HUBUNGAN ASUPAN SERAT DAN FAKTOR-FAKTOR LAIN DENGAN KONSTIPASI FUNGSIONAL PADA MAHASISWI REGULER GIZI FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS INDONESIA TAHUN 2013 Eka Safrita Oktaviana, Asih Setiarini Program Studi Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, asupan serat, asupan cairan, dan gaya hidup (aktivitas fisik, stres, konsumsi kopi, konsumsi minuman probiotik, dan posisi saat buang air besar) dengan konstipasi fungsional. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional dan dilakukan pada 99 orang mahasiswi FKM UI tahun 2013. Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai Mei 2013. Pengumpulan data dilakukan melalui pengisian kuesioner, Food Recall 2 x 24 jam, dan Food Frequency Questionnaire (FFQ). Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji Chi-square. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode acak stratifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi kejadian konstipasi fungsional di FKM UI sebesar 52,5%. Hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan kejadian konstipasi fungsional (p value = 0,014), ada hubungan yang bermakna antara asupan serat dengan kejadian konstipasi fungsional (p value = 0,045), dan ada hubungan yang bermakna antara posisi saat buang air besar dengan kejadian konstipasi fungsional (p value = 0,043). Diharapkan mahasiswi dapat meningkatkan kualitas kesehatannya sehingga dapat mengurangi kejadian konstipasi fungsional. Kata Kunci: Konstipasi Fungsional; pengetahuan; asupan serat; asupan cairan; gaya hidup; mahasiswi. Abstract This study aim’s to know the relationship between knowledge, fiber intake, fluid intake, and lifestyle (physical activity, stress, coffee consumption, probiotic consumption and body position on defecation) with functional constipation. This study used cross sectional design and the data were collected from 99 FKM UI students in 2013. The study was conducted from April to Mei 2013. Data collected with self administered questionnaire, Food Recall 2 x 24 hour, dan Food Frequency Questionnaire (FFQ). Data was analyzed by Chi-square. Sample was selected by stratified random sampling method. The result showed that the prevalence of functional constipation was 52,5%. The results of bivariate analysis showed that there was a significant association between knowledge with incidence of functional constipation (p value = 0,014), there was a significant association between fiber intake with incidence of functional constipation (p value = 0,045), and there was a significant association between body position on defecation with incidence functional constipation (p value = 0,043). Students is expected to further improve the quality of their health so as to reduce the incidence of functional constipation. Keywords: Functional Constipation; knowledge fiber intake; fluid intake; lifestyle; female students.
Hubungan asupan..., Eka safrita Oktaviana, FKM-Ui, 2013
1.
Pendahuluan
Konstipasi atau kesulitan dalam buang air besar merupakan permasalahan gastrointestinal yang lebih sering dikeluhkan di dunia, di mana yang paling umum terjadi adalah konstipasi primer atau fungsional. Konstipasi ini dua kali lebih sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki. Konstipasi dapat menimbulkan rasa ketidaknyamanan, timbulnya perasaan malaise (lesu, tidak sehat, dan gelisah), gangguan aktivitas seperti kram perut, serta penurunan kualitas hidup melalui produktivitas kerja yang menurun dan tingginya tingkat ketidakhadiran di institusi tertentu seperti sekolah atau kantor. Jika hal ini terus dibiarkan dalam jangka waktu yang panjang, maka akan menimbulkan hemoroid dan divertikulum. Di Eropa prevalensi konstipasi dilaporkan sebesar 17,1%21, di Amerika Utara sebesar 14,8%12, dan di Jepang sebesar 26%19. Data International Database US Census Bureau pada tahun 2003 mendapatkan angka kejadian konstipasi di Indonesia sebesar 3.857.327 jiwa10. Data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) tahun 1998 – 2005 sebesar 9% atau 216 pasien. Hasil penelitian Bardosono dan Sunardi pada 210 pekerja perempuan di Jakarta usia 18-55 tahun didapatkan prevalensi konstipasi fungsional sebesar 52,9%2. Konstipasi fungsional merupakan salah satu penyakit yang terjadi sebagai akibat dari perubahan gaya hidup dan pola makan yang tidak sehat. Konstipasi jarang ditemukan pada masyarakat pedesaan, lebih sering dialami pada masyarakat perkotaan yang memiliki kaitan erat dengan asupan serat3. Seiring dengan perubahan zaman yang semakin maju ditambah dengan tuntutan pergaulan membuat masyarakat memilih menjalani gaya hidup yang cenderung tidak sehat. Perubahan gaya hidup dan pola makan kurang sehat yang berkaitan dengan konstipasi fungsional meliputi rendahnya pengetahuan gizi, rendahnya asupan serat dan asupan cairan, rendahnya tingkat aktivitas fisik, tingginya stres, tingginya konsumsi kopi namun rendahnya konsumsi minuman probiotik, dan posisi yang kurang baik (duduk) saat buang air besar. Hal tersebut menjadi hal umum yang dialami pada kelompok remaja dan dewasa awal, termasuk mahasiswa. Lokasi kampus UI yang berada dalam wilayah perkotaan memungkinkan mahasiswanya lebih memilih makanan fast food akibat kepadatan jadwal kuliah yang dimiliki serta pengaruh teman sebaya. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada 20 mahasiswi reguler Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI menunjukkan hasil bahwa sebesar 45% mahasiswi mengalami kejadian konstipasi fungsional.
