PENDIDIKAN MULTIKULTURAL SEBAGAI KEBUTUHAN DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN DI KALIMANTAN TENGAH Erlina Wiyanarti Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Email:
[email protected] Abstract This research is overview of multicultural education in the development of education in Central Kalimantan. Researchers employed qualitative descriptive methods with data collection techniques such as observation, documentation studies and interviews. The study yielded three important things. First, multiculturalism is a concept that does not only refer to the socio-anthropological fact about a plurality of ethnic groups, languages, and religions, but also assumes a democratic and egalitarian attitude to accept cultural diversity. Second, multicultural education is a coccept appropriate to be developed in a multicultural society, given its role in fostering awareness of the importance of intercultural tolerance in public life, as well as providing opportunities for the growth of critical thinking skills, skills of cooperation, as well as decision-making skills, through constructive, academic, and psychological efforts in school. Third, Central Kalimantan province that is multicultural need to develop a systematic, logical, and paedagogis efforts in order to develop awareness of multiculturalism. Keywords: multiculturalism, multicultural education
Abstrak Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang pendidikan multikultural dalam pengembangan pendidikan di Kalimantan Tengah. Peneliti menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi, studi dokumentasi, dan wawancara. Penelitian tersebut menghasilkan tiga hal penting. Pertama, multikulturalisme merupakan sebuah konsep yang tidak hanya merujuk pada kenyataan sosial-antropologis tentang pluralitas kelompok etnis, bahasa, dan agama, tetapi juga mengasumsikan sebuah sikap demokratis dan egaliter untuk bisa menerima keragaman budaya. Kedua, pendidikan multikultural merupakan konsep pendidikan yang tepat untuk dikembangkan dalam masyarakat multikultural, mengingat peraannnya bagi penumbuhan kesadaran pentingnya toleransi antarbudaya dalam kehidupan bermasyarakat, serta memberi peluang bagi tumbuhnya keterampilan berpikir kritis, keterampilan bekerja sama, serta keterampilan mengambil keputusan, melalui upaya-upaya konstruktif, akademis, dan psikologis di sekolah. Ketiga, propinsi Kalimantan Tengah yang bersifat multikultural perlu dikembangkan upaya-upaya yang sistematis, logis, dan pedagogis guna mengembangkan pendidikan dalam rangka penyadaran multikulturalisme. Kata kunci: multikulturalisme, pendidikan multikultural A. Pendahuluan Dewasa ini, semakin sulit menemukan sebuah bangsa yang memiliki budaya tunggal atau homogen. Buktinya, Bangsa Indonesia sekarang adalah contoh yang sempurna dari fenomena tersebut, sehingga Indonesia bisa disebut sebagai lukisan karikatur dari masyarakat multikultural yang sedang tumbuh.
Kemajemukan muncul karena berbagai sebab, antara lain adalah akibat penjajahan atau pembentukan sebuah negara bangsa yang terdiri dari beragam suku bangsa atau juga karena proses migrasi antarnegara. Gagasan multikulturalisme belakangan ini marak diperbincangkan di tengah-tengah perkembangan kehidupan sosial, politik,
38
Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 1 Mei 2014
dan budaya di Indonesia yang terus meluas, memasuki ruang publik bahkan domestik. Perluasan gagasan tersebut berjalan beriringan dengan meningkatnya apresiasi masyarakat terhadap praktik demokrasi dan ide masyarakat madani sejak beberapa dekade terakhir. Wacana pluralisme, toleransi, inklusivisme, dan gagasan multikulturalisme pun mulai menarik perhatian para intelektual dan perluasan ragam pemikiran kritis termasuk di kalangan pakar pendidikan. Perubahan atau kondisi dan situasi yang belum biasa, pada hakekatnya merupakan suatu proses akhir dari suatu kondisi krisis atau chaos yang penuh dengan ketidakmenentuan dan ketidakteraturan. Namun menurut Hayles, di balik kondisi yang serba tidak teratur dan tidak bisa diperkirakan tersebut, sesungguhnya ada hukum keberaturan, yakni bahwa krisis akan membawa kepada sesuatu yang baru, krisis sebagai suatu situasi yang mengandung nilai-nilai kebijakan dalam menyikapi kehidupan. Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam krisis tumbuh sikap kreatif, kesadaran saling ketergantungan dan keterhubungan, sikap adaptif, kemampuan melihat makna di balik fakta, kesadaran makna waktu dalam kehidupan, dan memiliki kesadaran akan keberadaan diri di tengah alam semesta sebagai satu kesatuan yang utuh.1 Sejarah perjalanan umat manusia selalu mengandung kecenderungan untuk menghancurkan perumahan kemanusiaannya. Kecenderungan semacam itu tampaknya sudah inheren dalam struktur kejadian manusia. Menurut Colombijn, praktik budaya kekerasan adalah fenomena yang tak terpisahkan dari historisitas umat manusia. Sejarawan hanya bisa berspekulasi bahwa di belakang gejala konflik tersebut tentu ada suatu hikmah (wisdom) yang tersembunyi. Sekalipun konflik antara suku, etnis, bangsa, dan negara merupakan bagian dari perjalanan sejarah, tetapi hikmah di dalamnya mengajarkan bahwa perbedaan suku dan lain-lain itu bukan untuk berseteru, tetapi untuk saling mengenal, saling memberi dan menerima.2 Fenomena kekerasan dan keberingasan dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat, 1 Katherine N. Hayles, (editor), Chaos and Order: Complex Dynamic in Leterarure and Science, Chicago: The University of Chicago Press, 1991, h 5. 2 Dewi Fortuna Anwar, dkk, Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan Di Asia Pasifik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, h. 25.
dewasa ini, tampaknya semakin berkembang dan ironisnya semakin menampakkan dirinya sebagai bagian dari kehidupan rutin seharihari. Bisa dikatakan yang terjadi sekarang ini tiada hari tanpa berita tentang kekerasan, keberangasan, dan kebrutalan. Pertikaian etnis yang bersimbah darah di Kalimantan Tengah juga telah melukai wajah kemanusiaan, karena begitu banyak korban jatuh, baik dari etnis Dayak maupun Madura.3 Kerusuhan yang mengakibatkan korban manusia, baik yang meninggal maupun yang terluka di kedua belah pihak tidaklah sedikit. Peristiwa tersebut dalam pandangan Hidayat merupakan indikator dari kegagalan pemerintah melindungi hak-hak kultural komunitas yang tertindas.4 Fakta tersebut mendorong kita untuk menginsafi bahwa peristiwa itu bisa terjadi di manapun, di mana masalah etnisitas akan menjadi pemicu timbulnya pertikaian yang memakan banyak korban manusia. Sudah waktunya dunia pendidikan melakukan hal-hal yang konstruktif agar peristiwa sejenis tidak terulang lagi. Pendidikan sebagai wahana transmisi kearifan nilai-nilai budaya lokal, yang sekaligus menjadi lembaga yang memberi kesempatan kepada para peserta didik untuk memperoleh pemahaman dan penyadaran pentingnya kehidupan bersama yang damai di dalam masyarakat yang memiliki budaya yang beragam, tak diragukan lagi merupakan pilihan utama di dalam pemecahan masalah yang berkaitan dengan pembangunan masyarakat yang lebih baik di masa depan yang menghormati dan menghargai keragaman budaya. Sementara menurut Banks, sebagian besar sekolah tidak memberikan perhatian yang layak dalam kurikulumnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan pentingnya menghargai perbedaan etnisitas dan sikap toleransi di kalangan peserta didik.5 Penulis sependapat dengan Hidayat bahwa untuk menyelamatkan aset bangsa berupa keragaman budaya Indonesia dan mengangkat martabatnya di masa depan, tak ada pilihan lain bagi pemerintah kecuali memberikan prioritas pada perbaikan dunia pendidikan, tanpa harus 3 Kompas, 20 Pebruari 2000. 4 Komarudin Hidayat, Merawat Keragaman Budaya dalam Pendidikan Manusia Indonesia. Editor Tonny D. Widiastono. Jakarta: Yayasan Toyota Astra, 2004, h, 34, 5 James A. Banks, An Introduction to Multicultural Education. Boston: Allyn and Bacon, 1994, h. 34.
