PAJANAN PM2,5 DAN GANGGUAN FUNGSI PARU SERTA KADAR PROFIL LIPID DARAH (HDL, LDL, KOLESTEROL TOTAL, TRIGLISERIDA) PADA KARYAWAN PT X, KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2012 Laksita Ri Hastiti Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail :
[email protected]
Abstrak Latar Belakang: Pajanan PM2,5 berperan terhadap berbagai efek kesehatan pada manusia termasuk gangguan fungsi paru dan mempengaruhi kadar profil lipid darah yang secara tidak langsung berkaitan dengan risiko penyakit kardiovaskuler. Tujuan: Mengetahui hubungan antara pajanan PM2,5 dengan gangguan fungsi paru dan kadar profil lipid darah pada karyawan PT X, Kalimantan Selatan, Tahun 2012. Metode: Studi cross-sectional dilaksanakan di dua area kerja PT X (perusahaan tambang batubara) yaitu area pelabuhan dan non-pelabuhan. 154 karyawan terpilih secara acak sebagai sampel dalam penelitian ini. Peneliti mengukur pajanan PM2,5 secara indoor pada kedua area dan menyebarkan kuesioner. Dilakukan review terhadap data medical check-up karyawan pada tahun terakhir. Analisis secara multivariat dengan metode regresi logistik berganda. Hasil: Hasil studi menunjukkan faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru adalah umur (p-value= 0,007, 95% CI) dan masa kerja (p-value= <0,001, 95% CI). Faktor risiko yang berhubungan dengan kadar kolesterol total adalah masa kerja (p-value= <0,037, 95% CI), untuk trigliserida adalah umur (p-value= <0,001, 95% CI) dan IMT (OR= 3,375; 95% CI:1,672-6,813). Tidak ada variabel yang berhubungan secara statistik dengan kadar HDL dan LDL. Hasil analisis multivariat menunjukkan pajanan PM2,5 yang paling mempengaruhi gangguan fungsi paru (OR=1,9) serta kadar profil lipid darah yaitu kolesterol total (OR=1,6) dan trigliserida (OR=2,6) setelah dikontrol oleh variabel lain yang mempengaruhi gangguan fungsi paru dan kadar profil lipid darah. Kesimpulan: Pajanan PM2,5 berhubungan dengan gangguan fungsi paru dan kadar profil lipid darah pada karyawan, yaitu kadar kolesterol total dan trigliserida.
Abstract Background: Particulate exposure, especially PM2,5 probably affects to various kinds of health effect of human including lung function disorder and influences level of blood lipid profile. Along with that it is indirectly related to the risk of cardiovascular disease. Objective: The main objective of the research was to examine the relationship between PM2,5 exposure with lung function disorder as well as Level of Blood Lipid Profile on PT X’s Employees, South Borneo 2012. Method: The research was conducted with cross-sectional study in two working areas of PT X (coal mining company) those are port area and non-port area. There were 154 employees randomly chosen as samples in this research. PM2,5 exposure measured also within the indoor area. Thus, it had been done through distributing questionnaire and also reviewed upon the data of employee’s medical check-up in last year. The formulated binary logistic regression model was using for statistical calculation on PM2,5 exposure as main variables, along with age, working life, body mass index, smoking history, physical exercise habit, and the usage of personal protective equipment. Those were suspected as potential risk factors that influence lung function disorder and affected the level of blood lipid of the employees. The blood lipid profile was analyzed in each parameter. Outcome: The research shows that the risk factor that statistically relates to total cholesterol is the working life (pvalue= <0,037, 95% CI), for triglycerides the age (p-value= <0,001, 95% CI) and BMI (OR= 3,375; 95% CI:1,6726,813). There is no variable that is statistically related to increasing of the level of HDL and LDL. Multivariate analysis shows that PM2,5 exposure influences lung function disorder the most (OR=1,9) and blood lipid profile levels, which are
Pajanan PM2,5 ..., Laksita Ri Hastiti, FKM UI, 2013
total cholesterol (OR=1,6) and triglyceride (OR=2,6).After being controlled by other variables, those risk factors influence lung function disorder and level of blood lipid profile. Conclusion: PM2,5 exposure relates to lung function disorder and level of blood lipid profile of the employees, which are the level of total cholesterol and triglyceride. Keywords: PM2,5, coal mining, lung function disorder, blood lipid profile, cross-sectional
1. Pendahuluan Pertambangan secara umum memiliki dampak terhadap lingkungan. Besar dan signifikannya polusi lingkungan akibat kegiatan pertambangan tergantung dari jenis mineral yang ditambang, metode pertambangan, dan faktor lain yang bervariasi 1,2,3. Pertambangan batubara dengan seluruh kegiatan operasionalnya merupakan salah satu penyebab utama pencemaran lingkungan, terutama jumlah partikel debu batubara yang dihasilkan 2,4 . Kondisi ini menyebabkan pekerja berisiko terpajan debu dalam jumlah besar 5. Berbagai studi membuktikan adanya hubungan statistik antara partikel di udara ambien dengan kesehatan manusia. Namun, mekanisme spesifik melalui partikel terhirup yang menimbulkan efek kesehatan belum diketahui secara pasti 6. Dampak kesehatan yang berhubungan dengan pajanan debu batubara respirabel telah banyak didokumentasikan. Kandungan unsur maupun senyawa dalam debu batubara dapat membahayakan manusia. Pajanan debu batubara dalam jangka panjang berpotensi merusak semua sistem organ vital, menghambat pertumbuhan fisik, hingga menyebabkan kematian. Unsur beracun dalam debu batubara menyebabkan beberapa jenis kanker, kerusakan hati, penyakit paru-paru, kerusakan fungsi pernafasan, kerusakan ginjal, masalah pada organ reproduksi, penyakit saluran pencernaan, cacat lahir pada bayi, terhambatnya pertumbuhan tulang pada anak-anak, kerusakan sistem saraf, kemunduran fungsi kognitif, penghambat pertumbuhan dan masalah perilaku. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang kini menjadi permasalahan kesehatan masyarakat di Indonesia, terutama di dunia kerja (Kepmenkes RI Nomor 1022/MENKES/SK/XI/2008). Berdasarkan data WHO tahun 1990, PPOK menempati urutan keenam sebagai penyebab utama kematian di dunia, sedangkan pada tahun 2002 PPOK berada pada urutan ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. ILO tahun 1999 menyatakan penyebab kematian yang berhubungan dengan pekerjaan 21% akibat penyakit saluran pernafasan kronis.
Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Indonesia mengenai pengaruh debu batubara terhadap paru pekerja tambang penggalian di PT X menemukan bahwa insidens obstruksi dan restriksi masing-masing sebesar 6% dan 7,8%. Keluhan klinis yang paling sering dialami pekerja adalah batuk kronik (16,3%), sesak nafas (9,0%), dan berdahak kronik (7,8%) 7. Berbagai penelitian yang mengkaji efek pajanan PM2,5 terhadap kesehatan manusia menunjukkan bahwa pajanan PM2,5 secara tidak langsung mempengaruhi kadar profil lipid darah. Hal ini berkaitan dengan salah satu efek pajanan PM2,5 jangka panjang maupun jangka pendek terhadap manusia dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular dan kardiopulmonal 8. Penelitian mengenai pajanan PM2,5 dengan sistem kardiovaskular menemukan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan hematologi, terjadi perubahan kadar profil lipid darah dalam 3-4 hari setelah terkena pajanan PM2,5. Kadar kolesterol total dan LDL cenderung meningkat, sebaliknya kadar HDL mengalami penurunan 9. Tingginya kadar kolesterol total, LDL berhubungan dengan meningkatnya risiko atherosklerosis dan konsekuensinya, termasuk serangan jantung dan stroke 10. Secara umum, kesehatan pekerja dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pasal 3, telah diatur tentang pemberian pertolongan pada kecelakaan, mencegah dan pengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja, memelihara kebersihan, kesehatan, dan ketertiban, serta memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara, dan proses kerja. Pada Pasal 8 dinyatakan bahwa pemberi kerja berkewajiban memeriksakan kesehatan pekerja yang akan diterima maupun yang akan dipindahkan, serta pemeriksaan kesehatan secara berkala pada dokter yang ditunjuk oleh pengusaha dan dibenarkan oleh direktur. Perusahaan tersebut telah melakukan monitoring pajanan debu termasuk debu PM2,5 di lingkungan outdoor secara berkala. Hasilnya menunjukkan bahwa pajanan debu masih di bawah nilai baku mutu lingkungan (BML). Namun, berdasarkan karakteristik
Pajanan PM2,5 ..., Laksita Ri Hastiti, FKM UI, 2013
kegiatan atau operasional perusahaan, karyawan berisiko mengalami pajanan debu selama mereka bekerja secara kontinyu yang berdampak pada kesehatan. Hasil Medical Check-up (MCU) karyawan PT X tahun 2011 menunjukkan bahwa 87% karyawan mengalami displipidemia. Selain itu, 48% karyawan dinyatakan mengalami gangguan fungsi paru berdasarkan hasil pemeriksaan spirometri. Diketahui juga 37% karyawan merupakan perokok aktif yang berisiko menderita penyakit jantung koroner, kanker, impotensi, stroke, dan sebagainya. Kondisi Indeks Massa Tubuh (IMT) karyawan 3% termasuk kategori obesitas dan 29% termasuk kategori overweight. Hal ini membuat karyawan berisiko terkena berbagai penyakit degeneratif, terutama berkaitan dengan jantung dan pembuluh darah, diabetes mellitus, kanker, dan lainlain. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pajanan PM2,5 dengan gangguan fungsi paru dan kadar profil lipid darah (HDL, LDL, kolesterol total, trigliserida) pada karyawan PT X, Kalimantan Selatan, Tahun 2012. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan karyawan PT X mengenai hubungan pajanan PM2,5 dengan gangguan fungsi paru dan kadar profil lipid darah (HDL, LDL, kolesterol total, trigliserida). Dapat memberikan informasi baru mengenai gangguan fungsi paru dan kadar profil lipid darah (HDL, LDL, kolesterol total, trigliserida) akibat pajanan PM2,5 sehingga dapat mempersiapkan langkahlangkah pencegahan sederhana untuk menghindari timbulnya gejala gangguan fungsi paru dan kadar profil lipid darah yang tidak normal.
2. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan hubungan antara pajanan PM2,5 dengan gangguan fungsi paru dan kadar profil lipid darah (HDL, LDL, kolesterol total, dan trigliserida) pada karyawan PT X, Kalimantan Selatan. Studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi epidemiologi dengan desain cross sectional, dengan teknik pengumpulan data berupa kuesioner dan pengukuran langsung konsentrasi pajanan PM2,5. Selain itu juga menggunakan hasil pemeriksaan kapasitas fungsi paru dan profil lipid darah (HDL, LDL, Trigliserida, Kolesterol) dari medical record karyawan. Penelitian ini perlu dilakukan karena berdasarkan hasil pengukuran udara lingkungan outdoor yang dilakukan secara berkala, terdapat pajanan PM2,5 meskipun masih di bawah baku mutu lingkungan. Penelitian ini akan menjelaskan hubungan variabel utama yaitu konsentrasi debu PM2,5 dalam ruangan
dengan gangguan fungsi paru dan profil lipid darah (HDL, LDL, kolesterol total, trigliserida) dengan melihat hubungan variabel lainnya, seperti umur, masa kerja, indeks massa tubuh (IMT), kebiasaan merokok, kebiasaan olahraga, dan pemakaian APD yang dalam penelitian ini dimasukkan sebagai faktor risiko terjadinya gangguan fungsi paru dan berpengaruh terhadap profil lipid darah. Waktu penelitian dilakukan selama dua bulan, yaitu bulan November-Desember 2012. Pengukuran kadar debu PM2,5 dilakukan selama lima hari (5-10 November 2012), sedangkan pengambilan data medical check up (MCU) karyawan dilakukan pada tanggal 1619 November 2012. Sampel Penelitian. Besarnya sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus uji hipotesis two sided test yaitu 11,12. Setelah mempertimbangkan sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi terbatas, total sampel dalam penelitian ini sebesar 154 sampel dengan jumlah populasi terpajan dan tidak terpajan masingmasing 77 orang. Pengukuran PM2,5. Pengukuran konsentrasi pajanan PM2,5 dilakukan dengan mengunakan alat Haz-Dust EPAM 5000 untuk mengukur konsentrasi pajanan lingkungan indoor. Standar sampling yang digunakan adalah NIOSH 0600-1995 dengan menggunakan ARD (Arizona Road Dust) dan SNI 16-7058-2004. Pengukuran pengukuran pajanan PM2,5 secara indoor dilakukan di 10 titik pada siang hari dan 5 titik di malam hari yang dipilih dengan purposive sampling karena peneliti melihat lokasi di site cenderung memiliki karakteristik yang sama, yaitu penimbunan dan pengolahan batubara. Pengukuran pajanan PM2,5 pada siang hari meliputi area hopper 1, hopper 4, hopper 5, office 1, hopper 6, barging 1, barging 2, workshop 2, office (teras) dan office plant operational, kemudian pada malam hari meliputi hopper 1, hopper 4, hopper 6, camp 1 dan barging. Pemeriksaan Fungsi Paru dan Lipid Darah. Data medical check up (MCU) karyawan perusahaan tambang batubara tahun 2011 dikumpulkan dan diinput dalam bentuk database untuk memperoleh data sebagai berikut: a) hasil tes spirometri, meliputi kapasitas vital paksa (KVP) dan volume ekspirasi paksa dalam detik pertama (VEP1), baik nilai terukur maupun prediktif. b) kadar profil lipid darah, meliputi kadar HDL, kadar LDL, kadar kolesterol total, dan kadar trigliserida. Data penunjang lain diperoleh melalui pengisian kuesioner oleh karyawan yang bekerja saat penelitian dilakukan, baik di lokasi pelabuhan maupun nonpelabuhan. Kuesioner ini secara garis besar berisi: karakteristik individu, pola kerja, kebiasaan merokok, kebiasaan olahraga, serta pemakaian alat pelindung diri (APD). Data yang diperoleh dianalisis secara bivariat
Pajanan PM2,5 ..., Laksita Ri Hastiti, FKM UI, 2013
dengan uji Chi-Square dan T-Test serta analisis multivariat dengan model analisis regresi linier berganda.
3. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan pada 154 responden dengan 93,5% responden laki-laki dan 6,5% responden perempuan. Apabila dilihat dari tingkat pendidikan, mayoritas responden memiliki tingkat pendidikan lulusan D3/S1 ke atas, yaitu sebesar 50,6%, selebihnya 43,5% responden merupakan lulusan SMA, 5,2% lulusan SMP, dan 0,6% lulusan SD. Hasil perhitungan rata-rata pajanan PM2.5 di area pelabuhan sebesar 157,02 µg/m3 dengan asumsi bahwa setiap karyawan di pelabuhan memiliki risiko yang sama untuk terpajan PM2,5 di seluruh area pelabuhan karena mereka dapat berpindah-pindah lokasi kerja. Sedangkan rata-rata pajanan PM2,5 di non-pelabuhan yang terdiri dari dua area, masing-masing sebesar 30 µg/m3 dan 22 µg/m3. Apabila dibandingkan dengan nilai baku mutu lingkungan indoor, area pelabuhan merupakan area dengan konsentrasi pajanan PM2,5 melebihi baku mutu. Sedangkan area non-pelabuhan merupakan area dengan konsentrasi pajanan PM2,5 di bawah baku mutu (tabel 1 dan 2).
