75
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Realitas Ekosistem Terumbu Karang Berterumbu Buatan Ekosistem terumbu karang sangat berkaitan erat dengan kehidupan
masyarakat pesisir. Beragam jasa ekosistem yang dimanfaatkan secara berlebihan mengakibatkan degradasi yang terus terjadi. Dampak kerusakan karang bagi fungsi ekosistem ini khususnya di bidang perikanan dapat mengikuti teori umum interaksi antara habitat ikan dengan terumbu karang (Pet-Soede, 2000). Beberapa faktor yang memberi sumbangan terhadap komposisi komunitas ikan di terumbu karang semuanya berhubungan dengan struktir fisik dan kompleksitas terumbu karang itu sendiri. Adanya terumbu buatan pada lokasi penelitian yang merupakan habitat yang terdegradasi telah berhasil meningkatakan sistem alami dari ekosistem terumbu karang. Peningkatan terjadi melalui penambahan ruang dan substrat pada perairan sehingga memberikan kesempatan pada berbagai biota laut untuk melekat dan mencari perlindungan, atau denga kata lain meningkatkan jumlah habitat yang tersedia untuk kehidupan laut. Berdasarkan hasil pengamatan pada tahun 2009-2011 di setiap stasiun ditemukan jumlah spesies karang yang bervariasi. Pada lokasi Terumbu Buatan 1 (TB 1) jumlah spesies karang yang ditemukan pada pengamatan tahun 2009 sebanyak 33 spesies, pada tahun 2010 28 spesies, dan tahun 2011 sebanyak 24 spesies. Selanjutanya jumlah spesies yang ditemukan di lokasi Terumbu Buatan 2 (TB 2) tidak sebanyak pada TB 1 yaitu pada tahun 2009 hanya 11 spesies, pada tahun 2010 berkurang menjadi 7 spesies dan pada tahun 2011 ditemukan sebanyak 7 spesies. Pengamatan di lokasi Terumbu Alami (TA) pada tahun 2009 ditemukan sebanyak 7 spesies karang, pada tahun 2010 sebanyak 21 spesies karang dan pada tahun 2011 sebanyak 25 spesies. Secara keseluruhan yang paling banyak dijumpai pada ketiga lokasi adalah spesies dari genus Acropora. Beberapa hasil penelitian mencatat jenis-jenis karang yang mendominasi perairan Indonesia adalah dari genera Acropora, Montipora dan Porites dan mempunyai jumlah spesies yang cukup banyak. Sebagai contoh genus Acropora;
76
di Sumatera Barat terdapat 49 spesies, Laut Jawa ada 63 spesies, Sulawesi Selatan ada 75 spesies, dan Sulawesi Utara tercatat 63 spesies. Sedangkan jumlah total karang batu yang ditemukan di perairan Indonesia berjumlah 75 genera yang terdiri dari 350 spesies (Borel-Best et al., 1989; Kasim Moosa et al., 1996; Supriharyono, 2002). Indeks keragaman (H’) yang ditampilkan pada Tabel 9 menunjukan bahwa pada lokasi TB 1 walaupun terjadi penurunan nilai pada setiap tahun pengamatan namun lokasi ini masih tergolong sangat produktif karena kisaran nilai H’ > 1 . Pada lokasi TB 2 juga terjadi penurunan nilai H’ dimana pada tahun 2009 lokasi ini
masih
tergolong
produktif,
namun
pada
tahun
2010
dan
2011
digolongkan ”middle productive”. Hasil yang berbeda ditemukan pada lokasi TA. Walaupun pada tahun 2009 dan 2010 digolongkan middle productive namun pada tahun 2011 meningkat sehingga termasuk pada kategori sangat produktif berdasarkan kriteria yang ditentukan Stodart dan Johnson in Sutarna (1991). Tabel 9 Profil ekologi karang batu pada setiap stasiun Komponen Jumlah koloni H’ D E Keterangan : H’
:
Terumbu buatan 1 2009 2010 2011 57 58 51 1,44 1,36 1,28 0,04 0,05 0,07 0,95 0,94 0,93
Indeks keanekaragaman
D
Terumbu buatan 2 2009 2010 2011 24 22 31 0,93 0,57 0,59 0,15 0,39 0,43 0,89 0,68 0,22 :
Indeks dominansi
Terumbu alami 2009 2010 2011 30 22 50 0,73 0,57 1,29 0,23 0,39 0,07 0,86 0,68 0,92 E
:
Indeks kemerataan
Hasil pengamatan yang dilakukan di ketiga lokasi (Gambar 7) menunjukan bahwa persentase tutupan karang batu dan komponen yang lain menunjukan nilai yang berbeda pada setiap tahunnya. Penentuan kategori kondisi terumbu karang mengikuti Yap dan Gomes (1984) dimana untuk tutupan karang: (1) 0 – 24,9% dikategorikan buruk; (2) 25 – 49,9% dikategorikan sedang; (3) 50 – 74,9% dikategorikan baik; dan (4) 75 – 100% dikategorikan baik sekali. Nilai persentase tutupan karang hidup pada setiap stasiun mengalami perubahan sejak tahun 2009 sampai tahun 2011. Pada lokasi TB 1 persentase tutupan karang hidup berkisar pada 29.8% 47.4% sehingga termasuk pada kategori sedang dan lokasi TB 2 dengan kisaran persentase tutupan 51.8% - 62.5% dikategorikan baik. Lokasi TA yang merupakan stasiun yang tidak terdapat reef ball menunjukan penurunan persentase yang
77
cukup tinggi. Pada tahun 2009 stasiun ini masih termasuk pada kategori baik
sekali dengan tutupan 79.9%, namun pada tahun 2010 turun menjadi 62.5% dan dikategorikan baik bahkan pada tahun 2011 hanya tinggal 42.4% yaitu pada kategori sedang.
Gambar 7. Persentase tutupan karang pada tahun 2009 - 2011 Penurunan persentase tutupan karang juga terjadi pada tahun 2010 di lokasi TB 1 dan 2. Pada lokasi TB 1 penurunan yang terjadi cukup drastis yaitu dari 47.7% menjadi 29.8%, sedangkan pada lokasi TB 2 dari 58.9% turun menjadi 51.8%. Fenomena yang sama juga dilaporkan oleh Rembet (2012) dimana secara keseluruhan luasan tutupan karang hidup pada Pulau Putus-Putus pada tahun 2002 sebesar 63.20 Ha dan turun menjadi 49.9 Ha pada tahun 2011. Terumbu buatan reef ball yang ditempatkan di perairan Ratatotok sejak tahun 1999 telah menjadi substrat yang cukup baik bagi organisme karang dan ikan karang. Hasil pengamatan selama 3 tahun menunjukan trend yang berbeda terhadap persentase tutupan karang batu di lokasi TB 1 dan 2 dengan persentase di lokasi TA yang tidak ada reef ball. Pada Lokasi TB 1 persentase tutupan karang pada tahun 2009 sebesar 47,7%, turun menjadi 29,8% pada tahun 2010, namun meningkat lagi pada tahun 2011 menjadi 37,8%. Perubahan nilai persentase serupa juga terjadi di lokasi TB 2. Pada tahun 2009 persentase tutupan karangnya lebih tinggi dibanding lokasi TB 1 yaitu sebesar 58,9%, pada tahun 2010 turun menjadi 51,8% dan kembali naik bahkan persentasenya menjadi lebih tinggi dari tahun 2009 yaitu sebesar 62,5%.
78
Nilai persentase tutupan karang yang turun pada tahun 2010 merupakan salah satu dampak yang diakibatkan adanya fenomena pemutihan karang yang terjadi pada hampir seluruh perairan ini. Penyebab lain dapat berasal dari faktor penangkapan ikan dimana masih ada nelayan yang menggunakan bom dan racun. Akan tetapi walaupun tekanan cukup tinggi yang dialami terumbu karang di lokasi ini namun pada tahun 2011 persentase tutupan karangnya dapat kembali meningkat. Terumbu buatan reef ball yang ada pada lokasi TB 1 dan 2 telah berfungsi untuk membentuk habitat baru bagi penghuni terumbu seperti organisme karang, Gambar 12. Persentase tutupan karang batu di setiap stasiun pengamatan ikan karang, danpada invertebrata lainnya. tahun 2009 - 2011Lebih lanjut Clark and Edwards (1999) dalam penelitiannya menyatakan bahwa salah satu prioritas dari organisme laut adalah mencari tempat perlindungan yang aman dan terumbu buatan menyediakan itu sehingga karang batu sebagai komponen utama terumbu karang menjadi lebih baik dan restorasi ekosistem terumbu karang secara keseluruhan dapat terjadi. Pada Lokasi TA terlihat penurunan yang cukup signikan dari 2009 sampai 2011. Pada tahun 2009 persentase tutupan karang batu merupakan yang tertinggi dibanding dua stasiun lainnya yang memiliki reef ball. Namun pada tahun 2010 persentasenya turun menjadi 62,5% bahkan pada tahun 2011 menjadi 42,4%. Hal ini disebabkan karena tekanan cukup tinggi yang diterima oleh ekosistem terumbu karang di lokasi ini. Tekanan yang kurang lebih sama dengan yang diterima oleh ekosistem terumbu karang pada Lokasi TB 1 dan 2. Akan tetapi tanpa keberadaan
reef ball, terumbu karang alami yang ada tidak mampu recovery seperti pada Lokasi TB 1 dan 2. Penurunan tutupan karang hidup memberikan ruang bagi komponen lain seperti karang lunak, alga dan sponge sehingga tutupan komponen biotik tidak mengalami perubahan yang signifikan kecuali pada Lokasi TA pada tahun 2011. Hasil pengamatan menunjukan pada tahun 2011 tutupan biotik dan abiotik memiliki persentase yang hampir sama pada lokasi TA.