Erlina Wiyanati: Pendidikan Multikultural Sebagai Suatu Kebutuhan
mengorbankan identitas budaya bangsa, baik secara nasional maupun lokal.6 B. Hakekat Multikulturalisme Multikulturalisme pada hakikatnya merupakan pengakuan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang tumbuh dan berkembang dalam konteks budayanya masing-masing yang beda dan unik. Hal yang paling hakiki dari manusia adalah potensi yang dimilikinya. Potensi manusia yang bersifat positif, dalam hubungan dengan manusia lainnya adalah relasi hubungan ketergantungan, artinya butuh orang lain di luar dirinya sendiri. Oleh karena itu, manusia dianjurkan saling menolong dan bersilaturahim, seperti yang tertuang dalam Al-Qur’an Surat An-Nisaa (ayat 1) yang diterjemahkan sebagai berikut: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” Saling menolong dan tetap memelihara silaturakhim dalam kenyataan hidup yang saling tergantung dan saling membutuhkan, tentu sulit dilakukan jika tidak saling mengenal. Untuk itu, Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat al-Hujurat/49 (ayat 13) yang diterjemahkan sebagai berikut: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha mengenal.“ Semakin kuat pengenalan satu pihak kepada lainnya, semakin terbuka peluang untuk saling memberi manfaat. Karena itu, ayat di atas 6 Komarudin Hidayat, Merawat Keragaman Budaya dalam Pendidikan Manusia Indonesia. Editor Tonny D. Widiastono. Jakarta: Yayasan Toyota Astra, 2004, h. 34.
39
menekankan perlunya saling mengenal. Menurut Shihab, perkenalan tersebut dibutuhkan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain, guna meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT, yang dampaknya tercermin pada kedamaian dan kesejahteraan hidup duniawi dan kebahagiaan ukhrawi. Lebih lanjut dikatakan oleh Shihab bahwa manusia tidak akan menarik pelajaran, tidak juga dapat saling melengkapi, bahkan tidak dapat bekerjasama tanpa saling mengenal.7 Potensi lain yang dianugerahkan kepada manusia adalah sifat rukun, harmonis, dan selalu berusaha berbuat baik kepada sesama serta menghindarkan perpecahan, pertikaian apalagi peperangan. Dalam hal tersebut Allah berfirman dalam Al-Qur`an Surat Asy-Syuura (ayat 13) yang diterjemahkan sebagai berikut: “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya ...“ Di dalam Al-Qur’an Surat Al-Qashash (ayat 17) juga dijelaskan sebagai berikut: “Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahgiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.“ Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut jelaslah bahwa manusia sesungguhnya makhluk yang tidak bisa lepas dari manusia lainnya dan untuk itu dianjurkan membangun relasi-relasi positif dalam bentuk tidak memutuskan tali silaturahim, tolong-menolong, rukun, harmonis, dan tidak berbuat kerusakan dengan sesamanya. Konsep al-insan telah meletakkan dasar yang kuat pada pandangan yang menyatakan bahwa manusia bukan diposisikan sebagai makhluk individual (abdullah) saja dengan 7
Ibid, h. 155.
40
Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 1 Mei 2014
kewajiban utama beribadah kepada Allah, tetapi juga sebagai makhluk sosial (khalifah). Tentu saja makhluk sosial yang dimaksudkan adalah manusia sebagai makhluk dua dimensi yang utuh dan yang mampu mampu menjalankan perannya baik sebagai khalifah maupun sebagai abdullah.8 Hikmah lain yang bisa dipetik dari firman Allah tersebut adalah hal keragaman, keunikan, dan keberbedaan. Dari perspektif Al-Quran pluralitas kelompok etnis, agama, dan budaya, adalah sebuah keniscayaan yang merupakan desain atau kehendak Tuhan. Semua hal tersebut memang sudah menjadi rencana Tuhan, dan itu diadakan bukan semata-mata untuk membedakan satu dengan lainnya, kecuali untuk saling memberi manfaat. Kewajiban kita adalah menerima dan hendaknya bersikap positif terhadap kenyataan tersebut. Dengan kata lain multikultural adalah suatu fenomena yang memang diciptakan Tuhan, dan bukan ada karena manusia memikirkannya. Hanya saja sekarang ini menjadi pusat perhatian para cendikia, manakala tidak sedikit para futurolog mengatakan bahwa tiga masalah besar yang akan dihadapi umat manusia di abad ke-21 adalah ledakan penduduk, kesenjangan, dan redistribusi kesejahteraan dan konflik etnis. Untuk Indonesia, prediksi tersebut menjadi kenyataan manakala tragedi di Kalimantan Tengah menyeruak ke ruang publik, baik lokal, nasional, bahkan internasional. Manusia memang pada dasarnya memiliki identitas keunikannnya yang tidak pernah tergantikan dalam personalitasnya, walaupun selalu berusaha menyerasikan seluruh pengetahuan, persepsi tentang realitas dalam kehidupan sosialnya. Berdasarkan pandangan filosofis tersebut maka manusia secara universal memang diciptakan berbeda, tetapi sekaligus membutuhkasn kebersamaan, karena setinggi dan sebanyak apapun perbedaan atau keunikan yang dimiliki oleh setiap individu, yang namanya manusia tetap membutuhkan manusia lainnya. Di samping makhluk individu, manusia merupakan makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial, merunut istilah Mulkhan (2005), memiliki 8 H. M. Amin Abdullah, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: Mahammadyah University Press, 2003.
potensi kesalehan multikultural. Artinya suatu tindakan yang berdimensi terbuka melampaui bata-batas etnis, kebangsaan, paham keagamaan, dan kepemelukan suatu agama, yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain yang dilakukan karena ketundukan kepada Sang Maha Pencipta Allah SWT dengan penuh kesadaran.9 Perjumpaan manusia berlatar belakang budaya ataupun etnis berbeda, semakin hari semakin meluas melintasi batas-batas teritori bangsa dan negara hingga batasan benua, dan seiring dengan itu tumbuhlah kesadaran atas fakta otherness yang disandang oleh setiap bangsa. Sebagian dari perbedaan tersebut antara lain berupa warna kulit, postur tubuh, bahasa, tradisi, pandangan hidup, dan agama. Dalam proses perjumpaan global itulah –di sebuah kawasan teritori kesatuan bangsa atau negara—hidup beragam suku bangsa, etnis, tradisi, cara hidup, maupun kepemelukan dan paham keagamaan. Bangsa dengan sistem kemasyarakatan yang dibangun di atas keanekaragaman tersebut dikenal bangsa yang pluralis.10 Tendensi spesifik yang sering muncul, baik dalam wacana maupun realita masyarakat plural, adalah suatu hal di mana seseorang berusaha untuk mengidentifikasikan dirinya dengan komunitas yang didasarkan pada ras, etnis, teritorial, bahasa, atau kombinasi semuanya.11 Sikap dan perilaku yang dilandasi oleh keterikatan dan ketertanaman sosio-kultural tersebut dikenal dengan sikap primordial. Keterikatan tersebut jika masih dalam kadar normal atau wajar maka akan melahirkan sikap primordial dan itu adalah sesuatu yang positif, akan tetapi segera hal itu menjadi sesuatu yang kontra produktif terhadap kehidupan sosial masyarakat apabila sudah pada kadar yang tidak wajar, eksklusif-fanatik sempit, dan menjadi sikap primordialistik. Primordialisme dalam bentuk terakhir itulah yang menurut Kivimaki dalam Fortuna dkk. mudah untuk dimobilisir ke arah tindakan kekerasan, dan seringkali hingga membahayakan menjadi bencana bagi kehidupan bersama bahkan bagi kesatuan bangsa. Fenomena tersebut tidak jarang memicu 9
Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan Multikultural. Jakarta: PSAP,
2005. 10 Kenneth.C.W. Kammeyer, Goerge Ritzer, and Norman R. Yetman, Sociology: Experiencing a Changing Society. USA:Allyn and Bacon, 1992. 11 Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro. Penerjemah F.Wajidi Dan S Menno. Jakarta: Rajawali Pers, 1993.
