Nurfadilah, Pendidikan Islam di Tengah Masyarakat Multikultural
PENDIDIKAN ISLAM DI TENGAH MASYARAKAT MULTIKULTURAL Nurfadilah Madrasah Aliyah Negeri 3 Jember
[email protected]
Abstract
Indonesia is one of the largest multicultural countries in this world. It can be proven by the wide and kind of the condition of socio cultural or geography, moreover it has many religions and faiths that exist in this country, such as Islam, Christian Catholic, Protestant, Hindu, Buddhist, and Konghucu, as well as varieties of faiths which resects each conviction without tolerate other people’s belief, so it is not suitable with the symbol of the country that is different remain one. If it is analyzed deeply, Islam is very kind and respects the diversity as reality (natural law – sunnat Allah). In this case, the concept of rahmatan lil ‘alamin is the cultural basis of Islam. For carrying out the humanity’s mission, Islam has an instrument that is put the education in front, since education face the human directly. Education is a container which serves to humanize in order to be a perfect man. Education, culture, and society is the unity that has an important role in creating insan kamil. The society is a person who is able to serve facilities and infrastructure which is going to produce the culture, while education is a process to preserve and develop the values which attach life in society.
Keywords: Islamic Education, Diversity. Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Hal ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural, agama maupun geografis yang begitu beragam dan luas.Sekarang ini, jumlah pulau yang ada di wilayah negara kesatuan republik indonesia (NKRI) sekitar 13.000 pulau besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu mereka juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai macam 211
al-‘Adâlah, Volume 19 Nomor 2 November 2016
aliran kepercayaan.1 Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, dan agama disebut sebagai masyarakat "multikultural". Tetapi pada pihak lain, realitas "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat menjadi "integrating force" yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut. Salah satu faktor yang diyakini oleh masyarakat dalam menyongsong kelangsungan hidup manusia adalah pendidikan. Pendidikanlah yang mampu menstimulus perubahan sosial kearah terbentuknya suatu kondisi masyarakat yang dicita-citakan. Asumsi bahwa untuk mencapai kemajuan peradaban maka salah satu alternatif faktor pendidikan. Hal ini disebabkan masalah pendidikan adalah merupakan masalah yang sangat penting dalam kehidupan, bukan saja sangat penting, bahkan masalah pendidikan itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Baik dalam kehidupan keluarga, maupun dalam kehidupan bangsa dan negara. Maju mundurnya suatu bangsa sebagian besar ditentukan oleh maju mundurnya pendidikan negara itu. Pendidikan merupakan suatu wadah yang berfungsi untuk memanusiakan manusia agar menjadi manusia yang sempurna. Pendidikan, kebudayaan, dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang memiliki peranan penting dalam menciptakan Insan kamil.2 Masyarakat merupakan oknum yang dapat menyediakan sarana dan prasarana yang kemudian akan menghasilkan suatu kebudayaan, sedangkan pendidikan merupakan suatu proses untuk melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai yang mengikat kehidupan bersama dalam masyarakat. Suatu media yang sangat ampuh dalam membangun kecerdasan dan kepribadian anak menjadi lebih baik adalah Pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan terus dikembangkan agar mampu mencetak generasi yang sesuai dengan harapan bangsa. Karena manusia dilahirkan dalam keadaan dloif sehingga memerlukan bimbingan dalam pendidikan untuk kebutuhan hidupnya Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross cultural understanding untuk demokrasi dan keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), 9. 2Muhmidayeli, Membangun Paradigma Pendidikan Islam (Pekanbaru: Program Pasca Sarjana UIN Suska Riau, 2007), 12. 1M.
