KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM PENDIDIKAN ISLAM SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh: ISMAIL FUAD NIM : 104011000181
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009 M/1429 H
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM PENDIDIKAN ISLAM SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh: ISMAIL FUAD NIM : 104011000181
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009 M/1429 H
LEMBAR PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: ISMAIL FUAD
Nim
: 104011000181
Jurusan
: Pendidikan Agama Islam (PAI)
Fakultas
: Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata satu ( S1 ) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, Maret 2009
(ISMAIL FUAD)
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam”, telah diujikan pada sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S1) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam.
Jakarta, 30 Juni 2009
Panitia Sidang Munaqasyah, Ketua Jurusan
Dr. H. Abdul Fatah Wibisono, MA. NIP. 150 236 009 Sekretaris Jurusan Drs. Sapiuddin Shiddiq, MA. NIP. 150 299 477 Penguji I Drs. Sapiuddin Shiddiq, MA. NIP. 150 299 477 Penguji II Siti Khadijah, MA. NIP. 19702707 199703 1 003 Mengetahui, Dekan Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Abstraksi:
Bangsa Indonesia melebihi bangsa-bangsa lain, dianugerahi sebuah kemajemukan. Tidak saja lantaran kondisi sosio-geografis dan kesukuan semata, tetapi keragaman ini telah dimulai sejak cikal bakal sejarah kelahirannya. Sayangnya potensi kemajemukan, pluralitas dan sebutan sejenisnya, kerap menjadi pemicu pertentangan dan pertikaian-pertikaian yang akhir-akhir ini sering mengguncang. Parahnya umat muslim dijadikan kambing hitam oleh beberapa orang, hingga tak pelak stereotip dan stigma buruk mulai disematkan pada umat yang kebetulan menjadi penghuni mayoritas bangsa ini. Berangkat dari sinopsis tersebut penelitian ini dilakukan dengan salah satu alasan menjawab kalau tidak disebut membantah stigma dan tuduhan buruk teradap Islam sebagaimana yang mereka sangkakan adalah salah besar. Ajaran Islam telah diwariskan (dibudayakan) secara turun temurun melalui instrumen pendidikan yang mengakomodasi terhadap pluralitas dan multikulturalisme. Pendidikan multikultural yang ditawarkan sebagai solusi dan mengurangi efek negatif dari fenomena keberagaman kultur. Konsep pendidikan multikultural dalam kerangka pendidikan Islam, nyatanya sangat wellcome dan padu. Artinya, pendidikan Islam tidak bertentangan, bahkan senafas dengan pendidikan multikultural. Relevansi dan implementasi keduanya bisa terwujud dengan proses usaha dan upaya yang panjang dan berkesinambungan. Untuk membuktikan asumsi tersebut, dalam peneltian ini penulis mencari titik temu dalam prinsip-prinsip dasar dan tujuan pendidikan multikultural yang dikonsultasikan dengan pendidikan Islam. Dengan teknik deskripsi analitis, akhirnya penulis mendapatkan kesimpulan bahwa keduanya (pendidikan multikultural dan pendidikan Islam) dalam prinsip dan tujuannya sangat relevan dan saling akomdatif . Tegasnya, tidak dibetulkan bahwa ajaran Islam yang dimanifestasikan dalam pendidikan Islam mengajarkan kekerasan atas nama perbedaan, bahkan Islam telah menggariskan sikap etis terhadap pluralisme dan multikulturalisme sebagaimana diajarkan oleh al-Qur’an dan Hadits. Bahkan, Islam tidak sekadar mengapresiasi issue-issue HAM, demokrasi, keadilan, kesetaraan dan dustrur multikulturalisme lainnya, tetapi Islam telah mempraktikannya dengan sangat indah pada jaman Nabi. Dengan demikian, pendidikan Islam yang berparadigma multikultural atau pendidikan multikultural dalam pendidikan Islam sudah ada secara eksplisit dalam ajaran Islam. Hanya saja, perlu dihadirkan kembali agar pelaku pendidikan Islam menyadari akan hal itu. Dengan kesadaran pluralisme dalam pendidikan Islam bisa dipraktikkan oleh seluruh pelaku pendidikan Islam dengan harapan akan tercipta kehidupan masyarakat madani, lepas dari konflik SARA sebagaimana visi kelahiran Islam sebagai rahmatan lil ’alamien. Semoga
KATA PENGANTAR
Adalah berkat pertolongan, limpahan nikmat dan curahan kasih sayangNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang ”Konsep Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Islam” ini, maka sepatutnya puja-puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Shalawat dan salam, semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah mengorbakan jiwa. Raga, harta maupun tenaga untuk membawa risalah kebenaran, menabur pesan perdamaian kepada seluruh umat manusia. Isyfa Lana.. Setelah bergelut dengan berbagai aktivitas yang nyaris ”melalaikan” penyusunan skripsi ini, ijinkan penulis menyampaikan rasa terima kasih sekaligus permohonan maaf setulusnya kepada semua pihak. Segala upaya, usaha dan untaian doa tercurah ruah dalam penyusunan skripsi ini dengan suatu asa semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Pun juga, terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari partisipasi beberapa pihak yang telah membantu, motivasi serta arahan dari berbagai pihak, sehingga patut kiranya penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu sabar dan teliti dalam mengoreksi dan membimbing penulis dalam pembuatan skripsi ini. 4. Ibu Dr. Sururin, MA selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan pengarahan dan masukan kepada penulis. 5. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Ilmu Tarbiyah pada umumnya dan jurusa PAI pada khususnya yang telah memberikan konstribusi pemikiran melalui pengajaran dan diskusi di kelas perkuliahan.
7. Terkhusus buat kedua orang tuaku tercinta (H. Misbah el-Munir dan Hj. Ratih Zoolva) yang telah merawat. Membesarkan, mendidik dan mencurahkan kasih sayang kepada penulis. Saudara-saudaraku my inspiration kang Uus, Ba’onk, Linda, Iim dan Bontot Anik. 8. All Crew CV. Wangsamerta dan CV. Wicaksana. Mahadewi sarayat my spirite, aisheteru!!!. 9. Teman diskusi di PAI 2003A konde, fuad, dkk. PAI 2004 E Indra, Ate, dkk. 10. Seluruh anggota, simpatisan dan alumni Keluarga Pelajar Mahasiswa Daerah Brebes (KPMDB), khususnya Wil. Jakarta Raya, ayo bangun Brebes!! 11. Tabloid Suaka yang banyak mengasahku, kawan-kawan aktivis dan pergerakan Brebes, Insan Pers Indonesia, and all elementary civill society. Teruskan Perjuangan..!!!
Penulis berharap dan berdoa semoga seluruh pengorbanan semua pihak yang telah membantu penulis semoga mendapatkan balasan yang setimpal dariNya. Terimakasih
Jakarta, Mei 2009 Penulis,
ISMAIL FUAD
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................. DAFTAR ISI ...........................................................................................
i ii
BAB I :
PENDAHULUAN ..................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .....................................................
1
B. Identifikasi Masalah ...........................................................
6
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................
6
D. Metode Penelitian ..............................................................
7
E. Kegunaan dan Tujuan Penelitian ........................................
7
KONSEPSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL ; SEBUAH KAJIAN TEORITIS ............................................
8
A. Definisi Pendidikan Multikultural .......................................
8
B. Sejarah Lahirnya Pendidikan Multikultural ........................
12
C. Prinsip Prinsip Pendidikan Multikultural ............................
22
BAB II :
1. Prinsip Pengakuan Terhadap Hak Azazi Manusia (HAM)
29
2. Prinsip Persamaan Derajat .............................................
30
3. Prinsip Pelestari Kebudayaan ........................................
31
4. Prinsip Pluralisme .........................................................
31
D. Tujuan Pendidkan Multikultural; Mewujudkan Manusia Cerdas .............................................
33
E. Implikasi Multikulturalisme Terhadap Pendidikan Islam .....
36
BAB lll : KONSEPSI PENDIDIKAN ISLAM ; SEBUAH KAJIAN TEORITIS .............................................
43
A. Pengertian Pendidikan ........................................................
43
1. Definisi Pendidikan ......................................................
43
2. Definisi Pendidikan Islam ............................................
44
B. Prinsip-Prinsip Pendidkan Islam ........................................
49
1. Prinsip Implikasi dari Ciri-ciri Manusia menurut Islam .
52
2. Prinsip Pendidikan Integral dan Terpadu .......................
55
3. Prinsip Pendidkan yang Seimbang .................................
56
4. Prinsip Menghargai Perbedaan ......................................
56
C. Fungsi Dan Tujuan Pendidikan Islam .................................
58
1. Fungsi Pendidkan ..........................................................
58
2. Tujuan Pendidikan Islam ...............................................
60
a) Tujuan Akhir ...........................................................
64
b) Tujuan Umum .........................................................
65
c) Tujuan Khusus ........................................................
67
BAB IV: RELEVANSI KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM PENIDIKAN ISLAM ............................................. 70 A. Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam .....................................................
71
B. Tujuan Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam : Antara Manusia Cerdas dan Manusia Sempurna (Insan - Kamil) .............................................................................
76
C. Implementasi Pendidikan Multikulural dalam Pendidikan Islam; Upaya Mencari Format Pendidikan Ideal ...........................
79
1. Hambatan dan Tantangan .............................................
80
2. Peluang dan Harapan ....................................................
86
3. Kurikulum dan Guru Multikultural ...............................
93
BAB V : PENUTUP .............................................................................. 104 A. Kesimpulan ........................................................................ 104 B. Saran-saran ........................................................................ 106
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 108
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk yang diciptakan berbeda-beda dan beragam, dari jenis kelamin, suku bangsa, bahasa, hingga agama. Sejatinya keragaman ini menjadi alat perekat harmonisasi bangunan kebersamaan antar sesama. Namun faktanya, perbedaan SARA acapkali memicu timbulnya sebuah konflik dan ketegangan. Bukankah kemajemukan merupakan sunatullah yang meski terjadi, sebagaimana adanya langit dan bumi. Pengingkaran atas kemajemukan berarti juga pembangkangan atas kehendakNya.1 Kemajemukan kepelbagaian
(pluralitas),
(heterogenitas)
serta
keanekaragaman
(diversitas),
kebermacam-macaman
dan
(multiformisme)
masyarakat dan kebudayaan di Indonesia merupakan kenyataan sekaligus keniscayaan, sejak dulu sebelum terbentuk negara-bangsa. Ini harus kita akui secara jujur , terima dengan lapang dada, resapi dengan penuh kesadaran, kelola rawat dengan cermat, dan jaga dengan penuh suka cita, Bukan harus kita tolak, pungkiri, abaikan, sesalkan, biarkan dan ingkari hanya karena kemajemukan dan keanekaragaman ternyata telah menimbulkan ekses negatif dan resiko kritis belakangan ini, antara lain benturan masyarakat dan kebudayaan lokal di pelbagai tempat di Indonesia.2
1
Said Aqil Siradj, Islam Kebangsaan; Fiqh Demokratik Kaum Santri, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), cet. 1, hal. 203. 2 Rasiyo, Berjuang Membangun Pendidikan Bangsa; Pijar-pijar Pemikiran dan Tindakan, (Malang: Pustaka Kayu Tangan, 2005), cet. 1, hal. 47.
1
2
Begitulah Indonesia ditakdirkan melebihi negara-negara lain karena tidak saja multi-suku, multi-etnik, multi-agama tetapi juga multi-budaya. Jika demikian, maka bangsa Indonesia sangat rentan dengan kekerasan yang timbul akibat dari kemajemukan yang ada. Oleh karenanya perlu ada tindakan preventive dari stakeholders untuk meredam segala potensi konflik dan membangun sikap kebersamaan, saling menghargai dan saling menghormati. Salah satu upaya strategis adalah dengan membangun kesadaran pluralis pada generasi muda lewat pendidikan yang berbasis pada multikulturalisme. Hal ini sesuai dengan ungkapan Abudin Nata: Indonesia yang berideologi Pancasila memiliki latar belakang budaya, etnis, paham keagamaan, tingkat ekonomi dan sosial yang amat beragam. Kondisi pluralistis dan heterogenitas masyarakat di Indonesia yang demikian itu pula pada gilirannya sangat mempengaruhi corak pendidikan manusia3. Pendidikan menjadi salah satu kunci penting sebagai instrumen membangun peradaban manusia dan bangsa. Keberadaannya masih diyakini mempunyai peran besar dalam membentuk karakter individu-individu yang dididiknya, dan mampu menjadi “guiding light” bagi generasi muda penerus bangsa. Hal tersebut dengan suatu pertimbangan, bahwa salah satu fungsi pendidikan adalah untuk meningkatkan keberagamaan peserta didik dengan keyakinan agama sendiri, dan memberikan kemungkinan keterbukaan untuk mempelajari dan mempermasalahkan agama lain sebatas untuk menumbuhkan sikap toleransi.4 Selama ini di Indonesia pendidikan secara makro belum menunjukan hasil yang diharapkan karena beberapa hal yang perlu diperbaiki dan diubah, filosofi pendidikan tampak sangat positivis, pragmatis, developmentalis, industrialis, indoktrinatif, uniformistis dan monokultural. Filsafat pendidikan semacam ini tidak bisa dipertahankan lagi,..dan harus dirubah dengan filsafat pendidikan yang
3
Abudin Nata, Pidato Pengukuhan Guru Besar (Pendidikan Islam di Indonesia: Tantangan dan Peluang), UIN Syarif Hidayatullah Press, hal. 1. 4 Syamsul Maarif, Islam dan Pendidikan Pluralisme; Menampilkan Wajah Islam Toleran Melalui Kurikulum PAI Berbasis Kemajemukan, disampaikan dalam Annual Confrence di Lembang Bandung, sumber www.google.com/pluralisme-pendidikan, akses tanggal 22 Januari 2008
3
ideal untuk Indonesia yakni, idealistis, holistis, liberatif, intelektualistis, pluralistis, dan multikultural.5 Era sekarang adalah era multikulturalisme di mana seluruh masyarakat dengan segala unsurnya dituntut untuk saling tergantung dan menanggung nasib secara bersama-sama demi terciptanya perdamaian abadi. Salah satu bagian penting dari konsekuensi tata kehidupan global yang ditandai kemajemukan etnis, budaya, dan agama tersebut adalah membangun dan menumbuhkan kembali sikap egaliter dalam masyarakat. Implikasi dari era global multikultural sendiri bagi pendidikan adalah bagaimana pendidikan itu bisa menampilkan dirinya, apakah ia mampu mendidik dan menghasilkan output yang memiliki daya saing tinggi (qualified) atau ia justru “mandul” dalam menghadapi gempuran berbagai kemajuan era penuh persaingan (competitive) diberbagai sektor tersebut. Pun dengan Pendidikan Islam, ia ditantang untuk menjawab tantangan zaman antara lain : Pertama, bagaimana ia meningkatkan pembangunan berkelanjutan (continuing development). Kedua, bagaimana pendidikan Islam mampu melakukan riset secara komperhensif terhadap terjadinya era reformasi dengan transformasi struktur sosial masyarakat, dari masyarakat tradisionalagraris ke masyarakat modern-industrial dan reformasi-komunikasi, serta bagaimana pengembangan sumber daya manusia (SDM). Ketiga, bagaimana pendidikan Islam itu meningkatkan daya saing kreatif yang berkualitas sebagai hasil pemikiran, penemuan dan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam persaingan global. Keempat, bagaimana pendidikan Islam itu mampu menghadapi tantangan terhadap munculnya inovasi kolonialisme di bidang politik dan ekonomi. 6
5
Rasiyo, Berjuang…, hal. 47. Maksud dari filosofi positivis yakni paradigma pendidikan yang terlalu mengesampingkan keragaman potensi siswa, pragmatis artinya mementingkan hasil daripada proses, developmentalis (pembangunan-centris), industrialis pendidikan hanya mencetak robot-robot industri, cnderung menyeragamkan siswa dan menunggalkan kemajemukan.Intinya adalah filosofi tersebut ketiadaan mata jiwa pendidikan terhadap hakikat manusia dan filosofi pendidikan ini harus diubah menjadi berdasarkan cita-cita luhur (ideal), menyeluruh (holistis), membebaskan eksplorasi terhadap potensi (liberatif), mengedepankan intelektual, menghargai keragaman dan kemajemukan budaya maupun karakteristik siswa. 6 Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: C3RD Press, 2005), hal. 6-7. Lihat pula Armai Arief, Tantangan Pendidikan di Era Global, dalam Jurnal Institut, NO. I, thn. 2005, hal.33.
4
Selain itu, tantangan bagi pendidikan Islam yang paling mendesak adalah globalisasi multikultural yang sangat rawan perpecahan dan permusuhan (dehumanisasi), maka penerapan pendidikan yang menggunakan pendekatan multikultural (multicultural approach) pun menjadi penting adanya.7 Posisi pendidikan agama juga berperan dalam menumbuhkembangkan sikap pluralisme dalam diri siswa. Pendidikan agama merupakan bagian integral dari pendidikan pada umumnya dan berfungsi untuk membantu perkembangan pengertian yang dibutuhkan bagi orang-orang yang berbeda iman, sekaligus juga untuk memperkuat ortodoksi keimanan bagi mereka. Artinya, pendidikan agama adalah wahana untuk mengeksplorasi sifat dasar keyakinan agama di dalam proses pendidikan dan secara khusus mempertanyakan adanya bagian dari pendidikan keimanan dalam masyarakat. Pendidikan agama dengan begitu, seharusnya mampu merefleksikan persoalan pluralisme, dengan mentransmisikan nilai-nilai yang dapat menumbuhkan sikap toleran, terbuka dan kebebasan dalam diri generasi muda. Di Indonesia, jaminan kebebasan dasar setiap manusia telah diregulasikan sebagaimana termaktub dalam ayat (2) pasal 29 UUD 1945. begitupun dalam hal Pendidikan sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas tahun 2003 sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 (1), Bab III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, disebutkan bahwa : “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.”8 Dalam ajaran Islam, pendidikan memiliki posisi yang sangat strategis. Hal ini dapat ditelusuri dari sejarah kenabian. Wahyu yang pertama diterima Rasulullah SAW memperlihatkan pada pentingnya proses pendidikan. Yakni permulaan surat Al-Alaq ayat 1-5.9 Pun banyak berserak ayat-ayat alQuran maupun hadits yang menunjukan bahwa pendidikan Islam adalah suatu yang penting, misalnya Allah menjanjikan kepada siapa saja untuk mengangkat 7
Lihat dalam Abudin Nata, Paradigma Baru Pendidikan Islam di Era Pasar Bebas, dalam Didaktika Islamika, Jurnal Kependidikan, Keislaman dan Kebudayaan, Vol. 1, Januari 2005, hal. 42. 8 Beny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, (Yogyakarta: LkiS, 2005), cet. 1, hal. 171. 9 Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), cet. Ke-1, hal. 171.
5
derajatnya, selagi ia diberi ilmu dan mengamalkannya, sesuai dengan surat alMujadalah :11 : Artinya :
....ﺔﹰﺠﺭ ﺩﻠﹾﻡﺘﹸـﻭﺍﻟﹾﻌ ﺃُﻭﻥﻴ ﻭﺍﻟﱠﺫﻨﹾـﻜﹸﻡﺍﻤﻨﹸﻭ ﺁﻤﻥﻴﻓﹶﻊﹺ ﺍﷲ ُﺍﻟﹼﺫﺭﻴ “.. Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi pengetahuan dengan beberapa derajat”. Begitu pentingnya ilmu (pendidikan) dalam Islam hingga Allah mewantiwanti kepada umat Islam untuk tidak mengabaikan masalah yang satu ini sebagaimana firmanNya: Artinya :
ﻗﹶﺔﺭ ﻜﹸلِ ﻓﻥ ﻤﻻﹶ ﻨﹶﻔﹶﺭﻭﺍﻜﹶـﺄﻓﹶﺔﹰ ﻓﹶﻠﹶﻭﺭﻨﹾﻔ ﻟِﻴﻥﻨﹸﻭﺌْﻤ ﺍﻟﹾﻤـﺎﻜﹶﺎﻥﻤﻭ ﺍﻭﻌﺠ ﺇﺫﹶﺍﺭﻡﻬﻤﺍ ﻗﹶﻭﻭﺭﻨﹾﺫﻟِﻴﻥﹺ ﻭﻴﻰ ﺍﻟﺩﻭﺍﻓﺘﹶﻔﹶﻘﱠﻬ ﻁﹶـﺎﺌِﻔﹶﺔﹲ ﻟِﻴﻡﻨﹾﻬﻤ ..ﻥﻭﺨﹾﺫﹶﺭ ﻴﻡﻠﱠـﻬ ﻟﹶﻌﻬﹺﻡﺇِﻟﹶﻴ “..Mengapa tidak pergi tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (At-Taubah: 122).10 Sementara itu, sikap Islam terhadap keragaman (pluralitas) sangat jelas. Islam tidak menolak adanya pluralisme, bahkan Islam memberikan kerangka sikap etis dan positif. Sikap etis dan positif
Islam dimaksud tercermin dari
beberapa ayat al-Qur’an yang secara eksplisit mengakui kenyataan tersebut. Seperti al-Qur’an menyatakan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai (QS. Al-Hujurat: 13). Al-qur’an juga menyatakan bahwa perbedaan di antara manusia dalam bahasa dan warna kulit harus diterima sebangai kenyataan positif sebagai satu di antara tandatanda kekuasaan Allah (QS. Ar-Rum: 22). Dalam ayat lain ditegaskan, tentang 10
Syaikh Mahmud Abdul Fayid, Pendidikan dalam Al-Qur’an, (terj. Drs. Judi al-Falasany) (Semarang: Wicaksana, 1986), hal. 35.
6
kemajemukan pandangan dan cara hidup diantara manusia yang tidak perlu menimbulkan kegusaran, tetapi hendaknya dipahami sebagai pangkal tolak sumber motivasi untuk berlomba-lomba menuju kebaikan, karena hanya Tuhanlah yang akan menerangkan mengapa manusia berbeda, nanti ketika manusia kembali kepadaNya.11 Pendidikan multikultural semakin dibutuhkan bagi masyarakat Indonesia, kian mendesak dilaksanakan di sekolah. Dengan pendidikan multikultural, sekolah menjadi lahan menghapus prasangka. Pembangunan rasa kesatuan berdasarkan budaya lokal juga dapat dimulai.
B. Identifikasi Masalah Tertarik pada masalah yang terjadi dan yang telah disebutkan di atas, maka penulis mencoba melakukan pengkajian ilmiah yang akan meneliti mengenai relevansi pendidikan multikultural dengan pendidikan Islam sebagai kerangka penyamaan pandangan persepsi, visi, dan misi masing-masing. Untuk itu penulis memilih judul :”Konsep Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam”.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Agar penelitian ini lebih terarah, maka perlu ada pembatasan masalah yang meliputi permasalahan sebagai berikut: 1. Konsep pendidikan multikultural yang dalam hal ini dibatasi pada pengertian pendidikan multikulural, prinsip-prinsip dasar dan tujuannya. 2. Konsep pendidikan Islam yang meliputi pengertian pendidikan Islam, prinsip-prinsip dasar dan tujuannya. 3. Relevansi pendidikan multikultural dengan konsep pendidikan Islam.
11
Syamsul Arifin dan Ahmad Barizi, Paradigma Pendidikan Berbasis Pluralisme dan Demokrasi, (Malang: UMM Press, 2001), cet. 1, hal. 2. Ayat-ayat lain yang senada al-Maidah: 48, al-Syura: 8, Hud: 118-119, dsb.
7
Dari pembatasan permasalahan tersebut, maka perumusan masalahnya timbul dari pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Bagaimana konsep pendidikan multikultural dalam pengertian, prinsipprinsip dasar dan tujuannnya? 2. Bagaimana konsep pendidikan Islam meliputi pengetian, prinsip-prinsip dasar dan tujuannya? 3. Bagaimana relevansi pendidikan multikultural dalam pendidikan Islam?
D. Metode Pembahasan Penelitian ini merupakan kajian konsep, maka penulis mendasarkan pada sumber-sumber data atau referensi yang berbentuk teks dari pendapat para hali pendidikan yang telah diformulasikan dalam bentuk buku maupun lainnya. Tegasnya hal ini biasa disebut dengan penelitian kepustakaan (library research). Sebagai proses understanding dari data teks tersebut, penulis kemudian menginterpretasikannya menggunakan metode deskripsi analisis, yakni diawali dengan pengumpulan data secara sistematis dam konsisten, yang kemudian dianalisis, diseleksi serta digabungkan untuk kemudian diambil kesimpulan menggunakan analisis yang deduktif, dari masalah yang bersifat umum kemudian diambil kesimpulan bersifat khusus.
E. Kegunaan dan Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui konsep pendidikan multikultural dalam perspektif pendidikan Islam. 2. Untuk mengetahui konsep pendidikan Islam multikulturalis. 3. Untuk mengetahui relevansi
pendidikan multikultural dengan konsep
pendidikan Islam dan bagaimana implementasinya.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. 2. Sebagai konstribusi penulisan, khususnya dalam dunia pendidikan Islam sebagai bahan rujukan awal bagi peneliti selanjutnya.
BAB II KONSEPSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL; SEBUAH TINJAUAN TEORITIS A. Definisi Pendidikan Multikultural Oleh beberapa pakar pendidikan multikultural masih diartikan sangat beragam. Belum ada kesepakatan, apakah pendidikan multikultural tersebut berkonotasi pendidikan tentang keragaman budaya, atau pendidikan untuk mengambil sikap agar menghargai keragaman budaya. Dua kata, pendidikan dan multikultural, memiliki keterkaitan sebagai subjek dan objek atau ‘yang diterangkan’ dan ‘menerangkan’, juga esensi dan konsekuensi. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan dan mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdeasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirirnya, masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan pendidikan multikultural, secara terminologi merupakan proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama).1 Menurut Prudance Crandall, seorang pakar dari Amerika menyatakan, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memperhatikan secara sungguhsungguh terhadap latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, agama (aliran kepercayaan) dan budaya (kultur).2
1
Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultural: Rekonstruksi Sistem Pendidikan Berbasis Kebangsaan, (Surabaya: JP Books kerjasama dengan STAIN Salatiga Press, 2007), cet. 1, hal. 48. 2 Ainnurrofik Dawam, Emoh Sekolah Menolak Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme Intelektual Menuju Pendidikan Multikultural,(Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya, 2003), hal. 100.
8
9
Sementara itu, Azyumardi Azra mengatakan, secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam mersepon perubahan demografi dan kultur lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.3 Dede Rosyada, sebagaimana mengutip Karmanto Sunarto menjelaskan bahwa pendidikan multikultural biasa diartikan sebagai “pendidikan keragaman budaya dalam masyarakat, dan terkadang juga diartikan sebagai pendidikan yang menawarkan ragam model untuk keragaman budaya dalam masyarakat, dan terkadang juga diartikan sebagai pendidikan untuk membina sikap siswa agar menghargai keragaman budaya masyarakat.4 Jika dipetakan, definisi pendidikan multikultural sesungguhnya dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu sebagai sebuah ide atau konsep, sebagai gerakan pembaruan pendidikan, dan sebagai sebuah proses. Pendidikan multikultural sebagai sebuah ide diartikan bahwa bagi semua siswa – dengan tanpa melihat gender, kelas sosial, etnik, ras, dan karakteristik budaya – harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah.5 Banks, dalam kutipan Azyumardi Azra mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai bidang kajian dan disiplin yang muncul yang tujuan utamanya menciptakan kesempatan pendidikan yang setara bagi siswa dari ras, etnik, kelas sosial, dan kelompok budaya yang berbeda.6 Sebagai sebuah gerakan,
pendidikan
multikultural sebagai suatu
pendidikan yang menunut kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama kita sehingga mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Pendidikan akan dasar-dasar
3
Azyumardi Azra, Pendidikan Multikultural; Membangun Kembali Indonesia Bhineka Tunggal Ika, dalam Tsaqofah, Vol. I, No. 2, tahun 2003, hal. 21. 4 Dede Rosyada, Pendidikan Multikultur Melalui Pendidikan Agama, dalam Jurnal Didaktika Islamika, Vol, VI, No. I, Juni 2005, hal. 21-22. 5 Khaerudin, Konstribusi Teknogi dalam Membangun Pendidikan Multikultural, sumber : http://www.ilmupendidikan.net/?p=8 6 Azyumardi Azra, Dari Pendidikan Kewargaan hingga Pendidikan Multkultural : Pengalaman Indonesia, dalam Edukasi : Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, Vol. 2, No. 4, tahun 2004, hal. 19-20.
10
kemanusiaan untuk perdamaian, kemeredekaan, dan solidaritas7. Bikhu Parekh mendefinisikan pendidikan multikultur sebagai, “an education in freedom, both in the sense of freedom from ethnocentric prejudices and biases, and freedom to eksplore and learn from other cultures and prespectives”.8 Sedangkan dalam perspektif sebagai proses, pendidikan multikultural adalah (1) proses mengenal realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami individu yang secara kultural berbeda dan dalam interaksi manusia yang kompleks, dan (2) cerminan pentingnya memperhatikan budaya, ras, perbedaan seks dan gender, etnis, agama, status sosial, dan ekonomi dalam proses pendidikan. Sletter sebagaimana dikutip oleh Burnet (1991:1), mengartikan pendidikan sebagai “any set of prosess by which schools work with rather than against appressed groups”. 9 Sebagai proses pembelajaran semangat multikulturalisme, pendidikan multikultur berupaya membina dan mendidik kemampuan belajar hidup bersama (living together) di tengah perbedaan dapat dibentuk, dipupuk, dan atau dikembangkan dengan kegiatan, keberanian, dan kegemaran melakukan perantauan budaya (cultural passing over), pemahaman lintas budaya (cross cultural understanding) dan pembelajaran lintas budaya (learning a cross culture).10 Selanjutnya, pendidikan multikultural berkehendak pada penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia darimanapun dia datangnya dan berbudaya apapun dia. Harapannya, sekilas adalah terciptanya kedamaian yang sejati, kemanan yang tidak dihantui kecemasan, kesejahteraan yang tidak dihantui manipulasi, dan kebahagiaan yang terlepas dari jaring-jaring manipulasi rekayasa sosial.
