1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Berkembangnya Islam di Nusantara telah menciptakan warisan budaya klasik yang beragam, baik yang bersumber pada Islam maupun yang berakar pada kebudayaan Nusantara praIslam.1 Salah satu bentuk warisan budaya Nusantara masa Islam adalah naskah-naskah sastra bernafaskan Islam, yang diperkirakan mulai berkembang pada akhir abad XVI atau awal abad XVII, sebagai masa penting dalam penyusunan literatur Islam.2 Naskah-naskah3 sastra Nusantara senantiasa berkembang dan mengalami perubahan dari masa ke masa. Meskipun terjadi pergantian masa dari masa Hindu-Budha ke masa Islam yang menyebabkan terjadinya perubahan orientasi keagamaan, namun karya sastra dari masa pra-Islam masih berpengaruh atau tetap dibawa serta sebagai warisan budaya di masa Islam. Hal ini
1M.C.
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011), 76. 2Ann Kumar & John H. McGlynn, Illuminations: The Writing Traditions Of Indonesia (Jakarta: Lontar Foundation, 1996), 34. 3 Istilah “naskah” atau “manuskrip” lebih umum dipakai oleh para ahli filologi. Pigeud dan Nancy Florida menggunakan istilah literature untuk menyebut koleksi manuskrip Jawa yang terdapat di Belanda dan Surakarta, sedangkan T.E. Behrend menggunakan istilah naskah untuk menyebut manuskrip Jawa yang tersimpan di Museum Sonobudoyo, Keraton Yogyakarta, Perpustakaan Nasional RI, dan Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Henri Chambert Loir menyebut naskah untuk koleksi naskah dari seluruh dunia. Margana, Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 27-28.
2
menunjukkan bahwa secara keseluruhan karya sastra
memiliki
kesinambungan atau pertalian yang kuat dari masa ke masa. Begitu pula dengan sastra Jawa, banyak karya sastra Jawa Kuna yang diwariskan dan diteruskan pada masa Islam, baik di lingkungan kerajaan atau di pusat-pusat keagamaan.4 Beberapa karya sastra yang berbahasa Jawa disadur dari karya sastra berbahasa Jawa Kuna, seperti Serat Rama yang disadur dari Kakawin Ramayana, Serat Bratayuda dari Bharatayuddha, Serat Mintaraga dari Arjunawiwaha, dan Serat Arjuna Sasrabau atau Lokapala dari Arjunawijaya. Cerita-cerita dari Persia dan Arab juga banyak berpengaruh pada naskah Jawa, seperti Menak Amir Hamza, kisah Yusuf, Ahmad Hanapi, dan naskah-naskah lainnya.5 Salah satu karya sastra Jawa masa Islam yang paling banyak disalin oleh para intelektual Jawa, serta paling populer dan
banyak
versinya
adalah
Serat
Ambiya.6
Naskah
ini
diperkirakan dibuat pada zaman Surakarta. Namun masuknya Naskah Serat Ambiya ke Jawa diperkirakan bersamaan dengan masuknya cerita Menak, atau cerita-cerita Arab lainnya pada Zaman Mataram, atau lebih dahulu sebelum Zaman Kartasura.7 Naskah Serat Ambiya termasuk dalam periode renaisans sastra Jawa Klasik (abad XVIII-XIX), dengan pusatnya di keraton 4Edi Sedyawati dan Ninie Susanti, “Peralihan Sastra Jawa Kuna ke Sastra Jawa Lama”, dalam Edi Sedyawati (ed), Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), 12. 5 Ann Kumar & John H. McGlynn, Illuminations: The Writing Traditions Of Indonesia (Jakarta: Lontar Foundation, 1996), 173. 6T.E. Behrend, Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 1: Museum Sonobudoyo Yogyakarta (Yogyakarta: Penerbit Djambatan, 1990), 206. 7 Poerbatjaraka, Kapustakaan Jawi (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1954), 124.
3
Kartasura, Surakarta dan Yogyakarta. Karya sastra dari periode ini umumnya ditulis oleh pujangga keraton dalam bahasa Jawa Baru.8 Periode ini juga ditandai dengan masuknya pengaruh budaya Barat yang dibawa oleh orang-orang Belanda yang datang ke Jawa untuk belajar bahasa dan sastra Jawa. Tradisi tulis Jawa pada masa ini mulai berbenturan dengan dunia akademis kolonial, yang berpengaruh pada dunia pemikiran intelektual Jawa.9 Naskah Serat Ambiya yang berasal dari Keraton Yogyakarta, khususnya naskah Serat Ambiya skriptorium Sultan Hamengku Buwana V (selanjutnya disebut HB V) merupakan naskah yang diiluminasi
sangat
indah.
Iluminasi
memiliki
bentuk
yang
kompleks dan berbeda pada setiap halaman, dengan motif dan warna yang beragam (polikromatis), serta corak atau gaya menyerupai gaya wayang kulit. Iluminasi yang khas pada naskah Serat Ambiya skriptorium HB V menjadi elemen visual menarik, yang membedakan dengan iluminasi pada naskah-naskah Jawa masa Islam lainnya.
8Dijelaskan oleh Sri Sukesi Adiwimarta bahwa Pigeaud membagi perkembangan sastra Jawa dalam empat era, yaitu: era pertama (era pra-Islam) tahun 900-1500 M, era kedua (era sastra Jawa-Bali) mulai tahun 1500 M, era ketiga (era Jawa pesisir) mulai abad ke-15, dan era keempat (era renaisans sastra Jawa Klasik) pada abad ke-18 dan ke-19. Ada perbedaan pendapat dalam periodisasi sastra ini. Sri Sukesi, “Periodisasi” dalam Edi Sedyawati (ed.), 2001, 5. 9S. Margana, 2004, vii.
4
Bagaimana pun, iluminasi atau seni sungging yang berakar dari tradisi seni hias Islam,10 maka penerapannya pada naskah Serat Ambiya, baik bentuk, corak, fungsi, maupun maknanya, tentunya dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya atau pemikiran Jawa dari masa pra-Islam. Ketika Islam mulai berpengaruh di Jawa, terjadi proses peningkatan kualitas spiritualitas keislaman pada masyarakat Jawa yang telah memeluk Islam. Hal tersebut dapat diamati dari perkembangan pemikiran transformatifnya, yang terefleksikan dalam naskah sastra Jawa-Islam. Pemikiran sufistik dan mistik Islam berakulturasi dengan dunia mistik lokal yang berakar kuat pada masyarakat Jawa tradisional.11 Hal yang menarik pada iluminasi naskah Serat Ambiya skriptorium HB V adalah adanya motif-motif manusia dan binatang atau motif-motif yang menggambarkan makhluk hidup. Hal ini merupakan aspek kontroversial karena bertentangan dengan pandangan Islam. Penggambaran makhluk hidup dilarang dalam Islam sehingga gambar atau motif manusia atau binatang tidak lazim atau sangat jarang terdapat pada naskah Jawi-Melayu. Dengan adanya pembatasan tersebut, maka jarang ada penulis atau juru sungging yang melanggarnya, dan tetap bertahan dengan menggunakan ragam hias bangun berulang yang alamiah,
Annabel Teh Gallop dan Bernard Arps, Golden Letters: Writing Traditions of Indonesia (Jakarta: Yayasan Lontar, 1991), 59. 11 Ricklefs, 2011, 81. 10
5
atau menciptakan bentuk hiasan bermotif flora (daun dan dahan) dalam pola geometris.12 Penggunaan motif-motif yang menggambarkan makhluk hidup yang berasal dari tradisi hias pra-Islam menunjukkan adanya pengaruh unsur-unsur pra-Islam pada iluminasi naskah Serat Ambiya skriptorium HB V. Dengan demikian, iluminasi merupakan perpaduan antara tradisi budaya Jawa dengan Islam. Seperti ditegaskan oleh Yudoseputro bahwa seni di Indonesia masa Islam sebagai ekspresi estetik merupakan bentuk sintesis antara seni Islam dan tradisi seni rupa pra-Islam.13 Munculnya
motif-motif
yang
menggambarkan
makhluk
hidup pada naskah-naskah Jawa terjadi karena adanya tradisi penggambaran makhluk hidup yang telah ada sejak masa praIslam. Menurut Ian Proudfoot dan Virginia Hooker, adanya penggambaran makhluk hidup dimungkinkan karena adanya pengaruh kebebasan
tradisi
naskah
mutlak.14
Jawa
Namun,
yang
lebih
munculnya
menganjurkan
motif-motif
yang
menggambarkan makhluk hidup sangat mungkin tidak karena adanya kebebasan mutlak, tetapi karena adanya sikap toleransi. Seperti yang dinyatakan oleh Abay Subarna bahwa adanya
Annabel Teh Gallop dan Bernard Arps, 1991, 59. Karya Seni Rupa Indonesia Jaman Kerajaan Islam (Jakarta: Lembaga Pendidikan Kesenian, 1993). 14Ian Proudfoot dan Virginia Hooker, Tradisi Tulis Melayu (Jakarta, 2002, 23). 12
13Yudoseputro,
6
toleransi
Islam
dikembangkan
terhadap sesuai
kebudayaan dengan
lokal
yang
kebutuhan,
kemudian
menyebabkan
kebudayaan lokal berupa karya seni yang tidak bertentangan dengan Islam terus hidup atau dipertahankan.15 Sejarah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia telah pandai memilih
dan
memilah
unsur-unsur
budaya
asing
untuk
disesuaikan dengan budaya lokal. Oleh karena itu, banyak karya seni yang menunjukkan perpaduan unsur-unsur Jawa pra-Islam dan unsur-unsur Islam.16 Proses perpaduan ini berlangsung dalam
kurun
waktu
yang
panjang,
dan
mengubah
sosok
kebudayaan Jawa secara bermakna dengan seluruh konsep dasarnya, termasuk yang menyangkut tata masyarakat. Tiga ranah dalam tata kehidupan orang Jawa yang berkembang pesat karena
akulturasi,
yaitu:
konsep
keagamaan
dan
ilmu
pengetahuan, tata masyarakat, dan teknologi termasuk seni.17 Sebagai ekspresi seni yang dihasilkan suatu masyarakat, maka bentuk, corak, fungsi, dan makna iluminasi dipengaruhi oleh kondisi budaya masyarakat. Seni yang dihasilkan suatu masyarakat ditentukan: (1) tradisi terdahulu; (2) kebutuhan; (3)
15Abay Subarna, “Unsur estetika dan Simbolik pada Bangunan Islam” dalam Edi Sedyawati, ed, Estetika dalam Arkeologi Indonesia (Jakarta: Ikatan Ahli arkeologi Indonesia, 1987), 85. 16Timbul Haryono, Seni dalam Dimensi Bentuk, Ruang Dan Waktu (Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra, 2009), 3. 17Edi Sedyawati, 2001. 1.
7
keadaan lingkungan alam dan masyarakat; serta (4) taraf dan intensitas komunikasi dengan lingkungan atau masyarakat.18 Iluminasi yang merupakan salah satu bentuk kesenian terkait erat dengan kebutuhan pengungkapan rasa keindahan. Oleh karenanya, bentuk dan coraknya cenderung berbeda pada setiap kebudayaan, yang terjadi karena aspirasi, sumber daya, dan kebutuhan
mengenai
ungkapan
keindahan
pada
berbagai
kelompok masyarakat, baik jenis, sifat, maupun kuantitas dan kualitasnya, yang tidak selalu sama, sehingga memberi corak ungkapan yang khas pada karya seni yang diciptakan. Perbedaan tersebut
tidak
semata-mata
bertalian
dengan
pemenuhan
keindahan saja, melainkan juga terkait dengan pemenuhan kebutuhan lain, baik primer maupun skunder.19 Di samping untuk memperindah naskah, iluminasi yang berupa hiasan atau ornamen juga mengungkapkan makna-makna kultural tertentu. Seni hias atau ornamen seringkali mengandung nilai-nilai simbolik yang berhubungan dengan pandangan atau filsafat hidup dari masyarakat penciptanya, sehingga menjadi lebih bermakna, disertai harapan-harapan yang tertentu pula.20
18Edi Sedyawati, “Peranan Arkeologi dalam Studi Sejarah Kesenian Indonesia” dalam Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah Estetika dalam Arkeologi Indonesia (Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia,1987), 8. 19T.R. Rohidi, Pendekatan Sistem Sosial Budaya dalam Pendidikan (Semarang: IKIP Semarang Prees,1995). 20S.P. Gustami, Nukilan Seni Ornamen Indonesia (Yogyakarta: Jurusan Kriya FSR ISI, 2008), 4.
