BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Wilayah Nusantara telah menjadi tempat berkembangnya berbagai bentuk peradaban manusia sejak ribuan tahun sebelum masehi. Letaknya yang berada di tengah jalur perdagangan laut antara India dan Cina, merupakan keunggulan
tersendiri
bagi
perkembangan
kebudayaan
di
dalamnya.
Perkembangan peradaban sejak awal Masehi hingga sekitar abad ke-16 oleh sebagian besar ahli disebut sebagai masa klasik. Ciri khas kebudayaan yang berkembang pada masa ini dipengaruhi oleh adanya interaksi antara penduduk asli Nusantara dan para pedagang yang singgah atau menetap di sini. Mereka umumnya berasal dari India, Cina, Asia Tenggara Daratan (Indocina) dan Arab. Pengaruh budaya Hindu cukup kuat pada masa itu. Tinggalan budaya materi dari proses tersebut masih banyak dijumpai hingga saat ini baik berupa benda untuk kebutuhan sehari-hari seperti wadah berbahan gerabah dan porselen hingga bangunan monumental seperti candi. Tinggalan budaya masa klasik awal di Pulau Jawa dapat dijumpai di sebagian wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Salah satu wilayah yang memiliki potensi tinggalan materi masa klasik di Jawa Tengah adalah Kabupaten Magelang. Wilayah ini terletak pada koordinat UTM zona 49M 394470-439041 dan 9147976-9190933 (lihat peta 1.1). Kabupaten Magelang secara administratif berada di Provinsi Jawa Tengah yang berbatasan dengan Kabupaten Semarang di
1
403000
412000
421000
430000
K. Telon
Peta 1.1: Peta Administrasi Kabupaten Magelang
K. Selo
K. Balong
439000
Peg. Kelir
#
# H !
K. Daru K. Elo
K. Telo K. Semawang
K. Krincing
K. Progo K. Mundu
K. Malang
K. Gleor
Kaliangkrik
K. Semawang
Bandongan H !
9174000
K. Loneng
K. Progo K. Bendo
Kajoran
K. Sat K. Sat
Magelang Utara K. Elo
K. Purwogondo
Tegalrejo
H !
K. Katang
H !
Magelang Selatan
K. Sotikawak
Mertoyudan
9165000
H !
Candimulyo
K. Progo
K. Elo
Pe rb
Borobudur
9156000
uk
Á UTARA
394000
0
2,5
5
K
ul
K. Pabelan
Mungkid
rogo
K. Senowo
G. Merapi
#
Salam
K. Progo
Srumbung
10
K. Bebeng
K. Krasak
K. Krasak
K. Krasak K. Progo
412000
421000
Kec. Bandongan Kec. Borobudur Kec. Candimulyo Kec. Dukun Kec. Grabag Kec. Kajoran Kec. Kaliangkrik Kec. Mertoyudan Kec. Mungkid Kec. Muntilan Kec. Ngablak Kec. Ngluwar Kec. Pakis Kec. Salam Kec. Salaman Kec. Sawangan Kec. Secang Kec. Srumbung Kec. Tegalrejo Kec. Tempuran Kec. Windusari
Proyeksi Datum Grid Zona
H ! H ! Ngluwar
Permukiman
K. Bebeng
H !
K. Blongkeng
K. Pabelan
Jalan
K. Putih K. Putih
K. Putih
K. Progo
kilometer 403000
K. Blongkeng
Muntilan! H
K. Progo
o np
Dukun
K. Pabelan
K. Apu
H !
K. Keji
H !
K. Pabelan
K. Pabelan K. Tlising
K. Loneng
K. Tangsi
K. Sileng
n
K. Gendil
Sawangan
H !
K. Gratan
K. Mangal
K. Loneng
H !
K. Blubas
a
K. Mangu
H !
K. Merawu
it
G. Merbabu
#
K. Sotikawak
K. Katang
K. Elo
H !
K. Tangsi
K. Sotikawak
H !
K. Mangu
H ! Salaman
Pakis
K. Purwogondo
H ! K. Tangsi
K. Daru
H !
K. Balong
Ibukota Kecamatan
Batas Wilayah Penelitian
K. Bolong
K. Progo
Tempuran
Ngablak
K. Pucang K. Progo
H !
#
K. Bolong
Secang K. Selogriyo
K. Siglawa
G. Andong
Puncak Gunung
Sungai
K. Grabag
K. Elo
H !
Windusari
K. Pucang
H !
#
9174000
K. Klegung
K. Petung
K. Gedat
9165000
9183000
K. Butuh
Grabag
K. Malang
G. Telomoyo
9156000
G. Sumbing
#
K. Murung
K. Cedokan
K. Sarangan
H !
Legenda
9183000
394000
430000
439000
: Transverse Mercator : WGS1984 : UTM : 49S
Sumber: 1. Citra Landsat 8 OLI Mei 2015 2. Peta RBI Digital skala 1:25.000
Gambar oleh Ari Mukti Wardoyo Adi Dibuat Tahun 2016
sebelah utara, Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Purworejo di sebelah barat, Kabupaten Boyolali di sebelah timur, serta Kabupaten Sleman di sebelah selatan. Luas wilayah Kabupaten Magelang berdasarkan data dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Magelang tahun 2010 adalah 1.085,73 km2. Secara geografis, wilayah Kabupaten Magelang terbentang di antara jajaran gunungapi Merapi-Telomoyo di sebelah timur dan jajaran Perbukitan Kulonprogo-gunungapi Sundoro di sebelah barat yang sering juga disebut sebagai Kedu Basin (Lembah Kedu). Potensi tinggalan arkeologi klasik di wilayah Kabupaten Magelang sangat tinggi, terutama sisa-sisa tempat peribadatan umat Hindu dan Budha seperti candi maupun tempat suci yang sejenis. Asumsi ini berdasarkan pada laporan survei dan inventarisasi yang telah dilakukan di wilayah Kabupaten Magelang sejak masa pemerintah kolonial Belanda melalui Oudheidkundigen Dienst (OD), hingga saat ini oleh instansi terkait yakni Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) dan Balai Arkeologi (BALAR). Akan tetapi sangat disayangkan bahwa tinggalan-tinggalan tersebut saat ini berada dalam tingkat keterancaman yang cukup tinggi. Ancaman tersebut muncul dari adanya proses pembangunan dan pengembangan wilayah yang tidak mengacu pada prinsip pelestarian. Selain itu laju perubahan penggunaan lahan (landuse) dari lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun juga semakin tinggi. Dalam dokumen RTRW Kabupaten Magelang 2010-2013 memang telah disebutkan adanya Kawasan Cagar Budaya di beberapa lokasi, namun penentuan lokasi-lokasi tersebut tidak didasarkan pada kajian arkeologi yang memadai.
3
Lokasi yang dikategorikan sebagai Kawasan Cagar Budaya dalam dokumen RTRW hanyalah lokasi yang mengandung tinggalan monumental yang secara umum sudah banyak diketahui serta ditetapkan sebagai Cagar Budaya seperti Candi Borobudur dan sekitarnya, Komplek Candi Sengi, Candi Selogriyo, Candi Gunung Wukir, dan candi-candi di sekitar Kecamatan Muntilan. Potensi lain yang berada di sekitar sabuk mata air Gunung Merapi dan Merbabu serta lembahlembah Sungai Elo dan Sungai Progo tidak dimasukkan dalam perencanaan yang dikategorikan sebagai Kawasan Cagar Budaya, padahal kuantitas serta kualitas tinggalan di lokasi-lokasi tersebut sangat tinggi dan tersebar mengikuti pola-pola tertentu. Kajian mengenai pengungkapan potensi tinggalan arkeologi mutlak diperlukan untuk memberikan masukan dalam penentuan kawasan cagar budaya di
Kabupaten
Magelang.