79
Tabel 10 Tutupan komponen biotik dan abiotik terumbu karang berdasarkan tahun pengamatan pada setiap stasiun Komponen 2009
Lokasi TB 1 2010 2011
BIOTIK Karang Batu 47.7 29.8 Karang Lunak 22.0 32.8 Sponge 0.0 0.2 Alga 2.0 6.5 Fauna lain 2.8 0.8 Total 80.8 70.1 ABIOTIK Karang mati 8.0 1.9 Pasir dan lainnya 11.2 28.0 Total 19.2 29.9 Sumber : Hasil pengamatan, 2011
2009
Lokasi TB 2 2010 2011
2009
Lokasi TA 2010 2011
37.8 22.2 1.0 11.7 0.0 72.7
58.9 19.0 1.6 3.6 0.0 83.1
51.8 2.0 1.1 11.6 0.0 66.5
62.5 4.8 1.0 8.0 0.6 76.9
79.9 1.0 0.2 6.8 0.0 87.9
62.5 0.0 3.9 11.4 1.6 79.4
42.4 0.0 6.3 1.6 0.6 50.9
2.9 24.4 27.3
2.2 14.7 16.9
5.6 27.9 33.5
16.2 6.9 23.1
0.4 11.7 12.1
2.2 18.4 20.6
15.9 33.2 49.1
Penurunan persentase tutupan karang batu pada lokasi TB 1 cukup signifikan pada tahun 2010 (47.7% pada tahun 2009 menjadi 29.8%) diikuti peningkatan tutupan karang lunak (22.0% pada tahun 2009 menjadi 32.8%) dan komponen abiotik (19.2% pada tahun 2009 menjadi 29.9%). Namun pada tahun 2011 kembali terjadi peningkatan persentase tutupan karang batu menjadi 37.8 % yang diikuti peningkatan persentase tutupan alga menjadi 11.7% dan karang lunak turun menjadi 22.2%. Fluktuasi tutupan komponen biotik dan abiotik pada Lokasi TB 1 disebabkan oleh posisinya yang terletak di bagian luar Teluk Buyat yang berhadapan dengan Laut Maluku sehingga sangat rentan menerima tekanan baik karena faktor alami maupun karena aktifitas manusia. Hewan karang
merupakan komponen dominan dalam terumbu karang
yang mengalami ancaman kerusakan akibat interaksi global dan lokal dari berbagai aspek yang menyebabkan degradasi karang (Hughes et al.. 2003). Beberapa penelitian menyebutkan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang meliputi sedimentasi (Meehan and Ostarnder 1997), toksin, polusi nutrien, perubahan suhu permukaan air laut (Sheppard and Obura 2005) Hasil pengamatan di lokasi penelitian terdapat karang yang mengalami pemutihan. Fenomena pemutihan karang merupakan faktor penyebab menurunnya tutupan karang secara drastis di Perairan Ratatotok. Hasil pengamatan yang dilaporkan Rembet (2012) menyatakan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun
80
terakhir di lokasi ini telah tejadi pemutihan karang dengan jumlah terbesar ditemukan pada tahun 2009 hingga 2010. Pemutihan karang sebagai salah satu penyebab degradasi karang yang disebabkan oleh kenaikan suhu permukaan juga terjadi di Wakatobi Indonesia dan Karibia pada tahun 1995, 1998 dan 2005 (IPCC 2007). Lebih lanjut hasil pengamatan di Lokasi TB 1 dan Lokasi TB 2 menunjukan pada tahun 2011 terjadi peningkatan persentase tutupan karang setelah pada tahun 2010 mengalami penurunan. Beberapa penelitian mengatakan bahwa hewan karang menunjukan kisaran yang cukap lebar dalam kapasitas kemampuannya untuk menghadapi faktor tekanan lingkungan dan pemulihan dari kerusakan, yang tergantung dari spesies, genotip, lokasi geografis, sejarah dan faktor lingkungan (Hoegh-Guldberg 1999; Brown et al.. 2002; Graham et al.. 2011). Terhadap organisme karang, reef ball telah menjadi substrat bagi pelekatan larva planula. Gula sebagai salah satu komponen bahan dalam konstruksi reef ball berfungsi supaya hasil cetakan tidak melekat pada alat cetak fiberglass sehingga menciptakan pori-pori pada dinding reef ball sehingga mempermudah pelekatan mikro alga dan larva planula. Jika planula yang ada di kolom air menemukan substrat yang cocok, planula itu akan segera melekatkan diri (Tomascik et al.. 1997). Larva planula akan melanjutkan ke tahap penempelan pada susbstrat yang kokoh, tidak ditumbuhi alga, arus cukup untuk adanya makanan, penetrasi cahaya cukup agar zooxanthellae bisa tumbuh, dan sedimentasi minimal (Timotius 2003). Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan beberapa spesies karang yang dominan ditemukan bertumbuh pada reef ball seperti Pocillopora damicornis,
Acropora formosa dan Stylophora pistilata (Gambar 8). Ketiga spesies tersebut merupakan karang bercabang. Laju pertumbuhan pada koloni-koloni karang dapat berbeda satu sama lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan spesies, umur koloni dan daerah suatu terumbu. Koloni yang muda dan kecil cenderung untuk tumbuh lebih cepat daripada koloni yang lebih tua, koloni-koloni yang besar dan bercabang-cabang atau karang yang seperti daun cenderung untuk tumbuh lebih cepat daripada karang masif (Nybakken, 1992).
81
Kecepatan tumbuh karang bercabang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan karang masif. Perbedaan kecepatan tumbuh karang bercabang dan karang masif diduga karena adanya perbedaan dalam besarnya rasio antara kerangka dan jaringan karang. Berat jenis karang Acropora 2% dari berat total, sedangkan jaringan Goniastrea hanya 0.5% (Suharsono, 1984).
Gambar 8. Jenis karang bercabang yang tumbuh pada reef ball Walaupun jenis karang bercabang nampak mendominasi reef ball, ada juga karang massif yang ditemukan bertumbuh pada substrat ini. Gambar 9 dibawah ini menunjukkan bahwa selain jenis Acropora: spesies Porites lobata,
Porites lutea dan Platygyra pini juga dapat berkoloni pada reef ball.
Gambar 9. Jenis karang masif yang tumbuh pada reef ball
82
5.2
Kontribusi Terumbu Buatan (Reef Ball) Terumbu buatan sering mempunyai kemampuan untuk membangun
komunitas ikan dan organisme benthic lainnya dengan kelimpahan dan keragaman yang sebanding bahkan lebih besar daripada terumbu alami yanga ada di dekatnya (Lincoln-Smith et al. 1994; Pondella et al. 2002; Perkol-Finkel and Benayahu, 2004.) Lebih lanjut Christopher (2001) menyatakan bahwa terumbu buatan reef
ball berhasil menjadi basis untuk pertumbuhan terumbu karang yang baru dengan ditemukannya reef ball dengan tingkat kolonisasi karang dan organisme lain yang cukup tinggi. Konstruksi terumbu buatan memiliki kegunaan yang berbeda pada tiap tempat. Contohnya di Amerika Serikat, terumbu buatan diperuntukkan bagi aktivitas rekreasi perikanan; di Jepang untuk meningkatkan keuntungan sektor perikanan dan di beberapa negara Eropa berfungsi untuk mengontrol penggunaan alat tangkap pukat di pesisir pantai dan untuk meningkatkan produksi ikan bagi komunitas nelayannya (Wilkinson 2008). Terumbu buatan reef ball yang ada di lokasi penelitian selain telah berperan sebagai substrat karang, juga telah berhasil menjadi habitat bagi ikan karang. Konstruksi reef ball yang sangat sesuai sebagai tempat berlindung dan mencari makan menjadikan banyak ikan yang hidup di tempat ini. Jumlah individu total pada masing-masing stasiun di lokasi penelitian dapat menggambarkan kualitas lingkungan perairan tersebut. Peningkatan jumlah spesies seringkali diikuti oleh peningkatan jumlah individu. Untuk Lokasi TB 1 memiliki jumlah individu dan jumlah spesies tertinggi, diikuti jumlah spesies dan individu di Lokasi TB 2 sedangkan yang terendah adalah Lokasi TA. Apabila dihubungkan dengan persentase tutupan terumbu karang yang telah dibahas sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan persentase penutupan akan diikuti oleh peningkatan jumlah spesies dan individu ikan karang, korelasi positif yang terjadi antara terumbu karang dan ikan karang dapat
83
diasumsikan juga apabila perbaikan lingkungan ditingkatkan maka akan meningkatkan produktivitas dari suatu perairan. Kontribusi reef ball sangat menunjang peningkatan kualitas ekosistem terumbu karang. Terjadinya tangkap lebih di perairan pantai merupakan masalah klasik terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir sejak lama (Pauly and Chua 1988). Masalah tersebut ternyata tidak dapat dikelola dengan penetapan dan pelaksanaan peraturan-peraturan saja. Berbagai alternatif usaha yang implentatif oleh stakeholder telah dilakukan karena meskipun pelaksanaan peraturan dan perundang-undangan merupakan suatu keharusan dalam proses pengelolaan sumberdaya perikanan, tetap dibutuhkan intervesi tindakan seperti perbaikan habitat. Terumbu buatan reef ball diharapkan memberi kontribusi bagi sebagian pemecahan masalah pemanfaatan sumberdaya pesisir. Pengembangan teknologi
reef ball di Perairan Ratatotok telah berhasil menjadi alternatif perbaikan habitat bagi ikan karang, bahkan pada ekosistem terumbu karang secara keseluruhan. 5.2.1 Jasa Ekosistem Terumbu Karang Berbasis Terumbu Buatan Terumbu karang dan berbagai biota asosiasi di perairan tropis menunjang kehidupan jutaan manusia yang bergantung pada sumberdaya ekosistem ini baik sebagai sumber makanan juga sumber pendapatan. Estimasi nilai ekonomi dari barang, jasa dan mata pencaharian
yang berasosiasi dengan terumbu karang
