: ISEAS Publishing, Singapore Tahun: 2008 ISBN: 978-981-230-850-4 Tebal: xxii + 295
Munculnya wacana Islam dalam berbagai ranah publik di Indonesia dapat dibaca dari berbagai macam narasi. Dalam kajian sosiologi agama, misalnya, dengan gaya khas sosiolog bebas nilai ala Weber, Berger (1999) menjelaskan bahwa arus deras globalisasi tidak serta merta menjadikan peran agama berkurang dalam masyarakat maupun kesadaran individu. Lebih seimbang jika dikatakan bahwa di satu sisi globalisasi membuat agama semakin berkurang perannya, namun di lain pihak agama justru semakin menguat dengan melakukan perlawanan terhadap globalisasi. Dalam konteks perang ideologi, pasca keruntuhan rezim sosialis dan dikuatkan dengan tesis Fukuyama tentang The End of History (1992), muncul pertanyaan: who’s next after Russia? Huntington dalam Clash of Civilization (1996) menjelaskan bahwa tidak ada lagi perang ideologi pada masa mendatang, melainkan perang peradaban antara Barat, Timur Tengah dan Cina. Globalisasi yang secara ideal digambarkan akan berjalan secara mutual dan adil, dalam kenyataannya, lebih didominasi oleh Amerika Serikat (Berger and Huntington 2002) sebagai wakil dari peradaban Barat. Arus globalisasi yang tidak seimbang tersebut menimbulkan berbagai reaksi baik mengakomodasi maupun menolak; munculnya gerakan keagamaan atas nama Islam di berbagai belahan dunia, dengan puncaknya serangan terhadap simbol ekonomi Amerika (WTC),
86 |
O ki R ahadianto S utopo
seakan memberikan legitimasi bahwa yang terjadi adalah perang peradaban antara Barat dengan Islam. Dalam era globalisasi sekarang, agama kembali menjadi perhatian utama dalam dunia akademis: “Those who neglect religion in their analyses of contemporary affairs do so at great peril” (Berger 1999). Lalu bagaimana dengan Indonesia? Hubungan antara Islam dengan negara mengalami pasang surut, pasca kerjasama antara Islam dengan militer serta bantuan Amerika untuk melemahkan PKI (Budiawan 2004; Farid 2004; Sulistyo 2006; Rossa 2006; Susanto 2007; Simpson 2008), Islam tidak dengan serta-merta mendapat tempat dalam perpolitikan Indonesia. Salah satunya karena kebijakan depolitisasi, misalnya dengan menyatukan berbagai partai Islam ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang menempatkan parpol sebagai formalitas belaka dalam demokrasi Pancasila. Praktis pada masa itu kendali perpolitikan berada di bawah partai Golkarmiliter dengan Soeharto sebagai panglima utamanya. Namun pasca oil boom, Islam kembali mendapat perhatian saat Soeharto mulai mendekati golongan Islam untuk menjadi pendukung politiknya, yang salah satu manifestasinya adalah dengan didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan juga bank Muamalat Indonesia (Juoro 2008). Pasca-reformasi, dengan tidak adanya kekuatan tunggal, Islam semakin menguat perannya di ranah publik. Pertanyaan lebih lanjut adalah: Islam seperti apa yang muncul ke permukaan? Berbagai peristiwa yang terjadi pasca-reformasi, misalnya, konflik agama serta peledakan bom di berbagai daerah menimbulkan kesan bahwa Islam radikal tumbuh subur di Indonesia. Terbukanya katup demokrasi di Indonesia ternyata mempunyai dua sisi, munculnya civil society yang membawa nilai-nilai demokrasi sekaligus bad civil society (Berger 2006) yang mengancam proses demokrasi. Peristiwa yang terjadi di Indonesia pasca-reformasi, seperti bom Bali, bom di kedutaan Australia dan terakhir bom di J.W. Marriot yang menimbulkan banyak korban, saling terkait dengan peristiwa global lainnya, misalnya peledakan gedung WTC-Pentagon di Amerika. Hal ini menimbulkan wacana terorisme global dengan kelompok radikal Islam sebagai aktor utamanya. Peradaban Barat yang diwakili Amerika dilanda oleh culture of fear (Moisi 2009) sehingga agenda memerangi terorisme menjadi agenda utama dalam masa pemerintahan Bush. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 2 , Ju l i 2010: 85 -97