212
Nurfadilah, Pendidikan Islam di Tengah Masyarakat Multikultural
dalam membangun peradaban yang lebih baik. Pendidikan pada hakikatnya merupakan bagian yang sangat vital dan esensial dalam membentuk kepribadian hidup masing-masing, untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, manusia memerlukan pendidikan, baik informal, formal dan non formal.sesuai dengan cita-cita pendidikan agama Islam untuk membentuk manusia yang beriman, cinta damai, cerdas, kreatif, berbudi luhur, berfikir kritis dan peduli terhadap kondisi sosial masyarakat. Pada hakikatnya pendidikan merupakan proses pencarian jati diri seseorang maupun kelompok, oleh sebab itu pendidikan harus membebaskan seseorang dari berbagai belenggu. Disinilah akan bergabung pedagogik dan studi kebudayaan, yaitu membebaskan manusia dari ikatan yang terdapat di luar dirinya atau hal-hal yang dapat membelenggu kebebasan seseorang. Hal ini terjadi ketika pendidikan dijadikan alat oleh sistem penguasa untuk membelenggu kebebasan individu.3 Sesuai dengan kondisi negara Indonesia yang terdiri dari beberapa kelompok etnis, budaya, dan agama, maka sangat perlu penanaman pemahaman tentang multikultural untuk menjaga keutuhan kebersamaan antar suku, ras, adat istiadat, dan agama. Allah berfirman dalam Q.S Al-Hujuraat: 13: Artinya: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.4
Ayat di atas, berbicara dalam konteks global, dimana dalam ayat tersebut Allah menyeru seluruh umat manusia tanpa membeda-bedakan etnis, ras, suku, dan agama.Ayat ini, merupakan landasan normatif tentang wawasan multikultural dan pendidikan multikultural khusunya bagi umat Islam. Indonesia merupakan salah satu negara multikultural yang terbesar di dunia, kebenaran ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultural maupun geografis yang sangat luas dan beragam, serta terdapat agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, kristen katolik, protestan, hindu, budha, dan 3Tilaar, Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional ( Jakarta: PT. Grasindo, 2004 ), 189. 4Al-Qur’an: Al-Hujurat:13.
213
al-‘Adâlah, Volume 19 Nomor 2 November 2016
konghucu serta berbagai macam aliran kepercayaan yang kesemuanya menjunjung keyakinannya masing-masing tanpa mentolerir keyakinan orang lain, sehingga tidak selaras dengan semboyan negara kita yang mengatakan walaupun berbeda-beda tetap satu jua. Berdasarkan persoalan di atas, perlu kita cari strategi khusus untuk memecahkan hal tersebut melalui berbagai bidang, sosial, politik, budaya, ekonomi, dan pendidikan. Pendidikan multikultural menawarkan elternatif melalui strategi dan konsep yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, seperti: keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status, kemampuan dan ras. Dalam rangka meningkatkan kesadaran mereka agar berperilaku humanis, pluralis dan demokratis.5 Untuk memperbaiki pendidikan terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana manusia belajar dan bagaimana cara mengajarnya. Kedua kegiatan tersebut dalam rangka memahami cara manusia mengkonstruksi pengetahuannya tentang objek-objek dan peristiwa-peristiwa yang dijumpai selama kehidupannya. Manusia akan mencari dan menggunakan hal-hal atau peralatan yang dapat membantu memahami pengalamannya.6 Agar dapat memfungsikan, dan merealisasikan hal tersebut, diperlukan suatu cara yang sistematis, terencana, berdasarkan pendekatan interdisipliner, serta mensistesikan pendidikan islam dengan disiplin atau konsep paradigma lain. Karena perkembangan masyarakat semakin komplek dan tentunya akan mengarahkan potensi yang ada pada diri manusia dengan cepat berdasarkan pengalaman-pengalaman yang didapat dari kompleksitas sosial masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu seorang pendidik tidak hanya dituntut untuk menyampaikan teori saja akan tetapi pendidik harus menyeimbangkan antara teori dan praktek, lebih dari itu seorang pendidik harus mampu menanamkan nilai-nilai yang terdapat dalam pendidikan multikultural, seperti: humanisme, pluralisme, dan demokratis.7 Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 62. 6C. Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), 56. 7M. Ainul Yakin, Pendidikan Multikultural Cross-Kultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan, 5 5Suwendi,
214
Nurfadilah, Pendidikan Islam di Tengah Masyarakat Multikultural