sekitar USD 30 milyar (Cesar et al. 2003). Jasa ekosistem yang terkait dengan terumbu karang lebih dari sekedar produksi pangan, karena mencakup manfaat yang luas mengenai barang dan jasa yang berguna bagi masyarakat pesisir dan membentuk kultur msyarakat pesisir yang spesifik. Sebagian besar masyarakat pesisir di daerah tropis memilik mata pencaharian yang terkait erat dengan dengan sumberdaya terumbu karang (Hicks 2011; Cinner et al. 2012). Matriks ecosystem service (Tabel 11) menjelaskan keterkaitan antara jasa ekosistem terumbu karang dengan bebearapa stakeholder yang saat ini berkegiatan pada ekosistem tersebut. Jasa ekosistem terumbu karang sebagai pelindung pantai dan penyedia sumberdaya ikan berkaitan erat dengan nelayan dan masyarakat
84
pesisir pada umumnya. Sedangkan wisatawan menganggap penting akan jasa pariwisata dan penyedia informasi. Dalam hal ini ekosistem terumbu karang dapat memberikan jasa informasi antara lain untuk montoring pencemaran serta merekam kondisi iklim yang telah terjadi (Moberg and Folke 1999). Bagi masyarakat pesisir, seluruh jasa dari ekosistem terumbu karang sangat penting bagi kelangsungan hidup mereka seperti yang dijelaskan oleh Whittingham et al. (2003). Tabel 11 Matriks jasa ekosistem pada penilaian social ecological system Jasa Ekosistem
Matriks Jasa Ekosistem Terumbu Karang
Pelindung pantai
Penyedia SD ikan
pariwisata
+ 0 +
+ 0 +
0 + +
Nelayan Wisatawan Masyarakat Sumber : Hasil analisis, 2013 Stakeholders
Jasa Informasi 0 + +
Pada matriks descriptors berikut ini (Tabel 12), stakeholder yaitu nelayan, wisatawan dan masyarakat umum mendeskripsikan karakteristik yang dapat diamati dari ekosistem terumbu karang. Karakteristik yang dapat diamati berkaitan dengan jasa ekosistem terumbu karang adalah (1) persentase tutupan karang; (2) Struktur terumbu karang; (3) kelimpahan ikan; (4) kehadiran biota asosiasi; (5) keindahan/keunikan. Tabel 12 Matriks descriptor pada penilaian social ecological system Matriks descriptors
persentase tutupan karang
Pelindung pantai Penyedia SD Jasa Ekosistem ikan pariwisata Jasa informasi Sumber : Hasil analisis, 2013
Stakeholder descriptor Struktur Kelimpahan biota terumbu ikan asosiasi karang
Keindahan/ keunikan
+
+
+
0
0
+
+
+
+
0
+ 0
0 +
+ +
+ 0
+ 0
Ecosystem properties yang dimaksudkan pada matrik berikut ini adalah struktur atau fungsi karakteristik dari ekosistem terumbu karang (Tabel 13). Matriks ini menghubungkan deskripsi biofisik dengan karakteristik spesifik dari ekosistem terumbu karang sebagai penyedia jasa. Tabel 13 Matriks ecosystem properties pada penilaian social ecological system Matrik Ecosystem Properties
Indeks Keragaman
Ecosystem Properties Indeks Kualitas Keragaman Perairan
Produksi ikan
85
karang %tutupan karang Struktur terumbu karang Stakeholder Deskriptors Kelimpahan ikan Biota asosiasi Keindahan Sumber : Hasil analisis, 2013
ikan
+
+
+
+
+
0
+
0
0
+
+
+
0 +
+
+ +
0 -
Matriks pemanfaatan kawasan berikut ini menghubungkan praktek pengelolaan kawasan terumbu karang terhadap karakteristik yang menjadi ciri dari ekosistem tersebut (Tabel 14). Pada matriks tersebut menunjukan bahwa kegiatan pemanfaatan terumbu karang bagi wisata baharai dan konservasi sangat erat kaitannya dengan kriteria kekhasan/keindahan, tutupan karang dan jenis ikan. Sedangkan kegiatan pemanfaatan untuk perikanan berkaitan erat dengan tutupan karang dan jumlah ikan. Tabel 14 Matriks pemanfaatan kawasan pada penilaian social ecological system Matriks Pemanfaatan kawasan Wisata bahari Perikanan Konservasi Sumber : Hasil analisis, 2013 Stakeholder Descriptors
Matriks functional
Kriteria Pemanfaatan Kekhasan/keindahan Tutupan karang Jenis ikan +
+
+
0 +
+ +
+ +
trait merupakan matriks yang terakhir yang
menghubungkan ciri fungsional dengan ecosystem properties (Tabel 15). Hubungan yang dijelaskan dalam matriks ini adalah korelasi langsung antara
ecosystem properties dengan manfaat yang diterima masyarakat. Functional trait atau ciri fungsi dari ekosistem terumbu karang dapat diartikan sebagai fungsi atau manfaat yang dapat diterima dan dilakukan oleh masyarakat dari ecosystem
properties. Unsur keragaman karang, keragaman ikan, kualitas perairan dan produksi ikan berhubungan erat dengan peningkatan pendapatan, upaya perbaikan lingkungan, keragaman usaha serta tingkat kesejahteraan. Tabel 15 Matriks functional trait pada penilaian social ecological system Matriks Functional trait Ecosystem Properties
Keragaman karang Keragaman ikan
Peningkatan pendapatan 0 +
Functional trait Upaya Keragaman perbaikan Usaha lingkungan + + + +
Tingkat Kesejahtera an + +
86
Kualitas perairan Produksi ikan Sumber : Hasil analisis, 2013
+ -
+ -
+ 0
+ +
Ekosistem terumbu karang dan asosiasinya dengan manusia yang cukup kompleks membuat masyarakat yang hidup di pesisir seringkali dikarakteristikan sebagai social-ecological systems (SESs) atau salah satu sistem antropogenik pada ekosistem yang didominasi oleh manusia (Shackeroff et al. 2009, Cinner and David 2011). Dari berbagai pustaka dapat disimpulkan bahwa socio-ecological
system dalah interaksi antara ekosistem sebagai penyedia jasa dengan manusia sebagai penerima jasa. Menurut Fisher et al. 2009, jasa ekosistem adalah fungsi dari interaksi kompleks antara spesies dan lingkungan abiotik yang mencakup penggunaan dan pola pemanfaatan, serta berbagai persepsi oleh penerima manfaat. Seperti halnya ekosistem terumbu karang di Perairan Ratatotok yang memiliki interaksi dengan masyarakat yang memanfaatkan jasa ekosistem ini sebagai sumber makanan dan mata pencaharian untuk kehidupan mereka. Matriks-matriks diatas hanyalah cara untuk mempelajari hubungan keterkaitan antara unsur-unsur jasa ekosistem, karakteristik, pemanfaatan kawasan dan pada akhirnya manfaat yang dapat diterima oleh masyarakat pesisir. Pada matriks terakhir jelas terlihat bahwa ecosystem properties berkaitan erat dengan functional trait dimana jika kualitas ekosistem terumbu karang dalam kondisi yang baik dapat meningkatkan pendapatan dengan meningkatnya kualitas dan kuantitas produksi ikan karang. Selain itu, kondisi ekosistem tersebut dapat berdampak pada upaya perbaikan lingkungan pesisir secara luas berkaitan dengan jasa ekosistem terumbu karang yang lain misalnya peranannya sebagai pelindung pantai. Faktor keragaman usaha juga dipengaruhi oleh kondisi ekosistem ini. Kondisi ekosistem terumbu karang yang baik dapat dimanfaatkan tidak saja untuk daerah penangkapan ikan, tapi juga bisa untuk kawasan wisata dan budidaya. Pada akhirnya semua faktor-faktor tadi akan bermuara pada tingkat kesejahteraan masyarakat yang meningkat apabila jasa ekosistem terumbu karang tersebut dimanfaatkan dengan optimal dan berkelanjutan
5.2.2 Kontribusi ekologis
87
Hubungan antara keanekaragaman hayati dan keragaman habitat telah menjadi pokok bahasan dari beberapa peneliti selama ini (Ault and Johnson 1998). Secara umum disimpulkan bahwa peningkatan keragaman habitat, baik karena kehadiran macrophyta, batu, pohon tumbang, vegetasi yang berfluktuasi maupun introduksi benda asing, adalah sangat penting untuk komunitas ikan, yang berfungsi sebagai feeding dan nursery ground (Petrere 1996). Penggunaan terumbu buatan umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat nelayan tradisional di Asia Tenggara. Struktur terumbu buatan yang diintroduksi ke lingkungan perairan memiliki banyak fungsi diantaranya meningkatkan hasil perikanan skala kecil (Seaman and Sprague 1991); meningkatkan kelimpahan spesies ikan karang (Wikham et al. 1993) serta mereduksi pengaruh dari dampak antropogenik dengan meningkatkan kompleksitas habitat (Loffler 1998). Terumbu buatan reef ball yang telah berada di Perairan Ratatotok selama kurang lebih 13 tahun telah memberikan kontribusi positif bagi perkembangan keanekaragaman biota-biota yang berasosiasi pada terumbu karang. Selain kontribusi bioekologi tersebut, terumbu buatan di lokasi ini juga telah memberikan manfaat bagi aspek sosial ekonomi masyarakat pesisir khususnya mereka yang berkegiatan dan memanfaatkan terumbu karang sebagai sumber pendapatan. Berdasarkan hasil pengamatan selama 3 tahun berturut yaitu sejak 20092011 diperoleh jumlah individu ikan karang pada lokasi TB 1 adalah 7033 ekor, pada lokasi TB 2 terdapat 4989 ekor dan pada lokasi TA hanya 2453 ekor. Jumlah tersebut merupakan total jumlah ikan target, ikan mayor dan ikan indikator. Sedangkan jumlah spesies rata-rata yang ditemukan selama 3 tahun pengamatan pada lokasi TB 1 sebanyak 116 spesies; lokasi TB 2 sebanyak 112 spesies; dan lokasi TA sebanyak 88 spesies. Dengan ANOVA diketahui bahwa nilai total individu ikan karang berbeda nyata pada stasiun dengan terumbu buatan dengan stasiun terumbu alami. Hal ini menunjukkan bahwa memang terdapat kontribusi positif dari keberadaan terumbu buatan berdasarkan pada kelimpahan ikan karang yang ditemukan pada lokasi tersebut. (Tabel 16). Tabel 16 Hasil ANOVA jumlah individu antara stasiun dan tahun pengamatan Source of Variation Tahun Stasiun Error
SS 4304.222 683061.6 22896.44
df 2 2 4
MS 2152.111 341530.8 5724.111