Gambaran Faktor Risiko. Umur responden terdistribusi dengan mean sebesar 34,04 tahun dan median 33,50 tahun (95% CI, standar deviasi 7,69). Nilai minimum umur responden sebesar 20 tahun, sedangkan nilai maksimumnya sebesar 51 tahun. Masa kerja responden terdistribusi dengan mean sebesar 7,03 tahun dan median 5,0 tahun (95% CI, standar deviasi 5,52). Nilai minimum masa kerja responden sebesar 1 tahun, sedangkan nilai maksimumnya sebesar 20 tahun. Distribusi faktor risiko lain, yaitu IMT, riwayat merokok, kebiasaan olahraga, dan pemakaian APD dapat dilihat dalam tabel 3. Hal yang perlu diperhatikan adalah 76,0% responden tidak memakai APD dengan benar. Tabel 3. Gambaran Distribusi Variabel Penelitian Variabel Pajanan PM2,5 Fungsi Paru HDL LDL TC TG
Tabel 1.Hasil Pengukuran Konsentrasi PM2,5 di Area Pelabuhan PT X
Titik Sampling Hopper 5 Hopper 1 Hopper 4 Hopper 6 Office Barging 1 Workshop 2 Barging 2 (luar) Office (luar) Barging 2 (dalam) Camp
Konsentrasi PM2,5 (µg/m3) Shift Shift Siang Malam 11 17 20 56 37 881 881 0,1 52 354 19 27 0,1 0,1 0,1
(-) Tidak dilakukan pengukuran konsentrasi PM 2,5 Sumber: Hiperkes, 2012
Tabel 2. Rata-rata Konsentrasi PM2,5 di Area Non-Pelabuhan PT X
Titik Sampling Office A Office B
IMT Merokok Olahraga APD
Status
Frek (orang) 77 77 90 64 121 33 131 23 60 94 104 50 92 62 97 57 94 60 37
Persentase (%) 50,0 50,0 58,4 41,6 78,6 21,4 85,1 14,9 39,0 61,0 67,5 32,5 59,7 40,3 63,0 37,0 61,0 39,0 24,0
117
76,0
Tabel 4. Hubungan antara Konsentrasi Pajanan PM2.5 dan Faktor Risiko Lain dengan Gangguan Fungsi Paru
Variabel PM2,5 Umur Masa Kerja IMT Merokok Olahraga APD
p-value 0,513 0,007 <0,001 0,356 0,054 0,489 0,811
Konsentrasi PM2,5 (µg/m3) 30 22
Sumber: Hiperkes, 2012
Pajanan PM2,5 ..., Laksita Ri Hastiti, FKM UI, 2013
OR (95% CI) 1,239 (0,652-2,354) 0,734 (0,379-1,418) 0,512 (0,258-1,016) 1,260 (0,654-2,428) 0,913 (0,432-1,928)
Tabel 5. Hubungan antara Konsentrasi Pajanan PM2.5 dan Faktor Risiko Lain dengan Kadar Profil Lipid Darah HDL Variabel
LDL
PM2,5
0,844
Umur Masa Kerja
0,925
OR (95% CI) 0,926 (0,429-2,000) -
0,573
-
IMT
0,188
Merokok
0,931
Olahraga
0,120
APD
0,974
p-value
0,597
OR (95% CI) 0,903 (0,372-2,192) -
0,521
-
p-value 0,821
0,577 (0,253-1,317) 0,965 (0,434-2,146) 0,515 (0,221-1,200) 0,985 (0,401-2,420)
Kolesterol Total OR p-value (95% CI) 1,939 0,047 (1,004-3,744) 0,058 -
0,946 (0,382-2,344) 1,112 (0,448-2,761) 0,644 (0,248-1,672) 0,878 (0,319-2,42)
0,905 0,820 0,363 0,802
-
0,037 0,697 0,150 0,833 0,350
Trigliserida OR p-value (95% CI) 3,015 0,002 (1,481-6,137) <0,001 0,141
0,734 (0,588-2,213) 0,512 (0,832-3,292) 1,260 (0,480-1,807) 0,690 (0,316-1,506)
0,001 0,213 0,592 0,108
3,375 (1,672-6,813) 1,549 (0,776-3,091) 1,207 (0,607-2,401) 0,538 (0,251-1,153)
Responden dengan gangguan fungsi paru sebesar 41,6%. Responden yang memiliki kadar HDL, LDL, kolesterol total, dan trigliserida masing-masing sebesar 21,4%; 14,9%; 61,0%; dan 32,5%.
mengontrol beberapa variabel konfonding. Model awal analisis untuk gangguan fungsi paru dan kadar profil lipid darah dilakukan dengan memasukkan semua variabel pajanan PM2,5 dan semua faktor risiko.
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan secara statistik terhadap gangguan fungsi paru adalah umur dan masa kerja (p-value 0,007 dan <0,001). Variabel lain secara statistik tidak berhubungan dengan gangguan fungsi paru.
Kemudian dilakukan penilaian konfonding dengan cara mengeluarkan konfonding satu-per satu dimulai dengan variabel yang memiliki p Wald terbesar. Selanjutnya, perubahan OR pajanan PM2,5 dihitung dari selisih OR baru dengan model awal. Apabila selisih OR melebihi 10%, maka variabel tersebut tetap masuk dalam model analisis dan dinyatakan sebagai konfonding. Proses pemilihan konfonding menghasilkan model akhir analisis dalam tabel 6 dan tabel 7.
Sedangkan variabel yang berhubungan secara statistik untuk setiap parameter kadar profil lipid darah bervariasi seperti terlihat dalam tabel 5. Tidak ada variabel yang berhubungan secara statistik dengan kadar HDL dan LDL responden. Pajanan PM2,5 dan masa kerja berhubungan dengan kadar kolesterol total (p-value 0,047 dan 0,037) . Pajanan PM2,5, umur, dan IMT berhubungan dengan kadar trigliserida (p-value 0,002, <0,001, dan 0,001).