Hubungan asupan..., Eka safrita Oktaviana, FKM-Ui, 2013
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan gizi, asupan serat, asupan cairan, aktivitas fisik, stres, konsumsi kopi, konsumsi minuman probiotik, dan posisi saat buang air besar dengan konstipasi fungsional pada mahasiswi reguler Gizi FKM UI tahun 2013. 2.
Tinjauan Teoritis
Konstipasi fungsional merupakan konstipasi yang tidak terkait dengan penyakit lain. Keadaan ini terjadi akibat gangguan motilitas kolon atau anorektal8. Konstipasi fungsional disebabkan oleh berbagai macam faktor, seperti diet (serat dan cairan), dan perubahan gaya hidup seseorang yang kurang baik (aktivitas fisik, stres, konsumsi kopi, konsumsi minuman probiotik, dan posisi saat buang air besar)31. Pengetahuan gizi menjadi faktor risiko dari konstipasi fungsional. Pendidikan dan pengetahuan yang rendah cenderung membentuk gaya hidup yang menyimpang dari kesehatan. Gaya hidup ini yang kemudian akan membuat seseorang mudah terserang banyak penyakit11. Kurangnya asupan serat sering dikaitkan dengan kesulitan buang air besar atau konstipasi. Sebab makanan yang rendah serat akan menyebabkan feses menjadi keras dan kering sehingga untuk mengeluarkan feses tersebut dibutuhkan peningkatan tekanan saluran cerna yang luar biasa1. Cairan berperan dalam menentukan bentuk dan konsistensi feses. Asupan cairan yang tidak adekuat meningkatkan risiko feses keras, kering, dan sulit dikeluarkan. Keadaan inilah disebut dengan konstipasi4. Aktivitas fisik (olahraga) membantu dalam mendorong defekasi dengan menstimulasi saluran gastrointestinal secara fisik sehingga kurangnya aktivitas fisik berisiko lebih tinggi untuk mengalami kejadian konstipasi6. Stres mempengaruhi perubahan pola makan dan gaya hidup. Pola makan dan gaya hidup yang cenderung salah menimbulkan berbagai macam penyakit, tidak terkecuali konstipasi. Selain itu, stres dapat menjadi penyebab langsung terjadinya konstipasi, sebab stres dapat
Hubungan asupan..., Eka safrita Oktaviana, FKM-Ui, 2013
menyebabkan gangguan pada sinyal-sinyal tersebut yang akan berpengaruh pada bagian dari saluran pencernaan dan dapat memperlambat gerakan usus5. Konsumsi kopi dianggap pula menjadi faktor terjadinya konstipasi. Kopi mengandung kafein yang merupak diuretik, yang berarti bahwa jika kita meminumnya justru akan menghapus lebih banyak cairan yang berasal dari dalam tubuh individu daripada jumlah air (kopi) yang diminum tersebut. Ini berarti tubuh lebih banyak memproduksi urin, hal itu menyebabkan dehidrasi sedangkan dehidrasi merupakan faktor risiko konstipasi32. Mengonsumsi minuman probiotik dianggap menjadi salah satu cara efektif untuk mencegah dan mengobati konstipasi. Bakteri yang terkandung dalam minuman probiotik memproduksi asam organik di dalam usus, membantu menurunkan pH usus, serta memiliki kemampuan untuk merangsang gerakan peristaltik hampir pada semua bagian saluran pencernaan sehingga waktu transit menjadi lebih cepat15. Posisi saat buang air besar terbagi menjadi dua yaitu duduk dan jongkok. Namun posisi jongkok menjadi posisi paling baik saat buang air besar, sebab posisi jongkok saat buang air besar dapat mengurangi kemungkinan untuk mengejan24, sedangkan posisi duduk menyebabkan tekanan pada rektum bekurang sehingga akan membutuhkan waktu lebih lama untuk mengeluarkan feses dan mempertinggi risiko terjadinya konstipasi14. . 3.