Erlina Wiyanati: Pendidikan Multikultural Sebagai Suatu Kebutuhan
konflik internal di teritori kesatuan negara bangsa, disertai kekerasan akibat arogansi yang cenderung memandang dirinya lebih baik, lebih benar, dan berhak tumbuh berkembang menguasai yang lainnya.12 Gejala sosial-politik tersebut mendorong munculnya ide multikulturalisme. Gagasan multikulturalisme mencerminkan suatu kesadaran dalam perkembangan kehidupan negara bangsa berbasis multietnis, bangsa pribumi dan pendatang. Multikulturalisme berakar pada konsep keberagaman atau keberbedaan yang kadangkala bisa memicu konflik, tetapi juga mendorong terciptanya komunikasi antara banyak pihak bersama peneguhan kepercayaan dan tradisi asal. Multikulturalisme dalam pengertian yang terakhir digagas sebagai jalan bagi penemuan hubungan yang lebih harmonis antara beragam etnis dan antara penduduk asli dan pendatang. Menurut Sumartana (dalam Sularso) pada umumnya para warga masyarakat belum dapat memikirkan secara sungguh-sungguh konsekuensi kemajemukan dalam masyarakat. Untuk itu, diperlukan sebuah pijakan baru yang lebih mengarah kepada solidaritas kultural di mana perdamaian harus dilakukan melalui dialog perdamaian. Untuk menumbuhkan sikapsikap yang mengarah kepada pembentukan solidaritas kultural di kalangan generasi muda perlu diupayakan melalui berbagai cara dan wahana. Pendidikan multikultural adalah salah satu upaya yang bisa dilakukan sekarang ini.13 Bangsa Indonesia terdiri ratusan etnis, agama, budaya, dan adat istiadat, yang tersebar di sekitar 13.000 pulau besar dan kecil, serta berbicara dalam ratusan bahasa daerah, sehingga dengan karakter seperti demikian tidak diragukan lagi bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang pluralis. Pluralisme memiliki dua muka, satu muka merupakan kekayaan, potensi yang kalau digambarkan bagaikan suatu lukisan yang kaya akan sejuta warna, tetapi di sisi yang lainnya juga sekaligus merupakan potensi konflik jika tidak mampu mengelolanya dengan baik dan bijaksana. Ketidakmampuan mengelola 12 Dewi Fortuna Anwar, dkk, Konflik Kekerasan Internal : Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik , dan Kebijakan di Asia Pasifik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. 13 Soelarso Sopater, Bambang Subandrio, dan Sutarno, Pembelajaran Memasuki Kesejagatan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998.
41
pluralisme inilah yang akan bisa mendorong terjadinya gejolak sosial politik yang bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan). Sebagai bangsa yang pluralis, sudah selayaknya memiliki pemahaman yang cukup tentang pluralisme dengan multikuturalisnya dan juga segala atribut-atributnya.14 Secara antropologis, bangsa Indonesia sebagai masyarakat plural diperkaya oleh apa yang disebut dengan local genius. Lebih lanjut dikatakan bahwa tidak hanya diperkaya, bahkan keragaman etnis, budaya, agama, bahasa, adatistiadat yang hidup di tengah masyarakat, semuanya tergantung dari local genius yang bersifat primordial. Local genius yang primordial itu sesungguhnya ditentukan oleh genesis infrastruktur penghidupan masyarakatnya. Sementara secara historis Indonesia pun memiliki perjalanan yang sangat panjang dalam hakikatnya sebagai bangsa yang pluralis. Simak saja bagaimana semboyan atau motto kenegaraan Bhinneka Tunggal Ika muncul dan menjadi salah satu sokoguru atau nilai luhur kehidupan politik, sosial maupun budaya sejak zaman Majapahit.15 Merujuk pada pemikiran Supriadi, Indonesia secara teori terutama zaman Orde Lama dan Orde Baru, cenderung termasuk pada kategori negara dengan realitas etnik dan budayanya yang heterogen, tetapi kebijakan pemerintahannya cenderung mengarah ke monokulturalisme dan kebijakan tersebut pada akhirnya mempengaruhi integritas bangsa secara keseluruhan.16 Kebijakan yang terlalu menekankan kesamaan atau kesatuan menurut Wiriaatmadja juga telah mengikis kualitas dan kuantitas beberapa unsur budaya lokal di beberapa daerah bahkan hingga kehilangan nilai guna dan fungsinya. Selain adanya indikator menurunnya kekuatan nilai-nilai budaya lokal dalam membangun kehidupan bersama, bangsa Indonesia disinyalir sedang berada pada kondisi krisis kolektif di mana muncul indikator semakin meningkatnya stereotipe dan prejudice 14 Harijanto Y. Thohari,“Pluralisme Etnik Sebuah Potensi Konflik” dalam Yayah Kisbiyah Ed. Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. 15 C. E. Sleeter & C. A. Grant, Making Choice For Multicultural Education: Five Approaches to Race, Class, and Gender (2nd ed), New York: Merril, 1993. 16 Dedi Supriadi dan Rochmat Mulyana, Compiled, Multicultural Education: What Do the Theory and Research Say?, Bandung: Institut of Teaching and Educational Science (IKIP), 1996.
42
Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 1 Mei 2014
seiring dengan rendahnya tingkat interaksi antaretnik “pribumi” dengan “pendatang”. Sebagai contoh nilai-nilai budaya lokal seperti Budaya Betang tidak mampu lagi menjadi wadah bersama bagi penduduk Dayak dan penduduk etnis Madura sebagai pendatang di Kalimantan Tengah dalam membangun harmonisasi.17 Mengkaji berbagai pemikiran dan realitas yang dimunculkan tersebut di atas, memperkuat dan memperjelas bahwa Indonesia sesungguhnya memiliki potensi bagi pengembangan pendidikan multikultural. C. Model Pendidikan Multikultural Pendidikan multikultural adalah pemikiran fundamental dengan pendekatan progresif dalam transformasi pendidikan secara menyeluruh yang berkaitan dengan perbaikan atas kegagalan dan diskriminasi praksis-praksis dalam pendidikan yang dibangun di atas pemahaman tentang kebebasan, keadilan sosial, persamaan, kesetaraan pendidikan, serta harkat dan derajat manusia. Oleh karenanya, pendidikan multikultural dapat dimaknai sebagai suatu proses yang komprehensif dalam pembaharuan sekolah dan pendidikan bagi semua. Dengan demikian, pendidikan multikultural merupakan proses yang meliputi berbagai aspek praksis di sekolah, kebijakan dan organisasi yang dimaknai untuk menjamin pencapaian pengalaman dan kemampuan akademik peserta didik tingkat tinggi, memiliki kesadaran sosial dan memeiliki pengalaman aktif baik sebagai warga lokal, nasional, dan global. Pendidikan multikultural seringkali diidentikan dengan pendidikan multietnis, padahal menurut Banks ada perbedaan di antara keduanya, terutama dalam fokus, tujuan, dan strategi yang digunakan. Jika pendidikan multikultural fokusnya adalah kelompok budaya, khususnya yang berkaitan dengan konsep prasangka dan diskriminasi dalam masyarakat, sedangkan dalam pendidikan multietnis fokusnya adalah kelompok etnis. Tujuan pokok pendidikan multikultural adalah membantu mengurangi diskriminasi dan menentang stigma kelompok budaya dan menciptakan kesempatan memperoleh pendidikan yang sama bagi semua
kelompok budaya, sedangkan pendidikan multietnis bertujuan membantu mengurangi diskriminasi dalam rangka meraih korban kelompok etnis dan membentuk siswa dari berbagai kelompok etnis (suku) memperoleh kesempatan pendidikan yang sama, dan mengurangi isolasi, keterasingan dan polarisasi etnis. Strategi pendidikan multikultural adalah menciptakan atmosfer sekolah berlandaskan norma institusi yang positif untuk mencapai tingkatan kelompok budaya dalam masyarakat, sedangkann pendidikan multi etnis taktiknya diarahkan untuk memodifikasi seluruh lingkungan sekolah agar lebih reflektif dari keragaman etnis dalam masyarakat. Jadi pendidikan multikultural sifatnya lebih umum dan lebih diarahkan untuk mengubah lingkungan pendidikan secara keseluruhan sebagai upaya menghormati keragaman budaya yang eksis dalam masyarakat, sedangkan pendidikan multi etnis diarahkan untuk memodifikasi lingkungan sekolah sebagai refleksi dari keberadaan berbagai etnis yang ada dalam masyarakat. Sekalipun demikian, di Indonesia pada umumnya pendidikan multikultural dianggap sudah mewadahi karakter-karakter yang dikembangkan dan dikehendaki dalam pendidikan multi etnis.18 Pendidikan multikultural memposisikan sekolah pada tempat yang penting dan strategis. Sekolah dianggap mampu berfungsi sebagai institusi dasar atau wahana bagi transformasi masyarakat dan mengeliminasi tekanan dan ketidakadilan yang seringkali muncul. Oleh karena itu, pendidikan multikultural menentang keras rasisme dan berbagai bentuk diskriminasi di sekolah dan masyarakat, serta menerima dan memahami kenyataan yang disebut pluralisme (etnis, ras, bahasa, agama, ekonomi, dan gender) yang ada dalam kehidupan peserta didik, guru, dan masyarakat. Oleh karena itu, Nieto mengemukakan bahwa mengingat pentingnya pendidikan multikultural di dalam pembangunan pola komunikasi yang partisipatif dari semua anggota masyarakat, maka hal itu harus tercerminkan di dalam kurikulum dan strategi yang digunakan di sekolah, dalam interaksi antara guru-guru, para siswa dan orang tua,
17 Rochiati Wiriaatmadja, Pendidikan Sejarah di Indonesia: Perspektif Lokal, Nasional, dan Global, Bandung: Historia Utama Press, 2002.