Potret Pendidikan Islam di Tengah Multikulturalisme Dalam konteks Indonesia, peserta didik di berbagai lembaga pendidikan diasumsikan juga terdiri dari peserta didik yang memiliki beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya. Asumsi ini dibangun berdasarkan pada data bahwa di Indonesia terdapat 250 kelompok suku, 250 lebih bahasa lokal (lingua francka), 13.000 pulau, dan 5 agama resmi. Paling tidak keragaman latar belakang siswa di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia terdapat pada paham keagamaan, afiliasi politik, tingkat sosial ekonomi, adat istiadat, jenis kelamin, dan asal daerahnya (perkotaan atau pedesaan). Apabila dikaji secara mendalam, Islam sangat ramah dan menghargai keanekaragaman sebagai realitas (hukum alam- sunnat Allah). Dalam hal ini, konsep rahmatan lil ‘alamin merupakan landasan kultural ajaran Islam.Untuk menjalankan misi kemanusiaanya tersebut, Islam memiliki instrumen yaitu meletakkan pendidikan pada barisan terdepan, karena pendidikanlah yang secara langsung berhadapan dengan umat manusia. Memperbincangkan pendidikan (agama) Islam pada hari ini biasanya memunculkan gambaran pilu dalam pikiran kita tentang ketertinggalan, kemunduran, dan kondisi yang serba tidak jelas sehingga memberikan kontribusi ekslusivisme dalam Islam. Menurut Kautsar Azhari Noer dalam Syafaat ada empat faktor penyebab kegagalan pendidikan Agama Islam tersebut, yaitu:8Pertama, penekanannya lebih pada proses transfer ilmu agama ketimbang pada proses transformasi nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik; Kedua,sikap bahwa pendidikan agama tidak lebih dari sekedar sebagai “hiasan kurikulum” belaka atau sebagai “pelengkap” yang dipandang sebelah mata; Ketiga, kurangnya penekanan pada nilai-nilai moral yang mendukung kerukunan antaragama, seperti cinta, kasih sayang, persahabatan, suka menolong, suka damai dan toleransi, dan; Keempat, kurangnya perhatian untuk mempelajari agama-agama lain. Sedangkan Muhaimin mengidentifikasi bahwa kegagalan pendidikan agama Islam setidaknya disebabkan karena :Pertama Pendidikan agama masih berpusat pada hal-hal yang bersifat simbolik, ritualistik, serta bersifat legal 8Syafaat, Peranan Pendidikan Islam Dalam mencegah kenakalan Remaja (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), 55-57.
215
al-‘Adâlah, Volume 19 Nomor 2 November 2016
formalistik (halal-haram) dan kehilangan ruh moralnya. Keduakegiatan pendidikan agama cenderung bertumpu pada penggarapan ranah kognitif dan paling banter hingga ranah emosional.9 Dalam konteks yang tidak jauh berbeda, M. Amin Abdullah melihat beberapa kelemahan pelaksanaan pendidikan agama di sekolah, yaitu:10 1. Pendidikan agama lebih banyak terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif semata serta amalan-amalan ibadah praktis 2. Pendidikan agama kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri anak didik lewat berbagai cara, media dan forum 3. Isu kenakalan remaja, perkelahian di antara pelajar, tindak kekerasan, premanisme, white color crime, konsumsi miras, dan sebagainya, walaupun tidak secara langsung, memiliki kaitan dengan metodologi pendidikan agama yang selama ini berjalan secara konvensional-tradisional 4. Metodologi pendidikan agama tidak kunjung berubah antara pra dan post era modernitas 5. Pendidikan agama lebih menitikberatkan pada aspek korespondensitekstual, yang lebih menekankan hafalan teks-teks keagamaan yang sudah ada 6. Dalam sistem evaluasi, bentuk-bentuk soal ujian agama Islam menunjukkan prioritas utama pada kognitif dan jarang pertanyaan tersebut mempunyai bobot muatan “nilai” dan “makna” spiritual keagamaan yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, untuk membentuk pendidikan yang mampu menghasilkan manusia yang memiliki kesadaran multikulturalisme, diperlukan rekonstruksi pendidikan agama. Maksudnya, kalau selama ini pendidikan agama masih menekankan sisi keselamatan yang dimiliki dan didambakan oleh orang lain di luar diri dan kelompoknya sendiri, maka pendidikan agama perNuansa Baru Pendidikan Islam: Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), 77. 10Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, Cet. V (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 54. 9Muhaimin,
216
Nurfadilah, Pendidikan Islam di Tengah Masyarakat Multikultural
