1
TRADISI MASYARAKAT ISLAM DI KUDUS JAWA TENGAH
M. Syakur
Abstract: This paper will examine the tradition of the Islamic community in Kudus, Central Java. As a small town in Central Java, Holy has a fairly old age, saving a lot of data and historical facts are unique. After unpacking ethnographically, the conclusions as a historical record, either in the form of myth and fact and reality, can be seen to this day. The existence of Sunan Kudus full with traditions such as dandangan, open luwur and so on, mythology Kudus Kulon and Holy Wetan, madrasas and boarding schools in the region is yet another proof of the uniqueness of culture and education in this area. Key Words: Tradition, Culture, Society.
Pendahuluan Kudus merupakan nama yang diambil dari bahasa Arab. Meskipun masyarakat Kudus tidak ke-arab-araban, namun akulturasi menarik dengan menara sebagai simbolnya, mengekspresikan bahwa masyarakat Kudus sebagai masyarakat religius yang mengakomodir budaya lokal. Di samping dikenal sebagai masyarakat religius, masyarakat Kudus dikenal beretos kerja tinggi. Sektor industrinya luar biasa, serta banyak peninggalan-peninggalan sejarah yang tidak ternilai harganya. Di Kabupaten Kudus terdapat tidak kurang dari 7280 perusahaan dan industri besar, sedang, dan kecil. Jumlah itu meliputi industri rumah tangga dan industri non rumah tangga yang dapat diaktegorikan perusahaan. Untuk industri kecil dan rumah tangga terdapat 7147 buah yang tersebar di sembilan kecamatan yang menyerap 32.446 tenaga pekerja. Sedangkan perusahaan besar dan sedang tercatat sebanyak 211 perusahaan yang menyerap 61.859 orang. Mata pencaharian masyarakat Kudus sehari-harinya beragam, meliputi; pertanian, perindustrian, peternakan, perkebunan, perikanan dan sebagainya. Produksi padi sawah yang dihasilkan di Kudus rata-rata 53,36 Kw/Ha. Total semuanya 1.057.410 Kw. Jumlah ini belum termasuk hasil panen padi gogo. Jumlah tenaga kerja perusahaan di wilayah ini total tercatat 78.914 orang. Sebagian besar tenaga kerja perusahaan tersebut adalah karyawan pada perusahaan rokok.1
Dosen FAI Universitas Wahid Hasyim Semarang. Email:
[email protected] Kudus termasuk kategori kota kecil, dengan luas wilayah 425,15 Km2, hanya 22,50 Km dari Barat ke Timur dan 39,00 Km dari Utara ke Selatan. Terdiri dari 9 kecamatan, setiap kecamatan rata-rata terdiri dari 15 desa/kelurahan. Secara geografis, Kabupaten Daerah Tingkat II Kudus terletak di antara 110 36’ dan 110 50’ BT (Bujur Timur) serta 6 51’ dan 7 16’ LS (Lintang Selatan). Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Pati dan Kabupaten Jepara, Bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Pati, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Grobogan dan 1Kabupaten
2 Kabupaten Kudus termasuk kategori kota kecil, dengan luas wilayah 425,15 Km2, hanya 22,50 Km dari Barat ke Timur dan 39,00 Km dari Utara ke Selatan. Terdiri dari 9 kecamatan, setiap kecamatan rata-rata terdiri dari 15 desa/kelurahan. Secara geografis, Kabupaten Daerah Tingkat II Kudus terletak di antara 110 36’ dan 110 50’ BT (Bujur Timur) serta 6 51’ dan 7 16’ LS (Lintang Selatan). Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Pati dan Kabupaten Jepara, Bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Pati, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Demak dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Jepara. Dari pusat ibu kota propinsi Jawa Tengah, Semarang, berjarak 51 Km. Secara geografis letak Kudus yang ada di persimpangan antara jalur Semarang – Pati – Surabaya, maupun Jepara – Pati – Rembang dan sebagainya, menjadikan kota ini sangat strategis, sebagai kota transit atau persinggahan. Ketinggian dari permukaan air laut rata-rata 55 M. Dari segi iklim termasuk iklim tropik dengan temperatur sedang. Sedang curah hujan relatif rendah, rata-rata di bawah 3000 mm/tahun dan berhari hujan rata-rata 150 hari/tahun. Suhu udara maksimum ada pada bulan September 29,4’ Celsius dengan suhu terendah pada bulan Juli 17,6’ Celsius.2 Menurut data statistik Kabupaten Kudus, mayoritas beragama Islam tercatat sebanyak 646.722 orang, kemudian disusul Prostestan, Katholik, Hindu dan Budha, masing-masing, 9.681 orang, 6.769 orang, 498 orang dan 2.515 orang. Keberadaan Kota Kudus yang unik ini sangat menarik untuk diteliti, terutama dari sisi historis, sosial, budaya dan kehidupan keagamaannya. Tulisan ini mencoba untuk mengetengahkan Kota Kudus dalam tinjauan historis yang penuh dengan makna sejarah, kehidupan sosial, dan keagamaan serta hubungan antara Kyai, pesantren dan madrasah. Metode Penelitian Kajian ini adalah penelitian kualitatif sehingga tidak bertujuan untuk menggali dan mengenali angka-angka. Dalam pelaksanaannya, kajian kepustakaan tidak bisa dihindari karena kajian ini menitik-beratkan kepada penggalian data-data kesejarahan, baik yang sudah termaktub dalam buku, laporan penelitian, jurnal ilmiah, maupun data-data yang tersebar di dunia maya atau internet. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian atau kajian ini adalah pendekatan kesejarahan karena adanya rentang waktu yang sangat panjang antara penulis dengan data-data yang diteliti. Adapun langkah-langkah yang dilakukan, adalah sebagaimana umumnya: Pertama, heuristik, yaitu menghimpun jejak-jejak masa lampau. Pada tahapan ini. Akan mencari dan mengumpulkan sumber yang berhubungan dengan topik yang Kabupaten Demak dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Jepara. Dari pusat ibu kota propinsi Jawa Tengah, Semarang, berjarak 51 Km. Secara geografis letak Kudus yang ada di persimpangan antara jalur Semarang – Pati – Surabaya, maupun Jepara – Pati – Rembang dan sebagainya, menjadikan kota ini sangat strategis, sebagai kota transit atau persinggahan. Ketinggian dari permukaan air laut rata-rata 55 M. Dari segi iklim termasuk iklim tropik dengan temperatur sedang. Sedang curah hujan relatif rendah, rata-rata di bawah 3000 mm/tahun dan berhari hujan ratarata 150 hari/tahun. Suhu udara maksimum ada pada bulan September 29,4’ Celsius dengan suhu terendah pada bulan Juli 17,6’ Celsius. Sumber : Data Statistik Kabupaten Kudus tahun 2004. 2Data Statistik Kabupaten Kudus tahun 2004.