18 James A. Banks, Teaching Strategies For Ethnic Studies (3 rd ed). Massachusetts: Allyn and Bacon, 1984.
Erlina Wiyanati: Pendidikan Multikultural Sebagai Suatu Kebutuhan
dan dimaknai secara jelas dalam konseptualisasi dan aktualisasi proses belajar dan mengajar. Lebih lanjut dikatakan bahwa oleh karena dalam pengembangan pendidikan multikultural digunakan ilmu pendidikan yang kritis, dan dilandasi oleh pemikiran yang sangat mendasar (filsafat) serta fokus pada pengembangan pengetahuan, refleksi, dan aksi (praksis) sebagai dasar dari perubahan sosial, maka pendidikan multikultural diarahkan juga sebagai wahana bagi pengembangan prinsip-prinsip demokrasi dari keadilan sosial.19 Merujuk kepada berbagai pemikiran, esensi tujuan pendidikan multikultural antara lain adalah seperti dikemukakan oleh Nieto sebagai berikut: 1. Membimbing peserta didik mengembangkan konsep diri yang positif, yakni meraih pemahaman yang luas tentang makna dirinya dalam perspektif budaya lain melalui cara memberikan pemahaman tentang sejarah, budaya, dan sumbangannya terhadap keragaman kelompok atau masyarakat. 2. Mempersiapkan para peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam meraih kesetaraan dalam organisasi dan institusi dengan memberikan pemahaman, disposisi, dan keterampilan dalam mendistribusikan kembali kekuasaan dan pendapatan secara proporsional di tengah keragaman kelompok atau masyarakat. 3. Membuka peluang dan kesempatan bagi semua peserta didik untuk mendapatkan kemudahan dalam pendidikan, sekaligus mendorong mereka memiliki sikap kritis dalam memaknai keadilan sosial dan meringankan penderitaan sesama yang diakibatkan oleh dalam masyarakat. 4. Menumbuhkan empati peserta didik terhadap penderitaan atau kesengsaraan yang dialami oleh sesama dari suku dan ras lain yang diakibatkan oleh keunikan, ciri-ciri fisik dan karakter budaya mereka. 19 S. Nieto, Affirming Diversity: The Sociopolitical Context of Multicultural Education, (2nd ed.). New York: Longman, 1996.
43
5. Memberikan tempat yang layak dan utama pada sejarah dan pengalaman hidup peserta didik dalam proses pembelajaran multikultural. 6. Memotivasi peserta didik untuk belajar tuntas dan meningkatkan berbagai keterampilan berpikir yang relevan dalam iklim pembelajaran yang akrab dan kontekstual.20 Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut yang paling dibutuhkan adalah guru-guru yang kompeten dan memiliki kepedulian dan komitmen terhadap hal yang terkait dengan pembelajaran multikultural. Para guru yang dipayungi oleh kebijakan sekolah yang reformis dan didukung orang tua siswa, dituntut untuk kreatif dan inovatif menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, dalam arti lingkungan yang demokratis dan bermakna bagi peserta didik untuk memperoleh pengalaman tentang kebersamaan dalam keberbedaan dengan sukses. Dalam hal tersebut sekolah dituntut untuk memainkan perannya secara lebih nyata dalam pengembangan sikap, perilaku, dan nilai-nilai masyarakat yang demokratis. Jadi, pendidikan multikultural pada dasarnya dapat mempengaruhi perubahan masyarakat. Betapa tidak, dari ungkapan tersebut di atas jelas sekali bahwa untuk mencapai tujuan melibatkan transformasi atau perubahan dalam tiga dimensi, yakni perubahan diri pribadi (the transformation of self), perubahan sekolah dan lingkungan keluarga (the transformation of schools and schooling), dan terakhir perubahan masyarakat (the transformation of society). Pendidikan multikultural mulai berkembang di Amerika Serikat, sekitar dekade tahun 1960an ketika mulai tumbuhnya gerakan kesadaran akan hak-hak kelompok minoritas di dalam apa yang dikenal dengan pendekatan budaya “melting pot“. Sekalipun perdebatan di antara kelompok yang mendukung dan menentang terus berlanjut, namun akhirnya di tengahtengah kontroversi itulah muncul suatu kesepakatan bahwa pendidikan multikultural bisa dikembangkan di sekolah-sekolah terutama dalam bentuk memperkenalkan budaya-budaya yang ada dalam kehidupan para peserta didik sehari-hari, yang mana tujuan pokoknya 20
Ibid.
44
Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 1 Mei 2014
adalah membentuk warga negara yang mampu menyadari adanya keberagaman budaya di dalam masyarakat.21 Sekolah di negara-negara maju telah memperkenalkan sejumlah program dan kegiatan untuk mencapai kemampuan pemahaman yang tinggi terhadap kelompok berbagai etnis dengan keyakinan bahwa pendidikan multikultural membantu mempersiapkan peserta didik untuk hidup dalam masyarakat yang memiliki perbedaan etnis, dan bisa memberi manfaat bagi perkembangan kognitif maupun afektif peserta didik. Pada umumnya pengenalan terhadap kegiatan yang bersifat multikultural dimotivasi oleh sekurang-kurangnya empat hal, yakti: (1) memperbaiki etnosentrisme dalam kurikulum tradisional,22 (2) membangun pengertian atau komunikasi antarras dan antarkelompok budaya, serta penghargaan terhadap perbedaan budaya,23 (3) mengurangi kepekatan tekanan antarkelompok dan konflik, dan (4) membuat kurikulum yang relevan terhadap pengalaman, tradisi budaya, dan kontribusi kesejarahan dari pembentukan bangsa yang memiliki beberagaman budaya.24 Berbagai model pembelajaran multikultural dikembangkan, namun pada dasarnya dari hasil penelitian ditemukan ada tiga pola pokok model pembelajaran. Pertama, model yang berorientasi pada materi (content-oriented program). Kedua, model yang beroreintasi pada peserta didik (student-oriented program). Ketiga, model yang berorientasi pada proses kehidupan masyarakat (socially-oriented program). Content-oriented program (COP) adalah pembelajaran di mana materi pokoknya adalah tentang kebudayaan dari kelompokkelompok yang ada dalam masyarakat di mana para peserta didik tinggal. Tujuannya adalah mengembangkan pengetahuan peserta didik tentang budaya yang ada di sekitar kehidupan mereka. Materi tersebut secara eksplisit dicantumkan sebagai tema atau pokok bahasan dari standar isi kurikulum. Banks menjelaskan lebih detail bahwa model COP pada dasarnya 21 T. Sobol, Understanding Diversity: Educational Leadership, 48 (3), 1990, h. 27-30. 22 James A. Banks, Teaching Strategies For Ethnic Studies, (3rd ed), Massachusetts: Allyn and Bacon, 1984. 23 Fred. E. Jandt, Interculture Communication. London: SAGE Publications, 1998. 24 Gary Partington and Vince Mc Cudden, Etnicity and Education, New South Wales: Social Science Press, 1993.