Kajian
yang
dimaksud
selayaknya
mampu
mengidentifikasikan ruang-ruang tertentu yang di masa lalu dimanfaatkan sebagai tempat aktivitas manusia. Aktivitas manusia dalam memanfaatkan ruang untuk memenuhi kebutuhan hidup memiliki pola-pola tertentu. Premis dasar ini sering digunakan sebagai alasan pokok dalam penelitian arkeologi moderen (Brandt dkk., 1992: 269). Model lokasional situs arkeologi yang telah banyak dihasilkan dari berbagai penelitian menunjukkan pola-pola tersebut dipengaruhi oleh faktor bentanglahan seperti topografi, jenis tanah, maupun akses terhadap air (Parker, 1985: 173-207). Beberapa penelitian mengenai pola persebaran tinggalan arkeologi telah membuktikan bahwa masyarakat masa lalu memiliki pertimbangan dalam memilih lokasi untuk mendirikan bangunan, terutama bangunan suci. Selain dari
4
hasil-hasil penelitian tersebut, dalam kitab-kitab pedoman pendirian bangunan suci yang digunakan sebagai panutan juga menyebutkan bahwa bangunan suci harus didirikan pada lokasi-lokasi tertentu sesuai dengan peruntukannya. Dengan asumsi dasar ini, maka dapat diperkirakan tinggalan-tinggalan arkeologis yang berpotensi sebagai cagar budaya akan ditemukan pada bentanglahan tertentu. Oleh karena itu, untuk memberikan masukan dalam penentuan kawasan cagar budaya, upaya mengenali potensi cagar budaya pada bentanglahan tertentu sangat dibutuhkan. Kajian seperti ini dapat diterapkan di Kabupaten Magelang. Pola sebaran tinggalan arkeologi klasik di Kabupaten Magelang antara lain akan diketahui dengan mengamati kondisi bentanglahan yang ada. Berdasar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (UUCB), pengertian Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas. Kawasan Cagar Budaya juga dapat berupa lanskap budaya hasil bentukan manusia yang berusia paling sedikit 50 tahun (UU no. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya). Kesatuan dari situs-situs arkeologi, bentanglahan, dan lanskap budaya yang memiliki kesinambungan dengan masa lalu merupakan kawasan cagar budaya yang perlu dilestarikan. Pelestarian tersebut tidak hanya bertujuan untuk menjaga situs-situs arkeologi dari kerusakan saja, akan tetapi sekaligus menjaga kelestarian lingkungan dan tradisi masyarakat setempat. Jika dicermati secara lebih seksama, hampir sebagian besar tinggalan arkeologi klasik di Kabupaten Magelang dapat masuk ke dalam kriteria Cagar
5
Budaya yang sesuai dengan UUCB. Akan tetapi dengan kondisi tinggalan yang masih banyak terpendam tanah serta keutuhan datanya yang masih diragukan, banyak sekali lokasi-lokasi yang potensial menjadi kawasan cagar budaya bahkan harus hilang karena dimanfaatkan untuk kepentingan pengembangan wilayah pada saat ini. Dengan adanya otonomi daerah pasca reformasi, pengembangan kawasan yang direpresentasikan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah di masing-masing Propinsi/Kabupaten umumnya lebih menyasar pada upaya memaksimalkan fungsi wilayah dalam meningkatkan pendapatan daerah, sehingga banyak sekali model pengembangan wilayah yang tidak tepat sasaran dan menyalahi fungsi tata guna lahan. Dalam situasi seperti itu, model pengembangan wilayah yang berpegang pada prinsip pelestarian dan fungsi tata guna lahan sangat diperlukan, khususnya untuk melindungi potensi tinggalan arkeologi di wilayah Kabupaten Magelang. Pemanfaatan berbagai perangkat analisis dan teknik dalam menetapkan bahwa suatu wilayah memiliki potensi arkeologi tingkat tinggi maupun potensi tingkat yang rendah untuk saat ini bukanlah hal yang mustahil. Penetapan ini dinilai akan memberikan kejelasan terhadap potensi arkeologi di suatu wilayah sehingga dalam pemanfaatan wilayah tersebut nantinya akan harmonis dengan prinsip pelestarian dan pelindungan. Salah satu perangkat yang sudah banyak digunakan dalam dunia arkeologi adalah Sistem Informasi Geografis (SIG). Sistem ini mulai dimanfaatkan seiring dengan perkembangan teknologi komputer pada akhir dekade 1980. SIG memiliki fungsi yang sangat penting dalam berbagai tahapan
6
penelitian akademis seperti analisis, klasifikasi, kalkulasi, kombinasi, permodelan, dan representasi visual data arkeologi (Yuwono, 2007). Pemanfaatan SIG tidak hanya dalam bidang akademis saja, namun bidang arkeologi praktis seperti arkeologi publik dan Pengelolaan Sumberdaya Budaya (CRM) (Wheatley, 2003). Dalam bidang arkeologi publik, SIG menjadi perangkat yang berfungi untuk menggabungkan data geografis dengan sistem manajemen basidata yang bertujuan untuk menyimpan dan menyelamatkan informasi penting yang terkandung dalam data arkeologi. Beberapa negara di Eropa dan Amerika pada kurun 1990 bahkan telah mengembangkan sistem manajemen sumberdaya budaya yang berbasis pada SIG (Verhagen, 2007:17). Salah satu manfaat SIG dalam kajian arkeologis adalah membantu dalam analisa Predictive Modelling yang sangat dibutuhkan dalam melakukan pendugaan potensi tinggalan arkeologi di suatu wilayah. Predictive Modelling dalam arkeologi merupakan teknik yang digunakan untuk memprediksi kemungkinan keberadaan suatu situs dan tinggalan arkeologi berdasarkan variabel-variabel yang dianggap memiliki pengaruh kuat terhadap perilaku manusia pendukung kebudayaannya pada saat itu (Kohler and Parker, 1986: 400). Keberadaan serta penempatan tinggalan arkeologi diasumsikan tidak berada dalam pola yang acak, namun mengikuti karakteristik bentanglahan di masing-masing wilayah (Verhagen, 2007: 13). Faktor alam bukanlah satu-satunya yang memiliki pengaruh kuat terhadap pemilihan lokasi situs arkeologi. Pada beberapa penelitian yang telah dilakukan, faktor kebudayaan juga memberi andil dalam penentuan lokasi situs, terutama situs pemujaan dan permukiman pada masa yang lebih muda (Conolly dan Lake, 2006: 180).
7
Teknik predictive modelling yang digunakan untuk memprediksi kemungkinan lokasi situs-situs arkeologi sangat dibutuhkan dalam rangka mengupayakan menemukan, melindungi, dan melestarikan tinggalan arkeologi di wilayah Kabupaten Magelang. Teknik ini tentu saja memerlukan dukungan perangkat SIG dalam mengelola basisdata tinggalan arkeologi yang telah ditemukan, merumuskan formula yang ditentukan dari variabel bentanglahan dan kebudayaan untuk menentukan lokasi-lokasi yang diduga kuat memiliki potensi tinggalan arkeologi, serta merepresentasikannya dalam bentuk peta sumberdaya arkeologis. Harapannya, hasil dari penelitian ini akan memunculkan suatu model pengembangan dan pemanfaatan wilayah berdasarkan prinsip pelestarian dan pelindungan cagar budaya di Kabupaten Magelang. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian yang disampaikan di atas, terkait dengan potensi tinggalan arkeologi di Kabupaten Magelang dan Perencanaan Pembangunan Kawasan yang tertuang dalam RTRW Kabupaten Magelang, maka dapat dikemukakan beberapa hal penting yang menjadi pokok permasalahan penelitian ini. Pokok permasalahan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pengelolaan wilayah di Kabupaten Magelang selama ini didasarkan pada potensi sumberdaya yang dimilikinya. Akan tetapi, potensi yang dikelola dengan maksimal lebih difokuskan pada potensi sumberdaya alam, potensi demografi, serta potensi ekonomi, sedangkan potensi budaya tidak dimasukkan ke dalam prioritas. Jika pun ada upaya melakukan pengelolaan sumberdaya budaya, upaya itu hanya ditujukan pada tinggalan budaya yang sudah dikenal 8
oleh masyarakat umum. Hal ini disebabkan karena Pemerintah Daerah tidak mengetahui bagaimana sesungguhnya potensi tinggalan budaya (tinggalan arkeologi) di wilayah Kabupaten Magelang. 2. Tinggalan arkeologi di Kabupaten Magelang, terutama yang berasal dari masa klasik, jumlahnya sangat banyak dan jenisnya beragam. Kenyataan ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa wilayah Kabupaten Magelang memiliki peranan penting pada masa tersebut. Upaya dalam mengungkap keberadaan tinggalan arkeologi yang belum pernah ditemukan sangat diperlukan agar dapat menambah khazanah pengetahuan terutama mengenai kronologi sejarah masa klasik di Jawa Tengah. 3. Ancaman terhadap kelestarian tinggalan arkeologi, terutama pada tinggalan arkeologi yang berskala kecil dan bahkan belum ditemukan, di Kabupaten Magelang cukup tinggi. Ancaman ini terdeteksi dari adanya program perencanaan pembangunan dan pengembangan wilayah yang dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten
Magelang.