Metode Penelitian
Desain dalam penelitian ini menggunakan desain studi Cross Sectional. Penelitian dilakukan di Kampus UI, Depok. Sampel dalam penelitian ini ialah mahasiswi reguler Gizi FKM UI. Besar minimal sampel yang dibutuhkan yaitu 90 orang, namun untuk mengantisipasi adanya responden yang harus drop out maka jumlah sampel ditambahkan 10% menjadi 99 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah stratified random sampling. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 3 macam antara lain kuesioner (untuk memperoleh data konstipasi fungsional responden, pengetahuan gizi, aktivitas fisik dan stres), Food Frequency Questionnaire/ FFQ (untuk memperoleh data kebiasaan responden dalam mengonsumsi serat, kopi, dan minuman probiotik) dan Formulir Recall 24 Hour (untuk mengetahui asupan serat dan cairan responden). Analisis data dalam
Hubungan asupan..., Eka safrita Oktaviana, FKM-Ui, 2013
penelitian ini terdiri dari analisis univariat dan analisis bivariat. Untuk uji bivariat menggunakan uji Chi square. 4.
Hasil Penelitian
Kejadian konstipasi fungsional di FKM UI didapatkan sebesar 52,5%. Hal tersebut lebih banyak jika dibandingkan dengan yang tidak mengalami kejadian konstipasi fungsional sebesar 47,5%. Konstipasi fungsional lebih banyak dialami oleh mahasiswi dengan pengetahuan gizi rendah (59,7%) dibandingkan dengan mahasiswi yang memiliki pengetahuan gizi tinggi (27,3%). Dari hasil uji statistik Chi-Square didapatkan nilai p value = 0,014 dengan OR = 3,957. Hal itu menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan gizi dengan konstipasi fungsional (p value < 0,05). Risiko responden untuk terkena penyakit konstipasi fungsional adalah 3,957 kali lebih besar pada responden yang memiliki pengetahuan gizi rendah dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan gizi tinggi. Rata-rata asupan serat responden sebesar 10,6 gram per hari dengan asupan serat terendah sebesar 5 gram per hari dan asupan serat tertinggi sebesar 25 gram per hari. Konstipasi fungsional lebih banyak dialami oleh responden dengan asupan serat rendah (58,2%) dibandingkan dengan responden yang memiliki asupan serat tinggi (30%). Dari hasil uji statistik Chi-Square didapatkan nilai p-value sebesar 0,045 dengan OR = 3,253. Hal itu menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara asupan serat dengan konstipasi fungsional (p value < 0,05). Sedangkan nilai Odds Ratio (OR) sebesar 3,253 memiliki pengertian bahwa risiko untuk terkena penyakit konstipasi fungsional adalah 3,253 kali lebih besar pada responden dengan asupan serat rendah dibandingkan dengan responden yang asupan seratnya tinggi. Rata-rata asupan cairan responden sebesar 2.063 cc per hari atau setara dengan 2,1 liter per hari. Adapun asupan cairan terendah yang responden konsumsi yaitu sebesar 1,2 liter per hari, dan asupan cairan tertingginya sebesar 3,2 liter per hari. Konstipasi fungsional lebih banyak dialami oleh responden dengan asupan cairan rendah (55,2%) dibandingkan dengan responden yang memiliki asupan cairan tinggi (46,9%). Hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara asupan cairan dengan konstipasi fungsional (p value = 0,574 ; p value > 0,05).
Hubungan asupan..., Eka safrita Oktaviana, FKM-Ui, 2013
Konstipasi fungsional lebih banyak dialami oleh responden yang memiliki aktivitas fisik sedang (57,1%), kemudian diikuti oleh responden yang memiliki aktivitas fisik ringan (53,8%) dan aktivitas fisik tinggi (50,8%). Dari hasil uji statistik Chi-Square didapatkan nilai p-value sebesar 0,712 (p-value > 0,05) yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan konstipasi fungsional. Konstipasi fungsional justru lebih banyak dialami oleh responden dengan tingkat stres rendah (52,6%) dibandingkan dengan responden tingkat stres tinggi (52,5%). Perbedaan proporsi keduanya hanya sebesar 0,1%. Hasil uji statistik Chi-Square diperoleh nilai p-value sebesar 1,000 (p-value > 0,05), hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara stres dengan konstipasi fungsional. Konstipasi fungsional lebih banyak terjadi pada responden yang mengonsumsi kopi setiap hari (57,1%) dibandingkan dengan responden yang tidak setiap hari mengonsumsi kopi (51,3%). Frekuensi terendah responden dalam mengonsumsi kopi sebesar 0 kali per hari (tidak mengonsumsi kopi), sedangkan frekuensi tertingginya didapati sebesar 2 kali per hari. Hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi kopi dengan konstipasi fungsional (p value = 0,817 ; p value > 0,05). Konstipasi fungsional lebih banyak terjadi pada responden yang mengonsumsi minuman probiotik tidak setiap hari (53,9%) dibandingkan dengan responden yang setiap hari mengonsumsi
minuman
probiotik
(47,8%).