Gangguan Fungsi Paru. Model akhir analisis hanya berisi variabel utama yaitu pajanan PM2,5 serta variabel konfonding seperti masa kerja, riwayat merokok, dan pemakaian APD. Berdasarkan hasil analisis multivariat dengan 95% CI, diketahui bahwa responden yang terpajan PM2,5 ≥BML berisiko 1,9 kali untuk mengalami gangguan fungsi paru dibandingkan responden yang terpajan PM2,5
Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui faktor konfonding yang berpengaruh terhadap gangguan fungsi paru dan kadar profil lipid darah. Pemodelan yang digunakan adalah model faktor risiko dengan tujuan mengestimasi secara valid hubungan satu variabel utama dengan variabel dependen dengan
Tabel 6. Model Akhir (Full Model) Analisis Multivariat Regresi Logistik Ganda Model Faktor Risiko antara Variabel Konsentrasi Pajanan PM2,5 dengan Gangguan Fungsi Paru
Variabel Dependen Gangguan Fungsi Paru
Variabel Independen PM2,5 Masa Kerja Merokok APD Constant
B
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
95% CI
0,654 -0,123 -0,670 0,432 0,060
0,394 0,036 0,367 0,451 0,487
2,756 11,408 3,330 0,920 0,015
1 1 1 1 1
0,097 <0,001 0,068 0,337 0,901
1,924 0,884 0,512 1,542 1,062
0,889-4,165 0,823-0,950 0,249-1,051 0,637-3,734
Pajanan PM2,5 ..., Laksita Ri Hastiti, FKM UI, 2013
Tabel 7. Model Akhir (Full Model) Analisis Multivariat Regresi Logistik Ganda Model Faktor Risiko antara Variabel Konsentrasi Pajanan PM2,5 dengan Profil Lipid Darah
Variabel Dependen HDL
LDL
Kolesterol
Trigliserida
Variabel Independen PM2,5 Masa Kerja IMT Constant PM2,5 Umur Constant PM2,5 Masa Kerja APD Constant PM2,5 Umur IMT APD Constant
B
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
95% CI
-0,152 0,023 -0,566
0,402 0,036 0,422
0,143 0,437 1,798
1 1 1
0,705 0,508 0,180
0,859 1,024 0,567
0,390-1,891 0,955-1,098 0,248-1,299
-0,180 0,018
0,471 0,030
0,144 0,376
1 1
0,704 0,539
0,836 1,019
0,332-2,106 0,960-1,082
0,480 -0,059 0,255
0,376 0,033 0,446
1,634 3,159 0,326
1 1 1
0,201 0,076 0,568
1,616 1,061 0,775
0,774-3,376 0,993-1,131 0,322-1,860
0,974 0,067 1,308 -0,289
0,438 0,026 0,394 0,467
4,953 6,579 11,006 0,381
1 1 1 1
0,026 0,010 <0,001 0,537
2,649 1,069 3,701 0,749
1,123-6,246 1,015-1,126 1,708-8,020 0,300-1,872
Kadar Profil Lipid Darah. Model akhir analisis multivariat untuk kadar HDL hanya berisi variabel utama yaitu pajanan PM2,5 serta variabel konfonding seperti masa kerja dan IMT. Model akhir untuk analisis multivariat kadar LDL berisi variabel utama pajanan PM2,5 serta variabel konfonding adalah umur. Analisis multivariat untuk kadar kolesterol total diperoleh model akhir variabel utama pajanan PM2,5 serta variabel konfondingnya adalah masa kerja dan pemakaian APD. Sedangkan untuk model akhir analisis multivariat kadar trigliserida, diperoleh variabel utama pajanan PM2,5 serta variabel konfonding seperti umur, IMT, dan pemakaian APD. Hasil analisis multivariat dengan 95% CI menunjukkan bahwa responden yang terpajan PM2,5 ≥BML berisiko 1,6 kali lebih besar untuk memiliki kadar kolesterol total yang tidak normal dibandingkan responden yang terpajan PM2,5
4. Pembahasan Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data medical check-up (MCU) yang dimiliki perusahaan merupakan data asli yang diperoleh dari pihak ketiga
yang memfasilitasi pemeriksaan kesehatan karyawan. Data yang diperoleh berupa hasil pemeriksaan akhir tanpa dapat diperoleh informasi standar pemeriksaan yang digunakan. Penentuan status gangguan fungsi paru hanya berdasarkan kesan hasil pemeriksaan yang ada dalam MCU karyawan. Pedoman penentuan kesan hasil tes spirometri tidak dapat diketahui dan tidak terdapat keterangan penjelasan di klinik perusahaan sehingga tidak dapat diuji validitas data spirometri yang ada. Data-data lain seperti masa kerja, riwayat merokok, kebiasaan olahraga, dan pemakaian APD diperoleh dari hasil kuesioner. Untuk variabel masa kerja dapat terjadi recall bias karena banyak karyawan yang ragu-ragu saat mengisi kuesioner. Bias juga dapat terjadi pada variabel riwayat merokok, kebiasaan olahraga, dan pemakaian APD karena ada kemungkinan karyawan tidak menjawab dengan sejujurnya. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa rata-rata konsentrasi pajanan PM2,5 dalam udara ruangan di area pelabuhan PT X telah melampaui baku mutu lingkungan yang ditetapkan oleh US EPA, yaitu sebesar 35 µg/m3. Gangguan Fungsi Paru. Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel yang memiliki hubungan yang signifikan atau bermakna dengan gangguan fungsi paru adalah umur dan massa kerja. Sementara itu, hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa dari seluruh variabel tersebut, yang paling berpengaruh terhadap gangguan fungsi paru adalah pajanan PM2,5 dengan OR 1,9 setelah dikontrol oleh variabel masa kerja, riwayat merokok, dan pemakaian APD sebagai konfonding.
Pajanan PM2,5 ..., Laksita Ri Hastiti, FKM UI, 2013
Pajanan PM2,5 berhubungan secara signifikan dengan terjadinya gangguan fungsi paru pada manusia. Hal ini sesuai dengan penelitian lain mengenai pajanan debu batubara respirabel telah dilakukan oleh Universitas Lambung Mangkurat di PT Kalimantan Prima Persada Sungai Puting tahun 2008. Gangguan pernapasan yang dialami oleh pekerja di area stockpile, antara lain betuk dengan atau tanpa dahak (49,15%), sesak napas (13,56%), asma (11,86%), keluhan di dada (10,17%) dan alergi terhadap debu (5,08%) 13. Insidens obstruksi dan restriksi pekerja tambang penggalian di PT X masing-masing sebesar 6% dan 7,8%. Keluhan klinis yang paling sering dialami pekerja adalah batuk kronik (16,3%), sesak napas (9,0%), dan berdahak kronik (7,8%) 7. Pajanan PM2,5 yang terhirup oleh manusia akan masuk hingga ke alveoli. Kondisi ini menyebabkan reaksi radang sehingga daya kembang paru menurun 14. Pajanan PM2,5 dengan tingkatan dosis tertentu menimbulkan dampak yang berbeda-beda. Semakin tinggi dosis pajanan PM2,5 maka terjadi penurunan fungsi paru yang lebih parah pada paru-paru tikus 15. Faktor Risiko Gangguan Fungsi Paru. Umur memiliki hubungan yang bermakna dengan gangguan fungsi paru, tetapi bukan merupakan variabel perancu dalam penelitian. Penelitian Tager et al., (1988) mengemukakan bahwa penurunan fungsi paru dapat terjadi pada orang yang tidak merokok pada usia 35 tahun 16. Perkembangan sistem pernapasan manusia terutama jaringan alveolar hingga 80% terhenti perkembangannya pada masa remaja akhir, yaitu 18 tahun pada perempuan dan 20 tahun pada laki-laki 17,18. Hasil penelitian dipertegas oleh penemuan bahwa fungsi paru akan mencapai optimal pada umur 20-25 tahun 19. Dalam perkembangannya paru-paru dapat mengalami modifikasi dan kerusakan yang berisiko untuk mengalami penyakit paru saat dewasa, misalnya penurunan fungsi paru. Theno (2001) menambahkan, tetelah mencapai fungsi paru optimal, pertambahan umur akan mempengaruhi penurunan fungsi paru hingga mencapai 28 ml per tahun 20. Masa kerja memiliki hubungan yang signifikan dengan gangguan fungsi paru. Rata-rata masa kerja responden yang mengalami gangguan fungsi paru adalah 5,28 tahun. Gangguan fungsi paru dapat terjadi setelah terpajan partikulat selama 5-6 tahun 21. Responden dengan masa kerja lebih lama memiliki risiko untuk mengalami gangguan fungsi paru. Pajanan PM2,5 dalam jangka panjang terhadap pekerja cat di Denmark dapat mempengaruhi kecepatan penurunan fungsi paru terkait usia seseorang 22. Penurunan fungsi paru ini tergantung pada kadar debu dalam udara dosis kumulatif debu di udara dalam lama