3 akan dibahas. Mengumpulkan sumber yang diperlukan dalam penulisan ini merupakan pekerjaan pokok yang dapat dikatakan gampang-gampang susah, sehingga diperlukan kesabaran dari penulis. Kedua, kritik (sejarah), yaitu menyelidiki apakah jejak itu benar atau tidak. Pada tahap ini, sumber yang telah dikumpulkan pada kegiatan heuristik yang berupa; bukubuku yang relevan dengan pembahasan yan terkait, maupun hasil temuan dilapangan tentang bukti-bukti dilapangan tentang pembahasan. Setelah bukti itu atau data itu ditemukan maka dilakukan penyaringan atau penyeleksian dengan mengacu pada prosedur yang ada, yakni sumber yang faktual dan orisinalnya terjamin. Tahapan kritik ini tentu saja memiliki tujuan tertentu dalam pelaksanaannya. Salah satu tujuan yang dapat diperoleh dalam tahapan kritik ini adalah otentitas (authenticity). Ketiga, interpretasi, yaitu menetapkan makna dan saling berhubungan dari fakta yang diperoleh oleh sejarah. Setelah melalui tahapan kritik sumber, kemudian dilakukan interpretasi atau penafsiran terhadap fakta sejarah yang diperoleh dari arsip, buku-buku yang relevan dengan pembahasan, maupun hasil penelitian langsung dilapangan. Tahapan ini menuntut kehati-hatian dan integritas penulis untuk menghindari interpretasi yang subjektif terhadap fakta yang satu dengan fakta yang lainnya, agar ditemukan kesimpulan atau gambaran sejarah yang ilmiah. Keempat, penyajian atau historiografi, yaitu menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam bentuk sebuah kisah. Historiografi atau penulisan sejarah merupakan tahapan akhir dariseluruh rangkaian dari metode historis. Tahapan heuristik, kritik sumber,serta interpretasi, kemudian dielaborasi sehingga menghasilkan sebuah historiografi.3 Kudus dalam Sejarah Secara sosiologis Kudus merupakan daerah yang terdiri atas berbagai elemen masyarakat yang saling berkait. Di dalamnya terdapat banyak komunitas Islam yang masing-masing memiliki adat dan tradisi yang berbeda sebagai karakteristik kebudayaan. Masyarakat Kudus berperilaku sosial dengan berlandaskan pada ajaran agama (great tradition) dan tradisi lokal (minor tradition). Mereka berinteraksi sosial dalam beraneka ragam cara, baik melalui bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, maupun agama. Hampir di seluruh aspek kehidupan masyarakat Kudus menampilkan diri dengan simbol-simbol keagamaan. Dalam aspek ekonomi masyarakat Kudus dikenal sebagai komunitas Muslim yang memiliki etos kerja yang tinggi. Berbagai bentuk usaha dan pekerjaan diciptakan sebagai implikasi dan manisfestasi etos kerja, mulai pekerjaan yang dilakukan secara perorangan di rumah hingga pekerjaan yang dilakukan secara bersama di beberapa pabrik. Jumlah perusahaan dan pabrik yang tersebar di mana-mana merupakan salah satu ciri kehidupan ekonomi masyarakat ini.4 3http://www.katailmu.com/2010/12/metode-penelitian-sejarah.html 4Radjasa Mu’tasim dan Abdul Munir Mulkhan, Bisnis Kaum Sufi, Studi Tarekat dalam Masyarakat Industri (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 57. Simak keterangan Mulkhan tentang suasana masyarakat Kudus berikut ini: “Hampir semua penduduk di Damaran bekerja 8 jam pada siang hari di rumah mereka sendiri. Selain anggota keluarga, terdapat pula pekerja dari luar. Sesekali tampak penduduk atau pekerja itu keluar pergi ke pasar atau warung. Penduduk Damaran seolah memiliki semboyan “rumahku adalah tempat kerjaku”. Suasana tersebut akan segera berubah total ketika malam tiba, terutama antara waktu maghrib dan isya’. Pada saat seperti inilah semua warga Damaran mengaji.