Program-program
perencanaan
pembangunan tersebut dapat dilihat dari dokumen RTRW untuk jangka waktu 2010-2030. Sebagai contohnya adalah terdapat perencanaan pembangunan jalan tol yang melintasi wilayah Kecamatan Candimulyo, Kecamatan Tegalrejo, dan Kecamatan Grabag yang diduga memiliki potensi tinggi adanya tinggalan arkeologi. 4. Hingga saat ini, belum pernah dilakukan pemetaan dan inventarisasi secara detail mengenai potensi tinggalan arkeologi di Kabupaten Magelang, padahal
9
dugaan mengenai adanya pusat-pusat pemerintahan Mataram Kuno di wilayah ini telah banyak disampaikan oleh para ahli melalui penelitian-penelitiannya. 5. Perlu adanya usaha untuk memperjelas batasan area yang memiliki potensi tinggalan arkeologi agar dapat terlindungi dari ancaman pengembangan wilayah, 6. Analisis predictive modelling dapat digunakan untuk membantu menentukan area-area sensitif yang diduga kuat memiliki potensi tinggalan arkeologi. Tingkat sensitivitas tinggalan arkeologi dalam sebuah area dinilai secara kuantitatif dari variabel-variabel yang digunakan dan akan disampaikan pada bagian selanjutnya dari proposal ini. Berdasarkan beberapa pokok permasalahan tersebut di atas, pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana tingkat sensitivitas tinggalan arkeologi klasik di Kabupaten Magelang berdasarkan analisis predictive modelling? 2. Bagaimana model penanganan area-area sensitif yang dapat mengakomodasi kepentingan pengembangan wilayah dan pelestarian tinggalan arkeologi? C. Tujuan Penelitian Tujuan pokok dari penelitian ini diantaranya adalah: 1. Mengetahui tingkat sensitivitas tinggalan arkeologi di wilayah Kabupaten Magelang, 2. Menentukan area-area yang kemungkinan memiliki tinggalan arkeologi, sehingga dapat meminimalisir dampak kehilangan tinggalan arkeologi akibat adanya proses pengembangan wilayah, 10
3. Pembuatan zonasi area sensitif, yakni sistem zonasi yang diperuntukkan bagi area-area yang diduga memiliki potensi tinggalan arkeologi, 4. Membuat model penanganan area-area sensitif yang didasarkan pada prinsip pelindungandan pelestarian terhadap tinggalan arkeologi baik yang sudah ditemukan maupun belum ditemukan sama sekali. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi: 1. Kepentingan dunia akademis, yakni menambah khazanah kajian arkeologi terutama yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya arkeologi atau manajemen sumberdaya budaya (CRM) dan pengembangan wilayah. Arkeologi tidak dapat berdiri sendiri. Penerapan kajian arkeologi dengan berbagai ilmu bantu lain seperti geografi sebagaimana yang diajukan dalam penelitian ini tentunya akan menambah kekayaan ilmu arkeologi. 2. Kepentingan
dunia
praktis
dalam
merencanakan
pemanfaatan
dan
pengembangan di suatu wilayah yang memiliki potensi tinggalan arkeologi yang sangat tinggi. Tanpa disadari, Indonesia memiliki banyak sekali tinggalan arkeologi dari berbagai masa. Seyogyanya potensi ini dapat dilestarikan dan diselamatkan, bahkan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat umum. Salah satu caranya adalah dengan membuat perencanaan pengembangan wilayah yang berbasis pada pelestarian cagar budaya.
11
E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai tinggalan arkeologi di Kabupaten Magelang sudah cukup banyak dilakukan, baik penelitian yang membahas secara detail mengenai masing-masing tinggalan arkeologi maupun yang membahas mengenai distribusi dan keterkaitannya dengan lingkungan. Penelitian tersebut di antaranya akan diuraikan di bawah ini. Penelitian disertasi yang dilakukan oleh Véronique Myriam Yvonne Degroot (2009) dengan judul “Candi Space and Landscape: A Study on the Distribution, Orientation and Spatial Organization of Central Javanese Temple Remains”. Penelitian ini membahas mengenai keterkaitan antara bangunan candi dan ruang di sekitarnya dilihat dari bentuk arsitektur, pemilihan lokasi pendirian, dan kompleksitas ornamen maupun kelengkapan unsur secara religius. Penelitian Degroot tersebut memang tidak secara khusus membahas mengenai tinggalan arkeologi di wilayah Kabupaten Magelang, namun dari kesimpulan yang diperolehnya, wilayah Kabupaten Magelang dianggap sebagai wilayah yang memiliki posisi penting pada jaman Mataram Kuno (Degroot, 2009: 65-71). Penelitian lain mengenai tinggalan arkeologi di wilayah Kabupaten Magelang pernah dilakukan penulis pada tahun 2012 dalam skripsi yang berjudul “Distribusi Situs Klasik di Wilayah Barat Gunung Merbabu: Kajian Analisis Lokasional” (Adi, 2012). Penelitian ini membahas mengenai pola distribusi situssitus masa klasik di wilayah barat Gunung Merbabu serta pengaruh bentanglahan yang ada terhadap penempatan dan pemilihan materialnya. Batasan wilayah penelitian ini lebih pada wilayah yang dipengaruhi oleh proses vulkanik Gunung
12
Merbabu serta proses aluvial dari sungai-sungai yang berhulu di gunung tersebut, sehingga tidak mencakup keseluruhan wilayah Kabupaten Magelang. Kesimpulan dari penelitian ini adalah adanya pengaruh kuat dari unsur-unsur bentanglahan dalam perilaku manusia untuk memilih lokasi mendirikan bangunan suci dan tempat pemujaan lain (non-bangunan). Kepadatan tinggalan arkeologi yang ditemukan juga menunjukkan adanya dugaan pusat-pusat kegiatan masyarakat masa klasik pada beberapa wilayah tertentu. Penelitian mengenai pengelolaan sumberdaya budaya di Kabupaten Magelang yang telah dilakukan banyak difokuskan pada pengelolaan Candi Borobudur dan area di sekitarnya. Hal ini disebabkan karena Candi Borobudur merupakan magnet bisnis pariwisata di wilayah ini, sehingga banyak yang menganggap perlu adanya penanganan khusus jika dibanding dengan tinggalan arkeologi lainnya. Selain itu, kelengkapan data pendukung yang terdapat di Candi Borobudur juga lebih memudahkan peneliti untuk mengkaji lebih lanjut berbagai persoalan yang muncul. Beberapa penelitian tersebut seperti yang dilakukan oleh Winarni (2006) dalam tesis yang berjudul “Kajian Perubahan Ruang Kawasan World Cultural Heritage Candi Borobudur” Penelitian ini lebih menyoroti pada penelusuran perubahan struktur, pola dan pemanfaatan ruang di wilayah sekitar Candi Borobudur dari dimulainya pemugaran Candi Borobudur, pembuatan taman arkeologi nasional, hingga pemanfaatannya sebagai taman wisata. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa perubahan struktur, pola dan pemanfaatan ruang terjadi dengan sangat intensif sesuai dengan pusat-pusat kegiatan yang ada seperti jalan, pasar, dan taman wisata.
13
Amiluhur Soeroso (2007) dalam disertasi yang berjudul “Penilaian Kawasan Pusaka Borobudur dalam Kerangka Perspektif Multi Atribut Ekonomi Lingkungan dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Manajemen Ekowisata” menitikberatkan kajiannya pada evaluasi alokasi zonasi di wilayah Borobudur. Pemanfaatan zonasi yang dibuat dalam JICA Masterplan dinilai memerlukan evaluasi karena pemanfaatan ruang masing-masing zonasi dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi yang ada. Penilaian ini didasarkan pada nilai-nilai ekonomis di wilayah sekitar Borobudur dan dikorelasikan dengan upaya pelestarian saujana budaya melalui kerangka perspektif masyarakat. Penelitian Yudi Suhartono (2008) dalam thesis yang berjudul “Pelestarian Sumberdaya Arkeologi dalam Konteks Keruangan di Kawasan Borobudur (Studi Kasus Candi Borobudur, Mendut dan Pawon)” membahas mengenai hubungan antara sumberdaya arkeologi dengan sistem keruangan yang ada dalam perkembangan keruangan di wilayah Borobudur. Hasil penelitian ini adalah adanya usulan zonasi dalam bentuk peta struktur keruangan yang mendasarkan pada fungsi masing-masing. Usulan pemintakatan tersebut yang kemudian dijadikan pedoman untuk membuat strategi pelestarian sumberdaya arkeologi baik berupa pendokumentasian, pembuatan delineasi situs arkeologi di wilayah Borobudur, penerapan peraturan tata ruang, pengembangan kelembagaan dan pemberlakuan evaluasi berkelanjutan. Wiwit Kasiyati (2013) dalam tesis yang berjudul “Peran Arkeologi Publik dalam Pelestarian Kawasan Borobudur sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN)” menyoroti peran serta masyarakat dalam pelestarian Candi
14
Borobudur. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa masyarakat belum memiliki peran serta yang optimal dalam pelestarian Candi Borobudur. Selain itu masyarakat juga belum memahami secara penuh bahwa wilayah Borobudur merupakan Kawasan Strategis Nasional karena kurangnya informasi dan fungsi Arkeologi Publik yang masih sangat lemah sebagai media informasi kepada masyarakat. Penelitian mengenai penerapan analisis predictive modelling dalam pengelolaan tinggalan arkeologi di Indonesia belum pernah dilakukan. Penelitian semacam ini lebih banyak dilakukan di Eropa dan Amerika karena adanya kesadaran akan dampak pengembangan wilayah yang sangat pesat terhadap kelestarian tinggalan arkeologi. Di antara beberapa penelitian mengenai penerapan analisis predictive modelling maupun penerapannya dalam pengelolaan tinggalan arkeologi yang digunakan sebagai referensi penelitian ini adalah disertasi Philip Verhagen (2007) yang berjudul “Case Studies in Archaeological Predictive Modelling”. Penelitian ini membahas mengenai bagaimana improvisasi teknik dan metode pengujian yang digunakan dalam analisis predictive modeling.1 Disertasi ini sebetulnya merupakan hasil dari beberapa penelitian yang dilakukan Verhagen antara tahun 1995 hingga 2005. Hasil dari penelitian tersebut kemudian disusun untuk mengkaji mengenai bagaimana penerapan berbagai teknik dan metode predictive modelling yang sesuai untuk masing-masing kasus.