8
Sebagai produk budaya, iluminasi sangat mungkin memiliki peran lebih dari sekedar untuk memperindah naskah. Begitu pula dengan iluminasi pada naskah Serat Ambiya, diyakini memiliki makna yang terkait dengan isi naskah, sekaligus mencerminkan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat Jawa atau nilai-nilai Islam. Seperti yang dinyatakan oleh al Ghazali dalam M. Abdul Jabbar Beg, bahwa seni tidak hanya memancarkan keindahan fisik, namun juga keindahan religius. 21 Iluminasi juga berkaitan dengan kepentingan religi dan kepentingan lainnya. Iluminasi pada naskah-naskah Jawa belum banyak diteliti secara mendalam.22 Jika naskah tersebut dikaji secara mendalam, diyakini akan menjadi sumber acuan yang sangat berharga bagi studi naskah-naskah Jawa masa Islam di Indonesia.23 Oleh karena itu, iluminasi pada naskah Serat Ambiya penting dikaji untuk mengungkap salah satu bentuk ekspresi estetik seni Jawa yang bernafaskan Islam. Kajian ini berupaya mengungkap iluminasi naskah Serat Ambiya skriptorium HB V dari aspek bentuk, corak, fungsi dan maknanya. Menurut Haryati Soebadio dalam Edi Sedyawati, hal ini menarik karena telaah naskah di Indonesia umumnya dilaksanakan dengan cara kritik teks dan filologi atau
21M. Abdul Jabbar Beg, Seni Di Dalam Peradaban Islam (Bandung: Penerbit Pustaka, 1988), 9. 22Ann Kumar & John H. McGlynn, 1996, 188. 23Musda Mulia, Rosehan Anwar, dan H.E. Badri Yunardi, Katalog Naskah Kuna Yang Bernafaskan Islam Di Indonesia (Jakarta: Balitbang Agama Depag RI, 1998), 1.
9
hermeneutik yang memusatkan pada isi dan makna naskah.24 Artinya bahwa kajian tentang akulturasi budaya dan peran unsur budaya asing dalam iluminasi naskah belum banyak dilakukan. Dengan demikian, kajian iluminasi pada naskah Serat Ambiya skriptorium HB V penting untuk dilakukan. Kajian ini dapat dianggap sebagai upaya penelusuran terhadap jejak-jejak historis seni di masa Islam yang kaya nilai kultural dan spiritual, yang diharapkan dapat dikembangkan lebih lanjut.
B. Rumusan Masalah Penelitian Iluminasi naskah sebagai ekspresi masyarakat Jawa, baik bentuk, corak, fungsi, dan maknanya, diyakini merupakan atau wujud sintesis antara unsur-unsur atau nilai-nilai budaya Jawa pra-Islam dan Islam. Oleh karena itu, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk iluminasi naskah Serat Ambiya skriptorium Hamengku Buwana V. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pertanyaan yang menjadi fokus perhatian dalam disertasi ini adalah sebagai berikut. 1. Apakah bentuk, corak, fungsi, dan makna iluminasi naskah Serat Ambiya skriptorium Hamengku Buwana V sungguh merupakan sintesis antara unsur budaya Jawa pra-Islam dengan nilai-nilai Islam dan mengalami perkembangan. 24Haryati Soebadio, “Pengaruh Kontak Antar Budaya dalam Sastra Jawa”, dalam Edi Sedyawati ed. , 2001, 19.
10
2. Mengapa naskah Serat Ambiya skriptorium Hamengku Buwana V diberi iluminasi yang membingkai teks. 3. Bagaimana relasi antara iluminasi dengan isi naskah Serat Ambiya skriptorium Hamengku Buwana V.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan segala sesuatu
yang
mungkin
bisa
ditemukan,25
khususnya
yang
berkaitan dengan iluminasi pada naskah Serat Ambiya yang disalin pada masa Sultan Hamengku Buwana V. Secara khusus penelitian ini bertujuan: Pertama, menemukan wujud sintesis antara unsur-unsur budaya Jawa pra-Islam dengan unsur-unsur Islam pada bentuk, corak, fungsi, dan makna iluminasi naskah Serat Ambiya. Kedua, menemukan fungsi iluminasi dalam naskah Serat Ambiya. Ketiga, menemukan makna iluminasi atau relasi antara iluminasi dan isi naskah Serat Ambiya. Penelitian ini diharapkan dapat mengeksplanasikan teori yang berkaitan dengan akulturasi budaya yang terwujud dalam bentuk, corak, fungsi, dan makna iluminasi, serta hubungannya dengan isi naskah Serat Ambiya, baik dari aspek estetis maupun budayanya.
Iluminasi
merupakan
refleksi
perkembangan
pemikiran lokal yang berakar kuat pada masyarakat Jawa 25R. M. Soedarsono, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan, 2001), 51.
11
tradisional sufistik yang berakulturasi dengan pemikiran mistik Islam. Hal tersebut penting bagi pengembangan ragam hias atau seni hias Nusantara, khususnya seni iluminasi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu, baik teoretis maupun praktis, yaitu: 1. Secara teoretis hasil penelitian ini dapat memberi informasi bagi peneliti seni tentang iluminasi naskah Serat Ambiya, yang terkait dengan bentuk, corak, fungsi, dan maknanya, yang diyakini merupakan sintesis antara unsur-unsur budaya Jawa pra-Islam dan unsur-unsur Islam. Hasil penelitian ini juga dapat memberikan pemahaman mengenai pewarisan potensi
tradisi
pernaskahan
masyarakat
Jawa
Jawa,
dalam
serta
gambaran
mengemban
warisan
budaya lama dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru yang dituntut oleh perubahan sosial budaya. 2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberi informasi bagi pemerhati atau praktisi seni, lembaga pendidikan seni, lembaga kesenian, dan lembaga lainnya yang terkait, serta masyarakat dalam mengembangkan atau merevitalisasi seni tradisi
sehingga
menjadi
unsur
penting
dalam
perkembangan seni rupa nasional maupun internasional. 3. Secara pribadi, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi atau sumber informasi untuk mata kuliah Sejarah Seni
12
Rupa, yang menjadi mata kuliah pokok yang diampu oleh penulis. Iluminasi pada naskah Serat Ambiya skriptorium HB V dan naskah-naskah Jawa masa Islam lainnya yang merupakan karya seni tradisi atau karya seni masa lampau dapat dijadikan sebagai sumber informasi dan bahan kajian dalam mata kuliah Sejarah Seni Rupa Indonesia. Iluminasi dapat menjadi sumber gagasan dalam penciptaan karya seni rupa dan sekaligus dapat menjadi unsur yang memberi ciri khas keindonesiaan pada karya seni rupa.
D. Tinjauan Pustaka Tujuan dari dilakukannya tinjauan pustaka adalah untuk menunjukkan
hasil-hasil
penelitian
atau
telaah
yang
telah
dilakukan oleh para ahli atau peneliti lain, serta menunjukkan bahwa permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini belum diteliti. Oleh karena itu, hasil-hasil penelitian atau kajian yang sudah
ada
akan
dijadikan
sebagai acuan
untuk mengkaji
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Iluminasi telah menjadi perhatian banyak peneliti. Diringer telah
mengkaji perkembangan
beriluminasi,
khususnya
di
dan
produksi naskah-naskah
negara-negara
Islam.
Diringer
menjelaskan bahwa iluminasi merupakan seni yang berkembang pada Abad Pertengahan, dan kemudian mengalami kemajuan yang
13
sangat pesat dan mencapai puncaknya. Diringer melakukan kajiannya
dengan
pendekatan
sejarah,
dengan
fokus
pada
perkembangan iluminasi dan pembuatan manuskrip di dunia Islam. Kajian bentuk, corak, fungsi, dan makna iluminasi tidak dilakukan secara mendalam. Meskipun demikian, hasil kajian Diringer ini dapat menjadi sumber yang mendukung kajian ini.26 Perkembangan iluminasi pada manuskrip juga telah dikaji oleh Sijelmasi, yang hasilnya telah dibukukan dengan judul Royal Illuminated Manuscripts of Marocco. Sijelmasi lebih memokuskan kajiannya pada manuskrip dari Maroko serta negara-negara Islam lainnya. Dijelaskan oleh Sijelmasi bahwa seni iluminasi telah berkembang sejak permulaan abad VIII. Perkembangan illuminasi pada manuskrip, khususnya Al Qur’an tidak dapat dilepaskan dari jasa-jasa Ibnu Muqlah,
Yaqut al Musta’simi, dan Ibnu Bawwab
yang ketiganya adalah kaligrafer dan iluminator yang terkenal serta dianggap pertama kali memberi iluminasi. Meskipun pada awalnya
sebagian
kaum
muslimin
menentang
penerapan
iluminasi, akan tetapi kemudian iluminasi diterapkan pada manuskrip, juga pada mushaf Al Qur’an. Iluminasi dipandang sebagai seni yang memiliki arti penting dalam perkembangan estetika Islam. Iluminasi, yang kaya dengan pengulangan, menjadi seni Islam yang orisinal dan berkembang 26David Diringer, The Illuminated Book: Its Histori and Production (London: Faber & Faber, 1967).
14
paling awal dan paling pesat. Pesatnya perkembangan iluminasi dan pembuatan buku-buku Islam tidak lepas dari munculnya pusat pendidikan dan pengetahuan Islam, yang dikenal dengan “madrasah”, yang berkembang mulai abad IX. Setiap madrasah menghasilkan manuskrip serta iluminasi yang indah dan khas. Di antara manuskrip-manuskrip indah yang dibuat, Al Qur’an merupakan manuskrip yang paling penting dan sering disalin, karena Al Qur’an mempunyai kedudukan yang sangat istimewa. Halaman-halaman yang diiluminasi pada umumnya adalah halaman pertama, kedua, ketiga, atau keempat yang memuat judul,
nama
pengarang,
dan
persembahan,
serta
halaman
terakhir. Kadang-kadang seluruh halaman diiluminasi dengan bentuk-bentuk arkatur seperti yang ada pada bangunan, atau medalion yang berisi motif geometris dan flora. Ada tiga macam motif dalam iluminasi, yakni: motif geometris, motif flora dan motif kaligrafi. Ketiga motif tersebut disusun secara dinamis dan dikombinasikan dengan unsur-unsur lainnya secara matematis, simetris, rumit, dan harmonis.27 Sijelmasi menemukan bentuk iluminasi berupa miniatur pada
manuskrip
dari
Turki,
India,
dan
Persia,
yang
menggambarkan manusia atau binatang, atau kehidupan sosial dan budaya. Iluminasi tersebut dianggap kontroversial dan 27M. Sijelmasi, Royal Illuminated Manuscripts of Marocco (CourbevoleParis: ACR Edition Internationale, 1987).
