PERKEMBANGAN SENI KRIYA DI TENGAH PERUBAHAN MASYARAKAT ∗ Oleh: I Ketut Sunarya, M.Sn. Pengampu Mata Kuliah Kritik Seni Prodi. Seni Kerajinan, Jur. Pend. Seni Rupa FBS UNY
Abstrak Kriya merupakan cikal bakal seni atau kesenian ternyata kehadirannya sampai saat ini bagai potret buram, kusam dan sulit dibaca. Wacana yang berkembang selama ini kiranya belum mampu membuka slur selimut kabut seni ini. Sebagai catatan saja, pertanyaan-pertanyaan menyangkut kriya seakan bergulir sedemikian rupa tanpa kejelasan jawaban yang pasti. Benarkah kriya merupakan seni yang terbuka? Sebagai hasil ciptaan manusia, kriya merupakan fakta kemanusiaan atau fakta kultural di samping sebagai fakta semiotik. Kriya memiliki eksistensi yang khas dan membedakan dari fakta kemanusiaan lainnya, dengan ciri kehadiran yang tidak lepas dari pertimbangan nilai rasio yang selaras dengan rasa. Oleh sebab itu walaupun kriyawan bebas dalam mengaktualisasikan dan mengapresiasikan apa yang diinginkan, namun ia adalah seorang yang berpegang pada prinsip semangat kekriyaan yaitu kelekatannya dengan kehidupan manusia. Konsep sebagai dasar pijak, dan cermin kesadaran kriyawan atas tugas selain menjaga potensi wilayah tipikal dan juga membuka cakrawala seni dalam rangka membuat sistem klasifikasi baru. Hal ini merupakan langkah nyata yang diharapkan mampu menentukan posisi dan nilai tawar kriya di era yang berkembang cepat sekarang ini.
Pengantar Ada apa dengan kriya? Pertanyaan di atas nampaknya sangat sederhana, namun dari pertanyaan yang sederhana ini merupakan pangkal tolak dalam
∗
Terbit dalam Jurnal IMAJI Vol. 4, No 2 Agustur 2006 FBS UNY Bahan Kuliah Kritik Seni/Seni Kerajinan UNY/Dosen I Ketut Sunarya, M.Sn./2008
53
berpikir untuk pergerakan kriya. Penulis merasa perlu untuk memulai dari konsepsi dasar semacam ini, karena hal ini yang harus dikaji dan dijawab oleh pakar kriya, kriyawan atau pecinta kriya tatkala bergerak bebas dan berekspresi. Jawaban yang sekaligus mampu memberi gambaran atas gonjang-ganjing keraguan sebagian orang yang menyatakan dan meyakini bahwa pergerakan kriya tidak wajar, tidak berlandaskan pada dasar pijak yang pasti, dan dikatakan pergerakan yang cenderung melirik bahkan mengambil kapling daerah lain. Lebih ironis lagi pergerakan kriya dianggap galauan yang bersifat retorika belaka agar seni ini bicarakan orang, dan merupakan hal yang tidak wajar. Benarkah demikian? Jika dikaji lebih jauh fenomena aktivitas ilmiah dalam kriya tanpa disadari telah mensejarah dalam ruang dan waktu yang sangat lama, bahkan sampai hari ini pun keniscayaan ilmiah dalam pengkajian seni tersebut telah beringsut sangat luas. Bukankah kriya lahir bersamaan dengan manusia ada di jagat raya ini? Kesejarahan ini pun menjadi ciri dari suatu produk kriya seperti kelekatannya dengan kehidupan manusia. Telah diketahui bahwa sejak berabadabad yang lalu seni ini memiliki fungsi yang transdental dan hadir pada setiap kegiatan manusia. Dengan redaksi keserasian antara nilai
Bahan Kuliah Kritik Seni/Seni Kerajinan UNY/Dosen I Ketut Sunarya, M.Sn./2008
54
estetika, etis dan nilai-nilai keagamaan, dan ini merupakan tanda bahwa kriya tidak hanya tunduk pada logika murni seni itu sendiri, tapi memperhatikan logika etis di mana kriya diciptakan. Telah dikemukakan oleh Sp. Gustami1 bahwa kriya merupakan cikal-bakal atau akar seni rupa Indonesia yang kehadirannya tergayut 3 (tiga) tujuan yaitu pragmatis, magis dan hiburan. Dalam tujuan pragmatis kriya dihadirkan sebagai alat untuk mempertahankan hidup manusia (peralatan), sedangkan ujuan magis agama dan kepercayaan menjadi patron utama. Dalam tujuan hiburan, kriya dihadirkan memberikan kepuasan atau untuk kesenangan di mana kriya tersebut dihadirkan, seperti produk souvenir, cinderamata dan lainnya. Kenyataan di atas memberi gambaran bahwa selain kriya tidak lepas dari kancah kandang seni yang
menjadi “tanda” atau
menyuguhkan sebuah warna zaman, juga merupakan produk yang merefleksikan pola pikir dan prilaku masyarakat pada zamannya, sehingga Walaupun
kriya
selalu
terkadang
berkembang membuat
sesuai
orang
tidak
konstelasi mengenali
zaman. dunia
keseharian (ordinary life) dari kriya, karena dalam proses transformasi wujud serba rumit, serawut bahkan tiba-tiba, dan membuat sebagian orang terkejut dan dikatakan bersifat aliennasi (keterasingan dari
Bahan Kuliah Kritik Seni/Seni Kerajinan UNY/Dosen I Ketut Sunarya, M.Sn./2008
55
realita), namun semuanya merupakan sesuatu yang wajar dalam perkembangan seni. Bukankah eksperimen dalam disiplin kriya sama pentingnya dengan proses eksperimen dalam seni lainnya? Meskipun kita menyadari bahwa sebuah eksperimen kadang berhasil dan kadang pula menemui kegagalan,
tidak berarti kriyawan harus
meniadakannya. Karena eksperimen merupakan salah satu bentuk dialektika dalam mencari identitas, maka dari itu kehadiran kriya tidak cukup hanya menyuguhkan sebuah warna zaman , namun juga merefleksikan pola pikir dan pola perilaku masyarakat serta individu, sehingga dalam setiap kehadirannya mempunyai peran tersendiri.