7
Frans Magnes Suseno, Islam dan Pendidikan Pluralisme, dalam Suara Pembaruan, edisi 23 September 2000. 8 Biku Parekh, Rethinking Multiculturalisme: Cultural Diversity and Political Theory, (Cambridge: Harvard University Press, 2000), hal. 230. 9 Lihat dalam Miftahul Choiri, Pendidikan Multikultural dan Implementasinya dalam Pendidikan, dalam Jurnal Cendekia, Vol. 3, No.2 Juli-Desember 2003. 10 Rasiyo, Berjuang Membangun Pendidikan Bangsa... hal. 63.
11
Dalam penggolongan yang lain, Calarry Sada menutip tulisan Sletter dan Grant menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki empat makna (model), yakni : 1) pengajaran tentang keragaman budaya sebuah pendekatan asimiliasi kultural; 2) pengajaran tentang berbagai pendekatan dalam tata hubungan sosial; 3) pengajaran untuk memajukan pluralisme tanpa membedakan strata sosial dalam masyarakat; 4) pengajaran tentang refleksi keragaman untuk meningkatkan pluralisme dan kesamaan.11 Dus, definisi pendidikan mulikultural masih sangat beragam, bahkan Banks
dalam
bukunya
Multicultur
Education:
Historical
Development,
Dimension, and Practice (1993) menyatakan bahwa meskipun tidak ada konsesus tentang itu ia berkesimpulan bahwa diantara banyak pengertian tersebut maka yang dominan adalah pengertian pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Meski demikian, dari banyaknya definisi-definisi tersebut tersimpul garis besar beberapa hal penting yaitu, pendidikan tentang multikultural, pendidikan untuk multikultural dan pendidikan kepada multikultural. Kemudian keterkaitan pendidikan multikultural dengan konteks waktu dan realitas sebagai respon zaman juga terlihat dari beberapa definisi tersebut. Tentang hal ini, Paulo Freire berpendapat bahwa pendidikan bukan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.12 Dengan demikian, jelas bahwa orientasi dari pendidikan multikultural adalah pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis sekaligus berwawasan multikultural. Pendidikan semacam ini harus dilihat sebagai bagian dari upaya komperhensif mencegah dan menanggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama, sparatisme, dan disintegrasi bangsa, sedangkan nilai dasar dari konsep pendidikan ini adalah toleransi. 11
Dede Rosyada, Pendidikan Multikultur…., hal. 22. Muhaimin el-Ma’hady, Multikulturalisme dan http://www.cyberschooldps.net - 27 February, 2008, hal. 3. 12
Pendidikan
Multikultural
dalam
12
Pendidikan multikultural dalam konteks ini juga diartikan sebagai proses pendidikan yang memberikan peluang yang sama pada seluruh anak bangsa tanpa membedakan perlakuan karena perbedaan etnik, budaya dan agama yang memberikan penghargaan terhadap keragaman, dan yang memberikan hak-hak yang sama bagi etnik minoritas dalam upaya memperkuat persatuan dan kesatuan, identitas nasional dan citra bangsa di mata dunia internasional. Dus, pendidikan multikultural adalah salah satu solusi dari banyaknya konflik dan keteganganketegangan bermotif SARA yang kerap muncul di Indonesia yang menguras energi bangsa ini. Sebagai penegas akhirnya penulis sendiri menarik kesimpulan bahwa definisi-definisi pendidikan multikultural tersebut di atas memiliki muara yang lebihkurang sama, yakni sebuah ide (gagasan), gerakan dan proses pengembangan potensi, sikap dan tata laku manusia dalam usaha pendewasaan melalui pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan dan tata-cara yang menghargai perbedaan, demokratis, humanis, pluralis dan egaliter guna mewujudkan bangsa yang kuat, maju, adil, makmur dan sejehtera tanpa diskriminasi dan dikotomisasi. Dengan demikian bangsa ini memiliki harga diri yang tinggi dan dihargai oleh bangsa-bangsa lain di dunia
B. Sejarah Lahirnya Pendidikan Multikultural di Dunia Setelah menjelaskan pengertian dari definisi pendidikan multikultural, kiranya
perlu
digambarkan
bagaimana
sejarah,
wacana
kelahiran
dan
perkembangannya di beberapa negara di dunia. Hal ini agar diketahui dan dipahami konsep pendidikan multikultural secara komperhensif dan integral. Secara sederhana multikulturalisme berarti “keragaman budaya”. Menurut Dawam Rahardjo, sebenarnya multikulturalisme itu sama atau sejalan dengan beberapa faham lain yang juga sering disebut, yaitu pluralisme, masyarakat terbuka (open society) dan globalisme. Pluralisme adalah suatu paham yang bertolak dari kenyataan pluralitas masyarakat. Ia tidak bertolak dari asumsi bahwa
13
setiap kultur atau agama itu sama, justru yang didasari adalah adanya perbedaan.13 Meski demikian, sebenarnya ada tiga istilah yang kerap digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri keberagaman tersebut baik keberagaman ras, agama, bahasa, dan budaya-, yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversitas), dan multikultural. Sedikit berbeda, Tilaar membedakan istilah-istilah tersebut. Ia menyatakan istilah plural itu sendiri mengandung arti yang berjenis-jenis, karena pluralisme bukan sekedar pengakuan akan adanya hal-hal yang berjenis, tetapi juga pengakuan tersebut mempunyai implikasi-implikasi politis, sosial, ekonomi, dan yang lainnya.14 Ketiga ekspresi itu sesungguhnya tidak mempresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ‘ketidaktunggalan’. Konsep pluralitas mengandaikan adanya ‘hal-hal yang lebih dari satu’ (many); kergaman menunjukan bahwa keberadaan yang ‘lebih dari satu’ itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan; multikultural yang relatif paling baru, adalah tidak sekadar mengakui adanya yang ‘lebih dari satu’ tapi juga kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Jadi, jika pluralitas sekadar mempresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu dipelakukan sama oleh negara. Oleh karena itu, multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut adanya pengakuan (politics of recognition).15 Ditambahkan, bahwa pengakuan tersebut
13
M. Dawam Rahardjo, Meredam Konflik: Merayakan Multikulturalisme, dalam Bulletin Kebebasan Edisi No. 4/V/2007, hal. 5. 14 H.A.R Tilaar, Multikulturalisme, Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Grassindo, 2004), hal. 82. 15 Politics of Recognition dikemukakan oleh Charles Taylor pada 1992 di depan kuliah terbuka di Princenton University. Mulanya gagasan ini adalah gagasan politik yang kemudian berkembang di kajian lain, filsafat, sosiologi, budaya dan lainnya. Gagasan ini dipengaruhi oleh Jean Jacques Rousseau dalam Discourse Inequality dan kesamaan martabat (equal dignity of human rights) yang dicetus Immanuel Kant. Gagasan Taylor bersumber pada pertama, sesungguhnya harkat dan martabat manusia adalah sama. Kedua, pada dasarnya budaya dalam
14
bukan hanya oleh negara semata-mata tapi juga antar komunitas satu dengan lainnya karena secara hakiki, multikulturalisme mengandung pengertian pengakuan martabat
manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan
kebudayaan masing-masing yang unik. Pengakuan berarti penghargaan akan keberadaan yang dimiliki orang lain. Abdurrahman Assegaf juga memaknai “menghargai perbedaan” berarti siap untuk menerima kehadiran orang lain di tengah kehidupan kita secara kolektif (learning to live together).16 Dengan demikian multikulturalisme adalah paham dan gerakan yang menuntut penghargaan dan pengakuan yang bersifat vertikal (antar komunitas) dan horizontal (komunitas dengan negara). Indonesia yang multikultur secara sukubangsa atau kebudayaan suku bangsa sebagaimana ciri masyarakat majemuk, belum sepenuhnya memahami multikulturalisme, karena multikulturalisme menekankan
keanekaragaman
kebudayaan
tersebut
dalam
kesedarajatan.
Demikianlah bahwa multikultutralisme memberikan pengandaian akan adanya kesadaran bagi setiap komunitas dengan identitas kultural tertentu dan posisinya sebagai bagian dari harmoni kehidupan. Dalam hal ini multikulturalisme meniscayakan
keragaman
dan
pluralitas.
Titik
tekan
pluralisme
dan
multikulturalisme adalah terletak pada domain bangunan kesadaran akan keragaman. Jika pluralisme mengisaratkan kesadaran dibangun atas individu dengan cita-cita ideal adanya personal right yang mengarah pada liberalisme dan masyarakat komunikatif, adapun multikulturalisme dibangun atas kesadaran kolektif sebuah komunitas yang mengarah pada pembentukan masyarakat madani yang multi etnik, keragaman agama dan identitas sosial yang lain Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan
masyarakat adalah berbeda-beda, oleh karena itu membutuhkan hal yang ketiga, yaitu pengakuan atas bentuk perbedaan budaya oleh semua elemen sosial-budaya, termasuk juga negara. Lihat Charles Taylor, “The Politics of Recognition” dalam Amy Gutman, Multiculturalism, Examining the Politics of Recognition, (Princenton: Princenton University Press, 1994), hal. 18. sumber : www.bagais.go.id/jurnaldikti/dokfdp akses tanggal 20 Januari 2008 16 Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultural: Rekonstruksi Sistem Pendidikan Berbasis Kebangsaan, (Surabaya: JP Books kerjasama dengan STAIN Salatiga Press, 2007), cet. 1, hal. 7.
15
konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan. Selanjutnya Suparlan menyebutkan bahwa multikulturalisme ini akan menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai
kebudayaan
seperti
sebuah
mosaik.
Dengan
demikian,
multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang kebudayan.17 Menurut
Bloom,
multikulturalisme
meliputi
sebuah
pemahaman,
penghargaan dan penilaian budaya seseorang dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Meski demikian, sebuah penilaian terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan orang lain tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai bagi 17
Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural, makalah disajikan pada Simposium Internasional, di Universitas Udayana 16-19 Juli 2002. Sumber: http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikelps.htm Diakses tanggal 24 September 2006.
16
anggota-anggotanya sendiri.18 Dengan demikian multikulturalisme sebagai sebuah paham menekankan pada keseteraan budaya lokal tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada. Konsep
multikulturalisme
mengulas
berbagai
permasalahan
yang
mendukung ideologi, politik, demokrasi, keadilan, penegakan hukum, kesempatan kerja dan usaha, hak asasi manusia, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, tingkat serta mutu produktivitas serta berbagai konsep lainnya yang relevan.19 Lantas
kapan
wacana
multikulturalisme
mulai
mengemuka?
Multikulturalisme marak digunakan pada tahuan 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary, istilah “multiculturalism” berasal dari dari kata “multicultural”. Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada Montreal Times
yang
menggambarkan
masyarakat
Montreal
sebagai
masyarakat
“multicultural dan multi-lingual”.20 Secara umum, sejarah multikulturalisme baru sekitar 1970 di berbagai belahan dunia seperti Kanada, Australia, Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan lainnya yang kemudian diskursus multikulturalisme berkembang sangat cepat. Hal itu lebih disebabkan karena tuntutan dan perkembangan zaman. Lahirnya multikulturalisme ditandai dan disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : a) Proses demokratisasi dalam masyarakat; b) Pembangunan kembali setelah Perang Dunia ke-II; dan c) Lahirnya Paham Nasionalisme Kultural.21 Sejarah multikulturalisme adalah sejarah tentang masyarakat majemuk. Selain Kanada, Amerika dan Australia adalah dari sekian negara yang sangat serius mengembangkan konsep dan teori-teori multikulturalisme dan pendidikan multikultural, 18
mereka
tergolong
negara
yang
berhasil
mengembangkan
Atmaja, Multikulturalisme dalam Perspektif Filsafat Hindu, makalah disampaiakan pada Seminar Damai dalam Perbedaan, Singaraja 5 Maret 2003. 19 Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural, makalah disajikan pada Simposium Internasional, di Universitas Udayana 16-19 Juli 2002. Sumber: http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikelps.htm 20 Muhaimin el-Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural dalam dalam situs http://www.education/pendOrg.hatm. 21 H.A.R Tilaar, Multikulturalisme; Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Grassindo, 2004), hal. 82.
17
masyarakat multikultur dan mereka dapat membangun identitas kebangsaannya, dengan atau tanpa menghilangkan identitas kultur mereka sebelumnya, atau kultur nenek moyang tanah asalnya. Di
Amerika
misalnya,
menurut
Muhaimin
el-Ma’hady,
sejarah
multikulturalisme berjalan secara bertahap dan dinamis. Sejak Colombus menemukan benua Amerika, berbagai macam bangsa telah menempati benua itu. Penduduk yang sudah berada di sana sebelum bangsa-bangsa Eropa membentuk koloni-koloni mereka di Amerika Utara, terdiri dari berbagai macam suku yang berbeda-beda bahasa dan budayanya. Tetapi di mata Anglo Saxon (imigran asal Eropa) yang menyebarkan koloni di abad ke-17, tanah di negara baru itu adalah kawasan tak bertuan dan bangsa-bangsa yang ditemui di benua baru itu tak lebih dari mahluk primitif yang merupakan bagian dari alam yang mesti ditaklukan. Dari perpektif kaum puritan yang menjadi acuan utama sebagian besar pendatang dari Inggris tersebut, berbagai suku bangsa yang dilabel secara generik dengan nama “Indian” adalah bangsa kafir pemuja dewa yang membahayakan kehidupan komunitas berbasis agama tersebut. Di sini terlihat bagaimana pandangan berprespektif tunggal yang datang dari budaya tertentu membutakan mata terhadap kenyataan keragaman yang ada. Hingga kemudian pasca kemerdekaannya (4 Juli 1776), ketika ingin membentuk masyarakat baru Amerika Serikat mulai menyadari bahwa masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal negara yang berbeda. Oleh karenanya dalam hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh
strategi
menjadikan
sekolah
sebagai
pusat
sosialisasi
dan
pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan22. Dalam pada itu, Dede Rosyada mengelaborasi bahwa sejarah multikulturalimse diawali dengan teori meltingpot yang sering diwacanakan oleh J. Hector, seorang imigran gelap asal Normandia. Dalam teorinya Hector menekankan penyatuan budaya dan melelehkan budaya asal, sehingga seluruh imigran Amerika hanya memiliki satu budaya yaitu budaya Amerika yang lebih didominasi oleh kultur White Anglo Saxon Protentant (WASP) sebagai kultur imigran putih asal Eropa. 22
Muhaimin el-Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural dalam dalam situs http://www.education/pendOrg.hatm
18
Kemudian ketika komposisi etnik Amerika kian beragam dan budaya mereka kian menjemuk, maka teori melting pot kemudian dikritik dan muncul teori baru yaitu salad bowl sebagai alternative dipopulerkan oleh Horace Kallen. Berbeda dengan melting pot yang melelehkan budaya asal dalam membangun budaya baru yang dibangun dalam kergaman, teori salad bowl atau teori gadogado terebut tidak menghilangkan budaya asal, tapi sebaliknya kultur-kultur lain di luar WASP diakomodir dengan baik dan masing-masing memerlukan ruang gerak yang leluasa, sehingga dkembangkan teori cultural pluralisme, yang membagi ruang pergerakan budaya menjadi dua, yakni ruang publik untuk seluruh etnik mengartikulasikan budaya politik dan mengekspresikan partisipasi sosial politik mereka. Dalam konteks ini, mereka homogen dalam sebuah tatanan budaya Amerika, akan tetapi mereka juga memiliki ruang privat yang di dalamnya mereka mengekspresikan budaya etnisitasnya secara leluasa. Dengan berbagai teori di atas, bangsa Amerika berupaya memperkuat bangsanya, membangun kesatuan dan persatuan, mengembagkan kebanggaan sebagai orang Amerika. Namun pada tahun 1960-an, masih ada sebagian masyarakat yang merasa hak-hak sipilnya belum terpenuhi. Kelompok Amerika latin atau etnik minoritas lainnya merasa belum terlindungi hak-hak sipilnya. Atas dasar itulah kemudian mereka mengembangkan multiculturalisme, yang menekankan penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak minoritas baik di lihat dari segi etnik, agama, ras atau warna kulit. Multikulturalisme pada akhirnya sebuah konsep akhir untuk membangun kekuatan sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai latar belakang etnik, agama, ras, budaya dan bahasa dengan menghargai dan menghormati hak-hak sipil mereka, termasuk hak-hak minoritas. Sikap apresiatif tersebut
akan dapat
meningkatkan partisipasi
mereka dalam
membesarkan sebuah bangsa, karena mereka akan menjadi besar karena kebesaran bangsanya itu.23 Sementara itu, pendidikan multikultural di Kanada mempunyai wajah yang berlainan karena sejak semula sebagian dari negara Kanada mengenal budaya yang belainan, yaitu budaya Prancis di negara bagian Quebec. Perkembangan 23
Dede Rosyada, Pendidikan Multikultur Melalui Pendidikan Agama, dalam Jurnal Didaktika Islamika, Vol, VI, No. I, Juni 2005, hal. 20-21.
19
pendidikan multikultural di Kanada dengan demikian lebih bersifat progresif dibandingkan dengan negara tetangganya. Di Jerman dan Inggris, pendidikan multikultural dipacu oleh migrasi penduduk akibat pembangunan kembali Jerman atau migrasi dari eks jajahan Inggris memasuki Inggris Raya. Kebutuhan akan kelompok-kelompok etnis baru ini terhadap pendidikan generasi mudanya telah meminta paradigma baru di dalam pendidikan yang melahirkan pendidikan multikultural. Kemudian juga di Australia, pendidikan multikultural mendapatkan momentumnya dengan perubahan politik luar negri Australia. Seperti diketahui Australia merupakan suatu negara yang relatif tertutup bagi kelompok kulit berwarna. White man policy yang belum lama ditinggalkan oleh pemerintah Australia telah menyebabkan migrasi dari kelompok-kelompok etnis bukan hanya dari Eropa tetapi juga dari Asia seperti India, Cina, Vietnam, dan juga dari Indonesia24. Menurut
Bikhu
Parekh,
setelah
tiga
dekade
sejak
digulirkan,
multikulturalisme sudah mengalami dua gelombang penting yaitu, pertama multikulturalisme dalam konteks perjuangan pengakuan budaya yang berbeda, prinsip kebutuhan terhadap pengakuan (poltics of recognition) adalah ciri utama dari gelombang ini. Gelombang kedua, adalah multikulturalisme yang melegitimasi keragaman budaya. Pada gelombang ini mengalami beberapa tahapan, di antaranya : a. kebutuhan atas pengakuan, melibatkan berbagai displin akademik lain, pembebasan melawan imrealisme dan kolonialisme. b. gerakan
pembebasan
kelompok
identitas
dan
masyarakat
asli/masyarakat adat (indigeous people), post-kolonialisme, globalisasi, post-nasionalisme, post modernisme dan post-strukturalisme yang mendekonstruksi struktur kemapanan dalam masyarakat.25
24
Sumber dari http://multikulturalisme.blogspot.com/2006/12/pendidikan-multikultural-diindonesia_04.html 25 Grgory Jay, Critical Context For Multiculturalism, dalam www.uwm.edu/gjay/Multicult/conte+tmulticulut.htm. Download 2 Desember 2005
20
Gelombang kedua ini tampak makin progresif dan dinamis, memandang jauh ke depan. Pun begitu, Steve Fuller mewanti-wanti adanya tantangan yang harus diperhatkan dan diwaspadai yang muncul dari akibat multikulturalisme gelombang kedua ini, antara lain : Pertama, adanya hegemoni barat dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan ilmu pengetahuan. Komunitas, utamanya negara-negara berkembang, perlu mempelajari sebab-sebab hegemoni barat dalam bidang-bidang tersebut dan mengambil langkah-langkah seperlunya mengatasinya, sehingga dapat sejajar dengan dunia barat. Kedua, esensialisasi budaya. Dalam hal ini multikulturalisme berupaya mencari esensi budaya tanpa harus jatuh ke dalam pandangan xenophobia dan etnosentrisme. Multikulturalisme dapat melahirkan tribalisme yang sempit yang pada akhirnya merugikan komunitas itu sendiri di dalam era globalisasi, dan Ketiga, proses globalisasi yang bisa memberangus identitas dan kepribadian suatu budaya.26 Kemudian bagaimana posisi pendidikan multikultural dalam proses, wacana dana teori-teori multikulturalisme di atas?. Pendidikan multikultural menjadi bagian penting dari multikulturalisme. Ia menjadi semacam medium sosialiasi dan pengembangan multikulturalisme. Wacana tentang pendidikan multikultural terus
mengemuka
seiring
dengan
terus
bergulirnya
arus
demokratisasi dalam kehidupan bangsa, yang berimplikasi pada penguatan civil society dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM). Ketika ingin membentuk masyarakat baru pasca kemerdekaannya, Amerika Serikat menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan. Melalui pendekatan inilah, dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi, Amerika Serikat berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakat induknya yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui 26
Lihat Tilaar, Multikulturalisme; Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Grassindo, 2004),, hal. 83-85.
21
sistem pendidikan pada suatu masyarakat, maka Amerika Serikat menggunakan sistem demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya adalah toleransi tidak hanya diperuntukkan untuk kepentingan bersama akan tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat.27 Dengan demikian konsep pendidikan multikultural di negara-negara yang menganut konsep demokrasi seperti di Amerika Serikat dan Kanada bukan hal baru lagi. Mereka telah mempraktikan khususnya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit putih dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional. Pendidikan multikultural tidak bisa lepas dari diskursus multikulturalisme, pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang “interkulturalisme” seusai Perang Dunia ke-II. Kemunculan gagasan dan kesadaran “interkulturalisme” selain terkait dengan perkembangan politik internasional
menyangkut
HAM,
kemerdekaan
dari
kolonialisme,
dan
diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negaranegara Barat sendiri yang baru migrasi ke Amerika dan Eropa.28 R. Stavenhagen dalam kutipan Tilaar, menyatakan : Religious, linguistic, and national minoritas as well as indigeous and tribal peoples were often subordinated, sometimes forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While many people… had to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national institutions, including the eduacational and legal system.29 Mengingat pentingnya pemahaman mengenai multikulturalisme dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara terutama bagi negara-negara yang mempunyai aneka ragam budaya masyarakat seperti Indonesia, maka pendidikan multikulturalisme ini perlu dikembangkan. Melalui pendidikan multikulturalisme ini diharapkan akan dicapai suatu kehidupan masyarakat yang 27
Muhaimin, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural dalam dalam situs http://www.education/pendOrg.hatm 28 Said Agil Husin al-Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai dalam Sistem Pendidikan Islam, (Ciputat: Ciputat Press, 2005), cet.2, hal. 208. 29 Tilaar, Multikulturalisme; Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Grassindo, 2004), hal. 46.
22
damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam undang-undang dasar. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan multikultural bergandeng
mesra
dengan
multikulturalisme,
ditandai
dengan
proses
demokratisasi dan dipicu oleh tuntutan pengakuan terhadap hak asasi manusia, anti diskriminasi dan dikotomisasi atas warna kulit, agama, adat istiadat, kultur maupun gender. Semua manusia diciptakan oleh Tuhan sama dan sederajat. Multikulturalisme dan pendidikan multikultural, sekarang dan ke depan akan menjadi tema menarik dan ramai diperbincangkan.
C. Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Multikultural Pendidikan multikultural merupakan sebuah model pendidikan aplikatif sekaligus responsible terhadap gejala multikulturalisme. Menurut Redolfo Stavenhagen, sebagaimana dikutip Miftahul Choiri, pendidikan multikultural harus didasarkan pada tujuan untuk menciptakan stabilitas dan integrasi nasional. Oleh karena itu, latar belakang kehidupan masyarakat baik yang berada di pedesaan maupun di perkotaan harus mendapatkan perhatian yang proporsional sehingga model pendidikan yang diberikan kepada mereka sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat.30 Sebagaimana keterangan pada proses keterkaitan antara (ke)budaya(an) dengan pendidikan terdahulu. Menurut Parekh bahwa istilah multikulturalisme mengandung tiga komponen, yakni terkait dengan kebudayaan, konsep ini merujuk kepada pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons pluralitas itu. Oleh karena itu, multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik melainkan sebagai cara pandang kehidupan manusia. Karena hampir semua negara di dunia tersusun dari anekaragam kebudayaan—artinya perbedaan menjadi asasnya—dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara. Namun, yang masih menjadi pertanyaan besar, model kebijakan
30
Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultur….., hal. 49
23
multikultural seperti apa yang dapat dikembangkan oleh suatu negara seperti Indonesia? Untuk menghantarkan pada pengidentifikasian pendekatan-pendekatan dalam perumusan prinsip-prinsip pendidikan multikultural, tidak ada salahnya jika menegok bentuk-bentuk materi-materi praktek pendidikan multikultural di Amerika sebagaimana catatan Kymlica yang dirangkum oleh Dede Royada, meliputi : 1. Tentang hak-hak individual dan hak-hak kolektif dari setiap warga negara masyarakat, yakni setiap individu dari suatu bangsa memiliki hak yang sama untuk terpebuhi seluruh hak-hak asasi kemanusiaannya, seperti hak untuk memeluk agama, hak untuk memperoleh kehidupan yang layak, hak atas kesempatan berusaha dan yang sebagnsanya. Demikian pula, secara kolektif, walaupun mereka berasal dari etnik minoritas dan tidak memiliki perwakilan dalam birokrasi dan lembaga legislatif, tapi mereka memiliki hak yang sama dengan kelompok mayoritas untuk menyampaikan aspirasi politiknya, mengembangkan budayanya, dan yang sebangsanya. 2. Tentang kebiasaan individual dan budaya, yakni bahwa setiap individu termasuk etnik minoritas memiliki kebebasan untuk berkreasi, berkarya bahkan untuk mengembangkan dan memajukan budayanya. Kelompok etnik mayoritas harus menghargai hak-hak minoritas untuk mengembangkan budayanya itu. 3. Tentang keadilan dan hak-hak minoritas, yakni seluruh anggota masyarakat memiliki hak yang sama untuk memperoleh keadilan dari negara, dan bahkan mereka juga memiliki hak untuk mengembangkan kultur etniknya, termasuk etnik minoritas yang harus mampu mengelola bahsa, dan berbagai institusi sosialnya, agar tidak hilang dalam budaya kelompok etnik mayoritas. 4. Jaminan minoritas untuk bisa berbicara dan keterwakilan aspirasinya dalam struktur pemerintahan legislatif. Mereka memiliki hak untuk bisa terwakili, tetapi karena sistem kepartaian, seringkali kelompok-kelompok etnik, budaya dan kepentingan tidak terwakili, seperti wanita pekerja yang belum tentu terwakili di parlemen. Etnik kecil yang belum tetntu terwakili aspirasi dan suaranya dalam pengambilan putusan tentang kebijakan pembangunan. 5. Toleransi dan batas-batasnya, yakni bahwa etnik minoritas yang tidak terwakili langsung di parlemen atau birokrasi, harus dilindungi oleh etnik atau kelompok yang menguasai lembaga-lembaga otoritatif untuk pengambilan kebijakan-kebijakan publik. Akan tetapi, mereka yang berusaha memperhatikan hak-hak minoritas tersebut memiliki berbagai keterbatasan, karena harus memperhatiakan etnik atau kelompok mayoritas yang justru mereka wakili. Oleh sebab itu, hak-hak minoritas itu tetap memperoleh perhatian tapi dalam keterbatasan.31 31
Lihat Dede Rosyada, Pendidikan Multikultur…., hal. 24.
24
Dengan bentuk materi praktek pendidikan multikultural demikian, Amerika Serikat menurut hasil sebuah penelitian mengungkapkan beberapa program pendidikan multikultural di Amerika ini sangat memungkinkan diterapkan dalam masyarakat yang multikultur, meskipun masih ada beberapa masalah yang akan terus muncul, namun kontribusi pendidikan multikultural sangatlah
signifikan.
Tidak
terbantahkan
bahwa
anggapan
pendidikan
multikultural sebagai faktor kunci membutuhkan proses panjang dan menghadapi berbagai tantangan. Namun demikian, pendidikan multikutural juga sangat membantu sebagai strategi merekonstruksi kesetaraan dalam pendidikan, mewujudkan kurikulum yang mengakomodasikan keberagaman, perubahan budaya, teknik pengajaran dan meminimalkan diskriminasi dalam bentuk ras, kecurigaan dan prasangka untuk semua warga negara dalam wadah masyarakat multikultural.32 Selanjutnya, secara umum paling tidak tiga model kebijakan multikultural negara-negara di dunia: Pertama, model yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas adalah sosok baru yang dibangun bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku bangsa, agama, dan bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi. Dalam kebijakan ini setiap orang—bukan kolektif—berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model ini dipandang sebagai penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan negara dan menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model kebijakan multikultural ini dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan untuk menentukan unsur-unsur integrasi nasional berada di tangan suatu kelompok elite tertentu. Kedua, model nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para pendiri nasional (founders). Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional-etnik ini. Model ini dianggap sebagai model tertutup karena orang luar
32
Yuyun Nur Hidayati, Multicultural Education In America, (Tesis), (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada). Sumber: google.com/search/Multi_Amerika.htm.
25
yang tidak memiliki sangkut paut hubungan darah dengan etnis pendiri nasional akan tersingkir dan diperlakukan sebagai orang asing. Ketiga, model multikultural- etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini, keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan identitas dan asal-usul warga negara diperhatikan. Isu-isu yang muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi karena ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi. Jika kekuasaan negara lemah karena prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif sebagai konsekuensi pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflikkonflik internal berkepanjangan yang pada gilirannya akan melemahkan negara itu sendiri33. Sekali lagi, tiap bangsa memiliki keunikannya sendiri, pendidikan multikultural di Amerika bisa jadi tidak bisa diterapkan sepenuhnya di Indonesia. Namun, secara universal, di manapun pendidikan multikultural mestilah terkandung nilai-nilai penghormatan terhadap hak asasi kemanusiaan dan kearifan memandang setiap manusia sebagai mahluk yang berbudaya. Multikulturalisme sendiri adalah bagian integral dalam pelbagai sistem budaya masyarakat, salah satunya
adalah
menjelma
dalam
pendidikan
multikultural.