F 0.375973 59.66529
P-value 0.708561 0.001052
F crit 6.944272 6.944272
88
Total 710262.2 Sumber : Hasil analisis, 2013
8
Habitat yang kompleks merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi ikan-ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang. Semakin heterogen suatu habitat umumnya memiliki keanekaragaman spesies dan kelimpahan ikan yang semakin tinggi juga (Adams 2005). Hal ini nyata pada lokasi penelitian dimana pada lokasi TB 1 dan 2 yang merupakan perpaduan terumbu karang alami dan terumbu buatan memiliki kekeayaan spesies dan jumlah individu yang lebih tinggi dibanding lokasi TA yang merupakan terumbu karang alami saja. Perbandingan jumlah spesies dan jumlah individu untuk setiap kelompok ikan (target, mayor, indikator) pada ketiga stasiun ditampilkan pada Gambar 10 berikut ini. Terumbu Alami Terumbu buatan 2 Terumbu buatan 1
Gambar 10. Jumlah spesies ikan karang pada tahun 2009 - 2011 Keanekaragaman spesies dan kelimpahan ikan karang pada lokasi TB 1 dan 2 yang lebih tinggi daripada lokasi TA menunjukan adanya kontribusi ekologis dari terumbu buatan terhadap ekosistem terumbu karang yang ada di Perairan Ratatotok. Kontribusi terumbu buatan dalam hal ini adalah selisih antara komposisi ikan karang pada terumbu buatan dan terumbu alami yaitu rata-rata sebesar 26 spesies dan 1186 individu yang mencakup ketiga kelompok ikan karang yaitu ikan target, ikan mayor dan ikan indikator pada setiap tahunnya.
89
Terumbu alami Terumbu buatan 2 Terumbu buatan 2
Gambar 11. Jumlah individu ikan karang pada tahun 2009-2011 Hasil pengamatan menunjukan beberapa famili ikan karang tampak signifikan jumlahnya pada lokasi TB 1 dan 2. Ikan-ikan tersebut paling banyak dari famili Pomachentridae, Lutjanidae, Acanthuridae dan Caesionidae. Hal ini secara umum disebabkan oleh habitat dan ketersediaan makanan (Adams 2005). Chaetodontidae (Butterflyfishes atau ikan kupu-kupu) mungkin merupakan family ikan karang yang paling sering diamati di Indo-Pacific sampai saat ini (Kulbicki and Bozec 2005). Studi mengenai ikan ini berkisar dari aspek biologi (Findley and Findley 1989; Lewis 1998), aspek ekologi (Cadoret et al.. 1999) bahkan aspek biogeogafis (Findley and Findley 2001). Ikan ini juga digunakan untuk memantau status ekologi terumbu karang (Crosby and Reese 1996; Samways 2005). Hasil pengambilan data kondisi ikan karang di Lokasi TB 1, khususnya kelompok spesies indikator (Famili Chaetodontidae), terdiri dari 103 individu dari 14 spesies, dan 4 genera.
Hasil pengamatan berdasarkan jumlah spesies dan
individu per tahun, mulai dari tahun 2009 sampai dengan 2011 mengalami penurunan. Untuk jumlah spesies tahun 2009 menunjukkan angka 14 spesies, kemudian menurunan pada tahun 2010 menjadi 13 spesies dan 12 spesies pada tahun 2011. Dilihat dari komposisi spesies, spesies indikator yang ditemukan didominasi oleh spesies Chaetodon kleinii. Keadaan
ini menunjukkan bahwa
spesies tersebut memiliki relung ekologi yang luas dan tidak terpengaruh dengan
90
perubahan-perubahan komposisi habitat (kondisi terumbu karang). Penurunan jumlah spesies pada lokasi ini tidak memperllihatkan angka yang signifikan. Faktor yang mempengaruhi penurunan angka ini diduga adalah ruaya ikan yang terjadi pada musim-musim tertentu sehingga pada waktu pengamatan beberapa jenis tidak ditemukan. Kelompok spesies target yang ditemukan pada pengamatan terdiri dari 896 individu dari 53 spesies, 20 genera, dan 11 famili.
Berdasarkan komposisi,
distribusi dan kelimpahan spesies ditemukan beberapa spesies dari famili tertentu, merupakan spesies yang dominan, yaitu: Acanthuridae (11 spesies), dan Scaridae (8 spesies). Hasil pengamatan menunjukan bahwa beberapa spesies memiliki preferensi habitat yang luas dan kelimpahan yang tinggi, seperti Zanclus cornutus dan Zebrasoma scopas. Untuk Famili Haemulidae hanya ditemukan pada beberapa titik pengamatan. Kondisi yang diperoleh pada ikan karang (baik spesies indikator maupun spesies target) mengikuti kondisi yang diperoleh pada karang batu. Seperti diketahui bahwa kondisi secara umum terumbu karang (persentase tutupan, keanekaragaman, maupun jumlah koloni karang batu) di lokasi TB 1 menunjukkan kondisi perairan yang baik. Pengamatan terhadap jumlah spesies dan individu pada tiga tahun yang berbeda (2009, 2010 dan 2011) dilakukan untuk melihat trend pada ikan karang. Untuk jumlah spesies pada tahun 2009 dan 2010 tidak mengalami perubahan yaitu 56 spesies, sedangkan pada tahun 2011 hasil pengamatan menujukkan angka 53 spesies. Beberapa spesies ikan karang yang tidak ditemukan tahun 2011 kebanyakan berasal dari famili Siganidae dan Acanthuridae. Jenis-jenis ikan ini memang adalah ikan target yang mempunai nilai ekonomis tinggi karena itu sering dijadikan konsumsi nelayan ataupun dijual ke pasar terdekat. Jumlah individu ikan target pada saat pengamatan sebanyak 896 individu, angka ini meningkat dari tahun 2010 yang hanya menunjukkan angka 873, akan tetapi pada tahun 2008 jumlah individu ikan karang yang ditemukan bisa mencapai 965. Fluktuasi yang terjadi pada jumlah ikan karang yang menjadi target nelayan
91
diduga diakibatkan oleh perbedaan musim pada saat pengamatan dan pemanfaatan yang berlebihan oleh nelayan setempat. Penurunan jumlah individu ini tidak hanya terlihat pada spesies indikator akan tetapi pada jumlah individu total. Pada tahun 2009 terdapat 867, menurun pada tahun 2010 (836), dan tahun 2011 menjadi 750 individu. Sedangkan untuk jumlah spesies total stasiun ini pada tahun 2009 terdapat 89 spesies, meningkat pada tahun 2010 menjadi 90 spesies, dan menurun menjadi 85 spesies pada tahun 2011. Penurunan jumlah individu ini diduga akibat menurunnya kualitas terumbu karang daerah ini, tidak seperti stasiun sebelumnya yang didukung oleh terumbu karang buatan yang berfungsi sebagai spawning ground, nursery ground, dan
feeding ground bagi ikan karang yang berada disana. Selain itu penangkapan ikan target yang berlebihan terindikasi pada stasiun ini, bekas jaring dan alat tangkap lain banyak ditemukan ditempat ini. 5.2.3 Kontribusi ekonomi Paradigma baru pengelolaan wilayah pesisir dan laut mengacu dengan konsep
pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
development)
yang
menitikberatkan pada keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan dan sumberdaya alam (Adrianto 2006). Lebih lanjut dikatakan bahwa konsekuensi dari paradigma ini adalah dinamika ekosistem harus dimasukkan ke dalam pertimbangan pengelolaan termasuk pentingnya mengetahui nilai ekonomi sumberdaya sebagai salah satu input kebijakan. Manfaat langsung dari terumbu buatan dapat mencakup manfaat extractive seperti penangkapan ikan dan marikultur serta manfaat ‘non-extractive’ seperti kegiatan menyelam (Whitmarsh et al. 2008). Kontribusi ekonomi terumbu buatan dapat diestimasi pada manfaat langsung yang berdasarkan pada hasil tangkapan ikan karang yang mepunyai nilai pasar (market base) pada ekosistem terumbu karang secara keseluruhan. Penilaian ekonomi potensi ikan karang di lokasi penelitian menggunakan pendekatan Effect on Production (EoP). Pendekatan ini dilakukan untuk mengetahui nilai ekosistem terumbu karang berdasarkan fungsinya terhadap produktivitas perikanan karang. Analisis permintaan digunakan untuk pendugaan nilai ekonomi ikan karang didekati melalui konsumen surplus yang terkait dengan perubahan
92
sumberdaya yang diminta. Pendugaan fungsi permintaan dari perikanan karang untuk menilai manfaat langsung dalam penelitian ini mengikuti jumlah tangkapan (Q) yang merupakan variabel terkait yang dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas. Surplus konsumen merupakan selisih antara harga yang dibayarkan untuk mendapatkan barang atau jasa dari rata-rata jumlah sumberdaya ikan karang yang diminta dikalikan dengan harga per unit sumberdaya yang dikonsumsikan. Berdasarkan hasil analisis regresi di peroleh persamaan: lnQ = 0,415 – 0,998x1 + 0.985x2 – 0,021x3 Analisis kemudian dilanjutkan dengan kalkulasi menggunakan software Maple 9,5 diperoleh nilai surplus konsumen sebesar: CS = 281.757.162 Surplus konsumen ini merupakan selisih antara harga yang dibayarkan untuk mendapatkan barang atau jasa (willingness to pay) dari rata-rata jumlah sumberdaya ikan karang yang diminta dikalikan dengan harga per unit sumberdaya yang dikonsumsikan. Pendugaan nilai ekonomi sumberdaya atau valuasi ekonomi adalah upaya untuk menilai manfaat dan biaya dari sumberdaya lingkungan. Valuasi ekonomi sumberdaya perikanan karang bertujuan untuk menilai pemanfaatan ikan karang secara berkelanjutan melalui pendugaan nilai ekonomi total. Nilai Ekonomi Total (NET) merupakan instrumen yang dianggap tepat untuk menghitung nilai tangkapan ikan karang di areal terumbu karang sebagai akibat dari pemanfaatan sumberdaya perikanan karang.