15
bertentangan dengan pandangan Al Qur'an dan Hadist yang melarang penggambaran makhluk hidup. Kajian yang dilakukan Sijelmasi merupakan kajian historis, dengan penekanan pada perkembangan iluminasi. Kajian ini masih terbatas pada identifikasi bentuk dan ragam hias pada iluminasi. Sijelmasi tidak menjelaskan
secara
rinci tentang
penggunaan ragam hias, serta bentuk iluminasi dalam kaitannya dengan proses pembentukannya dan makna simbolisnya. Martin Lings juga meneliti iluminasi pada mushaf Al Qur’an dari Mamluk, Mongol, Timurid, Otoman-Turki, dan Safawid. Iluminasi Al Qur’an berkembang setelah seni kaligrafi, sebab iluminasi
secara
langsung
tidak
diperlukan
oleh
teks
dan
dikhawatirkan dapat mengacaukan teks. Iluminasi Al Qur’an mencapai puncak pada abad VIII dan IX Hijriyah (abad XIV dan XV Masehi. Iluminasi pada mushaf Al Qur’an bukan semata-mata sebagai
pengisian
bidang
kosong,
namun
juga
merupakan
manifestasi dan pencerminan dari ajaran Islam yang tersurat dalam Al Qur’an itu sendiri. Iluminasi dianggap sebagai simbol cahaya Tuhan yang menerangi ayat-ayat suci di dalamnya.28 Namun Martin Lings tidak menganalisis bentuk, corak, fungsi, dan makna iluminasi secara lebih rinci.
28Martin Lings, The Quranic Art of Calligraphy And Illumination (World of Islam Festival Trust, 1976).
16
Naskah Nusantara, termasuk naskah Jawa, juga telah banyak diteliti oleh para ahli atau peneliti dari Indonesia atau dari mancanegara, baik dari aspek sastra, filologis, kodikologis, dan historis. Penelitian yang dilakukan oleh Edi Sedyawati dan kawankawan mengkaji sastra Jawa dalam cakupan yang luas, baik jenis sastranya
maupun
lintasan
waktunya,
yang
hasilnya
telah
dibukukan dengan judul Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum.29 Kajian
naskah
dilakukan
dengan
pendekatan
filologi
dan
kodikologi. Namun, bentuk, corak, fungsi, dan makna iluminasi, serta pengaruh akulturasi antara unsur-unsur budaya Jawa praIslam dengan unsur-unsur Islam dalam iluminasi tidak dikaji. Hal penting yang perlu mendapat catatan dalam buku ini adalah disamakannya pengertian ilustrasi dengan iluminasi, meskipun keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Ilustrasi atau gambar penjelas pada teks juga disebut iluminasi. Kajian sastra Jawa juga dikaitkan dengan kontak budaya orang Jawa dengan bangsa-bangsa lainnya. Dijelaskan bahwa sejak awal pertumbuhannya, sastra Jawa yang tertulis mendapat pengaruh asing, seperti India, Islam, dan Eropa. Namun demikian, kontak budaya tersebut tidak mengakibatkan naskah Jawa berubah dari yang bersifat khas Jawa menjadi Hindu-Budha, atau
29Edi
Sedyawati, 2001.
17
bersifat Islam-Arab. Kontak budaya tidak melenyapkan budaya Jawa, melainkan justru memperkaya budaya Jawa. Penelitian tentang iluminasi pada naskah-naskah Nusantara dilakukan oleh Ann Kumar dan John H. McGlynn,
yang hasil
penelitiannya ini telah dibukukan dengan judul Illumination: The Writing Traditions of Indonesia. Kumar dan McGlynn meneliti tradisi estetis dan tradisi intelektual di kawasan Nusantara, yang keduanya
dianggap
mencerminkan
kepekaan
estetis
dan
kecerdikan para pujangga, yang ditampilkan dalam berbagai media. Berbagai variasi media, tulisan, ilustrasi, atau iluminasi yang luar biasa dalam tradisi Islam dijelaskan dalam buku ini. Di antara tradisi estetis di Nusantara, Jawa dianggap paling berkembang tradisi estetisnya dan memiliki tradisi tulis paling kaya di Asia Tenggara, sehingga kajian lebih terfokus pada naskah Jawa. Tradisi menulis naskah di Jawa, khususnya naskah Islam, diperkirakan berkembang sekitar pertengahan abad XIV sampai abad XX. Banyak naskah Jawa yang pada awalnya terinspirasi dari cerita-cerita Persia dan Arab, seperti kisah Nabi Yusuf, Nabi Musa, dan Nabi Muhammad. Ann Kumar dan McGlynn secara khusus menunjukkan adanya hubungan kuat antara ilustrasi dalam naskah Jawa dengan wayang, seperti yang tampak pada naskah dari abad XVIII yang diberi ilustrasi dalam gaya wayang beber, wayang kulit, atau
18
wayang golek yang tiga dimensional. Meskipun ada larangan dalam Islam untuk melukiskan bentuk makhluk hidup, namun kenyataan naskah yang berisi cerita Islam yang dianggap suci juga diberi ilustrasi dengan bentuk-bentuk makhluk hidup. Iluminasi merupakan salah satu perwujudan estetis yang telah menjadi tradisi dalam pernaskahan Jawa, dan banyak naskah yang diiluminasi. Secara keseluruhan ada lima perangkat iluminasi dalam naskah Jawa, yaitu: (1) Tanda baca yang disebut pepadan; (2) Bingkai dan gerbang tekstual pada pembukaan dan penutupan halaman naskah, yang berfungsi sebagai gerbang menuju ke halaman batin teks; (3) Rubrikasi, yaitu penandaan dengan warna atau penyepuhan pada kata-kata atau judul agar tampak lebih menonjol; (4) Kaligrafi kursif atau tulisan indah; dan (5) Kaligrafi bergambar figur binatang atau hiasan. Bentuk-bentuk
iluminasi
pada
naskah
Jawa
memiliki
tingkat yang berbeda, mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks. Bentuk-bentuk iluminasi yang telah diidentifikasi adalah: (1) Iluminasi berupa rangkaian garis tunggal, ganda, rangkap tiga; (2) Iluminasi berbentuk bangun berulang yang berisi motif-motif yang diwarnai atau disepuh dengan emas; (3) Iluminasi berbentuk bangunan candi; (4) Iluminasi yang menirukan kebun binatang; dan (5) Iluminasi berupa hiasan bercorak Barat. Di antara
bentuk-bentuk
iluminasi,
bentuk
bangun
berulang
19
merupakan bentuk iluminasi yang tersebar luas, yang umumnya digunakan dalam mushaf Al Qur’an. Motif-motif yang terdapat dalam iluminasi adalah motif manusia, motif fauna, motif flora, motif alat-alat musik gamelan, motif geometris, dan motif bangunan. Motif raksasa juga muncul dalam iluminasi, yang kadang diapit dua naga, yang diidentifikasi sebagai kala makara seperti yang terdapat pada bangunan candi. Penggunaan motif-motif ini merupakan pengaruh dari masa sebelumnya terhadap naskah-naskah Jawa masa Islam.30 Kajian iluminasi naskah Jawa yang dilakukan Ann Kumar dan McGlynn mencakup bentuk, corak atau gaya, motif, dan maknanya. Namun karena sangat luasnya kajian yang dilakukan, yakni mencakup berbagai tradisi tulis di Nusantara mulai dari awal penggunaan tulisan
sampai abad XX, sehingga
hasil
kajiannya tentang iluminasi kurang mendalam. Kajian tentang akulturasi antara unsur-unsur budaya Jawa pra-Islam dengan unsur-unsur Islam dalam iluminasi naskah Serat Ambiya, dan perwujudannya pada bentuk, corak, fungsi, dan makna iluminasi, juga belum dilakukan. Namun demikian, buku ini dapat menjadi acuan yang sangat menunjang penelitian untuk disertasi ini. Penelitian tentang iluminasi juga pernah dilakukan oleh M. Ibnan Syarif, dengan dengan judul Kajian Bentuk Visual Kaligrafi 30
Ann Kumar & John H. McGlynn, 1996, 192.
20
dan Iluminasi pada Al Qur’an Mushaf Istiqlal. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa mushaf Al Qur’an di Indonesia, mulai dari mushaf kuna sampai pada Mushaf Istiqlal, dibuat sesuai dengan latar budaya tempat mushaf Al Qur’an dibuat dan kondisi zamannya. Ciri etnik masyarakat atau latar budaya adalah faktor yang sangat mempengaruhi bentuk iluminasi, namun tidak berpengaruh terhadap bentuk kaligrafi. Secara umum iluminasi pada mushaf Al Qur’an berbentuk bingkai dalam pola dasar segi empat, yang pada sisi-sisinya diberi mahkota atau medalion dengan susunan yang simetris. Iluminasi terdiri dari motif flora dan geometris, yang bersumber dari khasanah seni hias pra-Islam. Iluminasi pada setiap mushaf Al Qur’an berbeda-beda, atau memiliki ciri khas sesuai dengan kecenderungan yang ada pada setiap daerah. Ciri khas inilah yang kemudian ditampilkan kembali pada mushaf Al Qur’an yang dibuat oleh Yayasan Istiqlal. Iluminasi pada mushaf Al Qur’an berfungsi untuk: (1) memperindah mushaf; (2) sebagai upaya estetik yang membuat seseorang atau pembaca untuk lebih menghayati
keberadaan
atau
mengingat
Tuhan;
dan
(3),
menambah kemuliaan mushaf.31
31M. Ibnan Syarif, “Bentuk Visual Kaligrafi Dan Iluminasi Pada Mushaf Istiqlal”, Tesis untuk mencapai derajat Sarjana S-2 dalam bidang Seni Murni, Institut Teknologi Bandung, Bandung, 1999.
21
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh M. Ibnan Syarif, Dwi Budi Harto, dan Onang Murtiyoso adalah Kajian Bentuk Visual dan Makna Simbolik Iluminasi Pada Manuskrip Islam Kuna Di Jawa Tengah. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa ada tiga bentuk iluminasi pada manuskrip Islam di Jawa Tengah, yaitu: (1) Bentuk
bingkai dalam pola dasar segi empat atau bangun
berulang yang terdapat pada mushaf Al Qur’an; (2) Bentuk bangunan candi; dan (3) Bentuk-bentuk yang mengacu pada bentuk bangunan. Secara umum iluminasi dihiasi berbagai motif, dengan susunan yang simetris, yang ditempatkan pada dua halaman berhadapan. Halaman yang diiluminasi adalah halamanhalaman yang dianggap istimewa, seperti halaman awal dan halaman kolofon. Iluminasi pada mushaf Al Qur’an, ditempatkan pada halaman awal (ummul Qur’an), halaman tengah (nisful Qur’an), dan halaman akhir (khotmul Qur’an). Iluminasi meliputi hiasan bingkai, hiasan judul, dan hiasan tanda baca. Iluminasi dihiasi dengan motif flora dan motif geometris, yang ditampilkan dalam
bentuk
stilisasi
membentuk
jalinan
motif
yang
berkesinambungan. Motif fauna jarang dijumpai pada naskah Islam di Jawa Tengah. Motif.32
32M. Ibnan Syarif, Dwi Budi Harto, dan Onang Murtiyoso, “Kajian Bentuk Visual dan Makna Simbolik Iluminasi pada Manuskrip Islam Kuna Di Jawa Tengah”, Laporan Penelitian (Semarang, Lembaga Penelitian Universitas Negeri Semarang, 2003).