Pendidikan
berwawasan multikultural dalam rumusan Jemes A. Banks adalah konsep, ide atau falasafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribaadi, kesempatankesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.34
33
Achmad Fedyani Saifuddin, Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia, sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/21/pustaka/2374717.htm 34 James A. Bank dan Cherry A. Mc Gee (ed), Handbook of Research on Multicultural Education, (San Fransisco: Jossey-Bass, 2001), hal. 28.
26
Mengenai manusia mahluk yang berbudaya, Bikhu Parekh menggaris bawahi tiga asumsi dasar yang harus diperhatikan dalam kajian ini, pertama, pada dasarnya manusia akan terkait dengan struktur dan sistem budayanya sendiri dimanapun dia hidup dan berinteraksi. Keterkaitan ini tidak berarti bahwa manusia tidak bisa bersikap kritis terhadap sistem budaya tersebut, akan tetapi mereka dibentuk oleh budayanya dan akan selalu melihat segala sesuatu berdasarkan
budayanya
tersebut.
Kedua,
perbedaan
budaya
merupakan
representasi dari sistem nilai dan cara pandang tentang kebaikan yang berbeda pula. Oleh karena itu, suatu budaya merupakan satu entitas yang realtif sekaligus partial dan memerlukan budaya lain untuk memahaminya. Sehingga, tidak satu budaya-pun yang berhak memaksakan budayanya kepada sistem budaya lain. Ketiga, pada dasarnya budaya secara internal merupakan entitas yang plural yang merefleksikan interaksi antar perbedaan tradisi dan untaian cara pendang. Hal ini tidak berarti menegasikan koherensi dan identitas budaya, akan tetapi budaya pada dasarnya adalah suatu yang majemuk, terus berproses dan terbuka.35 Parekh menulis: “a culture’s relation to it self shapes and is turn shaped by its relatin to others, and their internal and external pluralities presuppose and reinforceeach other. A cultur cannot appreciate the value of other unless it appreciates the plurality within it.36 Dengan demikian jelaslah bahwa prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam penerapan pendidikan multikultural harus menimbang akan kebutuhan dan budaya suatu negara. Dalam pelaksanaannya, Banks menjelaskan lima dimensi yang harus ada dalam perumusan pendidikan multikultural, yaitu: Pertama, adanya integrasi pendidikan dalam kurikulum (content integration) yang di dalamnya melibatkan keragaman dalam satu kultur pendidikan yang tujuan utamanya adalah menghapus prasangka. Kedua, konstruksi ilmu pengetahuan (konwledge construction) yang diwujudkan dengan mengetahui dan memahami secara komperhensif keragaman yang ada. Ketiga, pengurangan prasangka
35
Diambil dari Bikhu Parekh, What is Multiculturalism?, dalam Jurnal India Seminar, Desember 1999, sumber,www.google.com/search/what-is-multiculturalisme.htm 36 Bikhu Parekh, What is Multiculturalism?, dalam Jurnal India Seminar, Desember 1999, sumber,www.google.com/search/what-is-multiculturalisme.htm
27
(prejudice reduction) yang lahir dari interaksi antar keragaman dalam kultur pendidikan. Keempat, pedagogik kesetaraan manusia (equity pedagogy) yang memberi ruang dan kesempatan yang sama kepada setiap elemen yang beragam. Kelima, pemberdayaan kebudayaan sekolah (empowering school culture). Hal yang kelima ini adalah tujuan dari pendidikan multikultur yaitu agar sekolah menjadi elemen pengentas sosial (transformasi sosial) dari struktur masyarakat yang timpang kepada struktur yang berkeadilan.37 Peran pendidikan di dalam multikuklturalisme hanya dapat dimengerti di dalam kaitannya dengan falsafah hidup, kenyataan sosial, yang akan meliputi disiplin-disiplin ilmu yang lain seperti ilmu politik, filsafat, khususnya falsafah posmoderenisme, antropologi, dan sosiologi. Dalam hal ini dimaksudkan agar dalam perjalanan sejarah pendidikan multikultural nantinya tidak kehilangan arah atau bahkan berlawanan dengan nilai-nilai dasar multikulturalisme. Oreintasi yang seharusnya dibangun dan diperhatikan antara lain meliputi: 1. Orientasi kemanusiaan. Kemanusian atau humanisme merupakan sebuah nilai kodrati yang menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan. Kemanusian besifat universal, global, diatas semua suku, aliran, ras, golongan dan agama. 2. Orientasi kebersamaan. Kebersamaan atau kooperativisme merupakan sebuah nilai yang sangat mulia dalam masyarakat yang plural dan heterogen. Kebersamaan yang hakiki juga akan membawa kepada kedamaian yang tidak ada batasannya. Tentunya kebersamaan yang dibangun di sini adalah kebersamaan yang sama sekali terlepas dari unsur kolutif maupun koruptif. Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang masing-maising pihak tidak merasa dirugikan dirinya sendiri, orang lain, lingkungan, serta negara. 3. Orientasi kesejahteraan. Kesejahteraan atau welvarisme merupakan suatu kondisi sosial yang menjadi harapan semua orang. Kesejahteraan selama ini hanya dijadikan sebagai slogan kosong. Kesejahteraan sering diucapkan, akan tetapi tidak pernah dijadikan orientasi oleh siapapun. Konsistensi terhadap sebuah orientasi harus dibuktikan dengan prilaku menuju pada terciptanya kesejahteraan masyarakat. 4. Orientasi profesional. Profesional merupakan sebuah nilai yang dipandang dari aspek apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat proses, tepat pelaku, tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif, tepat kuantitatif, dan tepat tujuan.
37
James A. Banks, Multiccultural Education: Historical Developmen, Dimension, and Practice, dalam Handbook…., hal. 28
28
5. Orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas. pluralitas dan heterogenitas merupakan sebuah kenyataan yang tidak mungkin ditindas secara fasis dengan memunculkan sikap fanatisme terhadap sebuah kebenaran yang diyakini oleh orang banyak. 6. Orientasi anti hegemoni dan anti dominasi. hegemoni dan dominasi hegemoni adalah dua istilah yang sangat populer bagi kaum tertindas. Hanya saja kedua istilah tersebut tidak pernah digunakan atau bahkan dihindari jauh-jauh oleh para pengikut paham liberalis, kapitalis, globalis, dan neoliberalis. Karena hegemoni bukan hanya dibidang politik, melainkan juga dibidang pelayanan terhadap masyarakat.18 Selanjutnya Tilaar juga menggarisbawahi enam hal kebutuhan model pendidikan (multikultural) di Indonesia yang yang harus diperhatikan, antara lain: Pertama, pendidikan multikultural haruslah berdimensi right to culture dan identitas lokal. Kedua, kebudayaan Indonesia yang menjadi, artinya kebudayaan Indonesia merupakan weltanschauung yang terus berproses dan merupakan bagian integral dari proses kebudayaan mikro. Oleh karena itu, perlu sekali untuk mengoptimalisasikan budaya lokal yang beriringan dengan apresiasi terhadap budaya nasional. Ketiga, pendidikan multikultural normatif yaitu model pendidikan yang memperkuat identitas nasional yang terus menjadi tanpa harus menghilangkan identitas budaya lokal yang ada. Keempat, pendidikan multikultural
tidak
boleh
terjebak
pada
xenophobia,
fanatisme
dan
fundamentalisme, baik etnik, suku, ataupun agama. Kelima, pendidikan multikultural merupakan pedagogik pemberdayaan (pedagogy of empowerment) dan pedagogik kesetaraan dalam kebudayaan yang beragam (pedagogy of equite). Pedagogik pemberdayaan pertama-tama berarti seseorang diajak mengenal budayanya sendiri dan selanjutnya digunakan untuk mengembangkan budaya Indonesia di dalam bingkai negara-bangsa Indonesia. Dalam upaya tersebut diperlukan suatu pedagogik kesetaraan antar-individu, antar-suku, antar-agama dan beragam perbedaan yang ada. Keenam, pendidikan multikultural bertujuan mewujudkan visi Indonesia masa depan serta membangun etika bangsa. Pendidikan ini perlu dilakukan untuk mengembangkan prinsip-prinsip eris (moral)
18
Ainurrofiq Dawam, Emoh Sekolah…, hal. 104-107.
29
masyarakat Indonesia yang dipahami oleh keseluruhan komponen sosial-budaya yang plural38. Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama. Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini: -
Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang. Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah. Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda. Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.39
-
Dari beberapa penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tema besar yang muncul dari prinsip-prinsip pendidikan multikultural berkaitan erat dengan manusia, kemanusiaan dan budaya40, yang berporos pada : 1. Prinsip Pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) Keterkaitan antara HAM dan pendidikan tidak dapat disangkal lagi, keduanya tidak dapat dipisahkan, karena antara keduanya terdapat hubungan eksistensial. Artinya, proses pendidikan tidak akan terlepas dari 38
HAR. Tilaar, Multikulturalisme…, hal. 185-190. Pupu Saiful Rahmat, Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia; Sebuah Kajian terhadap Masalah-masalah Sosial yang Terjadi Dewasa ini, dalam http//www.akhmadsudrajat. wordpress.com/2008/04/04/wacana-pendidikan-multikultural-di-indonesia. 40 Lihat pula Moh. Miftahul Choiri, Pendidikan Multikultural…., yang menjabarkan prinsipprinsip dasar yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pendidikan multikultural di Indonesia, antara lain : 1) Menekankan kualitas proses daripada hasil, 2) Memposisikan murid bukan sekedar obyek tapi subyek pendidikan, 3) Metode belajar bervariasi, 4) Menghargai perbedaan 5) Special treatment for special student, dan 6) menerapkan kurikulum pendidikan yang holistik. 39
30
HAM, demikian pula HAM tidak memiliki arti apa-apa tanpa adanya proses pendidikan. Proses pendidikan adalah untuk merealisasikan HAM41 Hal senada juga diungkapkan oleh Chalidijah Hasan yang mensyaratkan
adanya
prinsip-prinsip
kemanusiaan
yang
harus
diperhatikan dalam pendidikan, antara lain : a) Manusia memiliki sejarah, mahluk yang mampu melakukan self reflection, perenungan aksi masa lalu untuk sebuah kombinasi baru di masa depan. b) Manusia adalah mahluk dengan segala individualitasnya merupakan masing-masing yang memiliki ciri khas tersendiri berdasarkan potensipotensi yang dimilikinya. Kalau prinsip individualitas ini tidak dipahami, maka akan terjadi ketimpangan dan kesenjangan dalam pelaksanaan pendidikan. c) Manusia selalu membutuhkan sosialisasi di antara mereka, manusia harus dipandang sebagai pribadi yang mesti diberi kesempatan untuk mengembangkan diri. d) Manusia mengadakan hubungan dengan alam sekitarnya. e) Manusia dalam kebebasannya mengolah alam fikiran dan rasa telah menemukan sesuatu yang transendental.42 Dalam aktifitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya secara umum peserta didik memiliki beberapa ciri yaitu; 1) Peserta didik dalan keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya. 2) Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa. 3) Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda. 4) Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individu43
41
H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan; Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, (Jakarta : Grassindo, 2002), cet. Ke-1, hal. 432. 42 Chalidijah Hasan, Kajian Pendidikan Perbandingan, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1994), cet. 1, hal. 14-15. 43 Muhaimin El Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural dalam http://www.cyberschooldps.net - 27 February, 2008, 23:51
31
2. Prinsip Persamaan Derajat Pendidikan mulikultural beradasarkan pedagogic baru, yaitu pedagogik yang berdasarkan kesetaraan manusia (equity paedagogy). Pedagogik kesetaraan bukan hanya mengakui akan HAM, tetapi juga hak kelompok manusia, kelompok suku bangsa, kelompok bangsa untuk hidup beradasarkan kebudayaan sendiri. Dengan demikian diakui adanya prinsip kesetaraan individu, antar bangsa, antar budaya, antara agama dan sebagainya. Pedagogik kesetaraan tidak mengakui akan perbedaanperbedaan artifisial yang telah dibuat oleh manusia di dalam sejarah kehidupannya. Pedagogik kesetaraan
berpangkal kepada pandangan
mengenai kesetaraan martabat. Secara kebahasaan equality berasal dari kata equal yang berarti sama. Terma equality juga dapat difahami sebagai persamaan. Adapun yang dimaksud equality dalam pendidikan adalah kesejajaran atau perlakuan merata yang diterima setiap peserta didik dalam memperoleh pendidikan, tanpa memandang status ekonomi dan strata sosial. 3. Prinsip Pelestari Kebudayaan Antara manusia, masyarakat dan lingkungan ada dialektika berkesinambungan, di mana yang satu mempengaruhi yang lainnya. Maka dalam konteks ini, pendidikan memfungsikan dirinya sebagai wacana interaktif antara manusia dan masyrakat serta lingkungannya.44 Wacana tentang manusia semacam itulah acuan pengembangan pendidikan berprespektif multikultural. Manusia dan kebudayaan tidak terpisahkan, maka pendidikan harus selalu berpegang pada dasar-dasar : 1) Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah eksistensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang. 2) Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan. 3) Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial.
44
Armai Arief, Reformulasi…., hal. 92.
32
4) Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat. 5) Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang memnuntunya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.45 4. Prinsip Pluralisme Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa manusia selalu bersama dengan segala perbedaan-perbedaan dan keragaman. Maka kondisi ini harus dikelolarawat dengan baik agar bias bernilai positif. Perlu ada sikap saling menghormati, menghargai dan saling menopang (cooperative-akomodative) terhadap realitas. Pluralisme budaya bukanlah suatu yang “given” tetapi merupakan proses internalisasi nilai-nilai di dalam suatu komunitas Pendidikan memiliki peran strategis untuk mengembalikan cara berpikir dan sikap peserta didik ke dalam tataran yang mengerti (dan memahami) pluralitas bermasyarakat. Pendidikan yang diselenggarakan haruslah
pendidikan
kemanusiaan
seperti
yang
paham
penindasan,
betul terhadap kemiskinan,
problem
akut
pembantaian
dan
sebagainya. Pendidikan yang dilaksanakan bukan merupakan penanaman wacana dalam fungsi organisatorisnya yang lebih mengedepankan terma perebutan wilayah dan pengikut. Karena pendidikan seperti ini hanya akan menampakkan ekspresi kecurigaan terus menerus dalam prosesnya dan antar sivitas pendidikan. Pendidikan seperti ini juga merupakan upaya pendangkalan wacana keagamaan. Pendidikan bukan hanya masuk pada penjabaran ajaran yang sangat formal dalam tataran ritual dan tradisi, karena dengan begitu pendidikan hanya merupakan upaya ideologisasi. Sebaliknya, pendidikan hendaknya dipahami dalam sistem transendensi seluruh aspek kehidupan. Transendensi ini bukan dimaksudkan merebut
ridla-Nya dengan
menyingkirkan keinginan manusia lain (dengan agama/keyakinan lain)
45
Muhaimin El Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural dalam http://www.cyberschooldps.net - 27 February, 2008, 23:51
33
yang sama. Sebaliknya, justru menghargainya dan bersama merumuskan kebutuhan kemanusiaan sebagai refleksi teologis masing-masing. Pluralitas agama dan keyakinan bukan dijadikan sebagai potensi kerusuhan,
melainkan
merupakan
potensi
untuk
diajak
bersama
melaksanakan ajaran demi kepentingan kemanusiaan. Karena seluruh agama selalu mengklaim demi keselamatan manusia. Di sini pendidikan agama memiliki peran penting untuk menumbuhkan sikap awal agar bisa bekerja sama dengan agama atau keyakinan yang lain. Pendidikan agama harus memungkinkan tumbuhnya persaudaraan dalam kebersamaan menemukan tradisi ilahi yang sama pada setiap agama, sehingga bisa bersama membangun dunia baru yang lebih bermakna bagi seluruh umat manusia. Pengembangan sikap toleransi plus barang kali merupakan upaya strategis yang bisa dilakukan, yakni dengan menghormati orang atau golongan lain tanpa kehilangan identitas diri. Untuk ini dialog antar umat beragama menjadi penting sebagai manifestasi membuka diri pengalaman keagamaan. Caranya anak diajak melihat kebaikan kelompok lain, tidak bersikap apriori, SARA dan berperilaku negatif terhadap orang atau kelompok lain. Atau dengan cara sharing penghayatan agama sesuai pengalaman spiritual yang dijalai secara terbuka. Dengan begitu akan terhindar dari informasi yang salah mengenai agama lain.46 Tidak hanya itu, menghargai perbedaan adalah salah satu sikap yang harus dikembangkan dalam rangka mewujudkan pendidikan multikultural. Latar belakang sosial ekonomi yang berbeda merupakan asset yang sangat berharga dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu sikap menghargai perbedaan harus ditumbuh kembangkan dalam lingkungan belajar. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat saling menghargai dan biasa berbeda47 Dengan ditanamkannya pemahaman pluralisme diharapkan setiap anak bangsa faham bahwa perbedaan ada bukan untuk saling 46
A. Waidl, Pendidikan Yang Menghargai Kemajemukan, dalam Bulletin Jum'at AlIkhtilaf, No. 07/9 Juni 2000, diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta. Download di
[email protected] 18 Januari 2008 47 Moh. Miftahul Choiri, Pendidikan Multikultural…, hal. 33.
34
menghantam antara satu agama dengan agama lainnya, bukan sebagai ajang penjajahan suku mayoritas terhadap minoritas, dan bukan pula untuk merendahkan suatu kebudayaan terhadap kebudayaan lain. Dengan adanya perbedaan di sekitar harus difahami sebagai sarana saling menghargai dan saling melengkapi (mutual respect). Pluralisme adalah nafas dari kebhineka-an. Dan kehidupan yang bhineka tidak dapat tercermin tanpa adanya pemahaman keberagaman.
D. Tujuan Pendidikan Multikultral ; Mewujudkan Manusia Indonesia Cerdas Secara umum, ada dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan, masing-masing dengan tingkat keragamannya tersendiri. Pandangan teoretis yang pertama berorintasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis, maupun monarkis. Pandangan teoretis yang kedua lebih berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung dan minat pelajar48. Selanjutnya, sistem pendidikan yang diterapkan di negara-negara yang ada di dunia ini berorientasi kemasyarakatan, kenegaraan. Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education (1978) menyatakan hubungan pendidikan dengan masyarakat mencakup hubungan pendidikan dan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik, dan negara, karena pendidikan itu terjadi di masyarakat, dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyrakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik dan kenegaraan secara simultan. Sedangakan secara mikro pendidikan
senantiasa
memperhitungkan
individualitas
atau
karakteristik
perbedaan antara individu peserta didik49. Layaknya sebuah konsep, pendidikan multikultural juga memiliki tujuan, karena pendidikan adalah bagian dari suatu proses yang diharapkan untuk 48
Sebagian kelompok masyarakat yang memegang kendali sebuah Negara. Fasli Jalal, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Aditia 2001), hlal. 16 49
35
mencapai suatu tujuan. Tujuan-tujuan akhir yang pada essesnsinya ditentukan oleh masyarakat, dan dirumuskan secara singkat dan padat, seperti kematangan dan integritas atau kesempurnaan pribadi dan terbentuknya kepribadian manusia, dalam hal ini pendidikan multikultural menujukan diri pada terciptanya bangsa yang memiliki integritas yang tinggi, bangsa maju, berperadaban, disegani oleh bangsa lain dalam framework global-multikultural. Cita-cita tersebut, di Indonesia diproyeksikan pada pembekalan dan pengembangan sumber daya manusianya, yakni dengan label manusia Indonesia cerdas. Hanya manusia cerdaslah yang dapat membangun kehidupan bangsa yang cerdas. Manusia cerdas adalah manusia yang menguasai dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dengan sebaik-baiknya untuk peningkatan mutu kehidupan, baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok, dan sebagai anggota masyarakat dan bangsanya. Kemudian manusia cerdas juga manusia yang bermoral dan beriman sehingga kecerdasan yang dimilikinya bukan untuk memupuk kerakusannya menguasai sumber-sumber lingkungan secara berlebihan maupun di dalam kemampuannya untuyk memperkaya diri sendiri secara tidak sah (korupsi), tetapi seorang manusia cerdas yang bermoral pasti akan bertindak baik. Selanjutnya manusia cerdas bukanlah yang ingin membenarkan apa yang dimilikinya, cita-vitanya, agamanya, ideology politiknya untuk dipaksakan kepada orang lain, tetapi seorang manusia yang cerdas mengakui akan perbedaanperbedaan yang ada di dalam hidup bersama sebagai kekayaan bersama dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Jadi, sosok manusia cerdas tidak hanya cerdik dan berkemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan menyelesaikan masalah, tetapi juga bermoral, bersikap demokratis, dan empati terhadap orang lain. Manusia cerdas menghargai diri sendiri dan orang lain dari berbagai latar belakang berbeda50. Disamping itu, kita juga telah berkomitmen untuk mewujudkan tatanan masyarakat indonesia baru yang lebih toleran dan dapat menerima dan memberi didalam perbedaan budaya (multikultural), demokratis dalam perikehidupannya (democratizatioan), mampu menegakkan keadilan dan hukum (law enforcement), 50
Anita Lie, Mengembangkan Model Pendidikan Multikultural, http//www.kompas.com/ akses 25 Desember 2007
36
memiliki kebangsaan diri baik secara individual maupun kolektif (human dignity) serta mendasarkan diri pada kehidupan beragama dalam pergaulannya (religionism). Untuk bisa melihat konsep manusia cerdas, lihat tabel berikut : Tabel Manusia Indonesia Cerdas51 Sikap dan Tingkah Laku Cerdik-Pandai
Energik-Kreatif
Responsif Demokratis
terhadap
Masyarakat
Daya Guna (Skilled)
Akhlak Mulia (Moral, Religius)
Sopan Santun (Civillized)
-
Kompetensi Kemampuan analisis Dapat mengambil pilihan Menguasai Ilmu Pengetahuan Gemar Belajar Daya Kreatif Rajin, kerja keras Tahan uji Toleran terhadap perbedaan Persatuan Indonesia yang pluralistic Inkulisivisme Keterampilan yang beermanfaat Pemanfaatan Sumber Daya Alam Bermoral Anti Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) Religius Substantif Mengenal adat istiadat setempat Mengenal tata pergaulan internasional
Dari tabel di atas dapat dilihat sebuah sosok manusia ideal era global. Mereka memiliki sikap dan tingkah laku yang baik. Cerdik-pandai dalam kognitif, energik-kreatif dalam ranah motorik, responif terhadap masyarakat-demokratis, daya guna (skilled), akhlak mulia (moral, religius), sopan santun (civillized). Dari pemaparan di atas, tujuan pendidikan multikultural merapatkan diri dalam ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik. Dengan manusia Indonesia cerdas diharapkan akan dapat membangun bangsa ke depan di era global-multikultural.
51
Tilaar, Multikulturalisme…….,hal. 203.
37
E. Implikasi Multikulturalisme terhadap Pendidikan Islam Era multikulturalisme, sebagaimana keterangan terdahulu, menuntut masyarakat dengan segala unsurnya untuk saling tergantung dan menanggung nasib secara bersama-sama demi tercapainya perdamaian abadi. Tidak bisa dipungkiri bahwa gelombang moderenisasi dan globalisasi budaya telah meruntuhkan sekat-sekat kultural, etnik, idiologi dan agama. Mobilitas sosial ekonomi pendidikan, dan politik menciptakan keragaman dalam relasi-relasi keragaman. Kini, cukup sulit menemukan komunitas-komunitas sosial yang homogen dan monokultur. Fenomena multicultural dari pluralitas ras, etnik, jender, kelas, dan agama bahkan sampai pilihan gaya hidup sudah menjadi bagian dari imperatif peradaban manusia. Gejala multikulturalisme dan globalisasi sendiri akan mempengaruhi beberapa aspek fundamental dalam pendidikan dan kehidupan manusia. Menurut Mastuhu, implikasi dari multikulturalisme terhadap pendidikan, utamanya di Indonesia antara lain : a. Kesadaran globalisasi membawa saling ketergantungan antara berbagai pihak terkait. Disamping itu juga harus bersikap dan berperilaku terbuka dan bijaksana dalam bekerjasama dengan berbagai pihak. b. Fungsi lembaga pendidikan harus menumbuhkembangkan kemampuan belajar sendiri bagi anak didik dalam rangka menemukan jati dirinya guna menyongsong masa depan. c. Perlu diberikan dasar-dasar yang utuh dan kuat kepada anak didik sebelum anak didik memiliki dunia spesialisasi sesuai dengan bakatnya52.
Selain itu, era-multikulturalisme jika tidak dikelolarawat dengan baik sesungguhnya mengandung potensi disintegrasi bangsa. Perbedaan ras, etnis, budaya agama, dan lainnya bisa menimbulkan sikap sektarian atau firqah-firqah. Disintegrasi itu akan terjadi apabila dalam masyarakat multikultural terjadi penyumbatan terhadap pertukaran sosial (Social Exchange), yaitu tindakan saling memberi 52
dalam
berbagai
aspeknya,
termasuk
redistribusi
pendapatan.
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 46.
38
Multikulturalisme yang meniscayakan perbedaan itu diasumsikan (berdasarkan pengalaman), juga mengandung potensi konflik atau persaingan yang tidak sehat. Bahkan Huntington sendiri mengasumsikan terkandungnya konflik antar peradaban, tidak sekadar perbedaan. Karena konflik itu tak terkompromikan atau tak terdamaikan, maka terjadilah benturan atau bahkan perang peradaban.53 Oleh sebab itu, dunia pendidikan, utamanya pendidikan Islam, mendapatkan tantangan untuk meredam potensi negatif tersebut sebagai implikasi dari era global-multikulturalisme. Ini tentu berkaitan dengan gejala kebudayaan saling bersentuhan dengan pendidikan. Pendidikan dan kebudayaan adalah dua bidang yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, keduanya ibarat dua sisi mata uang yang saling membutuhkan.54 Pendidikan membutuhkan berbagai masukan nilai yang berlaku dalam masyarakat sebagai sumber belajar, sementara masyarakat membutuhkan hasil transformasi nilai yang dihasilkan oleh dunia pendidikan sebagai pendorong perubahan. Begitu pentingnya makna pendidikan bagi masyarakat, maka hampir bisa dipastikan bahwa proses pendidikan mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat.55 Tentang hal ini, hasil studi para tokoh pendidikan yang tercerahkan pada umumnya sepakat, bahwa tugas pokok pendidikan adalah menyiapkan sumber daya manusia untuk kepentingan masa depan kehidupannya. Ki Hajar Dewantoro misalnya mengatakan bahwa pendidikan berarti memelihara tumbuh kembang ke arah kemajuan, tak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin. Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berasaskan peradaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.56 Kemanusiaan sendiri adalah proses yang terus menerus menuju peradaban, maka wajar jika kemudian muncul pendidikan sepanjang hayat agar berjalan sebagaimana dinamikanya. Selanjutnya, Unesco (1996) melaporkan dari Comission on Education for the Twenty-first Century, bahwa pendidikan sepanjang hayat sebagai suatu 53
M. Dawam Rahardjo, Meredam Konflik…., hal. 5. Soedirjato, Pendidikan sebagai Sarana Reformasi Mental dalam Upaya Pembangunan Bangsa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hal. 91. 55 H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), hal. 49. 56 Abudin Nata, Paradigma Baru Pendidikan Islam di Era Pasar Bebas, dalam Jurnal Didaktika Pendidikan, Vol. VI, No.1 Juni 2005, hal. 37. 54
39
bangunan ditopang oleh empat pilar, yaitu (1) leraning to know atau learning to learn, yaitu belajar untuk memperoleh pengetahuan dan untuk melakukan pembelajaran selanjutnya, (2) learning to do, yaitu belajar untuk memiliki kompetensi dasar dalam berhubungan dengan situasi teamwork yang berbedabeda, (3) learning to live together, yaitu belajar unuk mampu mengapresiasi dan mengamalkan kondisi saling ketergantungan, keanekaragaman, saling memahami dan perdamaian antar bangsa, (4) learning to he, yaitu belajar untuk mengaktualisasikan diri sebagai individu dengan kepribadian yang memiliki timbangan dan tanggungjawab pribadi.57 Dengan demikian, teranglah bahwa tugas berat kini harus dipikul. Era global-multikulturalisme harus dijawab oleh dunia pendidikan. Tantangan globalisasi dan internasionalisasi menuntut kawasan dan wawasan yang tanpa batas, maka pendidikan harus bersifat fleksibel. Artinya ada koreksi terhadap struktur waktu dan tempat dalam berbagai aspek kehidupan, perlu diperlihatkan ketajaman mata dunia pendidikan melalui plurality competency. Hal senada juga diungkapkan oleh Miftahul Choiri, menurutnya tantangan global-multikultural menjadikan manusia harus mengantisipasi terjadinya perubahan dalam kehidupan masyarakat, sebagaimana pakar antropolog pendidikan Indonesia Redolfo Stavenhagen, hal itu terjadi melalui pendidikan58 Dunia pendidikan yang multikultural idealnya memandang positif terhadap kemajemukan yang ada dengan alasan. Pertama, secara sosial semua kelompok budaya dapat di reperentasikan dan hidup berdampingan bersama dengan orang lain. Kedua, diskriminasi dan rasisme dapat direduksi melalui penetapan citra positif keragaman etnik dan pengetahuan budaya-budaya lain. Untuk itu wawasan dan gagasan multikulturalisme perlu dikukuhkan dalam segala pendidikan. Pun dengan pendidikan Islam, keberadaannya harus berperan dalam membentuk karakter individu-individu dan mampu menjadi “guiding light” bagi generus muda penerus bangsa. Tuntutan reformasi sistem pendidikan Islam harus direalisasikan, dari pendidikan Islam yang terkesan sebagai alat indoktrinasi yang 57
Mohammad Surya, Tantangan Pembelajaran di Era Millenium Ketiga, dalam Jurnal Didaktika Pendidikan, Vol. III, No.2, Desember 2002, hal. 150 58 Miftahul Choiri, Pendidikan Multikultural dan Implementasinya dalam Pendidikan, dalam Jurnal Cendekia, Vol. 3, No. 2 Juli-Desember 2003, hal. 26
40
anti realitas kepada pendidikan Islam yang berparadigma multikultural. Terlebih lagi proses pendidikan yang berakar dari kebudayaan, faktanya berbeda dengan praksis pendidikan yang terjadi dewasa ini yang cenderung mengalienasikan proses pendidikan dari kebudayaan. Maka kita memerlukan suatu perubahan paradigma (paradigm shift) dari pendidikan untuk menghadapi globalisasi dan menata kembali kehidupan masyarakat Indonesia. Cita-cita reformasi tidak lain tidak bukan ialah membangun suatu masyarakat madani Indonesia, oleh karena itu, arah perubahan paradigma baru pendidikan Islam diarahkan demi terbentuknya masyarakat madani tersebut. Arah perubahan paradigma pendidikan Islam yang baru setidaknya berorientasi pada : Pertama, desentralistik, kebijakan pendidikan lebih bersifat bottom up, orientasi
lebih
pengembangan
bersifat
holistik;
kesadaran
untuk
artinya bersatu
pendidikan dalam
ditekankan
kemajemukan
pada
budaya,
kemajemukan berfikir, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif dan produktif, dan kesadaran hukum.59 Selain itu, orientasi yang harus dibangun adalah orientasi kemanusiaan, kebersamaan, kesejahteraan, proporsional mengakui pluralitas, anti hegemoni dan anti dominasi.60 Kedua, pendidikan Islam harus dirancang dengan menerapkan prinsip demokrasi multikultural. Hal ini sejalan dengan semakin tingginya tuntutan manusia akan hak asasinya, serta perlakuan secara manusiawi sebagai bentuk konsekuensi dari tidak ada lagi bangsa-bangsa di dunia yang jajah. Berbagai kelompok sosial (minoritas) yang ada di berbagai negara dengan latar belakang budaya, suku, ras, glongan, agama, adat istiadat dan sebagainya, yang dahulu tidak berani menyuarakan aspirasinya kini mulai bangkit dan menuntut aspirasinya. Fenomena ini harus direspon dengan cara selain menerapkan pendidikan yang berbasis demokratis, juga pendidikan yang multikultural.