B eragam I slam , B eragam E kspresi
| 87
Indonesia sebagai negara dengan jumlah umat muslim terbanyak di dunia tidak terlepas dari agenda untuk memerangi terorisme tersebut. Pasca-berbagai aksi terorisme, wacana mengenai Islam lebih banyak berfokus pada pendekatan pertahanan dan keamanan. Perkembangan Islam di Indonesia hanya direduksi dalam bingkai tersebut. Reduksionisme dalam wacana perkembangan Islam di Indonesia dijadikan entry point oleh Greg Fealy dan Sally White sebagai editor dalam buku ini untuk menjelaskan bahwa perkembangan Islam di Indonesia sangatlah bervariasi, sebagaimana mereka katakan: “the purpose of this book is to take a broader view of what is happening within Indonesian Islam” (Fealy dan White: 2008). Fealy dan White ingin menunjukkan bahwa perkembangan Islam dalam kehidupan sehari-hari, baik aspek ekonomi, budaya, politik maupun spiritual, mempunyai sisi yang berwarna-warni; ekspresi keimanan umat Islam tidak serta merta hanya diungkapkan dalam gerakan radikal, seperti jihad, namun lebih dalam bentuk yang beragam. Diskursus Barat mengenai Islam di Indonesia yang hanya memfokuskan pada aspek terorisme membuat aspek everyday life dari umat Islam menjadi kajian yang bersifat periphery. Memberikan gambaran yang lebih seimbang mengenai Islam di Indonesia juga menjadi salah satu tujuan utama buku ini. Buku ini dibagi dalam tiga bab besar yang membahas aspek ekpresi keimanan individu, ekspresi sosial-legal, ekonomi Islam. E kspresi K eimanan I ndividu
Greg Fealy dalam tulisannya yang berjudul Consuming Islam: Commodified Religion and Aspirational Pietism In Contemporary Indonesia menjelaskan bagaimana komodifikasi terhadap Islam dalam berbagai aspek, mulai dari bank, pariwisata, fashion, dakwah hingga sms doa, membuat ekspresi keimanan pada era globalisasi sekarang mengalami perubahan. Perkembangan teknologi, informasi, urbanisasi serta pertumbuhan ekonomi menjadi faktor pendorong komodifikasi serta mempengaruhi cara individu mengekspresikan keimanannya. Dibandingkan masa sebelumnya, adanya komodifikasi ini membuat individu Islam mengekspresikan keimanannya melalui berbagai komoditas yang berlabel Islam. Dalam kehidupan seharihari misalnya, kita melihat bagaimana orang berlangganan sms doa, memakai busana muslim, mengkonsumsi novel atau film islami, menabung di bank syariah, melakukan umroh, menghadiri Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 2 , Ju l i 2010: 85 -97
88 |
O ki R ahadianto S utopo
ESQ hingga membeli pasta gigi yang berlabel Islam. Maraknya komodifikasi Islam ini menurut Fealy menjadi sarana diterimanya kehadiran Islam di ranah publik secara taken for granted . Lebih jauh Fealy menjelaskan bahwa konsumsi terhadap produk Islam juga terkait dengan identitas individu. Derasnya arus globalisasi berdampak pada terjadinya “destabilized identity” ketika agama menjadi salah satu alternatif untuk menciptakan identitas baru. Artinya bahwa konsumsi terhadap barang islami dalam terminologi Bourdieu dijadikan sebagai symbolic capital untuk mengukuhkan identitas serta mempertahankan posisi individu muslim dalam kelas sosialnya. Konsumsi terhadap produk-produk islami seringkali menunjukkan status sosial yang tinggi dalam masyarakat. Lalu apakah konsumsi terhadap produk-produk Islam ini dilatarbelakangi oleh fanatisme buta terhadap agama? Fealy menjelaskan bahwa individu Islam mengkonsumsi produk secara