BAB IV KESIMPULAN Masyarakat yang plural atau majemuk merupakan masyarakat yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis, dan agama. Keberagaman barang tentu menandakan sebuah perbedaan antara yang satu dengan yang lain, khususnya perbedaan agama. Perbedaan agama seringkali dijadikan alasan untuk mengatakan mengapa berbeda, mengapa berseteru, dan mengapa harus saling mencurigai ?. Sangat disesalkan manakala agama seringkali terperangkap
ke
dalam
berbagai
isu
konflik
dan
kekerasan
yang
mengatasnamakan agama. Ketika satu agama mampu berkembang dan pemeluknya semakin tersebar secara teritorial, di mana mampu menembus batas-batas wilayah, dan berpapasan dengan agama dan keyakinan yang lain, sehingga pemeluknya bertemu dengan beragam kelompok penganut agama dan keyakinan yang berbeda bahkan kadangkala kemudian hidup berdampingan dan saling berinteraksi di antara sesama mereka. Namun, adakalanya juga di antara mereka saling bertikai antar pemeluk agama yang berlainan. Kemungkinan tersebut dapat saja terjadi manakala berbagai agama yang berbeda berada di dalam satu ruang dan waktu tertentu yang sama dan kemudian saling bersentuhan atau bahkan saling berinteraksi. Agama dalam sisi gelapnya mungkin memang dapat dikatakan bersalah dan memiliki andil dalam memberikan sumbangan pada ketegangan, dan pertikaian 113
yang mengarah pada kekerasan, akan tetapi terdapat pesan normatif yang paling mendasar dari agama yang diyakini oleh sebagian penganutnya bahwa ajaran dalam agama menghendaki indahnya perdamaian. Secara teologis, manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang paling sempurna. Tidak ada makhluk lain yang memiliki kesempurnaan melebihi manusia baik ditinjau dari aspek fisik maupun aspek psikisnya. Perbedaan merupakan karunia Tuhan yang mengiringi dinamika kehidupan manusia termasuk dalam memilih keyakinan. Akan tetapi, sangat disayangkan manakala manusia seringkali terjebak dalam memahami dan memaknai arti dari sebuah perbedaan agama. Dewasa ini, keberagaman (perbedaan) agama menjadi tantangan dalam menciptakan harmoni lintas iman namun sekaligus menawarkan nilai-nilai yang dapat dibandingkan. Hidup berdampingan dalam keberagaman agama tidak hanya mengakui persamaannya saja, akan tetapi juga dengan jujur mengakui perbedaanperbedaan yang signifikan dalam keyakinan religius yang paling mendasar dan mendalam.
Persoalan-persoalan
kemanusiaan
yang
tergambarkan
dalam
serangkaian konflik yang tak terhindarkan semakin menyadarkan akan pentingnya keterlibatan agama-agama untuk bersama-sama ikut memperhatikan dan mengupayakan penyelesaian. Keterlibatan agama kini sudah tak terelakan lagi. Hal ini dikarenakan iman tidak cukup hanya diikrarkan dan diwujudkan dalam bentuk ritualnya, ia menuntut keterlibatan secara konkret dalam bentuk tindakan, tak sekedar pada wacana intelektual.