59
Fasli Jalal, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Aditia, 2001), hal. 5. 60 Ainurrofiq Dawam, Emoh Sekolah, Menolak Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme Intelektual Menuju Pendidikan Multikultural, (Jogjakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003), hal. 104-108.
41
Ketiga, pendidikan Islam harus menyelenggarakan pendidikan agama dengan visi yang menjadikan agama sebagai dasar nilai dalam kajian berbagai disiplin ilmu, pedoman hidup, sumber etika, moral dan kultural dalam menghadapi dampak modernisasi dan globalisasi serta menjadikannya sebagai kepribadian dalam hidup. Ajaran agama yang dikehendaki adalah ajaran agama yang komperhensif, integratif, holistik, rasional, empirik, progressif, humanis, inklusif, kultural, aktual dan kontekstual sesuai dengan semangat ajaran agama yang terdapat dalam kitab suci (al-Qur’an dan hadits).61 Meski begitu, setiap bangsa memiliki kompleksitas karakter, budaya, geografis, sosio-kultural, tingkat ekonomi, sistem politik dan sejarahnya sendirisendiri. Untuk implementsi suatu konsep pendidikan pun tidak bisa samakan dengan negara-negara lain. Agaknya implementasi pendidikan multikultural di Indonesia bukan sesuatu yang taken for granted atau trial and error, butuh kerja keras dan perjuangan yang panjang. Model pendidikan multikultural di Indonesia mestilah harus berdasar Pancasila yang telah disepakati para pendiri bangsa sebagai jaminan NKRI. Multikultur dan pendidikan merupakan rangkaian kata yang berisikan esensi dan konsekuensi yang tidak dapat dipisahkan karena di dalam pendidikan terdapat falsafah pendidikan yang disarikan dari nilai-nilai kultur masyarakat. Falsafah sendiri merupakan ruh sekaligus sumber energi dalam sistem pendidikan menjadi sesuatu yang sangat menentukan, falsafah adalah kiblat dalam perncanaan pendidikan.62 Secara lebih spesifik , pendidikan sebagai institusi sosial memiliki fungsi antara lain sebagai proses perubahan sosial. Proses perubahan masyarakat melalui pendidikan harus mampu mengakomodir karakter sosial yang dimiliki masyarakat. Hal ini mengingat pendidikan memiliki sejumlah karakteristik sosial antara lain : 1) Kultural-Etis; pendidikan menjalin keharmonisan antara tuntutan individu dan nilai-nilai moral masyarakat. 2) Vokasional; pendidikan bertalian erat dan langsung dengan kehidupan praktis dalam berbagai tarafnya.
61 62
Abduin Nata, Paradigma Baru Pendidikan Islam, hal. 38-40. Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultural…., hal. 22.
42
3) Multi Pola; pendidikan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan kehidupan dan individu yang tidak mungkin berada dalam satu pola. 4) Kondisional; pendidikan mengarahkan individu untuk mempelajari dan menekuni pekerjaan yang sesuai dengan kondisinya. 5) General dan Komperhensif; pendidikan bersifat umum dan menyeluruh yang mencakup dasar-dasar pengetahuan dan budaya. 6) Sosial; pendidikan dibatasi oleh faktor ruang dan waktu serta menggali tujuan dasarnya dari masyarakat. 7) Multidimensi; pendidikan merupakan proses yang sangat penting dalam kehidupan individu dan masyarakat. Pemahaman terhadap hakikatnya memerlukan pemahaman terhadap segala dimensinya. 8) Artificial; pendidikan sering dikatakan sebagai seni pembentukan masa depan. Hal ini tidak hanya sekedar terkait dengan manusia seerti apa yang diharapkan di masa depan, lebih jauh dari itu adalah proses seperti apa yang akan diberlakukan dan apa yang akan dilakukan di masa mendatang. Dengan demikian pendidikan perlu memperhatikan realitas sekarang untuk menyusun format yang akan diberlakukan demi masa depan. 9) Pendidikan merupakan urat nadi kehidupan ndividu dan masyarakat. Sebesar apa yang diberikan pendidikan di setia pusat pendidikan, sebesar itu pula nilainya dalam membentuk kepribadiannya. 10) Perekat sosial; pendidikan disamping merupakan sarana keberlangsungan masyarakat, juga merupakan urgensi sosial bagi individu untuk membentuk kepribadiannya dan mempersiapkan diri untuk membentuk menjadi anggota yang sempurna dalam masyarakat.63 Pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam harus berbenah menghadapi tuntutan zaman agar tidak berada pada ruang yang hampa dari proses transmisi dan transformasi budaya. Hal ini berkaitan erat dengan fungsi pendidikan sebagai pewaris dan pelestari kebudayaan.
63
Lihat Maslikhah, ..Quo Vadis.., hal. 36-37
BAB III KONSEPSI PENDIDIKAN ISLAM : SEBUAH KAJIAN TEORITIS A. Pengertian Pendidikan : 1. Definsi Pendidikan Agar penulisan lebih terarah, sebelum dikemukakan pengertian pendidikan Islam, maka perlu terlebih dahulu mengemukakan pengertian pendidikan secara umum. Pengertian pendidikan secara etimologi berasal dari kata "didik" yang kemudian mendapat awalan "pe" dan akhiran "an", mengandung arti pebuatan (hal cara, dsb)1 Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu "paedagogie" yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan "education", yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan "tarbiyah" yang berarti pendidikan.2 Sedangkan secara terminologi, pengertian pendidikan belum ada kesepakatan bersama dari pakar pakar pendidikan. Menurut UUSPN No. 20 tahiun 2003, "Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.".3 Komisi Nasional
1
Purwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1991), cet. KeXII, hal. 250. 2 Armai Arief, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Diktat perkuliahan, 2002), hal. 2. 3 UU tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta : Sinar Grafika, 1993), cet. Ke-IV, hal. 2-3.
43
44
Pendidikan mendefinisikan, pendidikan adalah usaha nyata menyeluruh yang setiap program dan kegiatannya selalu terkait dengan tujuan akhir pendidikan4. Dalam pengertian yang lain, pendidikan ialah proses pengubahan dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.5 Pendidikan juga mengandung arti sebagai aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membuka potensi-potensi pribadinya, yaitu (pikir, karsa, rasa, cipta dan budi nurani), dan jasmani (pancaindera serta keterampilan-keterampilan).6 Sedangkan menurut Marimba, pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama7. Setelah mengemukakan beberapa pendapat tentang definisi pendidikan, maka penulis berkesimpulan bahwa pendidikan adalah proses bimbingan, pengarahan, pembinaan jasmani dan rohani yang dilakukan oleh pendidik terhadap anak didik secara sadar menuju kedewasaan dan membentuk kepribadian yang luhur dan utama.
2. Definisi Pendidikan Islam Sebelum menjelaskan tentang definisi pendidikan Islam, terlebih dahulu diterangkan tentang pemahaman kata pendidikan yang ditambah dengan kata Islam. Secara umum pendidikan Islam memiliki tiga pemahaman, yakni : a) Pendidikan menurut Islam atau pendidikan Islami yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran Islam dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya yaitu Al-Qur'an dan As-Sunah. Dengan pengertian yang pertama ini, pendidikan Islam
4
Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta : CRSD Press, 2005), cet. Ke-I, hal.
18. 5
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), cet. Ke-II, hal. 232. 6 Tim Dosen FIP-IKIP Malang, Pengantar Dasar-dasar Kependidikan, (Surabaya : Usaha Nasional, tt), cet. Ke-III, hal. 7. 7 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : PT. Al-Maarif, 1989), cet. Ke-VIII, hal. 9.
45
dapat terwujud pemikiran dan teori pendidikan yang mendasarkan diri atau dibangun dan dikembangkan dari sumber-sumber dasar tersebut. b) Pendidikan ke-Islam-an atau pendidikan agama Islam yakni upaya pendidikan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi way of life seseorang. c) Pendidikan Pendidikan dalam Islam,
atau proses dan praktik
penyelenggaraan pendidikan yag berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam. Dalam arti proses pertumbuhan dan perkembangan Islam dan umatnya, baik Islam sebagai agama, ajaran maupun system budaya dan peradaban. d) Pendidikan Islam merupakan proses pembelajaran yang sangat intens pada post pembentukan kepribadian, budi pekerti yang luhur (menurut ukuran Islam), atau dengan menggunakan bahas-bahasa lain yang mempunyai arti kurang lebih sama. Walaupun istilah pendidikan tersebut dapat dipahami secara berbeda, namun pada dasarnya merupakan satu kesatuan dan mewujud secara operasional dalam satu system yaitu pendidikan Islam.8 Adapun definisi tentang pendidikan Islam secara sederhana diartikan sebagai proses pembimbingan, pembelajaran dan atau pelatihan terhadap manusia (anak, generasi muda) agar nantinya menjadi orang Islam yang berkehidupan serta mampu melaksanakan peranan dan tugas-tugas hidup sebagai muslim. Dengan singkat pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai proses pembibingan, pembelajaran atau pelatihan agar manusia menjadi seorang muslim9 Beberapa ilmuwan muslim lain juga mencoba merumuskan dan menawarkan teorinya tentang definisi pendidikan Islam. Ada beberapa sumbangsih pemikirannya berkenaan dengan pengertian pendidikan Islam, antara lain :
8
Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Mutikultural; Rekonstruksi Sistem Pendidikan berbasis Kebangsaan, (Surabaya: JP Books, 2007), cet. 1, hal. 6 9 Tim Dosen IAIN Sunan Ampel, Dasar-dasar Kependidikan, (Surabaya : Karya Abditama, 1996), cet. Ke-I, hal. 6.
46
a. Yusuf Qordhawi sebagaimana dikutip oleh Armai Arief menyatakan, pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya.10 b. Menurut Drs. Ahmad D. Marimba, pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya
kepribadian
utama
menurut
ukuran-ukuran
Islam.
Kepribadian utama tersebut adalah kepribadian muslim, yakni kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih dan memutuskan, berbuat serta bertanggungjawab sesuai dengan nilai-nilai Islam. c. Menurut Abdur Rahman Nahlawi, pendidikan Islam adalah pengaturan pribadi dan masyarakat sehingga dapat memeluk Islam secara logis dan sesuai secara keseluruhan baik dalam kehidupan individu maupun kolektif. d. Menurut Drs. Burlian Shomad, pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi mahluk yang bercorak diri berderajat tinggi menurut ukuran Allah dan sisi pendidikannya untuk mewujudkan tujuan itu adalah ajaran Allah. Secara rinci beliau mengemukakan pendidikan itu baru dapat disebut pendidikan Islam apabila memiliki ciri khas yaitu : 1) Tujuan untuk membentuk individu yang bercorok diri tertinggi menurut ukuran Al-Qur’an. 2) Isi pendidikannya adalah ajaran Allah yang tercantum dengan lengkap dalam al-Qur’an dan pelaksanaannya dalam praktek kehidupan seharihari sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. e. Menurut Prof. Dr. Hasan Langgulung, pendidikan Islam ialah pendidikan yang memiliki fungsi sebagai berikut : 1) Menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat pada masa yang akan datang. Peranan ini berkaitan erat dengan kelanjutan hidup (survival) masyarakat sendiri. 2) Memindahkan ilmu pengetahuan yang bersangkutan deengan perananperanan tersebut dari generasi tua kepada generasi muda.
10
Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam…..hal. 20.
47
3) Memindahkan nilai-nilai yang bertujuan memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat yang menjadi sayarat mutlak bagi kelanjutan hidup (survival) suatu masyarakat dan peradaban. Dengan kata lain, tanpa nilai-nilai keutuhan (integrity) dan kesatuan (integration) suatu masyarakat, maka kelanjutan hidup tersebut tidak akan menyebabkan kehancuran masyarakat itu sendiri. f. Hasil Seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tanggal 7-11 Mei 1960 di Cipayung Bogor menyatakan, “Pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan jasmani dan rohani menurut ajaran Islam dengan hikmah megarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam”.11 g. Menurut Abdurrohman Saleh, pendidikan agama Islam sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan, bimbingan, pengajaran
atau
latihan
dengan
memperhatikan
tuntunan
untuk
menghormati agama lain dalam hubungan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.12 h. Menurut Sindhunata, pendidikan agama (Islam) adalah usaha sadar menyiapkan
siswa
utuk
meyakini,
memahami,
menghayati,
dan
mengamalkan agama melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau pelatihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama orang lain dalam hubungan kerukunan antara umat beragama untuk mewujudkan persatuan nasional. Tujuan secara umum adalah untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan siswa tentang suatu agama, sehingga dapat menjadi pribadi yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.13
11
Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2001), cet. II, hal. 16 12 Abd. Rochman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, (Jakarta : Gema Windu Panca Perkasa, 2000), cet.ke-I, hal. 31. 13 Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Mutikultural; Rekonstruksi Sistem Pendidikan berbasis Kebangsaan, (Surabaya: JP Books, 2007), cet. 1, hal. 148
48
Dari pemaparan beberapa definisi tentang pendidikan Islam di atas, ada beberapa point penting yang bisa ditangkap, yakni: Pertama, pendidikan agama Islam merupakan usaha sadar untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak dengan segala potensi yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya agar mampu mengemban amanat dan tanggung jawab sebagai kholifah Allah di bumi dan pengabdian kepada Allah, proses ini selanjutnya disebut sebagai proses edukatif. Kedua, titik berat dari sekian definisi di atas adalah pada segi pembentukan akhlak, ada yang menuntut pendidikan teori dan praktek, sebagian lagi menghendaki terwujudnya kepribadian muslim dan lain-lain. Ketiga, dapat dilihat
beberapa dimensi pendidikan Islam yakni
berhubungan dengan tiga komponen sifat dasar manusia, yaitu : tubuh, (jasmani), ruhani dan akal (intelektual/sosial). Dalam hal ini pendidikan berupaya menjaga dan mengembangkannya. Selanjutnya, Armai Arief mengkategorikan dua pandangan yang dapat memberikan makna terhadap istilah pendidikan, yaitu pandangan masyarakat dan pandangan individu. Dalam pandangan masyarakat, pendidikan memiliki makna "pewarisan nilai-nilai budaya" dari generasi tua kepada generasi muda. Sementara jika dilihat dari kacamata individu, maka pendidikan memiliki makna "pengembangan potensi pribadi manusia."14 Titik terang berikutnya adalah, baik pendidikan sebagai pewarisan nilainilai budaya maupun pendidikan sebagai pengembangan potensi pribadi, unsurunsur yang mencakup seluruh dimensi kemanusiaan, yaitu jasadi (fisik), aqli (intelektual) dan rukhi (mental) tetap dibutuhkan. Karena ketiga komponen ini merupakan sebuah sistem dalam rangka mewujudkan pribadi yang utuh. Dengan demikian pendidikan agama tidak sebatas memberikan identity: way of life tapi lebih jauh dari itu adalah sebagai transformasi transcendental.15 Dalam hal ini
14 15
Armai Arief, Reformulasi.., hal. 79-80 Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultural.., hal. 148-149.
49
pendidikan agama juga berarti memahami konteks sosial budaya yang ada dan berkembang. Sejurus dengan itu, visi pendidikan Islam menurut A. Qodri Azizy sebagaimana versi UNESCO antara lain: (1) learning to think (belajar bagaimana berfikir); (2) learning to do (belajar bagaimana tetap hidup atau belajar bagaimana berbuat); (3) learning to be(belajar bagaimana tetap hidup, atau sebagai dirinya); dan (4) learning to live together (belajar bagaimana untuk hidup bersama-sama).16 Dengan memperhatikan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses edukatif oleh orang dewasa kepada anak didik yang mengarah pengembangan potensi akal, jasmani dan rohani (pembentukan akhlak atau kepribadian muslim) dan pewarisan budaya yang sesuai dengan ajaran Islam, agar mampu mengemban amanat dan tanggung jawab sebagai khalifah fil aradh. B. Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Dari batasan terminologi pendidikan yang disebutkan di atas, memberikan gambaran bahwa pendidikan merupakan salah satu syarat utama dalam upaya meneruskan dan mengekalkan nilai-nilai kebudayaan dari sebuah masyarakat. Dengan demikian, pendidikan merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan bagi masyarakat. Agar pendidikan dapat melaksanakan fungsinya sebagai agent of culture dan bermanfaat bagi manusia itu sendiri, maka diperlukan acuan pokok yang mendasarinya. Dalam hal ini pendidikan merupakan bagian yang terpenting dari kehidupan manusia, yang secara kodrati adalah insan pedagogik, maka acuan yang menjadi dasar bagi pendidikan adalah nilai yang tertinggi dari pandangan hidup suatu masyarakat di mana pendidikan itu dilaksanakan. Selanjutnya yang dibicarakan adalah pendidikan Islam, maka yang menjadi pandangan hidup yang mendasari seluruh kegiatan pendidikan ini adalah pandangan hidup yang Islami, yaitu terhadap nilai yang transenden, universal, dan eternal (langgeng, abadi atau kekal).
16
A. Qodri Azizy, Pendidikan (agama) untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), cet. 2, hal. 30-35.
50
Dalam menetapkan dasar-dasar atau sumber-sumber pendidikan Islam para ahli seluruhnya sepakat bahwa yang menjadi sumber dalam pendidikan Islam adalah al-Qur’an, hadits, dan ijtihad yang dilakukan oleh para ilmuwan untuk menjawab fenomena yang muncul kemudian yang tidak tertera jawabannya secara terperinci dalam al-Qur’an dan hadits. Ini berarti bahwa semua perangkat pendidikan Islam harus ditegakkan di atas ajaran Islam, baik filsafat pendidikan, teori maupun praktik. Prinsip pendidikan Islam juga ditegakkan di atas dasar yang sama dan berpangkal dari pandangan Islam secara filosofis terhadap jagad raya, manusia, masyarakat, ilmu pengetahuan dan akhlak.17 Visi pendidikan Islam dengan demikian tidak bisa lepas dari ajaran dasar al-Qur’an, hadits maupun ijtihad para ilmuwan. Salah satu visi Islam adalah berwawasan universal dan global karena ajaran Islam tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan asal-usul daerahnya. Barat dan Timur bagi Islam bukan untuk dimasalahkan. Nilai-nilai yang datang dari Barat dan Timur dapat diterima sepanjang memiliki komitmen pada keimanan yang kokoh, kepedulian sosial, hubungan vertikal dengan Tuhan dan hubungan horizontal dengan sesama manusia, berorientasi pada pembentukan akhlak mulia dan kepribadian yang tangguh. Hal ini berdasarkan petunjuk al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 177 :
ﻦّ ﻣّ ﺍﻟﹾﺒﹺﺮﻦﻟﹶﻜﺮﹺﺏﹺ ﻭﻐﺍﻟﹾﻤﺮﹺﻕﹺ ﻭﺸﻞﹶ ﺍﻟﹾﻤﺒ ﻗﻜﹸﻢﻮﻫﺟﻟﹸّﻮﺍ ﻭﻮّ ﺃﹶﻥﹾ ﺗ ﺍﻟﹾﺒﹺﺮﺲﻟﹶﻴ ﻠﹶﻰﺎﻝﹶ ﻋﻰ ﺍﻟﹾﻤﺁﺗ ﻭّﺒﹺﻴﹺّﲔﺍﻟﻨﺎﺏﹺ ﻭﺘﺍﻟﹾﻜ ﻭﻜﹶﺔﻼﺋﺍﻟﹾﻤﺮﹺ ﻭﻡﹺ ﺍﻵﺧﻮﺍﻟﹾﻴ ﻭ ﺑﹺﺎﻟﻠﹶّﻪﻦﺁﻣ
ﻲﻓ ﻭﲔﻠّﺎﺋﺍﻟﺴّﺒﹺﻴﻞﹺ ﻭ ﺍﻟﺴﻦﺍﺑ ﻭﲔﺎﻛﺴﺍﻟﹾﻤﻰ ﻭﺎﻣﺘﺍﻟﹾﻴﻰ ﻭﺑ ﺫﹶﻭﹺﻱ ﺍﻟﹾﻘﹸﺮﺒﹺّﻪﺣ ﻭﺍﺪﺎﻫ ﺇﹺﺫﹶﺍ ﻋﻢﻫﺪﻬﻮﻓﹸﻮﻥﹶ ﺑﹺﻌﺍﻟﹾﻤّﻛﹶﺎﺓﹶ ﻭﻰ ﺍﻟﺰﺁﺗّﻼﺓﹶ ﻭ ﺍﻟﺼﺃﹶﻗﹶﺎﻡﺍﻟﺮﹺّﻗﹶﺎﺏﹺ ﻭ
ﻗﹸﻮﺍﺪ ﺻﻳﻦ ﺍﻟﹶّﺬﻚﺄﹾﺱﹺ ﺃﹸﻭﻟﹶﺌ ﺍﻟﹾﺒﲔﺣّﺍﺀِ ﻭّﺮﺍﻟﻀﺎﺀِ ﻭﺄﹾﺳﻲ ﺍﻟﹾﺒ ﻓّﺎﺑﹺﺮﹺﻳﻦﺍﻟﺼﻭ ّﻘﹸﻮﻥﹶﺘ ﺍﻟﹾﻤﻢ ﻫﻚﺃﹸﻭﻟﹶﺌﻭ
17
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 1994), hal. 13.
51
Artinya : “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orangorang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orangorang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.” Visi ajaran Islam juga ditujukan untuk menciptakan kedamaian dan rahmat bagi seluruh alam sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-Ambiya : 107
ﻴﻥﺎﻟﹶﻤﺔﹰ ﻟﱢﻠﹾﻌﻤﺤ ﺇِﻻﱠﺭﻠﹾﻨﹶﺎﻙﺴﺂ ﺃَﺭﻤﻭ
“Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. Guna mewujudkan visi ini, pendidikan Islam diarahkan pada upaya mewujudkan tujuan dari kehadiran Islam (maqashid al-syari’ah), yaitu memelihara, membina, membimbing, dan memenuhi kebutuhan manusia dalam bidang agama, akal, jiwa, harta dan keturunan. Dengan demikian komponenkomponen penunjang pendidikan harus berpedoman pada prinsip keseimbangan, keterbukaan, dinamis, fleksibel, situasional dan kondsisonal, egaliter, demokratis, manusiawi, rasional professional dan kualitaif.18 Pandangan Islam terhadap masalah-masalah tersebut digariskan dalam beberapa prinsip-prinsip, dan prinsip-prinsip itulah yang dijadikan landasan dalam merumuskan perangkat pendidikan. Lebih padat Dr. Ramayulis menyatakan bahwa ada beberapa prinsip pendidikan Islam yaitu : Pertama, prinsip pendidikan Islam merupakan implikasi dari characteristic (ciri-ciri) manusia menurut Islam. Kedua, prinsip pendidikan
18
Abudin Nata, Paradigma Baru Pendidikan Islam di Era Pasar Bebas, dalam Jurnal Didaktika Islamika, Vol. VI, No. 1 Juni 2005, hal 38.
52
Islam adalah pendidikan integral dan terpadu. Ketiga, prinsip pendidikan Islam adalah pendidikan yang integral dan seimbang.19
1. Prinsip Pendidikan Islam merupakan Implikasi dari Ciri-ciri Manusia Menurut Islam20. Menurut
Islam
mengemukakan
ciri-ciri
manusia
yang
membedakannya dari mahluk lain adalah sebagai berikut : a.
Fitrah Mengenai fitrah manusia dalam salah satu hadits diterangkan :
ﻓﺄﺑﻮﺍﻩ ﻳﻬﻮﺩﺍﻧﻪ ﺃﻭ ﻳﻨﺼﺮﺍﻧﻪ ﺃﻭ ﳝﺠﺴﺎﻧﻪ, ﻛﻞﹼ ﻣﻮﻟﻮﺩ ﻳﻮﻟﺪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻔﻄﺮﺓ “setiap anak yang dilahirkan adalah dalam keadaan fitrah (suci), maka orangtuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, seorang Nasrani atau Majusi”21 Kemudian dalam al-Quran surat ar-Rum ayat 30, disebutkan :
ﺎ ﻻﻬﻠﹶﻴ ﻋّﺎﺱ ﺍﻟﻨﻲ ﻓﹶﻄﹶﺮ ﺍﻟﹶّﺘﺓﹶ ﺍﻟﻠﹶّﻪﻄﹾﺮﻨﹺﻴﻔﹰﺎ ﻓّﻳﻦﹺ ﺣﻠﺪ ﻟﻚﻬﺟ ﻭﻢﻓﹶﺄﹶﻗ
ﻮﻥﹶﻠﹶﻤﻌّﺎﺱﹺ ﻻ ﻳ ﺍﻟﻨّ ﺃﹶﻛﹾﺜﹶﺮﻦﻟﹶﻜ ﻭ ﺍﻟﹾﻘﹶﻴﹺّﻢّﻳﻦ ﺍﻟﺪﻚ ﺫﹶﻟﻠﹾﻖﹺ ﺍﻟﻠﹶّﻪﺨﻳﻞﹶ ﻟﺪﺒﺗ “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
b.
Kesatuan Ruh dan Jasad Manusia tersusun dari dua unsur yaitu ruh dan jasad. Dari segi
jasad sebagian karakteristik manusia sama dengan binatang, sama-sama memiliki dorongan untuk berkembang dan memepertahankan diri serta keturunan. Namun dari ruh, manusia berbeda dari mahluk lain. Allah
19
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,.., hal. 110-114. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,.., hal. 110-114. 21 Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut : Darul Fikri, 1994), juz. 1, hal. 118. 20
53
menyempurnakan kejadian manusia yang meniupkan ruh ketika struktur jasad manusia sudah siap menerimanya. Dengan ruh yang ditiupkan ke dalam diri manusia, maka manusia hidup dan berkembang. Ruh mempunyai dua daya, yaitu daya berpikir yang disebut qalb, dengan daya rasa yang disebut qalb. Dengan daya aql manusia memperoleh pengetahuan, memperhatikan dan menyelidiki alam sekitar. Dengan daya qalb manusia berusaha mendekatkan diri (taqarrub) sedakat mungkin dengan Tuhan.22
c.
Kebebasan Berkehendak. Manusia
mempunyai
karakteristik
kebebasan
berkehendak,
kemauan untuk memilih dan memutuskan tingkah lakunya sendiri. Kebebasan manusia meliputi berbagai dimensi seperti kebebasan beragama, berbuat, mengeluarkan pendapat, memiliki, berpikir, berkreasi dan lain sebagainya. Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah : 256:
ﺑﹺﺎﻟﻄﹶّﺎﻏﹸﻮﻜﹾﻔﹸﺮ ﻳﻦﻲﹺّ ﻓﹶﻤ ﺍﻟﹾﻐﻦ ﻣﺪّﺷ ﺍﻟﺮّﻦﻴﺒ ﺗّﻳﻦﹺ ﻗﹶﺪﻲ ﺍﻟﺪ ﻓﺍﻩﻻ ﺇﹺﻛﹾﺮ ﺕ ﻴﻊﻤ ﺳﺍﻟﻠﹶّﻪﺎ ﻭ ﻟﹶﻬﺎﻡﺼﻔﺛﹾﻘﹶﻰ ﻻ ﺍﻧ ﺍﻟﹾﻮﺓﻭﺮ ﺑﹺﺎﻟﹾﻌﻚﺴﻤﺘ ﺍﺳ ﻓﹶﻘﹶﺪ ﺑﹺﺎﻟﻠﹶّﻪﻦﻣﺆﻳﻭ ﻴﻢﻠﻋ Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Walau manusia diberi kebebasan tetapi kebebasan itu tidak mutlak di mana ia sanggup berbuat semaunya. Kebebasan dalam Islam adalah kebebasan yang terikat oleh rasa tanggungjawab, tidak menghalangi kebebasan orang lain, nilai-nilai agama dan moral yang dianut masyarakat,
22
Ramayulis, Ilmu Pendidikan…, hal. 111
54
undang-undang yang berlaku, kebersamaan dan keadilan serta akal logika. Rasulullah SAW bersabda:
ﻛﻠّﻜﻢ راع وﻛﻠّﻜﻢ ﻣﺴﺌﻮل ﻋﻦ رﻋﯿﺘﮫ “setiap kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawabannya” (HR. Mutafaq Alaih)23 Implikasinya dalam pendidikan adalah bahwa dalam pencapaian tujuan pendidikan Islam, faktor peserta didik meupakan hal yang mutlak perlu dipehatikan. Supaya seorang pendidik berhasil dalam pendidikan, maka konsep yang jelas tentang karakteritik manusia menurut Islam sangat penting.
d.