rasional, artinya bahwa seorang individu akan mengkonsumsi produk Islam jika memang kualitasnya lebih baik, tidak semata-mata karena sentimen keagamaan. Dicontohkan oleh Fealy mengenai runtuhnya MLM Islam belakangan ini karena harga dan kualitas barangnya tidak kompetitif dibandingkan produk lain. Individu muslim mempunyai pilihan apakah akan mengkonsumsi produk islami atau tidak. Fenomena konsumsi produk islami ini juga menunjukkan bahwa ekspresi keimanan menjadi lebih individual daripada sebelumnya. Dalam kesimpulannya, Fealy menjelaskan bahwa dengan munculnya Islam di ranah publik serta konsumsi massif atas produk islami ini tidak serta merta mengubah wajah Islam Indonesia yang cenderung moderat. Globalisasi dengan segala pengangkut primer dan sekundernya (Berger dan Huntington 2002) tidak hanya membawa dampak pada konsumerisme, namun juga pada ekspresi sufisme di Indonesia, sebagaimana dijelaskan oleh Howell dalam buku ini. Menurut Howell, sebelumnya para pendakwah didominasi ulama tradisional, sementara sekarang cenderung didominasi intelektual (terutama professor) dari universitas Islam serta pendakwah yang non-akademisi. Kedua aktor baru tersebut sama-sama dibawa oleh televisi untuk masuk ke ranah publik dengan penonton yang lebih luas. Meskipun para intelektual Islam ini juga mulai merambah dunia televisi, namun pendakwah non-akademis lebih mendapat prioritas utama karena Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 2 , Ju l i 2010: 85 -97
B eragam I slam , B eragam E kspresi
| 89
lebih entertaining. Kedua pendakwah baru ini membawa perubahan pada isi ajaran sufisme itu sendiri, yang sebelumnya lebih berorientasi pada otherworldly experience-spiritual menjadi lebih berorientasi pada panduan dalam menjalani kehidupan sehari-hari di era modern sekarang. Fenomena Aa Gym dapat menjadi salah satu contoh mengenai pendakwah dari kalangan non-akademis; yang lebih berorientasi entertaining (dibahas oleh James B Hoesterey dalam Bab 6). Kepopuleran Aa Gym salah satunya karena kemampuannya untuk memadukan berbagai citra tentang dirinya seperti keluarga sakinah, humoris, adventorous serta memberikan pedoman praktis kepada para pengikutnya untuk menghadapi kehidupan sehari-hari yang outputnya adalah ketenangan batin. Selain itu, Aa Gym menempatkan hubungan dirinya dengan para pengikutnya secara lebih setara, tidak berdasarkan hierarki sebagaimana dilakukan pendakwah tradisional. Aa Gym menempatkan pengikutnya sebagai saudara. Pencitraan positif terhadap dirinya digunakan untuk mengembangkan usaha dengan berbagai macam produk dari MLM, pesantren, sabun hingga paket tour. Aa Gym ibarat merayu para pengikutnya untuk mengkonsumsi produk yang mencitrakan suatu tingkat keimanan ideal. Dengan kata lain, Aa Gym juga menempatkan hubungan dirinya dengan pengikut layaknya produsen dengan konsumen. Namun Aa Gym mulai meredup saat keputusannya untuk melakukan poligami membuat pengikutnya yang mayoritas perempuan meninggalkan dirinya. Senada dengan Howell, namun dengan subjek yang berbeda, Millie dalam Bab 5 menjelaskan perubahan dalam metode dakwah tatkala dakwah secara oral tidak lagi relevan untuk masyarakat modern karena tidak mengakomodasi keterlibatan penonton serta menganggap subjek sebagai aktor pasif. Namun tidak semua daerah mengalami hal tersebut. Di Jawa Barat, misalnya, menurut Millie model dakwah oral masih mendulang banyak pengikut karena da’i melakukan tiga prinsip utama yaitu: encouragement of self reflection, the use of examples from everyday village life and demonstration of his religious credentials by frequence to the qur’an and the life of the prophet Muhammad, as well as through the use of Arabic. Hal lainnya adalah tulisan George Quin mengenai Throwing Money At The Holy Door: Commercial Aspect of Pilgrimage In Java. Ia menjelaskan bahwa peningkatan konsumsi ibadah haji juga diikuti dengan meningkatnya ziarah terhadap situs-situs keagamaan lokal di Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 2 , Ju l i 2010: 85 -97