Frekuensi
terendah
responden
dalam
mengonsumsi minuman probiotik yaitu sebesar 0 kali per hari (tidak mengonsumsi), sedangkan frekuensi tertingginya didapati sebesar 4 kali per hari. Hasil uji statistik ChiSquare menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi minuman probiotik dengan konstipasi fungsional (p value = 0,782 ; p value > 0,05). Konstipasi fungsional lebih banyak terjadi pada responden yang memiliki posisi kurang baik (duduk) pada saat buang air besar (65,9%) dibandingkan dengan responden yang memiliki posisi baik (jongkok) saat buang air besar (43,1%). Dari hasil uji statistik Chi-Square didapatkan nilai p value = 0,043 dengan OR = 2,546. Hal itu menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan gizi dengan konstipasi fungsional (p value < 0,05). Risiko responden untuk terkena penyakit konstipasi fungsional adalah 2,546 kali lebih
Hubungan asupan..., Eka safrita Oktaviana, FKM-Ui, 2013
besar pada responden yang memiliki posisi duduk dibandingkan dengan responden yang memiliki posisi jongkok saat buang air besar. Rekapitulasi hasil analisis bivariat antara variabel dependen dan variabel independen secara lengkap dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Analisis Bivariat Variabel Pengetahuan Gizi Rendah Tinggi Asupan Serat Rendah Tinggi Asupan Cairan Rendah Tinggi Aktivitas Fisik Ringan Sedang Tinggi Stres Tinggi Rendah Konsumsi Kopi Setiap hari Tidak setiap hari Konsumsi Minuman Probiotik Tidak setiap hari Setiap hari Posisi saat Buang Air Besar Kurang Baik Baik
Konstipasi Fungsional Ya Tidak 46 (59,7%) 31 (40,3%) 6 (27,3%) 16 (72,7%)
OR 95% CI 3,957 (1,394 – 11,228)
p-value 0,014*
46 (58,2%) 33 (41,8%) 6 (30,0%) 14 (70,0%)
3,253 (1,132 – 9,348)
0,045*
37 (55,2%) 30 (44,8%) 15 (46,9%) 17 (53,1%)
1,398 (0,600 – 3,254)
0,574
7 (53,8%) 6 (46,2%) 12 (57,1%) 9 (42,9%) 33 (50,8%) 32 (49,2%)
1,110 (0,638 – 1,931)
42 (52,5%) 38 (47,5%) 10 (52,6%) 9 (47,4%)
0,995 (0,365 – 2,709)
12 (57,1%) 9 (42,9%) 40 (51,3%) 38 (48,7%)
1,267 (0,479 – 3,347)
41 (53,9%) 35 (46,1%) 11 (47,8%) 12 (52,2%)
1,278 (0,502 – 3,253)
0,589
27 (65,9%) 14 (34,1%) 25 (43,1%) 33 (56,9%)
2,546 (1,112 – 5,831)
0,043*
0,712
1,000
0,451
Keterangan: *bermakna (p value < 0,05)
5.
Pembahasan
Kejadian konstipasi fungsional pada penelitian ini sebesar 52,5%. Angka ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian pada wanita muda berusia 18 hingga 55 tahun yang menunjukkan angka konstipasi fungsional sebesar 52,9% dan ditemukan secara bermakna lebih besar prevalensinya pada responden yang berusia kurang dari 30 tahun2. Individu dikategorikan menderita konstipasi jika memiliki minimal dua dari enam kriteria yang dilihat berdasarkan frekuensi buang air besar, konsistensi feses, usaha mengejan, serta sensasi yang dirasakan setelah buang air besar selesai. Dari hasil penelitian diperoleh banyaknya responden
Hubungan asupan..., Eka safrita Oktaviana, FKM-Ui, 2013
yang memiliki frekuensi buang air besar kurang dari 3 kali dalam seminggu adalah sebesar 29,3%, responden yang memiliki feses keres sebanyak 20,2%, responden yang melakukan usaha mengejan saat buang air besar sebanyak 36,4%, responden yang merasakan sensasi penyumbatan feses pada anus sebanyak 26,3%, dan responden yang memiliki rasa tidak puas setelah buang air besar sebanyak 20,2%. Namun sama sekali tidak didapatkan responden yang melakukan tindakan manual saat buang air besar. Mereka menganggap cara tersebut terlampau bahaya dan cenderung menakutkan. Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan gizi dengan konstipasi fungsional (p value = 0,001; OR = 3,957). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bardosono dan Sunardi2, Peppas et al21, Howell, Quine dan Talley13. Dari hasil penelitian diketahui pula bahwa konstipasi fungsional lebih banyak dialami oleh responden dengan pengetahuan gizi rendah dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan gizi tinggi. Pendidikan dan pengetahuan yang rendah akan membentuk gaya hidup yang menyimpang dari kesehatan11. Tinggi ataupun rendah pengetahuan yang dimiliki oleh mahasiswa biasanya dipengaruhi setelah mereka mempelajari mata kuliah berbasis gizi seperti mata kuliah Ilmu Gizi, Dietetika, dan Dasar Boga, yang kemudian akan mereka terapkan melalui sikap dan kemampuan dalam memilih makanan jajanan untuk dikonsumsi18. Namun dari hasil penelitian diperoleh bahwa mahasiswi angkatan 2011 dan 2012 yang lebih banyak memiliki pengetahuan gizi tinggi dibandingkan dengan mahasiswi angkatan 2010 yang justru telah lebih dahulu memperoleh mata kuliah dan informasi khususnya mengenai serat. Ada hubungan yang bermakana antara asupan serat dengan konstipasi fungsional (p value = 0,045; OR = 3,253). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mulyani17 dan Rahmania22. Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa asupan serat responden masih di bawah anjuran kecukupan serat seharusnya menurut WNPG tahun 2004 yaitu sebesar 19 gram/hari. Asupan serat masyarakat perkotaan yang lebih rendah dibandingkan dengan asupan serat masyarakat pedesaan menyebabkan konstipasi lebih sering ditemukan pada masyarakat perkotaan3. Rendahnya asupan serat pada remaja khususnya di perkotaan disebabkan oleh pola makannya yang cenderung lebih menyukai fast food akibat pengaruh dari lingkungan sekitarnya terutama teman sebaya. Fast food dianggap lebih memiliki nilai gengsi yang tinggi dan cocok untuk gaya hidup modern dibandingkan dengan makanan
Hubungan asupan..., Eka safrita Oktaviana, FKM-Ui, 2013
lainnya yang padahal lebih kaya kandungan gizinya dan tentunya lebih tinggi kandungan seratnya25. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara asupan cairan dengan konstipasi fungsional (p value > 0,05). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Raissa23 dan Muhammad16, namun tidak sejalan dengan penelitian Mulyani17, Fitriani9 dan Theresia29. Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa responden lebih banyak memiliki asupan cairan rendah dibandingkan dengan responden yang memiliki asupan cairan tinggi. Asupan cairan rendah menyebabkan dehidrasi, sedangkan dehidrasi membuat feses menjadi keras, kering, dan sulit dikeluarkan4. Kurangnya asupan cairan responden diduga disebabkan oleh keengganan responden untuk minum dengan alasan tidak merasa haus. Biasanya responden hanya minum ketika mereka selesai makan. Selain itu, alasan individu tidak mengonsumsi cairan secara cukup dikarenakan kesibukan yang dimiliki oleh individu tersebut sehingga membuatnya lupa dan mengabaikan keinginan mereka untuk minum, selain itu rasa malas untuk sering pergi ke kamar mandi juga menjadi faktor penyebabnya terutama bagi kaum wanita. Dari hasil penelitian antara aktivitas fisik dengan konstipasi fungsional menunjukkan bahwa konstipasi fungsional lebih banyak dialami oleh responden yang memiliki aktivitas fisik sedang dan aktivitas fisik ringan dibandingkan dengan aktivitas fisik tinggi. Aktivitas yang kurang akan mengakibatkan terjadinya kelemahan tonus otot dinding saluran cerna sehingga menimbulkan konstipasi. Namun hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan konstipasi fungsional dengan p-value < 0,05. Hasil penelitian ini sejalan dengan Theresia29, namun tidak sejalan dengan Mulyani17. Faktor yang menyebabkan ketidakbermaknaan hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian konstipasi fungsional diduga disebabkan oleh instrumen pengukuran aktivitas fisik yang menggunakan Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ) di mana hasil yang didapat sangat bergantung pada persepsi dan ingatan responden dalam memperkirakan waktu yang dihabiskan untuk melakukan kegiatan tersebut. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara stres dengan konstipasi fungsional (p value > 0,05). Sebab dari hasil penelitian dapat terlihat bahwa konstipasi fungsional justru lebih banyak terjadi pada responden dengan tingkat stres rendah dibandingkan dengan responden tingkat stres tinggi. Stres dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan perubahan pada
Hubungan asupan..., Eka safrita Oktaviana, FKM-Ui, 2013
pola makannnya yaitu lebih memilih untuk makan makanan cepat saji (fast food) dan merubah jadwal makan individu menjadi tidak teratur. Hal tersebut berpengaruh terhadap keteraturan frekuensi buang air besar yang mana akan mengakibatkan terjadinya konstipasi5. Namun stres tinggi tidak hanya selalu membuat perubahan pada pola makan individu, stres juga membawa perubahan pada pola hidup individu seperti jadwal tidur yang menjadi tidak teratur, serta timbulnya perubahan pada fisiologis dan psikologis seperti ketegangan, kecemasan, emosional dan sikap yang suka menunda-nunda pekerjaan27. Meski perubahan tersebut dialami pula oleh responden dalam penelitian ini, namun hal itu tidak memiliki pengaruh kuat terhadap gangguan pencernaan individu, khususnya konstipasi. Perbedaan faktor