4 Dalam aspek politik masysrakat Kudus hingga kini masih mempersepsikan politik sebagai media da’wah dan syi’ar Islam, hingga para pemimpin dan calon pemimpin selalu mengidentifikasi diri dengan simbol-simbol agama. ‘Ulama dan umara` sulit dipisahkan dalam kehidupan berpolitik di Kudus, tidak sedikit jumlah politikus yang beridentitas kyai (minimal sebagai ustadz, atau seorang haji), bahkan tidak jarang majlis ta’lim dan forum pengajian yang diselenggarakan oleh dan di kantor-kantor pemerintahan, dan –tidak tertutup kemungkinan-- dijadikan sebagai ajang promosi menjelang suksesi, meskipun juga tidak sedikit yang tidak setuju terhadap sikap seorang kyai terjun dalam kancah politik praktis dan memangku jabatan struktural pada lembaga pemerintah hingga jauh dari aktivitas belajar mengajar di pesantrennya.5 Pada aspek sosial dan budaya kehidupan masyarakat Kudus tidak sepi dari adat dan tradisi kebudayaan yang semuanya bernilai sosio-religious tinggi dan berfungsi sebagai upaya memperkuat keimanan. Ormas seperti NU, Muhammadiyyah, dan berbagai komunitas thariqah telah mengidentitaskan kehidupan sosial keagamaan di Kudus. Dan dalam upaya pelestarian interaksi sosial antara masyarakat dan adat dan tradisi kebudayaan masyarakat Kudus membuka lembaga pendidikan, baik formal maupun informal, yang berupa pesantren dan madrasah. Suasana maraknya kegiatan di dua lembaga pendidikan ini menunjukkan komunitas Pendidikan Islam di Kudus. 1. Sunan Kudus (Nama Kota dan Sapi) Menurut catatan sejarah, pendiri kota ini adalah Sunan Kudus bersama dengan sesepuh Kota Kudus waktu itu, yakni Kyai Telingsing, seorang Cina Muslim yang semula merintis berdirinya kota ini kemudian mempercayakan kelestarian usahanya kepada tokoh muda Ja’far Shodiq (nama lain dari Sunan Kudus). Nama Kyai Telingsing kemudian diabadikan menjadi nama jalan di sebelah selatan Menara Kudus. Kedua tokoh inilah yang merupakan arsitek, founding father, pendiri kota Kudus. Nama kota Kudus diciptakan dan diresmikan oleh Sunan Kudus sepulangnya dari ibadah haji. Dalam sebuah batu prasasti bertuliskan kaligrafi Arab yang terletak di atas mihrob masjid Menara Kudus, tertuliskan tahun berdirinya masjid tersebut yakni 956 H. Tahun ini kemudian ditetapkan sebagai hari jadi kota Kudus, yang tepatnya adalah Senin Pahing 1 Ramadlan 956 H, bertepatan dengan 23 September 1549 M. Batu prasasti ini konon merupakan suatu penghargaan yang diperoleh Sunan Kudus dari Gubernur Palestina sewaktu beliau melakukan ibadah haji di tanah suci Makkah. Ketinggian ilmu agama dan karomah yang dimilikinya, telah berhasil membantu menyembuhkan penyakit epindemi yang sedang mewabah di lapisan masyarakat Bait al-Maqdis. Kemudian atas prestasi ini, Gubernur Palestina memberikan hadiah yang berupa batu pualam indah. Dalam inskripsi terdapat kalimat berbahasa Arab yang artinya, ''... Telah mendirikan masjid Aqsa ini di negeri Quds... .'' Sangat jelas bahwa Ja'far Shodiq Mereka yang tidak mengaji, tidak membuat gaduh. Radio, tape dan televisi pada jam-jam tersebut dimatikan. Jika pada saat demikian ada orang yang keluar rumah, apalagi duduk bersantai, akan segera diperingatkan oleh orang tua mereka. Orang menganggap bahwa duduk santai atau keluar rumah tanpa tujuan yang jelas pada jam-jam pengajian itu tabu atau ‘saru’. Suasana ini berbeda dengan suasana pada siang hari, yang terdapat hanya suara mesin jahit.” 5Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Cet. 4; Jakarta: LP3ES, 1994), h. 73.