Yogyakarta Barometer Perkembangan Kriya 1. Kriya Yogyakarta Estafet Angkatan 60-an Strom of druk. Kalimat ini cukup santer terdengar di tahun 1970, di mana saat itu
perupa ukir kayu di bawah komando
Gudaryono menggelar karyanya di Art Gallery Senisono Yogyakarta. Hadirnya pola pembaharuan kriya yang saat itu bernama seni kerajinan dalam bentuk “ukir kayu kreatif” yang sepadan dengan pengertian contemporary craft cukup mengejutkan para pakar seni. Hadir karya kriya yang bersifat personal dan mencoba mengimbangi posisi terhormat yang mengelompokkan diri dalam seni murni (fine
Bahan Kuliah Kritik Seni/Seni Kerajinan UNY/Dosen I Ketut Sunarya, M.Sn./2008
56
art) yang dianggap “seni atas”. Tampilnya karya Sp. Gustami dengan keunikan dalam bentuk kerumitan yang meliuk-liuk, diimbangi oleh Narno,
S.
yang
unik
dalam
konsep
penyederhanaan
bentuk.
Sedangkan M. Soehadji mengolahan tema kepahlawanan bangsa dan mengajak pikiran penikmat untuk melihat semangat para pejuang di medan perak, begitu juga Sukarman, Gudaryono, Sukasno, Sutadi, Sadukut, Saiman, Sutarno, Sudarmono dan lainnya. Di bawah bimbingan Tukiyo HS. HM. Bakir, L Sukani, Fadjar Sidik dan Abas Alibasyah mereka mencoba mendobrak slur dan membuka cakrawala ukir kayu, mengejutkan pakar seni. Ide-ide liar mengalir sedemikian rupa. Tampilan
ukir kayu kreatif
yang penuh imajinatif mampu
menggugah perasaan penikmat. Walaupun saat itu masyarakat melihat sesuatu yang aneh, unik tentang tampilan ukir kayu, namun sangat menarik sehingga mampu menyedot perhatian. Sukarman
(1970)
menegaskan
bahwa
hasil
karya
yang
dipamerkan tersebut barulah merupakan hasil eksperimen atau persiapan yang nantinya akan menuju kepada pola-pola dan motifmotif yang kreatif, di mana hasilnya tidak lagi menunjukkan kedaerahan lagi. Akan tetapi menghasilkan bentuk-bentuk pola-pola yang individualistik atau menunjukkan gaya kepribadian seseorang. Jadi lain halnya dengan motif tradisional yang selalu menunjukkan
Bahan Kuliah Kritik Seni/Seni Kerajinan UNY/Dosen I Ketut Sunarya, M.Sn./2008
57
motif
kedaerahan.2
Suatu
tampilan
yang
dapat
memberikan
pencerahan dan juga pemahaman tentang perkembangan kriya ke depan. Oleh karena itu berpegang pada kesadaran bahwa mencari pengakuan kriya harus dilakukan dengan perjuangan dan kerja keras serta tidak mengenal putus asa. terobosan-terobosan
baru
yang
Semangat berkreasi mencari diharapkan
mampu
memasuki
wilayah fenomena multitafsir kriya itu sendiri. Tahun 1972 dalam rangka Dies Natalis STSRI “ASRI” XXIV kembali kriyawan unjuk pamer di Gedung STSRI “ASRI” Gampingan Yogyakarta. Kehadiran mereka seakan sudah ditunggu-tunggu oleh masyarakat,
terbukti
apa
yang mereka
tampilkan
mendapat
sambutan yang cukup meriah, baik dari masyarakat umum mau pun dari para seniman. Wacana ukir kayu kreatif pun mulai merebak, berbagai tanggapan mengenai konsepsi dasar dan bahkan batasanbatasannya, bahkan keraguan dan kebingungan para pakar seni terhadap ukir kayu kreatif (contemporary craft)
melahirkan istilah
“kriya banci” pada saat itu. Di sisi lain Supono, Pr.3 dengan penuh bijak mengatakan bahwa kriya mengalami tingkat produktivitas yang cukup tinggi dan pada umumnya kehadirannya kali ini tidak jauh dengan yang lalu yaitu terdapat dua tarikan kuat atas hasil kegelisahan, di satu pihak tetap mempertahankan kriya sebagai
Bahan Kuliah Kritik Seni/Seni Kerajinan UNY/Dosen I Ketut Sunarya, M.Sn./2008
58
applied art dan di lain pihak mengarah ke fine art. Yang menjadi pertanyaan Supono Pr. adalah sesungguhnya apakah yang tidak bagus pada ukiran kayu tradisional (applied art), sehingga tidak pantas untuk digarap dan dipamerkan.? Bertolak dari pertanyaan di atas Sp. Gustami4 mengungkapkan tiga kesadaran yang harus dipegang kaum kriyawan yaitu sadar sebagai pewaris yang bertanggungjawab, sadar akan tuntutan dan tantangan