waktu tertentu, serta retensi debu dalam paru-paru 8,23. Lama pajanan partikel debu mempengaruhi fungsi paru akibat dosis pajanan yang masuk ke dalam tubuh 24. Dengan demikian, pihak perusahaan perlu melakukan pemeriksaan kesehatan berkala bagi para pekerja terutama yang masa kerjanya lebih dari 5 tahun dengan karakteristik pekerjaan yang sering terpajan debu untuk memperoleh pemeriksaan yang lebih spesifik berkaitan dengan sistem pernapasan. Monitoring kesehatan karyawan dengan masa kerja lebih dari 5 tahun ini berkaitan dengan efek pajanan jangka panjang dari pajanan debu terutama PM2,5 bagi kesehatan karyawan. Tidak ada hubungan yang signifikan antara indeks massa tubuh (IMT) dengan gangguan fungsi paru. Hasil ini tidak sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa berat badan yang rendah (tidak normal) mempengaruhi kekuatan otot respirasi dan peningkatan mortalitas 25. Obesitas berhubungan dengan pengurangan kapasitas vital paru-paru yang menyebabkan pernyakit paru restriktif 26. Volume tidal orang yang obesitas lebih besar dari orang dengan IMT normal dan frekuensi bernapasnya pun lebih cepat sehingga dapat menyebabkan partikulat yang terhirup lebih besar jumlahnya 27. Dengan demikian, secara empiris telah dibuktikan dalam penelitian lain bahwa status IMT obesitas memiliki risiko yang lebih besar dibandingkan dengan karyawan dengan IMT normal untuk menyerap pajanan partikulat dan mengalami gangguan fungsi paru. Meskipun terdapat hubungan yang tidak signifikan antara IMT dengan gangguan fungsi paru, status IMT karyawan perlu diperhatikan oleh perusahaan. Berdasarkan hasil review medical check-up (MCU) karyawan pada tahun 2011 oleh klinik perusahaan, terdapat 29% karyawan yang memiliki status overweight dan 3% mengalami obesitas. Status IMT karyawan memang berhubungan dengan banyak faktor. Karyawan perlu memperhatikan asupan makanan yang mereka konsumsi sehari-hari. Penyediaan makanan dari jasa katering sebaiknya mengandung gizi yang seimbang yaitu tinggi serat dan rendah kolesterol. Status IMT yang tidak normal akan menyebabkan karyawan berisiko terkena penyakit terutama penyakit degeneratif seperti diabetes melitus, penyakit jantung dan kardiovaskuler, dan sebagainya. Karyawan yang bekerja di non-pelabuhan dengan kegiatan di area kantor juga perlu memperhatikan status IMT. Meskipun risiko terpajan PM2,5 secara akumulatif lebih kecil dibandingkan dengan karyawan yang bekerja di area pelabuhan, karyawan di area nonpelabuhan kemungkinan memiliki IMT yang tidak normal akibat aktivitas fisik yang terbatas di area kantor. Asupan makanan kemungkinan lebih bervariasi dan kurang terkontrol karena seusai jam kerja kantor
Pajanan PM2,5 ..., Laksita Ri Hastiti, FKM UI, 2013
asupan makanan karyawan tidak dapat diawasi oleh jasa katering. Apabila karyawan tidak mengontrol asupan makanan, maka dikhawatirkan mempengaruhi IMT karyawan menjadi tidak normal. Tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat merokok dengan gangguan fungsi paru. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian Andrew (1998) yang menemukan bahwa perokok berisiko mengalami penurunan fungsi paru, batuk kronis, peningkatan sputum atau dahak, dan sesak napas akibat reaksi lebih dari 4000 zat kimia yang berefek langsung pada sistem pernapasan manusia 28. Hubungan yang tidak signifikan antara riwayat merokok karyawan dengan gangguan fungsi paru dapat terjadi karena dalam penelitian ini, peneliti fokus pada kondisi saat penelitian dilakukan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa saat penelitian dilakukan, peneliti membuat ketegori riwayat merokok berdasarkan merokok atau tidak merokok saat dilakukan penelitian. Karyawan dengan status telah berhenti merokok masuk dalam kategori tidak merokok. Penelitian ini juga tidak dapat menjelaskan penurunan fungsi paru karyawan dari tahun ke tahun. Penelitian ini tidak dapat mengukur berapa rata-rata penurunan fungsi paru pada karyawan karena tidak tersedianya data pemeriksaan fungsi paru secara lengkap. Penelitian lain menemukan bahwa laki-laki yang merokok 1 bungkus per hari dapat menurunkan FEV1 rata-rata sebesar 12,6 ml per tahun. Sedangkan perempuan yang merokok 1 bungkus per hari dapat menurunkan FEV1 rata-rata sebesar 7,1 ml per tahun 29 . Hasil penelitian yang menyebutkan bahwa orang yang tidak merokok pun memiliki risiko untuk terkena gangguan fungsi paru. Perokok pasif memiliki risiko 2,5% lebih besar untuk terkena gangguan fungsi paru dibandingkan dengan perokok aktif dengan risiko sebesar 1,4% 30. PT X baik di area pelabuhan maupun non-pelabuhan didominasi oleh karyawan berjenis kelamin laki-laki yang cenderung memiliki kebiasaan merokok. Pihak klinik perusahaan sudah melakukan sosialisasi mengenai bahaya merokok. Sebagian besar area kerja di PT X pun telah diberlakukan larangan merokok terutama di ruangan ber-AC dan lokasi yang memiliki risiko ledakan dan kebakaran. Dengan demikian, setidaknya ada upaya untuk mengurangi konsumsi rokok oleh karyawan yang merokok. Tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan olahraga dengan gangguan fungsi paru. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya. Kapasitas vital paru seseorang dipengaruhi oleh
kebiasaan olahraga. Kapasitas vital paru-paru seorang atlet lebih besar daripada orang yang tidak pernah berolahraga 31. Berdasarkan hasil kuesioner pada karyawan PT X, 61% responden memiliki kebiasaan berolah raga. Frekuensi kebiasaan olahraga masingmasing responden pun beragam. Peneliti tidak dapat memastikan kebiasaan olahraga responden sesuai dengan yang dimaksud dalam penelitian. Meskipun tidak menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap gangguan fungsi paru, olahraga atau aktivitas fisik perlu dilakukan oleh karyawan. Selain menjaga kebugaran tubuh, olahraga dapat memberikan dampak positif dan meningkatkan daya tahan tubuh. Keterangan dari para responden menyatakan bahwa kebiasaan olahraga tergantung dari masing-masing individu di perusahaan. PT X memfasilitasi sarana olahraga. Pihak klinik perusahaan juga dapat memberikan himbauan kepada para karyawan untuk menjaga kesehatan tubuh, salah satunya melalui olahraga. Tidak ada hubungan yang signifikan antara pemakaian APD dengan gangguan fungsi paru. Dalam penelitian ini, diketahui bahwa 76% responden tidak memakai APD dengan benar saat bekerja. APD yang digunakan terutama untuk melindungi karyawan dari pajanan debu adalah masker. Hasil observasi dan pengisian kuesioner dapat menggambarkan bahwa pekerja merasa tidak nyaman dengan penggunaan masker secara terus-menerus selama mereka bekerja. Dalam penelitian ini, yang dikategorikan menggunakan APD dengan benar adalah karyawan yang selalu menggunakan masker selama bekerja. Sedangkan karyawan yang tidak pernah atau kadang-kadang menggunakan masker saat bekerja dianggap tidak memakai APD dengan benar saat bekerja. Beberapa karyawan menyebutkan bahwa mereka terbiasa di lingkungan berdebu. Sejauh ini mereka merasa bahwa tidak ada keluhan kesehatan yang berarti sehingga mereka merasa tidak perlu terus-menerus menggunakan masker saat mereka bekerja. Pihak perusahaan sendiri sudah menyediakan masker sesuai dengan kebutuhan pekerjaan. Jenisnya pun beragam sesuai dengan tingkat pajanan debu. Namun, meskipun banyak karyawan yang merasa terganggu dengan adanya pajanan debu di lokasi kerja mereka, masih banyak karyawan yang tidak memakai masker dengan benar. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja Pasal 9, 12, dan 14 yang mengatur penyediaan alat pelindung diri (APD) pleh pengusaha dan penggunaan alat pelindung diri secara tepat di tempat kerja oleh pekerja. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1973 tentang Pengaturan
Pajanan PM2,5 ..., Laksita Ri Hastiti, FKM UI, 2013