5 menamakan masjid itu dengan sebutan al-Aqsa, setara dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem. Kota Tajug juga mendapat nama baru, yakni Quds, yang kemudian berubah menjadi Kudus. Pada akhirnya, Kanjeng Ja'far Shodiq sendiri lebih terkenal dengan sebutan Sunan Kudus. Cerita tentang Sunan Kudus sangat popular, khususnya di tanah Jawa seiring dengan kisah Wali Songo dan proses penyebaran Islam di tanah Jawa. Sunan Kudus atau Syekh Ja’far Shodiq menurut Solichin Salam,6 Sunan Kudus adalah putera dari R. Usman Haji yang bergelar Sunan Ngudung di Jipang Panolan (kira-kira di sebelah utara Blora). Usman Haji bin Raja Pendeta bin Ibrahim Asmarakandi (Asmarakandi ini kemungkinan dimaksud adalah dari kota Samarkand, sebuah kota di Republik Uzbekistan). Ibrahim Asmarakandi ibn Maulana Muhammad Jumadalkubra ibn Zaini al-Husain ibn Zaini al-Kubra bin Zainul Aliem ibn Zainul Abidin dan Sayid Husain ibn Ali k.a. (suami Fatimah puteri Rasulullah saw). Sunan Kudus menikah dengan Dewi Rukhul, puteri dari Raden Makdum Ibrahim, Sunan Bonang di Tuban. Raden Makdum Ibrahim, putera Raden Rahmad (Sunan Ampel) putera Maulana Ibrahim Asmarakandi. Dari sislsilah tersebut, maka Sunan Kudus dengan istrinya bertemu pada nasab yang sama, yakni Maulana Ibrahim Asmarakandi. Dari perkawinannya ini membuahkan seorang putera yang bernama Amir Hasan. Riwayat lain mengatakan bahwa dalam perkawinannya dengan puteri dari Pangeran Pecat Tandangterung dari Majapahit, Sunan Kudus dikabarkan memperoleh 8 orang putera, yaitu: Nyi Ageng Pembayun, Panembahan Palembang, Panembahan Mekaos Honggokusumo, Panembahan Kodhi, Panembahan Karimun, Panembahan Joko, Ratu Pakojo, dan Ratu Prodobinabur. Sunan Kudus dalam sejarah tampil sebagai seorang tokoh yang kuat, serta gagah berani. Karena keberaniannya yang luar biasa serta kedudukannya sebagai panglima perang, maka tidaklah keliru apabila dikatakan, bahwa Sunan Kudus itu adalah Senapatinya kerajaan Demak, yang setiap saat sedia berkorban untuk membela keselamatan Negara Demak. Rupanya memang Sunan Kudus berdarah militer pula, hal mana dapat diketahui dari kenyataan sejarah, bahwa Sunan Kudus senantiasa menegakkan disiplin, di samping itupun selalu taat kepada perintah atasan. Ketaatan dan keberaniannyalah yang menyebabkan Sunan Kudus ditakuti dan disegani oleh bawahannya khususnya, dan oleh kawan atau lawan pada umumnya.7 Sebagai bagian dari Walisongo, Sunan Kudus bukan hanya sebagai guru besar agama saja, akan tetapi juga menjadi panglima perang kerajaan/senopati dari Kerajaan Bintoro Demak. Di samping itu, beliau juga memegang kendali pemerintahan di Kudus. Dalam berdakwah/ menyiarkan agama Islam, Sunan Kudus sangat bijaksana, segaimana para Walisongo yang lain. Dalam berdakwah, tidak menyinggung ataupun menyakiti pemeluk agama lain. Sikap toleransi ini sangat dijunjung tinggi, misalnya dalam kasus penyembelihan sapi, orang Kudus enggan menyembelih bahkan makan daging sapi (lembu) yang hingga kini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tradisi masyarakat Kudus, bangunan masjid Menara Kudus menyerupai bangunan Hindu-Budha, dan sebagainya. Contoh perilaku tersebut 6Solichin
Salam, Ja’far Shadiq Sunan Kudus (Kudus: Menara Kudus, 1986), h. 12-13.
7http://waliyullahtanahjawi.blogspot.co.id/2010/05/sunan-kudus-jatiningrat.html
6 merupakan bentuk sikap toleransi Sunan Kudus yang diikuti oleh para pengikutnya untuk menghormati keyakinan masyarakat pemeluk Hindu-Budha pada waktu itu. Dalam menyebarkan agamanya, Sunan Kudus mengikuti gaya Sunan Kalijaga, yakni menggunakan model ''tutwuri handayani''. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan frontal, melainkan mengarahkan masyarakat sedikit demi sedikit. Ketika itu, masyarakat Kudus masih didominasi penganut Hindu. Maka Sunan Kudus pun berusaha memadukan kebiasaan mereka ke dalam syari’at Islamiah secara halus tanpa menyinggung sentimen keagamaan. Misalnya, Sunan Kudus menyembelih kerbau untuk lauk atau perjamuan, bukan sapi (lembu), pada upacara kurban di hari raya Idul Qurban. Itu merupakan bagian dari penghormatan Sunan Kudus kepada para pengikut Hindu sebagai sikap toleransi beragama dan bentuk sikap multikultural. Cara yang simpatik itu membuat para penganut agama lain bersedia mendengarkan ceramah agama Islam dari Sunan Kudus. Surat Al-Baqarah yang dalam bahasa Arab artinya sapi, juga sering dibacakan Sunan Kudus untuk lebih memikat pendengar. Pembangunan Masjid Kudus sendiri tidak meninggalkan unsur arsitektur Hindu. Bentuk menaranya tetap menyisakan arsitektur gaya Hindu. Tetapi bagaimana persepsi masyarakat Kudus terhadap sapi pada masa sekarang, apakah masih menganggap adanya larangan memotong sapi adalah perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam. 2. Peristiwa 1918 (Gerakan Anti Cina) Kehidupan beragama di wilayah ini kelihatan harmonis antara satu ummat dengan ummat lainnya terjadi saling