Mahluk Sosial Sebagai homo social, manusia akan selalu membutuhkan bantuan
dan kerjasama dengan orang lain yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat. Sebuah firman Allah SWT dalam al-Maidah : 2, menyatakan.24
ﺍﻥﻭﺪﺍﻟﹾﻌﻠﹶﻰ ﺍﻹﺛﹾﻢﹺ ﻭﻮﺍ ﻋﻧﺎﻭﻌﻻ ﺗﻯ ﻭّﻘﹾﻮﺍﻟﺘﻠﹶﻰ ﺍﻟﹾﺒﹺﺮﹺّ ﻭﻮﺍ ﻋﻧﺎﻭﻌﺗﻭ ﻘﹶﺎﺏﹺ ﺍﻟﹾﻌﻳﺪﺪ ﺷ ﺇﹺﻥﹶّ ﺍﻟﻠﹶّﻪّﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﹶّﻪﺍﺗﻭ Artinya: "dan tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya". Dengan demikian teranglah bahwa manusia tidak akan lepas dari pengaruh sosial. Acuan mahluk sosial yang paling sederhana adalah tolong menolong satu dengan lainnya sebagai pengakuan adanya perbedaan.
23
Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut : Darul Fikri, 1998), juz. 2, hal. 820 Ayat lain yang senada, QS.Ali-Imran : 103dan 110, At-Taubah: 71, Al-Fath: 29, AsSyura:38, Al-Mujadalah: 22, Al-Anfal: 25, dan sebagainya. 24
55
Implikasinya dalam pendidikan Islam adalah, tujuan pendidikan Islam akan mengacu kepada kebahagiaan dunia dan di akhirat yang keduanya hanya bisa mungkin dicapai oleh manusia melalui proses interaksi sosial.
2. Prinsip Pendidikan Islam adalah Pendidikan Integral dan Terpadu Pendidikan Islam tidak mengenal adanya pemisahan antara sains dan agama. Penyatuan antara kedua sistem pendidikan adalah tuntunan aqidah Islam. Allah adalah pencipta alam semesta termasuk manusia, Allah pula yang menurunkan hukum-hukum untuk mengelola dan melestarikannya. Menurut Muhammad Quth sebagaimana dikutip oleh Ramayulis, hukum-hukum mengenai alam fisik dinamakan sunatullah. Sedangkan pedoman hidup dan hukum-hukum untuk kehidupan manusia telah ditentukan pula dalam ajaran agama yang dinamakan Din Allah, yang mencakup aqidah dan syari’ah baik alam fisik dengan aturan-Nya berupa sunatullah maupun pedoman hidup manusia berupa Din Allah adalah sama-sama ayat Allah, walaupun yang pertama didapatkan dari alam semesta (ayat al-kauniyah) sedangkan yang kedua didapatkan dari wahyu (ayat al-tanzilah). Studi tentang ayat kauniyah dilakukan dalam ilmu fisika, geologi, geografi, biologi dan sebagainya. Sedangkan studi tentang tata kehidupan manusia berupa pengembangan pengetahuan dari ayat-ayat taniliyat sebagai pedoman hidup untuk manusia dilakukan dalam ilmu hukum, ilmu politik, sosiologi, psikologi, ilmu ekonomi, antropologi dan lain sebaginya yang tercakup dalam ilmu-ilmu sosial dan humanitas.25 Dengan demikian semua cabang ilmu sebanarnya adalah ilmu-ilmu Islami. Jika dalam pengembangan ilmu pengetahuan kemudian terdapat perbedaan antara hasil penelitian ilmiah dengan wahyu Allah tentu terjadi salah satu dari dua hal, yaitu : penyelidikan ilmiah yang belum sampai
25
Ramayulis, Ilmu Pendidikan…, hal. 113.
56
kepada kebenaran ilmiah yang objektif, atau salah dalam memahami ayat yang mengangkut penelitiannya 26. Implikasinya adalah bahwa dalam pendidikan Islam tidak dibenarkan adanya dikotomi pendidikan agama dan sains. Para peserta didik harus dapat memahami Islam a total way of life yang dapat mengatur berbagai aspek kehidupan manusia.27 3. Prinsip Pendidikan Islam adalah Pendidikan yang Seimbang. Prinsip keseimbangan dapat dijumpai pada tujuan yang ingin dicapai oleh tujuan yang ingin dicapai oleh tujuan pendidikan Islam, yaitu disamping dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (QS. Al-Baqarah : 201); menjadi hamba yang taat beribadah, (QS. Al-Dzariat : 56), menjadi khalifah dimuka bumi (QS. Al-Baqarah : 30), menjadi hamba Allah yan muttaqin (QS. Al-Baqarah : 177); manusia yang berakhlak mulia (QS. Al-Qlam : 4), menjadi hamba Allah yang rendah hati (QS. AlFurqan : 63) Prinsip keseimbangan tersebut selanjutnya dijumpai pada rumusan kurikulum yang di dalamnya di samping mengembangkan aspek kognitif juga aspek psikomotorik (QS. An-Nahl : 78), keseimbangan antara penguasaan ilmu agama dengan ilmu umum (QS. Al-Mujadalah : 11), pembinaan antara otak kanan dan otak kiri, kesalehan soisal dan kesalehan individual, kemampuan memahami (to know), mengerjakan (to do), mengamalkan (to be) dan memanfaatkannya bagi kepentingan bersama (to life together).28 Ruang lingkup pendidikan di dalam pandangan Islam tidak sempit, tidak saja pada pendidikan agama dan tidak pula terbatas pada pendidikan duniawi semata, tetapi Rasulullah sendiri pernah mengajak setiap individu dari ummat Islam supaya bekerja untuk agama dan dunianya sekaligus29.
26
Ramayulis, Ilmu Pendidikan..., hal. 113 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,.., hal. 114 28 Abudin Nata, Paradigma…., hal. 39 29 Abudin Nata, Paradigma…., hal. 16. 27
57
4. Prinsip Menghargai Perbedaan Prinsip menghargai perbedaan dapat dijumpai pada salah satu formulasi pengertian pendidikan Islam, yaitu usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan, bimbingan, pengajaran atau latihan dengan memperhatikan tuntunan untuk menghormati agama lain dalam hubungan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.30 Dari statement di atas, terlihat bahwa pendidikan Islam tidak “anti realitas”. Artinya pendidikan Islam memiliki kaitan hubungan dengan konteks waktu dan tempat yang melingkupinya, bagaimana hubungan dengan Allah, hubungannya dengan lingkungan dan kemanusiaan
yang
meniscayakan
adanya
perbedaan-perbedaan,
sebagaimana tersebar dalam banyak ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits tentang pentingnya menghormati dan menghargai perbedaan.
ﻞﹶﺎﺋﻗﹶﺒﺎ ﻭﻮﺑﻌﻢ ﺷ ﺎﻛﹸﻠﹾﻨﻌﻭﺟ ﺜﹶﻰﺃﹸﻧ ﺫﹶﻛﹶﺮﹴ ﻭﻦ ﻣﺎﻛﹸﻢﻠﹶﻘﹾﻨّﺎ ﺧ ﺇﹺﻧّﺎﺱﺎ ﺍﻟﻨّﻬﺎ ﺃﹶﻳﻳ ﺒﹺﲑ ﺧﻴﻢﻋﻠ ﺇﹺﻥﹶّ ﺍﻟﻠﹶّﻪﻘﹶﺎﻛﹸﻢ ﺃﹶﺗ ﺍﻟﻠﹶّﻪﺪﻨ ﻋﻜﹸﻢﻣﻓﹸﻮﺍ ﺇﹺﻥﹶّ ﺃﹶﻛﹾﺮﺎﺭﻌﺘﻟ "Hai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah di antara kalian adalah orang yang paling bertaqwa" (Al-Hujurat: 13). Dalam ayat di atas Allah telah menandaskan bahwa manusia diciptakan dalam wujud laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku. Dengan tegas ayat ini menandakan pluralitas manusia. Jelas Al-Quran sangat menyadari bahwa agama manusia berbeda-beda. Namun, perbedaan ini bukan dijadikan sebagai potensi untuk saling membunuh, sebaliknya dengan santun dan arif al-Quran menawarkan alternatif pencarian titik temu (kalimatun sawa') masing-masing (Q.S. Ali Imran: 30
Abd. Rochman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, (Jakarta : Gema Windu Panca Perkasa, 2000), cet.ke-I, hal. 31.
58
64). Terhadap perbedaan, al-Quran melawan keras tindakan diskriminasi. Al-Quran lebih menekankan keadilan sebagai sikap yang ideal bagi perbedaan tersebut (Q.S. al-Maidah: 8). Al-Qur'an menyatakan bahwa perbedaan di antara manusia dalam bahasa dan warna kulit harus diterima sebagai kenyataan positif sebagai satu di antara tanda-tanda kekuasaan Allah (QS. Ar-Rum : 22). Dalam ayat lain di tegaskan, tentang kemajemukan pandangan dan cara hidup di antara manusia yang tidak perlu menimbulkan kegusaran, tetapi hendaknya dipahami sebagai pangkal tolak sumber motivasi untuk berlomba-lomba menuju kebaikan, karena hanya Tuhan-lah yang akan menerangkan mengapa manusia berbeda, nanti ketika manusia kembali kepada-Nya.31 Ayat lain yang senada dengan ayat-ayat di atas adalah QS. Al-Maidah : 48, QS. Hud : 118-119, Al-Syura : 8.32. Jadi prinsip pendidikan Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan hadits tidak menafikan perbedaan keragaman, oleh karenanya pendidikan hendaknya dipahami dalam sistem transendensi seluruh aspek kehidupan. Transendensi ini bukan dimaksudkan merebut
ridla-Nya dengan
menyingkirkan keinginan manusia lain (dengan agama/keyakinan lain) yang sama sebaliknya, justru menghargainya dan bersama merumuskan kebutuhan kemanusiaan sebagai refleksi teologis masing-masing33.
31
Syamsul Arifin dan Ahmad Barizi, Paradigma Pendidikan Berbasis Pluralisme dan Demokrasi, (Malang : UMM Press, 2001), cet. Ke-I, hal. 2. 32 Ibid, hal. 56. Ayat senada dapat dilacak pada QS. al-Maidah : 37, QS. Al-Mumtahanah : 8-9, dan al-Baqarah : 256 33 A. Waidl, Pendidikan yang Menghargai Perbedaan, dalam google.com/pendidikan pluralisme. 13 Januari 2006
59
C. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Islam 1. Fungsi Pendidikan Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi: “Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan mejadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab”.34 Pendidikan juga berfungsi sebagai pelestari nilai-nilai kebudayaan yang masih layak dipertahankan, pendidikan juga memiliki fungsi sebagai alat transformasi masyarakat untuk dapat beradaptasi dengan perubahan sosial yang tengah terjadi.35 Sedang menurut Hasan Langgulung pendidikan Islam memiliki fungsi sebagai berikut : 1. Menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat pada masa yang akan datang. Peranan ini berkaitan erat dengan kelanjutan hidup (survival) masyarakat sendiri. 2. Memindahkan ilmu pengetahuan yang bersangkutan deengan perananperanan tersebut dari generasi tua kepada generasi muda. 3. Memindahkan nilai-nilai yang bertujuan memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat yang menjadi sayarat mutlak bagi kelanjutan hidup (survival) suatu masyarakat dan peradaban. Dengan kata lain, tanpa nilai-nilai keutuhan (integrity) dan kesatuan (integration) suatu masyarakat, maka kelanjutan hidup tersebut tidak akan menyebabkan kehancuran masyarakat itu sendiri.36 Selain alasan itu, pendidikan agama Islam juga merupakan pendidikan manusia seutuhnya yang dapat membina seluruh aspek kehidupan manusia baik jasmani maupun rohani, agar peserta didik dapat menjalankan fungsi 34
Tim Penyyusun, Undang-undang Republik Indonesia, No.2 tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II pasal 3, (Jakarta: CV. Mitama Utama, 2004), h. 7. 35 Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, hal.6. 36 Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2001), cet. II, hal. 16
60
kehidupannya dengan baik, baik itu bagi pribadinya, masyarakat atau lingkungannya maupun bagi bangsa dan negaranya. Secara lebih spesifik , pendidikan sebagai institusi sosial memiliki fungsi antara lain sebagai alat proses perubahan sosial. Proses perubahan masyarakat melalui pendidikan harus mampu mengakomodir karakter sosial yang dimiliki masyarakat. Hal ini mengingat pendidikan memiliki sejumlah karakteristik sosial antara lain : 1) Kultural-Etis; pendidikan menjalin keharmonisan antara tuntutan individu dan nilai-nilai moral masyarakat. 2) Vokasional; pendidikan bertalian erat dan langsung dengan kehidupan praktis dalam berbagai tarafnya. 3) Multi Pola; pendidikan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan kehidupan dan individu yang tidak mungkin berada dalam satu pola. 4) Kondisional; pendidikan mengarahkan individu untuk mempelajari dan menekuni pekerjaan yang sesuai dengan kondisinya. 5) General dan Komperhensif; pendidikan bersifat umum dan menyeluruh yang mencakup dasar-dasar pengetahuan dan budaya. 6) Sosial; pendidikan dibatasi oleh faktor ruang dan waktu serta menggali tujuan dasarnya dari masyarakat. 7) Multidimensi; pendidikan merupakan proses yang sangat penting dalam kehidupan individu dan masyarakat. Pemahaman terhadap hakikatnya memerlukan pemahaman terhadap segala dimensinya. 8) Artificial; pendidikan sering dikatakan sebagai seni pembentukan masa depan. Hal ini tidak hanya sekedar terkait dengan manusia seerti apa yang diharapkan di masa depan, lebih jauh dari itu adalah proses seperti apa yang akan diberlakukan dan apa yang akan dilakukan di masa mendatang. Dengan demikian pendidikan perlu memperhatikan realitas sekarang untuk menyusun format yang akan diberlkukan demi masa depan. 9) Pendidikan merupakan urat nadi kehidupan ndividu dan masyarakat. Sebesar apa yang diberikan pendidikan di setia pusat pendidikan, sebesar itu pula nilainya dalam membentuk kepribadiannya. 10) Perekat sosial; pendidikan disamping merupakan sarana keberlangsungan masyarakat, juga merupakan urgensi social bagi individu untuk membentuk kepribadiannya dan mempersiapkan diri untuk membentuk menjadi anggota yang sempurna dalam masyarakat.37 Dari gambaran di atas jelaslah bahwa pendidikan Islam sebagai sub pendidikan nasional memiliki kewajiban untuk menjadi alat perubahan masyarakat sesuai dengan karakter social dalam pendidikan. Tegasnya, dalam hal
37
Lihat Maslikhah, ..Quo Vadis.., hal. 36-37
61
ini pendidikan Islam harus "ramah" dengan kondisi nasioanal bangsa Indonesia yang multikultural. 2. Tujuan Pendidikan Islam Tujuan pendidikan termasuk masalah sentral dalam pendidikan, sebab tanpa perumusan tujuan pendidikan yang baik maka perbuatan mendidik menjadi tidak jelas, tanpa arah dan bahkan tersesat atau salah langkah pula. Oleh karenanya masalah tujuan pendidikan menjadi inti dan sangat penting dalam menentukan isi dan arah pendidikan yang diberikan. Istilah “tujuan” atau “sasaran” atau “maksud”, dalam bahasa Arab dinyatakan dengan ghayat, ahdaf, atau maqasid. Sedangkan dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan goal, purpose, objective, atau aim. Secara umum istilah-istilah itu mengandung pengertian yang sama, yaitu perbuatan yang diarahkan kepada suatu target atau arah yang hendak dicapai melalui serangkaian upaya atau aktivitas.38 Sedangkan secara istilah, Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa, “tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai.39 Upaya untuk memformulasikan suatu rumusan tujuan, tidak terlepas dari pandangan masyarakat dan nilai yang dianut para pelaku pendidikan masingmasing. Maka tidaklah aneh jika terdapat perbedaan tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing lembaga pendidikan karena kepentingan yang ingin dicapai.40 Tujuan pendidikan di Indonesia secara singkat, sebagaimana tercantum dalam UU SPN, bahwa tujuan pendidikan nasional ialah membangun manusia Pancasila yang memiliki ciri-ciri : a. Bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa b. Cerdas, terampil, berbudi pekerti c. Mempunyai semangat kebangsaan d. Dapat membangun diri sendiri
38
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1993), hal. 222. Zakiah Daradjat, et.al, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi AKsara, 1992), hal. 29 40 Jalaludin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islamm ; Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 39 39
62
e. Bersama orang lain membangun bangsa.41 Sedang menurut Langveld, tujuan pendidikan adalah untuk membangun anak ke arah kedewasaan, dalam arti membentuk individu berkesadaran sosial dan susila atau membentuk pribadi sosial yang bermoral. Lain halnya dengan John Dewey yang merumuskan tujuan pendidikan sebagai pembentukan anggota masyarakat yang baik. Sedang Kersheristeiner menekankan pada pembentukan warga negara yang baik.42 Sementara itu dalam pendidikan Islam, tujuan pendidikan tidak akan pernah lepas dari pembicaraan tentang tujuan hidup manusia, maka dalam tujuannya pun ilmu akan selalu mempertimbangkan perubahan dan perkembangan yang dialami manusia. Untuk itu dalam sebuah ilmu atau disiplin ilmu dibutuhkan suatu rumusan tujuan yang fleksibel yang dapat terus menerus disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Untuk itulah dalam pendidikan Islam pun harus diambil dari konsep atau falsafah hidup manusia dengan berdasarkan nilainilai dan norma-norma Islam. Karena mengingat bahwa pandangan hidup muslim adalah Islam, maka tujuan pendidikan pun haruslah sesuai dengan ajaran Islam. Pendidikan Islam memiliki tujuan terkendali sesuai dengan falsafah dan pandangan hidup yang digariskan oleh akal dalam al-Qur’an. Dengan berdasarkan al-Qur’an dan hadits jelas terlihat bahwa tujuan sejati pendidikan Islam adalah menghasilkan orang-orang yang beriman dan juga berpengetahuan, yang satu sama lain saling menopang.43 Tujuan pendidikan Islam juga musti disinkronkan dengan tujuan agama Islam yaitu berusaha mendidik individu mukmin agar tunduk, bertakwa, dan beribadah dengan baik kepada Allah, sehingga memperoleh kebahagiaan di dunia dan akherat tersebut, dapat digali tujuan-tujuan khusus44. Para cendekiawan Islam dan ahli-ahli pendidikan Islam yang lain membuat rumusan masing-masing tentang tujuan pendidikan Islam, antara lain :
41
Alisuf Sabri, Ilmu Pendidikan, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1999), cet. Ke-I, hal. 32. Lihat dalam Sumarno, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), cet. Ke- VIII, hal. 49-50. 43 Syed Sajjad Hussain dan Syed Ali Ashraf, Krisis dalam Pendidikan Islam, terj. : Fadlah Mudhafir, (Jakarta : Al-Mawardhi Prima, 2000), cet.ke-I, hal. 49. 44 Maslikhah, Quo Vadis…., hal. 122 42
63
1. Prof. Saleh Abdul Aziz dan DR. Abdul Aziz Najid mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk mendapatkan keridhaan Allah dan mengusahakan kehidupan. 2. M. Athiyah Al-Abrasy, menyatakan “tujuan utama dari pendidikan Islam ialah pembentukan akhlak dan budi pekerti yang sanggup menghasilknan orang-orang yang bermoral, laki-laki maupun wanita, jiwa yang bersih , kemauan keras, cita-cita yang benar dan akhlak yang tinggi, tahu arti kewajiban dan pelaksanaannya, menghormati hak-hak manusia, tahu membedakan buruk dengan baik, meilih suatu fadhilah, menghindari suatu perbuatan yang tercela karena ia tercela, dan mengingat Tuhan dalam setiap pekerjaan yang mereka lakukan”45. 3. Masih menurut M. Athiyah Al-Abrasyi dalam Khoiron Rosyadi; a. Untuk membantu pembentukan akhlak mulia. b. Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akherat. c. Persiapan mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan d. Menumbuhkan roh ilmiah (scientific-spirit) pada pelajar dalam arti untuk mengetahui (curiosity) dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sekedar ilmu.46 4. Musthafa Amin, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah mempersiapkan seseorang bagi amalan dunia dan akherat. 5. Ibnu Khaldun dalam Armai Arief47; a) Tujuan yang berorientasi akhirat, yaitu membentuk hamba-hamba Allah yang dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada Allah. b) Tujuan yang berorientasi dunia, yaitu membentuk manusia yang mampu menghadapi segala bentuk kehidupan yang lebih layak dan bermanfaat bagi orang lain. 6. Abdullah Fayyad menyatakan bahwa pendidikan Islam mengarah kepada dua tujuan : 45
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, tt), hal. 102. 46 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet. 1, hal. 164. 47 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), cet.1, hal. 19.
64
a. persiapan adalah hidup akherat b. membentuk perorangan dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan adalah menunjang kesuksesannya hidup di dunia.48 Sesungguhnya ada banyak teori yang lain dari para pakar. Meski begitu, nampak secara garis besar dalam penerapannya pada pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam dibagi menjadi tiga point, yaitu tujuan akhir, tujuan umum dan tujuan khusus.49 a. Tujuan Akhir Tujuan ini bersifat mutlak, tidak mengalami perubahan dan berlaku umum karena sesuai dengan konsep ketuhanan yang mengandung kebenaran mutlak dan universal. Dalam pendidikan Islam, tujuan akhir ini pada akhirnya sesuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai mahluk ciptaan Allah, yaitu : 1) Menjadi Hamba Allah Tujuan ini sejalan dengan tujuan dan penciptaan manusia, yaitu semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Firman Allah SWT :
ﻭﻥﺪﺒﻌﻴ ﺇﹺﻻ ﻟﺲﺍﻹﻧّ ﻭ ﺍﻟﹾﺠﹺﻦﻠﹶﻘﹾﺖﺎ ﺧﻣﻭ “dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepada-Ku” (QS. Al-Dzariat : 56) 2) Menghantarkan anak didik menjadi khalifah fi al-ardh yang mampu memakmurkan
bumi
dan
melestarikannya.
Lebih
jauh
lagi
mewujudkan rahmat bagi alam sekitarnya sesuai dengan tujuan penciptaannya. Firman Allah SWT :
ﻴﻔﹶﺔﹰ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍﻠﺽﹺ ﺧﻲ ﺍﻷﺭﻞﹲ ﻓﺎﻋ ﺇﹺﻧﹺّﻲ ﺟﻜﹶﺔﻼﺋﻠﹾﻤ ﻟّﻚﺑﺇﹺﺫﹾ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭﻭ
ﺒﹺّﺢﺴ ﻧﻦﺤﻧﺎﺀَ ﻭّﻣ ﺍﻟﺪﻚﻔﺴﻳﺎ ﻭﻴﻬ ﻓﻔﹾﺴِﺪ ﻳﻦﺎ ﻣﻴﻬﻞﹸ ﻓﻌﺠﺃﹶﺗ
ﻮﻥﻠﹶﻤﻌﺎ ﻻ ﺗ ﻣﻠﹶﻢ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺇﹺﻧﹺّﻲ ﺃﹶﻋ ﻟﹶﻚّﺱﻘﹶﺪﻧ ﻭﻙﺪﻤﺑﹺﺤ
48
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 1998), cet. Ke-2, hal. 26-27. Abu Ahmadi, Islam sebagai Pardigma Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta : Aditya Media, 1992), hal. 63-70. 49
65
Artinya : “dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi” (QS. Al-Baqarah : 30) 3) Memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, baik secara individu maupun sosial. Firman Allah SWT :
ﺎﻴّﻧ ﺍﻟﺪﻦ ﻣﻚﻴﺒﺼ ﻧﺲﻨﻻ ﺗﺓﹶ ﻭﺮ ﺍﻵﺧّﺍﺭ ﺍﻟﺪ ﺍﻟﻠﹶّﻪﺎﻙﺎ ﺁﺗﻴﻤﻎﹺ ﻓﺘﺍﺑﻭ ّﺽﹺ ﺇﹺﻥﹶﻲ ﺍﻷﺭ ﻓﺎﺩﻎﹺ ﺍﻟﹾﻔﹶﺴﺒﻻ ﺗ ﻭﻚ ﺇﹺﻟﹶﻴ ﺍﻟﻠﹶّﻪﻦﺴﺎ ﺃﹶﺣ ﻛﹶﻤﺴِﻦﺃﹶﺣﻭ ﻳﻦﻔﹾﺴِﺪّ ﺍﻟﹾﻤﺐﺤ ﻻ ﻳﺍﻟﻠﹶّﻪ
Artinya : “dan carilah apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu (kenikmatan) di dunia” (QS. Al-Qashash : 77) Ketiga tujuan akhir itu pada dasarnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, karena pencapaian tujuan yang satu memerlukan pencapaian tujuan lain, bahkan secara ideal ketiga-tiganya harus dicapai secara bersamaan melalui proses pencapaian yang seimbang. b. Tujuan Umum Tidak berbeda jauh dengan tujuan akhir, tujuan umum juga belum dapat diukur secara empirik taraf pencapaiannya. Salah satu formulasi tujuan umum pendidikan adalah rumusan yang dibuat oleh Konferensi Pendidikan Islam Internasional yang pertama di Mekkah pada tahun 1974, yang menyatakan : Education should aim balanced growth of the total personality of man through the training of men’s spirit, intellect, the rational self, feelings, and bodily sense. Therefore, education should cater for the growth of man in all its aspect, spiritall, intellectual, imaginative, physical, linguistic, both individuality and collectively and motivate all these aspekct toward goodness the attainment of perfection. The ultimate aim of Islamic education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community, and humanity at large.(sic).50
50
Abu Ahmadi, Islam sebagai Pardigma Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta : Aditya Media, 1992), hal. 63
66
(Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan dan indera. Karena itu, pendidikan harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya: spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, dan bahasa baik secara individual maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan Islam terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.) Menurut Hery Noer Aly dan Munzier dalam Maslikhah tujuan umum pendidikan Islam, antara lain; a) Mendidik individu yang shaleh dengan memperhatikan segenap dimensi perkembangan rohaniah, emosional, sosial, intelektual dan fisik. b) Mendidik anggota kelompok sosial yang shaleh, baik dalam keluarga maupun masyarakat muslim. c) Mendidik manusia yang shaleh bagi masyarakat insani yang besar. Sementara itu, Abdurrahman Saleh dalam Maslikhah, menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam dibangun di atas tiga komponen sifat dasar manusia yaitu tubuh, ruh, dan akal yang masing-masing harus dijaga. Maka tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan kepada, pertama, tujuan pendidikan jasmani; kedua, tujuan pendidikan ruhani; ketiga, tujuan pendidikan akal; dan keempat, tujuan pendidikan sosial. Agak senada, Oemar Mohammad Al-Toumy al-Syaiban: a) Tujuan individual; tujuan yang berkaitan dengan masing-masing individu dalam mewujudkan perubahan yang diinginkan pada tingkah laku dan aktivitasnya, di samping untuk mempersiapkan individu dapat hidup bahagia di dunia maupun di akhirat. b) Tujuan sosial; tujuan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan tingkah laku mereka secara umum yang berkaitan dengan perubahan dan pertumbuhan kehidupan yang diinginkan untuk memperkaya pengalaman dan kemajuan.
67
c) Tujuan professional; tujuan yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktifitas di antara aktifitas masyarakat.51
c. Tujuan Khusus Tujuan khusus merupakan perubahan-perubahan yang diinginkan yang bersifat cabang atau bagian yang termasuk di bawah tujuan umum pendidikan Islam. Dengan kata lain, gabungan pengetahuan, keterampilan, pola-pola, tingkah laku, sikap, nilai-nilai dan kebijakan-kebijakan yang terkandung dalam tujuan tertinggi atau umum bagi pendidikan Islam52. Oleh karenanya tujuan khusus adalah pengkhususan atau operasional tujuan akhir dan tujuan umum (pendidikan Islam). Tujuan khusus bersifat relative sehingga dimungkinkan untuk diadakan perubahan jika diperlukan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan akhir dan tujuan umum itu. Pengkhususan tujuan tersebut dapat didasarkan pada: a)
Kultur dan cita-cita suatu bangsa Setiap manusia memiliki tradisi dan budaya sendiri-sendiri. Perbedaan antara berabagai bangsa inilah yang memungkinkan adanya pebedaan cita-cita, sehingga terjadi pula perbedaan dalam merumuskan tujuan yang dikehendaki di bidang pendidikan.
b)
Minat bakat dan kesanggupan anak didik Islam mengakui perbedaan individu dalam hal mina, bakat dan kemampuan. Untuk mencapai prestasi yang sebagaimaana diharapkan kesesuaian tujuan harus khusu dengan minat, bakat, dan kemampuan anak didik sangat menentukan.
c)
Tuntutan situasi dan kondisi pada kurun waktu tertentu Apabila tujuan khusus pendidikan tidak mempertimbangkan faktor situasi dan kondisi pada kurun waktu tertentu, maka pendidikan akan kurang memiliki daya guna. Dasar pertimbangan ini sangat penting
51 52
Iihat Maslikhah, Quo Vadis....,hal. 129 Maslikhah, Quo Vadis....,hal. 133.