90 |
O ki R ahadianto S utopo
Jawa dan Madura. Antara tahun 1988 hingga 2005 terjadi peningkatan kunjungan sebanyak 873% (Amstrong 2006). Umat Islam yang tidak mampu melakukan ibadah haji ke Mekkah akan memilih ziarah ke situs lokal sebagai bentuk ibadah mereka. Terlepas dari penganut Islam yang mana, gejala meningkatnya angka ziarah terhadap situs-situs lokal ini menunjukkan dua hal, yaitu meningkatnya komodifikasi terhadap Islam sekaligus meningkatnya keinginan individu Islam untuk lebih dekat pada Tuhan. Meningkatnya kunjungan terhadap situs lokal ini kemudian membawa dampak pada komersialisasi, mulai dari syarat berapa jumlah uang yang harus diberikan; dibangunnya penginapan di sekitar situs; munculnya biro perjalanan ziarah hingga disediakannya prostitusi di salah satu situs (Gunung Kemukus) sebagai syarat menjalankan ritual. Manfaat yang didapat secara ekonomi juga terlihat, misalnya naiknya pendapatan penduduk sekitar sekaligus meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Meskipun terjadi komersialisasi, namun Quin mengambil kesimpulan berbeda. Menurutnya, hal tersebut tidak mengurangi usaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan karena adanya kepercayaan bahwa semakin banyak uang yang dikeluarkan maka balasan dari Tuhan juga semakin banyak dalam bentuk yang lain kepada individu tersebut. Maraknya kunjungan terhadap situs lokal ini menurut Quin akan berdampak positif terhadap perekonomian penduduk sekitar dan pada akhirnya akan mencegah terjadinya radikalisme keagaaman. Hal ini bisa menjadi tanda positif bagi perkembangan Islam Indonesia. E kspresi Sosio -L egal
Variasi keimanan tersebut tidak hanya dalam aspek ekpresi individual, namun juga sosio-legal. Ricklefs dalam artikelnya Religion, Politics and Social Dynamics In Java: Historical And Contemporary Rhymes menyoroti mengenai perkembangan Islam di Indonesia dari masa ke masa dan bagaimana usaha untuk mengkategorikan Islam dalam berbagai tipe merupakan hal yang sulit. Ricklefs membagi masa perkembangan Islam menjadi empat, yaitu masa awal islamisasi, masa sebelum kemerdekaan, pasca-kemerdekaan ke masa Orde Baru serta pasca- runtuhnya Soeharto. Dengan bersandar pada islamisasi di Jawa yang terjadi pada abad ke 14 hingga awal abad 19, Ricklefs mengelompokkan berbagai Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 2 , Ju l i 2010: 85 -97
B eragam I slam , B eragam E kspresi
| 91
aliran dalam satu tipe, yaitu mystic synthesis dengan karakteristik utama: a strong sense of islamic identity; observance of the five pillars of the faith dan, acceptance of the reality of multiple local spiritual force. Pada masa kolonial, mystic synthesis ini mengalami tantangan dengan datangnya penjajah yang membawa nilai-nilai modernitas serta berbagai kebijakan kolonialnya. Kebijakan cultur stellsel, misalnya, menurut Ricklefs melahirkan kesengsaraan bagi rakyat jelata, namun di lain pihak memberikan kesempatan bagi golongan priyayi untuk mengakses sumber daya. Salah satu akses tersebut adalah hubungan para priyayi dalam perdagangan dengan bangsa Arab, serta kemudahan kebijakan kolonial mengenai haji. Faktorfaktor ini menurut Ricklefs mendorong reformasi Islam di Jawa. Reformasi tersebut melahirkan dua kelompok utama, yaitu (1) yang berorientasi syariah, dan (2) yang