1 Predictive modelling merupakan analisis yang dapat dilakukan dengan berbagai macam improvisasi, terkait dengan tujuan penelitian, objek penelitian, wilayah penelitian, maupun skala penelitian. Oleh karena itu, analisis ini sangat memungkinkan untuk dikembangkan dalam bidang arkeologi di Indonesia, mengingat Indonesia memiliki karakteristik tinggalan arkeologi yang sangat kaya sekaligus berstatus sebagai negara yang sedang gencar membangun.
15
Penelitian lain dilakukan oleh Joshua Stewart Campbell (2006) dalam thesis berjudul “Archaeological Predictive Model of Southwestern Kansas” membahas mengenai bagaimana penerapan analisis predictive modelling dilakukan di wilayah barat daya Kansas dimana pengetahuan masyarakat dan pemerintah setempat mengenai potensi tinggalan arkeologi di wilayah tersebut sangat rendah. Penelitian dengan metode kuantitatif ini menggunakan lingkungan sebagai variabel bebas yang di konstruksikan menggunakan kombinasi antara perangkat GIS dan statistik. Masing-masing variabel lingkungan di kuantitatifkan dan dipetakan menggunakan analisis logistik regresi. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa total 65% dari 20 juta area persil yang dipilih secara acak, menunjukkan adanya potensi situs yang signifikan ketika dilakukan validasi. Tingkat signifikansi tersebut ditunjukkan dengan adanya temuan permukaan dari masa prasejarah akhir di beberapa lokasi sensitif yg disurvei. Area yang memiliki sensitivitas tinggi dari hasil penelitian tersebut umumnya berada di sepanjang aliran sungai dan di sekitar danau. Lennart van der Horst (2011) dalam thesis yang berjudul “Locating Island Behavior: An Archaeological Predictive Model for The Pre-Columbian Cultures of Bonaire, Dutch Caribbean” menerapkan analisis predictive modelling untuk membuat model pengelolaan warisan budaya di wilayah Bonaire, Kepulauan Antilles. Pada 10 Oktober 2010, wilayah Kepulauan Antilles yang merupakan bagian dari Kerajaan Belanda mendapatkan hak otonomi penuh. Dengan adanya otonomi tersebut, maka terjadi juga perubahan dalam sistem birokrasi dan pengembangan wilayah yang akan memberi dampak pada warisan
16
budaya, terutama tinggalan arkeologi dari masa pra-Colombus. Bonaire kemudian diketahui telah meratifikasi Perjanjian Valletta yang berarti memiliki kwajiban untuk mengelola warisan budaya dengan cara yang baru, tidak lagi menggunakan sistem pengelolaan yang diatur oleh Kerajaan Belanda. Hasil dari penelitian ini adalah sebuah model pengelolaan warisan budaya yang mencoba menggabungkan antara arah pengembangan wilayah, pelestarian dan pemanfaatan warisan budaya, serta sumberdaya lingkungan fisik setempat yakni Kepulauan Karibia. P.J.J.F. Soffers (2013) dalam thesisnya yang berjudul “GIS or guess; The Possibilities for Archaeological Predictive Modelling on pre-Columbian Saba” mengkaji permasalahan yang sama dengan yang dilakukan Horst (2011) di atas. Akan tetapi, wilayah penelitian dilakukan di Saba yang terletak di sebelah timur Bonaire. Dalam thesis ini, Soffers juga mencoba menguji metode predictive modelling yang sering diterapkan oleh peneliti Belanda di negara asalnya. Wilayah Saba merupakan kepulauan yang memiliki kondisi bentanglahan berbeda dengan di Belanda, sehingga diduga akan terdapat perbedaan metode lain yang lebih cocok diterapkan di wilayah ini. Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa metode predictive modelling yang diterapkan Belanda di wilayah asalnya (Eropa) sedikit tidak sesuai jika diterapkan untuk wilayah kepulauan tropis seperti Saba, sehingga diperlukan metode lain yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan setempat. F. Landasan Teori Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari masa lalu manusia melalui tinggalan materinya. Dalam buku Archaeology: Discovering our Past, Sharer dan 17
Ashmore (2003, 15-16) mengelompokkan tujuan utama ilmu arkeologi menjadi empat yaitu: 1. Mengungkap bentuk budaya masa lalu dengan cara mendeskripsi dan mengklasifikasikan bukti-bukti fisik tinggalan budaya yang ditemukan. Analisis bentuk memungkinkan ahli arkeologi untuk menggambarkan distribusi tinggalan budaya masa lalu dalam dimensi waktu dan ruang, 2. Menemukan fungsi budaya masa lalu dengan cara menganalisis bentuk dan hubungan antar fenomena yang dijumpai dalam rangka untuk mengetahui bagaimana tingkah laku manusia masa lalu yang tercermin dari bukti-bukti fisik yang ditinggalkan, 3. Memahami proses budaya yang telah berjalan melalui tinggalan budaya masa lalu serta untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana kebudayaan berubah sepanjang waktu, 4. Menemukan makna serta nilai tinggalan arkeologis. Sharer dan Ashmore (2003, 120-127) juga mengklasifikasikan bentuk tinggalan materi dari hasil aktivitas manusia di masa lalu menjadi lima kategori yaitu: artefak, fitur, ekofak, situs dan kawasan. Keberadaan kelima kategori data arkeologi tersebut dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni perilaku manusia dan proses transformasi. Kedua faktor ini adalah faktor utama yang menentukan eksistensi data arkeologi baik pada masa lalu ketika dibuat dan digunakan atau pada masa kini ketika ditemukan kembali. Dari empat tujuan pokok ilmu arkeologi dan lima kategori data serta faktor-faktor yang mempengaruhinya tersebut, dapat disimpulkan bahwa arkeologi memiliki peran penting dalam
18
menjelaskan fenomena yang terjadi di suatu wilayah yang memiliki potensi tinggalan arkeologi, baik yang sudah ditemukan maupun belum ditemukan. Arkeologi Klasik di Indonesia didefinisikan sebagai studi arkeologi yang mempelajari tinggalan materi dari masa ketika pengaruh agama Hindu dan Budha berkembang, antara abad ke-VI hingga abad ke-XV. Oleh banyak ahli, masa klasik didudukkan sebagai awal periode sejarah di Indonesia, terutama Pulau Jawa, karena pada masa ini tulisan mulai digunakan. Selain itu, kehidupan masyarakatnya telah membentuk peradaban yang menyisakan banyak tinggalan monumental berupa bangunan-bangunan candi yang megah. Sistem pemerintahan sudah terbentuk dengan dinamika perpolitikan yang berkembang dan terrekam dalam bukti-bukti sejarah yang ditemukan seperti prasasti dan berita Cina (Atmosudiro, dkk. [ed.], 2001,1-7). Tinggalan arkeologi klasik yang ditemukan di wilayah penelitian berada pada rentang waktu yang awal dalam kronologi sejarah Indonesia. Prasasti berangka tahun paling tua di Jawa Tengah (732 M) di Candi Gunung Wukir serta prasasti tanpa angka tahun yang memiliki aksara Palawa dan berbahasa Sanskerta yang ditemukan di mata air Tuk Mas merupakan dua bukti permulaan masa klasik di Jawa Tengah. Proses kebudayaan pada masa itu kemudian berlanjut selama beberapa abad hingga menghasilkan tinggalantinggalan monumental seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan pada puncaknya sebelum akhirnya surut karena berbagai sebab yang masih menjadi perdebatan. Arkeologi keruangan merupakan salah satu kajian dalam arkeologi yang menitikberatkan porsi kajiannya pada dimensi ruang atau kewilayahan. Arkeologi
19