68
terutama
bagi
perencanaan
pendidikan.
Dalam
hal
ini,
harus
mengantisipasi perkembangan di masa depan53.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan Islam memiliki tujuan yang sama dengan tujuan penciptaan manusia. Pendidikan Islam sarat dengan nalar dan perasaan perilaku serta emosi manusia dengan landasan agama Islam. Dengan demikian tujuan pendidikan Islam adalah merealisasikan penghambaan kepada Allah dalam kehidupan manusia, baik secara individu maupun secara sosial.54 memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Allah di muka bumi sebaikbaiknya. 2. Mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahannya dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah. 3. Mengarahkan manusia untuk berakhlak mulia. 4. Membina dan mengarahkan seluruh potensi manusia yang digunakan untuk mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya. 5. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat. Kemudian, dari pencermatan ciri-ciri tujuan pendidikan Islam tersebut terlihat bahwa tujuan pendidikan Islam bermuara pada pembentukan manusia yang paripurna (insan kamil). Hal ini senada dengan ungkapan Athiyah al-Abrasy, yang menempatkan pendidikan budi pekerti sebagai jiwa dari pendidikan Islam, dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai yang “sempurna” adalah tujuan pendidikan
53
Abu AHmadi, Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya Media, 1992), hal. 63-70. 54 Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), cet. Ke-I, hal. 117.
69
Islam55 Muhammad Quthb, juga manyatakan tujuan pendidikan Islam adalah menciptakan manusia yang taqwa menuju insan kamil56. Lantas apakah insan kamil tersebut?. Insan kamil adalah sebuah refleksi dari figure yang sukses menunaikan tugas sebagai khalifah fil ardhi, beriman kepada Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki jiwa social yang tinggi, respek terhadap kondisi di sekitarnya. Insan kamil adalah manusia yang sempurna secara rohani (spiritual), jasmani (jasadi/fisik) dan sempurna akal (intelektual). Dari pendapat-pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan Islam yang utama adalah mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah, sehingga mampu menunaikan tugas dan kewajibannya selaku mahluk Allah sebagai khalifah di muka bumi, mampu menjalankan dan membangun tugas-tugas kemasyarakatan,
kebangsaan,
keagamaan secara
bersama-sama membangun peradaban Islam, dan tugas-tugas dalam membangun kehidupan bersama secara integral dengan sebaik-baiknya sesuai dengan prinsipprinsip kehidupan menurut al-Qur’an dan al-Sunah. Dengan bahasa yang lebih tegas, “manusia paripurna” (insan kamil).
55
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, tt) hal. 15. 56 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet. 1. hal. 16.
BAB IV RELEVANSI KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Sebagai
pendidikan
yang
bergenre
"pembebasan",
pendidikan
multikultural mulai ramai dibicarakan dan diwacanakan di Indonesia. Kehadirannya diharapkan menjadi solusi sekaligus alternative pendidikan yang bisa menjadi pencegah dari perpecahan dan disintegrasi bangsa Indonesia yang serba majemuk ini. Kehadirannya merupakan sebuah idealisme dari bangsa yang berkali-kali terjangkit perpecahan, pertikaian etnis, perang saudara dan tragedi kemanusiaan yang merenggut ratusan nyawa manusia, begitu saja. Kekerasankekerasan yang lebih disebabkan oleh kekurangan dalam memandang keragaman. Lantas bagaimana prospek pendidikan multikultural diintegrasikan dalam sistem pendidikan di Indonesia, utamanya dalam pendidikan Islam ini?. Ada beberapa titik temu, harapan, peluang, dan relevansi dari pendidikan multikultural dengan pendidikan Islam bisa dilihat dari beberapa aspek yang menjadi “grand design” masing-masing, dalam hal ini penulis membatasi dalam prinsip-prinsip dan tujuan pendidikan dari kedua dengan harapan bisa mendapat gambaran lebih terang untuk kemudian bagaimana melihat prospek dan format ideal implementasi pendidikan multikultural dalam kerangka pendidikan Islam.
70
71
A. Prinsip-prinsip
Dasar
Pendidikan
Multikultural
dalam
Pendidikan Islam Dalam pendidikan multikultural, prinsip-prinsip dasar yang menjadi acuannya adalah : Prinsip pengakuan terhadap hak azazi manusia (HAM), asusmi dasar dari prinsip ini adalah bahwa proses pendidikan adalah untuk merealisasikan HAM1. Penghargaan atas hak asasi manusia didasarkan pada paradigma memandang hakekat manusia, seperti : manusia memiliki sejarah, manusia adalah mahluk dengan segala individualitasnya merupakan masing-masing yang memiliki ciri khas tersendiri berdasarkan potensi-potensi yang dimilikinya, manusia adalah mahluk sosial yang butuh akan sosialisasi di antara mereka, manusia bebas mengolah alam fikiran dan rasa telah menemukan sesuatu yang transendental, manusia ada dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya. Sementara HAM dalam prespektif pendidikan Islam mendapat posisi yang tinggi. Hal ini terlihat dari prinsip dasarnya sebagai implikasi dari ciri manusia, pendidikan Islam. melihat bahwa manusia adalah mahluk yang memiliki kebebasan
berkehendak.
Manusia
mempunyai
karakteristik
kebebasan
berkehendak, kemauan untuk memilih dan memutuskan tingkah lakunya sendiri. Kebebasan manusia meliputi berbagai dimensi seperti kebebasan beragama, berbuat, mengeluarkan pendapat, memiliki, berpikir, berkreasi dan lain sebagainya. Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah : 256
ِﻵَإِﻛْﺮَاهَ ﻓِﻲ اﻟﺪﱢﯾﻦِ ﻗَﺪ ﺗﱠﺒَﯿﱠﻦَ اﻟﺮﱡﺷْﺪُ ﻣِﻦَ اﻟْﻐَﻲﱢ ﻓَﻤَﻦ ﯾَﻜْﻔُﺮْ ﺑِﺎﻟﻄﱠﺎﻏُﻮت ٌوَﯾُﺆْﻣِﻦ ﺑِﺎﷲِ ﻓَﻘَﺪِ اﺳْﺘَﻤْﺴَﻚَ ﺑِﺎﻟْﻌُﺮْوَةِ اﻟْﻮُﺛْﻘَﻰ ﻻَ اﻧْﻔِﺼَﺎمَ ﻟَﮭَﺎ وَاﷲُ ﺳَﻤِﯿﻊ ٌﻋَﻠِﯿﻢ “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat 1
H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan; Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, (Jakarta : Grassindo, 2002), cet. Ke-1, hal. 432.
72
yang tidak akan putus. dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Penghargaan atas hak asasi manusia didasarkan pada pardigma memandang hakikat manusia, antara lain : manusia memiliki sejarah, manusia adalah mahluk dengan segala inividualitasnya merupakan masing-masing yang memiliki ciri khas tersendiri berdasarkan potensi-potensi yang dimilikinya. Selain itu, manusia adalah juga mahluk sosial yang butuh akan sosialisasi di antara mereka, manusia bebas mengolah alam fikiran dan rasa telah menemukan sesuatu yangang transendental, manusia ada dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya. Walau manusia diberi kebebasan tetapi kebebasan iu tidak mutlak di mana ia sanggup berbuat semaunya. Kebebasan dalam Islam adalah kebebasan yang terikat oleh rasa tanggungjawab, tidak menghalangi kebebasan orang lain, nilainilai agama dan moral yang dianut masyarakat, undang-undang yang berlaku, kebersamaan dan keadilan serta akal logika. Dari keterangan di atas terdapat relevansi antara pendidikan multikultural dengan pendidikan Islam dalam memberikan penghargaan pada HAM, maka sangat salah besar jika menganggap bahwa pendidikan Islam tidak humanis. Justru Islam sangat menghormati hak asasi manusia sebagai mahluk Tuhan dengan pembatasan-pembatasan tertentu untuk menjaga agar manusia tetap terlindungi hak-hak asaasinya secara proporsional karena pendidikan Islam juga tidak meluputkan diri pada satu hal dan mementingkan yang lain.2 Kemudian pendidikan multikultural mendasarkan acuan pedagogiknya pada prinsip persamaan derajat yang berdasarkan kesetaraan manusia (equity paedagogy). Pedagogik kesetaraan bukan hanya mengakui akan HAM, tetapi juga hak kelompok manusia, kelompok suku bangsa, kelompok bangsa untuk hidup
2
Dalam hal ini pendidikan Islam memiliki prinsip keseimbangan Prinsip keseimbangan dapat dijumpai pada tujuan yang ingin dicapai oleh tujuan yang ingin dicapai oleh tujuan pendidikan Islam, yaitu disamping dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (QS. Al-Baqarah : 201); menjadi hamba yang taat beribadah, (QS. Al-Dzariat : 56), menjadi khalifah dimuka bumi (QS. Al-Baqarah : 30), menjadi hamba Allah yan muttaqin (QS. Al-Baqarah : 177); manusia yang berakhlak mulia (QS. Al-Qlam : 4), menjadi hamba Allah yang rendah hati (QS. AlFurqan : 63).
73
beradasarkan kebudayaan sendiri. Dengan demikian diakui adanya prinsip kesetaraan individu, antar bangsa, antar budaya, antara agama dan sebagainya. Pedagogik kesetaraan tidak mengakui akan perbedaan-perbedaan artifisial yang telah dibuat oleh manusia di dalam sejarah kehidupannya. Pedagogik kesetaraan berpangkal kepada pandangan mengenai kesetaraan martabat. Sementara dalam prespektif pendidikan Islam, bahwa visi pendidikan Islam berwawasan universal dan global. Islam juga tidak membeda-bedakan manusai berdasarkan asal-usul daerahnya. Barat dan Timur bagi Islam bukan untuk dimasalahkan. Nilai-nilai yang datang dari Barat dan Timur dapat diterima sepanjang memiliki komitmen pada keimanan yang kokoh, kepedulian sosial, hubungan vertikal dengan Tuhan dan hubungan horizontal dengan sesama manusia, berorientasi pada pembentukan akhlak mulia dan kepribadian yang tangguh. Visi ajaran Islam ditujukan untuk menciptakan kedamaian dan rahmat bagi seluruh alam. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam, -sekali lagi tetap humanistik- dengan prinsip implikasi dari ciri manusia yang kerap disebut sebagai fithrah. Fitrah manusia juga diciptakan dalam keberagaman akan tetapi posisi dan keududukannya di hadapan Allah adalah sama dan sederajat, melainkan orang yang bertakwa. Prinsip pendidikan multikultural selanjutnya didasarkan atas prinsip pendidikan sebagai pelestari kebudayaan. Manusia adalah mahluk sosial yang dinamis, maka dalam konteks ini, pendidikan memfungsikan dirinya sebagai wacana interaktif antara manusia dan masyarakat serta lingkungannya. Wacana tentang manusia semacam itulah acuan pengembangan pendidikan berprespektif multikultural. Manusia dan kebudayaan tidak terpisahkan, maka pendidikan harus selalu berpegang pada dasar-dasar : 1) Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang. 2) Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan. 3) Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial.
74
4) Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat. 5) Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang menuntunya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.3 Adapun
prinsip
pendidikan
Islam
adalah
sangat
mengakomodir
kepentingan dan kebutuhan manusia. Hal ini dapat ditelusuri dari prinsip-prinsip dasarnya seperti prinsip dari implikasi ciri-ciri manusia menurut Islam, prinsip pendidikan integral dan terpadu, prinsip pendidikan yang seimbang maupun prinsip menghargai perbedaan sesungguhnya pijakan utama implementasi pendidikan Islam, yang tidak lain bertujuan mewujudkan pendidikan sebagai pelestari sebagai agen of culture yang berdasarkan al-Qur’an, hadits dan ijma. Tentunya fungsi ini sangat disadari oleh pendidikan Islam, bahkan pendidikan Islam akan sangat dinamis dan terbuka dengan kebudayaan masyarakat sebagai bekal manusia menjadi khalifah fil ardh dan membentuk manusia yang paripurna sebagai cikal pembentukan masyarakat yang madani (mutamaddun). Pendidikan Islam diarahkan pada upaya mewujudkan tujuan dari kehadiran Islam (maqashid al-syari’ah) itu sendiri yaitu memelihara, membina, membimbing, dan memenuhi kebutuhan manusia dalam bidang agama, akal, jiwa, harta dan keturunan. Dengan demikian komonen-komponen penunjang pendidikan harus berpedoman pada prinsip
keseimbangan,
keterbukaan,
dinamis,
fleksibel,
situasional
dan
kondsisonal, egaliter, demokratis, manusiawi, rasional professional dan kualitaif.4 Kemudian sebagai konsep yang berkaitan dengan humanisme, pendidikan multikultural menerapkan prinsip pluralisme, sebagai konsekuensi logis bagi hakekat manusia. Artinya manusia selalu bersama dengan segala perbedaanperbedaan dan keragaman. Pluralisme budaya bukanlah suatu yang “given” tetapi merupakan proses internalisasi nilai-nilai di dalam suatu komunitas. Dalam hal ini pendidikan memiliki peran strategis untuk mengembalikan cara berpikir dan sikap peserta didik ke dalam tataran yang mengerti (dan memahami) pluralitas 3
Muhaimin El Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural dalam http://www.cyberschooldps.net - 27 February, 2008, 23:51 4 Abudin Nata, Paradigma Baru Pendidikan Islam di Era Pasar Bebas, dalam Jurnal Didaktika Islamika, Vol. VI, No. 1 Juni 2005, hal 38.
75
bermasyarakat. Pendidikan yang diselenggarakan haruslah pendidikan yang paham betul terhadap problem akut kemanusiaan seperti penindasan, kemiskinan, pembantaian dan sebagainya. Pluralitas bukan dijadikan sebagai potensi kerusuhan, melainkan merupakan potensi untuk diajak bersama melaksanakan ajaran demi kepentingan kemanusiaan. Maka pengembangan sikap toleransi merupakan upaya strategis yang bisa dilakukan, yakni dengan menghormati orang atau golongan lain tanpa kehilangan identitas diri. Maka menghargai perbedaan adalah salah satu sikap yang harus dikembangkan dalam rangka mewujudkan pendidikan multikultural. Oleh karena itu sikap menghargai perbedaan harus ditumbuh kembangkan dalam lingkungan belajar. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat saling menghargai dan biasa berbeda5 Pendidikan Islam sendiri memandang pluralisme tidak bertentangan dengan Islam, bahkan Islam memberikan kerangka sikap etis dan positif. Sikap etis dan positif Islam dimaksud tercermin dari beberapa ayat al-Qur’an yang secara eksplisit mengakui kenyataan tersebut. Seperti al-Qur’an menyatakan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai (QS. Al-Hujurat: 13). Al-qur’an juga menyatakan bahwa perbedaan di antara manusia dalam bahasa dan warna kulit harus diterima sebangai kenyataan positif sebagai satu di antara tanda-tanda kekuasaan Allah (QS. Ar-Rum: 22).6 Dalam ayat lain ditegaskan, tentang kemajemukan pandangan dan cara hidup diantara manusia yang tidak perlu menimbulkan kegusaran, tetapi hendaknya dipahami sebagai pangkal tolak sumber motivasi untuk berlomba-lomba menuju kebaikan, karena hanya Tuhanlah yang akan menerangkan mengapa manusia berbeda, nanti ketika manusia kembali kepadaNya.7
5
Moh. Miftahul Choiri, Pendidikan Multikultural…, hal. 33. Ayat-ayat lain yang mendukung antara lain Q.S. Ali Imran: 64, Q.S. al-Maidah: 8, QS. AlMaidah : 48, QS. Hud : 118-119, QS. al-Syura : 8, QS. al-Maidah : 37, QS. Al-Mumtahanah : 8-9, dan al-Baqarah : 256. 7 Syamsul Arifin dan Ahmad Barizi, Paradigma Pendidikan Berbasis Pluralisme dan Demokrasi, (Malang: UMM Press, 2001), cet. 1, hal. 2. Ayat-ayat lain yang senada al-Maidah: 48, al-Syura: 8, Hud: 118-119, dsb. 6
76
Dengan kata lebih tegas pendidikan Islam tidak “anti realitas”. Sebaliknya pendidikan Islam memiliki kaitan hubungan dengan konteks yang melingkupinya, salah satunya adalah keanekaragaman jenis kelamin, ras, agama, budaya dan lain Jadi prinsip pendidikan Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan hadits tidak menafikan perbedaan keragaman, justru pendidikan Islam melihat sebagai sebuah “rahmat” yang bisa bernilai positif.
B. Tujuan Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam ; Antara Manusia Cerdas dan Manusia Sempurna Tujuan pendidikan termasuk masalah sentral dalam pendidikan. Secara umum, ada dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan, masing-masing dengan tingkat keragamannya tersendiri. Pandangan teoretis yang pertama berorintasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis, maupun monarkis. Pandangan teoretis yang kedua lebih berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung dan minat pelajar. Selanjutnya, sistem pendidikan yang diterapkan di negara-negara yang ada di dunia ini berorientasi kemasyarakatan, kenegaraan. Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education (1978) menyatakan hubungan pendidikan dengan masyarakat mencakup hubungan pendidikan dan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik, dan negara, karena pendidikan itu terjadi di masyarakat, dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik dan kenegaraan secara simultan. Sedangakan secara mikro pendidikan
senantiasa
memperhitungkan
individualitas
atau
karakteristik
perbedaan antara individu peserta didik8.
8
Fasli Jalal, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Aditia, 2001), hlm. 16
77
Dalam hal ini, baik konsep pendidikan multikultural maupun pendidikan Islam memiliki dua pengembangan kemasyarakatan dan individual. Tujuan pendidikan
multikultural
berorintasi
kemasyarakatan
yang
menganggap
pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis. Ia juga berorientasi kemasyarakatan, kenegaraan mencakup hubungan pendidikan dan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik, dan negara di era global-multikultural. Pendidikan multikultural bertujuan agar terciptanya bangsa yang memiliki integritas yang tinggi, bangsa maju, berperadaban, disegani oleh bangsa lain dalam framework global-multikultural. Di Indonesia, tujuan tersebut selanjutnya bisa diwujudkan dengan pengembangan pada dimenssi individual yang diproyeksikan dengan konsep manusia Indonesia cerdas, yaitu manusia yang menguasai dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dengan sebaik-baiknya untuk peningkatan mutu kehidupan, baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok, dan sebagai anggota masyarakat dan bangsanya. Manusia cerdas memiliki ciri sebagai profil manusia yang bermoral dan beriman, kecerdasannya tidak untuk korupsi, inklusive, tidak membenarkan apa yang dimilikinya, citacitanya, agamanya, ideology politiknya untuk dipaksakan kepada orang lain. Seorang manusia yang cerdas mengakui akan perbedaan-perbedaan yang ada di dalam hidup bersama sebagai kekayaan bersama dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Dalam hal pengembangan individual, Adam Bakhtiar menyatakan : “Tujuan mencari ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan ataupun keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu, bukan hanya sebagai seorang warga negara ataupun anggota masyarakat. Yang perlu ditekankan (dalam pendidikan) adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga kota, sebagai warga negara dalam kerajaanya yang mikro, sebagai sesuatu yang bersifat spiritual, (dengan demikian yang ditekankan itu) bukanlah nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur
78
dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaanya bagi negara, masyarakat, dan dunia9. Jadi, sosok manusia cerdas tidak hanya cerdik dan berkemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan menyelesaikan masalah, tetapi juga bermoral, bersikap demokratis, dan empati terhadap orang lain. Manusia cerdas menghargai diri sendiri dan orang lain dari berbagai latar belakang berbeda10. Dengan demikian, manusia Indonesia cerdas akan membangun bangsa yang cerdas di era global. Mereka memiliki sikap dan tingkah laku yang baik. Cerdik-pandai dalam kognitif, energik-kreatif dalam ranah motorik, responif terhadap masyarakatdemokratis, daya guna (skilled), akhlak mulia (moral, religius), sopan santun (civillized). Dari pemaparan di atas, tujuan pendidikan multikultural merapatkan diri dalam ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik. Dengan manusia Indonesia cerdas diharapkan akan dapat membangun bangsa ke depan di era global-multikultural. Pun demikian dalam konsep pendidikan Islam karakteristik manusia cerdas terdapat dalam konsep tujuan dalam pendidikan Islam juga memiliki karakteristik sebagai pengemban amanat pelestari kebudayaan yang berhubungan dengan pengembangan kemasyarakatan yang diwujudkan pula dalam prosespeoses pengembangan individual yang jamak dilafalkakan sebagai insan kamil. Insan kamil adalah manusia yang paripurna, memiliki budi pekerti luhur dan akhlak, manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Insan kamil adalah adalah gambaran manifestasi manusia yang mampu menunaikan tugas dan kewajibannya selaku mahluk Allah sebagai khalifah di muka bumi, mampu menjalankan
dan
membangun
tugas-tugas
kemasyarakatan,
kebangsaan,
keagamaan secara bersama-sama membangun peradaban Islam, dan tugas-tugas dalam membangun kehidupan bersama secara integral dengan sebaik-baiknya sesuai dengan prinsip-prinsip kehidupan menurut al-Qur’an dan al-Sunah.
9
Adam Bakhtiar, Paradigma Pendidikan Islam, dikutip www.pendidikan.net/mkhujair. pdf akses: 03/03/2006. 10 Anita Lie, Mengembangkan Model Pendidikan Multikultural, http//www.kompas.com/ akses 25 Desember 2007
79
Dari penjelasan di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa konsep manusia cerdas dalam pendidikan multikultural dengan konsep insan kamil dalam pendidikan Islam bukanlah sesuatu yang berbeda, bertentangan. Sebaliknya keduanya sesungguhnya satu perwujudan yang memiliki dua nama. Keduanya adalah gambaran profil yang beriman dan bertakwa kepada Allah (relligius), cerdik-pandai, energik-kreatif, responsif terhadap masyarakat demokratis, memiliki keterampilan (skilled), berakhlak mulia (moralis) dan berperadaban (civillized).
C. Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam; Upaya Mencari Format Pendidikan Ideal Uraian sebelumnya telah mempertebal keyakinan kita betapa paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita. Paparan di atas juga memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolahsekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Meski
begitu,
nampaknya
bukanlah
urusan
yang
remeh-temeh
mengimplementasikan pendidikan Islam multikultural dalam berbagai aspek dan komponen-komponennya., bukan sesuatu yang sepi dari hambatan dan tantangan, bukan pula sesuatu yang triall and error atau taken for granted, butuh kerja keras dan perjuangan yang panjang.. Banyak hal yang menjadi pertimbangan dan kesukaran baik dalam tataran wacana perumusan maupun dalam kondisi praksis dari pendidikan bangsa ini antara lain :
80
1). Hambatan dan Tantangan Masalah-masalah yang muncul dari penerapan pendidikan multikultural di Indonesia secara umum ada dua hal, yaitu: Pertama, pendidikan multikultural merupakan suatu proses. Artinya, konsep pendidikan multikultural yang baru dimulai dalam dunia pendidikan khususnya di Indonesia memerlukan proses perumusan, refleksi dan tindakan di lapangan sesuai dengan perkembangan konsepkonsep yang fundamental mengenai pendidikan dan hak-hak asasi manusia. Kedua, pendidikan multikultural merupakan suatu yang multifaset. Oleh sebab itu meminta suatu pendekatan lintas disiplin (border crossing) dari para pakar dan praktisi pendidikan untuk semakin memperhalus dan mempertajam konsep pendidikan multikultural yang dibutuhkan oleh masyarakat yang dalam hal ini masyarakat Indonesia.11 Selain dari pada itu masalah yang muncul dari implementasi pendidikan multikultural adalah kokohnya kemapanan yang telah terbangun selama ini yang berkaitan dengan latar sosiologisantropologis bangsa ini. Indonesia adalah masyarakat majemuk, baik secara horisontal maupun vertikal. Secara horisontal berbagai kelompok masyarakat yang kini dikategorikan sebagai ”Bangsa Indonesia” dapat dipilah-pilah ke dalam berbagai suku bangsa, kelompok penutur bahasa tertentu, maupun ke dalam golongan penganut ajaran agama yang berbeda satu dengan lainnya. Sedang, secara vertikal berbagai kelompok masyarakat itu dapat dibedabedakan atas dasar mode of production yang bermuara pada perbedaan daya adaptasinya. Dalam realitas-empirik, kenyataan ini justru kerap di(ter)abaikan, yang terjadi seringkali bukannya penghargaan dan pengakuan atas kehadiran yang lain akan tetapi upaya untuk ”mempersamakan” (conformity) atas nama persatuan dan kesatuan. Politik sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan "monokulturalisme" yang nyaris seragam adalah bukti nyata hal di 11
Lihat dalam http://multikulturalisme.blogspot.com/2006/12/pendidikan-multikulturaldi-indonesia_04.html
81
atas. Tak aneh, kalau kemudian monokulturalisme ini memunculkan reaksi balik, yang mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala "provinsialisme" yang hampir tumpang tindih
dengan
"etnisitas".
Politik
identitas
kelompok,
seiring
dengan
menggejalanya komunalisme, makin menguat. Konflik antarsuku maupun agama muncul bak cendawan di musim hujan. Kesatuan dan persatuan yang lama diidam-idamkan ternyata semu belaka, yang mengemuka kemudian adalah kepentingan antarsuku, daerah, ras ataupun agama dengan mengenyampingkan realitas atau kepentingan yang lain. Bahkan tak jarang, suatu kelompok menghalalkan segala cara demi mewujudkan kepentingan ini. Faktor lain yang turut menyebabkan mandulnya pendidikan multikultural pada tingkat praksis bisa jadi disebabkan masih dominannya wacana ”toleransi” yang seringkali terjebak pada ego-sentrisme. Ego-sentrisme di sini adalah sikap saya mentoleransi yang lain demi saya sendiri. Artinya, setiap perbedaan mengakui perbedaan lain demi menguatkan dan mengawetkan perbedaannya sendiri (I am what I am not), yang terjadi kemudian adalah ko-eksistensi bukannya pro-eksistensi yang menuntut kreativitas dari tiap individu yang berbeda untuk merenda dan merajut tali-temali kebersamaan. Tak aneh kalau kemudian yang muncul bukannya situasi rukun malah situasi acuh tak acuh (indifference).12 Kemudian selain dari itu, masalah pemilihan model yang cocok untuk bangsa Indonesia juga perlu dicermati dan diperhatikan. Kita mengenal paling tidak tiga model kebijakan multikultural negara-negara di dunia: Pertama, model yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas adalah sosok baru yang dibangun bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku bangsa, agama, dan bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi. Dalam kebijakan ini setiap orang—bukan kolektif— berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model ini dipandang sebagai penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan negara dan menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model 12
M. Khoirul Muqtafa, Paradigma Multikultural, dalam http://www.sinarharapan.co.id/berita/0402/05/opi02.html
82
kebijakan multikultural ini dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan untuk menentukan unsur-unsur integrasi nasional berada di tangan suatu kelompok elite tertentu. Kedua, model nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para pendiri nasional (founders). Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional-etnik ini. Model ini dianggap sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki sangkut paut hubungan darah dengan etnis pendiri nasional akan tersingkir dan diperlakukan sebagai orang asing. Ketiga, model multikultural- etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini, keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan identitas dan asalusul warga negara diperhatikan. Isu-isu yang muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi karena ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi. Jika kekuasaan negara lemah karena prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif sebagai konsekuensi pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflik- konflik internal berkepanjangan yang pada gilirannya akan melemahkan negara itu sendiri.13 Dengan demikian ketiga model tersebut tidak tepat diterapkan di Indonesia. Model pertama jelas mensubordinatkan etnik-etnik yang seharusnya tetap eksis dan berkembang, model kedua jutsru rawan dengan xenophobia dan diskriminasi antar etnik dan model ketiga rawan memunculkan konflik dari kebijakan negara yang bias. Dalam
sebuah
keterangan
yang
lain
terdapat
lima
model
multikulturalisme. Penyelenggara pendidikan dapat memilah dan memilih mana di antaranya yang tepat dan relevan untuk konteks Indonesia. Kelima model multikulturalisme yang dimaksud adalah: Pertama, “multikulturalisme isolasionis” yang mengacu kepada masyarakat dimana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain. 13
Ahmad Fedyani Saefuddin, Kegamangan Multikulturalisme http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/21/pustaka/2374717.htm
di
Indonesia,
83
Contoh-contoh kelompok ini adalah seperti masyarakat yang ada pada sistem “milled” di Turki Usmani atau masyarakat Amish di A.S. Kelompok ini menerima keragaman, tetapi pada saat yang sama berusaha mempertahankan budaya mereka secara terpisah dari masyarakat lain pada umumnya. Kedua, “multikulturalisme akomodatif”, yakni masyarakat plural yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultural kaum minoritas. Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka. Sebaliknya kaum minoritas tidak menentang kultur yang dominan. Kelompok ini dapat ditemukan di Inggris, Prancis, dan beberapa Negara Eropa lainnya. Ketiga, “multikulturalisme otonomis” yakni masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominant dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Konsern pokok kelompok-kelompok kultural terakhir ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok kultural dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar. Jenis kelompok ini didukung oleh kelompok Iuebecois di Kanada, dan kelompok-kelompok muslim imigran di Eropa, yang menuntut untu bisa menerapkan syari’ah, mendidik anak-anak mereka pada sekolah Islam dan sebagainya. Keempat, “multikulturalisme kritikal” atau “interaktif”, yakni masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu konsern dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka. Kelompok budaya dominant tentu saja cenderung menolak tuntutan ini, dan bahkan berusaha secara paksa untuk menerapkan budaya dominan mereka dengan mengorbankan budaya-budaya kelompok-kelompok minoritas. Karena itulah kelompokkelompok minoritas menantang kelompok kultur dominan, baik secara intelektual maupun politis, dengan tujuan menciptakan iklim yang kondusif bagi penciptaan sebuah kultur kolektif baru yang egaliter secara genuine. Jenis kelomopk diperjuangkan oleh masyarakat kulit hitam di A.S, Inggris, dan lain-lain. Kelima, “multikulturalisme kosmopolitan”, yang berusaha menghapuskan batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat dan committed kepada budaya tertentu dan begitu juga sebaliknya, secara bebas terlibat di dalam eksperimen-eksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing. Pendukung jenis ini
84
biasanya intelektual diasporik dan intelektual liberal yang cenderung pada postmodernis14. Namun lagi-lagi kelima model tersebut tidak cocok untuk konteks Indonesia. Barangkali yang perlu dilakukan oleh penyelenggara pendidikan adalah menyaring kira-kira multikulturalisme mana yang tepat atau paling tidak mendekati tujuan meminimalisir konflik horizontal. Karena ragam dan macam multikulturalisme
itulah
yang
melahirkan
pendidikan
multikultural,
yaitu
pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan bahkan dunia secara keseluruhan15. Selain dari model pendidikan, dalam praktik di lapangan terdapat juga beberapa tantangan, misalnya : Pertama, fenomena homogenisasi terjadi dalam dunia pendidikan akibat tarik ulur antara keunggulan dan keterjangkauan. Para siswa tersegregasi dalam sekolah-sekolah sesuai latar belakang sosio-ekonomi, agama, dan etnisitas. Apalagi pasal yang mengatur pendidikan agama dalam UU No 20/2003 membuat sekolah berafiliasi agama merasa enggan menerima siswa tidak seagama. Lalu, terjadi pengelompokan anak berdasar agama, kelas sosioekonomi, ras, dan suku. Tiap hari anak-anak bergaul dan berinteraksi hanya dengan teman segolongan. Jika interaksi di luar sekolah juga demikian, pengalaman anak-anak untuk memahami dan menghargai perbedaan menjadi amat langka. Tantangan kedua dalam pendidikan multikultural adalah kurikulum. Sebuah penelitian atas kurikulum 1994 menganalisis isi 823 teks bacaan dalam 44 buku ajar bahasa Inggris yang digunakan di SMA berdasar jender, status sosioekonomi, kultur lokal, dan geografi. Dalam keempat kategori itu, buku-buku ini masih menunjukkan ketidakseimbangan dan bias yang amat membatasi kesadaran multikultural peserta didik. Ungkapan You are what you read (Anda dibentuk oleh apa yang Anda baca) perlu melandasi penyusun kurikulum. Jika siswa disodori bahan-bahan 14
Ahmad Fedyani Saefuddin, Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/21/pustaka/2374717.htm 15 Ruslan Ibrahim, Pendidikan Multikultural: Upaya Meminimalisir Konflik dalam Era Pluralitas Agama, dalam El-Tarbawy : Jurnal Pendidikan Islam, No. 1, Vol.I 2008
85
pelajaran yang mengandung bias (kelas, jender, etnis, agama, suku), siswa akan tumbuh menjadi manusia dengan praduga dan prasangka negatif terhadap orang lain yang berbeda. Keberagaman dan kekayaan budaya Nusantara diakomodasi dalam kurikulum hanya sebatas ikon dan simbol budaya seperti pakaian, kesenian daerah, dan stereotip suku. Tantangan terakhir dan terpenting adalah kelayakan dan kompetensi guru di Indonesia umumnya masih di bawah standar apalagi untuk mengelola pembelajaran multikulturalisme.