22
Kedua penelitian tersebut dilakukan dengan pendekatan estetika
dalam
batas
identifikasi
bentuk
dan
unsur-unsur
iluminasi. Meskipun penelitian tersebut difokuskan pada naskah Islam, namun naskah Serat Ambiya, termasuk proses akulturasi antara unsur-unsur budaya Jawa pra-Islam dan budaya Islam yang terwujud dalam iluminasi juga belum dikaji. Penelitian yang lebih khusus dilakukan oleh Sri Ratna Saktimulya, yang meneliti iluminasi naskah Sestradisuhul. Naskah ini banyak diberi iluminasi, yang dimaksudkan untuk menyentuh pikir dan rasa pembacanya. Naskah Sestradisuhul berisi piwulang karya Pakualam II dalam bentuk tembang macapat memuat cerita tentang 85 tokoh laki-laki dan seorang tokoh perempuan. Seluruh cerita tentang tokoh laki-laki diungkapkan disertai iluminasin pada
awal
cerita.
Iluminasi
dalam
naskah
Sestradisuhul
merupakan tanda-tanda, atau sebagai visualisasi cerita sesuai dengan teksnya. Melalui pembacaan teks dari naskah-naskah skriptorium
Pakualaman,
Saktimulya
berupaya
membaca
ornamen dalam iluminasi. Mengacu pada Brilliant, Saktimulya menggunakan prinsip intertekstualitas dan proses pengalihan suatu teks ke bentuk visual atau penerjemahan dari kata ke image,
serta
menerjemahkan
untuk
memahami
unsur-unsur
isi
dalam
teks
dan
iluminasi.
kemudian Menurut
Saktimulya, iluminasi atau unsur-unsurnya berkaitan dengan
23
nama, keterampilan tokoh, peristiwa, sifat tokoh, dan perbuatan tokoh, yang mulia atau pun celaka.33 Dalam
penelitiannya
tersebut,
Saktimulya
berusaha
memaknai iluminasi naskah Sestradisuhul melalui pendekatan semiotik.
Unsur-unsur
iluminasi
yang
berupa
motif-motif
diidentifikasi dan kemudian dimaknai mengacu pada isi teks. Namun, Saktimulya tidak mengidentifikasi secara rinci motif-motif atau unsur-unsur dalam iluminasi serta menjelaskan bentuk dan makna motif-motifnya. Penelitian tentang iluminasi juga telah dilakukan Mu’jizah, yang memokuskan pada iluminasi surat-surat Melayu yang dibuat oleh para penguasa di Nusantara pada abad XVII dan abad XIX. Berdasarkan hiasannya, ada 50 teks surat Melayu yang dipilih dan dikaji secara kritis, mencakup: tata susun, ciri, fungsi, bagianbagian surat, dan ciri-ciri khas kedaerahan dalam iluminasi. Melalui pendekatan kodikologi, setiap surat dideskripsikan secara lengkap jenis aksara dan bahasa yang digunakan, pembuat (pengirim) dan penerima surat, serta transkripsinya. Iluminasi dideskripsikan secara singkat, seperti bagian yang diiluminasi, bentuk dan struktur iluminasi, serta motif yang digunakan.
33Sri Ratna Saktimulya, “Ajaran dalam Sestradisuhul” (Warisan Pakualaman II Bagi Generasi Selanjutnya), Makalah dalam Konggres Bahasa Jawa II (Yogyakarta, 2001).
24
Jika dilihat dari strukturnya iluminasi dalam surat-surat Melayu mempunyai dua bingkai, yakni bingkai pembatas bidang dalam dan bingkai teks. Bingkai ini biasanya dibuat dari dua garis ganda yang di dalamnya dihias dengan berbagai motif. Mu’jizah menganalisis bentuk iluminasi mengacu pada Akimushkin dan Anato yang membagi iluminasi naskah-naskah Asia Tengah dalam tiga jenis, yaitu unwan, sarlauh, dan samsah. Berdasarkan ketiga jenis tersebut, sebagian besar iluminasi dalam surat-surat dalam naskah Melayu termasuk dalam jenis sarlauh, yakni hiasan pada semua bingkai atau sisi halaman. Akan tetapi, ada jenis lain yang tidak disebutkan dalam jenis tersebut, yaitu jenis tebaran (seluruh permukaan surat diberi hiasan berupa motif-motif), dan tiga sisi. Atas dasar itu, ada tiga jenis iluminasi dalam surat-surat di Nusantara, yakni tebaran, empat sisi, dan tiga sisi.34 Dalam kajiannya, Mu’jizah juga menemukan kekhasan iluminasi surat dari Nusantara, yaitu bingkai dan motif yang menampakkan ciri khas masing-masing daerah. Surat-surat dari pemerintah Hindia-Belanda, kekhasannya terdapat pada bingkai pembatas “bidang dalam” dan bingkai pembatas teks. Hiasan di atas teks juga khas, yang dibatasi dengan garis lengkung. Melalui pendekatan semiotik, Mu’jizah berupaya untuk memaknai iluminasi dalam surat-surat Melayu. Iluminasi dalam Mu’jizah, Iluminasi dalam Surat-Surat Melayu Abad ke-18 dan ke-19 (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009). 34
25
surat-surat Melayu dianggap memiliki kaitan erat dengan politik atau kekuasaan raja-raja, hubungan diplomatik, ekonomi, dan keagamaan. Iluminasi dalam surat-surat Melayu merupakan simbol-simbol yang berkaitan dengan kekuasaan. Ada beberapa persoalan penting dalam penelitian Mu’jizah, yaitu: Pertama, pengertian iluminasi yang disamakan dengan ilustrasi. Iluminasi, oleh Mu’jizah dijelaskan sebagai gambar, dengan memberikan contoh-contoh berupa gambar ilustrasi yang memiliki fungsi sebagai gambar penjelas. Iluminasi dan ilustrasi, keduanya memiliki pengertian, bentuk, dan fungsi yang berbeda. Iluminasi merupakan hiasan atau dekorasi naskah yang berfungsi memperindah dan ‘menerangi’ atau sebagai ‘penerang’ bagi teks. Sedangkan ilustrasi adalah gambar dalam naskah atau buku yang berfungsi menjelaskan isi dan mendukung teks secara langsung. Kedua,
identifikasi
motif-motif
dalam
iluminasi
yang
telah
mengalami stilisasi atau penggayaan sehingga bentuk aslinya sulit dikenali, yang menyebabkan peneliti sulit untuk memastikan jenis dan pemberian nama motif secara tepat. Oleh karena itu, perlu verifikasi dengan membandingkan penggunaan motif-motif sejenis dalam penerapan yang berbeda, seperti batik, ukiran, dan lainlainnya dari kurun waktu yang sama. Ketiga, analisis tentang bentuk iluminasi dan ciri kedaerahan dalam iluminasi surat Nusantara perlu dikaji ulang atau diverifikasi secara lebih
26
mendalam dengan membandingkan iluminasi dalam surat dengan iluminasi dalam naskah atau Al Qur’an dari daerah yang sama. Penelitian-penelitian lainnya yang juga mengkaji naskahnaskah dengan pendekatan teks atau filologi sudah berkembang jauh.
Namun
penelitian
naskah-naskah
beriluminasi
di
Nusantara, khususnya pada aspek estetikanya masih sangat jarang. Seperti yang dinyatakan oleh Chambert-Loir bahwa segi estetis naskah sangat menarik mengingat banyaknya naskah yang memuat
gambar
yang
indah
jarang
sekali
disebut
dalam
perkembangan seni rupa Indonesia.35
E. Landasan Teori Penelitian ini tidak mengkaji naskah dengan pendekatan filologi, namun mengkaji aspek estetis naskah Serat Ambiya, yakni iluminasi. Oleh karena itu, berdasarkan pada tujuan penelitian, maka disiplin ilmu yang digunakan sebagai payung penelitian ini adalah estetika. Untuk membedah permasalahan secara utuh dan komprehensif, diperlukan berbagai teori atau konsep dari disiplin ilmu lain, di antaranya adalah sejarah, antropologi, dan semiotik. Pendekatan multidisiplin, sebagaimana dikemukakan oleh R.M. Soedarsono, sangat dimungkinkan dan bahkan dianjurkan.36
35Mu’jizah,
2009, 12. 2001, 194.
36Soedarsono,
27
1. Teori estetika Untuk menjawab permasalahan pertama yang berkaitan dengan bentuk, corak, fungsi, dan makna iluminasi naskah Serat Ambiya sebagai
bentuk
akulturasi
budaya
digunakan
teori
estetikanya E.B. Feldman. Iluminasi naskah merupakan salah satu bentuk karya seni rupa, oleh karena itu untuk menganalisis iluminasi naskah Serat Ambiya secara utuh, maka harus dilihat dari segi-segi: bentuk, corak, fungsi, dan maknanya. Sebagai karya seni, iluminasi merupakan bentuk inderawi yang diciptakan oleh seniman pembuatnya. Bentuk merupakan wujud lahiriah yang mengejawantahkan sikap batin atau perasaan tertentu.37 Iluminasi dapat dilihat sebagai perpaduan antara wujud lahiriah yang bisa diamati dan perasaan terhadap nilai tertentu yang berdimensi ruhaniah. Iluminasi sebagai bentuk karya seni terdiri dari unsur-unsur visual, seperti garis, warna, bangun, sifat permukaan, dan gelapterang. Garis memiliki sejumlah kemampuan mengungkapkan gerak dan perasaan, kepribadian, nilai budaya, dan aneka makna, serta berbagai ilusi visual. Bentuk mencakup bangun (shape) dan volume, yang fungsi dan konotasinya sama dengan garis. Tekstur bisa digunakan dalam arti sesungguhnya atau semu, serta bisa dijadikan pola (pattern) atau diberi kesan bentuk dan kedalaman. 37Edgar de Bruyne, Philosophic van de Kunst (Antwerpen: Standaard Boekhandel, 1948), 345-351.
28
Gelap terang (value) dapat ditampilkan dengan kontras yang menyolok atau peralihan yang gradual. Manipulasi gelap terang dapat memberi kesan soliditas, jarak, tektur, dan bentuk. Warna sebagai komponen yang paling kompleks dan menarik, memiliki perangai dasar dan makna simbolik tertentu. Warna dapat diasosiasikan baik secara personal maupun secara kultural. 38 Iluminasi
merupakan
produk
yang
dihasilkan
melalui
serentetan aktivitas atau proses menata unsur-unsur. Iluminasi sebagai
karya
seni
dapat
dilihat
sebagai
desain.
Desain
merupakan seleksi dan penyusunan elemen-elemen formal, atau ekspresi konsep seniman dalam ukuran, garis, dan bentuk, serta melalui beberapa pertimbangan komposisi.39 Penyusunan unsur-unsur visual perlu berpedoman pada azas-azas desain, yang terdiri dari: unity, balance, rhytm, dan proportion.40 Unity atau kesatuan diciptakan melalui sub-azas domination dan subordomination (yang utama dan kurang utama). Dominance diupayakan melalui ukuran, warna, dan tempat, serta convergence dan perbedaan atau pengecualian (difference or exception).
Coherence
(organic
unity)
bertumpu
pada
interdependency (keterkaitan) dan closeness (kedekatan) juga 38L. H. Chapman, Approaches to Art in Education (New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc, 1978), 34. 39Ralph Mayer, A Dictionary of Art Terms and Techniques (London: Adam & Charles Black, 1969), 109. 40E. B. Feldman, 1967, 259-276. Periksa juga: The Liang Gie, Garis Besar Estetik-Filsafat Keindahan (Yogyakarta: Penerbit Karya, 1976).