keruangan berhubungan dengan berbagai aspek dalam aktivitas manusia. Kebanyakan aktivitas manusia memiliki ketergantungan pada informasi geografis untuk mengetahui dimana mereka berada dan untuk memahami bagaimana mereka berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Aktivitas tersebut tentunya berhubungan dengan benda-benda yang dibuat, digunakan, dan ditinggalkan oleh manusia selama menjalani aktifitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, kajian arkeologi keruangan juga berkaitan erat dengan sarana fisik yang mengakomodasi kegiatan manusia, lingkungan yang ditinggali manusia serta hubungan interaksi di antara masing-masing aspek tersebut (Clarke, 1977: 9) Clarke (1972: 363) juga menjelaskan bahwa dalam hubungan keruangan antar situs di satu wilayah, ada beberapa aspek lingkungan yang harus dikaji sebagaimana kajian terhadap artefak dan aspek-aspek budaya itu sendiri. Termasuk dalam aspek lingkungan itu adalah topografi, hidrologi, jenis tanah, dan vegetasi. Hubungan keruangan antara artefak, situs, bentanglahan, dan aspek lingkungan akan mencerminkan bagaimana manusia hidup ketika itu. Menurut Sharer dan Ashmore (2003: 124-127) konsep ruang dalam arkeologi pada dasarnya merupakan konsep ilmu geografi yang menganggap suatu ruang atau kawasan pasti akan memiliki batas-batas keruangan seperti gunung maupun perairan. Akan tetapi dalam ilmu arkeologi, konsep ruang berkembang dengan memasukkan faktor ekologi dan budaya. Suatu wilayah diidentikkan dengan satu kawasan arkeologis karena tinggalan arkeologi yang ditemukan di wilayah tersebut memiliki kesamaan ciri. Ini juga berarti bahwa
20
masyarakat yang pernah tinggal di wilayah tersebut mengembangkan satu sistem ekologidan budaya yang sama. Lanskap secara umum didefinisikan memiliki makna yang hampir sama dengan istilah ‘bentanglahan’, ‘fisiografi’, dan ‘lingkungan’. Perbedaan di antara ketiganya terletak pada aspek interpretasinya. Bentanglahan yang di dalamnya terdapat unit-unit bentuklahan (landforms) merupakan dasar lingkungan manusia dengan berbagai keseragaman maupun perbedaan unsur. Kondisi bentanglahan semacam ini memberikan gambaran fisiografis atas suatu wilayah. Wilayah yang mempunyai karakteristik bentuklahan, tanah, vegetasi, dan atribut (sifat) pengaruh manusia, yang secara kolektif ditunjukkan melalui kondisi fisiografi, dikenal sebagai suatu lanskap (Vink, 1983 dalam Yuwono, 2007). Berangkat dari istilah geografis mengenai lanskap di atas, maka arkeologi
pun memiliki
data/situsnya
dalam
kepentingan untuk
kerangka
pemahaman
melihat fenomena lanskap.
Arkeologi
sebaran lebih
menitikberatkan penelitiannya pada wilayah-wilayah yang memiliki bukti-bukti budaya material, antara lain melalui ekskavasi atau rekonstruksi ekologi. Dengan dasar pandangan geografi, arkeologi pun mulai mengembangkan kajiannya dari area-area yang sempit menuju pada kajian pola adaptasi dan permukiman pada skala regional. Bahkan, permasalahan mengenai ketersediaan sumberdaya alam dan pengaruh peningkatan populasi manusia terhadap fauna dan flora, yang menjadi kajian ekologi bentanglahan, akhirnya tidak luput pula dari kajian arkeologi lanskap (Yuwono, 2007).
21
Upaya pelindungan dan pemanfaatan tinggalan arkeologi saat ini semakin mendapatkan perhatian penting dari kalangan akademis dan pemerintah seiring dengan perkembangan jaman. Pemikiran mengenai pemanfaatkan tinggalan arkeologi dalam kerangka pelestarian pada awalnya muncul di Amerika dengan konsep Cultural Resource Management yang kemudian diserap ke dalam istilah Bahasa Indonesia menjadi Manajemen Sumberdaya Budaya. Pearson dan Sullivan (1995) secara lebih detail menjelaskan mengenai langkah-langkah yang diupayakan untuk melestarikan dan memanfaatkan tinggalan arkeologi yakni dengan cara pendokumentasian dan identifikasi tinggalan arkeologi, penilaian signifikansi, perencanaan program, implementasi atau pelaksanaan program, monitoring dan evaluasi. Menurut Tanudirjo (2004), manajemen sumberdaya budaya bertujuan untuk mengungkapkan nilai-nilai yang terkandung dalam tinggalan arkeologi, menetapkan strategi untuk pelestarian jangka panjang baik melalui upaya-upaya hukum maupun pelindungan, serta pengawetan secara fisik. Selain itu, manajemen sumberdaya budaya juga menerapkan sistem manajemen yang dapat menjamin agar nilai-nilai tinggalan arkeologi tidak berkurang, meminimalisir kemungkinan kerusakan, atau mengusahakan mitigasi yang sebaik-baiknya jika kerusakan tidak dapat dihindari. Pada batas-batas tertentu, manajemen sumberdaya budaya dapat mempublikasikan nilai-nilai tinggalan arkeologi pada masyarakat luas melalui kemudahan akses dan interpretasi. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, dalam proses manajemen sumberdaya budaya seringkali dibutuhkan pendugaan-pendugaan. Karena itu,
22
predictive modeling menjadi salah satu perangkat penting. Predictive modelling didefinisikan sebagai metode untuk memprediksi nilai (atau kemungkinan keberadaan) dari variabel terikat di suatu wilayah yang belum pernah tersampel menggunakan satu atau lebih variabel bebas. Penerapannya di dalam arkeologi lebih banyak diasosiasikan dengan percobaan untuk memprediksi kemungkinan keberadaan situs arkeologi dalam suatu wilayah yang belum pernah terungkap dengan dasar penilaian secara kuantitatif pada karakteristik bentanglahan dimana suatu situs arkeologi pernah ditemukan (Kvamme 1983; Judge dan Sebastian, 1988; Kvamme 1990a; Wetscott dan Brandon, 2000 dalam Connoly dan Lake, 2006: 179). Predictive modelling umumnya dilakukan dalam empat tahapan pekerjaan yaitu: pengumpulan data, analisis statistik, penerapan model, dan validasi (Duncan dan Beckman, 2000: 36; Waren dan Asch, 2000: 30 dalam Connoly dan Lake, 2006: 181) Connoly dan Lake (2006: 180) lebih jauh menjelaskan bahwa penerapan predictive modelling dalam arkeologi akan memberi sumbangsih informasi yang sangat besar pada manajemen sumberdaya budaya. Metode ini dianggap memiliki kemampuan memprediksi keberadaan tinggalan arkeologi di wilayah yang belum pernah diteliti secara arkeologis. Oleh karena itu pencegahan dan mitigasi kerusakan tinggalan arkeologi dari proses pembangunan wilayah maupun kegiatan pertanian dapat dilakukan secara terukur dan beralasan. Dalam perspektif manajemen sumberdaya budaya, permasalahan utama dalam predictive modelling bukanlah bagaimana kontribusinya terhadap eksplanasi mengenai lokasi situs, namun lebih kepada akurasi dan presisinya.
23
G. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Batasan wilayah penelitian difokuskan pada wilayah administratif Kabupaten Magelang. Pemilihan wilayah ini didasarkan pada asumsi bahwa potensi tinggalan arkeologi klasik yang ada di Kabupaten Magelang sangat tinggi. Tinggalan-tinggalan ini juga dianggap memiliki nilai penting bagi khazanah ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan kronologi sejarah Kerajaan Mataram Kuno. Selain itu, Kabupaten Magelang saat ini sedang gencarnya melakukan program pengembangan wilayah sebagai akibat dari adanya program otonomi daerah. Wilayah kabupaten Magelang menjadi wilayah limpahan pertumbuhan dari dua pusat kegiatan ekonomi di Pulau Jawa bagian tengah, yakni Yogyakarta dan Semarang. Banyak pembangunan yang tidak terkontrol dengan baik, sebagai dampak buruk dari berkembangnya kegiatan ekonomi di sepanjang poros jalan yang menghubungkan dua kota tersebut. Dampak dari proses pembangunan dan pengembangan ini dikhawatirkan akan mengancam kelestarian tinggalan arkeologi klasik yang ada di Kabupaten Magelang.. Kajian dalam penelitian ini lebih dititikberatkan pada upaya untuk mencari dan menentukan area-area sensitif. Yang dimaksud area sensitif adalah wilayah dengan batasan arbitrer yang diduga kuat memiliki potensi tinggalan arkeologi dari masa klasik. Penentuan area-area sensitif dilakukan melalui tiga tahapan yang menggunakan bantuan perangkat SIG, yaitu metode grid, metode sentroid dan interpolasi.