hormat menghormati. Paling tidak sikap toleransi ini terlihat antara pemilik perusahaan yang sebagian besar berbeda agama dengan para karyawan. Namun demikian, pihak perusahaan tidak menghalangi kesempatan beribadah bagi para karyawan, misalnya bila akan menunaikan shalat lima waktu dan sebagainya. Kendatipun sikap toleransi ini cukup tinggi, namun apabila disentuh oleh permasalahan SARA, maka sikap toleransi tersebut dapat berubah menjadi kemarahan besar. Salah satu contoh adalah kejadian yang terjadi pada tahun 1918, waktu itu ada perayaan ummat Tionghoa dengan Leang-leong berjalan dari Klenteng melewati depan Menara Kudus. Leang-leong adalah salah satu pertunjukan karnaval dengan memakai media ular naga besar yang diangkat beberapa orang dan di atas ular tersebut ada orang yang duduk. Dalam Leang-leong tersebut ada adegan seseorang dengan berpakaian santri (seperti seorang kyai) yang berdansa/bercumbu dengan seorang gadis seksi (prostitutes). Atraksi ini dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap kyai dan ummat Islam yang berakibat kepada kemarahan ummat Islam sampai terjadi peristiwa pembakaran beberapa rumah penduduk berkebangsaan Tionghoa di sekitar Menara Kudus. Kejadian tersebut nampak merupakan akumulasi dari ketegangan dan konflik antara orang-orang minoritas Cina dengan penduduk Muslim pribumi di Kudus. Ketegangan dan konflik tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor, antara lain: perbedaan etnik, persaingan dagang, dan perasaan keagamaan. Jumlah penduduk Kudus waktu itu terdiri dari 38800 penduduk pribumi, 4000 orang Cina, 230 orang Eropa, dan 40 orang bangsa asing lainnya. Secara umum diketahui bahwa orang-
7 orang Cina status ekonominya lebih tinggi, dan karena itu mereka lebih disenangi oleh Belanda.8 3. Haul (Buka Luwur) Masyarakat Kudus juga dikenal memiliki adat-istiadat atau tradisinya yang kuat. Paling tidak ada tiga adat atau tradisi yang berjalan secara rutin di Kudus, yakni: Dandangan yang berlangsung setiap menjelang bulan suci Ramadlan, Buka Luwur, setiap tanggal 10 Muharrom (Asyuro) dan Maulid Nabi (Muludan) untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw pada tanggal 12 Robiul Awwal Adat Buka Luwur diadakan setiap tahun, bertepatan dengan tanggal 10 Muharrom (Asyuro). Buka Luwur adalah upacara tradisional penggantian kain kelambu yang dijadikan penutup makam Sunan Kudus. Upacara ini cukup meriah kendatipun tidak semeriah acara Dandangan. Karena upacara tradisional ini ditekankan pada acaraacara ritual, antara lain: tahtiman al-Qur’an, tahlil umum, pengajian, pencucian pusaka-pusaka Sunan Kudus dan penggantian kain kelambu makam. Biasanya dalam upacara ini dilengkapi dengan selamatan (pembacaan tahlil dan do’a). Menurut kepercayaan, barang siapa memperoleh kain kelambu dan nasi selametan yang dibagi dalam beribu-ribu bungkus pada pagi harinya akan mendapat berkah. Banyak masyarakat dari Kudus dan sekitarnya bahkan dari manca kota yang datang dengan maksud mendapatkan nasi tersebut. Nasi bungkusan daun jati tersebut dibagi mulai jam 06.00 Wib pada tanggal 10 Muharram. Namun pada umumnya beratus-ratus orang sudah mulai mengantri sejak jam 04.00 Wib. Mengawali prosesi pemasangan luwur baru ditandai dengan alunan kalam Ilahi (al-Qur`ân), dilanjutkan pembacaan tahlil, dan do’a bersama yang dipimpin oleh ulama karismatis K.H. Sya'roni Ahmadi al-Hafidh. Hampir semua tokoh masyarakat dan ulama sepuh menghadiri acara tersebut, seperti K.H. Ahmad Basyir Bareng, K.H. Sya'roni Achmadi al-Hafidh, K.H. Choiruzad putra almarhum ahli falaq K.H. Turaichan Adjhuri, dan K.H. Ma’ruf Irsyad. Juga hadir tokoh lain seperti K.H. dr. Zaenuri Kosim, dr. H Sukasno, Drs. H Djuffan Ahmad yang Sekjen GAPPRI, dan Ketua MUI Kudus, K.H. Syafik Nashan. Seusai pembacaan tahlil, dilanjutkan dengan pembacaan doa bersama-sama dipandu oleh KH Sya'roni Achmadi dengan bacaan doa Khasbunallahu wanikmal wakiil nikmalmaula wanikmannasir 70 kali. Prosesi dilanjutkan dengan pemasangan luwur baru yang sudah disiapkan di Pendapa Tajug. Luwur kemudian dibawa ke Makam Sunan Kudus Jakfar Sodiq oleh KH Choiruzad didampingi Nadjib Hasan. Oleh petugas luwur, kemudian dengan hati-hati dipasang sampai sempurna. Setelah itu, pembacaan tahlil dipimpin oleh Choirozad dan diikuti para hadirin. Karena sempitnya "cungkup" Makam Sunan Kudus, hanya beberapa ulama sepuh yang bisa masuk dan dekat dengan batu nisan. Sementara undangan lain duduk bersimpuh mengelilingi di luar cungkup yang cukup luas. Untuk perhelatan akbar dalam prosesi buka luwur tersebut, oleh panitia disediakan 22.000 nasi bungkus untuk dibagikan 8Baca H. Abd. Rachman, The Pesantren Architects and Their Socio-Religious Teachings, (Ph.D, dissertation), Universitas of California Los Angeles, 1997, h. 207-208, mengutip dari laporan van de Ongeregeldheden te Koedoes op den 31 ste Oktober 1918, 17 November 1918, Mailrap, No. 471 X/18, h. 1-8.