29
dianggap penting perannya dalam upaya menciptakan kesatuan. Balance berkaitan dengan berat dan penekanan untuk stabilitas. Balance
(keseimbangan)
dibagi
menjadi
keseimbangan
tersembunyi, keseimbangan simetris, keseimbangan asimetris, keseimbangan melalui berat/ukuran (simetris), keseimbangan melalui penekanan (asimetris), dan keseimbangan melalui kontras. Rhytm (irama) merupakan penataan melalui pengulangan elemenelemen untuk menciptakan gerak. Proportion (proporsi atau kesebandingan) adalah hubungan ukuran antara bagian dengan keseluruhan atau antara bagian dengan bagian lainnya. Nilai-nilai yang dihasilkan oleh kombinasi atau organisasi unsur-unsur
visual
dalam
iluminasi
disebut
nilai-nilai
formal. Oleh karena itu, untuk memahami nilai estetis dan makna iluminasi, Feldman menekankan pentingnya mempelajari struktur seni karena memiliki kaitan erat dengan keindahan, dan tidak terlepas
dari
makna
komprehensif
dari
karya
seni. Dengan
mempelajari struktur seni akan diperoleh pemahaman tentang: (1) sifat unsur-unsur atau elemen seni rupa; (2) cara elemen tersebut diorganisir, yang disebut prinsip-prinsip desain; dan (3) cara orang melihat dan merespons karya seni.41 Karya seni dapat diklasifikasikan berdasarkan periode, wilayah, 41E.
penampilan,
teknik,
B. Feldman, 1967, 220-221.
materi,
dan
sebagainya.
30
Pengelompokan dimaksudkan untuk mempermudah pengkajian atau analisis seni. Ada beberapa alasan perlunya mempelajari gaya atau corak seni, yaitu untuk: (1) memperoleh kategori berbagai
karya
seni
dari
berbagai
periode;
(2) membantu
memahami gaya seorang seniman, suatu periode dalam sejarah, negara, atau wilayah; (3) membantu membandingkan atau menilai karya;
(4) mendapatkan
gagasan
tentang
hubungan
antara
seniman, karyanya, dan reaksi yang muncul.42 Untuk membahas iluminasi naskah Serat Ambiya sebagai ekspresi
masyarakat
menggunakan
konsep
Jawa, estetika
maka
perlu
Jawa.
juga
Untuk
kiranya
melihat
dan
memahami masalah yang berkenaan dengan keindahan atau kesenian Jawa, sesungguhnya secara tradisional ada tiga nilai budaya
Jawa
yang
dapat
dipakai
sebagai
wacana
untuk
membangun konsep estetika Jawa. Tiga sumber nilai budaya yang dimaksudkan itu adalah nilai budaya kosmologis, klasifikasi simbolik, dan orientasi kehidupan orang Jawa.43 Pertama, sesuatu yang
indah
itu,
dalam
pandangan
budaya
Jawa,
jika
memperlihatkan adanya nilai keteraturan. Keteraturan
yang
bersumber dari pandangan kosmologis, bukan hanya dalam kaitan dengan masalah keindahan saja, namun dalam segala hal orang
42E.
B. Feldman, 1967, 137. “Estetika Nusantara: Sebuah Perspektif Budaya” dalam Imajinasi Volume II – 8 Januari 2008. 43Triyanto,
31
Jawa harus bisa hidup teratur. Nilai keteraturan sangatlah diperlukan dalam kesenian tradisional Jawa. Orang Jawa sulit memahami, merasakan, atau menerima suatu sajian tata rupa, gerak, bunyi, atau sastra yang ruwet, acak-acakan, dan semaunya sendiri. Semakin runtut dan teratur suatu sajian seni apa pun, semakin enak dinikmati atau dirasakan nilai keindahannya. Kedua, nilai keindahan itu terdapat atau terletak pada sesuatu yang diposisikan, diletakkan, ditempatkan sesuai dengan peran, fungsi, atau kategorinya. Hal ini sejalan dengan ungkapan tradisional Jawa yang berbunyi empan papan. Artinya segala sesuatu yang dilakukan, ditempatkan, diposisikan, tidak pada tempatnya
atau
tidak
sesuai
dengan
peran,
fungsi,
atau
kategorinya, maka sebaik apa pun hal itu, ia menjadi jelek, tidak layak, atau ora pantes. Oleh
sebab
itu,
aspek
penataan,
penempatan, atau pemanfaatan suatu benda atau hal, termasuk karya seni menjadi penentu nilai keindahannya. Hal ini jika ditelusuri, sesungguhnya bersumber dari nilai budaya sistem kategori. Sistem kategori dalam budaya Jawa ini dapat dilihat dalam sistem klasifikasi simbolik. Sistem ini mengatur posisi, peran, atau pembagian sesuai dengan apa yang secara tradisional terjadi dalam kehidupan masayarakat Jawa. Ketiga, dalam perspektif budaya Jawa, keindahan haruslah memperlihatkan nilai harmoni. Nilai harmoni akan memberikan
32
kesan tenang, cocok, selaras, serasi, dan seimbang dalam persepsi estetis seseorang yang menikmatinya. Harmoni merupakan salah satu orientasi penting yang harus dapat diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupan orang Jawa. Untuk hidup selamat dan sejahtera lahir batin, orang Jawa harus dapat menjalin hubungan yang selaras dan seimbang dengan sesama, lingkungan alam, dan kekuatan gaib lainnya penguasa atau pencipta alam semesta.44
2. Teori perubahan budaya Untuk menjawab permasalahan tentang akulturasi antara unsur-unsur
budaya
Jawa
dengan
Islam
digunakan
teori
perubahan budaya. Teori ini menjelaskan bahwa perubahan suatu kebudayaan dapat terjadi karena faktor dari dalam dan luar. Perubahan karena faktor dari dalam berawal dari perkembangan akal budi manusia yang membawa berbagai perubahan peri kehidupan manusia dalam pergaulan hidup dan hubungan sosial. Perubahan ini, oleh Barnet dalam Koentjaraningrat, disebut dengan inovasi. Perubahan dari luar terjadi karena adanya: (1) Difusi
(diffusion),
yakni
persebaran
unsur-unsur
umum
kebudayaan dari suatu masyarakat ke masyarakat lain di wilayah tertentu, baik melalui migrasi maupun komunikasi; (2) Pembauran (assimilation),
yaitu
44Koentjaraningrat,
suatu
proses
1984, 435-442.
yang
terjadi
karena
ada
33
pertemuan secara intensif dan yang berlangsung relatif lama di antara mereka yang berlainan latar belakang ras, suku bangsa, golongan, dan kebudayaan; dan (3) Akulturasi (acculturation) adalah suatu pertemuan antara dua kebudayaan atau lebih yang satu sama lain amat berbeda kebudayaan.45 Berkaitan dengan permasalahan yang hendak diteliti, yaitu akulturasi antara unsur budaya Jawa dan unsur Islam dalam iluminasi, maka selanjutnya hanya akan dibahas akulturasi saja. Penelitian
mengenai
merupakan
penelitian
gejala
akulturasi,
terhadap
suatu
menurut
Herskovits
kebudayaan
yang
dipengaruhi oleh unsur-unsur dari kebudayaan asing yang berbeda sifatnya, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tadi lambat
laun
diakomodasikan
dan
diintegrasikan
ke
dalam
kebudayaan itu sendiri tanpa kehilangan kepribadiannya sendiri. 46 Dalam
proses
akulturasi
selalu
terjadi
beberapa
kemungkinan, yaitu unsur kebudayaan asing tersebut diterima atau ditolak oleh masyarakat setempat, atau unsur kebudayaan lokal tetap bertahan dan tidak berubah meskipun sudah ada unsur-unsur kebudayaan yang baru.47 Berkaitan dengan unsurunsur kebudayaan yang mudah berubah dan yang sukar berubah, Linton dalam Kodiran, mengemukakan konsep tentang perbedaan
45Kodiran,
2000, 2-5. 2007, 91. 47Kodiran, 2000, 5. 46Koentjaraningrat,
34
antara bagian inti dari suatu kebudayaan (covert culture) dan bagian perwujudan lahirnya (overt culture). Bagian intinya adalah: (1) sistem nilai-nilai budaya; (2) keyakinan keagamaan; (3) adat yang sudah dipelajari sangat dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat; dan (4) adat yang mempunyai fungsi yang terjaring dalam masyarakat. Sebaliknya, bagian lahir dari suatu kebudayaan adalah kebudayaan fisik, seperti alat dan benda yang berguna, ilmu pengetahuan, tata cara, gaya hidup, dan rekreasi. 48 Unsur-unsur kebudayaan asing, menurut Merton dalam Koentjaraningrat, akan mudah diterima oleh suatu masyarakat jika
memenuhi
concreteness,
beberapa
dapat
prinsip,
dilihat,
yaitu:
didengar,
(1)
dirasa,
principles diraba,
of dan
dinikmati; (2) principles of utility, berguna bagi perkembangan dan kemajuan hidup masyarakat; (3) principles of function, memiliki fungsi untuk menggantikan unsur-unsur kebudayaan yang ada; dan ditambahkan oleh Parson (4) principles of integration, dapat diintegrasikan ke dalam unsur-unsur kebudayaan setempat. 49 Namun, menurut Bruner dalam Kodiran, unsur-unsur kebudayaan lokal atau asli akan tetap bertahan sekalipun telah berkembang unsur-unsur kebudayaan yang baru. Hal itu terjadi karena unsur-unsur kebudayaan lokal sudah sejak dini diajarkan dan dibiasakan atau principles of early learning theory, seperti 48Koentjaraningrat, 49Koentjaraningrat,
2007, 97. 2007, 97.
35
sistem kepercayaan (belief system), pandangan hidup (world view), kebiasaan makan (eating habit), sistem kekerabatan (kinship system), dan sebagainya yang bersifat kejiwaan.50 Akulturasi dapat menimbulkan bermacam-macam peristiwa budaya berupa: (1) penambahan unsur-unsur budaya baru; (2) perpaduan unsur-unsur kebudayaan dengan tidak menghilangkan jati
diri
kebudayaan
masing-masing;
(3)
penghancuran
kebudayaan lokal; (4) penolakan unsur-unsur kebudayaan asing; dan (5) keinginan untuk kembali kepada keaslian kebudayaan. 51 Begitu pula dengan adanya kontak (akulturasi) antara budaya
Nusantara,
khususnya
budaya
Jawa
dengan
Islam
diyakini juga menimbulkan peristiwa-peristiwa budaya berupa penambahan unsur-usur Islam dalam budaya Jawa maupun perpaduan
unsur-unsur
budaya
Jawa
dan
Islam.
Namun
akulturasi ini tidak sampai melenyapkan unsur-unsur budaya Jawa, karena unsur budaya Jawa yang tidak bertentangan dengan Islam tetap dipertahankan atau disesuaikan dengan Islam. 52 Hubungan
antara
budaya
Jawa
dengan
Islam,
menumbuhkan pola-pola yang khas dalam budaya Jawa. Islam
50Kodiran,
2000, 5. A. Haviland, Antropologi, terjemahan R. G. Soekardijo (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1988). Periksa juga: Julian H. Steward, Theory of Culture Change (London: University of Illinois Press, tt) 52Abay Subarna, “Unsur Estetika Dan Simbolik Pada Bangunan Islam”, dalam Estetika dalam Edi Sedyawati, ed., Arkeologi Indonesia (Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 1987). 51W.
36
memberi corak atau identitas pada budaya Jawa, yang tampak pada berbagai aspek kebudayaan, termasuk iluminasi. Corak atau identitas ini merupakan faktor yang sangat menentukan dan telah mempengaruhi bahasa dan sastra, serta segala bentuk seni. 53 Hubungan antara unsur-unsur budaya Jawa dan unsur-unsur Islam ini dapat digambarkan melalui bagan berikut: Struktur Unsur budaya Jawa pra-Islam
Iluminasi Naskah Serat Ambiya
Corak Fungsi
Unsur Islam Interaksi media dan makna Gambar 1. Akulturasi unsur budaya Jawa dan Islam pada Iluminasi Naskah Serat Ambiya, dibuat oleh M. Ibnan Syarif.