memiliki beberapa tujuan utama, yakni: (1) mengembangkan materi keragaman budaya melalui kajian keilmuan, (2) mengkaji secara terpadu berbagai pandangan dan perspektif yang berbeda terhadap budaya-budaya yang ada, dan (3) mentransformasikan pemikiranpemikiran yang bernuansa keragaman budaya, sekaligus menjadi landasan bagi lahirnya kurikulum dengan paradigma baru.25 Memahami bahwa pendidikan multikultural merupakan upaya dalam merefleksikan keragaman budaya di dalam kelas, maka studentoriented program (SOP) adalah model yang tepat, jika model COP berusaha mengembangkan “the body of knowledge“ dari perbedaan etnik dan kelompok gender, maka SOP memberikan perhatian utama pada pencapaian kemampuan akademik (the academic achievement) para peserta didik. Karena itu, muara dari model ini adalah tumbuhnya kesadaran peserta didik akan pentingnya menghormati dan bertoleransi di dalam kehidupan masyarakat dengan keragaman budaya. Bahkan Sletter dan Grant lebih menegaskan lagi bahwa beberapa model SOP dirancang memang tidak untuk mentransformasikan materi pembelajaran, melainkan lebih kepada memberikan bimbingan atau tuntunan kepada peserta didik untuk mampu melewati masa transisi dalam mengembangkan sikap positif terhadap perbedaan budaya yang mereka miliki. Misalnya baik mulai dari perbedaan bahasa, tradisi, kesenian, bahkan jika ada perbedaan yang bersifat fisik. Dengan model tersebut peserta didik akhirnya diajak untuk merasakan bahwa mereka memiliki latar belakang budaya yang berbeda, akan tetapi merekapun merasakan manfaat dari perbedaan tersebut di dalam memperkaya kehidupannya.26 Sedangkan model ketiga, socially-oriented program (ScOP) merupakan program yang bertujuan tidak hanya mengubah kurikulum dalam arti membangun pengetahuan baru, maupun pencapaian kemampuan akademik peserta didik saja, melainkan lebih kepada menciptakan iklim budaya dan kebijakan sekolah yang mendukung penyadaran dan peraihan nilai25 James A. Banks, Teaching Strategies For Ethnic Studies (3rd ed). Massachusetts: Allyn and Bacon, 1984. 26 C. E. Sleeter & C. A. Grant, Making Choice For Multicultural Education: Five Approaches To Race, Class and Gender (2nd ed), New York: Merril, 1993.
Erlina Wiyanati: Pendidikan Multikultural Sebagai Suatu Kebutuhan
nilai dari kehidupan bersama di sekolah yang multikultural. Program tersebut dikembangkan baik pada tatanan pembelajaran di dalam kelas hingga kepada kehidupan sosial di sekolah, yang melibatkan seluruh unsur dalam sekolah yang bersangkutan. Karena itu, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh para peserta didik, tetapi seluruh pihak yang terkait dengan lingkungan di dalam sekolah.Tujuan utama model ScOP adalah tumbuh dan berkembangnya toleransi antarbudaya dan mengurangi bias-bias negatif dari kehidupan multibudaya. Merujuk pada pemikiran Banks, model ScOP tidak hanya dirancang untuk merestruktur dan merubah kurikulum sekolah, melainkan juga dirancang untuk meningkatkan aspek-aspek berikut: (1) berbagai hubungan antarsuku, etnis, dan bahasa di sekolah, (2) mendorong keberanian para guru yang berasal dari kaum minoritas, tidak lagi merasa tertekan, (3) program anti bias, dan (4) program belajar bekerjasama. Sleeter dan Grant dalam pengamatannya menemukan bahwa model ScOP memiliki karakter yang lebih kuat dan holistik di dalam kerangka “human relations“. Lebih lanjut dikatakan bahwa jika model ScOP dipadukan dengan COP dan SOP dengan tepat, maka etnisitas dan keragaman budaya dalam revisi kurikulum sekolah, akan memberikan peranan sosial yang positif, juga sekaligus melakukan penelitian tentang gaya belajar peserta didik dalam meraih kemampuan akademiknya, serta dapat mengurangi tekanan rasialisme dan atau kesukuan di dalam kelas.27 Potensi lain yang dimiliki oleh model ScOP, jika diperluas spektrumnya melalui berbagai pendekatan pembelajaran, serta dilengkapi juga kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial, adalah bisa dikembangkan sebagai wahana pengembangan berbagai keterampilan. Melalui pendekatan keterampilan berpikir kritis, maka peserta didik bisa: (1) mengkritisi hal-hal yang berkaitan dengan rasisme, kesukuan dan berbagai aspek budaya represif dalam masyarakat, (2) beberapa menekankan pada pendekatan multibahasa, sedang yang lainnya berusaha mengkaji isu-isu dari sejumlah pandangan yang berbeda, dan dari itu dibangun keinsyafan keberadaan budaya predominan, serta (3) menggunakan pendekatan terpadu di mana keterampilan belajar bekerja 27
Ibid.
45
sama (cooperative learning) dan keterampilan mengambil keputusan (decicion-making skill) yang diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang aktif secara sosial. D. Pendidikan Multikultural dalam Pengembangan Pendidikan di Propinsi Kalimantan Tengah Hasil berbagai penelitian tentang latar belakang dan dampak dari konflik antaretnis di Kalimantan Tengah sudah banyak dilakukan, bahkan beberapa dipublikasikan, baik dalam bentuk karya tunggal maupun bagian dari bunga rampai. Penafsiran terhadap fakta-fakta tentang peristiwa tersebut pada umumnya sepakat bahwa teridentifikasi bahwa penyebab dari peristiwa bukanlah bersifat tunggal melainkan kompleks, yang melibatakan aspek sosial-budaya, sosial-ekonomi, dan sosialpolitik. Misalnya Thung Ju Lan (dalam Fortuna dkk.) lebih cenderung menyetujui temuan bahwa penyebab dari konflik di Kalimantan Tengah dilatarbelakangi oleh perbedaan budaya dan iri hati di bidang ekonomi antara orang Dayak dan Madura. Pernyataan tersebut dipertegas oleh Klinken dalam buku yang sama, bahwa perbedaan budaya diwujudkan slogan pinjaman dari orang Melayu yakni ”di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” yang dipahami dari perspektif militansi, sehingga mengandung pengertian bahwa Dayak adalah tuan di tanahnya sendiri dan bahwa pihak-pihak lain, Madura dalam hal ini, harus mengakui itu dengan asimilasi budaya.28 Hanya Klinken menambahkan adanya temuan bahwa dalam konflik tersebut terkandung apa yang disebut dengan bangkitnya amarah ”primitif ” di dalam dada orang Dayak yang dipancing oleh kesombongan orang luar, padahal orang Dayak sendiri sebenarnya cinta damai. Dalam hal ini Kivimaki memiliki pandangan yang tidak persis sama. Dia mengemukakan bahwa konflik tersebut lebih disebabkan oleh lemah dan tidak kondusifnya hubungan pemerintah daerah dan pusat. Rasa takut dan frustasi dari orang Dayak terhadap peranan orang Madura sebagai utusan negara yang lemah dari pelaksanaan praktik28 Dewi Fortuna Anwar, dkk, Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik , dan Kebijakan di Asia Pasifik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
46
Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 1 Mei 2014
praktik pemerintah pusat dalam klasifikasi, pengelolaan, sertifikasi, dan pemilikan tanah, muncul bersamaan dengan semakin menguatnya keyakinan bahwa orang Dayak sebagai ”putra daerah” berhak memegang kendali ekonomi dan politik. Dua kondisi tersebut memuncak dan meletus menjadi pertikaian berdarah yang berbau konflik etnis. Di tengah berbagai temuan yang berbeda tersebut, sebenarnya ada satu kesepakatan, sekalipun masih kabur, yakni peristiwa tersebut lebih dikategorikan sebagai pertikaian antaretnis dan bukan agama seperti yang terjadi di Ambon dan Poso, atau menurut istilah Fortuna dkk. merupakan konflik kekerasan internal berbasis kesukuan atau etnisitas.29 Apapun hasil penelitian yang ditemukan, konflik berdarah itu memakan korban manusia dari kedua belah fihak. Peristiwa tragis tersebut, kita sepakat, jangan terulang lagi di masa depan. Kita harus belajar, kita harus lebih arif dan bijaksana untuk menjaga agar tragedi tersebut tidak terulang di tanah Kalimantan Tengah maupun di tanah-tanah di seantero persada Nusantara ini. Kita harus mencari solusi mendasar. Pendidikan adalah salah satu wahana strategis untuk menumbuhkan kesadaran multietnis, multikultural, dan menerimanya sebagai suatu kekayaan bangsa, bukan sebagai sumber konflik. Hakikat multikultural di Kalimantan Tengah adalah keragaman budaya yang diperkaya oleh primordial etnis-etnis yang ada dalam masyarakat. Karena karakter yang demikian itu, maka multikultural harus diartikan juga sebagai proses pengurangan atau pengenceran eksklusivisme dan fanatisme etnis yang sempit, tanpa menghilangkan upaya penguatan identitas “primordial” dari masing-masing suku, dan perbedaan yang muncul dari penguatan itu dipandang sebagai sumber kekayaan dalam membangun komunikasi antarbudaya. Multikulturalime juga harus dimaknai sebagai upaya menghindari eksklusifisme dan fanatisme etnis yang sempit yang akan menyulut konflik yang secara potensial akan merusak persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Oleh karenanya, pendidikan multikultural di Kalimantan Tengah harus dilandasi oleh Pancasila sebagai falsafah 29
Ibid.