8 kepada masyarakat. Sementara untuk tokoh masyarakat dan undangan disediakan sekitar 2.000 keranjang. Bagi pandatang luar kota biasanya tidak mau ikut antri berdesak-desakan. Mereka lebih suka membeli nasi dari orang-orang tertentu yang ikut antri. Banyak orangorang tertentu yang ‘ngantri’ nasi hanya untuk dijual, bukan untuk dirinya sendiri. Bahkan ada beberapa kasus yang memanipulasi, nasi masakan sendiri yang dibungkus daun jati, tetapi dikatakan sebagai nasi luwur dari kanjeng Sunan dan dijual kepada orang-orang yang membutuhkan nasi tersebut tanpa antri. Benar tidaknya kepercayaan masyarakat tentang nasi luwur yang membawa berkah, dan bahkan bisa menyembuhkan berbagai penyakit ini wallahu a’lam. Tradisi serupa Buka Luwur juga terjadi di makam-makam para wali yang lain, misalnya di tempat Sunan Muria, mbah Mutammaqin Kajen-Pati, dan tempat-tempat para sunan yang lain di sekitar daerah ini. Bahkan di desa-desa yang terdapat makam tua yang dianggap sebagai sesepuh desa, founding father sebuah desa, maka peringatan buka luwur inipun diadakan, sehingga ada buka luwur tingkat regional dan tingkat lokal. Peringatan buka luwur ini biasa juga disebut khaul mbah sunan. Akan tetapi, tidak jelas kenapa peringatan khaul itu mesti diletakkan pada bukan Suro/Muharram. Suasana Kota Kudus 1. Rumah Adat Bentuk rumah-rumah penduduk di Kudus Kulon juga banyak memiliki kekhasan, antara lain; pada umumnya rumah-rumah mereka dikelilingi dengan pagar tembok yang sangat tinggi, sehingga jalan-jalan gang terasa sangat sempit. Walaupun kalau kita masuk ke dalamnya ternyata sangat luas. Bentuk rumah (baca rumah lama) juga mempunyai bentuk tersendiri sebagai ciri rumah orang Kudus Kulon; rumah adat pencu (semacam joglo, tapi atap tengahnya tinggi), terbuat dari kayu jati yang diukir bagus, di depan rumah ada sumur dan kamar mandi dan di sebelah kiri bergandengan dengan rumah ada ruang dapur besar. Bentuk rumah-rumah seperti itu sekarang ini sudah mulai berkurang, baik karena banyak yang dijual kepada orangorang asing maupun karena sudah tidak didirikan lagi. Anak-anak mereka sekarang lebih tertarik pada bentuk rumah model sekarang. Kecuali itu, bentuk rumah lama harganya sangat mahal dan membutuhkan lahan yang agak luas. Gambaran rumah adat pencu tersebut secara tidak langsung mencerminkan status sosial pemilik rumah yang bersangkutan, yakni sebagai haji, saudagar atau juragan. Status haji memang tidak dapat dipisahkan dengan status saudagar atau juragan. Keduanya, baik secara keagamaan, maupun secara ekonomi, menduduki kelas sebagai orang-orang terhormat atau terpandang di dalam masyarakat. Pandangan masyarakat tentang status sosial yang terefleksi dalam bentuk rumah adat tersebut sering terlihat dalam sikap sosial ketika menentukan calon menantu. Konon, kalau anak gadis mereka yang tidak menurut nasihat orang tua, maka orang tua mereka berkata, “nanti kamu akan saya kawinkan dengan pegawai negeri”. Dikawinkan dengan pegawai negeri merupakan sebuah ancaman bagi anak-anak perempuan yang tidak menurut dengan orang tuanya. Pada saat itu, status sosial yang tinggi adalah juragan dan saudagar. Sedangkan status pegawai negeri berada dalam
9 strata rendah. Ini menunjukkan bahwa status sosial sangat diperhatikan, sehingga anak-anak gadis tidak boleh sembarangan keluar rumah, di samping memang rumah mereka sudah dipagari tembok-tembok yang tinggi. Konon, di sekitar Masjid Menara gadis-gadis yang terlambat (Jawa: kaseb) menikah jumlahnya cukup banyak. Apakah ini ada kaitannya dengan proses pemilihan jodoh yang sangat selektif atau ada faktor lain, masih perlu diteliti. Namun demikian, bentuk rumah dan ruang rumah adat Kudus juga mencerminkan tradisi santri. Hal ini dibuktikan dengan adanya ruang khusus dalam menerima tamu laki-laki dan tamu perempuan. Ruang tamu utama terdapat di serambi depan untuk menerima tamu laki-laki dan tamu umum. Sedangkan ruang tamu kedua di serambi dalam atau di samping serambi utama untuk menerima tamu perempuan atau tamu dari keluarga dekat. Di samping itu, di pinggir sumur biasanya terdapat padasan tempat wudlu, sebagai cermin keluarga yang taat beribadah. Sumur dan padasan yang terletak di depan rumah ini juga berfungsi untuk menunjukan anak gadisnya ketika akan dilamar oleh lelaki yang akan menikahinya. Biasanya anak perempuan yang akan dilamar disuruh mengambil air di sumur, sedangkan sang lakilaki melihatnya dari ruang tamu. Cara ini ditempuh untuk menghindari bertemu secara langsung antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahromnya. Rumah adat Kudus yang sebagian besar dibangun sebelum tahun 1810 M, pernah mengalami masa kejayaannya dan menjadi simbol kemewahan bagi pemiliknya pada waktu itu. Lingkungan wilayah Kudus Kulon terbentuk dengan ciri keberadaan rumah adat tradisional Kudus tersebut. Pada kenyataannya, sejarah perkembangan Kudus banyak dipengaruhi oleh kebudayaan asing, seperti Hindu, Cina, Persia (Islam) dan Eropa yang masuk ke kawasan Kudus dalam waktu yang cukup panjang. Kebudayaankebudayaan asing tersebut juga mempengaruhi bidang arsitektur pembuatan rumah adat di daerah Kudus. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa motif mewarnai ukiran rumah adat Kudus. Di antaranya motif Cina yang diwujudkan dalam bentuk ular naga, motif Persia atau Islam yang berupa bunga melati maupun motif khas Kudus yang berupa bunga teratai dan motif kolonial dalam bentuk sulur-suluran, mahkota, bejana, dan binatang. Semua motif yang ada itu erat kaitannya dengan pengaruh budaya yang masuk ke Kudus. 2. Damaran dan Kudus Kulon Dengan kombinasi antara masyarakat industri dan masyarakat santri ini, maka ada kekhasan tersendiri yang dimiliki oleh masyarakat Kota Kudus. Sebagaimana penelitian yang pernah dilakukan oleh Radjasa Mu’tasim, yang kemudian dibukukan bersama Abdul Munir Mulkhan, menuliskan kondisi masyarakat Damaran9 Kudus sebagai berikut: Hampir semua penduduk di Damaran bekerja 8 jam pada siang hari di rumah mereka sendiri. Selain anggota keluarga, terdapat pula pekerja dari luar. Sesekali tampak penduduk atau pekerja itu keluar pergi ke pasar atau warung. Penduduk Damaran seolah memiliki semboyan “rumahku adalah tempat kerjaku”. Suasana tersebut akan segera berubah total ketika malam tiba, terutama antara waktu maghrib dan isya’. Pada saat seperti inilah semua warga Damaran 9Kelurahan
Damaran terletak di sebelah Barat Kelurahan Kauman Menara Kudus.