lu direkonstruksi kembali, agar lebih menekankan proses edukasi sosial yang tidak semata-mata individual dan memperkenalkan social contract. Dengan demikian, pada diri peserta didik tertanam suatu keyakinan bahwa kita semua sejak semula memang berbeda-beda dalam banyak hal, lebih-lebih dalam bidang akidah, iman. Namun, demi menjaga keharmonisan, keselamatan dan kepentingan kehidupan bersama, mau tidak mau harus rela menjalin kerja sama dalam bentuk sosial antarsesama kelompok warga masyarakat. Dengan reorientasi ini, diharapkan akan terjadi perubahan proses dan mekanisme pembelajaran menuju ke arah terciptanya pemahaman dan kesadaran multikultural kepada anak didik. Dalam hubungannya dengan hal ini, setidaknya peran aktif yang harus segera dikerjakan oleh praktisi pendidikan (Islam) adalah menyusun dan mengembangkan disain kurikulum dan metode pendidikan agama yang mampu menumbuhkan sikap saling menghargai antar pemeluk agama dan kepercayaan. Kurikulum Pendidikan Islam Berbasis Multikultural Kurikulum pendidikan Islam sejauh ini sekarang kurang begitu relevan dengan kondisi zaman dalam perspektif konteks tual sebab fakta-fakta yang terjadi di lapangan terkesan penidikan Islam hanya berusaha mengembangkan metode pembelajaran mengenai aspek keagamaan saja (aspek ‘ubudiyah) yang sifatnya fertkal (hablum minallah), sementara aspek sosial (muamalah) kurang begitu diperhatikan yang sfatnya horizontal (hablum minannas).11 Dua hal tersebut tidak berjalan seimbang satu sama lain. Maka, kepincangan-kepincangan sosial, kecemburuan sosial, truth claim yang sering mengatas namakan agama, serta merasa paling benar di antara kelompok11Istilah
kurikulum pada awal mulanya di gunakan dalam dunia olahraga pada zaman Yunani kuno. Curriculum berasal dari kata currir, artinya pelari, dan curere artinya tempat berpacu.Curriculum di artikan jarak yang harus di tempuh oleh pelari.Dari makna yang terkandung dari kata tersebut, kurikulum secara sederhana di artikan sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus di tempuh dan di selesaikan anak didik untuk memperoleh ijazah. Dalam dunia pendidikan penggunaan istilah kurikulum terjadi sekitar tahun 1820 meskupun sebelumnya sudah di gunakan di Skotlandia pada awal abad ke-17.Kurikulum pada watu di artikan sebagai mata pelajaran yang harus di ambil untuk suatu pendidikan atau training. Selengkapnya lihat Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), 139 – 140.
217
al-‘Adâlah, Volume 19 Nomor 2 November 2016
kelompok yang berbeda pemahaman. Disinilah kemudian akan terjadi menyempitnya suatu pemahaman ajaran Islam, yang seharusnya mengedepankan rasa toleransi antar-umat beragama, saling menghargai antar-suku, budaya, bahasa, dan etnik, untuk menjadi khairah ummah dan ummatan wahidah bisa hidup damai, tenteram, adil, dan sejahtera yang diridhai oleh Allah Swt. Kurikulum pendidikan Islam sejauh ini sekarang kurang begitu relevan dengan kondisi zaman dalam perspektif konteks tual sebab fakta-fakta yang terjadi di lapangan terkesan penidikan Islam hanya berusaha mengembangkan metode pembelajaran mengenai aspek keagamaan saja (aspek ‘ubudiyah) yang sifatnya fertkal (hablum minallah), sementara aspek sosial (muamalah) kurang begitu diperhatikan yang sfatnya horizontal (hablum minannas). Dua hal tersebut tidak berjalan seimbang satu sama lain.12 Maka, kepincangan-kepincangan sosial, kecemburuan sosial, truth claim yang sering mengatas namakan agama, serta merasa paling benar di antara kelompok-kelompok yang berbeda pemahaman. Disinilah kemudian akan terjadi menyempitnya suatu pemahaman ajaran Islam, yang seharusnya mengedepankan rasa toleransi antar-umat beragama, saling menghargai antarsuku, budaya, bahasa, dan etnik, untuk menjadi khairah ummah dan ummatan wahidah bisa hidup damai, tenteram, adil, dan sejahtera yang diridhai oleh Allah Swt. Dalam bukunya Muhaimin yang berjudul Pengembangan Model kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang di kutib dalam buku Faisol berjudul; Gus Dur dan Pendidikan Islam mengemukakan bahwa, ada beberapa prinsip yang harus betul-betul dikembangkan dalam kurikulum pendidikan, khususnya pendidikan Islam, yaitu sebagai berikut: 1. Berpusat pada potensi, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dalam lingkungannya.Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk dikembangkan potensinya supaya menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt. 2. Beragam dan terpadu, kurikulum diperhatikan dengan memerhatikan keragaman karakteristik peserta didik, serta menghargai dan tidak dis12Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Islam: Upaya Mengembangakan Esensi Pendidikan di Era Globalisasi (Yogyakarta: Ar-Ruz, 2011), 31.