16
Dari keempat tantangan tersebut, nampaknya
berhubungan political will dari pemerintah. Dalam hal ini perlu ada reformasi kebijakan yang mengatur pendidikan yang mengakomodir multikulturalisme baik dalam kurikulum hingga pada tataran tenaga kependidikan. Selanjutnya, selain perlu dukungan dari pemerintah, gagasan pendidikan multikultural juga bisa mandeg oleh adanya hambatan yang paling serius dalam penerapannya yang justru datang dari keluarga (orang tua siswa) dan guru. Sepertinya harus diakui bahwa keluarga memegang peranan penting dalam ikut menyukseskan implementasi konsep pendidikan multikulturalisme itu. Dalam hal ini, keluarga dapat mulai menanamkan nilai multikulturalisme sejak dari lingkungan keluarga, seperti anak mulai diajarkan bagaimana mensikapi teman yang berbeda secara suku, bahasa, dan bahkan agama. Keteladanan dan konsistensi orang tua dalam membumikan ide-ide multikulturalisme tersebut sangat penting di sini. Namun ironisnya, sering orang tua siswa masih merasa khawatir terhadap penerapan ide pendidikan multikulturalisme tadi, apalagi kalau sudah menyangkut aspek multikulturalisme berupa pluralisme agama. Aspek inilah sebenarnya yang membutuhkan perhatian yang lebih serius untuk segera dicarikan solusinya. Satu hal lagi yang sering terlewatkan ketika mendiskusikan konsep pendidikan multikulturalisme, yaitu peranan guru. Harus diakui bahwa guru memegang peran yang sangat dominan dalam keberhasilan implementasi
16
Anita Lie, Mengembangkan Model Pendidikan Multikultural, http://www.kompas.com/ kompas-cetak/0609/01/opini/2921517.htm
86
pendidikan multikulturalisme ini. Bagaimana mungkin ide cemerlang itu berhasil jika para gurunya saja tidak mempunyai sense of multiculturalism. 17 Meski demikian, dari segudang masalah dan hambatan yang terpampang dalam implementasi pendidikan multikultural di Indonesia, tersimpan sebuah urgensi dan harapan yang meniscayakan aplikasi pendidikan multikultural berintegrasi dengan pendidikan nasional, terutama dalam pendidikan Islam di Indonesia.
2). Peluang dan Harapan Indonesia adalah salah satu negara bangsa di dunia yang meniscayakan multietnik dan agama tumbuh dalam masyarakat yang pluralis. Sekitar 222,7 juta penduduk yang tersebar lebih dari 6.000 pulau. Wilayah Indonesia tersusun atas 33 propinsi, 440 kabupaten/kota, 5.263 kecamatan, serta 62.806 desa. Terdapat puluhan suku bangsa dengan adat istiadat yang berbeda, dan lebih dari 660 bahasa daerah yang digunakan oleh penduduk Indonesia. Sejumlah 293.419 satuan pendidikan (SD/MI, SMP/MTs,SMA/MA) di Indonesia tersebar di berbagai wilayah, total 51,3 juta siswa dan 3,31 juta guru. Kenyataan ini juga dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Keragaman ini diakui atau tidak akan dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme tersebut Demikianlah, multikulturalisme merupakan pilihan atau resiko yang perlu diambil oleh keputusan masyarakat bangsa indonesia agar dapat survive dimasa depan dan resiko yang perlu diambil di dalam membina masyarakat bangsa Indonesia. Multikulturalisme adalah keniscayaan yang tak bisa ditolak di Indonesia.. Karena itu, pendidikan yang mengacu kepada trans etnik dan agama harus diusung sedemikian rupa agar tercipta relasi yang dinamis dan harmonis. Berdasarkan permasalahan di atas, maka diperlukan strategi khusus untuk 17
Abdullah Faqih, Pendidikan Multikultural dan Keabsahan Demokrasi, dalam http://abdullahfaqih.multiply.com/journal/item/6
87
memecahkan persoalan tersebut melalui berbagai bidang; sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan sebagainya. Atas urgensi inilah, kehadiran pendidikan multikultural dalam pendidikan di Indonesia sejatinya adalah sebuah keniscayaan. Multikulturalisme di Indonesia dengan demikian bisa berarti peluang sekaligus tantangan bagi pendidikan multikultural, sebuah pendidikan yang menghargai keragaman; toleransi; anti diskriminasi: penyelesaian konflik dan mediasi: HAM; demokratis dan pluralitas; kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan18. Oleh karenanya tuntutan tersebut bukanlah hal yang berlebihan. Lantas bagaimana memulai pendidikan multikultural dalam kerangka pendidikan Islam? Menurut Suparlan (2002), multikultural hanya mungkin dapat terwujud bila: (1) konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun local untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya; (2) kesamaan pemahaman di antara para ahli mengenai makna multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang mendukungnya; dan (3) ada upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini oleh semua pihak. Artinya adalah bahwa pendidikan di Indonesia dapat terwujud melalui proses dan sistem pendidikan yang dilmbagakan dalam undang-undang Sisdiknas secara konkret, utamanya dalam system pendidikan Islam. Dengan kata lain, implementasi tersebut akan lebih kuat jika didukung oleh political will dari pemerintah dengan menciptakan regulasi yang sesuai dengan iklim pendidikan multikultural di Indonesia. Berkaitan dengan model pendidikan multikultural yang tepat diterapkan dalam konteks keIndonesiaan, para pakar nyaris sepakat dengan model pendidikan 18
Muhaimin el-Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multiutural dalam situs http://www.education/pendOrg.hatm
88
multikultural yang berdasarkan Pancasila, sebagaimana disepakati oleh para pendiri bangsa sebagai jaminan NKRI. Konsep pendidikan multikultural yang sekiranya dapat dikembangkan ditanah air kita sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan politik ditanah air adalah pendidikan multikultural mempunyai dimensi sebagai berikut:
1. “Right to Culture” dan identitas budaya lokal. Multikulturalisme meskipun didorong oleh pengakuan tergadap hak asasi manusia, namun akibat globalisasi pengakuan tersebut diarahkan juga kepada hak-hak yang lain yaitu hak akan kebudayaan (right to culture). Lahirnya identitas kesukuan sebagai perkembangan budaya mikro di Indonesia, memang semuanya itu memerlukan masa transisi yaitu seakan-akan melorotnya rasa kebangsaan dan persatuan Indonesia. Hal ini dapat dimengerti oleh karena apa yang disebut budaya indonesia sebagai budaya mainstream belum jelas bagi kita semua. Identitas budaya makro, yaitu budaya Indonesia yang sedang menjadi memang harus terus menerus kita bangun atau merupakan suatu proses yang tanpa ujung. Namun demikian hal tersebut merupakan sesuatu yang harus diwujdkan oleh setiap insan Indonesia dari generasi ke generasi. Upaya untuk membangun suatu masyarakat madani Indonesisa yang berdasarkan kebudayaan indonesia. 2. Kebudayaan Indonesia yang menjadi. Kebudayaan Indonesia yang menjadi adalah suatu pegangan dari setiap insan dan setiap identitas budaya mikro Indonesia. Hal tersebut merupakan suatu sistem nilai yang baru yang ini kemudian memerlukan suatu proses yang mana perwujudannya antara lain melalui proses dalam pendidikan nasional. Oleh sebab itu ditengah-tengah maraknya identitas kesukuan, sekaligus ditekankan sistem nilai baru yang akan kita wujdkan, yaitu sistem nilai ke indonesiaan. Hal tersebut bukannya suatu yang mudah karena memerlukan paradigm shift didalam proses pendidikan bangsa Indonesia. Sebagai suatu paradigma baru didalam sistem pendidikan nasional, maka perlu dirumuskan bagaimana sistem pendidikan nasional diarahkan kepada
89
pemeliharaan dan pengembangan konsep negara-bangsa yaitu negara kesatuan republik indonesia yang didasarkan kepada kekayaan kebudayaan dari berbagai suku bangsa di Indonesia. 3. Konsep pendidikan multikultural yang normatif, kita tidak bisa menerima konsep pendidikan multikultural yang deskriftif yaitu hanya sekedar mengakakui pluralitas budaya dari suku-suku bangsa di Indonesia. Di samping pengakuan akan pluralitas budaya kita juga harus mampu mewujudkan kebudayaan Indonesia yang dimiliki oleh suatu negarabangsa. Adapun konsep pendidikan multikultural normatif adalah konsep yang dapat kita gunakan untuk mewujdkan cita-cita tersebut. Untuk mewujdkan semuanya jangan sampai konsep pendidikan multikultural normatif sebagai suatu paksaan yang menghilangkan keanekaragaman budaya-budaya lokal. Akan tetapi konsep pendidikan multikultural normatif harus mampu memperkuat identiatas suatu suku yang kemudian dapat menyumbangkan bagi terwujudnya suatu kebudayaan Indonesia yang dimiliki oleh seluruh bangsa Indonesia. 4. Pendidikan multikultural Merupakan suatu rekontruksi sosial, suatu rekontruksi sosial artinya, upaya untuk melihat kembali kehidupan sosial yang ada dewasa ini. Salah satu masalah yang timbul akibat berkembangnya rasa kedaerahan, identitas kesukuan, dari perorangan maupun suatu suku bangsa Indonesia, telah menimbulkan rasa kelompok yang berlebihan. Ini semua akan menyebabkan pergeseran-pergeseran horizontal yang tidak dikenal sebelumnya. 5. Pendidikan multikultural di Indonesia memerlukan pedagogik baru. Jelas kiranya untuk melaksanakan konsep Pendidikan multikultural di dalam masyarakat pluralitas tapi sekaligus diarahkan kepada terwujdnya masyarakat Indonesia baru, maka pedagogik yang tradisional tidak dapat kita gunakan lagi. Pedagogik tradisional membatasi proses pendidikan didalam ruangan sekolah yang sarat dengan pendidikan intelektualistik. Sedangkan kehidupan sosial-budaya di indonesia menuntut pendidikan
90
hati (Pedagogy of hert) yaitu diarahkan kepada rasa persatuan dari bangsa Indonesia yang pluralistiks 6. Pendidikan multikultural bertujuan untuk mewujdkan visi Indonesia masa depan serta etika berbangsa. TAP/MPR RI Tahun 2001 No.VI dan VII mengenai visi Indonesia masa depan serta etika kehidupan berbangsa perlu dijadikan pedoman yang sangat berharga dalam pengembangan konsep Pendidikan multikultural. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti terutama ditingkat pendidikan dasar, melengkapi pendidikan agama yang sudah ditangani dengan UU No. 20 Tahun 2003.25
Sementara itu, harapan impelementasi pendidikan multikultural dalam pendidikan Islam masih sangat terbuka berdasarkan adanya relevansi dan inherensi pendidikan multikultural yang terdapat dalam pendidikan Islam. Hal ini diperkuat juga oleh beberapa prinsip pokok yang perlu dikemukakan sebelum memperbincangkan tentang pendidikan agama multikultural adalah : (1)
(2) (3) (4)
(5)
Islam adalah agama yang bersifat universal. Islam bukan diperuntukkan bagi salah satu suku bangsa, atau etnis tertentu melaikan sebagai rahmatan lil alamien. Islam menghargai agama dan kepercayaan agama lain. Islam juga mengajarkan tidak ada pemaksanaan dalam beragama; Islam juga merupakan agama yang terbuka untuk diuji kebenarannya; Islam juga menegaskan bahwa keanekaragaman dalam kehidupan umat manusia adalah alamiah, perbedaan itu mulai dari jenis kelamin, suku, bangsa yang beraneka ragam. Perbedaan itu agar terjadi saling mengenal;; Islam memiliki sejarah yang cukup jelas terkait dengan kehidupan yang majemuk sebagaimana yang ditunjukkan oleh rasulullah sendiri tatkala membangun masyarakat madani di madinah.
Prinsip-prinsip
dasar
seperti
ini
perlu
dijadikan
rujukan
dalam
memperbincangkan pendidikan multikultual. Atas dasar beberapa prinsip tersebut di atas maka sesungguhnya Islam sendiri memberikan ruang yang seluas-luas
25
Tilaar, Pendidikan….., hal. 185-190.
91
pada pendidikan multikultural. Bahwa perbedaan-perbedaan itu justru telah dijelaskan sendiri oleh al Qur’an. Oleh karena itu tidak selayaknya ditutup-tutupi, apalagi diingkari. Sebagai ajaran yang terbuka, juga tidak selayaknya para umatnya memiliki rasa takut untuk terpengaruh dari ajaran lain. Ketakutan dapat dimaknai sebagai penyandang mental kalah yang seharusnya tidak dikembangkan oleh umat Islam. Atas dasar keyakinan yang kukuh, maka Islam memberikan kebebasan umatnya bergaul secara bebas dan terbuka dalam pentas pergaulan umat manusia sejagat. Rasulullah, pernah berkirim surat ke raja Heraklius, untuk memperkenalkan ajaran Islam. Oleh karena itu konsep pendidikan agama multikultural bukan harus dijauhi melainkan harus dihadapi secara obyektif dan penuh percaya diri. Pendidikan agama multikultural selain memperkukuh tauhid atau dasardasar keyakin an Islam maka perlu pula dikembangkan prinsip-prinsip dasar pergaulan antar sesama manusia menurut ajaran Islam secara lebih mendalam. Bagaimana di tengah-tengah perbedaan di antara sesama manusia sesungguhnya Islam mengajarkan konsep (1) kasih sayang antar sesama, (2) saling mengenal, (3) saling menghargai, (4) saling tolong menolong. Islam melarang merendahkan orang lain, bermusuh-musuhan, apalagi saling membinaakan. Membuat kerusakan di muka bumi, apalagi menghilangkan nyawa dengan alasan yang tidak benar menurut pandangan Islam merupakan dosa besar. Konsep Islam tentang tata pergaulan seperti ini mesti dikedepankan dalam pendidikan agama19 Dengan demikian, pendidikan Islam menyongsong tentang konsep pendidikan yang berwawasan multikultural disekolah khususnya dilingkungan agama pada dasarnya tidak terlalu masalah sebab konsep itu sendiri bukan sesuatu yang bertentangan dengan konsep dasar Islam yang memang mengatur sistem kehidupan yang multi-etnik, budaya, ras, adat istiadat dan gaya hidup. Bahkan pendidikan Islam sebagai nilai pada hakikatnya adalah nilai yang membawa nilai kemaslahatan dan kesejahteraan bagi seluruh makhluk , demokratis, egalitarian, dan humanis. 19
Imam Suprayogo, Pendidikan Agama http://www.imamsuprayogo.com /viewd_artikel.php?pg=31
Di
Era
Multikultural,
dalam
92
Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan Islam telah lama eksis di bumi nusantara ini sejak masuknya Islam di Indonesia. Pendidikan Islam baik sebagai lembaga, sebagai mata pelajaran dan sebagai nilai cukup berperan dalam mencerdaskan bangsa. Bagi pendidikan agama Islam gagasan multikultural bukanlah sesuatu yang di takuti dan baru, setidaknya ada empat alasan untuk itu. Pertama , bahwa Islam mengajarkan menghormati dan mengakui keberadaan orang lain. Kedua, konsep persaudaraan Islam tidak hanya terbatas pada satu sekte atau golongan saja. Ketiga, dalam pandangan Islam bahwa nilai tertinggi seorang hamba adalah terletak pada integralitas taqwa dan kedekatannya dengan Tuhan. Gagasan dan rancangan memasukan wawasan multikultural di sekolah agama dan madrasah patut disahuti, sepanjang tidak terjadi pengaburan kesejatian idiologi dari pendidikan Islam itu sendiri. Pendidikan Islam memiliki keunikan dan khasnya sendiri sesuai dengan visi dan misinya. Adapun visi dari madrasah dan pendidikan agama Islam adalah terwujudnya manusia yang bertaqwa, berakhlak mulia, berkepribadian, berilmu, terampil dan mampu mengaktualisasikan diri dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan misinya adalah menciptakan lembaga yang Islami dan berkualitas, menjabarkan kurikulum yang mampu memahami kebutuhan anak didik dan masyarakat, menyediakan tenaga kependidikan yang profesional dan memiliki kompotensi dalam bidangnya dan menyelenggarakan proses pembelajaran yang menghasilkan lulusan yang berprestasi. Seabagaimana dipahami bahwa multikulturalisme adalah makna yang menunjuk pada kenyataan bahwa kita tidak hidup dalam sebuah budaya saja. Budaya dalam arti semua usaha manusia untuk mengungkapkan dan mewujudkan semua usaha manusia untuk mengungkapkan dan mewujudkan semua hal bernilai baik dari kehidupannya. Sebagai idiologi partisipatoris, multikulturalisme mengusung prinsipprinsip keragaman, kesetaraan, dan penghargaan atas yang lain, sehingga pesan universal pendidikan dapat dirasakan semua pihak. Di sinilah letak urgensi pengajaran multikultural dan multi etnik di dalam pendidikan yakni dengan mendidik siswa agar tidak melakukan tindakan kejahatan terhadap siswa dari suku
93
lain, khususnya di dalam lingkungan pendidikan agama. Demikian pula pengajaran multi etnik itu lebih hetrogen lagi pada sekolah umum.20 Selanjutnya pendidikan multikultural bisa dimulai dari lingkup keluarga sebagai tempat pendidikan utama. Keluarga sebagai institusi sosial terkecil dalam masyarakat, merupakan media pembelajaran yang paling efektif dalam proses internalisasi dan transformasi nilai, serta sosialisasi terhadap anggota keluarga. Peran orangtua dalam menanamkan nilai-nilai yang lebih responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan yang ada di sekitar lingkungannya (agama, ras, golongan) terhadap anak atau anggota keluarga yang lain merupakan cara yang paling efektif dan elegan untuk mendukung terciptanya sistem sosial yang lebih berkeadilan. Kemudian sekolah melalui berbagai instrument dan mekanisme yang mengakomodir multikultural juga didukung oleh lingkungan masyarakatnya. Karena pada dasarnya, antara pendidikan dan masyarakat multikultural terdapat hubungan timbale balik (reciprocalrelationship). Artinya bila pada satu sisi pendidikan memiliki peran signifikan guna membangun masyarakat multikultural, maka di sisi lain masyarakat dengan segala karakternya memiliki potensi signifikan untuk mensukseskan fungsi dan peran pendidikan. Itu berarti, penguatan di satu sisi, langsung atau tidak langsung, akan memberi penguatan pada sisi yang lainnya. Implikasinya, dilakukannya penguatan pada kedua sisi secara simultan akan memberi hasil yang optimal, baik dari sisi peran pendidikan maupun pembangunan masyarakat multikultur itu sendiri. Dengan demikian, pendidikan multikultural sebagai wacana baru di Indonesia dapat diimplementasikan tidak hanya melalui pendidikan formal namun juga dapat dimplementasikan dalam kehidupan masyarakat maupun dalam keluarga. Dalam pendidikan formal pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam sistem pendidikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia Dini, SD, SLTP, SMU maupun Perguruan Tinggi. Sebagai wacana baru, pendidikan multikultural ini tidak harus dirancang khusus sebagai muatan 20
Zainal Arifin Nurdin, Drs. SH, Gagasan dan Rancangan Pendidikan Berwawasan Multikultural di Sekolah Agama dan Madrasah, dalam Jurnal Kerukunan Umat Beragama Edisi No.1 tahun 2005
94
substansi tersendiri, namun dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada tentu saja melalui bahan ajar atau model pembelajaran yang paling memungkinkan diterapkannya pendidikan multikultural ini. Di Perguruan Tinggi misalnya, dari segi substansi, pendidikan multikultural ini dapat dinitegrasikan dalam kurikulum yang berperspektif multikultural, misalnya melalui mata kuliah umum seperti Kewarganegaraan, ISBD, Agama dan Bahasa. Demikian juga pada tingkat sekolah usia dini dapat diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan misalnya dalam Out Bond Program, dan pada tingkat SD, SLTP maupun sekolah menengah pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam bahan ajar seperti PPKn, Agama, Sosiologi dan Antropologi, dan dapat melalui model pembelajaran yang lain seperti melalui kelompok diskusi, kegiatan ekstrakurikuler dan sebagainya. Begitupun dalam Pendidikan non formal wacana ini dapat disosialisasikan melalui pelatihan-pelatihan dengan model pembelajaran yang responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan baik ras suku, maupun agama antar anggota masyarakat.21
3). Kurikulum dan Guru Multikultural dalam Pendidikan Islam Selanjutnya berbicara tentang kurikulum, perlu kiranya diperhatikan beberapa hal agar lebih memahami perspektif multikultur dalam pengembangan kurikulum, yaitu memahami terlebih dahulu pengertian kultur dan kebudayaan. Pemahaman tentang proses dalam budaya selanjutnya mendasari perspektif pendidikan yang multikultur (prinsip penyusunan dan pengembangan kurikulum multikultural). Prinsip tersebut antara lain :22 a. Pespektif pendidikan multikultur secara eksplisit menyadari kenyataan adanya kesenjangan dan ketidakadilan sosial-ekonomi dalam masyarakat dan secara kritis menelaah bagaimana kesenjangan dan ketidakadilan itu dihasilkan dan dikekalkan oleh kekuasaan dominant. Dengan kata lain, 21
Pupu Saeful Rahmat, Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia, dalam http://akhmadsudrajat.wordpress.com/wacana-pendidikan-multikultural-di-indonesia.htm 22 Irsyad Ridho dan Susi Fitri, Perspektif Multikultur dalam Pengembangan Kurikulum, dalam http://www.backtohome schooling.org/htm/artikel, akses 3 November 2008.
95
pendekatan ini sangat berkepentingan untuk membongkar bagaimana sekelompok yang marginal secara ras, gender, etnis, kelas, agama dan sebagainya didiskriminasi dan ditindas secara sistematis di dalam lembaga sosial. b. Pendidikan multikultur menolak pemahaman yang menganggap bahwa perbedaan kultural sebagai sesuatu yang netral dan stabil. Bahwa perbedaan kultural memang harus dihargai, tentu saja hal itu penting. Tetapi, penghargaan itu harus diletakkan dalam pemahaman kritis tentang kebudayaan ebagai suatu organisme hidup yang dihasilkan oleh dan mempengaruhi relasi kekuasaan politik dan ekonomi. Karena itu, pendidikan multikultur kritis tidak memandang kebudayaan secara esensialis, melainkan memahaminya sebagai sesuatu yang dikonstruksi di dalam wacana. Artinya kebudayaan merupakan hasil pertarungan politis dan ideologis sehingga kebudayaan bukanlah suatu system yang koheren, tertata dan terprediksi, melainkan penuh dengan tegangan inheren dan proses dialektis dari berbagai kekuatan yang bersaing. c. Pendidikan multikultur harus diterapkan kepada seluruh pelajar, tidak hanya pelajar dari minoritas etnik tertentu (atau yang hanya mencakup muatan lokal tertentu, seperti yang selama ini dipraktikkan secara artificial di Indonesia). Lebih dari itu, yang menjadi fokus dari pendidikan multikultur sesungguhnya adalah pembongkaran pengetahuan yang dibentuk oleh kultur dominant sehingga terlihatlah hierarki sosial dalam berbagai aspeknya, seperti hierarki ras, gender, kelas, agama, etnis, orientasi seksual, dan sebagainya. Oleh karena itu, pendekatan ini menghendaki penerapan yang komperhensif di dalam seluruh aspek kurikulum pendidikan, dari tujuan pembelajaran, bahan pelajaran, metode pembelajaran, sampai evaluasinya. Bahkan pendekatan ini juga sangat peka terhadap kurikulum tersembunyi (hidden curriculum)
yang
dipraktekkan secara informal dan yang seringkali tidak disadari dalam setiap praktek hubungan guru dan murid di dalam kultur sekolah.
96
Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:
Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang. Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah. Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda. Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam
memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama23. Anita Lie, mengatakan pendidikan multikultural bertujuan mengembangkan manusia Indonesia yang cerdas. Manusia cerdas tidak hanya cerdik dan berkemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan menyelesaikan masalah, tetapi juga bermoral, bersikap demokratis, dan empati terhadap orang lain. Manusia cerdas menghargai diri sendiri dan orang lain dari berbagai latar belakang berbeda. Model pendidikan multikultural mencakup kurikulum yang resmi serta the hidden curriculum (kurikulum tak tertulis dan terencana tetapi proses internalisasi nilai, pengetahuan, dan keterampilan justru terjadi di kalangan peserta didik). Lebih lanjut, dalam kurikulum resmi, pendidikan multikultural sebaiknya diintegrasikan ke semua mata pelajaran dan kegiatan lintas kurikulum. Sebaiknya wawasan multikulturalisme tidak dimasukkan sebagai beban tambahan sebagai mata pelajaran baru dalam kurikulum yang sudah dirasakan amat berat oleh guru dan peserta didik. Model kurikulum multikultural mengintegrasikan proses pembelajaran nilai, pengetahuan, dan keterampilan hidup dalam masyarakat yang multikultural. Muatan nilai, pengetahuan, dan keterampilan multikultural ini bisa didesain sesuai tahapan perkembangan anak dan jenjang pendidikan. Muatan-muatan nilai multikultural perlu dirancang dalam suatu strategi proses pembelajaran yang mendorong terjadinya internalisasi nilai-nilai.