berorientasi sufi. Kedua kelompok ini masih dalam strata yang sama, yaitu golongan priyayi. Dalam perkembangannya, pada pertengahan hingga akhir abad 19, kelompok ini terpecah lagi menjadi (1) kelompok reformer berorientasi syariah, (2) kelompok reformer berorientasi sufi, (3) penganut mystic syntesis, (4) kiai desa, dan (5) pengikut gerakan messias. Secara singkat Ricklefs menjelaskan bahwa penggolongan Islam Jawa pada masa kolonial didasarkan pada berbagai komponen berikut: konf lik interpretasi mengenai kebenaran agama; konflik identitas religius; sistem sekolah yang terpisah; lembaga keagaaman dengan struktur modern; partai politik berbasis aliran. Pasca-kemerdekaan, Ricklefs membagi kelompok Islam menjadi dua, yaitu santri dan abangan yang terlibat dalam dua peristiwa konflik, yaitu pemberontakan PKI Madiun serta puncaknya peristiwa G30S. Sedangkan pada masa Soeharto, kebijakan depolitisasi membuat kaum abangan tidak mempunyai tempat; hanya abangan muslim yang mempunyai wadah dalam Golkar serta golongan santri mendapat tempat di DDII serta MUI. Pasca-Soeharto, secara sederhana kelompok Islam dapat dibagi menjadi liberal-moderat di satu sisi serta radikal-ekstrimis di sisi yang lain. Namun dalam kenyataannya, menurut Ricklefs pembagian kelompok Islam tidak sesederhana ini. Ricklefs mengusulkan parameter untuk menggolongkan kelompok Islam berdasarkan aspekaspek berikut: teologi dasar; interpretasi terhadap teologi tersebut; pandangan mengenai perempuan; pandangan mengenai budaya lokal; pandangan mengenai mistik; keterlibatan politik; modus Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 2 , Ju l i 2010: 85 -97
92 |
O ki R ahadianto S utopo
operandi. Berdasarkan kriteria tersebut, Ricklefs menyimpulkan bahwa penggolongan umat Islam di Indonesia merupakan hal yang kompleks dan membingungkan karena di dalam setiap kriteria tersebut terjadi saling silang antara satu dengan yang lain. Keragaman kelompok Islam di Indonesia, menurut Ricklefs, menjadi tantangan bagi Indonesia untuk menjaga persatuan-kerukunan antar kelompok tersebut. Lalu bagaimana dengan perempuan? Sally White dan Maria Ulfah Anshor dalam Bab 8 mencoba merangkum berbagai macam praktek perjuangan aktivis perempuan untuk mendapatkan keadilan gender. Para aktivis perempuan mendobrak dominasi patriarkis dalam praktek pendidikan di pesantren, terutama mengenai intepretasi kitab kuning yang bias gender. Para aktivis perempuan yang tergabung dalam FK3, misalnya, mencoba mempublikasikan karya yang mengkritik kelemahan intepretasi yang bias gender tersebut. Selain itu juga dilakukan training, misalnya oleh Fatayat NU pada tingkat akar rumput serta oleh institusi pendidikan tinggi di dunia akademis, yang bertujuan untuk menyadarkan bahwa gender merupakan hasil kontruksi sosial. Dalam hal kekerasan terhadap perempuan, para aktivis mempertanyakan kembali mengenai pernyataan bahwa suami boleh melakukan kekerasan pada istrinya jika istrinya tidak shalat atau melakukan zina. Menurut para aktivis, hal tersebut tidak dapat dijadikan legitimasi untuk melakukan kekerasan pada perempuan. Para aktivis juga mendirikan pusat krisis untuk mendampingi perempuan korban kekerasan. Mengenai masalah sunat pada perempuan, para aktivis tidak menyetujui pendapat bahwa sunat akan mengurangi nafsu perempuan dan mencegah mereka melakukan zina. Hal ini sangat bias gender. Menurut para aktivis, sunat terhadap perempuan merupakan bentuk kekerasan dan juga berisiko pada kesehatan perempuan. Mereka mempertanyakan kesahihan hadis tersebut dan menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan peninggalan budaya Arab. Para aktivis melobi menteri kesehatan untuk memberikan pendidikan pada pekerja kesehatan mengenai ketidakrelevanan sunat terhadap perempuan tersebut. Para aktivis juga mengkritik kebijakan mengenai poligami; undang-undang anti-pornografi yang menurut mereka mendiskriminasikan perempuan; serta mendesak diberlakukannya kuota 30% bagi perempuan dalam ranah politik. Dengan subjek yang berbeda, Nadirsyah Hosen, dalam artikelnya Online Fatwa In Indonesia: From Fatwa Shopping to Googling a Kiai, Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 2 , Ju l i 2010: 85 -97