218
Nurfadilah, Pendidikan Islam di Tengah Masyarakat Multikultural
3.
4.
5.
6.
7.
kriminatif dalam perbedaan suku, ras, dudaya, adat istiadat, dan lain seterusnya. Tanggap terhadap ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni berkembang secara dinamis. Relevan dengan kebutuhan hidup. Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi penidikan dan kehidupan, termasuk didalamnya kehidupan bermasyarakat. Menyeluruh dan berkesinambungan. Subtansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan, dan mata pelajaran yang direncanakan serta disajikan secara berkesinambungan antar-semua jenjang pendidikan. Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Asas pendidikan seumur hidup merumuskan suatu asas bahwa proses pendidikan merupakan suatu proses kontinu, yang bermula sejak seseorang dilahirkan hingga meninggal dunia. Seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat”. Konsep tersebut diaktualkan kembali oleh orangorang barat, yang sering kita dengar yaitu “life long education”.Proses pendidikan ini mencakup bentuk-bentuk belajar secara informal mauoun formal baik yang berlangsung dalam keluarga, di sekolah, dalam pekerjaan dan dalam kehidupan bermasyarakat. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kurikulum dikembangkan dengan memerhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.13
Proses pengembangan kurikulum tersebut akan memudahkan pendidik untuk memberikan materi yang berpusat pada potensi peserta didik yang mempunyai keragaman dan terpadu, yang mempunyai kepekaan terhadap 13Muhaimin, dkk, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Pada Sekolah dan Madrasah, 21 - 23
219
al-‘Adâlah, Volume 19 Nomor 2 November 2016
ilmu pengetahuan dan perkembangan sains sehingga hal itu mempunyai relevansi yang kuat terhadap konteks saat ini dan menjadi kebutuhan yang sangat vital. Namun, hal itu tidak cukup sampai di sana saja, pengembangan kurikulum diharapkan terus berlanjut dan berkesinambungan. Artinya, pengembangan tersebut terus menerus berlangsung sepanjang hayat. Oleh sebab itu, perlu adanya keseimbangan dalam proses pengembangan kurikulum sehingga bisa memberikan yang terbaik bagi peserta didik sebagai generasi penerus bangsa, sesuai dengan keragaman budaya, etnik, suku, bangsa, dan tradisi yang berada pada tiap-tiap lingkungan yang berkembang di daerah masing-masing, sebagai suatu kekayaan yang tak ternilai keberadaannya dan menjadi aset besar bagi bangsa, khususnya bangsa Indonesia yang terkenal akan kemajemukan masyarakatnya. Sejatinya kurikulum adalah suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses berlajar mengajar di bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya.14 Kurikulum memegang kedudukan kunci dalam pendidikan, sebab berkaitan dengan penentuan arah, isi dan proses pendidikan, yang ada akhirnya menentukan akhirnya menentukan macam dan kualifikasi lulusan suatu lembaga pendidikan. Kurikulum menyangkut rencana dan pelaksanaan pendidikan baik dalam lingkup kelas, sekolah daerah, wilayah, maupun nasional.15 Dalam bukunya yang berjudul Gus Dur dan Pendidikan Islam sangat jelas Faisol menulis tentang kurikulum pendidikan Islam persepektif Gus Dur, yang di antaranya ialah sebagai berikut: Pertama, orientasi pendidikan harus lebih ditekankan kepada aspek afektif dan psikomotorik. Artinya, pendidikan lebih menitikberatkan pada pembentukan karakter peserta didik dan pembekalan keterampilan atau skill, agar setelah lulus mereka tidak mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan daripada hanya sekadar mengandalkan aspek kognitif (pengetahuan).Kedua, dalam proses belajar mengajar guru harus mengembangkan pola student oriented sehingga terbentuk karakter kemandirian, tanggung jawab, kreatif dan inovatif pada diri peserta didik.Ketiga, guru harus benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti sebenarNasution, Kurikulum dan Pengajaran (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 5. Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktik (Bandung:PT Remaja Rosda Karya, 2011 ), v. 14S.