dan pandangan hidup bangsa, yang sekaligus sebagai pemersatu bangsa dalam kerangka NKRI. Memahami berbagai pemikiran tentang pendidikan multikultural pada bagian sebelumnya, maka yang tepat untuk dikembangkan pada pendidikan di Kalimantan Tengah adalah pola pendidikan multikultural yang syarat dengan pertimbanganpertimbangan multietnis. Artinya, pendidikan multikultural di Kalimantan Tengah dikembangkan dalam bentuk upaya-upaya yang dilandasi oleh pertimbangan etnisitas yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian tujuan pendidikan multikultural di Kalimantan Tengah diarahkan untuk: (1) membuka isolasi keterasingan antaretnis dalam masyarakat, (2) meningkatkan toleransi, penghargaan, dan penghormatan atas perbedaan karakter masing-masing etnis yang ada, (3) membangun komunikasi antarbudaya yang dilandasi oleh pengakuan yang jelas terhadap nilainilai Budaya Betang, di mana Budaya Betang bukan pada posisi sebagai etnis dominan, melainkan sebagai perekat benang merah dalam hubungan antaretnis di Kalimantan Tengah, (4) meningkatkan upaya untuk mengurangi prasangka dan diskrimansi yang dilatarbelakangi oleh etnisitas, serta (5) menumbuhkan empati terhadap penderitaan yang diakibatkan oleh prasangka dan diskriminasi karena perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing etnis.30 Pendidikan multikultural sekarang ini sangat memungkinkan untuk berkembang terutama dengan berlakunya Undang-undang Otonomi Daerah. Hakikat dari otonomi daerah dilihat dari pembangunan sektor pendidikan berarti sangat banyak, karena dengan otonomi diharapkan penerapan kebijakan pembangunan pendidikan akan sesuai dengan karakteristik kebutuhan pendidikan di Kalimantan Tengah. Jika selama ini yang disebut muatan lokal hanya diberi porsi yang kurang memadai, maka muatan lokal sekarang ini justru yang harus memberikan ciri khas kebijakan pembangunan pendidikan di Kalimantan Tengah. Muatan lokal tidak lagi diartikan sebagai adanya muatan kebudayaan daerah, seperti kesenian, adat istiadat dan 30 Unel Sipet, Langkah-Langkah Persuasif Penyelesaian Pertikaian Antar Di Kalimantan Tengah. Makalah yang disajikan pada Kongres Besar Masyrakat Dayak, Palangkaraya, 2001.
Erlina Wiyanati: Pendidikan Multikultural Sebagai Suatu Kebutuhan
bahasa dan lain-lain belaka, tetapi juga harus memuat pembelajaran yang berperspektif multikultural. Artinya, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang: (1) tidak identik dengan adanya mata pelajaran tentang multikultural secara terpisah, (2) melainkan terintegrasi dalam berbagai mata pelajaran, tetapi dirumuskan secara eksplisit dalam rumusan-rumusan tujuan pembelajaran di kelas, (3) dukungan moral yang nyata dari guru yang memilki kualifikasi dan komitmen terhadap multikulturalisme, (4) dukungan dari para orang tua siswa, dan (5) semua itu harus dalam kerangka bentuk dukungan sekolah secara menyeluruh dalam menciptakan lingkungan sekolah sebagai wahana yang kondusif bagi para peserta didikuntuk memahami, menyadari, meyakini, serta mengalami apa yang disebut multikulturalisme dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kerja sama guru, orang tua dan sekolah, seperti yang diungkapkan oleh Fred E. Jandt menjadi syarat utama bagi pengembangan pendidikan berbasis komunikasi antarbudaya. Singkatnya, pengembangan pendidikan multikultural di Kalimantan Tengah harus dimaknai sebagai proses transformasi masyarakat ke arah pembangunan mental multikulturalisme.31 Pertikaian antaretnis di Kalimatan Tengah beberapa tahun lalu merupakan salah satu sejarah kelam bangsa Indonesia. Betapa tidak, sesama anak bangsa saling membunuh karena alasan sosial, ekonomi, dan yang paling menonjol bernuansa kesukuan. Peristiwa tersebut lebih menegaskan bahwasanya, hingga sekarang ini, masyarakat Kalimantan Tengah adalah masyarakat yang heterogen-multikultur. Secara sederhana ada orang Dayak sebagai penduduk asli dan penduduk pendatang, antara lain orang Banjar, Madura, Jawa, Sunda, Makasar, dan suku-suku bangsa lainnya. Tetapi tampaknya menyitir pemikiran Abdullah, peristiwa tersebut bisa jadi salah satu penyebabnya adalah merupakan pantulan yang keras dari masyarakat majemuk yang berada dalam “kesunyian” tanpa perlindungan sistem kepemimpinan lokal dan masyarakat madani yang sehat dan fungsional. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara penulis dengan penduduk selang beberapa saat setelah 31 Fred. E. Jandt, Interculture Communication. Publications, 1998.