zaman,
dan
ketiga
sadar
akan
perubahan
perkembangan. Dengan kata lain kehadiran berbagai
dan
bentuk kriya
berhubungan erat dengan kehidupan manusia itu sendiri. Adanya berbagai kejadian dengan beragam bentuk persoalan memberikan makna tersendiri, dalam bentuk dunia arti dan nilai yang dapat diangkat oleh masing-masing pribadi kriyawan. Di sini terlihat dua dimensi penting dalam pengembangan kriya yaitu pengembangan kemampuan (capabilities) kriyawan itu sendiri dan penggunaan kemampuan agar bisa sepenuhnya terlibat dalam segenap aspek kehidupan serta untuk mengekspresikan diri secara bebas dan kreatif. Dua dimensi yang harus dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh terpadu, dan memberikan bobot aktualisasi kriyawan di masyarakat.
Bahan Kuliah Kritik Seni/Seni Kerajinan UNY/Dosen I Ketut Sunarya, M.Sn./2008
59
Dinamika kemajuan dalam meng-amini semangat kesadaran di atas, adalah cermin strategi pengembangan kriyawan
yang mampu
berkreasi mencari jati diri. Munculnya kriyawan angkatan 80-an seperti AN. Suyanto, Zaenuri, Andono, Gofar, Tri Purwanto, Supri Aswoto, I Made Marjaya, Muria Zuhdi, Aripta, bahkan sampai pada I Nyoman Dana, I Wayan Suardana, I Ketut Supir, I Nyoman Sila, I Ketut Sunarya (penulis), Yulriawan Dafri, Agus Ahmadi, Guntur, Suhartati, I Made Suparta, Joko Suripto, Suharto, Muhajirin dan masih banyak yang lainnya. Walaupun semangat yang mereka tampilkan pada akhirnya hilang dan tenggelam ditelan waktu, namun kemunculan mereka dapat memberikan warna tersendiri dalam kriya saat itu. Selain itu pula peran mereka sebagai pemegang estafet pemicu semangat untuk generasinya tidak dapat dikesampingkan. Tahun 2000 kriya yang dimotori keluarga besar ISI Yogyakarta kembali meledak di Galeri Nasional Indonesia Jakarta, dengan mengusung tema Kriya Seni, Tahun 2000. Hadirnya generasi penerus seperti Anjar Ragil, I Nyoman Purnama, Basuki,
Edi Eskak, Eko
Abdul Mufid, Hartadi, Heri Pujiharto, Gede Pasek, I Kadek Arnawa, Indro Baskoro, M. Khoirul Ulum, Pristiyanto, Priyadi Mahmud, I Made Sukanadi, Sumarsono, Udi Yahya, Bagus Indrayana, Noor Sudiati, Titiani Irawani, Djandjang Purwosejati, Heri Pujiharto, dan lainnya.
Bahan Kuliah Kritik Seni/Seni Kerajinan UNY/Dosen I Ketut Sunarya, M.Sn./2008
60
Pameran yang mengundang berbagai komentar, seperti diungkapkan oleh Sri Hastanto5, dikatakan bahwa pameran ini merupakan gerak sosialisasi kriya seni atau kriya kontemporer kepada masyarakat luas, maka dari itu dibutuhkan komitmen bersama untuk saling menerima dan memahami segala friksi dan perbedaan yang ada. Bangkitnya kriya kontemporer merupakan kesadaran kaum kriyawan akademik sebagai agen pembaharuan kriya itu sendiri, atau menurut I Made Bandem disebut dengan agen of change.6 Mengingat, memberi semangat baru dalam kriya merupakan tugas memupus sikap tidak percaya diri (minderwaardig)7 kriyawan terhadap budaya sendiri. Dalam konteks di atas penulis menyitir proses kreatif dalam teori
intertekstualitas,
bahwa
proses
kreatif
tidak
lahir
dari
kekosongan, dan bukan membuat suasana dari tidak ada kemudian menjadi seseorang
ada.
Proses
kreatif
diandaikan
bukan
memiliki
saja
dimungkinkan
sesuatu
direpresentasikannya, tetapi lebih dari itu
yang
ketika ingin
yaitu kemampuan
seseorang dalam cara yang baru, atau kemampuan memodifikasi bahan-bahan yang sudah ada dengan memberi semangat tertentu berkaitan dengan penajaman substansinya, mencari gaya yang lain dari aslinya dengan ciri perbedaan (difference) untuk menuju pada sifat simulakrum8. Tidak sekedar meniru apa yang telah ada, tetapi
Bahan Kuliah Kritik Seni/Seni Kerajinan UNY/Dosen I Ketut Sunarya, M.Sn./2008
61
lebih kepada pencarian dan penciptaan entitas-entitas baru, dan menjadikan dasar serta pokok sebuah kreasi.