93
Gambar 12. Kurva permintaan konsumen terhadap ekosistem terumbu karang
Pada gambar 12 diatas merupakan hasil tangkapan dan Q adalah variabel rata-rata timbangan per kg. Semakin besar jumlah hasil tangkapan maka semakin besar pula harga rata-rata timbangan. Estimasi nilai suplus konsumen sebesar Rp.281.757.162 Dengan demikian maka Nilai Ekonomi Total dari manfaat langsung penggunaan sumberdaya ikan karang di lokasi penelitian adalah sebesar Rp. 394.460.026/Ha/Thn. Untuk mengestimasi kontribusi ekonomi terumbu buatan dihitung dengan pendekatan jumlah kelimpahan ikan target yang ditemukan di lokasi penelitian. Jumlah total individu ikan target yang ditemukan tahun
2011 pada 3 lokasi
pengamatan adalah 1550 individu/250 m2 atau 6200 individu/Ha dengan persentase terbesar ada pada Lokasi TB 1 yaitu 57,8%; Lokasi TB 28,13% dan Lokasi TA 14,06%.
Jika persentase pada Lokasi TB 1 dan 2 diasumsikan
merupakan nilai total dari ikan karang pada terumbu buatan dan terumbu alami maka nilai tersebut dikurangkan dengan nilai persentase Lokasi TA yang merupakan terumbu alami sehingga diperoleh nilai persentase pada terumbu
94
buatan saja. Hasil perhitungan tersebut diperoleh nilai persentase kelimpahan ikan target terumbu buatan pada Lokasi TB 1 sebesar 43,74% dan Lokasi TB 2 sebesar 14.07% dengan jumlah 57.81%. Apabila persentase tersebut dikalikan dengan Nilai Ekonomi Total maka estimasi nilai ekonomi terumbu buatan dengan pendekatan
manfaat
langsung
pemanfaatan
ikan
karang
sebesar
Rp.228.037.341/Ha/Thn. Jenis ikan karang yang umumnya ditangkap oleh nelayan adalah ikan kerapu (Ephinepelus sp), tariasan (Lethrinus sp), saumang (Caesionidae), kakap (Lutjanidae) dan biji nangka (Mulidae). Berdasarkan tipologi nilai ekonomi total ekosistem terumbu karang, ekosistem ini mempunyai nilai manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat langsung yang dapat dinilai dari keberadaan ekosistem terumbu karang adalah perikanan karang. Sedangkan manfaat tidak langsung terdiri dari fungsi biologis yaitu sebagai tempat pemijahan, pembesaran dan mencari makan bagi ikan-ikan karang serta fungsi fisik seperti penahan gelombang. Terumbu karang dikategorikan sebagai sumberdaya yang memiliki nilai konservasi yang tinggi karena memiliki keanekaragaman biologis dan nilai estetika yang tinggi serta menyediakan cadangan sumber plasma nutfah (Dahuri 2003). Konservasi tidak bisa diartikan bahwa suatu kawasan terlarang untuk dimanfaatkan, melainkan dapat diterapkan suatu pola pengelolaan sehingga masyarakat tetap mendapatkan manfaat yang bernilai ekonomis sekaligus tetap menjaga kondisi kualitas ekosistem tersebut.
5.3
Analisis Potensi Pemanfaatan Kawasan untuk Minawisata Bahari
5.3.1 Pemanfaatan Kawasan untuk Wisata Bahari
5.3.1.1 Scenic Beauty Estimation (SBE) Penilaian visual terhadap kualitas objek wisata bahari oleh responden direpresentasikan melalui skor untuk masing-masing objek foto. Nilai rata-rata yang diperoleh melalui kuisioner ini kemudian dianalisis dengan menggunakan metode Scenic Beauty Estimation (SBE). Pada penelitian ini digunakan 24 objek foto dari 3 lokasi yang berbeda yang diambil dari Lokasi TB 1, Lokasi TB 2 dan Lokasi TA.
95
Lokasi TB 1 terdapat satu objek foto yang memiliki nilai SBE tertinggi yaitu pada foto 3 (185.44), dan terendah adalah pada foto 1 (0.23). Nilai tertinggi berarti pada lokasi objek ini daya tarik responden sangat besar dibandingkan yang lain. Dilihat dari kategori dan sebaran pada Stasiun 1 terdapat 17 objek kategori rendah, 6 objek kategori sedang, dan 1objek yang dikategorikan tinggi.
Gambar 13 Nilai SBE Lokasi TB 1 Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan pada Lokasi TB 2, maka nilai SBE tertinggi terlihat pada foto 4 (36.92) , dan terendah pada foto 9 (1.14). Dari sebaran nilai SBE pada Lokasi TB 2; 18 objek dikategorikan tinggi, 20 objek termasuk pada kategori sedang dan 18 objek berada pada kategori rendah.
Gambar 14. Nilai SBE Lokasi TB 2
96
Hasil analisis nilai SBE pada Lokasi TA menunjukan nilai tertinggi ada pada foto 11 dengan nilai 6,15 dan terendah pada foto 19 dengan nilai 0,16. Dari sebaran nilai SBE, pada stasiun ini tidak ada objek foto yang termasuk pada kategori tinggi, hanya ada 6 objek yang berada pada kategori sedang dan 18 objek berada pada kategori rendah.
Gambar 15 Nilai SBE Stasiun Kontrol Responden cenderung
memberi nilai yang tinggi apabila suatu objek
terdapat keunikan tersendiri, sebagai contoh beberapa lokasi yang memiliki Blue
Coral cenderung memiliki nilai yang tinggi, atau ada pula hal lain yang menarik seperti terumbu buatan reef ball yang sudah dipenuhi karang, ataupun lokasi yang memiliki banyak ikan. Nilai visual objek wisata bahari/SBE pada lokasi tertentu kurang representatif untuk menjadi indikator popularitas suatu lokasi. Namun visual objek wisata bahari/SBE dapat dijadikan
acuan untuk wisatawan
melakukan aktivitas baik itu snorkeling ataupun diving. Pada Gambar 16 berikut ini ditampilkan rata-rata sebaran nilai SBE pada ketiga stasiun pengamatan. Tampak jelas bahwa nilai terendah ada pada Lokasi TA yang tidak terdapat terumbu buatan. Hal ini dapat disebabkan oleh tampilan visual dari objek-objek foto pada lokasi tersebut dianggap tidak menarik atau kuran indah dibandingkan dengan objek-objek yang ada pada Lokasi TB 1 dan 2.