10 mengaji. Mereka yang tidak mengaji, tidak membuat gaduh. Radio, tape dan televisi pada jam-jam tersebut dimatikan. Jika pada saat demikian ada orang yang keluar rumah, apalagi duduk bersantai, akan segera diperingatkan oleh orang tua mereka. Orang menganggap bahwa duduk santai atau keluar rumah tanpa tujuan yang jelas pada jam-jam pengajian itu tabu atau ‘saru’. Suasana ini berbeda dengan suasana pada siang hari yang terdapat hanya suara mesin jahit.10 Gambaran masyarakat Damaran tersebut dapat mewakili kondisi umum sosial religius dan ekonomi masyarakat Kudus Kulon dan sebagian besar masyarakat Kudus. Secara geografis, Kudus Kulon merupakan sebutan terhadap masyarakat Kudus yang tempat tinggalnya di sebelah barat Kali Gelis (Sungai Gelis) sampai batas Pasar Jember. Secara kultur, daerah ini memang memiliki beberapa ciri khas, antara lain banyak terdapat pondok pesantren, antara lain; Pesantren Yambu’ al-Qur`ân (K.H.M. Arwani al-Hafidh), Pesantren TBS (K.H.M. Ma’mun), Pesantren-K.H. Turaechan Adjhuri as-Syarofi, Pesantren–K.H. Hambali, Pesantren-K.H. Ma’ruf Irsyad, Pesantren–K.H. Sya’roni Achmadi al-Hafidh, dan sebagainya. Kudus Kulon, sebuah frasa yang merujuk pada pengertian sebuah kawasan di bagian barat jantung Kota Kudus itu memang sangat populer. Di kawasan itu terdapat menara bersejarah, Makam Sunan Kudus, rumah adat, juga sejumlah pondok pesantren dan rumah tinggal sejumlah kiai karismatik. Kudus Kulon adalah simpul sejarah Kota Kudus. Dari sini sejarah itu dimulai Sebagaimana layaknya simpul sejarah cikal bakal sebuah kota, Kudus Kulon menyimpan beraneka macam cerita menarik. Legenda, mitos, sage, mite, bahkan bad story yang terangkai dari stereotip, secara turun-menurun hidup dan berkembang di tengah masyarakat luas. Bad story stereotip tentang orang Kudus Kulon ialah cerita buruk yang beredar luas di masyarakat akibat tafsir subjektif, buruk sangka, dan penilaian yang tidak benar terhadap adat kebiasaan mereka. Kali Gelis yang mengalir di tengah-tengah kota Kudus membagi wilayah Kudus menjadi dua bagian sehingga terdapat dua penyebutan nama untuk dua bagian wilayah tersebut, yakni Kudus Kulon (barat) dan Kudus Wetan (timur). Pada zaman dahulu, menurut cerita, wilayah Kudus Kulon didiami oleh para pengusaha, pedagang, petani, dan ulama, sedangkan Kudus Wetan dihuni oleh para priyayi, cendekiawan, guru-guru, bangsawan, dan kerabat ningrat. Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, secara fisik ternyata wilayah Kudus Kulon yang mayoritas penduduknya merupakan para pengusaha dan pedagang tampak lebih maju jika dibandingkan dengan Kudus Wetan. Dengan peningkatan dalam segi finansial, mereka membangun rumah-rumah adat yang penuh dengan ukir-ukiran yang membedakannya dengan rumah-rumah adat sebelumnya. Itulah sebabnya bangunan rumah adat yang indah-indah yang belakangan disebut sebagai Rumah Adat Kudus hanya terdapat di wilayah Kudus Kulon. Pada awalnya, rumah-rumah adat tersebut hanya dimiliki oleh pedagang Cina Islam, tetapi kemudian ditiru dan dikembangkan oleh pedagang-pedagang pribumi yang berhasil. 10Radjasa Mu’tasim dan Abdul Munir Mulkhan, Bisnis Kaum Sufi, Studi Tarekat dalam Masyarakat Industri, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 57.