2. Eksistensi Kriya Sebagai
hasil
ciptaan
manusia,
kriya
merupakan
fakta
kemanusiaan atau fakta kultural di samping sebagai fakta semiotik. Kriya memiliki eksistensi yang khas yang membedakan dari fakta kemanusiaan lainnya. Hal ini juga tidak lepas bahwa seni ini dibangun atas dua aspek yaitu aspek luar dan aspek dalam. Dengan demikian kehadiran kriya memiliki eksistensi ganda, yakni pertama dalam dunia inderawi dan kedua dunia kesadaran yang nonempirik. Aspek keberadaan yang pertama dapat ditangkap oleh indera manusia, artinya karya kriya mempunyai wujud yang terdiri dari cekung-cembung, krawangan, krawingan, garis getakan, tatahan kasar, halus dan lainnya. Semuanya itu merupakan kode-kode tertentu yang dapat difahami bersama. Karena
kode adalah setiap
“wujud” yang mengandung makna, dan hal inilah terkait dengan aspek
nonempirik.
Fakta
ini
pun
membuktikan
bahwa
kriya
cenderung mementingkan kualitas estetis, dalam pengertian kualitas keindahan selain juga skill (craftsmanship), dan
menjadi variabel
penting dalam menetapkan kualitas. Ini menjadi penting dan perlu
Bahan Kuliah Kritik Seni/Seni Kerajinan UNY/Dosen I Ketut Sunarya, M.Sn./2008
62
dipahami dengan seksama melalui suatu kajian yang menyeluruh oleh kaum kriyawan, agar dapat dipakai untuk membangun suatu body of knowledge, dan sebagai upaya pengembangan kreativitas yang mempunyai pijakan kuat. Geliat ukir kayu kreatif yang telah diuraikan di atas suatu bukti yang mendasar bahwa sebagai pewaris yang bertanggung jawab, kriyawan sadar akan tuntutan, perubahan dan perkembangan zaman. Sebagai produk budaya, kriya sebagai pengganti dari istilah kerajinan berkembang dalam wilayah konsep personal cukup pesat, di sisi lain ketergayutan sejarah kriya sebagai pemenuh kehidupan dan aktivitas masyarakat tetap tak tergoyahkan. Kenyataan ini memang mampu menaikkan “makna terhormat” dalam otonomi seni, walaupun belum sepenuhnya dianggap sebagai bagian dari seni yang murni yang memiliki otonomi. Kriyawan
adalah
mahkluk
individu
yang
bebas
mengaktualisasikan dan mengapresiasikan apa saja yang ia inginkan. Di sisi lain jika ia (kriyawan) menyadari bahwa kriyawan juga mahluk sosial yang semestinya selalu memegang profesi kekriyaannya atau memahami
disiplin
keilmuannya,
maka
kontroversial
yang
menyangkut pengakuan kedudukan otonomi kriya tidak akan terjadi. Seorang kriyawan tidak ubahnya sebagaimana halnya pemain bola
Bahan Kuliah Kritik Seni/Seni Kerajinan UNY/Dosen I Ketut Sunarya, M.Sn./2008
63
“misalnya”. Pemain yang bergerak dalam semangat amatirisme profesional tidak bisa dijustisi dengan aturan main di luar batasbatas permainan itu sendiri. Jika ia paham tata aturan dalam permainan
tersebut,
permainan
akan
menjad
indah,
grestek,
mengesankan, menarik dan mampu mengajak penonton diam “nyap” pada saat tertentu, serta masing pemain
“bergemuruh” pada saat lain. Masing-
tentunya mempunyai hak individu dalam bermain
cantik dan juga cara tersendiri dalam mengolah bola selama masih dalam lingkup aturan main itu sendiri. Dalam artian bahwa seseorang mempunyai peluang yang selebar-lebarnya untuk terus memainkan perannya, namun konsepsi etis dalam kebebasan mutlak perlu dipahami, setiap olahan masih dalam koridor permainan itu sendiri. Dari kerangka di atas, kita bisa memahami dan mendefinisikan makna kebebasan dalam penciptaan kriya. Kriyawan memang bebas dalam mengaktualisasikan dan mengapresiasi apa yang diinginkan, namun berpegang pada prinsip kekriyaan merupakan
karakter
tersendiri. Ini artinya proses kerja yang menghargai fungsi kerja atau karakteristik masing-masing, serta tidak menciptakan fungsi kerja dan atau profesi yang tumpang tindih. tumpang tindih akan mencetak generasi
Karena
fungsi kerja yang
kebingungan profesi, dan
berdampak pada kualitas kerja maupun hasil yang diragukan, serta
Bahan Kuliah Kritik Seni/Seni Kerajinan UNY/Dosen I Ketut Sunarya, M.Sn./2008
64
tidak menutup kemungkinan cara-cara seperti ini akan menimbulkan demogagisan dan prahara9 dalam perkembangan kriya ke depan. Untuk itu membangun bangun keilmuan kriya sangat penting di era global ini,
bergerak dan mencari maknanya sendiri dengan
prinsip kecendrungan kemutakhiran sebagai wilayah valid. Mengisi fakta sosial yang bereksistensi imitatif yaitu karya yang merupakan tiruan sesuatu atau bersifat “representasi” (penghadiran kembali). Sifat ini tidak dapat disangkal dalam seni kriya, namun yang lebih penting adalah
“representatif rekreatif” yaitu penciptaan yang
menonjolkan nilai artistik serta visi kreativitas. Dalam kehadiran tidak hanya menghadirkan sesuatu yang hanya dilihat oleh mata belaka, namun apa yang ditampilkan mempunyai daya cipta yang imajinatif,
interpretattif
dan
evaluatif
terhadap
peristiwa
kemanusiaan, sehingga kriya mampu mengungkapkan kesenangan (pleasure) dan pengetahuan (knowledge).