B eragam I slam , B eragam E kspresi
| 93
menjelaskan bagaimana perkembangan teknologi terutama internet membuat cara untuk mensosialisasikan fatwa menjadi berbeda, begitu juga dengan cara individu Islam untuk memperoleh pengetahuan maupun jawaban mengenai Islam. Sebelumnya, NU, Muhammadiyah atau MUI sebagai sumber pengetahuan Islam, namun sekarang mereka dapat mengakses secara on-line dari berbagai website yang menyediakan layanan fatwa. Perubahan tersebut terutama terjadi pada masyarakat urban, berpendidikan tinggi dan kelas menengah ke atas. Mereka menyelami dunia cyber untuk mendapatkan jawaban mengenai Islam. Namun muslim di pedesaan masih menggunakan mekanisme formal melalui NU atau MUI. Adanya fatwa on-line ini memberikan lebih banyak pilihan bagi individu Islam untuk mencari jawaban sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya; individu dapat menanyakan secara anonim serta lebih terbuka terhadap para individu Islam yang masih muda. Di lain pihak, fatwa on-line ini menimbulkan pertanyaan mengenai legitimasi sang pembuat fatwa. Sekali lagi, hal ini merupakan debat antara apakah kebenaran itu terpusat (centering) ataukah sudah menyebar (decentering). Berbeda dengan Hosen yang menjelaskan kebenaran yang semakin decentering, Ian Douglas Wilson membahas munculnya preman dengan jubah Islam yang mengklaim kebenaran tunggal. Sebelumnya para preman ini memperjuangkan kepentingan negara, lalu dalam perkembangannya bergerak atas nama Islam. Sebelum menjadi kelompok independen, kelompok ini merupakan bentukan militer untuk menghadapi demonstrasi mahasiswa dan pada perkembangannya juga ikut turun ke daerah konflik untuk berjihad. Wilson memberikan contoh FBR dan FPI. Kedua kelompok ini sering menggunakan cara-cara kekerasan untuk menegakkan prinsip yang diyakini, yaitu amar makruf nahi mungkar, dengan merusak tempattempat yang dianggap maksiat; melakukan penyerangan terhadap kelompok Islam yang tidak sepaham dengan mereka (Tragedi Monas); membredel majalah yang dianggap menyimpang hingga merazia pedagang kaki lima yang menjual minuman keras pada bulan puasa. Kedua kelompok ini mengatasnamakan Islam dan menebar ancaman dengan tujuan utama mendapatkan uang dari ketakutan orang/ institusi terhadap mereka. Sebagaimana dijelaskan Wilson, tempattempat yang menyetor sejumlah uang pada mereka pada akhirnya akan luput dari penyerangan. Ditengah ketakutan berbagai pihak, kelompok preman ini secara informal bekerjasama dengan organisasi Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 2 , Ju l i 2010: 85 -97
94 |
O ki R ahadianto S utopo