dan Pengawasan Keselamatan Kerja di Bidang Pertambangan Bab XXII Pasal 40 juga mengatur penggunaan APD dengan benar apabila memasuki area kerja dan saat bekerja. APD terutama masker merupakan salah satu sarana untuk melindungi pekerja dari pajanan PM2,5 di tempat kerja. dengan pemakaian APD dengan benar saat bekerja, maka risiko untuk terpajan PM2,5 akan menurun. Kadar Profil Lipid Darah. Analisis terhadap kadar HDL menunjukkan bahwa tidak ada variabel yang memiliki hubungan yang signifikan atau bermakna dengan kadar HDL. Analisis terhadap kadar LDL juga menunjukkan hasil yang sama dengan kadar HDL. Tidak ada variabel yang memiliki hubungan yang signifikan atau bermakna dengan kadar LDL. Lain halnya dengan analisis terhadap kadar HDL dan kadar LDL, hasil analisis multivariat terhadap kadar kolesterol total dan kadar trigliserida menunjukkan hubungan yang bermakna antara pajanan PM2,5 dengan kadar kolesterol total dan kadar trigliserida. Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel yang memiliki hubungan yang bermakna dengan kadar kolesterol total adalah pajanan PM2,5 dan masa kerja. Sedangkan dari hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa dari seluruh variabel tersebut, yang paling berpengaruh terhadap kadar kolesterol total adalah pajanan PM2,5. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa karyawan yang terpajan PM2,5 lebih besar atau sama dengan nilai baku mutu udara ruangan berisiko 1,6 kali lebih besar untuk memiliki kadar kolesterol total yang tidak normal dibandingkan karyawan yang terpajan PM2,5 lebih kecil dari nilai baku mutu dengan variabel masa kerja dan pemakaian APD sebagai faktor risiko atau konfonding yang mempengaruhi hubungan konsentrasi PM2,5 dengan kadar kolesterol total. Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel yang memiliki hubungan yang bermakna dengan kadar trigliserida adalah pajanan PM2,5 dan masa kerja. Sementara itu, hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa dari seluruh variabel tersebut, yang paling berpengaruh terhadap kadar trigliserida adalah pajanan PM2,5. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa karyawan yang terpajan PM2,5 lebih dari atau sama dengan baku mutu udara ruangan berisiko 2,6 kali lebih besar untuk memiliki kadar trigliserida yang tidak normal dibandingkan karyawan yang terpajan PM2,5 lebih kecil dari baku mutu dengan variabel umur, IMT, dan pemakaian APD sebagai variabel konfonding yang mempengaruhi hubungan konsentrasi PM2,5 dengan kadar trigliserida.
Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang mengamati peningkatan jumlah pajanan partikel dengan diameter aerodinamis <10 µm berkaitan dengan tingginya tekanan darah sistolik (rentang interkuartil, 34 μg/m3, untuk 0,47 mmHg, 95% CI (0.09-1,02), trigliserida, apolipoprotein B, hemoglobin A1c, dan penurunan jumlah HDL 32. Pajanan PM berkaitan dengan perubahan lipid darah. Kadar lemak dalam lengkungan aorta meningkat 1,5 kali lipat pada tikus yang diberi lemak tinggi dan terkena pajanan PM dibandingkan dibandingkan dengan tikus tanpa pajanan PM atau dalam udara bersih 33. Dalam suatu studi epidemiologi dengan desain case-control, polisi yang terpajan polusi lalu lintas memiliki nilai rata-rata HDL dan trigliserida meningkat pada kelompok terpajan dibandingkan dengan polisi pada kelompok tidak terpapar 34. Penelitian lain mengamati penurunan awal HDL diikuti oleh penurunan HDL, LDL, dan kolesterol total dengan masa perubahan 3-4 hari. Hal ini berbeda dengan hasil studi sebelumnya di mana terjadi peningkatan kadar trigliserida dan LDL terkait dengan pajanan PM pada penderita asthma 35. Dilaporkan terjadi penurunan rasio HDL/LDL, VLDL, dan trigliserida pada sukarelawan sehat yang terpajan ultrafine particle 36. Penelitian ini hanya melihat profil lipid darah dalam satu waktu saja. Oleh karena itu, peneliti tidak dapat memberikan gambaran perubahan kadar profil lipid darah pada karyawan akibat pajanan PM2,5. Apabila peneliti memiliki data hasil pemeriksaan profil lipid darah yang lengkap pada tahun sebelum atau sesudah data MCU yang digunakan, maka peneliti dapat membandingkan adanya peningkatan atau penurunan kadar profil lipid darah yang dialami oleh karyawan akibat pajanan PM2,5. Tidak ada hubungan signifikan antara pajanan PM2,5 dengan kadar profil lipid darah. Peneliti tidak dapat membuktikan bahwa pajanan PM2,5 berhubungan dengan kadar HDL dan kadar LDL. Peneliti memperkirakan hubungan yang tidak bermakna antara pajanan PM2,5 dengan kadar HDL dan kadar LDL ini terjadi karena pada karyawan yang menjadi responden, rata-rata memiliki kadar HDL dan kadar LDL yang normal. Faktor Risiko Kadar Profil Lipid Darah. Analisis secara bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara umur dengan kadar trigliserida dengan rata-rata umur responden yang berstatus kadar trigliserida tidak normal 37,30 tahun. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil studi terkini yang menunjukkan estimasi prevalensi terjadinya abnormalitas pada kadar lipid darah seperti HDL, LDL, trigliserida, dan total kolesterol pada masyarakat Tibet yang berusia 30-70 tahun berasosiasi positif dengan risiko penyakit jantung
Pajanan PM2,5 ..., Laksita Ri Hastiti, FKM UI, 2013
koroner. Umur dan jenis kelamin mempengaruhi kadar lipid darah seseorang 37. Rata-rata kadar kolesterol total dan LDL meningkat secara signifikan seiring bertambahnya umur responden dengan rata-rata kadar profil lipid darah lebih tinggi pada pria 38. Terdapat hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan kadar kolesterol total. Rata-rata masa kerja responden yang berstatus kadar kolesterol total tidak normal 7,74 tahun. Lama pajanan partikel debu dapat mempengaruhi dosis pajanan yang masuk ke dalam tubuh 24. Meski penelitian ini tidak secara langsung dapat menjelaskan hubungan antara masa kera dengan kadar profil lipid darah, akan tetapi dikhawatirkan dengan akumulasi pajanan PM2,5 pada karyawan dapat memperparah efek kesehatan yang ditimbulkan. Tidak ada hubungan yang signifikan antara umur dan masa kerja dengan semua parameter kadar profil lipid darah. Secara statistik memang tidak semuanya memiliki hubungan yang bermakna. Namun, berdasarkan mekanisme terjadinya perubahan dalam kadar profil lipid darah, setiap parameter saling mempengaruhi satu sama lain. Tubuh memiliki mekanisme pencernaan dan transportasi lipida yang kompleks 39. Transportasi lipida dalam tubuh dilakukan oleh komponen lipoprotein dalam darah. Dengan demikian, satu parameter profil lipid darah dapat mempengaruhi profil lipid darah yang lain. Ada hubungan yang bermakna antara indeks massa tubuh (IMT) dengan kadar trigliserida. Kadar trigliserida sangat erat hubungannya dengan obesitas. Umumnya orang yang gemuk memiliki kadar trigliserida yang tinggi kemudian disimpan di dalam lipatan lemak 40. Obesitas menjadi faktor risiko terjadinya hipertensi, dislipidemia, jantung koroner, diabetes mellitus, dan penyakit pernapasan 41,42. Selain itu juga mempengaruhi trigliserida dan menjadi penyebab dislipidemia. Tidak ada hubungan yang bermakna antara IMT dengan kadar HDL, LDL, dan kolesterol total. Penelitian sebelumnya membuktikan penambahan berat badan biasanya diikuti dengan peningkatan kadar kolesterol total 40. Kenaikan kadar kolesterol total sebesar 7 mg/dL dan wanita 5 mg/dL terjadi setiap kenaikan berat badan sebesar 5 kg. Penelitian Khomsan (2003) di Farmingham menunjukkan bahwa kenaikan berat badan sebesar 10% pada laki-laki akan menyebabkan kenaikan kadar kolesterol darah sebesar 11 mg/dL 43. Berat badan berhubungan dengan kejadian iritasi saluran pernapasan, gangguan pernapasan lainnya, dan penyakit kardiovaskular. Penelitian ini tidak melihat hingga perbedaan kadar profil lipid darah pada dua periode pemeriksaan.