Akulturasi antara unsur-unsur budaya Jawa pra-Islam dan unsur-unsur Islam, terjadi dalam proses yang panjang atau dalam kurun waktu tertentu, atau pada periode tertentu. Oleh karena itu,
untuk
iluminasi digunakan
menjawab
pada teori
bagaimana
naskah sejarah.
Serat Teori
proses
Ambiya sejarah
akulturasi
dalam
berlangsung,
maka
digunakan
untuk
menjelaskan periode perkembangan iluminasi dan perubahanperubahan yang terjadi karena akulturasi, jiwa zamannya, alam 53Seyyed Hossein Nasr, Falsafah Kesusasteraan dan Seni Halus (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa & Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1989), 79.
37
pemikiran penyalin atau penggubah naskah, serta latar sosiokultural lingkungan keraton atau tempat naskah dibuat. Burckhardt dalam Kuntowijoyo, menyatakan bahwa setiap detil yang kecil dan tunggal adalah simbol dari keseluruhan dan satuan yang lebih besar. Kebudayaan ialah sebuah kenyataan campuran, dan tugas sejarawan ialah mengkoordinasikan elemenelemen ke dalam gambaran umum, tetapi bukannya mensubordinasikannya semata kepada kaidah-kaidah hukum. Idealnya penulisan
sejarah
ialah
seperti
lukisan,
yang
memberikan
gambaran utuh sekaligus detilnya. Namun, sejarawan yang menulis dengan kata, terikat dengan penuturan secara berurutan, sehingga komposisinya linear. Burckhardt berusaha melukiskan kesenian, agama, festival, negara, mitos, puisi, dan bentuk ekspresi kejiwaan lainnya dari kebudayaan ke dalam bagian yang berimbang dari kesatuan yang menyeluruh. Cara yang dipakai adalah dengan “paralelisasi fakta-fakta, yaitu membandingkan untuk mencari persamaan dan perbedaan, sehingga antara faktafakta ditemukan kaitannya. Dari segi metodologis ada dua jenis penulisan sejarah kebudayaan, yaitu pendekatan sinkronis dan sistematis,
dan
memperluas
bahan-bahan
kajian
sejarah
kebudayaan dengan memberi gambaran tentang keseluruhan.54
54Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2003), 137-138.
38
3. Teori fungsionalisme Untuk menjawab permasalahan kedua, yakni mengapa naskah
Serat
Ambiya
diberi
iluminasi,
digunakan
teori
fungsionalisme. Karya seni diciptakan dengan maksud atau tujuan tertentu, dengan cara mentransfer dari proses mencipta kepada ciptaan (work of art). Pengertian tujuan menjadi pengertian hasil pemindahan (transfer), karena tujuan dipindahkan dari proses ke produk. Ada tujuan praktis dan teoretik, yang keduanya melekat pada kegiatan dan dikenal manusia. Dalam kaitan ini, tujuan praktis yang dikenal manusia (a man has practical aim) berbeda dengan kegunaan suatu alat (instrument or tool has use). Manusia menggunakan benda pakai dalam rangka
mencapai tujuan
tertentu, sedangkan kegunaan benda pakai melekat pada benda itu sendiri, walaupun realisasi kegunaannya tergantung pada manusia pemakainya. Tujuan dibuatnya karya seni ada di tengahtengah, di antara aktivitas manusia dan kegunaan benda pakai. Benda
seni
dan
benda
pakai
diciptakan
dengan
maksud
melahirkan keadaan tertentu. Namun benda seni dimanfaatkan dengan cara berbeda dari benda pakai. Pada pemanfaatan karya seni melekat pengertian sikap estetik (aesthetic attitude).55 Seni, seperti yang dinyatakan oleh Feldman, pada dasarnya memiliki fungsi yang sama dari masa prasejarah sampai masa 55Haig Khatchadourian, The Concept of Art (New York: New York University Press, 1971), 48-62.
39
modern. Ada tiga fungsi seni, yaitu; (1) Personal function, yang menempatkan seni sebagai ekspresi psikologis, ungkapan cinta, seks, dan hubungan perkawinan, kematian, dan keadaan yang memprihatinkan, serta ungkapan estetik; (2) The social function, yang berkaitan dengan kepentingan ideologi dan politik, di samping kepentingan sosial itu sendiri; dan (3) The physical function, yang dibebankan kepada fisik benda, seperti bangunan tempat
tinggal,
barang-barang
kerajinan
dan
industri.56
Berdasarkan pada pandangan Feldman ini, khususnya terkait dengan fungsi fisik, maka naskah dapat dipandang memiliki hungsi fisik atau fungsi praktis, yakni sebagai media atau wadah bagi teks Serat Ambiya yang mengisahkan para nabi, dan iluminasi diterapkan sebagai hiasan pada naskah Untuk mengetahui mengapa iluminasi diterapkan dalam naskah Serat Ambiya, selain digunakan teori estetika, juga digunakan
teori
fungsionalisme.
Semua
unsur
kebudayaan
bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu berada. Setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, atau setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan bersangkutan.57
56E.
B. Feldman, 1967, 137. Malinowski, A Scientific Theory Of Cultural And Other Essays (New York: The University of North Carolina Press, 1944). Periksa juga: J. van 57Bronislaw
40
Semua sistem budaya memiliki syarat-syarat fungsional tertentu untuk memungkinkan eksistensinya, serta memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi agar sistem itu dapat bertahan hidup. Jika kebutuhan sistem fungsional itu tidak dipenuhi maka sistem itu akan mengalami disintegrasi atau mati, atau berubah menjadi sistem lain yang berbeda jenis. Dalam hal ini, institusi, kegiatan budaya, dan kompleks kultural lainnya, dipahami atau dijelaskan sebagai spesifikasi hubungan dengan sesuatu sistem yang lebih besar dan mengimplikasikan hal-hal tersebut. Mengacu
pada
iluminasi naskah
teori
fungsionalisme
Malinowski,
maka
Serat Ambiya dapat dianalogikan sebagai
organisme, yang unsur-unsur atau bagian-bagiannya tidak hanya saling berhubungan melainkan juga memberikan peranan bagi tradisi penulisan naskah. Pemberian iluminasi merupakan pola kelakuan
yang
sudah
menjadi
tradisi,
atau
bagian
dari
kebudayaan dalam masyarakat Jawa untuk memenuhi beberapa fungsi mendasar. Iluminasi dibuat tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan estetis saja, tetapi juga untuk fungsi-fungsi lainnya, seperti mengembangkan pengetahuan, melestarikan tradisi, dan sebagainya. Tegasnya, iluminasi yang terwujud dalam bentuk, corak, serta gaya yang artistik dan estetis memiliki fungsi tertentu.
Baal, Sejarah Dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Jakarta: PT Gramedia, 1988).
41
Kesenian merupakan pokok kebudayaan yang berperan penting pada keberadaan suatu masyarakat sekaligus menandai kebudayaannya, maka hubungan historis dan sosiologis antara seni dengan keberadaan suatu masyarakat jelas tidak dapat dipisahkan. Sebaliknya keberadaan seni perlu dipahami secara integral dengan konteks keberadaan masyarakat pendukungnya. Berkaitan dengan itu, pemahaman tentang iluminasi tidak akan pernah cukup dengan menilik aspek bentuknya semata, tetapi juga perlu dirunut akar keberadaannya. Dengan demikian, bentuk, peran, dan nilai iluminasi lama akan tampak jelas maknanya dalam alur perkembangan selanjutnya. Sebagai sistem simbol, iluminasi merupakan sistem pemberian makna estetika secara bersama dan merupakan penataan ekspresi estetik yang berkaitan dengan segala macam perasaan atau emosi manusia. Fungsi
iluminasi
sebagai
unsur
budaya
adalah
kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau kebutuhan sekunder dari suatu masyarakat. Beberapa aspek dari kebudayaan adalah memenuhi kebutuhan dasar, yang kemudian muncul kebutuhan sekunder yang juga harus dipenuhi oleh kebudayaan. Semua unsur kebudayaan akhirnya dapat dipandang sebagai pemenuhan kebutuhan dasar para warga masyarakat. Berkaitan dengan fungsi, menurut Malinowski, ada tiga abstraksi fungsi sosial adat tatacara dan pranata sosial, yaitu: (1)
42
berkaitan dengan adat, tingkah laku, dan pranata sosial yang lain; (2) terkait dengan yang dikonsepsikan masyarakat bersangkutan; (3) terkait dengan kebutuhan mutlak berlangsungnya hidup secara terintegrasi. Ketiga abstraksi ini yang akan dilukiskan secara detil, sehingga jelas makna dan fungsi iluminasi atau hiasan pada naskah. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa fenomena yang terkait dengan iluminasi sekecil apapun pasti ada makna dan fungsinya bagi masyarakat pendukungnya. Mengacu
pada
Malinowski,
kajian
fungsional
dapat
diarahkan pada: (1) Fungsi spiritual, yakni sebagai wahana religius masyarakat, institusi, atau organisasi yang membuatnya; dan (2) Fungsi untuk memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya, misalnya sebagai pemenuhan naluri keindahan, atau pemenuhan kombinasi human needs. Dengan
demikian,
mengacu
pada
teori
Feldman
dan
Malinowski, maka analisis fungsi iluminasi pada naskah Serat Ambiya skriptorium Hamengku Buwana V dapat diarahkan pada: (1) Personal function, yakni fungsi iluminasi sebagai ekspresi estetik, atau
untuk memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah
kebutuhan naluri manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya, khususnya sebagai pemenuhan naluri keindahan; (2) The social function, yakni fungsi sosial iluminasi yang berkaitan
43
dengan
kepentingan
spiritual atau
sebagai wahana
religius
masyarakat, institusi, atau organisasi yang membuatnya, ideologi, dan politik, di samping kepentingan sosial itu sendiri; dan (3) The physical function, yakni fungsi fisik atau fungsi praktis yang dibebankan kepada fisik naskah. Fungsi
iluminasi
pada
naskah
Serat
Ambiya
dapat
digambarkan dalam bagan berikut. Fungsi personal Iluminasi Naskah Serat Ambiya
Fungsi sosial Fungsi fisik
Gambar 1. Fungsi iluminasi pada naskah Serat Ambiya skriptorium HB V, yang dibuat oleh M. Ibnan Syarif.
4. Teori semiotik Untuk menjawab permasalahan ketiga, yakni bagaimana bentuk hubungan antara unsur-unsur dalam iluminasi, serta relasinya dengan teks naskah Serat Ambiya, digunakan teori semiotik. Semiotika dipilih sebagai pendekatan ilmiah karena dalam program dan tugasnya cocok untuk melakukan kritik ideologi-kritik yang dijalankan lewat analisis proses pemaknaan. Barthes58 melihat kemungkinan pengembangan teoritis semiotika 58ST. Sunardi, Semiotika Negativa (Yogyakarta: Penerbit Buku Baik, 2004), 19-20.
44
untuk memecahkan problema hubungan antara bahasa, budaya dan ideologi. Semiotika mempunyai jangkauan kajian lebih luas. Analisis semiotik, menurut Barthes adalah mencari berbagai relasi
atau
hubungan
antara
signifier
dan
signified,
atau
hubungan antara bentuk visual iluminasi yang berupa ornamen atau ragam hias yang berfungsi sebagai penanda atau signifier dan konsep atau makna dari ornamen atau ragam hias sebagai petanda (signified).59 Bentuk visual iluminasi pada naskah Serat Ambiya yang berupa bentuk, corak, dan sebagainya, merupakan aspek material atau wahana dari konsep atau makna. Bentuk dan konsep atau makna, keduanya membentuk suatu kesatuan yang tidak terpisahkan berwujud iluminasi. Keduanya memiliki relasi yang mengacu pada aturan-aturan atau konvensi atau sistem tertentu (langue) yang berlaku pada masa naskah dibuat. Iluminasi sebagai bentuk karya seni dipandang sebagai tanda-tanda
estetis.