konservatif seperti MUI untuk menghadapi pengaruh liberal dan Islam sekuler demi mepertahankan Islam “murni”. Sedangkan Robin Bush dalam artikelnya Regional Sharia Regulations in Indonesia: Anomaly or Simptom? mencoba membantah pendapat yang menyebutkan bahwa maraknya Perda Syariah Islam merupakan gejala tumbuhnya radikalisme Islam di Indonesia serta masuknya agenda Islam ke dalam ranah politik. Bush menjelaskan bahwa kebanyakan peraturan yang diterapkan tidak secara spesifik mengandung esensi Islam, namun lebih merupakan nilai-nilai moral umum. Selain itu, Bush mencoba melakukan debunking dengan melihat apa sebenarnya motif di balik penerapan Perda Syariah tersebut oleh politikus lokal. Di beberapa daerah ditemukan bahwa diloloskannya perda tersebut sebenarnya hanya sebagai alat bagi politikus lokal untuk menarik massa dari golongan agama. Selain itu, di Sulawesi Utara misalnya, politikus lokal memakai isu Perda Syariah untuk mengalihkan tindak korupsi yang dilakukannya. Bush menyimpulkan bahwa kecenderungan penerapan Perda Syariah telah menurun dengan mengutip survey yang dilakukan PPIM. Berdasarkan survey tersebut, pada tahun 2007, 85% responden mengatakan bahwa ideologi negara selayaknya berbasis pada Pancasila bukan atas dasar agama tertentu. Begitu juga survey yang dilakukan LSI tahun 2006, dengan mengomparasikan survei sebelumnya tahun 2003 dan 2005; kecenderungan penerapan Perda Islam mulai mengalami penurunan sejak tahun 2005. E konomi I slam
Bab terakhir buku ini berisi pembahasan mengenai perkembangan ekonomi Islam. Ketiga sumbangan artikel dalam buku ini hanya bersifat mendeskripsikan ekonomi Islam. Manuver politik yang dilakukan Soeharto pada awal 90-an dengan menggandeng kelompok Islam memberikan dampak pada diijinkannya bank Islam komersial pertama kali, yaitu Bank Muamalat Indonesia. Selain aspek politik, bank ini didirikan untuk memenuhi permintaan kelas menengah Islam terhadap jasa perbankan Islam. Umar Juoro, dalam artikelnya The Development of Islamic Banking in The Post-Crisis Era, memberikan overview mengenai hal tersebut. Pasca- krisis ekonomi, permintaan terhadap bank Islam juga semakin meningkat sehingga melahirkan Bank Syariah Mandiri serta Bank Syariah Mega Indonesia, hingga Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 2 , Ju l i 2010: 85 -97
B eragam I slam , B eragam E kspresi
| 95
bank-bank konvensional lainnya juga ikut membuka unit bank berbasis Islam. Meskipun mengalami peningkatan, namun bankbank tersebut hanya mampu menyumbangkan 1,7% dari total aset perbankan nasional. Namun menurut beberapa analis, ada peluang untuk naik hingga 5% asalkan bank Islam menunjukkan reputasi serta profesionalismenya. Dijelaskan oleh Juoro bahwa, “Islamic banks need to offer high quality, attractive products that comply with central bank regulations and sharia principles.” Selain itu, masalah manajemen resiko, menjalin kerjasama dengan institusi lain serta hukum yang khusus mengatur tentang bank Islam juga dibutuhkan. Syafii Antonio dalam Bab 14 menjelaskan bahwa usaha kecil menengah berperan sebagai safety valve dalam menghadapi krisis ekonomi tahun 1998, selain mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi pengangguran. Hal ini diikuti dengan naiknya usaha kecil menengah pada tahun 2000-2006, dengan sumbangan yang diberikan yaitu 54,2% dari produk domestik bruto pada tahun 2005 serta penyerapan pekerja sebanyak 79 juta (Setyobudi 2007). Secara spesifik, Antonio menjelaskan mengenai peranan lembaga keuangan Islam, yaitu Baitul Maal wat-Tamwil (BMT). Tujuan awal didirikannya lembaga ini adalah sebagai alternatif bagi usaha kecil Islam untuk mendapat pinjaman modal daripada terjebak dalam perangkap rentenir. Para wiraswasta kecil yang tidak mampu mengakses kredit bank konvensional menjadi target utama lembaga ini. Selain itu, BMT juga menawarkan kesempatan berkarir bagi lulusan perguruan tinggi atau pesantren sebagaimana dijelaskan oleh Minako Sakai dalam bab selanjutnya. Dari tahun ke tahun, perkembangan BMT melonjak pesat. Lembaga ini memberikan kontribusi pada pengurangan angka kemiskinan serta penyerapan tenaga kerja. Meskipun begitu, lembaga ini tetap tidak