24
Metode grid dipilih karena dianggap memiliki efektifitas paling tinggi sebagai tahap awal untuk menentukan sensitivitas sebuah lokasi. Grid dengan luasan yang seragam dapat digunakan sebagai unit analisis dasar untuk menghitung kepadatan distribusi, populasi dan nilai properti (atribut) tinggalan arkeologi (Kvamme, 1997: 48). Area grid dinilai sensitif atau potensial apabila memiliki satu atau lebih dari kriteria yang telah ditentukan sebagai variabel sensitivitas lokasi. Masing-masing grid di wilayah penelitian merepresentasikan area dengan luasan 1 x 1 km. Luasan ini didasarkan pada pendapat Gibbon (2007) mengenai model resolusi spasial untuk analisis predictive modelling. Gibbon menyatakan bahwa untuk menentukan tingkat sensitivitas area, luasan rasionalnya adalah antara <0,04 km2 (probabilitas tinggi namun akurasi rendah) hingga >1,01 km2 (probabilitas rendah namun akurasi tinggi). Dengan kata lain, semakin luas suatu area grid, probabilitas tinggalan arkeologi akan semakin tinggi, namun presisi dari model prediktifnya akan rendah, begitu juga sebaliknya (Gibbon, 2007). Luasan grid yang ditentukan pada penelitian ini merupakan luasan yang cukup ideal, karena dapat mewakili probabilitas dan akurasi yang paling memadai. Metode sentroid dan interpolasi merupakan tahap kelanjutan dari metode grid. Metode sentroid digunakan untuk merubah masing-masing area grid menjadi satu titik di bagian pusat (centre) grid. Titik ini memiliki nilai atribut sensitivitas yang sama dengan area grid dan akan digunakan dalam metode selanjutnya yaitu interpolasi. Interpolasi adalah serangkaian proses reagregasi data untuk mengetahui tingkat sensitivitas atau pengaruh kekuatan suatu data inti
25
(Krivoruchko dkk., 2011). Interpolasi juga memberikan bantuan untuk melakukan pendugaan potensi tinggalan arkeologi pada wilayah yang belum pernah dilakukan penelitian atau penemuan arkeologis berdasarkan potensi yang telah ada di sekitarnya (Robinson dan Zubrow, 1999; 65-83). Dalam melakukan penilaian masing-masing grid, yang akan dilanjutkan dengan sentroid dan interpolasi seperti yang dijelaskan di atas, terlebih dahulu ditentukan variabel-variabel sensitivitas lokasi sebagai perangkat analisis. Variabel sensitivitas lokasi tersebut memiliki bobot yang berbeda sesuai dengan tingkatan akurasi dan keutuhan datanya. Dalam penelitian ini, terdapat dua kelompok variabel. Kelompok variabel pertama lebih bersifat kuantitatif, yakni berupa kelas jarak dan kepadatan variabel dalam grid. Kelompok variabel kedua bersifat kualitatif, yakni jenis dan atribut masing-masing variabelnya. Kedua kelompok variabel tersebut memiliki bobot dan harkat yang penilaiannya ditentukan oleh peneliti karena sejauh ini belum ada penentuan bobot dan harkat yang pernah dilakukan dalam kajian predictive modelling dalam arkeologi di Indonesia. Penentuan kelompok variabel pertama adalah sebagai berikut (lihat tabel 1.1): 1. Jarak dan kepadatan tinggalan arkeologi yang sudah ditemukan. Variabel ini memiliki bobot paling tinggi yaitu 50. Interval jarak antar masing-masing tinggalan arkeologi dibagi ke dalam tiga kelas, yaitu: di bawah 1 km, 1 – 2 km, dan di atas 2 km. Ketiga kelas jarak tersebut dinilai sebagai jarak ideal yang dapat menggambarkan aksesibilitas antar masing-masing tinggalan arkeologi.
26
2. Kepadatan lokasi yang disebutkan dalam laporan Belanda (ROD) dan toponimnya masih dapat dijumpai hingga sekarang.2 Variabel ini memiliki bobot 30. Interval jarak antar masing-masing titik yang dibagi ke dalam tiga kelas yaitu di bawah 1 km, 1 sampai 2 km, dan di atas 2 km. Ketiga kelas jarak ini dinilai ideal dalam mempertimbangkan akurasi lokasi dan gambaran aksesibilitasnya. Lokasi tinggalan arkeologi yang disebutkan dalam laporan Belanda ada yang sudah masuk ke dalam variabel pertama di atas dan ada pula yang bahkan saat ini tidak diketahui lokasi pasti situsnya. Nama lokasi tinggalan yang tidak diketahui pasti lokasi situsnya akan diplot di titik pusat lokasi yang disebut. Nama lokasi yang disebutkan Belanda umumnya berupa nama dusun yang masih dapat dijumpai pada saat ini dan dapat dilacak melalui beberapa peta kuno. 3. Keberadaan unit lahan yang memiliki kesamaan fungsi dengan unit lahan lain yang mengandung tinggalan arkeologi, seperti makam, tempat keramat, anomali lahan pertanian (seperti sawah pera), dan permukiman tradisional. Variabel ini juga memiliki bobot sebesar 10. Menurut Yuwono (2007), bentanglahan ini dikategorikan sebagai cultural landscape. Fenomena yang dijumpai dari penelitian yang pernah dilakukan penulis (2012) dan data yang dilaporkan Belanda, cukup banyak situs yang saat ini lahannya dimanfaatkan masyarakat untuk fungsi-fungsi tertentu, terutama tempat yang dianggap keramat seperti makam. Selain itu beberapa situs juga terdapat pada lahan pertanian yang memiliki ciri khusus seperti ladang di tengah persawahan, 2
Laporan inventarisasi dalam ROD hanya mencantumkan nama lokasi temuan beserta tinggalantinggalan yang ada di lokasi tersebut, sehingga tingkat kepadatan harus dihitung menggunakan perangkat GIS.
27
asumsi ini didasarkan pada alasan bahwa permeabilitas dan tingkat kesuburan lahan yang mengandung tinggalan arkeologi lebih kecil dari lahan persawahan biasa. Tingkat kepadatan cultural landscape ditentukan dengan menghitung jumlah populasi dalam masing-masing area grid. 4. Keberadaan dan kepadatan satuan bentanglahan yang memiliki kesamaan ciri fisik dengan satuan bentanglahan lain yang mengandung tinggalan arkeologi (misalnya bukit-bukit terisolasi, teras lereng, mata air, sisi dalam pertemuan sungai, dsb). Variabel ini memiliki bobot sebesar 10. Bentanglahan semacam ini menurut Yuwono (2007) dikategorikan sebagai physical landscape. Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat cukup banyak situs yang ditemukan pada satuan bentanglahan tertentu. Dugaan bahwa lokasi-lokasi yang khas tersebut memiliki potensi tinggalan arkeologi dari masa klasik nampaknya cukup bisa dipertanggungjawabkan. Tingkat kepadatan physical landscape ditentukan dengan menghitung jumlah populasi dalam masing-masing area grid. Terdapat perbedaan penentuan jarak dan kepadatan antara variabel tinggalan arkeologi dan variabel lanskap. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa tinggalan arkeologi merupakan hasil dari aktivitas manusia masalalu yang dilatarbelakangi dengan konsep budaya tertentu, sehingga pemilihan lokasi untuk mendirikan suatu karya yang kini menjadi tinggalan arkeologi tentu mempunyai makna tertentu serta korelasi akses antara satu sama lain. Oleh karena itu kelas jarak dapat menentukan tingkatan atau kualitas datanya. Jarak yang lebih dekat dianggap pantas memiliki harkat yang tinggi dibanding jarak yang jauh. Berbeda
28
dengan variabel tinggalan arkeologi, variabel lanskap dianggap merupakan bentukan alamiah yang keberadaannya tidak ditentukan oleh manusia, meskipun kemudian
mendapat
campur
tangan
manusia
dalam
pemanfaatannya.