Kadar HDL pada perokok aktif lebih rendah 4,5-6,5% dibandingkan dengan perokok pasif 44. Penurunan kadar HDL ini berbanding lurus dengan jumlah rokok yang dihisap. Kadar HDL akan kembali normal apabila perokok berhenti merokok selama satu tahun. Hal ini disebabkan merokok dapat memperlemah dinding arteri dan mempermudah permukaan membran sel untuk menyimpan lemak. Penelitian Burtis et al., (1993) membuktikan bahwa merokok dapat mempengaruhi profil lipid darah akibat peningkatan jumlah kolesterol dan trigliserida sedangkan jumlah HDL pada perokok lebih rendah dibandingkan dengan kadar HDL pada orang yang bukan perokok 45. Tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat merokok dengan kadar profil lipid darah. Ketidaksesuaian hasil penelitian dengan penelitian sebelumnya juga terjadi dalam hasil analisis terhadap variabel kebiasaan olahraga dan pemakaian APD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan olahraga dan pemakaian APD dengan kadar profil lipid darah. Hasil tersebut tidak sesuai dengan studi epidemiologi yang membuktikan bahwa ada hubungan antara tingginya kadar HDL dengan besarnya intensitas aktivitas fisik 10. Terdapat perbedaan pola komponen lipid secara jelas yang berkaitan dengan penyakit jantung koroner seperti kenaikan tekanan darah, kebiasaan merokok, rendahnya aktivitas fisik, obesitas dan kebiasaan makan makanan yang tidak sehat 38. Belum ditemukan adanya teori yang secara spesifik dapat menjelaskan hubungan antara pemakaian APD dengan kadar profil lipid darah. Namun, berdasarkan mekanisme terjadinya perubahan kadar profil lipid darah akibat pajanan PM2,5, pemakaian APD dengan benar saat bekerja diduga dapat mengurangi risiko pajanan terhadap pekerja. Penjelasan mengenai hasil analisis hubungan berbagai faktor risiko yang diduga mempengaruhi kadar profil lipid dalam darah menunjukkan bahwa beberapa faktor risiko terbukti berhubungan secara signifikan dengan kadar profil lipid darah. Kadar profil lipid darah memang dipengaruhi oleh banyak faktor. Tidak hanya faktor risiko yang peneliti uji dalam penelitian ini. Namun, kondisi tersebut setidaknya bisa memberikan gambaran bagi PT X bahwa karyawan memiliki risiko memiliki kadar profil lipid darah yang tidak normal akibat berbagai faktor, salah satunya yang menjadi faktor utama dalam penelitian ini yaitu pajanan PM2,5. Berdasarkan hasil analisis terhadap gangguan fungsi paru dan beberapa parameter kadar profil lipid darah, pajanan PM2,5 menjadi faktor yang paling dominan menyebabkan gangguan fungsi paru dan kadar profil lipid darah yang tidak normal setelah dikontrol dengan
Pajanan PM2,5 ..., Laksita Ri Hastiti, FKM UI, 2013
variabel-variabel konfonding. Konsentrasi pajanan PM2,5 menjadi sasaran intervensi utama, kemudian perusahaan baru dapat melakukan intervensi pada faktor risiko lain yang mempengaruhi gangguan fungsi paru pada pekerja. Melalui penelitian ini, sangat diharapkan pihak PT X dapat melakukan tindakan pengendalian pajanan debu di area kerja, baik di area pelabuhan maupun non pelabuhan. Hal ini dapat dilakukan dengan pengendalian hazard debu melalui optimalisasi pengendalian pajanan debu yang sudah ada. Pihak PT X juga perlu melaksanakan optimalisasi pemantauan terhadap kualitas udara ambient di lingkungan outdoor maupun indoor terutama di area pelabuhan secara berkala. Penelitian ini menganalisis efek pajanan PM2,5 berdasarkan efek yang muncul dalam pajanan jangka pendek. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai pajanan debu terutama untuk parameter debu logam yang lebih spesifik. Hal ini akan bermanfaat bagi perusahaan untuk melakukan monitoring kualitas udara lingkungan yang berkaitan dengan efek kesehatan karyawan yang bersifat kronis. Di sisi lain, PT X dapat melakukan monitoring pajanan PM2,5 serta efeknya terhadap kesehatan karyawan. Selain itu, PT X dapat melakukan analisis risiko akibat pajanan debu tidak hanya berdasarkan ukuran partikulat, tetapi berdasarkan komposisi elemental dan mineralogi secara komprehensif, berkala, dan berkesinambungan serta analisis lebih lanjut efek pajanan PM2,5 terhadap kesehatan karyawan. Hal yang penting juga agar terjalin kerjasama yang baik antara berbagai pihak di PT X terutama karyawan untuk bersama-sama menciptakan lingkungan kerja, proses kerja, serta perilaku kerja yang sehat dan selamat. Berbagai upaya pengendalian yang dilakukan oleh perusahaan untuk melindungi karyawan dari pajanan hazard, salah satunya pajanan PM2,5, tidak akan memberikan dampak yang berarti apabila tidak diimbangi oleh kesadaran karyawan akan kesehatannya sendiri.
5. Kesimpulan Terdapat hubungan yang signifikan antara pajanan PM2,5 dengan gangguan fungsi paru (OR 1,9). Terdapat hubungan yang signifikan antara pajanan PM2,5 dengan dua parameter kadar profil lipid darah, yaitu kolesterol total (OR 1,6) dan trigliserida (OR 2,6). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel yang dianggap sebagai faktor risiko dalam penelitian terhadap kadar profil lipid darah untuk parameter HDL dan LDL. Variabel yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru adalah umur dan masa kerja karyawan. Variabel yang paling berpengaruh terhadap gangguan fungsi
paru adalah pajanan PM2,5 setelah dikontrol oleh masa kerja, riwayat merokok, dan pemakaian alat pelindung diri (APD) sebagai faktor konfonding. Variabel yang berhubungan dengan kadar profil lipid darah untuk kadar kolesterol total adalah masa kerja. Sedangkan variabel yang berhubungan dengan kadar trigliserida adalah umur dan indeks massa tubuh (IMT). Tidak terdapat variabel yang memiliki hubungan yang signifikan secara statistik dengan kadar HDL dan LDL. a) Variabel yang paling berpengaruh terhadap kadar profil lipid darah untuk kadar kolesterol total dan trigliserida adalah pajanan PM2,5. b) Faktor konfonding yang mempengaruhi hubungan pajanan PM2,5 dengan kadar HDL adalah masa kerja dan IMT. c) Faktor konfonding yang mempengaruhi hubungan pajanan PM2,5 dengan kadar LDL adalah umur. d) Faktor konfonding yang mempengaruhi hubungan pajanan PM2,5 dengan kadar kolesterol total adalah masa kerja dan pemakaian APD. e) Faktor konfonding yang mempengaruhi hubungan pajanan PM2,5 dengan kadar trigliserida adalah umur, IMT, dan pemakaian APD. Dengan demikian, perlu melakukan optimalisasi pengendalian pajanan debu yang sudah ada. Pihak PT X juga perlu melaksanakan optimalisasi pemantauan terhadap kualitas udara ambient di lingkungan outdoor maupun indoor terutama di area pelabuhan secara berkala. PT X dapat melakukan monitoring pajanan PM2,5 serta efeknya terhadap kesehatan karyawan terutama yang bersifat kronis. Selain itu, perlu melakukan analisis risiko akibat pajanan debu tidak hanya berdasarkan ukuran partikulat, tetapi berdasarkan komposisi elemental dan mineralogi serta analisis lebih lanjut efek pajanan PM2,5 terhadap kesehatan karyawan.