Iluminasi
yang
berupa
ornamen
(yang
mencakup motif, warna, corak dan sebagainya) didefinisikan sebagai ikonik, yang oleh Pierce dianggap sebagai indeks,60 dan oleh Bense dianggap memiliki persamaan dengan ikon, realitas
Roland Barthes, Element of Semiology (New York: Hill and Wang, 1981), 35-54. Periksa juga: Wening Udasmoro, Roland Barthes: Petualangan Semiology (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007); Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna (Yogyakarta: Jalasutra, 2004). 60Winfried Nőth, Handbook of Semiotics (Bloomington dan Indianapolis: Indiana University Press, 1995). 59
45
indek, dan bersifat simbolis.61 Berdasarkan jenis tanda, maka iluminasi diketegorikan dalam jenis ikon, indeks, dan simbol. Namun, jika mengacu pada Shapiro maka tanda-tanda seni bukanlah
ikonik
atau
indeksikal
tetapi
simbolik,
yang
merepresentasikan makna simbol-simbol konvensional.62 Wujud lahiriah karya seni mengejawantahkan sikap batin atau perasaan terhadap
nilai
tertentu.
Sikap batin
itu
akan
memperoleh
wujudnya yang harmonis secara langsung. Proses eksternalisasi yang internal secara langsung ini disebut ekspresi simbolik, dan secara fenomenologis, kedudukan bentuk dan isi akan hakiki setelah terpadu dalam karya seni sebagai simbol.63 Ketika seniman berkarya seni, maka sebenarnya seniman terlibat dalam sebuah proses produksi tanda, yakni memilih, menata, dan mengkombinasi unsur-unsur pembentuk tanda dengan cara dan aturan tertentu. Ketika orang lain mengamati atau membaca karya seni (sebagai image), maka ia melakukan interpretasi sesuai dengan kemampuan membaca, dan dalam proses ini berpeluang terjadi penafsiran yang berbeda atau proses perubahan kode (the changing of codes), atau terjadi semacam dialektika antara kode dan pesan. Proses komunikasi antara seniman
dengan
61Winfried
pengamat
Nőth, 1995. Nőth 1995, 424. 63Edgar de Bruyne, 1948. 62Winfried
dapat
menciptakan
semacam
46
diskursus, atau proses kreativitas yang mengubah makna atau aturan (rule changing creativity), dan proses interpretasi tanda secara tak terhingga (semiosis).64 Sementara itu, Charles Morris membedakan semiotika ke dalam tiga cabang penyelidikan (branches of inquiry), yakni sintaksis, semantik, dan pragmatik.65 Dengan demikian kajian iluminasi dapat dibedakan dalam tiga hal, yaitu sebagai berikut. 1. Sintaktik (syntactics), jika kajian tentang iluminasi berpusat pada hubungan formal di antara satu tanda dengan tanda lainnya
atau
kaidah-kaidah
yang
mengatur
proses
pembentukannya dan interpretasi (penggolongan, hubungan dengan tanda-tanda lain termasuk teks yang dibingkai oleh iluminasi, dan caranya bekerja sama dalam menjalankan fungsinya), atau yang disebut ‘gramatika’. 2. Semantik (semantics), yaitu hubungan tanda dengan makna yang diacu tanda itu (designata).Semantik hanya mencakup aspek acuan, bukan aspek arti (sense atau makna) 3. Pragmatik (pragmatics), yang mempelajari hubungan antara iluminasi
sebagai
kumpulan
tanda
dengan
interpreter
(pemakai), atau berkaitan dengan aspek-aspek komunikasi, 64Umberto Eco, A Theory of Semiotics (Bloomington: Indiana University Press, 1979), 152. 65Winfried Nőth, Semiotik, diterjemahkan oleh Dharmojo, dkk. (Surabaya: Airlangga University Press, 2006), 51-52; lihat juga Panuti Sudjiman dan Aart van Zoest (ed), Serba Serbi Semiotika (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), 6.
47
khususnya
fungsi
situasional
yang
menjadi
latar
pembentukan. Sebaiknya kajian semiotika terhadap iluminasi dimulai dengan
penjelasan
sintaksis,
dilanjutkan
dengan
penelitian
semantik dan pragmatik. Namun, penelitian yang baik tidak hanya terbatas pada sintaks semiotik, karena penelitian semiotik harus berlanjut hingga semantik dan pragmatik. Tanpa ketiga segi tersebut, penelitian akan tetap tak berhasil dan kurang menarik. Berkaitan
dengan
tingkat
dalam
pertandaan,
Barthes
menjelaskan ada dua tingkat, yaitu denotasi (denotation) dan konotasi (connotation). Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda (rujukan) pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit (makna implisit yang multi tafsir).66 Mengacu pada tingkat pertandaan ini, maka iluminasi dapat dijelaskan juga dalam dua tingkat pertandaan, yakni denotasi dan konotasi.
F. Metode Penelitian Karena masalah yang diajukan dalam penelitian ini lebih menekankan pengungkapan bentuk dan makna, yakni bentuk Kris Budiman, Semiotika Visual (Yogyakarta: Penerbit Buku Baik, 2004), 63. 66
48
(sebagai hasil perilaku) dan simbol, maka strategi penelitian yang sesuai adalah penelitian kualitatif. Strategi ini dipandang lebih mampu menangkap berbagai informasi kualitatif dengan kejelasan deskripsi yang teliti dan penuh makna. Proses penelitian berbentuk siklus, yang pelaksanaannya dapat dibagi dalam tiga tahap utama kegiatan, yakni: (1) Tahap penjajagan yang bersifat menyeluruh dengan melakukan apa yang grand tour question; (2) Tahap eksplorasi secara terfokus sesuai dengan ranah yang dipilih sebagai fokus; (3) Tahap mengecek temuan penelitian terutama dengan melakukan apa yang oleh Linkoln dan Guba disebut member check.67 Dalam
penelitian
kualitatif
tidak
dikenal
adanya
keterwakilan (sample) demi kepentingan generalisasi populasi. Cuplikan dalam penelitian kualitatif senantiasa berkembang untuk mencari fokus. Objek yang dijadikan fokus amatan diambil dengan menggunakan cara internal sampling, yaitu keputusan diambil begitu peneliti memiliki suatu pikiran umum tentang apa yang dikaji, berapa dokumen serta macamnya akan ditelaah, dengan siapa akan berbicara, dan kapan akan melakukan observasi. Berdasarkan pertimbangan ini, maka dipilih naskah Serat Ambiya hasil skriptorium Sultan Hamengku Buwono V (HB
67Yvone S. Linkoln dan Egon G. Guba, Naturalistic Inquiry (Sage Publications Ltd,1985).
49
V) yang dijadikan sebagai fokus amatan didasarkan pada saat pengamatan umum pendahuluan.68 Sasaran penelitian difokuskan pada Naskah Serat Ambiya hasil skriptorium HB V, yang merupakan naskah koleksi Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Selain itu, naskah-naskah Serat Ambiya lainnya yang berada di Museum Sonobudoyo, Perpustakaan Keraton Yogyakarta, dan Perpustakaan Pura Pakualaman. Oleh karena itu, maka lokasi penelitian akan difokuskan di Yogyakarta. Untuk menjawab permasalahan pertama, yaitu bagaimana bentuk, corak, fungsi, dan makna iluminasi naskah Serat Ambiya sebagai bentuk sintesis antara unsur-unsur budaya Jawa praIslam dengan Islam, selain dianalisis dengan teori estetika, juga dengan teori perubahan budaya dan teori sejarah. Iluminasi dianalisis bentuk, corak, fungsi, dan maknanya, serta unsurunsurnya yang diyakini sebagai hasil akulturasi. Terkait
dengan
data
tekstual
iluminasi,
pengumpulan
datanya dilakukan dengan teknik observasi secara teliti, baik langsung maupun tidak langsung terhadap naskah Serat Ambiya, khususnya masalah-masalah yang gayut dengan iluminasi, seperti halaman yang diiluminasi, bentuk, corak, motif, media dan teknik pengerjaan,
dan
sebagainya.
Untuk
mengamati
bagaimana
akulturasi antara unsur-unsur budaya Jawa dengan unsur-unsur 68R.C. Bogdan dan S.K. Biklen, Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods, Boston: Allyn and Bacon, Inc. 1984)
50
Islam dalam iluminasi, digunakan metode reported observation at interval, yakni mengamati iluminasi dari masa yang berbeda untuk menemukan
perbedaan,
persamaan,
dan
perubahannya.
Pengamatan juga dilakukan terhadap artefak-artefak lainnya untuk mengetahui perubahan yang terjadi, khususnya pada ragam hias yang merupakan unsur utama iluminasi. Selain
itu,
dilakukan
juga
studi
dokumen
untuk
mendapatkan data-data tekstual dan kontekstual iluminasi dan unsur-unsur pembentuknya dari berbagai sumber. Mengacu pada Bogdan dan Biklen, jenis dokumen dan catatan yang menjadi sumber informasi penelitian ini meliputi dokumen resmi, baik yang berupa dokumen pribadi, artefak-artefak, maupun foto, yang terkait dengan data tekstual maupun kontekstual.69 Untuk mendapatkan jawaban yang terkait dengan aspek kontekstual iluminasi, seperti fungsi dan makna iluminasi, alam pemikiran ekonomi,
penyalin politik,
penyalinan
dan
atau
dan
penggubah
sosial-kultural
pemberian
naskah, yang
iluminasi,
serta
kondisi
melatarbelakangi
digunakan
teknik
wawancara. Wawancara mendalam (in depht interview) dilakukan terhadap nara sumber atau informan kunci (key informant), yaitu orang-orang yang dipandang memiliki pengetahuan yang memadai
69Bogdan
dan S.K. Biklen, 1984.
51
tentang iluminasi.70 Nara sumber yang dipilih adalah: (1) benarbenar memahami dengan baik kebudayaannya; (2) terlibat dengan dengan kebudayaan yang diteliti; (3) menguasai suasana budaya yang belum dikenal peneliti; (4) memiliki waktu cukup; dan (5) mampu memberikan informasi non-analitis. Berdasarkan kriteria tersebut, maka dilakukan wawancara terhadap: budayawan, sejarawan, dan arkeolog yang memiliki pengetahuan luas tentang naskah Jawa, khususnya naskah Serat Ambiya. Wawancara juga dilakukan terhadap staf museum Sonobudoyo yang memiliki pengetahuan tentang koleksi naskah dan isi naskah, serta kerabat kraton yang memiliki pengetahuan tentang penulisan naskah Serat Ambiya. Untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan kedua, yakni mengapa naskah Serat Ambiya diberi iluminasi atau hiasan yang membingkai teks, dilakukan analisis dengan berpijak pada konsep estetika dan fungsi karya seni. Pada dasarnya, iluminasi pada naskah Serat Ambiya, sebagai karya seni tentunya dibuat dengan tujuan tertentu. Setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, atau setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan. Sebagai upaya untuk mendapatkan data terkait dengan permasalahan ini, 70James P. Spradley, Culture and Cognition: Rules, Map, and Plans (Toronto: Chandler Publishing, Co.,1997), 29, 61-65.
52
digunakan teknik wawancara dan studi dokumen. Wawancara dan studi dokumen dilakukan untuk menggali data tentang tujuan pemberian iluminasi atau fungsi iluminasi naskah Serat Ambiya. Selanjutnya untuk menjawab permasalahan ketiga, yakni bagaimana hubungan antara iluminasi naskah Serat Ambiya dengan isi tekstualnya, akan dianalisis berdasarkan teori semiotik. Pengumpulan data terkait dengan data tekstual dilakukan dengan teknik
observasi
atau
pengamatan
terhadap
bentuk
visual
iluminasi pada naskah Serat Ambiya. Pengamatan dilakukan terhadap
unsur-unsur
atau
bagian-bagian
iluminasi
yang
berfungsi sebagai tanda (signifier), dan relasinya dengan tandatanda
lainnya,
serta
bentuk
relasinya.