Penghitungan populasinya dalam grid sudah dianggap cukup untuk mengetahui jumlah keberadaan dan tingkatan kepadatan variabel tersebut di wilayah penelitian. Tabel 1. 1: Pembagian bobot dan harkat kelompok variabel I No
Nama Variabel (V)
Bobot
Jarak/Kepadatan (D)
Harkat
1
Tinggalan arkeologi yang sudah ditemukan (V1)
50
<1.000 m
3
1.000-2.000 m
2
>2.000 m
1
2
3
4
Tinggalan arkeologi yang dilaporkan Belanda (V2) Lanskap Budaya(V3)
Lanskap Fisik(V4)
30
10
10
<1.000 m
3
1.000-2.000 m
2
>2.000 m
1
lebih dari dua
3
dua
2
satu
1
lebih dari dua
3
dua
2
satu
1
Kelompok variabel yang kedua adalah atribut tinggalan arkeologi yang sudah ditemukan, atribut tinggalan arkeologi yang disebutkan dalam laporan Belanda, atribut cultural landscape, serta atribut physical landscape. Atribut tinggalan arkeologi yang sudah ditemukan memiliki bobot yang paling tinggi, yakni 50, sedangkan atribut tinggalan arkeologi yang disebutkan dalam laporan Belanda memiliki bobot 30. Atribut cultural dan physicallandscape masingmasing diberi bobot 10. Penentuan bobot dan harkat kelompok variabel II lebih jauh dapat dilihat dalam tabel 1.2.
29
Tabel 1. 2: Pembagian bobot dan harkat kelompok variabel II No 1
2
3
4
Nama Variabel (V) Tinggalan arkeologi yang sudah ditemukan (V1) Tinggalan arkeologi yang dilaporkan Belanda (V2) Lanskap Budaya(V3)
Lanskap Fisik(V4)
Bobot
Jenis/Unsur (P)
Harkat
50
struktur insitu
3
runtuhan insitu
2
temuan lepas
1
30
10
10
struktur (fundamenten)
3
runtuhan (overblifjselen)
2
temuan lepas
1
makam/lokasi keramat
3
lahan pertanian anomali
2
permukiman tradisional
1
bukit
3
mata air
3
teras lereng
2
Variabel lain yang digunakan sebagai penguat hasil skoring namun tidak dimasukkan dalam analisis yaitu toponim. Toponim umumnya diduga kuat memiliki afiliasi langsung dengan tinggalan arkeologi. Nama lokasi atau toponim muncul berdasarkan kondisi fisik dan ciri khusus yang ada di suatu lokasi. Masyarakat memberi nama sebuah lokasi untuk memudahkan mengidentifikasi dimana lokasi tersebut dan apa fungsi lokasi tersebut. Dari data tinggalan arkeologi yang telah ditemukan, banyak lokasi tinggalan arkeologi yang berada di wilayah yang memiliki toponim khusus seperti nama lokasi yang mengandung unsur istilah candi, banon, reco, dsb. Wilayah Kabupaten Magelang memiliki banyak toponim yang memiliki unusur-unsur istilah seperti di atas. H. Metode Penelitian Predictive modelling merupakan metode yang tergolong baru dalam dunia arkeologi di Indonesia. Masih sangat sedikit penelitian yang dilakukan dengan metode ini secara sistematik. Metode predictive modelling menggunakan
30
GIS sebagai perangkat utama untuk membantu membuat kerangka pikir, proses input data, pengolahan data, analisis, dan merepresentasikan formula yang telah dibuat. Di beberapa negara yang telah menerapkannya, metode ini dinilai memiliki efektifitas yang tinggi dalam biaya operasional dan waktu jika dibandingkan dengan metode konvensional yang membutuhkan biaya lebih mahal serta waktu yang lama. Hal ini dikarenakan sebagian besar penelitian dengan predictive modelling dilakukan dengan pekerjaan studio. Kerangka pikir dan alur penelitian yang dibuat dalam penelitian ini juga dirancang untuk meminimalisir pekerjaan lapangan seperti survei, testpit, maupun ekskavasi teknis karena adanya keterbatasan waktu serta biaya. Bagan kerangka pikir dan alur penelitian dapat dilihat pada lampiran 2 dan lampiran 3. Sesuai dengan metode yang digunakan, maka penelitian ini dibagi dalam lima tahap yaitu: 1.
Pengumpulan Data Tahap ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data pustaka berupa: a. Peta RBI analog dan digital tahun 2001 yang mencakup wilayah Kabupaten Magelang dan digunakan sebagai peta dasar dalam penelitian ini. Peta yang dimaksud terdiri atas 14 lembar (sheet) peta yaitu: Lembar Temanggung (1408-514), Lembar Grabag (1408-523), Lembar Ambarawa (1408)-524), Lembar Kaliangkrik (1408-511), Lembar Magelang (1408-512), Lembar Tegalrejo ( 1408-521), Lembar Ngablak (1408-522), Lembar Kepil (1408233), Lembar Mungkid (1408-234), Lembar Muntilan (1408-243), Lembar
31
Kaliurang
(1408-244),
Lembar
Purworejo
(1408-232),
Lembar
Sendangagung (1408-232), dan Lembar Sleman (1408-241). b. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Magelang tahun 2011- 2014, c. Peta Tematik seperti Peta Geologi skala 1:100.000 lembar Yogyakarta tahun 1977 dan lembar Magelang tahun 1977, Peta Jenis Tanah, Peta Bentuklahan dan Peta-peta Situasi Situs Arkeologi di wilayah Kabupaten Magelang d. Peta topografi tahun 1915 skala 1:50.000 “Magelang en Omstreken” terbitan Topographische Inrichting Batavia, e. Rapporten Oudheidkundigen Dienst (ROD) tahun 1915, f. Laporan-laporan penelitian terdahulu tentang tinggalan arkeologi di Kabupaten Magelang, dan g. Undang-undang RI Nomor 10 tahun 2011 tentang Cagar Budaya. 2.
Pengolahan Data a. Pengolahan peta Proses ini bertujuan untuk menyiapkan peta masing-masing variabel yang akan digunakan dalam proses analisis seperti peta distribusi tinggalan arkeologi, peta distribusi lokasi yang dilaporkan Belanda, peta variabel cultural landscape dan physical landscape, serta peta grid Kabupaten Magelang. Peta RBI analog dan digital skala 1:25.000, sebagaimana yang telah disebutkan di atas, digunakan sebagai peta dasar karena memiliki informasi dan tema paling lengkap. Pengolahan peta dilakukan dengan menggunakan software MapSource, Global Mapper 15, ArcView GIS 3.2a, dan ArcGIS 10.2.
32
b. Pengolahan basisdata Proses ini dilakukan dengan tujuan untuk mengklasifikasi masing-masing atribut dari tinggalan arkeologi yang sudah ditemukan, lokasi yang dilaporkan oleh Belanda, cultural landscape dan physical landscape sebagaimana telah dijelaskan di atas (lihat tabel 1.1 dan tabel 1.2). Pengolahan basisdata dilakukan dengan menggunakan software MapSource, ArcGIS 10.2, MS Excel 2013, OpenOffice Calc 4.1, dan Geospatial Modelling Environment. 3.
Analisis Dalam menentukan sensitivitas lokasi, metode predictive modelling
menggunakan berbagai bentuk analisis sesuai dengan obyek dan wilayah yang dikaji. Dalam penelitian ini penulis menggunakan empat analisis (Yuwono, 2015), yaitu: a. Analisis Jarak dan Kepadatan: Analisis ini digunakan untuk menghitung kelas jarak dan tingkat kepadatan populasi masing-masing variabel. Kelas jarak diterapkan pada variabel tinggalan arkeologidan lokasi yang dilaporkan Belanda. Penerapan ini didasarkan pada asumsi bahwa semakin dekat dan rapat tinggalan arkeologi, maka potensi tinggalan arkeologi lain di sekitar lokasi tersebut juga semakin tinggi. Satu tinggalan arkeologi pada satu lokasi tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki masyarakat pendukung budaya yang pasti berinteraksi dengan tinggalan arkeologi dan masyarakat pendukung budaya lain di lokasi lainnya.Apabila lokasinya saling berdekatan, patut diduga bahwa telah terdapat pusat-pusat kegiatan
33
di sekitar lokasi yang memiliki tingkat kepadatan tinggalan arkeologi tinggi. Penghitungan jarak tinggalan arkeologi maupun lokasi yang dilaporkan Belanda dilakukan dengan menghitung jarak terdekat antar masing-masing tinggalan/lokasi. Proses penghitungan menggunakan perangkat point distance dari ekstensi edit tools software ArcView 3.2a. Selain kelas jarak tinggalan dan lokasi, juga dilakukan penghitungan tingkat
populasicultural
landscape
dan
natural
landscape.