penyebab stres yang dialami oleh setiap individu misalnya perbedaan dalam tuntutan sosial, tuntutan keluarga, masalah keuangan, manajemen waktu, dan berbagai tuntutan lain yang berasal dari diri sendiri20 mungkin juga menjadi faktor ketidakbermaknaan hubungan stres dengan konstipasi fungsional. Dari hasil penelitian antara konsumsi kopi dengan konstipasi fungsional diketahui bahwa konstipasi fungsional lebih banyak terjadi pada responden yang mengonsumsi kopi setiap hari dibandingkan dengan responden yang tidak setiap hari mengonsumsi kopi. Kopi mengandung kafein yang merupakan diuretik yang menarik cairan dalam feses sehingga membuat konsistensi feses menjadi keras dan sulit untuk dikeluarkan kemudian akan menimbulkan konstipasi32. Kandungan kafein dari berbagai produk berbeda-beda, contohnya dalam secangkir kopi seduh mengandung 110 – 150 miligram kafein, sedangkan kopi sachet instan berkisar antara 40 – 108 miligram kafein. Jenis kopi yang lebih disukai oleh responden untuk diminum adalah kopi seduh instan dalam bentuk kemasan sachet, dengan frekuensi terbesar responden mengonsumsi kopi yaitu sebanyak 2 kali perhari. Dari hasil tersebut disimpulkan bahwa kandungan kafein dalam kopi yang responden minum perhari hanya sebesar 80 – 216 miligram kafein, sedangkan rentang nilai tersebut masih tergolong batas normal kecukupan individu dalam mengonsumsi kopi yaitu 200 – 300 miligram kafein. Konsumsi kopi baru akan memiliki hubungan yang bermakna dengan konstipasi fungsional pada responden yang jumlah konsumsi kopinya tinggi (6 cangkir setiap hari)7, sebab batas dosis kopi maksimal yang hanya boleh dikonsumsi individu setiap hari sebesar 500 miligram kafein atau setara dengan 5 cangkir. Hal ini diduga menyebabkan tidak terdapatnya hubungan yang bermakna antara konsumsi kopi dengan konstipasi fungsional (p value > 0,05).
Hubungan asupan..., Eka safrita Oktaviana, FKM-Ui, 2013
Dari hasil penelitian antara konsumsi minuman probiotik dengan konstipasi fungsional dapat terlihat bahwa konstipasi fungsional lebih banyak terjadi pada responden yang mengonsumsi minuman probiotik tidak setiap hari dibandingkan dengan responden yang mengonsumsi minuman probiotik setiap hari. Minuman probiotik merupakan salah satu cara efektif untuk mencegah dan mengobati konstipasi sebab bakteri probiotik yang terdapat dalam minuman probiotik akan memproduksi asam organik di dalam usus, membantu menurunkan pH usus, serta memiliki kemampuan untuk merangsang gerakan peristaltik hampir pada semua bagian saluran pencernaan sehingga waktu transit menjadi lebih cepat15. Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa frekuensi terbesar responden dalam mengonsumsi minuman probiotik sebanyak 4 kali sehari. Namun responden mengaku hanya mengonsumsi minuman probiotik sesekali saja dan tidak dalam frekuensi sering dan teratur. Padahal manfaat dari minuman probiotik baru akan dapat dirasakan jika dikonsumsi dengan frekuensi yang sering30. Hal itu dianggap menjadi faktor tidak terdapatnya hubungan yang bermakna antara konsumsi minuman probiotik dengan konstipasi fungsional (p value > 0,05). Ada hubungan yang bermakna antara posisi saat buang air besar dengan konstipasi fungsional (p value = 0,043 ; OR = 2,546). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tanjung28. Dari hasil penelitian diketahui bahwa konstipasi fungsional lebih banyak terjadi pada responden yang memiliki posisi kurang baik (duduk) saat buang air besar dibandingkan dengan responden yang memiliki posisi baik (jongkok) saat buang air besar. Posisi jongkok saat buang air besar dianggap lebih mempermudah proses defekasi dan mencegah terjadinya konstipasi, sebab sudut anorektal yang terbentuk saat posisi jongkok menjadi lurus dengan fleksi pinggul sehingga mempermudah terjadinya pengosongan isi rektum, dan mengurangi usaha mengejan yang berlebihan pada saat buang air besar26. Dari hasil penelitian dengan membandingkan tiga jenis posisi saat buang air besar yaitu posisi duduk, posisi duduk dengan kaki membentuk sudut 60o, dan posisi jongkok didapatkan besar sudut anorektal yang dibentuk pada saat posisi jongkok adalah 126o, posisi duduk dengan kaki membentuk sudut 60o adalah 99o, dan posisi duduk adalah sebesar 100o. Hasil tersebut menunjukkan bahwa posisi terbaik yang dilakukan saat buang air besar adalah posisi jongkok, sebab semakin besar sudut anorektal yang dihasilkan, maka semakin berkurang usaha untuk mengejan24.