London: SAGE
47
peristiwa tersebut mereda –kebetulan penulis menjadi tim yang diundang oleh pemerintah daerah untuk mengkaji peristiwa tersebut— bahwa penyebab utama dari peristiwa tersebut adalah menguatnya premanisme di dalam persaingan ekonomi antara penduduk asli dan pendatang.32 Kenyataan tersebut diperkuat oleh pendapat Suparlan dan Piliang bahwa konflik yang dilatarbelakangi pluralisme etnis bisa meletus, terutama di kawasan yang premanismenya begitu kuat sebagai basis ekonomi kelompok.33 Kita semua berharap agar konflik etnis seperti itu tidak akan terulang dan menjadi awan kelam bagi masa depan masyarakat Kalimantan Tengah pada khususnya dan bangsa Indonesia umumnya. Peristiwa tersebut mudah-mudahan menjadi pelajaran berharga bagi seluruh bangsa Indonesia. Untuk menghindari terulangnya tragedi kemanusiaan tersebut. Oleh karena itu, harus dilakukan berbagai upaya secara sadar, terencana, berkesinambungan, konstruktif, dan dapat dipertanggungjawabkan. Pendidikan sebagai usaha sadar dalam membimbing dan mempersiapkan generasi muda untuk menjadi waga masyarakat yang baik di masa depan, merupakan institusi masyarakat yang paling strategis dalam pengembangan kesadaran akan pentingnya hidup damai dan berdampingan dalam keragaman budaya. Pendidikan multikultural adalah alternatif terdepan dalam upaya membangun kesadaran persatuan dalam keragaman budaya. Berdasarkan kajian terhadap pemikiranpemikiran tersebut, juga berdasarkan gambaran Sipet dan Wiyanarti tentang perkembangan pendidikan di Kalimantan Tengah pasca kerusuhan etnis, maka salah satu muatan lokal di Kalimantan Tengah, seyogyanya adalah pendidikan multikultural yang diberi tempat yang utama di dalam persekolahan, mulai dari tingkat TK, SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi. Model yang tepat, dengan mempertimbangkan situasi dan karakter di lapangan adalah perpaduan yang berorientasi pada kehidupan sosial masyarakat dan tingkat 32 H. M. Amin. Abdullah, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: Mahammadyah University Press, 2003. 33 Parsudi Suparlan, “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikutural”, Jurnal Antropogi Indonesia, tahun XXVI, No.69, UI dan Yayasan Obor Indonesia, 2002.
48
Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 1 Mei 2014
perkembangan peserta didik (perpaduan antara Student Oriented Program dengan Socially Oriented Program) tanpa mengabaikan pendekatan Content Oriented Program.34 Langkah-langkah pokok dalam pengembangan pendidikan multikultural di Kalimantan Tengah adalah sebagai berikut: 1. Memasukan materi pelajaran atau pokok bahasan yang berkaitan dengan pengenalan berbagai budaya yang hidup di masyarakat. Langkah ini tidak juga berarti perlu adanya mata ajar yang baru, tetapi secara jelas bisa terintegrasi atau terpadu dengan mata ajar yang lain, dan yang paling tepat adalah melalui pelajaran budi pekerti untuk tingkat Taman Kanak-Kanak, pelajaran IPS untuk tingkat pendidikan dasar (SDSMP), mata pelajaran ilmu-ilmu sosial untuk tingkat sekolah menengah (SMA/ SMK), dan untuk tingkat perguruan tinggi lebih tepat dalam mata kuliah Pendidikan Multikultural. Penempatan materi pendidikan multikultural secara eksplisit dalam kurikulum akan mempertegas pentingnya hal tersebut untuk menjadi kepedulian bersama pihak-pihak yang terkait, baik di tingkat pengambil kebijakan pendidikan, hingga para guru di sekolah-sekolah. 2. Mempertimbangkan pengalaman masa lalu dan karakter sebagian besar penduduk Kalimantan Tengah yang adalah orang Dayak, maka “Budaya Betang“ sebagai kearifan lokal mendapat perhatian yang khusus, di samping budaya-budaya lainnya secara adil. Strategi model tersebut tentu saja harus dikembangkan secara terpadu dengan mempertimbangkan tingkat perkembangan kemampuan peserta didik. Model tersebut dikembangkan dengan tujuan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk meraih kemampuan akademik yang memadai, baik tingkat pemahaman maupun peraihan pengalaman belajar tentang 34 Unel Sipet, Langkah-Langkah Persuasif Penyelesaian Pertikaian Antar Suku di Kalimantan Tengah. Makalah yang disajikan pada Kongres Besar Masyrakat Dayak, Palangkaraya, 2001.
keragaman budaya.35 3. Menyediakan sarana, media, dan sumber pembelajaran yang memadai bagi proses pengembangan pemahaman multikulturalisme, baik berupa bukubuku yang relevan, dokumen, gambar, foto, kurikulum, rencana pengajaran, guru-guru yang memiliki perspektif positif terhadap multikultural, dan terakhir adalah berupa setting iklim pembelajaran yang kondusif. 4. Mengembangan aspek empati peserta didik, tidak hanya memberi kesempatan mereka untuk menambah pengetahuan, tetapi sekaligus mampu merasakan menjadi teman yang berasal dari budaya yang berbeda. Karena itu, diharapkan pengalaman tersebut terinternalisasi dalam sikap dan perilaku seharihari mereka. Misalnya bagaimana pengalaman mereka mengenakan baju adat dari suku lain, mencicipi makanan tradisional suku lain, mencoba mengenal dan menggunakan bahasa suku lain, menyanyikan lagulagu daerah dari suku lain, bahkan ikut serta dalam upacara adat suku lain yang diselenggarakan oleh sekolah, secara bergantian. Di samping itu, merekapun diajak mengkritisi bersama, dengan bimbingan para guru, kerugian-kerugian yang akan dirasakan jika mereka memiliki sikap tidak menghargai budaya temannya yang berbeda. Jika perlu tunjukan pengalaman yang merugikan jika mereka tidak menghormati budaya lain di dalam membangun kehidupan bersama di Kalimantan Tengah. 5. Menciptakan kultur sekolah yang berorientasi multikultural. Jika perlu guru di kelas merancang hari-hari khusus untuk memperkenalkan budaya seperti “Hari Dayak“, “Hari Jawa“, “Hari Sunda“,“Hari Madura“, “Hari Makasar“, “Hari Papua“, dan lainlain untuk tingkat TK dan SD. Model perayaan hari khusus itupun bisa 35 Usop. Budaya Betang: Nilai – Nilai Lokal Masyarakat Dayak . Makalah Kongres Besar Masyarakat Dayak. Palangkaraya, 2001.
Erlina Wiyanati: Pendidikan Multikultural Sebagai Suatu Kebutuhan
dikembangkan pada tingkat SMP dan SMA dengan desain yang berbeda sesuai dengan kematangan mental mereka. Pada tingkat tersebut bisa ditambahkan dengan kegiatan berdiskusi di kelas tentang tema-tema yang berkaitan dengan pentingnya sikap toleransi dalam membangun kebersamaan, sekaligus menunjukan dengan perilaku yang nyata. Keakraban terhadap budaya suku-suku bangsa yang berbeda yang ada dalam kehidupan mereka seharihari, menurut Mc. Whiter, Paluch, dan Ohm, akan membantu peserta didik memiliki kesadaran bahwa ras, suku bangsa, agama, jender, usia, serta perbedaan fisik lainnya atau tampilantampilan entitas sosial, tidak cukup menjadi dasar untuk tumbuhnya sikap buruk sangka (prejudice) dan diskriminatif. Persahabatan bisa 36 menembus perbedaan semua itu. 6. Sekolah merancang suatu aktivitas sosial yang melibatkan sebanyak mungkin peserta didik, para guru, penjaga sekolah, para orang tua peserta didik, bahkan jika perlu melibatkan lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan multikultural. Misalnya, mengadakan pameran, di mana dibentuk kelompok yang mendapat tugas untuk menyajikan visualisasi dan segala hal yang berkaitan dengan budaya salah satu suku bangsa yang ada di Kalimantan Tengah dewasa ini. Penunjukan sebaiknya melalui kesepakatan, jika dirasa sulit maka melalui undian atau cara-cara yang lainnya. Pameran bisa berupa “Pekan Kreatif ” di sekolah, misalnya memainkan drama yang bernuansa multikultural atau aktivitasaktivitas lainnya yang relevan. Bahkan mengamati perkembangan terakhir di Kalimantan Tengah, di mana mulai tumbuh komunitas yang berasal dari berbagai negara, maka mereka bisa juga 36 J.J. Mc Whiter, R. Paluchch, & R.M. Ohm, Anytown: A Human Relationship Experience. The Journal For Specialist In Group Work, 13,1988), Hal. 117-123.