Kedua dalam pandangan
ekspresif adalah terkait pada curahan jiwa. Kriyawan tidak hanya sekedar mengungkapkan atau memperlakukan sesuatu sebagaimana mereka lihat, tetapi dalam setiap penciptaan karyawan menuangkan lewat emosi dan pengamatan batin. Ketiga dalam pandangan afektif, yaitu karya yang senantiasa berbicara pada orang lain atau karya yang mampu membangkitkan jiwa atau emosi tertentu pada diri
Bahan Kuliah Kritik Seni/Seni Kerajinan UNY/Dosen I Ketut Sunarya, M.Sn./2008
65
penikmat. Karena
kriya bukan setumpuk pengalaman seseorang
yang diwujudkan dalam bentuk karya, namun juga sesuatu yang mampu membangkitkan pengalaman orang lain. Semangat
kriyawan,
jika
tidak
memperhatikan
semangat
pembaharuan dan motivasi dinamis akan divonis mandeg dan hanya “imitative”. Sebaliknya semangat yang
tanpa menghiraukan rambu
seni yang semestinya dipahami dan dipegang oleh pencipta seni itu sendiri akan memunculkan karya sebab itu
yang serba
mengambang. Oleh
dalam menggali daerah pijak, kiranya sebuah lirik
nyanyian kriya perlu difahami dan dipegang untuk bersama. Suatu koor lirik nyanyian yang mampu memberikan gambaran tentang visi dan misi kriya itu sendiri. Konsepsi mendasar ini mempunyai konskuensi logis yaitu
memberikan kekuatan gerak bagi kriyawan
sebagai pencipta kriya.
3. Kriya Sebagai Catatan Rasa Konflik dan polemik masalah kriya memang selalu ada dalam setiap komunitas manusia. Karena aktivitas
manusia
yang
hidup
hakekat kriya tidak lepas dari
dan
berinteraksi
dengan
alam
lingkungannya. Manusia yang secara alamiah menjadikan aktivitas hidupnya sebagai objek kesadaran, sehingga dalam proses kriya
Bahan Kuliah Kritik Seni/Seni Kerajinan UNY/Dosen I Ketut Sunarya, M.Sn./2008
66
manusia membangun kodrat dan kapasitas yang ia miliki. Setiap tampilan tidak hanya mimetik dengan maksud utilitarian secara langsung yang harus dibangun, tetapi juga akan memunculkan unsur-unsur memberikan
tujuan semangat
kriya
diciptakan.
hidup,
karena
Salah tidak
satunya disadari
adalah manusia
melakukan sesuatu seperti semua gerak, gores hidup yang telah dilakukan seolah-olah ditelan oleh komunitas maupun kebutuhan individual menjadi sebuah pengalaman. Begitu pun manusia dengan alam sekitarnya yang merupakan kesatuan interaksi yang integral. Hubungan yang membentuk karakterisasi manusia itu sendiri, dan menjadi teman dekat untuk diajak berkomunikasi secara seksama. Interaktif yang akhirnya menorehkan dinamika
inspirasi manusia
melahirkan karya dan menjadi catatan zaman yang dibaca dan menjadi inspirasi bagi setiap generasinya dalam menciptakan catatan baru, seperti apa yang terjadi dalam kriya. Kriya muncul dan menjadi catatan zaman,
dan dengan daya pikir manusia yang semakin
berkembang, peran kriya sebagai pewarna zaman semakin meluas. Berkembang dengan cara merayap bagai akar tumbuhan yang mencengkeram bumi, dan memunculkan tumbuhan baru yang semakin subur.
Kriya sebagai catatan rasa bergerak semakin
melebar, mencatat, merambah segala yang ada di bumi. Tidak
Bahan Kuliah Kritik Seni/Seni Kerajinan UNY/Dosen I Ketut Sunarya, M.Sn./2008
67
sekedar meniru apa yang diciptakan oleh Tuhan, namun juga menciptakan entitas-entitas baru untuk memperkaya gayaragamnya yang
berlandaskan
mempertimbangkan
pada
sifat
rasio
kriya.