dianggap sebagai lembaga formal oleh negara sehingga kedudukannya dalam perekonomian nasional juga ambigu. Pesatnya perkembangan BMT membuat bank-bank lain juga mengeluarkan produk serupa, yaitu kredit mikro ke daerah-daerah. Ini dikritik oleh Antonio karena ekspansi bank-bank besar cenderung bersifat predator terhadap BMT. Selain itu tidak terintegrasinya antara berbagai pihak baik Non-Governmental Organization (NGO), pemerintah, perusahaan swasta dengan BMT, membuat kontribusi lembaga ini terhadap perekonomian nasional menjadi tidak maksimal. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 2 , Ju l i 2010: 85 -97
96 |
O ki R ahadianto S utopo
Buku ini, sebagaimana tujuan awalnya, berusaha untuk menjelaskan betapa majemuknya wajah Islam di Indonesia dan citra umat Islam yang hanya dilihat dari perspektif pertahanan dan keamanan cenderung mereduksi keberagaman tersebut. Dari berbagai tulisan yang disajikan, buku ini mencoba untuk memberikan porsi yang seimbang mengenai keberagaman wajah Islam di Indonesia; di satu pihak ada berbagai fenomena yang menunjukkan bagaimana umat Islam mengakomodasi globalisasi serta nilai-nilai demokrasi, namun ditemukan pula sebagian kecil umat Islam yang menolak nilai-nilai demokrasi. Dari berbagai artikel yang disajikan dalam buku ini, kecenderungan yang terjadi pada umat Islam di Indonesia pada masa mendatang adalah mengakomodasi globalisasi dan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan beragama mereka. Apa yang disajikan dalam buku ini juga membuktikan tesis desekularisasi Berger (1999) bahwa pada era globalisasi peran agama tidak semakin berkurang namun semakin eksis di ruang publik. Peran agama tidak serta merta berdiri sendiri namun juga terkait dengan aspek lain seperti sosial, ekonomi, politik dan budaya. Karena itu, diskursus mengenai agama perlu mendapatkan perhatian dalam debat akademik maupun publik pada masa mendatang. Buku ini patut mendapat pujian karena berhasil menunjukkan keberagaman wajah Islam di Indonesia. Tantangan ke depan adalah bagaimana keberagaman ini dapat dijaga serta dijadikan modal untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Daftar Acuan Berger, Peter L. 1973. The Social Reality of Religion. Britain: Penguins Books. Berger, Peter L. 1980. The Heretical Imperative. Britain: William Collins Sons & Co Ltd. Berger, Peter L, ed. 1999. The Desecularization of the World: Resurgent Religion and World Politics. Washington DC: Ethics and Public Policy Center. Berger, Peter L. and Samuel Huntington, eds. 2002. Many Globalizations: Cultural Diversity in The Contemporary World. USA: Oxford University Press. Budiawan. 2004. Mematahkan Pewarisan Ingatan. Jakarta: ELSAM. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 2 , Ju l i 2010: 85 -97
B eragam I slam , B eragam E kspresi
| 97
Juergensmeyer, Mark, ed. 2006. Religion in Global Civil Society. USA: Oxford University Press. Moisi, Dominique. 2009. The Geopolitics of Emotion. USA: Doubleday. Rossa, John, Ayu Ratih dan Hilmar Farid, eds. 2004. Tahun yang tak Pernah Berakhir. Jakarta : ELSAM dan Institut Sejarah Sosial Indonesia. Rossa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal. Jakarta: Hasta Mitra. Simpson, Bradley. 2008. Economist With Guns. California: Stanford University Press. Sulistyo, Hermawan. 2006. Palu Arit di Ladang Tebu. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia. Susanto, Budi, ed. 2007. Sisi Senyap Politik Bising. Yogyakarta: Realino-Kanisius.
Oki R ahadianto Sutopo Alumni Magister Sosiologi Universitas Indonesia Email:
[email protected]
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 2 , Ju l i 2010: 85 -97