Hubungan asupan..., Eka safrita Oktaviana, FKM-Ui, 2013
6.
Kesimpulan
Kejadian konstipasi fungsional pada mahasiswi reguler Gizi FKM UI didapatkan sebesar 52,5%. Hampir semua hasil penelitian yang didapatkan sudah sesuai dengan teori bahwa konstipasi fungsional lebih banyak terjadi pada mahasiswi yang memiliki pengetahuan gizi rendah, asupan serat rendah, asupan cairan rendah, aktivitas fisik sedang dan ringan, konsumsi kopi tinggi, konsumsi minuman probiotik rendah, dan posisi kurang baik (duduk) saat buang air besar. Namun untuk tingkatan stres, konstipasi fungsional justru lebih banyak dialami oleh mahasiswi dengan tingkatan stres rendah. Terdapat tiga variabel independen yang memiliki hubungan bermakna (p value > 0,05) dengan konstipasi fungsional sebagai variabel dependen, antara lain pengetahuan gizi, asupan serat, dan posisi saat buang air besar. 7.
Saran
Disarankan bagi pihak Departemen Gizi FKM UI untuk melakukan penyebarluasan informasi dan sosialisasi mengenai konstipasi fungsional serta pentingnya asupan serat melalui kegiatan penyuluhan/seminar. Bagi mahasiswi diharapkan dapat meningkatkan dan memperkaya pengetahuan gizi yang dimilikinya, khususnya pengetahuan mengenai serat, serta mengonsumsi sumber-sumber makanan yang tinggi serat seperti sayuran dan buah-buahan sesuai dengan besar porsi yang dianjurkan yaitu 3-5 kali/ hari penyajian dalam bentuk sayur dan 2-3 kali/hari penyajian dalam bentuk buah-buahan, dengan besar porsi masing-masing sebesar 100 gram. Bagi kantin, diharapkan ada stand makanan baru yang menjual berbagai macam buah potong segar, sehingga mahasiswa dapat lebih mudah untuk mendapatkannya. Sedangkan bagi peneliti lain diharapkan dapat mengembangkan penelitian serupa dengan menggunakan desain penelitian yang berbeda dan melakukan penelitian selanjutnya di fakultas yang berbeda agar diperoleh gambaran konstipasi fungsional dalam satu universitas. Daftar Acuan 1.
Almatsier, Sunita. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
2.
Bardosono, Saptawati dan Diana Sunardi. 2011. Functional Constipation and its Related Factors Among Female Workers. Maj Kedokteran Indonesia, Vol. 61, No. 3.
3.
Beck, Mary. 2011. Ilmu Gizi dan Diet Hubungannya dengan Penyakit-Penyakit untuk Perawat dan Dokter. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medica (YEM).
Hubungan asupan..., Eka safrita Oktaviana, FKM-Ui, 2013
4.
Carpenito, Lynda Juall. 2009. Diagnosis Keperawatan: Aplikasi pada Praktek Klinis Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
5.
Chhajer, Bimal. 2005. Constipation. New Delhi: Fusion Books.
6.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
7.
Dukas, et al. 2003. Association Between Physical Activity, Fiber Intake, and Other Lifestyle Variables and Constipation in a Study of Women. The American Journal of Gastroenterology Vol 98, No 8.
8.
Endyarni, Bernie dan Badriul Hegar Syarif. 2004. Konstipasi Fungsional. Sari Pediatri Vol 6, No2.
9.
Fitriani, Imel. 2010. Hubungan asupan serat dan cairan dengan kejadian konstipasi pada lanjut usia di Panti Sosial Sabai Nan Aluih. Skripsi. Fakultas Keperawatan, Universitas Andalas.
10.