Sifat
yang
selalu
unsur imanen maupun transden, walaupun
dalam hal ini belum ada standar ukur yang jelas, namun kehadiran kriya dengan praktek kehidupan kongkrit di masyarakat merupakan fakta yang dapat dipakai sebagai pertimbangan
rasio dalam
memunculkan “ide regulatif” oleh kriyawan dalam penciptaan kriya lebih lanjut. Berpijak pada hal di atas, maka, karakter utama karya ini adalah
“kegunaan fundamental” yang
mengandung agitasi dalam
berbagai pertarungan hidup manusia, baik dari panduan template”
10
sampai di era milenium sekarang ini.
“mental
Oleh sebab itu
kriya tidak lepas dari tiga cakupan pokok dalam kebudayaan yaitu wujud gagasan, tingkah laku yang berpola dan hasil tingkah laku. Wujud gagasan merupakan dasar atau ide yang selalu tertuang dalam bentuk konsep setiap penciptaan karya (kriya). Sedangkan tingkah laku yang berpola adalah suatu proses penciptaan yang didasari oleh rencana yang matang, dan hasil karya atau produk. Timbul Haryono 11 menegaskan lebih jauh produk yang dihasilkan masa lalu mempunyai klasifikasi menjadi tiga yaitu pertama kelompok teknomic atau artefak
Bahan Kuliah Kritik Seni/Seni Kerajinan UNY/Dosen I Ketut Sunarya, M.Sn./2008
68
yaitu suatu karya yang difungsikan untuk keperluan yang bersifat teknis seperti alat berburu, pertanian, memasak. Kedua kelompok sosio teknis atau sosiofak yang berfungsi sebagai produk penanda atau sebagai setatus sosial seperti perhiasan, busana, hiasan rumah dan ketiga kelompok ideoteknik atau ideofak yaitu karya yang difungsikan untuk keperluan religius atau ritual. Jika diperhatikan setiap detail dari produk yang dihasilkan dalam konsep yang berujung pada fungsi tersebut di atas, ternyata kualitas
ekspresi
ditinggalkan.
atau
keindahan
dari
setiap
detailnya
tidak
Ini pertanda bahwa pengorganisasian atau struktur
kriya ada dua yaitu struktur harmonis dan struktur ritme dengan masing-masing struktur mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Struktur harmonis mempunyai fungsi menegaskan dan menggolongkan unsur bahasa estetik, sehingga dari pengamatan lewat struktur ini tercermin keunikan dalam kriya kayu. Sedangkan struktur ritme mempunyai fungsi untuk menentukan unsur-unsur yang tertuju pada suatu gerak (ekspresi) yang menjadikan ujud dan terlihat karya dapat dinikmati lewat kasat mata. Lewat kedua struktur ini maka,.setiap kelahiran kriya tidak dapat lepas dari wacana di masyarakat. Karena dalam setiap penciptaan, kriyawan akan menjelajahi dunia secara terus menerus, sambil bertanya tentang apa yang telah dilihat. Lewat
Bahan Kuliah Kritik Seni/Seni Kerajinan UNY/Dosen I Ketut Sunarya, M.Sn./2008
69
rasa, mereka asah selanjutnya diolah dan dicurahkan dengan sarana karsa, sehingga menjadi susunan lekak-lekuk, krawangan, kruwingan yang rasional sifatnya, tidak lepas dari indah dan juga luhur, kudus dan angker tetapi juga grestek dan bizar, serta lucu, menyedihkan, mengejutkan, menggembirakan, dan juga merdu namun dasyat.
Membangun Semangat Kaum Kriyawan Disadari atau tidak, begitu kriyawan berupaya menciptakan karya, maka disitulah aspek budaya yang terlibat. Karena budaya bukan
perilaku
yang
kelihatan,
tetapi
berupa
nilai-nilai
dan
kepercayaan yang digunakan oleh manusia untuk menapsirkan pengalamannya dan menimbulkan perilaku. Budaya juga berupa seperangkat peraturan dan standar dari sebuah perilaku yang layak dan dapat diterima oleh masyarakat. Berpijak pada pengertian ini maka,
kriya
yang
merupakan
bagian
dari
kebudayaan
yang
kehadirannya tidak dapat lepas dari sifat kelayakan dan diterima masyarakat.
Kriya
juga
dikatakan
bagian
dari
suatu
bentuk
komunitas umum yang intens. Hal ini bukan saja karena berbagai perwujudannya, tetapi kumunikasi yang disampaikannya
berupa
pengalaman yang berharga tidak lepas dari imajinasi kreatif sesuai konstalasi zaman. Konsep ini cermin semangat amatirisme kriyawan
Bahan Kuliah Kritik Seni/Seni Kerajinan UNY/Dosen I Ketut Sunarya, M.Sn./2008
70
yang merupakan bagian dari seni, seperti diungkapkan oleh Halim HD12 sebagai berikut. Seni sebaga ekspresi diri merupakan upaya “keriangan
bersama”
dan
penciptaan solidaritas
sosial.