23
Pupu Saeful Rahmat, Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia, dalam http://akhmadsudrajat.wordpress.com/wacana-pendidikan-multikultural-di-indonesia.htm
97
Dari
penjelasan
di
atas,
pengembangan
kurikulum
pendidikan
multikultural di Indonesia tidak harus dalam bentuk materi pembelajaran tersendiri, tetapi juga melalui kurikulum tersembunyi yang terinternalisasi dengan mata pelajaran yang relevan. Seperti apa yang dijelaskan oleh Dede Rosyada, bahwa prosedur yang harus ditempuh dalam implementasi pendidikan (berbagai kompetensi yang harus dimiliki siswa tentang multikulturalisme) bisa diselipkan pada mata pelajaran yang relevan, mengingat multikulturalisme baru hanya sebuah gerakan dan belum menjadi sebuah ilmu yang komperhensif. Senada dengan itu, Farida Hanum mengatakan, bentuk pengembangan pendidikan multikultural di setiap negara berbeda-beda sesuai dengan permasalahan yang dihadapi masing-masing negara. Empat pendekatan yang mengintegrasikan materi pendidikan multikultural ke dalam kurikulum ataupun pembelajaran di sekolah yang bila dicermati relevan untuk diimplementasikan di sekolah di Indonesia, bahkan pendekatan pertama sudah biasa dilakukan, yaitu: pendekatan kontribusi (the contributions approach), pendekatan aditif (Aditive Approach), pendekatan transformasi (the transformation approach), pendekatan aksi sosial (the social action approach). Empat pendekatan ini sebenarnya dapat dilakukan untuk integrasi materi multikultural ke dalam kurikulum dan dapat dipadukan dalam situasi pengajaran aktual, terutama dalam pembelajaran ilmu-ilmu sosial. Suatu pendekatan seperti pendekatan kontribusi, dapat dipakai sebagai wahana untuk bergerak ke yang lain, yang lebih menantang secara intelektual seperti pendekatan transformasi dan aksi sosial. Hal ini dapat disesuaikan pula dengan jenjang pendidikan dan umur siswa. Pada siswa sekolah lanjutan tingkat atas dan perguruan tinggi pendekatan transformasi dan aksi sosial dapat dilakukan, sedang pada jenjang sekolah dasar dan sekolah lanjutan tingkat pertama dapat digunakan pendekatan kontribusi dan pendekatan aditif. Pendekatan dari tahap awal ke tahap lebih tinggi dalam mengintegrasikan materi multikultural dapat terjadi secara bertahap dan kumulatif. “Untuk tahap awal atau rintisan pengembangan pendidikan multikultural di sekolah dapat dilakukan penambahan materi multikultural. Hal ini dapat
98
dilakukan dengan memberi buku, modul, konsep sebagai suplemen (tambahan) pada bidang studi yang ada di sekolah. Namun, disadari bahwa materi pelajaran yang lebih memungkinkan segera dilakukan adalah pada pelajaran ilmu pengetahuan sosial dan pendidikan kewarganegaraan dibanding dengan matematika.24 Masih menurut Farida Hanum, rintisan pengembangan pendidikan multikultural di sekolah juga dengan program praktek terencana. Hal ini sangat memungkinkan untuk dilakukan oleh sekolah, terutama program yang dapat diimplementasikan pada tingkah-laku siswa di sekolah. Menanamkan dan membimbing siswa mampu melakukan soft skill yang berkaitan dengan substansi nilai-nilai
multikultural,
seperti mampu
menerima perbedaan; toleransi;
menghormati pendapat orang lain; bekerja sama; menganalisis persamaan dalam perbedaan yang ada pada siswa; mampu berlaku adil; mampu melihat ketimpangan sosial dan mencari solusinya (problem solving); saling membantu pada kegiatan yang berbeda agama; mencari informasi tentang budaya, agama, status sosial, gender, umur, wilayah tempat tinggal (desa/kota); kemampuan yang berbeda dan mendiskusikannya dengan perspektif yang berbeda pula. Selain itu, sekolah dapat melatih siswa untuk bersikap yang sportif bila menghadapi perbedaan, kegagalan, keberhasilan, kompetisi, dan sebagainya. “Dengan program-program tersebut, siswa sejak dini dilatih mampu menyesuaikan diri, mampu hidup dalam keragaman dan mampu berperilaku sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang multikultural. Selain itu, sekolah dapat merencanakan program-program yang mengajak anak mengalami peristiwa langsung dengan etnis, agama, status sosial, budaya, bahkan bangsa yang berbeda. Misalnya, program lifestay rumah keluarga yang berbeda dengan siswa; mewajibkan berkorespondensi atau ber-email dengan siswa yang berbeda budaya, agama, status sosial, etnis atau bangsa. Bagaimana akhirnya bentuk dan konsep kurikulum tersebut, Azra mensyaratkan bahwa kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup tema-tema mengenai toleransi, perbedaan ethnokultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian atau resolusi konflik dan mediasi, hak asasi manusia, 24
Farida Hanum, Rintisan Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah dalam Membangun Perilaku Bangsa, Pidato pengukuhan Guru Besar Sosiologi Pendidikan, FKIP Universitas Negeri Yogyakarta, 20 April 2009. Sumber dari website resmi UNY.
99
demokrasi dan pluralitas, kemanusiaan universal, dan tema-tema lain yang relevan dengan konteks pluralisme lainnya.25 Dengan kurikulum yang bernafaskan multikultur,
dan pengajaran
multikultural dapat dilakukan dalam sekolah baik umum maupun agama hasilnya akan melahirkan peradaban yang juga melahirkan toleransi, demokrasi, kebajikan, tolong menolong, tenggang rasa, keadilan, keindahan, keharmonisan dan nilainilai kemanusiaan lainnya. Intinya gagasan dan rancangan sekolah yang berbasis multikultural adalah sebuah keniscayaan dengan catatan bahwa kehadirannya tidak mengaburkan dan atau menciptakan ketidakpastian jati diri para kelompok yang ada.26 Selanjutnya tanpa memandang faktor lain, guru juga memegang posisi yang
strategis
Indonesia.
dalam
mengimplementasikan
pendidikan
multikultural
di
Guru merupakan ujung tombak pendidikan multikultural,
ia
mempengaruhi keberhasilan mendorong pemahaman lintas budaya peserta didik. Selain itu, latar belakang kultural guru akan turut pula membentuk persepsi siswa terhadap kulturnya. Guru yang tidak memahami latar belakang budayanya sendiri dan tidak sensitive budaya atau tidak memiliki pemahaman lintas budaya tidak bias diharapkan sukses dalam menerapkan pendidikan multikultur. Lebih lanjut, yang terpenting dalam pendidikan multikultural adalah seorang guru atau dosen tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya, out-put yang dihasilkan dari sekolah/universitas tidak hanya cakap sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai
25
Ruslan Ibrahim, Pendidikan Multikultural: Upaya Meminimalisir Konflik dalam Era Pluralitas Agama, dalam El-Tarbawy : Jurnal Pendidikan Islam, No. 1, Vol.I 2008 26 Zainal Arifin Nurdin, Drs. SH, Gagasan dan Rancangan Pendidikan Berwawasan Multikultural di Sekolah Agama dan Madrasah, dalam Jurnal Kerukunan Umat Beragama Edisi No.1 tahun 2005
100
keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk agama dan kepercayaan lain27. Agak rinci, guru mempunyai posisi penting dalam mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan inklusif di sekolah. Adapun peran guru di sini, meliputi : pertama, seorang guru/dosen harus mampu bersikap demokratis, baik dalam sikap maupun perkataannya tidak diskriminatif. Kedua, guru/dosen seharusnya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-kejadian tertentu yang ada hubungannya dengan agama. Misalnya, ketika terjadi bom Bali (2003), maka seorang guru yang berwawasan multikultural harus mampu menjelaskan keprihatinannya terhadap peristiwa tersebut. Ketiga, guru/dosen seharusnya menjelaskan bahwa inti dari ajaran agama adalah menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh ummat manusia, maka pemboman, invasi militer, dan segala bentuk kekerasan adalah sesuatu yang dilarang oleh agama. Keempat, guru/dosen mampu memberikan pemahaman tentang pentingnya dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan keragaman budaya, etnis, dan agama28. Dari keterangan tersebut, terbesit bahwa pendidikan multikultural di Indonesia akan efektif jika guru memiliki kompetensi yang berhubungan dengan materi dan kepekaan budaya serta konteks pluralitas. Lain dari itu, seorang guru multikultural juga dituntut memahami gagasan multikulturalisme secara filosofis. Pembelajaran berbasis multikultural didasarkan pada gagasan filosofis tentang kebebasan, keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Hakekat pendidikan multikultural adalah mempersiapkan seluruh siswa untuk bekerja secara aktif menuju kesamaan struktur dalam organisasi dan lembaga sekolah. Pendidikan multikultural bukanlah kebijakan yang mengarah pada pelembagaan pendidikan dan pengajaran inklusif dan pengajaran oleh propaganda pluralisme lewat kurikulum yang berperan bagi kompetensi budaya individual. Pembelajaran berbasis multikultural berusaha memberdayakan siswa untuk 27
Husniyatus Salamah Z, M.Ag, Pendidikan Multikultural: Upaya Membangun Keberagamaan Inklusif di Sekolah, dalam http://www.lubisgrafura.wordpress.com 28 Husniyatus Salamah, Pendidikan Multikultural........, dalam http://www.lubisgrafura. wordpress.com
101
mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok yang berbeda. Pendidikan multikultural juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat.29 Hal-hal itulah yang harus dipahami betul oleh seorang guru dalam menunjang implementasi pendidikan multikultural. Sementara itu, James A. Banks, mengidentifikasi ada lima dimensi pendidikan multikultural yang diperkirakan dapat membantu peran guru dalam mengimplementasikan beberapa program yang mampu merespon terhadap perbedaan latar belakang peserta didik, yaitu : 1) Dimensi integrasi isi/ materi (content integration). Dimensi ini gunakan guru untuk memberikan keterangan dengan "poin kunci" pembelajaran yang merefleksikan nateri yang berbeda-beda. Secara khusus, para guru menggabungkan kendungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam. Salah satu pendekatan umum adalah mengakui kontribusinya, yaitu guru-guru bekerja ke dalam kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural. 2) Dimensi konstruksi penguatan (knowledge construction). Suatu dimensi di mana para guru membantu siswa untuk memahami beberapa prespektif dan merumuskan kesimpulan yang dipegaruhi oleh disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman para pelajar terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri. 3) Dimensi pengurangan prasangka (prejudice reduction). Guru melakukan banyak usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk sekolah dengan perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda dan kelompok etnik lainnya, pendidikan dapat membantu siswa mengembangkan perilaku intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti. Dua kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan 29
Lihat dalam http://www.lubisgrafura.wordpress.com
102
pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus menerus. Penelitian menunjukan bahwa pelajar yang datang ke sekolah dengan banyak streotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya. Penelitian ini juga menunjukan bahwa penggunaan textbook multikultural atau bahan bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para pelajar untuk menegmbangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain. 4) Dimensi pendidikan yang sama /adil (equitable pedagogy). Dimensi ini memperlihatkan cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperatif learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competetion learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman pendidikan persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan belajar. 5) Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure). Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok, iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstrakurikuler dan penghargaan staf dalam merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah. Selanjutnya, faktor lain yang dimiliki guru dalam implementasi dalam pendidikan multikultural adalah bagaimana strategi yang dia tempuh dalam mendidik murid, bagaimana ia memilih variasi metode pembelajaran yang efektif dan efisien. Tentang hal ini, Achmanto Mendatu30 menjabarkan beberapa model (metode) pembelajaran multikultural dalam meningkatkan kompetensi (calon)
30
Achmanto Mendatu, Strategi Meningkatkan Kompetensi Guru dalam Melaksanakan Pendidikan Multikultur, tulisan ini hasil dari adopsi dan intisari dari beberapa pakar.
103
guru agar bisa menjadi guru yang kompetens dalam pendidikan multikultural, setidaknya bisa dilakukan melalui empat cara31 : 1) Strategi "Issues Exchange Activity", strategi ini adalah serangkaian dialog tentang sebuah topik yang berhubungan dengan diversitas budaya di dalam sekolah dan masyarakat yang lebih luas. Dalam hal ini menempatkan dua orang dalam posisi berlawanan untuk berdiskusi terhadap suatu permasalahan yang terkait dengan permasalahan diversitas kultural, yang satu pro dan yang lain berkebalikannya. Tugas pendidik adalah menentukan tema yang provokatif dan menyediakan bahan-bahan referensi baik untuk yang pro maupun yang anti, yang harus dibaca sebelum diskusi. 2) Service Learning, yaitu belajar melayani komunitas. Suatu aktivitas belajar di ruang kelas yang dikombinasikan dengan aksi sosial dan pelayanan. Strategi ini membutuhkan kesiapan (calon) guru dalam menyelenggarakan pendidikan sains multikultural, yakni pengajaran sains yang tidak memiliki kendala latar belakang kultural. 3) Model "ABC", model ini melandaskan premis bahwa seseorang harus memahami latar belakang kulturnya sendiri dan nilai-nilai di dalamnya sebelum memahami latar belakang kultural orang lain. Belajar mengenai pengalaman hidup orang lain akan membawa seseorang ke budaya orang tersebut, dana nalisis lintas budaya mengenai budaya sendiri dan budaya orang lain, pada gilirannya akan meningkatkan kesadaran akan kesamaan dan perbedaan di antara berbagai budaya. 4) Cultural Immersion, bertujuan siswa mendapatkan pemahaman mengenai budaya lain dan mengerti bagaimana merasakan menjadi anggota kelompok minoritas, sebagai status yang sub-ordinat di masyarakat.
31
Sumber http://.www.psikologipendidikan.blogspot.com/pendidikan-multikultural.htm, akses 2 November 2008
104
Selain itu, di dalam kelas seorang guru bisa menggunakan beberapa alternatif pembelajaran yang lain seperti : strategi kegiatan belajar bersama-sama (cooperative learning), yang dipadukan dengan strategi pencapaian konsep (concept attainment) dan strategi analisis nilai (value analysis), dan strategi analisis sosial (social investigation). Beberapa pilihan strategi ini dilaksanakan secara simultan, dan harus tergambar dalam langkah-langkah model pembelajaran berbasis multikultural.32 Meski demikian, masing-masing strategi pembelajaran secara fungsional memiliki tekanan yang berbeda dan setiap guru memiliki kecenderungan untuk cocok dan efektif dengan model dan metode tertentu. Intinya, apapun metode dan strateginya seorang guru dituntut untuk dapat menciptakan iklim pendidikan multikultural yang baik dalam proses kegiatan belajar mengajar. Dari penjelasan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa pendidikan multikultural pada dasarnya tidak sulit diintegrasikan dengan pendidikan Islam. Selain pendidikan Islam adalah paradigma terbuka tapi kritis, multikulturalisme juga sebuah kebutuhan yang mendesak. Implementasi ini tentunya melaui proses yang panjang dan berkesinambungan selain juga mengatasi hambatan-hambatan yang ada. Dari pada itu, optimalisasi bahkan reformasi sistem pendidikan yang sudah berjalan juga perlu disesuaikan untuk menunjang implementasi ini. Dari kurikulum, model pembelajaran, suasana sekolah, kegiatan ekstrakulikuler dan revitalisasi kompetensi dan peran guru harus senafas dengan perwujudan pendidikan multikultural.
32
www.lubisgrafura.wordpress.com
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sebagai akhir dari pembahasan, dapat disimpulkan bahwa pendidikan multikultural lahir di berbagai belahan dunia bukan dalam ruang yang hampa,ia lahir karena adanya realitas multikulturalisme yang sudah semestinya ada. Sebuah perjuangan untuk persamaan dan kesederajatan, demokrasi dan hak asasi manusia. Proses demokratisasi tersebut biasanya mensyaratkan pengakuan terhadap hak azazi manusia yang tidak membedakan perbedaan-perbedaan manusia atas warna kulit, agama, adat-istiadat, kultur maupun gender. Tujuan besar pendidikan multikultural adalah mewujudkan sebuah bangsa yang kuat, maju, adil, makmur dan sejahtera tanpa ada diskriminasi dan dikotomisasi. Semua komponen harus bersatu pada membangun kekuatan secara bersama-sama, sehingga tercapai kemakmuran bersama, memiliki harga diri yang tinggi dan dihargai oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Tujuan itu bias diwujudkan oleh pendidikan Islam. Konsep pendidikan multikultural dalam kerangka pendidikan Islam, bisa terwujud dengan proses usaha dan upaya yang panjang dan berkesinambungan. Keduanya sangat relevan dan akomdatif dengan issue-issue pluralisme dan demokrasi. Ini bias ditelusuri dari prinsip-prinsip dasar pendidikan multikultural dan pendidikan Islam yang sangat relevan. Keduanya memandang tinggi terhadap HAM dan punya komitmen kuat merealisasikannya. Keduanya juga pro (mendukung) terhadap kesetaraan dan persamaan derjajat manusia, kelompok manusia, kelompok suku bangsa, kelompok bangsa
105
106
untuk hidup beradasarkan kebudayaan sendiri secara bebas dan terkendali. Akomodatif dan terbuka dengan prinsip pluralisme, dalam Islam banyak ditemukan dalam al-Qur’an, QS. al-Hujurat: 13), Q.S. Ali Imran: 64, Q.S. alMaidah: 8, QS. Ar-Rum : 22, QS. Al-Maidah : 48, QS. Hud : 118-119, QS. alSyura : 8, QS. al-Maidah : 37, QS. Al-Mumtahanah : 8-9, dan al-Baqarah : 256. Pun dilihat dari tujuan pendidikannya, baik konsep pendidikan multikultural maupun pendidikan Islam memiliki dua sisi teoritis sebagaimana di atas.
Tujuan
pendidikan
multikultural
berorintasi kemasyarakatan
yang
menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis. Ia juga
berorientasi
kemasyarakatan, kenegaraan mencakup hubungan pendidikan dan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik, dan negara di era global-multikultural. Di Indonesia, tujuan pendidikan multikultural tersebut diproyeksikan dengan konsep manusia Indonesia cerdas yang memiliki ciri sebagai profil manusia yang bermoral dan beriman, kecerdasannya tidak untuk korupsi, inklusive, tidak membenarkan apa yang dimilikinya, cita-vitanya, agamanya, ideologi politiknya untuk dipaksakan kepada orang lain. Mereka memiliki sikap dan tingkah laku yang baik. Cerdik-pandai dalam kognitif, energik-kreatif dalam ranah motorik, responif terhadap masyarakat-demokratis, daya guna (skilled), akhlak mulia (moral, religius), sopan santun (civillized). Dari pemaparan di atas, tujuan pendidikan multikultural merapatkan diri dalam ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik. Dengan manusia Indonesia cerdas diharapkan akan dapat membangun bangsa ke depan di era global-multikultural. Dalam konsep pendidikan Islam, manusia cerdas termanifestasikan sebagai insan kamil. Yakni manusia yang paripurna, memiliki budi pekerti luhur dan akhlak, manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Insan kamil adalah adalah gambaran manifestasi manusia yang mampu menunaikan tugas dan kewajibannya selaku mahluk Allah sebagai khalifah di muka bumi, mampu menjalankan
dan
membangun
tugas-tugas
kemasyarakatan,
kebangsaan,
keagamaan secara bersama-sama membangun peradaban Islam, dan tugas-tugas
107
dalam membangun kehidupan bersama secara integral dengan sebaik-baiknya sesuai dengan prinsip-prinsip kehidupan menurut al-Qur’an dan al-Sunah. Selanjutnya,
implementasi
pendidikan
Islam
multikultural
dapat
diwujudkan tidak hanya dalam ranah pendidikan formal an-sich, ia bisa mengambil tempat dalam pendidikan non-formal, keluarga maupun lingkup masyarakat yang lebih luas. Tentunya dengan proses yang panjang dan berksinambungan disamping juga dengan perbaikan dan penyusunan system yang lebih komperhensif dalam kurikulum, sarana-prasarana, model pembelajaran hingga kompetensi pendidik harus disesuaikan dengan cita-cita ini. B. Saran-saran 1. Kepada para pembuat kebijakan harus diupayakan sistem regulasi yang senafas dengan era global multikultural di Indonesia sebagai payung hukum bagi implementasi pendidikan multikultural di Indonesia agar lebih komperhensif dan integral dengan Sidiknas. 2. Kepada para pengelola lembaga pendidikan, guru, serta stakeholders terkait untuk menanamkan sikap saling menghargai dan menghormati terhadap segala perbedaan yang ada karena multikultural, pluralitas dan homogentias adalah sebuah realitas yang harus dikelola rawat dengan baik agar bernilai postif. 3. Kepada para siswa, renungkan kembali makna bhineka tunggal ika sebagaimana yang telah diperjuangkan oleh founding fathers bangsa Indonesia, sebagai upaya menghargai pengorbanan pahlawanan karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa-jasa pahlawannya. 4. Untuk masyarakat, stop anarchisme, brutalisme, barbarisme, kita semua sama di hadapan Tuhan dan Negara.
DAFTAR PUSTAKA al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, tt). Ahmadi, Abu, Islam sebagai Pardigma Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta : Aditya Media, 1992). Arief, Armai, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: C3RD Press, 2005). ----------------, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), cet.1. ----------------, Tantangan Pendidikan di Era Global, dalam Jurnal Institut, NO. I, thn. 2005. ----------------, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Diktat perkuliahan, 2002). Arifin, M, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1993). Arifin, Syamsul dan Barizi, Ahmad, Paradigma Pendidikan Berbasis Pluralisme dan Demokrasi, (Malang: UMM Press, 2001), cet. 1. Azizy, A. Qodri, Pendidikan (agama) untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), cet. 2. Azra, Azyumardi, Pendidikan Multikultural; Membangun Kembali Indonesia Bhineka Tunggal Ika, dalam Tsaqofah, Vol. I, No. 2, tahun 2003. ---------------------, Dari Pendidikan Kewargaan hingga Pendidikan Multkultural : Pengalaman Indonesia, dalam Edukasi : Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, Vol. 2, No. 4, tahun 2004. Bakhtiar, Adam, Paradigma Pendidikan Islam, dikutip www.pendidikan.net/mkhujair.pdf. akses: 03/03/2006. Bukhari, Imam, Shahih Bukhari, (Beirut : Darul Fikri, 1994), juz. 1. Choiri, Miftahul, Pendidikan Multikultural dan Implementasinya dalam Pendidikan, dalam Jurnal Cendekia, Vol. 3, No. 2 Juli-Desember 2003. Daradjat, Zakiah, et.al, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992). Dawam, Ainnurrofik, Emoh Sekolah Menolak Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme Intelektual Menuju Pendidikan Multikultural,(Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya, 2003).
Faqih, Abdullah, Pendidikan Multikultural dan Keabsahan Demokrasi, dalam http://abdullahfaqih.multiply.com/journal/item/6 Fayid, Syaikh Mahmud Abdul, Pendidikan dalam Al-Qur’an, (terj. Drs. Judi alFalasany), (Semarang: Wicaksana, 1986). Gutman, Amy, Multiculturalism, Examining the Politics of Recognition, (Princenton: Princenton University Press, 1994), hal. 18. sumber : www.bagais.go.id/jurnaldikti/dokfdp Hanum, Farida, Rintisan Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah dalam Membangun Perilaku Bangsa, Pidato pengukuhan Guru Besar Sosiologi Pendidikan, FKIP Universitas Negeri Yogyakarta, 20 April 2009. Hasan, Chalidijah, Kajian Pendidikan Perbandingan, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1994), cet. 1. Hidayati, Yuyun Nur, Multicultural Education In America, (Tesis), (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada). Sumber: google.com/search/Multi_Amerika.htm. Hussain, Syed Sajjad dan Syed Ali Ashraf, Krisis dalam Pendidikan Islam, (terj. : Fadlah Mudhafir), (Jakarta : Al-Mawardhi Prima, 2000), cet.ke-I. Ibrahim, Ruslan, Pendidikan Multikultural: Upaya Meminimalisir Konflik dalam Era Pluralitas Agama, dalam El-Tarbawy : Jurnal Pendidikan Islam, No. 1, Vol.I 2008. Ihsan, Hamdani dan Ihsan. Fuad, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2001), cet. II. Jalal, Fasli, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Aditia, 2001). Jalaludin dan Said, Usman, Filsafat Pendidikan Islamm ; Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994). James A. Bank dan Cherry A. Mc Gee (ed), Handbook of Research on Multicultural Education, (San Fransisco: Jossey-Bass, 2001), hal. 28. www.bagais.go.id/jurnaldikti/dokfdp Jay, Grgory, Critical Context For Multiculturalism, dalam www.uwm.edu/gjay/Multicult/conte+tmulticulut.htm. Download 2 Desember 2005
Khaerudin, Konstribusi Teknogi dalam Membangun Pendidikan Multikultural, sumber : http://www.ilmupendidikan.net/?p=8 Las, Scott dan Featherstone, Mike (ed)., Recognition And Difference: Politics, Identity, Multiculture, (London: Sage Publication, 2002), hal. 2-6. Sumber www.bagais.go.id/jurnaldikti/dokfdp Lie,
Anita, Mengembangkan Model Pendidikan http//www.kompas.com/ akses 25 Desember 2007
Multikultural,
el-Ma’hady, Muhaimin, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural dalam http://www.cyberschooldps.net - 27 February, 2008. Maarif, Syamsul, Islam dan Pendidikan Pluralisme; Menampilkan Wajah Islam Toleran Melalui Kurikulum PAI Berbasis Kemajemukan, sumber www.google.com/pluralisme-pendidikan, akses tanggal 22 Januari 2008 Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : PT. AlMaarif, 1989), cet. Ke-VIII. Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultural: Rekonstruksi Sistem Pendidikan Berbasis Kebangsaan, (Surabaya: JP Books kerjasama dengan STAIN Salatiga Press, 2007), cet. 1. Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999). Mendatu, Achmanto, Strategi Meningkatkan Kompetensi Guru dalam Melaksanakan Pendidikan Multikultur. Sumber http://.www.psikologipendidikan.blogspot.com/pendidikanmultikultural.htm al-Munawar, Said Agil Husin, Aktualisasi Nilai-nilai dalam Sistem Pendidikan Islam,(Ciputat: Ciputat Press, 2005), cet.2. Muqtafa, M. Khoirul, Paradigma Multikultural, http://www.sinarharapan.co.id/-berita/0402/05/opi02.html
dalam
Muslim, Imam, Shahih Muslim, (Beirut : Darul Fikri, 1998), juz. 2. an-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), cet. Ke-I. Nata, Abudin, Pidato Pengukuhan Guru Besar (Pendidikan Islam di Indonesia: Tantangan dan Peluang), UIN Syarif Hidayatullah Press.
-------------------, Paradigma Baru Pendidikan Islam di Era Pasar Bebas, dalam Didaktika Islamika, Jurnal Kependidikan, Keislaman dan Kebudayaan, Vol. 1, Januari 2005. Nurdin, Zainal Arifin, Gagasan dan Rancangan Pendidikan Berwawasan Multikultural di Sekolah Agama dan Madrasah, dalam Jurnal Kerukunan Umat Beragama Edisi No.1 tahun 2005 Parekh, Biku, Rethinking Multiculturalisme: Cultural Diversity and Political Theory, (Cambridge: Harvard University Press, 2000). Sumber: www.bagais.go.id/jurnaldikti/dokfdp ------------------, What is Multiculturalism?sumber www.google.com/search/what-is-multiculturalisme.htm
:
Purwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1991), cet. Ke-XII. Rahardjo, M. Dawam, Meredam Konflik: Merayakan Multikulturalisme, dalam Bulletin Kebebasan Edisi No. 4/V/2007. Rahmat, Pupu Saeful, Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia, dalam http://akhmadsudrajat.wordpress.com/wacana-pendidikan-multikulturaldi-indonesia.htm Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 1998), cet. Ke-2. Rasiyo, Berjuang Membangun Pendidikan Bangsa; Pijar-pijar Pemikiran dan Tindakan, (Malang: Pustaka Kayu Tangan, 2005) Ridho, Irsyad dan Fitri, Susi, Perspektif Multikultur dalam Pengembangan Kurikulum, dalam http://www.backtohome schooling.org/htm/artikel Rosyada, Dede, Pendidikan Multikultur Melalui Pendidikan Agama, dalam Jurnal Didaktika Islamika, Vol, VI, No. I, Juni 2005. Rosyadi, Khoiron, Pendidikan Profetik, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet. 1. Sabri, Alisuf, Ilmu Pendidikan, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1999), cet. Ke-I. Salamah, Husniyatus, Pendidikan Multikultural: Upaya Membangun Keberagamaan Inklusif di Sekolah, sumber dalam http://www.lubisgrafura.wordpress.com Saefuddin, Ahmad Fedyani, Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/21/pustaka/2374717.htm
Shaleh, Abd. Rochman, Pendidikan Agama dan Keagamaan, (Jakarta : Gema Windu Panca Perkasa, 2000), cet.ke-I. Siradj, Said Aqil, Islam Kebangsaan; Fiqh Demokratik Kaum Santri, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), cet. 1. Soedirjato, Pendidikan sebagai Sarana Reformasi Mental dalam Upaya Pembangunan Bangsa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998). Sumarno, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), cet. KeVIII. Suparlan, Parsudi, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. Sumber: http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikelps.htm Diakses tanggal 24 September 2006. Suprayogo, Imam, Pendidikan Agama Di Era Multikultural, http://www.imamsuprayogo.com /viewd_artikel.php?pg=31
dalam
Surya, Mohammad, Tantangan Pembelajaran di Era Millenium Ketiga, dalam Jurnal Didaktika Pendidikan, Vol. III, No.2, Desember 2002. Suseno, Frans Magnes, Islam dan Pendidikan Pluralisme, dalam Suara Pembaruan, edisi 23 September 2000 Susetyo, Beny, Politik Pendidikan Penguasa, (Yogyakarta: LkiS, 2005), cet. 1. Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), cet. Ke-1. Tilaar, H.A.R, Multikulturalisme, Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Grassindo, 2004). ---------------------, Perubahan Sosial dan Pendidikan; Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, (Jakarta : Grassindo, 2002), cet. ke-1. ---------------------, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat MadaniIndonesia, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000). ----------------------, Kekuasaan dan Pendidikan : Suatu Tinjauan dari Prespektif Kultural, (Magelang : Indonesia Tera, 2003). Tim Dosen FIP-IKIP Malang, Pengantar Dasar-dasar Kependidikan, (Surabaya : Usaha Nasional, tt), cet. Ke-III.
Tim Dosen IAIN Sunan Ampel, Dasar-dasar Kependidikan, (Surabaya : Karya Abditama, 1996), cet. Ke-I. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), cet. KeII. Tim Penyyusun, Undang-undang Republik Indonesia, No.2 tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II pasal 3, (Jakarta: CV. Mitama Utama, 2004). Waidl, A., Pendidikan Yang Menghargai Kemajemukan, dalam Bulletin Jum'at Al-Ikhtilaf, No. 07/9 Juni 2000, diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta. Download di
[email protected] 18 Januari 2008