Friedman, S. L., dan James H Grendell. 2003. CURRENT Diagnosis & Treatment in Gastroenterology. Singapore: McGraw – Hill, 21 – 26.
11.
Hidayah, Ainun. 2011. Kesalahan-kesalahan Pola Makan Pemicu Seabrek Penyakit Mematikan. Jogjakarta: Buku Biru.
12.
Higgins, Peter dan John F. Johanson. 2004. Epidemiology of Constipation in North America: A Systematic Review. American Journal of Gastroenterology 2004; 99:750759.
13.
Howell SC, Quine S, dan Talley NJ. 2006. Low Social Class is Linked to Upper Gastrointestinal Symptoms in an Australian Sample of Urban Adults. Scandinavian Journal Gastroenterol 2006; 41(6):657-66.
14.
Isbit, Jonathan. 2001. Health Benefits of the Natural Squatting Position. http://www.naturesplatform.com/health_benefits.html. (Diakses pada 12 Maret 2013).
15.
Jennie BSL. 2007. Probiotics: General Benefits for Health International Symposium Prebiotics for Optimum Health. IPB International Convention Center, Botani Square, Bogor.
16.
Muhammad, Najamudiin. 2010. Tanya Jawab Kesehatan Harian untuk Lansia. Yogyakarta: Tunas Publishing.
17.
Mulyani, Sri. 2012. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Konstipasi pada Lansia di RW II Keluarahan Rejomulyo Kecamatan Semarang Timur, Semarang. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Semarang.
Hubungan asupan..., Eka safrita Oktaviana, FKM-Ui, 2013
18.
Nurhayati, Ai et al. 2012. Pengaruh Mata Kuliah Berbasis Gizi pada Pemilihan Makanan Jajanan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Tata Boga. Jurnal Penelitian Pendidikan Vol. 13, No.1.
19.
Okuba et al. 2007. Dietary Patterns Associated with Functional Constipation among Japanese Women Aged 18 to 20 Years: A Cross-Sectional Study. Journal Nutrition Science Vitaminol (Tokyo) 53(3) : 232 – 8.
20.
Payne, Wayne A dan Dale B. Hahn. 2002. Managing Stress. In: Understanding Your Health 7th Edition. USA: Mc Graw Hill, 54-66.
21.
Peppas, George et al. 2008. Epidemiology of Constipation in Europe and Oceania: a systematic review. http://www.biomedcentral.com. (Diakses pada 4 Februari 2013).
22.
Rahmania, Raini. 2012. Hubungan antara Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Air dan Asupan Serat Pangan dengan Status Hidrasi dan Konstipasi Siswa SMP. Skripsi. Fakultas Ekologi Manusia Prodi Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor.
23.
Raissa, Talitha. 2012. Asupan Serat dan Cairan, Aktivitas Fisik, Serta Gejala Konstipasi pada Usia Lanjut. Skripsi. Fakultas Ekologi Manjusia Prodi Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor.
24.
Sakakibara, Ryuji et al. 2010. Influence of Body Position on Defecation in Humans. Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) 2, 16-21.
25.
Saputra, Suryono. 2000. Preferensi Iklan dan Produk serta Hubungannya dengan Konsumsi Fast Food dan Mie Instan pada Remaja SMU Negeri 1 Bogor. Skripsi. Fakultas Pertanian Prodi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian Bogor.
26.
Singh, Amarjeet. 2007. Do we really need to shift to pedestal type of latrines in India?. Indian Journal Community Med. 2007; 32:239-307.
27.
Sluiter et al. 2004. Stressful Work, Psychological Job Strain, and Turnover a 2-year prospective cohort study of truck drivers. Journal Appl Psychologycal 89 (3):442-54.
28.
Tanjung, Fahrul Azmi. 2011. Hubungan Posisi saat Buang Air Besar dengan Kejadian Konstipasi Fungsional pada Anak. Tesis. Program Magister Kedokteran Klinik Spesialis Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
29.
Theresia, Aprilia Sarah. 2009. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Konstipasi pada Guru di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 09 Pagi, SDN 10 Siang, dan SDN 11 Pagi di Wilayah Kebayoran Lama Selatan. Karya Tulis Ilmiah. Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan DEPKES Jakarta II.
Hubungan asupan..., Eka safrita Oktaviana, FKM-Ui, 2013
30.
Vrese, Michael et al. 2001. Probiotics Compensation for Lactose Insufficiency. The American Journal of Clinical Nutrition 2001; 73:421-9.
31.
World
Gastroenterology
Organization
(WGO).
2007.
[email protected]. (Diakses pada 4 Februari 2013). 32.
Yeager, Selene. 2007. The Doctors Book of Food Remedies. US: Rodale.
Hubungan asupan..., Eka safrita Oktaviana, FKM-Ui, 2013
Constipation.