97
Gambar 16. Sebaran Nilai SBE pada 3 Lokasi 5.3.1.2
n Kawasan Wisata Bahari Analisis Kesesuaia Kesesuaian Seperti halnya pada lahan pertanian atau lapangan golf, terumbu buatan
juga adalah suatu bentuk dari suatu kawasan yang dimodifikasi yang mampu mendukung kehidupan organisme laut yang selama ini dianggap hanya mampu hidup pada kondisi yang natural (Lawton and Weaver 2001). Terumbu buatan yang ‘menarik’ bagi spesies laut, dengan sendirinya juga menjadi menarik bagi wisatawan yang mencari pengalaman wisata berbasiskan kealamiahan. Hal itu menjadikan fenomena akitivitas wisata bahari meningkat dengan pesat (Orams 1999). Penilaian kesesuaian kawasan untuk pengembangan wisata bahari dalam dalam hal ini mencakup 3 kegiatan yaitu selam, snorkling dan wisata memancing, dilakukan pada daerah terumbu karang pada kedalaman sampai dengan 10 m. Dari hasil analisis yang dilakukan pada dua stasiun yang terdapat terumbu buatan, diperoleh hasil bahwa kedua lokasi itu berada pada kategori sesuai (Tabel 17). Tabel 17. Hasil Analisis Kesesuaian Wisata Bahari No Lokasi Indeks Kesesuaian
Kelas Kesesuaian
1.
Terumbu buatan 1
96
Sangat sesuai
2.
Terumbu Buatan 2
97
Sangat Sesuai
3.
Terumbu Alami
64
Sesuai Bersyarat
98
Beberapa parameter penting sering dijadikan kriteria dalam menilai suatu kawasan untuk dijadikan kawasan wisata selam, parameter itu antara lain kecerahan, tutupan karang, jenis lifeform, jenis ikan karang, kecepatan arus dan kedalaman perairan. Wisata selam sangat terkait dengan keberadaan ekosistem terumbu karang sebagai objek penyelaman yang menyediakan keindahan organisme laut dan pengalaman baru yang menantang (Lynch et al. 2004). Arifin
et al. (2002) menyatakan bahwa kecepatan arus yang relatif lemah merupakan syarat ideal untuk wisata diving karena ini berkaitan dengan kenyamanan dan keselamatan wisatawan, kecepatan arus yang baik pada lokasi penyelaman adalah 0-17cm/det. Selain itu kedalaman merupakan faktor yang harus diperhitungkan dalam mengembangkan kegiatan wisata selam, karena hal ini berhubungan dengan penetrasi cahaya dan suhu perairan yang tentu saja berhubungan dengan keselamatan penyelam. Sedangkan untuk kegiatan snorkling, kedalaman perairan yang cocok yaitu 3-6 meter karena apabila kurang dari 3 meter maka akan mengancam terumbu karang karena diinjak pada waktu berdiri (Plathong et al. 2000). Kondisi terumbu karang yang menjadi objek utama dalam kegiatan wisata selam dan snorkling pada lokasi penelitian dikategorikan sesuai untuk dijadikan kawasan wisata. Persentase tutupan komponen biotik terumbu karang pada Lokasi TB 1 sebesar 72,7% dan pada Lokasi TB 2 sebesar 76,9% menunjang pengembangan kawasan ini untuk dijadikan kawasan wisata bahari karena semua komponen yang berhubungan dengan karang sangan berpengaruh pada tingkat kepuasan wisatawan atau penyelam (Shaffer and Inglis 2000). Jenis lifeform karang juga penting dalam kegiatan wisata bahari. Seperti menurut Plathong et al. (2000) bahwa dalam wisata bahari, jenis lifeform merupakan variasi yang dapat dinikmati dibawah laut sehingga penting untuk mengetahui karakteristik terumbu karang pada setiap lokasi karena setiap lifeform memiliki daya tarik yang berbeda. Pada kajian kesesuaian kawasan terumbu karang yang terdapat terumbu buatan, karakteristik dari terumbu buatan tersebut juga menjadi parameter penilaian. Seperti halnya paramater nilai historis dari terumbu buatan menurut Stolk et al. (2007) merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap
99
pemanfaatan wisata. Yang dimaksud dengan nilai historis terumbu buatan adalah sejarah atau faktor yang mempengaruhi keberadaan terumbu buatan di lokasi tersebut; misalnya kapal yang tenggelam. Nilai historis tersebut dibagi pada 3 kelompok yaitu (1) skala nasional dan intenasional; (2) skala daerah; (3) biasa saja. Nilai historis terumbu buatan pada lokasi penelitian termasuk pada kelompok yang kedua yaitu pada skala daerah, dimana peletakkan terumbu buatan (reef ball) di Perairan Ratatotok oleh pihak swasta yang bertujuan untuk menciptakan fishing
ground alternatif merupakan program terumbu buatan yang pertama di derah Sulawesi Utara. Olehnya setelah kegiatan tersebut mulai bermunculan program bahkan inovasi dalam upaya rehabilitasi terumbu karang dengan peletakkan terumbu buatan. Selain parameter nilai historis, karakteristik terumbu buatan yang menjadi parameter kesesuaian adalah struktur atau desain dari terumbu buatan tersebut. Terumbu buatan yang terdiri dari beragam bentuk, jenis, ukuran serta material yang dibuat menurut peruntukkannya; ternyata tidak semua dapat dimanfaatkan sebagai kawasan wisata. Hal ini berhubungan erat dengan faktor keselamatan penyelam. Negara-negara di Eropa yang juga mengembangkan terumbu buatan sebagai kawasan wisata selam membutuhkan proses tertentu untuk menetapkan suatu kawasan terumbu buatan sebagai kawasan wisata atau diving point sesuai ketentuan yang diatur oleh OSPAR COMMISION (Fabi et al. 2011). Untuk terumbu buatan jenis reef ball seperti pada lokasi penelitian termasuk pada kategori sesuai bersyarat. Hal ini karena walaupun dari segi bahan dan strukturnya tidak membahayakan keselamatan penyelam; namun posisi reef ball yang tidak terpola menyebabkan objek tersebut kuran sesuai dari segi keindahan. Hasil analisis menunjukan bahwa Lokasi TB 1 dan 2 sesuai untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata. Akan tetapi untuk kegiatan snorkling direkomendasikan pada lokasi TB 1 karena hamparan terumbu karang lebih lebar dan sebagian terumbu buatan dapat dijumpai pada kedalaman sekitar 5 meter. Sedangkan untuk wisata pancing direkomendasikan pada Lokasi TB 2 karena topografi lokasi yang lebih dalam dan daerah ini lebih terlindung dari gelombang dan angin.
100
Gambar 17. Peta kesesuaian kawasan untuk wisata bahari
101
5.3.2 Analisis Kesesuaian Kawasan untuk Perikanan Karang (Skala kecil) Kawasan ekosistem terumbu karang yang di dalamnya terdapat terumbu buatan juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan khususnya perikanan tangkap skala kecil. Beberapa hasil studi menyatakan bahwa terumbu buatan yang ditempatkan pada area dengan tingkat kompleksitas rendah dan tutupan karang yang kecil dapat menghasilkan kelimpahan dan biomasa ikan karang yang sangat tinggi (Edwards and Clark 1993, Ferse 2008). Terumbu buatan memang biasanya ditempatkan pada daerah yang produktivitasnya rendah seperti pada terumbu karang yang telah mengalami degradasi yang kemudian berhasil menjadi habitat ikan dan organisme lain seperti udang, moluska, tripang dan lain sebagainya. Hasil analisis kesesuaian kawasan menunjukan bahwa kawasan terumbu karang di Perairan Ratatotok sesuai untuk dijadikan daerah penangkapan ikan karang skala kecil. Matriks hasil analisis kesesuaian kawasan untuk kegiatan penangkapan ikan karang ditampilkan pada Tabel 18. Tabel 18. Hasil Analisis Kesesuaian Daerah Tangkapan Ikan Skala Kecil No Lokasi IK KK 1.
Terumbu buatan 1
60
Sangat sesuai
2.
Terumbu buatan 2
55
Sangat sesuai
3.
Terumbu alami
43
Sesuai bersyarat
Adapun hal yang penting untuk diperhatikan dalam kegiatan penangkapan ikan di kawasan terumbu karang adalah teknologi penangkapan ikan yang harus ramah lingkungan. Arimoto (1999) menyatakan bahwa teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan adalah suatu alat tangkap yang sedikit mungkin berdampak negative terhadap lingkungan. Dampak tersebut dapat berupa kerusakan dasar perairan (benthic disturbance), berkontribusi terhadap polusi, hilangnya alat tangkap, mengurangi biodiversitas, serta tertangkapnya biota by catch dan ikanikan muda. Parameter utama dalam kajian kesesuaian kawasan untuk perikanan karang skala kecil adalah kelimpahan ikan target. Seaman (2000) menyatakan bahwa jumlah kelimpahan ikan target pada kawasan terumbu buatan haruslah lebih dari kriteria standar yang selama ini digunakan. Mengacu pada hasil pengamatan mengenai kelimpahan ikan target pada kawasan terumbu buatan di lokasi
102
penelitian maka kelimpahan ikan target yang dikategorikan sesuai dengan jumlah > 600 ekor, kategori sesuai bersyarat 300-600 ekor, dan kategori tidak sesuai jika <300 ekor. Parameter lain yang tidak kalah penting dalam kriteria kesesuaian kawasan perikanan adalah jarak dari dermaga/pelabuhan. Parameter ini penting mengingat pada aktivitas perikanan skala kecil, nelayan jarang sekali memiliki perlengkapan
cool box untuk mempertahankan tingkat kesegaran ikan. Oleh sebab itu diupayakan agar hasil tangkapan dapat segera didaratkan sebelum kualitasnya menurun. Jarak yang paling sesuai antara dermaga/pelabuhan dengan fishing
ground adalah 9-18km (Matthews et al. 1996).