114
Pengalaman dialog bukan merupakan hal yang baru di dalam masyarakat, juga bukan hal yang sama sekali baru dalam relasi antarumat beragama. Namun, ketika dihadapkan pada situasi relasi antarumat beragama yang tak lagi harmonis dan justru dipenuhi dengan ketakutan serta kecurigaan yang berlebihan, justru mendorong untuk merumuskan gagasan secara sistematis mengenai dialog. Dengan demikian, dialog muncul sebagai tantangan baru dalam mengelola keberagaman (perbedaan) agama tersebut. Gerakan Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) Yogyakarta di Dusun Turgo membantu kita untuk melihat bahwa ruang dialog yang dibangun berpijak pada persaudaraan sejati. FPUB mencoba menawarkan sebuah pendekatan atau tindakan preventif untuk mencegah maupun meminimalisir keteganganketegangan relasi antarumat beragama agar tidak berujung pada konflik dan aksi kekerasan. Menumbuhkan persaudaraan sejati di dalam masyarakat pedesaan melalui aksi-aksi kemanusiaan menjadi penting bagi FPUB dalam mewujudkan cita-cita harmonisasi lintas iman di Yogyakarta. Secara khusus, FPUB memfokuskan ruang dialog agama pada model dialog karya untuk diterapkan di Dusun Turgo. Dialog karya menjadi penting manakala tujuan utama dari dialog ini adalah menumbuhkan semangat solidaritas sosial di dalam masyarakat dan membangun harmonisasi lintas iman melalui tindakan konkret, tidak sebatas pada wacana intelektual saja. Ruang dialog agama dengan model dialog karya dimaksudkan pada model dialog yang tidak hanya sebatas diskusi maupun sharing pengalaman dalam sebuah forum, melainkan bersama-
115
sama bergerak secara aktif dan partisipatif dalam serangkaian aktivitas sosial bersama. Model dialog ini dibangun melalui pendekatan kultural (local wisdom) sehingga secara seiring sejalan pesan spiritualitas turut tersampaikan. Dialog karya melibatkan semua elemen agama tanpa menonjolkan kepentingan agama tertentu. Hal ini dilakukan guna menghindari terjadinya dominasi kepentingan kelompok tertentu. FPUB mencoba masuk ke dalam roh (baca: jiwa) masyarakat sebagai ruang dialog yang mampu mengakomodasi berbagai kepentingan agama tanpa mengurangi esensi dan nilai substansi yang ingin dituangkan. Dalam konteks masyarakat Dusun Turgo, dapat ditarik kesimpulan bahwa sedikitnya terdapat dua hal yang dapat dijadikan landasan dalam melihat ruang dialog lintas iman yang dikembangkan oleh FPUB serta konstruksi baik elit maupun massa agama Turgo terhadap ruang dialog tersebut. Pertama, FPUB mampu menyemai benih-benih perdamaian dalam jiwa masyarakat Turgo melalui aksi-aksi kemanusiaan. Pendekatan spiritualitas-kultural FPUB ternyata mampu menembus batas formal hingga nilai persaudaraan sejati tertanam dalam jiwa masyarakat Turgo. Melalui pendekatan tersebut FPUB mampu menanamkan nilainilai keberagaman dan perdamaian terhadap perbedaan sebagai ujung tombak dalam memupuk harmoni lintas iman. Kedua, disisi lain dialog karya (baca: pembangunan jembatan) yang dibangun FPUB justru semakin mempertebal kecemburuan sosial antar kelompok masyarakat dalam satu padukuhan ini. Pola jaringan yang dikembangkan oleh FPUB mengantarkan pada persepsi bahwa warga Turgo atas sebagai kelompok
116
masyarakat yang di istimewakan dan merupakan “anak emas” FPUB. Ketegangan relasi antarwarga masyarakat di Turgo atas dan Turgo bawah terjadi dikarenakan interaksi dan komunikasi yang minim semenjak terpecah menjadi dua bagian pasca Erupsi Merapi (1994) semakin mengakar sehingga menumbuhkan ketidakharmonisan relasi antar kelompok masyarakat ini. Hal ini terjadi karena pola jaringan yang dikembangkan oleh FPUB belum mampu untuk menyentuh dan merangkul masyarakat secara utuh. Warga Turgo atas memang mendapatkan sentuhan yang hangat dan secara intens FPUB memberikan perhatiannya. Akan tetapi, tanpa disadari warga di Turgo bawah yang tidak tersentuh oleh FPUB merasa di “anak-tirikan” padahal mereka masih terikat secara administratif sebagai bagian dari kesatuan Padukuhan Turgo. Dengan demikian, diharapkan ke depannya FPUB mampu tampil sebagai “orang tua” yang mampu mengayomi anak-anaknya (baca: Turgo atas dan Turgo bawah) agar secara universal program-program yang digalakkan oleh FPUB dapat diterima dan menyentuh semua elemen masyarakat secara utuh. Hal ini dimaksudkan agar tidak menghadirkan persoalan baru yang justru mampu menjadi duri tajam dalam keberlanjutan sepak terjang FPUB untuk menabur benih perdamaian. Lain dari pada itu, kesungguhan hati yang diperlihatkan oleh FPUB dalam mengupayakan perdamaian melalui jalan dialog karya, terlepas dari objek sasarannya, patut diberikan apresiasi. Kesan yang didapat adalah dalam ruang dialog yang coba dibangun oleh FPUB , anggota (baca: peserta dialog) diberikan kesempatan untuk belajar lebih banyak nilai-nilai religius yang lain serta
117
mendalaminya sehingga mampu memberikan wawasan baru bagi tradisi agamanya sendiri.
118