49
dilibatkan dalam pekan kreatif dengan bekerja sama untuk menampilkan budaya dari negara luar sehingga nuansanya tidak terbatas pada budaya yang ada di Indonesia, tetapi juga dari manca negara. Karena itu, melalui kegiatan-kegiatan tersebut peserta didik tidak hanya memperkaya pengetahuan dan pemahamanan tentang budaya suku bangsa tertentu tetapi juga negara lain, sehingga sekaligus juga merasakan kehadiran budaya tersebut di dalam perasaannya. Dampak ikutan dari aktivitas tersebut, peserta didik memiliki pengalaman mengkritisi hal-hal esensial dari apa yang mereka kerjakan, merasakan manfaat bekerja sama, dan merasakan pentingnya keterampilan membuat keputusan yang tepat demi kebersamaan mencapai tujuan. 7. Sementara untuk tingkat perguruan tinggi, peranan universitas atau fakultas sangat diharapkan, misalnya dalam menyelenggarakan kajiankajian empiris dan teoritis tentang multikultural. Jika perlu, merujuk kepada model Mc. Lemore dan S. Dale, dikembangkan program workshop atau pelatihan. Salah satu model yang dianjurkan, adalah “The Anonymous Model“. Fokus dari model tersebut adalah untuk mengetahui ekspresi kelompok secara rahasia terhadap kelompok lainnya, baik yang bersifat negatif maupun positif dengan disertai alasan.37 E. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan tersebut diperoleh beberapa kesimpulan. Pertama, multikulturalisme adalah pengertian yang tidak hanya merujuk pada kenyataan sosial-antropologis yakni adanya pluralitas kelompok etnis, bahasa, dan agama, tetapi juga mengasumsikan sebuah sikap demokratis dan egaliter untuk bisa menerima keragaman budaya. Paradoksnya, realita atas nama modernisasi dan pembangunan seringkali 37 S. Dale. McLemore, Racial and Ethnic Relations in America, Boston: Allyn and Bacon, Inc, 1980.
50
Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 1 Mei 2014
justru melahirkan penindasan atas hak- hak kultural dari sebagian warga suku bangsa. Dalam kondisi itulah pendidikan multikultural adalah sebuah keharusan. Kedua, pendidikan multikultural akan tepat dan optimal jika dikembangkan di dalam masyarakat multibudaya. Pendidikan multikultural dalam berbagai model pengembangan memiliki manfaat terutama bagi penumbuhan kesadaran dan keinsyafan akan pentingnya saling menghormati dan toleransi antarbudaya dalam kehidupan bermasyarakat, serta memberi peluang bagi tumbuhnya keterampilan berpikir kritis, bekerja sama, dan keterampilan mengambil keputusan, melalui upaya-upaya konstruktif, akademis, dan psikologis di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal maupun di perguruan tingggi. Ketiga, propinsi Kalimantan Tengah dengan pengalaman sejarah dan realita masyarakatnya, di masa depan berpotensi bagi munculnya kembali pertikaian antaretnis, dan oleh karenanya perlu dikembangkan upaya-upaya yang sistematis, logis, dan paedagogis untuk mengembangkan pendidikan penyadaran multikulturalisme. Langkah teresbut seyogyanya dilaksanakan dengan memberikan tempat yang layak dalam kurikulum dan lingkungan sekolah bagi pendidikan multikulural yang sarat dengan perspektif multietnis. Untuk mencapai tujuan utama dari pendidikan multikultural tersebut diperlukan transformasi dan kerja sama antara guru, orang tua, sekolah, masyarakat dan jika perlu melibatkan lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap pendidikan multikultural di Kalimantan Tengah. Daftar Pustaka Abdullah, H.M. Amin. Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: Mahammadyah University Press. 2003. Banks, James A . Teaching Strategies For Ethnic Studies (3rd ed). Massachusetts: Allyn and Bacon. 1984. ----------------. An Introduction to Multicultural Education. Boston: Allyn and Bacon. 1994. Blum, A. Lawrence. Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar Ras, Tiga Nilai yang Bersifat Mendidk Bagi Sebuah Masyarakat
Multikultural, dalam Larry May, dan Shari Colins-Chobanian, Etika Terapan: Sebuah Pendekatan Multikultura, Terjemahan: Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2001. Fortuna, Dewi .Anwar dkk. Konflik Kekerasan Internal : Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan Di Asia Pasifik . Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 2005. Hayles, N.Katherine (editor). Chaos and Order: Complex Dynamic in Leterarure and Science. Chicago: The University of Chicago Press. 1991. Hidayat, Komarudin. Merawat Keragaman Budaya. Dalam Pendidikan Manusia Indonesia. Editor Tonny D Widiastono. Jakarta: Yayasan Toyota Astra. 2004. Jandt, Fred. E. Interculture Communication. London: SAGE Publications. 1998. Kammeyer, Kenneth.C.W. Goerge Ritzer and Norman R. Yetman. Sociology: Experiencing a Changing Society. USA:Allyn and Bacon. 1992. Koentjaraningrat. (1986). “Peranan Local Genius dalam Akulturasi’, dalam Ayatrohaedi Ed., Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya. Kymlicka, Will. Kewargaan Multikultural, Terjemahan Edlina Hafmini Eddin, Jakarta: LP3ES. 2002. McLemore, S. Dale. Racial and Ethnic Relations in America, Boston: Allyn and Bacon, Inc. 1980. Mc Whiter, J.J., Paluchch,R., & Ohm,R.M. Anytown: A human Relationship Experience . The Journal For Specialist In Group Work,13. 1988. Mulkhan, Abdul Munir. Kesalehan Multikultural.J akarta: PSAP. 2005. Nieto, S. Affirming diversity: The sociopolitical context of multicultural education (2nd ed.). New York: Longman. 1996. Partington , Gary and Vince Mc Cudden. Etnicity and Education. New South Wales: Social Science Press. 1993. Sanderson, Stephen K. Sosiologi Makro. Penerjemah F.Wajidi Dan S Menno. Jakarta: Rajawali Pers. 1993. Saunders, M. (1982). Multicultural Teaching: Aguide for the classroom, London: McGraw-
Erlina Wiyanati: Pendidikan Multikultural Sebagai Suatu Kebutuhan
Hill Company. Sipet, Unel. Langkah-Langkah Persuasif Penyelesaian Pertikaian Antar Di Kalimantan Tengah. Makalah yang disajikan pada Kongres Besar Masyrakat Dayak. Palangkaraya. 2001. Sleeter, C.E, & Grant, C. A. Making Choice For Multicultural Education: Five Approaches To Race , Class and Gender (2nd ed). New York: Merril. 1993. Sobol, T. Understanding Diversity. Edicational Leadership. 48(3). 1990. Soedjatmoko. “Sejarah Indonesia dan Zamannya” dalam Soedjatmoko (Ed), Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar, Jakarta: PT Gramedia. 1995. Soelarso Sopater, Bambang Subandrio dan Sutarno. Pembelajaran Memasuki Kesejagatan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1998. Supardan, Dadang. Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendekatan Multikultural dan Perspektif Sejarah Lokal, Nasional, dan Global dalam Integrasi Bangsa, Disertasi Untuk Memperoleh Gelar Doktor di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung Tidak dipublikasikan. 2005. Suparlan, Parsudi. “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, Jurnal
51
Antropogi Indonesia, tahun XXVI, No.69, UI dan Yayasan Obor Indonesia. 2002. Supriadi, Dedi, dan Mulyana, Rochmat, Compiled. Multicultural Education: What Do the Theory and Research Say?, Bandung: Institut of Teaching and Educational Science (IKIP). 1996. Suryadinata, Leo. Kebijakan Negara Indonesia Terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi ke Multikulturalisme?” Jurnal Antropologi Indonesia, Jakarta: UI-Yayasan Obor. 2003b. Thohari, Harijanto Y. “Pluralisme Etnik Sebuah Potensi Konflik” dalam Yayah Kisbiyah Ed. Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2000. Wiriaatmadja, Rochiati. Pendidikan Sejarah di Indonesia: Perspektif Lokal, Nasional, dan Global, Bandung: Historia Utama Press. 2002. Usop. Budaya Betang: Nilai – Nilai Lokal Masyarakat Dayak. Makalah Kongres Besar Masyarakat Dayak. Palangkaraya. 2001. Wiyanarti, Erlina. Pembangunan Pendidikan Kalimantan Tengah Pasca Konflik. Makalah Kongres Besar Masyarakat Dayak. Palangkaraya. 2001.