11 3. Legenda Jember Jember adalah lokasi perdagangan kakilima di sebelah barat kota Kudus. Menurut cerita, datang seorang tamu bernama Ki Ageng Kedu yang hendak menghadap Sunan Kudus. Tamu tersebut mengendarai sebuah tampah, sesampainya di Kudus Ki Ageng Kedu tidaklah langsung menghadap Sunan Kudus, melainkan memamerkan kesaktiannya dengan mengendarai tampah serta berputar-putar di angkasa. Seketika dilihatnya oleh Sunan Kudus, maka beliau murka sambil mengatakan bahwa tamu Ki Ageng Kedu ini menyombongkan kesaktiannya. Sesudah disabda oleh beliau, berkat kesaktian Sunan Kudus, tampah yang ditumpangi Ki Ageng Kedu itupun meluncur ke bawah hingga jatuh ke tanah yang becek (bhs. Jawa: ngecember), sehingga tempat tersebut kemudian dinamakan Jember. Selain itu, dalam dongeng disebutkan bahwa pada suatu hari, Sunan Kudus memakan ikan lele, kemudian setelah tinggal tulang dan kepalanya, dibuanglah oleh Sunan Kudus ke dalam sebuah sumur, maka ikan yang tinggal tulang dan kepala itupun hidup kembali. Di dalam "Babad Tanah Jawi" serta kepustakaan Jawa lainya dikatakan bahwa nama kecil Sunan Kudus ialah Raden Undung, beliau pernah memimpin tentara Demak melawan Majapahit. Selanjutnya juga disebutkan bahwa Sunan Kudus-lah yang membunuh Syekh Siti Jenar dan Kebo Kenanga, karena keduanya mengajarkan ilmu yang dipandang sangat membahayakan masyarakat yang baru saja memeluk Islam. Kemudian Ki Ageng Kedu kembali menaiki tampahnya dan pada suatu daerah Ki Ageng Kedu hilang keseimbangan (mereng-mereng), maka daerah yang di lewati tersebut di namakan Desa Pereng dan akhirnya dengan badan yang kotor bekas air comberan (jember) Ki Ageng Kedu sampai pada suatu (kulah) kamar mandi, mandi mensucikan diri maka di daerah situ dinamakan Pasucen, Ki Ageng Kedu ingin menemui Sunan Kudus, akhirnya sunan kedupun kemalaman dan mencari penginapan akhirnya Ki Ageng Kedu menginap di sebelah timur rumah Sunan Kudus dan desa tersebut di namakan desa kenepan yang berarti penginapan, ternyata tempat Ki Ageng Kedu menginap tidak ada peneranga sampai suatu ketika di daerah tersebut Ki Ageng kedu menemukan damar-damar sebagai lentera penerang dan tempat padukuhan tersebut di sebut Dukuh Damaran. Kemudian berawal dari peristiwa tersebut Ki Ageng Kedu mengakui kehebatan karomah Sunan Kudus, sehingga dia berniat untu bai'at menjadi murid Sunan Kudus yang pada kala itu menjadi Manggoloyudo Kadipaten Demak Bintoro, dan pada akhirnya kemudian berguru kepada Sunan Kudus.11 Penutup Mencermati tradisi masyarakat di Kudus memang sangat menarik. Kudus sebagai kota kecil di Jawa Tengah ini memiliki usia yang cukup tua, menyimpan banyak data dan fakta sejarah yang unik-unik. Catatan sejarah itu mulai yang berupa mitos sampai yang berupa fakta dan realitas yang dapat disaksikan sampai saat ini. Keberadaan Makam Sunan Kudus yang lengkap dengan tradisi-tradisinya, seperti dandangan, buka luwur dan sebagainya. Mitologi wilayah Kudus Kulon dan Kudus Wetan, 11https://www.InfoSeputarKudus/posts/565707396782022
12 keberadaan madrasah dan pesantren yang ada di wilayah ini merupakan bukti keunikan budaya dan pendidikan di daerah ini. Tulisan ini mungkin baru merupakan bagian kecil mengenai keunikan-keunikan tersebut yang perlu dikaji lebih jauh.
13
DAFTAR PUSTAKA
Dananjaya, James. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan lain lain, Jakarta: Grafitti Pres, 1986. De Graaf, H.J. & TH. Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Jakarta, Grafiti, 2003. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren, Jakarta, LP3ES, 1982. Dirdjosanjoto, Pradjarta. Memelihara Umat, Kyai Pesantren – Kyai Langgar di Jawa, Yogyakarta, LkiS, 1999. El-Qudsy. Majalah Tahunan Qudsiyyah, Kudus, Persatuan Pelajar Qudsiyyah 1413 H. / 1993 M. Lukens-Bull, Ronald Alan. Jihad ala Pesantren di Mata Antropolog Amerika, Yogyakarta, Gama Media, 2004. Mas’ud, Abdurrahman. Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta, LKiS, 2004. Mu’tasim, Radjasa dan Abdul Munir Mulkhan. Bisnis Kaum Sufi, Studi Tarekat dalam Masyarakat Industri, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Propp, V. Morfologi Cerita Rakyat, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1987. Rachman, Abd. The Pesantren Architects and Their Socio-Religious Teachings, (Ph.D dissertation), Universitas of California Los Angeles, 1997. Salam, Solichin. Ja’far Shadiq Sunan Kudus, Kudus, Menara Kudus, 1986. -------. Sekitar Walisanga, Kudus, Menara Kudus, 1974. Sudjiman, Panuti. Kamus Istilah Sastra, Jakarta: Gramedia, 1986. Ath-Thullab. Sejarah Madrasah TBS Kudus dan Perkembangannya, Majalah Tahunan Madrasah TBS, edisi 1 tahun 1995. Triyanto. Makna Ruang & Penataannya Dalam Arsitektur Rumah Kudus, Semarang, Kelompok Studi Mekar, 2001. Van de Ongeregeldheden te Koedoes op den 31 ste Oktober 1918, 17 November 1918, Mailrap, No. 471 X/18. Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Mutiara Sumber Widya, 1960.