Terkait
dengan
pengumpulan data yang kontekstual akan digunakan teknik wawancara dan studi dokumen. Wawancara mendalam dan studi dokumen dilakukan untuk mengungkap makna simbolis atau pesan-pesan yang terdapat dalam iluminasi, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Analisis diterapkan
masalah
pada
pertama,
naskah
Serat
yakni Ambiya,
mengapa dilakukan
iluminasi dengan
pendekatan fungsionalisme. Untuk mengetahui makna dan fungsi iluminasi pada naskah Serat Ambiya, maka dianalisis keterkaitan iluminasi dengan: (1) adat, tingkah laku, dan pranata sosial; (2) konsepsi masyarakat yang bersangkutan; (3) kebutuhan mutlak
53
berlangsungnya hidup.
Hal ini didasarkan pada fenomena yang
terkait dengan iluminasi sekecil apapun pasti ada makna dan fungsinya bagi masyarakat pendukungnya. Analisis fungsi iluminasi naskah Serat Ambiya, dengan mengacu
pada
Feldman
dan
Malinowski,
maka
iluminasi
dikategorikan berdasarkan fungsinya, yaitu: (1) Personal function, yakni fungsi individual yang terkait dengan ekspresi estetik, atau pemenuhan naluri keindahan; dan (2) The social function, yakni fungsi sosial iluminasi yang meliputi fungsi spiritual, politik, komunikasi, dan sebagainya. Untuk menganalisis masalah kedua, terkait dengan masalah tekstual dan kontekstual, yakni bentuk, corak, fungsi,
serta
interaksi antara media dengan makna iluminasi pada naskah Serat Ambiya digunakan teori estetika E.B. Feldman. Pertama, iluminasi sebagai karya seni dianalisis berdasarkan strukturnya untuk menjelaskan unsur-unsur yang digunakan dalam iluminasi, dan azas-azas yang digunakan dalam pengorganisasian atau penyusunan
unsur-unsur
tersebut.
Kedua,
iluminasi
akan
dianalisis dan diklasifikasikan berdasarkan periode atau waktu, wilayah,
penampilan,
teknik,
Pengelompokan
dimaksudkan
iluminasi
memahami
dan
materi, untuk:
gaya
dan
sebagainya.
memperoleh
seniman
atau
kategori iluminator
berdasarkan periode atau wilayahnya, membandingkan atau
54
menilai iluminasi, dan memahami hubungan antara seniman dan karyanya. Ketiga, menganalisis fungsi iluminasi, baik fungsi personal, sosial, maupun fisik. Keempat, menganalisis interaksi media
dan
teknik
dengan
makna
iluminasi.
Media
dapat
mempengaruhi kualitas iluminasi, begitu sebaliknya isi ekspresi juga mempengaruhi penggunaan media. Iluminasi naskah Serat Ambiya, sebagai ekspresi seni masyarakat Jawa, juga dianalisis menggunakan konsep-konsep estetika Jawa. Iluminasi dianalisis berdasarkan tata rupa atau tata
hubungan
antar
unsur
untuk:
(1)
menjelaskan
nilai
keteraturannya, sebagai nilai yang sangat penting dan diperlukan dalam seni tradisional Jawa; (2) menjelaskan aspek penataan, penempatan, atau pemanfaatan unsur-unsur visual, yang menjadi penentu nilai keindahan iluminasi, atau menentukan posisi dan peran
setiap
unsur;
dan
(3)
Menjelaskan
keharmonisan,
keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam iluminasi. Terkait dengan akulturasi antara unsur-unsur budaya Jawa dan budaya Islam yang terwujud dalam iluminasi, dilakukan dengan metode komparatif diakronik dan komparatif sinkronik.71 Metode komparatif diakronik dilakukan untuk mengetahui atau menjelaskan perubahan yang terjadi dalam iluminasi atau unsurunsur utama iluminasi dengan membandingkan unsur-unsur 71Koentjaraningrat,
2007, 4.
55
utama pembentuk iluminasi, khususnya ragam hias atau motif, baik bentuk, corak, fungsi, dan maknanya, yang terdapat pada naskah atau artefak lainnya dari masa pra-Islam dengan motif atau ragam hias yang terdapat pada naskah Serat Ambiya yang dibuat pada masa Islam. Sedangkan metode komparatif sinkronik digunakan untuk menjelaskan bentuk, corak, fungsi, dan makna iluminasi atau unsur-unsur utamanya iluminasi naskah Serat Ambiya, dengan naskah-naskah lainnya atau artefak-artefak lainnya yang dibuat pada masa yang sama, yakni masa Islam. Metode sinkronik ini juga digunakan oleh Burckhardt untuk melukiskan aspek historis kesenian atau bentuk ekspresi budaya. Metode
sinkronik
membandingkan
atau
dan
‘paralelisasi
melawankan,
fakta-fakta’,
mencari
persamaan
yaitu dan
perbedaan, sehingga antara fakta-fakta ditemukan kaitannya.72 Analisis atau
proses perubahan yang terjadi dalam iluminasi
unsur-unsurnya,
juga
dilakukan
dengan
pendekatan
fungsional terhadap akulturasi, dengan suatu kerangka yang terdiri dari tiga kolom. Kolom pertama memuat daftar yang terdiri dari keterangan tentang kebutuhan, maksud, cara pembuatan iluminasi, dan bentuk iluminasi pada naskah Serat Ambiya. Kolom kedua, melukiskan jalannya proses akulturasi. Kolom ketiga melukiskan reaksi masyarakat yang diteliti. Namun karena dalam 72Kuntowijoyo,
2003, 139.
56
penelitian ini tidak termasuk pengungkapan reaksi masyarakat terhadap iluminasi, maka kolom ketiga tidak digunakan. Analisis permasalahan ketiga dilakukan dengan pendekatan semiotik. Analisis semiotik mencari berbagai relasi atau hubungan antara signifier dan signified, atau hubungan antara bentuk visual iluminasi yang berfungsi sebagai penanda atau signifier dan konsep atau makna iluminasi sebagai petanda (signified). Bentuk dan konsep atau makna, keduanya membentuk suatu kesatuan yang tidak terpisahkan berwujud iluminasi. Keduanya memiliki relasi yang mengacu pada aturan-aturan atau konvensi atau sistem tertentu (langue) yang berlaku pada masa naskah dibuat. Iluminasi sebagai salah satu bentuk karya seni dipandang sebagai tanda-tanda estetis. Karya seni, oleh Bense dianggap memiliki persamaan dengan ikon, realitas indek, dan bersifat simbolis.
Dengan
demikian
iluminasi
akan
diketegorikan
berdasarkan jenis tanda, yakni: ikon, indeks, dan simbol.73 Selanjutnya, mengacu pada Charles Morris, iluminasi pada naskah Serat Ambiya skriptorium HB V dianalisis ke dalam: (1) Sintaktik (syntactics), yang berpusat pada hubungan formal di antara tanda-tanda dalam iluminasi atau kaidah-kaidah yang mengatur
proses
pembentukan
iluminasi
dan
interpretasi
(gramatika); (2) Semantik (semantics), yakni hubungan di antara 73Winfried
Nőth, 1995.
57
tanda-tanda dalam iluminasi dengan makna tanda sebelum digunakan (designata) atau objek-objek yang diacunya; dan (3) Pragmatik (pragmatics) atau hubungan antara iluminasi sebagai kumpulan tanda-tanda dengan interpreter atau pemakainya, atau berkaitan dengan aspek-aspek komunikasi, khususnya fungsifungsi
situasional
yang
melatarbelakangi
pembentukannya.74
Mengacu pada Barthes, maka tanda-tanda dalam iluminasi juga dikelompokkan dalam dua tingkat pertandaan, yaitu denotasi (denotation) dan konotasi (connotation).75 Analisis data dalam penelitian kualitatif harus diletakkan dalam kerangka berpikir yang menyeluruh dan sistemik. Karena itu, analisis data merupakan kegiatan bersamaan dan saling menjalin antara langkah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Adapun model analisis yang digunakan adalah analisis data interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman,76 yang dapat digambarkan sebagai berikut: Pengumpulan data
Penyajian data
Reduksi data Penarikan kesimpulan (Verifikasi) Gambar 3. Model analisis data interaktif (Miles dan Huberman)
Sudjiman, Panuti dan Aart van Zoest (ed), 1996, 6. Budiman, 2004, 63. 76 Miles dan Huberman, 1992, 20. 74 75
58
Dalam
penerapannya,
langkah-langkah
analisis
data
sebagaimana dipaparkan Miles dan Huberman itu tidak dilakukan secara ketat. Hal ini didasarkan pada kenyataan, bahwa analisis data yang sangat mekanistis dan berlebihan ketatnya dapat menutup peluang untuk memperoleh data tersamar atau tak terduga yang justru seringkali menjadi petunjuk yang sangat penting bagi keberhasilan suatu penelitian. Dalam proses analisis, data yang diperoleh diorganisasi sedemikian rupa untuk direduksi, diurutkan, diklasifikasikan melalui analisis domain, taksonomi, dan komponensial, kemudian dideskripsikan dan dinterpretasikan sampai memperoleh konklusi menyeluruh terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan. Untuk memantapkan penarikan konklusi, dengan sengaja dilakukan kembali ke lokasi penelitian untuk memperoleh bahan pendukung.
G. Sistematika Penulisan Laporan penelitian untuk disertasi ini diuraikan menjadi beberapa bab sebagai berikut. Bab I
Pengantar, yang berisi: latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan disertasi.
59
Bab
II
Naskah
Serat Ambiya
skriptorium
Hamengku
Buwana V, yang berisi pembahasan tentang penyalinan naskah dan kondisi sosial-budaya saat naskah disalin, deskripsi naskah yang berkaitan dengan fisik naskah, kandungan atau isi naskah, serta analisis akulturasi antara unsur-unsur budaya Jawa praIslam dengan unsur atau nilau Islam dalam iluminasi naskah Serat Ambiya skriptorium HB V. Bab III Iluminasi pada naskah Serat Ambiya skriptorium Hamengku Buwana V, yang berisi hasil analisis tentang: unsurunsur iluminasi, bentuk, corak, fungsi, dan makna iluminasi naskah Serat Ambiya, serta akulturasi antara unsur-unsur budaya Jawa pa-Islam dengan unsur-unsur atau nilai-nilai Islam yang terdapat dalam bentuk, corak, fungsi, dan makna iluminasi pada naskah Serat Ambiya. Bab IV
Fungsi iluminasi pada
naskah
Serat Ambiya
skriptorium Hamengku Buwana V, yang berisi hasil analisis tentang mengapa iluminasi diterapkan pada naskah Serat Ambiya, yang mencakup fungsi personal, fungsi sosial yang mencakup fungsi spiritual atau religius, fungsi edukatif, fungsi komunikasi, dan fungsi politik, serta fungsi fisik naskah. Bab V Makna iluminasi dan relasinya dengan teks pada naskah Serat Ambiya skriptorium Hamengku Buwana V, yang berisi analisis tentang hubungan antara unsur-unsur sebagai
60
sistem tanda dalam iluminasi, kedudukan dan makna iluminasi, serta relasinya dengan teks pada naskah, yang mencakup analisis sintaksis, semantik, dan pragmatik. Bab VI Kesimpulan, yang berisi kesimpulan dari seluruh bab yang telah disajikan dan saran-saran atau catatan-catatan terkait
dengan
hasil
penelitian
dan
tindak
lanjutnya,
dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
dan