103
Gambar 18. Peta kesesuaian kawasan untuk daerah tangkapan ikan skala kecil
104
105
5.4
Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Berterumbu Buatan
5.4.1 Kajian Prioritas Pemanfaatan Penentuan
prioritas
pemanfaatan
kawasan
di
lokasi
penelitian
menggunakan analisis Multi Criteria Decision Making (MCDM). Analisis ini melakukan pembobotan yang menjadi nilai kriteria yang paling mempengaruhi dalam pemilihan kriteria. Nilai bobot dari masing-masing kriteria dan sub kriteria merupakan input nilai berdasarkan hasil penyebaran kuesioner pada pihak yang berkompeten dalam penentuan kebijakan dan pengelolaan sumber daya pesisir dalam hal ini ekosistem terumbu karang berbasis terumbu buatan. Responden meliputi masyarakat setempat, instansi pemerintah, perguruan tinggi, LSM dan lainnya yang berhubungan dengan penggunaan sumber daya ekosistem terumbu karang.
Gambar 19. Value tree prioritas pemanfaatan kawasan Hasil
pembobotan
kriteria
dan
sub-kriteria
pada
pengembangan
pemanfaatan lahan lokasi penelitian, maka kriteria ekologi memiliki lebih tinggi dibanding kriteria sosial ekonomi. Nilainya adalah 0,600 (kriteria ekologi) dan 0,400 (kriteria sosial ekonomi). Hal ini menyatakan bahwa kriteria ekologi merupakan yang paling penting atau setidaknya lebih penting dibanding kriteria lainnya. Kriteria ekologi yang terdiri dari beberapa sub-kriteria seperti tutupan karang dimana kawasan yang ada dalam lokasi penelitian sekarang ini secara umum dimanfaatan oleh nelayan tradisional untuk menangkap ikan dan kadang
106
kala dimanfaatkan sebagai diving spot dalam aktivitas wisata bahari. Masyarakat yang ada juga turut menjaga kelestarian kondisi perairan dari hal-hal yang bersifat merusak seperti penggunaan bom untuk menangkap ikan, pencemaran, ataupun penggunaan terumbu karang untuk kebutuhan masyarakat setempat. Sub kriteria kelimpahan ikan juga menunjukan bahwa ekosistem yang ada di lokasi penetian khususnya ekosistem terumbu karang sedang dalam kondisi baik. Hal ini dapat ditunjukkan oleh jumlah spesies dan individu ikan karang yang yang lebih banyak dan terus bertambah pada tiga tahun pengamatan dibandingkan pada lokasi yang tidak diletakan reef ball. Jadi walaupun terumbu karangnya ada yang rusak, setelah penempatan reef ball, maka terjadi suatu rekondisi atau pemulihan terumbu karang dengan makin banyaknya ikan-ikan karang yang hidup di lokasi itu. Sub-kriteria potensi kualitas lingkungan juga menunjukan hal yang positif dalam arti bahwa dengan adanya penempatan reef ball atau terumbu buatan, membuat lokasi tersebut mengalami recovery dengan datang berkumpulnya ikanikan yang sebelumnya jumlahnya sedikit. Bertambahnya jumlah ikan ini juga diiringi dengan tumbuhnya juga terumbu karang yang baru pada lokasi-lokasi sekitar terumbu karang yang sebelumnya sudah rusak.
Hal ini menambah
keyakinan peneliti bahwa dampak terumbu buatan ini sangat positif terhadap perbaikan lingkungan yang sebelumnya berada pada kondisi yang kurang baik menjadi baik. Sub-kriteria potensi pengembangan menyatakan bahwa dari sisi ekologi
memang
sangat
potensial
untuk
dikembangkan
lokasi-lokasi
pertumbuhan/perkembangan terumbu karang baik pada lokasi yang kondisinya kurang baik atau rusak maupun kondisi yang masih baik dengan mempertahankan kondisi tersebut. Hal ini dapat terlaksana bila kita memahami pentingnya fungsi dari terumbu buatan dan fungsi dari ekosistem terumbu karang. Kriteria sosial ekonomi yang terdiri dari sub-kriteria keterlibatan stakeholders, dimana hal ini sekarang sudah mendapat apresiasi dari seluruh masyarakat Basaan 1 bahkan desa sekitarnya juga turut terlibat dalam hal menjaga kondisi ekosistem terumbu karang di Perairan Ratatotok. Sub-kriteria persepsi masyarakat masih menunjukkan bahwa perairan masih menjadi area tangkapan bersama (perikanan tangkap skala kecil), walaupun sebagian juga sudah
107
memahami mengenai ekosistem terumbu karang yang dapat juga dimanfaatkan untuk konservasi maupun wisata bahari. Hal ini terkait dengan sub kriteria pendapatan masyarakat. Pemanfaatan ekosistem terumbu karang untuk perikanan memang secara langsung mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat. Akan tetapi pemanfaatan untuk wisata juga cukup penting untuk tingkat pendapatan masyarakat nelayan khususnya pemilik perahu. Dalam hal pengembangan, perhatian pemerintah sangat besar, apalagi di sekitar lokasi ini terdapat area penambangan emas, sehingga pelibatan pemerintah sangat diperlukan, Hasil pembobotan kriteria-kriteria pada dasarnya ditujukan untuk mencari bobot yang paling tinggi dan menentukan kriteria yang paling berpengaruh dalam membuat suatu keputusan dalam pengembangan dan pemanfaatan lahan perairan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kriteria ekologi yang paling besar pengaruhnya bagi pengembangan pemanfaatan ekosistem terumbu karang berbasis terumbu buatan reef ball. Data yang diperoleh dari hasil pembobotan di analisis dengan menggunakan program criterium decision plus (Criplus Version 3,0,S) dan teknik
Simple Multi Attribut Rating Technique (SMART). Hasil pembobotan terhadap masing-masing kriteria dan sub-kriteria ada pada tabel 19 dibawah ini. Tabel 19. Nilai bobot kriteria dan sub-kriteria pemanfaatan lahan No. 1
Kriteria Ekologi : Kelimpahan ikan Tutupan karang Kualitas lingkungan Potensi Pengembangan
Bobot 0,164 0,164 0,164 0,109 0,600
2
Sosial Ekonomi : Pendapatan Masyarakat Keterlibatan stakeholder Upaya perbaikan lingkungan Persepsi masyarakat Total Sumber : Hasil analisis, 2013
0,120 0,080 0,120 0,100 0,400 1,000
Hasil akhir analisis MCDM dengan teknik SMART untuk prioritas pemanfaatan kawasan dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Hasil ini menunjukkan bahwa susunan peringkat jenis pemanfaatan kawasan dengan menggunakan teknik SMART, urutan pertama adalah wisata dengan nilai 0.689,
108
urutan pemanfaatan kedua adalah untuk konservasi dengan nilai 0.622 dan urutan ketiga adalah pemanfaatan untuk Perikanan dengan nilai 0.592.