Kepadatandinilai berdasar jumlah masing-masing variabel cultural landscape dan natural landscapeyang terdapat di dalam grid. Penentuan bobot dan harkatkelas jarak dan populasi variabel sudah di sebutkan dalam tabel 1.1 di atas, sedangkan keseluruhan tingkatan skor masing-masing variabel dapat dilihat pada tabel 1.3 di bawah ini. Tabel 1. 3: Pembagian skor kelompok variabel I No 1
Nama Variabel (V) Tinggalan arkeologi yang sudah ditemukan (V1)
Bobot
Jarak/Kepadatan (D)
Harkat
Skor D
50
<1.000 m
3
150
1.000-2.000 m
2
100
>2.000 m
1
50
Tinggalan arkeologi yang dilaporkan Belanda (V2)
<1.000 m
3
90
2
30
1.000-2.000 m
2
60
>2.000 m
1
30
3
Lanskap Budaya(V3)
10
lebih dari dua
3
30
dua
2
20
satu
1
10
lebih dari dua
3
30
dua
2
20
satu
1
10
4
Lanskap Fisik (V4)
10
34
Tabel 1. 4: Pembagian skor kelompok variabel II No 1
2
3
4
Nama Variabel (V)
Bobot
Jenis/Unsur (P)
Harkat
Skor P
Tinggalan arkeologi yang sudah ditemukan (V1)
40
struktur insitu
3
150
runtuhan insitu
2
100
temuan lepas
1
50
Tinggalan arkeologi yang dilaporkan Belanda (V2)
30
Lanskap Budaya(V3)
10
Lanskap Fisik(V4)
10
struktur (fundamenten)
3
90
runtuhan (overblifjselen)
2
60
temuan lepas
1
30
makam/lokasi keramat
3
30
lahan pertanian anomali
2
20
permukiman tradisional
1
10
bukit
3
30
mata air
3
30
teras lereng
2
20
b. Analisis Atribut: Analisis ini digunakan untuk menghitung skor unsur variabel berdasarkan kualitas datanya. Skor atribut variabel dihitung dengan menjumlah skor unsur variabel sesuai dengan bobot dan harkatnya masingmasing. Penentuan bobot dan harkat masing-masing unsur atribut variabel sudah dijelaskan pada tabel 1.2. Pembagian tingkatan skor masing-masing unsur atribut variabel dapat dilihat pada tabel 1.4. c. Skoring Grid: Dalam tahap ini, masing-masing grid yang sudah dibuat kemudian diskoring berdasarkan kandungan masing-masing variabel yang ada di dalam grid tersebut. Variabel yang terdapat di dalam grid dijumlahkan skornya sesuai dengan kategori kepadatan maupun atributnya. Dalam skoring ini berlaku ketentuan apabila dalam satu grid terdapat variabel dengan dua atau tiga kelas jarak dan kepadatan serta dia atau tiga jenis atribut, maka akan diambil harkat jarak dan properti tertinggi, sehingga akan memudahkan dan mempercepat proses perhitungan. Variabel dengan
35
skor tertinggi dianggap sudah mewakili tingkat sensitivitas grid, sehingga tidak perlu dilakukan penjumlahan keseluruhan skor variabel yang terdapat di dalam grid. Jumlah skor grid diperoleh dengan rumus: SG = Skor Variabel I + Skor Total Variabel II Skor Variabel I =VD1 + VD2 + VD3 + VD4 Skor Variabel II = VP1 + VP2 + VP3 + VP4 V1 = Skor Total Variabel 1 (diperoleh dari penjumlahan Skor D1 dan Skor P1) V2 = Skor Total Variabel 2 (diperoleh dari penjumlahan Skor D2 dan Skor P2) V3 = Skor Total Variabel 3 (diperoleh dari penjumlahan Skor D3 dan Skor P3) V4 = Skor Total Variabel 4 (diperoleh dari penjumlahan Skor D4 dan Skor P4)
Keterangan: SG = Skor Total Grid V1 = Variabel Tinggalan Arkeologi V2 = Variabel Lokasi yang dilaporkan Belanda V3 = Variabel Cultural Landscape V4 = Variabel Physical Landscape D1 = Kelas Jarak V1; D2 = Kelas Jarak V2; D3 = Kelas Populasi V3; D4 = Kelas Populasi V4; P1 = Jenis/Unsur V1; P2 = Jenis/Unsur V2; P3 = Jenis/Unsur V3; P4 = Jenis/Unsur V4.
Skor paling tinggi yang akan diperoleh dalam sebuah grid adalah 600 karena memiliki keseluruhan skor tertinggi masing-masing variabel
yang
disyaratkan, sedangkan skor paling rendah adalah 0 karena terdapat grid yang tidak mengandung variabel sama sekali (blank data/null data).
36
Setelah diketahui skor total masing-masing grid kemudian dilakukan pembuatan kelas sensitivitas grid untuk mengetahui tingkatan sensitivitas masing-masing grid. Kelas sensitivitas grid dibagi dalam tiga kategori yakni sensitivitas tinggi, sensitivitas sedang, dan sensitivitas rendah. Penentuan kelas sensitivitas diperoleh dengan rumus: I=
(SGmax − SGmin) 3
I=
(600 − 0) 3
I = 200 Keterangan: I = Interval Kelas SGmax = Skor Grid paling tinggi SGmin = Skor Grid paling rendah Dari hasil penghitungan interval kelas tersebut, diperoleh pembagian tingkat sensitivitas grid sebagaimana dapat dilihat dalam tabel 1.5 berikut: Tabel 1. 5: Pembagian kelas sensitivitas masing-masing grid No
Tingkat Sensitivitas Grid
Interval Skor Grid
1
Tinggi
401-600
2
Sedang
201-400
3
Rendah
0-200
d. Analisis
Sentroid
dan
Interpolasi:
Analisis
ini
digunakan
untuk
memperkirakan lokasi-lokasi area sensitif secara lebih detail dan lebih akurat sesuai dengan skor masing-masing grid. Setelah hasil skoring grid
37
diperoleh, dilanjutkan dengan merubah data poligon grid menjadi data titik (sentroid). Masing-masing titik telahmemiliki skor sesuai dengan skor grid.Proses konversi ini dilakukan agar masing-masing data titik dapat diinterpolasi menjadi area-area sensitifdengan menggunakan ekstensi local polynomial interpolationdari softwareArcGIS 10.2. Tingkat sensitivitas area dibagi menjadi tiga kelas yaitu sensitivitas tinggi, sensitivitas sedang, dan sensitivitas rendah. Tingkatan ini disesuaikan dengan area yang dihasilkan melalui proses komputasi berdasar jumlah skor sentroid yang dimasukkan sebagai value unit.Wilayah yang tidak termasuk dalam ketiga area sensitivitas dianggap sebagai wilayah yang kurang potensial. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan akan ditemukannya tinggalan arkeologi di wilayah yang kurang potensial tersebut. Hasil akhir dari proses analisis ini adalah peta sensitivitas tinggalan arkeologi klasik di Kabupaten Magelang. 4.
Sintesis Pada tahapan ini, peta sensitivitas tinggalan arkeologi yang diperoleh dari
proses analisis kemudian ditumpangsusunkan (overlay) dengan peta-peta yang memuat Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Magelang. Proses ini dilakukan agar dapat diketahui bagaimana kedudukan dan perbandingan antara perencanaan tata ruang wilayah yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Magelang dengan area sensitivitas tinggalan arkeologi dari penelitian ini. Setelah itu akan dicari model yang tepat untuk mengelola area-area yang masuk dalam masingmasing zona arahan pelindungan dan berada pada area pengembangan kawasan, baik pengembangan permukiman, jaringan transportasi, industri, agro, pariwisata
38
maupun pertambangan. Hasil dari proses ini berupa model-model usulan pengelolaan wilayah yang didasarkan pada prinsip pelestarian tinggalan arkeologi.Akan tetapi model usulan yang diperoleh dalam penelitian ini masih sangat kasar karena masih merupakan hasil pekerjaan studio. Diperlukan adanya kajian yang lebih mendalam lagi untuk menentukan model yang paling tepat pada masing-masing area sensitivitas. 5.
Kesimpulan dan Rekomendasi Tahapan ini merupakan akhir dari rangkaian penelitian. Keseluruhan
hasil dari proses analisis dan sintesis disimpulkan dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang, termasuk dalam UU Cagar Budaya, sehingga dapat memperoleh gambaran secara lebih luas mengenai pengelolaan kawasan cagar budaya di Kabupaten Magelang. Disamping itu juga disampaikan beberapa rekomendasi mengenai bagaimana bentuk validasi dari model yang dibuat agar dapat digunakan untuk menguji akurasi dan presisi dari penelitian ini. Validasi juga dapat digunakan mengungkapkan tinggalan arkeologi yang belum pernah ditemukan di wilayah Kabupaten Magelang.
39