15Nana
220
Nurfadilah, Pendidikan Islam di Tengah Masyarakat Multikultural
nya. Tidak mereduksi sebatas pengajaran belaka. Artinya, proses pembelajaran peserta didik bertujuan untuk membentuk kepribadian dan mendewasakan siswa bukan hanya sekedar transferof knowledge tapi pembelajaran harus meliputi transfer of value and skill, serta pembentukan karakter (caracter building). Keempat, perlunya pembinaan dan pelatihan-pelatihan tentang peningkatan motivasi belajar kepada peserta didik sehingga anak akan memiliki minat belajar yang tinggi. Kelima, harus ditanamkan pola pendidikan yang berorientasi proses (process oriented), di mana proses lebih penting dari pada hasil. Pendidikan harus berjalan di atas rel ilmu pengetahuan yang substantif. Oleh karena itu, budaya pada dunia pendidikan yang berorientasi hasil (formalitas),seperti mengejar gelar atau titel di kalangan praktisi pendidikan dan pendidik hendaknya ditinggalkan. Yang harus dikedepankan dalam pembelajaran kita sekarang adalah penguasaan pengetahuan, kadar intelektualitas, dan kompetensi keilmuan dan keahlian yang dimilikinya.Keenam, sistem pembelajaran pada sekolah kejuruan mungkin bisa diterapkan pada sekolah-sekolah umum. Yaitu dengan menyeimbangkan antara teori dengan praktek dalam implementasinya. Sehingga peserta didik tidak mengalami titik kejenuhan berfikir, dan siap manakala dituntut mengaplikasikan pengetahuannya dalam masyarakat dan dunia kerja.16 Apa bila di tinjau ulang pemikiran Gus Dur yang plural, tentu saja tidak lepas dari situasi dan kondisi yang berkembang di negeri ini. Ketika melihat realitas sosial yang majemuk, di tuntut sebuah pemikiran yang cukup beragam pula, apa lagi aspek pemikiran Gus Dur dalam hal pendidikan Islam lebih banyak tercurah pada pondok pesantren sebagai salah satu institusi tua yang berkembang pertama kali di bangsa ini, yang tentu saja membutuhkan pemikiran yang cukup beragam.17 Menurut Tirtayasasetidaknya ada sembilan titik lemah dalam aplikasi sistem pendidikan di Indonesia, yaiu sebagai berikut: 1. Titik berat pendidikan pada aspek kognitif 2. Pola evaluasi yang meninggalkan pola pikir kreatif, imajinatif, dan inovatif 16Faisol, 17Faisol,
Gus Dur dan Pendidikan Islam, 105-119. Gus Dur dan Pendidikan Islam, 107.
221
al-‘Adâlah, Volume 19 Nomor 2 November 2016
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Sistem pendidikan yang bergeser (tereduksi) ke pengajaran Kurangnya pembinaan minat belajar pada siswa Kultur mengejar gelar (title) atau budaya mengejar kertas (ijazah) Praktik dan teori kurang berimbang Tidak melibatkan stake holder, masyarakat, institusi pendidikan, dan pemerintah Profesi guru/ustad sekedar profesi ilmiah, bukan kemanusiaan Problem nasional yang multidimensional dan lemahnya plotical will pemerintah.18
Terlepas dari hal tersebut, Manusia sebagai mahluk yang merdeka, berdimensi sosial, bernilai, serta mahluk ber-Tuhan, tujuan pendidikan tidak lain ialah bagaimana mengatur anak didik mampu menjadi manusia yang utuh, mandiri, serta cerdas lahir batin. Untuk itu, kurikulum dan pembelajaran harus di desain sekian rupa sesuai dengan hakikat manusia dan tujuan di adakannya pendidikan tersebut. Dalam arti, hubungan guru murid harus demokratis-dilogis dalam pembelajaran menggunakan metode dan pendekatan yang merangsang berpikir kritis, kreatif, dan objektif. Kurikulumnya juga harus sesuai dengan perkembangan zaman, kebutuhan dan kemampuan peserta didik, dan pastinya semua ini harus di jiwai dengan keimanan. Oleh sebab itu, kurikulum pendidikan Islam menurut Gus Dur haruslah sesuai dengan kondisi zaman, bahwa pendekatan yang harus di lakukan bersifat demokratis dan dialogis antara guru dan murid. Maka tak bisa dipungkiri pembelajaran aktif, kreatif, dan objektif akan mengarahkan peserta didik mampu berfikir kritis dan selalu bertanya sepanjang hayat. Sehingga kurikulum tersebut mampu di harmoniskan dengan konteks zaman modern saat ini.19 Kesimpulan Manusia sebagai mahluk yang merdeka, berdimensi sosial, bernilai, serta mahluk ber-Tuhan, tujuan pendidikan tidak lain ialah bagaimana meng18Tirtayasa, Berguru Kepada Umar Bin Khattab “Antologi Pemikiran Keagamaan Dan Pendidikan” (Yogyakarta: CV. Aswaja Pressindo, 2012), xxi. 19Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Islam, 111.