Gambar 20. Prioritas pemanfaatan kawasan Hasil ini sangat signifikan dengan kondisi di lapangan mengingat bahwa kondisi ekosistem terumbu karang yang terdapat di perairan memang perlu untuk di konservasi, sebab ada beberapa lokasi yang sudah kondisinya menurun dan apabila dibiarkan dalam kondisi tersebut maka dapat berdampak terhadap masyarakat. Seperti diketahui bahwa apabila kondisi terumbu karang baik maka akan berpengaruh positif terhadap keberadaan kondisi ikan di perairan tersebut, dan hal ini tentunya berpengaruh terhadap masyarakat nelayan sekitarnya. Prioritas utama pengelolaan pada dimensi ekologi adalah tutupan karang, kelimpahan ikan karang dan kualitas lingkungan. Ketiga komponen ini memiliki keterkaitan yang erat dimana kualitas lingkungan yang baik akan menciptakan kondisi yang sangat menunjang pertumbuhan organisme karang yang selanjutnya berkorelasi pada kelimpahan ikan karang. Beberapa studi menunjukan bahwa tutupan karang hidup memberikan pengaruh yang sangat baik bagi kekayaan spesies ikan karang (Carpenter et al. 1981; Bell and Galzin 1988). Pengelolaan yang tepat terhadap atribut tutupan karang, kelimpahan ikan dan kualitas lingkungan tidak saja dapat membawa manfaat langsung bagi perekonomian masyarakat pesisir tapi juga akan membentuk suatu kondisi ekosistem terumbu
109
karang sehat dan stabil. Sebagai salah satu ekosistem khas yang ada di pesisir, ekosistem terumbu karang berinteraksi dengan ekosistem mangrove dan lamun dimana perubahan pada salah satu komponen dapat mengganggu fungsi dan peranan dari komponen yang lain. Prioritas selanjutnya adalah dimensi sosial ekonomi. Pada dimensi ini atribut pendapatan masyarakat dan upaya perbaikan lingkungan menjadi prioritas dalam pengelolaan. Pendapatan masyarakat yang minim membuat mereka mengeksploitasi sumberdaya yang ada di pesisir termasuk sumberdaya terumbu karang secara maksimal. Hal ini
juga berhubungan dengan upaya perbaikan
lingkungan. Kesalahan dalam pemanfaatan sumberdaya terumbu karang di masa lalu menjadi pelajaran untuk memperhatikan batas-batas kemampuan alam sehingga degradasi tidak terus terjadi. Atribut persepsi masyarakat menjadi prioritas selanjutnya. Pemahaman masyarakat akan resiko pemanfaatan berlebih serta
pengetahuan akan peraturan dan hukum juga penting dalam proses
pengelolaan sumberdaya. Keterlibatan seluruh stakeholder seperti pemerintah, akademisi, pelaku usaha, LSM serta masyarakat itu sendiri dalam upaya menjaga dan memanfaatkan sumberdaya akan sangat menunjang pengelolaan ekosistem terumbu karang berbasis terumbu buatan yang terpadu dan berkelanjutan. Adapun nilai penting dari penelitian ini bahwa dalam kerangka pengelolaan sumber daya wilayah dan laut secara terpadu terdapat pemanfaatan sumber daya dan jasa lingkungan di dalam kawasan. Melakukan penilaian atau
assessment secara terpadu dan menentukan tujuan pemanfaatan dan rencana pengelolaannya merupakan tujuan dalam rangka mencapai pembangunan yang optimal serta berkelanjutan. 5.4.2 Implikasi Kebijakan Pengelolaan Terumbu Karang Berterumbu Buatan Implikasi hasil analisis pada penelitian ini pada dasarnya ditujukan untuk mengkaji pengelolaan ekosistem terumbu karang berterumbu buatan dan kontribusinya terhadap pengembangan minawisata bahari. Pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi dan pesatnya kegiatan pembangunan di pesisir membuat tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir
110
termasuk ekosistem terumbu karang semakin meningkat. Peningkatan tekanan ini tentu saja dapat mengancam keberadaan ekosistem terumbu karang yang sangat rentan terhadap perubahan kondisi perairan. Berbagai upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang telah banyak dilakukan yang bertujuan untuk menjaga agar ekosistem ini dapat terus berperan secara optimal dan berkelanjutan. Salah satu bentuk upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang khususnya yang telah mengalami degradasi adalah dengan mengembangkan teknologi terumbu buatan. Di Perairan Ratatotok dan sekitarnya telah ditenggelamkan sekitar 3000 buah terumbu buatan reef ball jenis Bay Ball dan Pallet Ball sejak tahun 1999 (Kojansow et al. 2006). Upaya ini merupakan salah satu usaha rehabilitasi
terumbu
karang
serta
meningkatkan
populasi
ikan
dengan
mengembangkan habitatnya. Beberapa hasil studi yang relevan telah melaporkan keberhasilan program ini diantaranya dengan adanya peningkatan kelimpahan ikan secara signifikan pada kawasan reef ball di perairan ini (Lalamentik et al.. 2002). Aplikasi modern dari teknologi terumbu buatan tidak saja seperti tujuan awalnya yaitu untuk meningkatkan perikanan komersial, tapi juga telah dikembangkan untuk memancing dan menyelam, wisata, budidaya, konservasi dan pengelolaan biodiversitas, restorasi habitat, pendidikan dan penelitian (Jensen 2002; Relini et al.. 2007). Demikian juga dengan kawasan terumbu karang di pesisir Ratatotok yang dapat dikembangkan untuk kegiatan minawisata bahari. Pemanfaatan untuk kegiatan wisata yang dapat dikembangkan pada kawasan terumbu karang berterumbu buatan ini adalah wisata selam, snorkling dan memancing yang berbasis konservasi dan berkelanjutan. Pendekatan berkelanjutan tersebut diharapkan dapat menjamin kelestarian sumberdaya dimana proses ekologis yang mendukung sistem kehidupan tetap berlangsung; melindungi keanekaragaman hayati serta menjamin kelestarian dan pemanfaatan jenis organisme dan ekosistemnya. Aktivitas perikanan karang skala kecil yang dapat dilakukan pada kawasan ini adalah kegiatan penangkapan ikan karang dengan menggunakan perahu tradisional dengan atau tanpa mesin dan alat tangkap sederhana seperti pancing. Hal ini untuk turut menjaga agar tidak terjadi penangkapan ikan yang berlebihan
111
sehingga dapat mengancam kondisi ekosistem terumbu karang dan kawasan tersebut dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekitar. Berdasarkan kajian-kajian sebelumnya maka dalam aplikasi kebijakan pengelolaan
kawasan
terumbu
karang
di
pesisir
Ratatotok
dapat
mempertimbangkan hal-hal berikut ini: A. Manajemen Pemanfaatan Wisata Merujuk pada analisis SBE maka pemanfaatan ekosistem terumbu karang dapat dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas wisata bahari seperti selam, snorkling dan recreational fishing. Untuk pengembangan pemanfaatan aktivitas wisata tersebut
beberapa
faktor
penting
yang
perlu
diperhatikan
antara
lain
pengembangan sumberdaya manusia dalam hal ini masyarakat pesisir dengan program pendampingan dan pendidikan untuk memberikan ketrampilan yang menunjang kegiatan wisata seperti ketrampilan bahasa dan pemandu selam. Selain itu konservasi dan rehabilitasi sumberdaya yang endemik atau spesifik/unik seperti biota langka diperlukan untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya alam. untuk mendukung kegiatan ini maka diperlukan pengembangan sarana dan prasarana seperti diving centre, homestay, perahu, rumah makan dan perlengkapan lainnya yang menunjang kegiatan wisata. Penentuan zonasi yang sesuai untuk masing-masing aktivitas wisata dan koordinasi antar stakeholder diperlukan untuk meminimalisasi dampak seperti pencemaran.
B. Manajemen Pemanfaatan Perikanan Analisis kesesuaian kawasan pada perikanan tangkap skala kecil hendaknya memperhatikan beberapa faktor- faktor antara lain pembagian zonasi yang jelas untuk aktivitas perikana dan wisata; pembatasan jenis alat tangkap dan perahu yang digunakan;
pengelolaan secara spatial dan temporal terhadap
penangkapan ikan target di kawasan terumbu karang; peningkatan pemodalan untuk menunjang usaha perikanan; pengembangan sarana dan prasaran perikanan seperti jalur transportasi pemasaran, fasilitas cold storage; dan kerjasama dengan pihak swasta/investor
112
Berbagai upaya rehabilitasi terumbu karang telah dilakukan untuk memperlambat laju degradasi yang disebabkan oleh alam dan manusia. Salah satunya adalah pengembangan teknologi terumbu buatan. Seperti yang tertuang pada Peraturan Presiden No. 121 tahun 2012 bahwa definisi rehabilitasi adalah proses pemulihan dan perbaikan kondisi ekosistem atau populasi yang telah rusak walaupun hasilnya dapat berbeda dari kondisi semula. Pengembangan teknologi terumbu buatan selama kurang lebih 13 tahun telah membentuk suatu kondisi ekosistem terumbu karang yang agak berbeda dari kondisi semula. Hasil analisis pada ekosistem terumbu karang buatan dan terumbu karang alami memperlihatkan kondisi saat ini telah memberikan kontribusi secara ekologi dan ekonomi terhadap sistem sosial ekologi yang ada. Untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut dibutuhkan kebijakan-kebijakan yang terpadu dengan memperhatikan hal-hal menyangkut: upaya konservasi dan managemen daerah hulu untuk mengurangi degradasi (ekologi); penangkapan ikan ramah lingkungan (ekonomi); peningkatan pemahaman akan perlindungan dan perbaikan lingkungan (sosial); tradisi/budaya dan kearifan lokal (kelembagaan), alat tangkap dan penanganan hasil tangkapan (teknologi). Rencana pengembangan kawasan pesisir khususnya ekosistem terumbu karang harus memperhatikan berbagai kepentingan yang mendasar yaitu pemberdayaan masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang memiliki banyak pengetahuan tentang kondisi obyektif wilayahnya. Oleh karena itu dalam pengelolaan kawasan pesisir dibutuhkan pendekatan partisipatif yang menempatkan peran masyarakat pesisir yang turut mengambil keputusan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. Pengelolaan yang berpusat pada masyarakat lebih menekankan pada pemberdayaan (empowerment), yang memandang potensi masyarakat sebagai sumberdaya utama dan keseimbangan faktor ekologi ekonomi merupakan tujuan dari pemanfaatan ekosistem yang berkelanjutan. Prinsip pengelolaan yang harus dikembangkan adalah: 1. Co-ownership yaitu kepemilikan bersama sehingga ada hak masyarakat yang harus diakui dan dilindungi.
113
2. Co-operation/ co-management yaitu dalam kepemilikan bersama pengelolaan sumberdaya terumbu karang harus dilakukan bersama seluruh stakeholder; baik pemerintah, swasta, LSM dan masyarakat dengan sistem koordinasi yang baik. 3. Co-responsibility yaitu yaitu bahwa keberadaan kawasan terumbu karang berterumbu buatan merupakan tanggung jawab bersama sehingga pengelolaan pemanfaatannya baik untuk wisata bahari dan perikanan harus menjadi tanggung jawab bersama. Pengelolaan kawasan terumbu karang berterumbu buatan di pesisir Ratatotok memerlukan keterpaduan antara kebijakan dan aksi pengelolaan yang di dalamnya terdapat keterpaduan sistem, fungsi dan kebijakan. Penerapan keterpaduan sistem harus mempertimbangkan karakteristik sumberdaya seperti perubahan fisik lingkungan, pola pemanfaatan dan aspek sosial ekonomi. Pola pemanfaatan wisata bahari dan perikanan karang haruslah tetap berbasis pada prinsip-prinsip konservasi. Pemanfaatan kawasan ini harus memperhatikan tujuan awal peletakan terumbu buatan reef ball untuk menciptakan habitat ikan dan mengurangi tekanan pada terumbu karang alami sehingga akitivitas wisata dan perikanan nantinya tidak justru akan merusak ekosistem yang ada. Strategi pengelolaan berkelanjutan terhadap ekosistem terumbu karang dengan memadukan berbagai dimensi diatas diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus tetap mempertahankan kondisi sumberdaya dengan tetap lestari.