Dalam
semangat amatirisme tidak ada tendensi komersial, karena kesenian diciptakan atas dasar semangat bersama. Yang menonjol dalam amatirisme adalah solidarias sosial, dimana orang saling berbagi (sharing) berbagai persoalan. Di era global ini kehidupan manusia semakin maju dan kriya berkembang semakin luas, tidak saja terbatas pada banyaknya hitungan produk, namun juga menjawab bagaimana kedudukannya pada skala-skor-mutu kreativitas. Oleh karena itu kaum kiyawan sudah semestinya tidak melepaskan diri dari tuntutan dan keinginan membentuk (will-to-form), sehingga kriya tidak saja bergulir dalam sesuatu yang linier-monolik melainkan juga algoritmik. Konsep ini menjadikan terbendung dalam spirit lokalitas, perspektif instan dan pembaharuan yang di dalam setiap pengatur penciptaannya tidak dapat lepas dari fakultas manusia pokok yaitu rasio, perasaan dan sikap religius. Ahmad Sadali13 menyebutkan dengan istilah iman (penghayatan yang dirumuskan dan dilaksanakan dengan perbuatan nyata).
Bahan Kuliah Kritik Seni/Seni Kerajinan UNY/Dosen I Ketut Sunarya, M.Sn./2008
71
Dalam kriya spirit lokalitas (ritual) misalnya, kaum kriyawan yang
bersumber
dari
kader-kader
ulet
dan
tekun
mempertahankan produk adhiluhung, walaupun
dalam
terselimut oleh
gerak putar era, namun mereka selalu siap serta bertanggungjawab sebagai penganut dan pembelaan terhadap produk adat (tradisi) di tanah air. Memang daerah kehidupan kriyawan ini tetapt
kemampuan
mereka
dalam
sangat kecil,
mempertahankan
diri
pada
tekanan-tekanan era memberikan warna khusus setiap karya yang ditampilkan. Salah jika kita mengatakan mereka tanpa ide, karena ungkapan tradisional yang mereka lakukan menyimpan gagasan wujud ideal dari kebudayaan yang sifatnya abstrak. Lokasinya pun ada
dalam
pikiran
warga
masyarakat,
di
mana
kebudayaan
bersangkutan itu hidup serta memberi jiwa, sehingga gagasan tidak berada lepas dari yang lain, melainkan selalu berkaitan menjadi satu sistem yaitu kehidupan masyarakat yang termasuk di dalamnya hubungan interaksi sosial antara individu didasari pada norma tertentu. Sedangkan dalam perspektif hipotesis instan tak dihindari hadir produk industri, sebagai awal dari kesadaran manusia akan melakukan agresi terhadap benda di sekelilingnya. Dalam mengisi fungsi ini, struktur intrinsik kriya mendasar.
Kalau
sebelumnya
mengalami perubahan yang
merupakan
satu
kekuatan
yang
Bahan Kuliah Kritik Seni/Seni Kerajinan UNY/Dosen I Ketut Sunarya, M.Sn./2008
72
memproduksi, mereproduksi, atau setidaknya merepresentasikan tata kehidupan tradisional, berubah menjadi produk yang hadir untuk menyesuaikan dengan konsumen. Hal ini tidak berarti lumpuhnya semangat
amatirisme
seiring
komersial.
Keseluruhan
manifestasi
dari
dengan
perubahan
kuantifikasi
tata
makin ini
kriya
kuatnya
tampak yang
budaya
merupakan
berkembang
di
masyarakat. Di sini kaum kriyawan mencoba mengkaitkan pembelaan atas etika profesi yang selalu berkembang, sehingga ketat
melakukan
pengawasan
pada
tidak begitu
bidang-bidang
kualitatif
kekriyaan. Cermin dari kesadaran atas iklim sosial, di mana ekonomi menjadi panglima atau penentu, maka kecendrungan itu menjadi sangat kuat. Tentunya konsep di atas sangat berlawanan dengan kriya kontemporer yang dimotori oleh kriyawan pembaharuan yang concern terhadap
kebebasan
dikemukakan
oleh
(contemporary
craft)
dalam J.
menjalankan
Supangkat14
merupakan
bahwa
gabungan
profesinya,
seperti
kriya
kontemporer
dari
keterampilan,
pemikiran desain dan ekspresi seni, maka kehadiran kriya ini tidak menutup kemungkinan akan
menjadikan referensi tunggal atas
capaiannya. Kriyawan yang bergerak dalam kriya kontemporer tidak memasuki kawasan pengucilan sebagai syarat kreatifitasnya yang
Bahan Kuliah Kritik Seni/Seni Kerajinan UNY/Dosen I Ketut Sunarya, M.Sn./2008
73
terpisah dari keterlibatan dalam realitas keseharian. Karena kriya kontemporer (contemporary craft) didasari oleh semangat menawarkan nilai tertentu yang baru untuk menguji nilai yang sudah ada, semangat amatirisme kriya atas dasar cinta. Dengan ciri tidak saja penuangan ide atau gagasan yang tidak terikat atau “bebas”, namun juga jelas dalam menawarkan konvensi nilai-nilai untuk yang sekarang dan akan datang. Sebagai bukti hasil asahan batin kaum kriyawan dalam keresahan cipta, rasa dan karsa serta dalam menangkap tanda-tanda zaman. Apakah hal ini
merupakan gambaran kaum kriyawan yang
semakin sumpek oleh bingkai warisan leluhur, yang akhirnya mereka tak perduli akan adanya “wasit kesenian” sebagai penjaga garis depan tradisi? Tentu tidak, mengingat ekplorasi yang dilakukan oleh kaum kriya pembaharuan, merupakan eksitis atau pemikiran atas rasa tanggungjawab generasi di era yang semakin maju, generasi yang menawarkan warna baru yaitu kriya kontemporer (contemporary craft) yang berciri individualis di era global ini.