222
Nurfadilah, Pendidikan Islam di Tengah Masyarakat Multikultural
atur anak didik mampu menjadi manusia yang utuh, mandiri, serta cerdas lahir batin. Untuk itu, kurikulum dan pembelajaran harus di desain sekian rupa sesuai dengan hakikat manusia dan tujuan di adakannya pendidikan tersebut. Hubungan guru murid harus demokratis-dialogis dalam pembelajaran menggunakan metode dan pendekatan yang merangsang berpikir kritis, kreatif, dan objektif. Kurikulumnya juga harus sesuai dengan perkembangan zaman, kebutuhan dan kemampuan peserta didik, dan pastinya semua ini harus di jiwai dengan keimanan. Integrasi antara hablum minallah dengan hablum minannas merupakan solosi tepat dalam pengembangan kurikulum pendidikan islam ditengan masyarakat plural.
Daftar Pustaka Arif, Syaiful, Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2013). Baidhawy, Zakiyuddin, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (Jakarta: Erlangga, 2005). Basri, Hasan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Putaka Setia, 2009). Budiningsih, C. Asri, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: Rineka Cipta, 2005). Faisol, Gus Dur Dan Pendidikan Islam:Upaya Mengembangakan Esensi Pendidikan di Era Globalisasi (Yogyakarta: AR – Ruzz Media, 2011). Ghazali, Imam, Ihya’ Ulumuddin (Surabaya: Al-Hidayah, 2007). Iswanto, Agus, dkk, Pendidikan Agama Islam Dalam Perspektif Multikulturalisme (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2009). Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011). Masdar, Umaruddin, Membaca Pemikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998). Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam “Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan” (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006). Muhaimin, dkk, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Pada Sekolah Dan Madrasah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007). Muhmidayeli, Membangun Paradigma Pendidikan Islam (Pekanbaru: Program Pasca Sarjana UIN Suska Riau, 2007). 223
al-‘Adâlah, Volume 19 Nomor 2 November 2016
Munawar Rahman, Budhy, Islam Pluralis “Wacana Kesetaraan Kaum Beriman” (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004). Naim, Ngainun & Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011). Nana Syaodih, Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2011). Nasution, Kurikulum dan Pengajaran (Jakarta: Bumi Aksara, 2008). Rahmat, Imdadun, Islam Pribumi: Mendialogkan Agama Membaca Realitas (Jakarta: Erlangga, 2003). Subagja, Sholeh, Gagasan Liberalisasi Pendidikan Islam (Malang: Madani, 2010). Sutrisno, Revolusi Pendidikan di Indonesia (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2005). Suwendi, Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003). Suyudi, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an “Integrasi Epitimologi Bayani, Burhani, Dan Irfani” (Yogyakarta: Mikraj, 2005). Syafaat, Aat, Peranan Pendidikan Islam Dalam mencegah kenakalan Remaja (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008). Tilaar, H.A.R., Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: PT. Grasindo, 2004). Tirtayasa, Berguru Kepada Umar Bin Khattab “Antologi Pemikiran Keagamaan Dan Pendidikan” (Yogyakarta: CV. Aswaja Pressindo, 2012). Wahid, Abdurrahman, Menggerakkan Tradisi (Yogyakarta: LKis, 2011). Yaqin, M. Ainul, Pendidikan Multikultural Cross-Kultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2007).
224