Penutup Seni identik dengan kebebasan begitu juga kriya, seni
yang
tidak hanya tunduk pada logika murni seni itu sendiri, namun
Bahan Kuliah Kritik Seni/Seni Kerajinan UNY/Dosen I Ketut Sunarya, M.Sn./2008
74
terkandung
juga
nilai-nilai
logika,
etis,
dan
etika.
Dalam
perkembangan di era global ini, kriya tidak saja suatu produk yang siap menjadi juru bicara sebuah komonitas, namun juga diharapkan mampu
melampui
dimensi
masa
serta
tempat
untuk
dapat
didengarkan oleh generasinya. Hal ini mengandung arti bahwa setiap generasi akan memunculkan warna zamannya sendiri termasuk juga kaum kriyawan. Untuk itu merupakan tanggungjawab kaum kriyawan dalam setiap penciptaan karya ada logika dasar. Artinya kaum kriyawan tidak berpegang pada kebebasan mutlak, lugas eksplisit dalam mengungkapkan privasi dirinya yang sangat personal-sentris, namun suatu bentuk kebebasan yang berpegang pada “etika kekriyaan” itu sendiri dalam mencari identitas diri. Tugas dan tanggungjawab kriyawan dalam tingkah polahnya yang diharapkan mampu meleburkan
cipta, rasa dan karsa atau
menjadikan sampurnaning cipta ring idhep untuk membumikan kriya dibuminya sendiri. Agar produk ini kembali menjadi seni yang terbuka, bersetubuh dengan jagat, bersenyawa dengan waktu dan berkembang menjadi catatan rasa di era arus budaya global ini.
Bahan Kuliah Kritik Seni/Seni Kerajinan UNY/Dosen I Ketut Sunarya, M.Sn./2008
75
CATATAN 1SP.
Gustami, “Seni Kriya Akar Seni Rupa Indonesia”, Makalah, Yogyakarta,
ISI, 9. 2Sukarman, “Mau di Bawa Kemana Seni Ukir Indonesia Dewasa Ini”, Sani, STSRI “ASRI”, Yogyakarta, 1970, 24. 3 Supono, Pr. , “Pameran Seni Rupa Dies Natalis STSRI “ASRI” XXIV, Selayang Pandang”, Sani, STSRI “ASRI”, Yogyakarta, 1973, 8. 4SP. Gustami, “Pekembangan Mutakhir Seni Kriya di Yogyakarta”, Sani, STSRI”ASRI”, 1984, 21. 5Sri Hastanto (Direktur Nilai Estetika), Katalog Pameran Kriya Seni, 2000, ISI Yogyakarta, 2. 6 I Made Bandem, Katalog Pameran Kriya Seni, 2000, ISI Yogyakarta, 3. 7Taufiq Ismail mengatakan pengagungan yang berlebihan terhadap bangsa Barat-termasuk memamah secara membuta-tuli segala sesuatu-teori, konsep, gaya hidup, mode, dari yang ilmiah sampai yang urakan-yang dating dari Barat, sebenarnya merupakan kompensasi dari rasa minderwaardig itu. Menagapa bangsa ini cenderung kagum secara berlebihan pada segala sesuatu yang dating dari Barat dibandingkan dengan yang dating dari budaya Timur? “Pencucian Citra SDM Warisan Kolonial, Peletakan Paradigma SDM Baru: Mungkinkah?”, Pidato Ilmiah, UNY, Yogyakarta, 2005, 8. 8Yasraf Amir Filang, Posrealitas, Jalasutra, Yogyakarta, 2004, 61. 9Plato (dalam Said Taufiq), mengatakan bahwa setiap kelas sosial dalam sebuah negara harus memegang profesionalitas fungsi kerja masing-masing. Karena semakin seseorang memegang profesinya kualitas produk yang dihasilkan akan selalu terjaga dan meningkat. Tidak boleh tumpang tindih kelas dan profesi, jika tidak ingin negara tersebut dilanda demogagisan dan prahara. “Tarik Ulur Estetika dan Etika”, Kinanah, Yogyakarta, LkiS, 6. 10Timbul Haryono, “Terminologi dan Perwujudan Seni Kriya Masa lalu dan Masa Kini sebuah Pendekatan Historis- Arkeologis”, Makalah, ISI, Yogyakarta, 2002, 1-2. 11Ibid 12Halim HD., “Perlu Dikembangkan Semangat Amatirisme dalam Kesenian”, Masa Kini, 26 Juni 1988, 6. 13Ahmad Sadili, “Seni Lukis Indonesia dalam Percaturan Lukis Dunia”, Sani,, STSRI “ASRI”, Yogyakarta, 1983, 8.. 15 J. Supangkat (dalam AN. Suyanto),”Kriya Seni Kreasi ISI Yogyakarta Sebagai Jawaban Masa Depan”, Pameran Kriya Seni, 2000, ISI Yogyakarta, 4.
Bahan Kuliah Kritik Seni/Seni Kerajinan UNY/Dosen I Ketut Sunarya, M.Sn./2008
76