Daftar Acuan 1. Palmer, M.A. et al. (2010). Mountaintop Mining Consequences. Science 327, 148-149. 2. Ghose, M.K., (2007). Generation and Quantification of Hazardous Dust From Coal Mining in the Indian Context. Environmental Monitoring and Assessment, 130, 35-45. 3. Chaulya, S. K., Ahmad, M., Singh, R. S., Bandopadhyay, L. K., Bondyopadhay, C., & Mondal, G. C. (2003). Validation of Two Air Quality Models for Indian Mining Conditions. Environmental Monitoring and Assessment, 82, 2343. 4. Mejía, Grethel León et al. (2010). Assessment of DNA Damage in Coal Open-cast Mining Workers Using the Cytokinesis-Blocked Micronucleus Test and the Comet Assay. Science of the total Environment, 409, 686-691.
Pajanan PM2,5 ..., Laksita Ri Hastiti, FKM UI, 2013
5. Kumari, Shoba et al. (2011). Determination of Quartz and Its Abundance in Respirable Airborne Dust in Both Coal and Metal Mines in India. Procedia Engineering, 26, 1810-1819. 6. Veranth, Jhon M. et al. (2010). Coal Fly Ash and Minenal Dust for Toxicology and Particle Characterization Studies: Equipment and Methods for PM2.5- and PM1-Enriches Samples. Aerosol Science and Technology, 32(2), 127-141. 7. Razi, Fakhrur et al. (2008). Pengaruh Debu Batubara terhadap Paru Pekerja Tambang Penggalian. Majalah Kedokteran Indonesia, 58(2). 8. World Health Organization (WHO). (2004). Health Aspects of Air Pollution: Results from the WHO Project : “Systematic Review of Health Aspects of Air Pollution in Europe”. Copenhagen: WHO Regional Office for Europe. 9. Schneider, Alexandra, Lucas M. Neas, Don W. Graff et.al. (2010). Association of Cardiac and Vascular Changes with Ambient PM2,5 in Diabetic Individuals. Particle and Fibre Toxicology, 7, 14. 10. Tanchoco, Celeste C et.al. (2011). The Effect of Egg Consumption on Lipid Profile Among Selected 30-60 Year-Old Filipino Addults. Philippine Journal of Science, 140(1), 51-58. 11. Aday, Lu Ann & Llewellyn J. Cornelius. (2006). Designing and Conducting Health Surveys: A Comprehensive Guide. (3rd. Ed). John Wiley & Sons, Inc.: San Francisco. 12. Lemeshow & S.K. Lwanga. (1991). Sample Size Determination in Health Studies: A Practical Manual. World Health Organization: Geneva. 13. Sholihah, Qomariyatus et al. (2008). Pajanan Debu Batubara dan Gangguan Pernafasan pada Pekerja Lapangan Tambang Batubara. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 4(2),1-8. 14. Fordiastiko et.al. (2002). Prevalensi Kelainan Foto Toraks dan Penurunan Faal Paru Pekerja di Lingkungan Pabrik Semen. [Skripsi]. Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta. 15. Wegesser et.al. (2002). Particulate Matter Exposure Assessment. Environmental Health Perspective, 108, A544-A545. 16. Marossi et.al. (2007). Childhood Chest Illness and the Rate of Decline of Adult Lung Function Between Age 35 and 45 Years. American Journal Respirology Critical Care Medicine, 175, 4. 17. Fortoul, TI et.al. (2011). Air Pollution and Its Effects in the Respiratory System. Intech, 41-68. 18. Gauderman et.al. (2004). The Effect of Air Pollution and Lung Function Growth in Southern California Children. American Journal Respirology Critical Care Medicine, 162, 1383-1390. 19. Gotschi et.al. (2008). Air Pollution and Lung Function in the European Community Respiratory Health Survey. International Journal of Epidemiology, 37, 1349-1358.
20. Novianti, Dian. (2008). Hubungan Konsentrasi PM2,5 Udara Ruang terhadap Penurunan Fungsi Paru Ibu Rumah Tangga di Kelurahan Rawa Terate, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2008. [Tesis]. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok. 21. Borm et.al. (2002). Respiratory Symptoms, Lung Function, and Nasal Cellularity in Indonesian Wood Workers: A Dose Response Analysis. Occupational Environmental Medicine, 59, 338344. 22. Christensen, SW et.al. (2008). A Prospective Study Of Decline in Lung Function in Relation to Welding Emissions. Journal of Occupational Medicine and Toxicology, 26, 3-6. 23. World Health Organization (WHO). (1995). Hazard Prevention and Control in thw Work Environment: Airborne Dust. Occupational and Environmental Health. 24. Meo et.al. (2009). Effect of Duration of Exposure to Polluted Air Environment on Lung Function in Subjects Exposes to Crude Oil Spill Into Sea water. International Journal of Occupational Medicine and Environmental Health, 22(1), 35-41. 25. Brashers, Valentina L. (2007). Aplikasi Patofisiologi: Pemeriksaan dan Manajemen. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 26. Sabiston. (1995). Buku Ajar Bedah bagian 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 27. Jeon, You Hoon, Hyeon Jong Yang, Bok Yang Pyun. (2009). Lung Function in Korean Adolescent Girls: in Association with Obesity and the Menstrual Cycle. Journal of Korean Medical Science, 24, 20-5. 28. Carpenito, Lynda J. (2009). Diagnosis Keperawatan: Aplikasi pada Praktik Klinis. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 29. Cui et.al. (2010). Effect of Smoking in Lung Function, Respiratory Symptoms, and Respiratory Diseases aming HIV-Positive Subjects: a CrossSectional Study. AIDS Research and Theraphy, 7,6. 30. Williamson, J.M. (2010). Environmental Tobacco Smoke and Children’s Health. Eastern Economic Journal, 36, 423-449. 31. Guyton & Hall. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. (Ed.9). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 32. Chuang, Kai-jen, Yuan-Horng Yan, & Tsun-Jen Cheng. (2010) Effect of Air Pollution on Blood Pressure, Blood Lipids, and Blood Sugar: A Population-Based Approach. Journal of Occupational & Environmental Medicine, 52, 258262. 33. Sun Q. et.al. (2005). Long-term Air Pollution Exposure and Acceleration of Atherosclerosis and Vascular Inflammation in an Animal Model. JAMA, 294(23),3003-3010.
Pajanan PM2,5 ..., Laksita Ri Hastiti, FKM UI, 2013
34. Tomao E. et.al. (2002). The Effects of Air Pollution on the Lipid Balance of Traffic Police Personnel. Ann Saudi Med, 22(5-6),287-290. 35. Yeatts K. et.al. (2007). Coarse Particulate Matter (PM2.5-10) Affects Heart Rate Variability, Blood Lipids, and Circulating Eosinophils in Adults with Asthma. Environmental Health Perspective, 115(5):709-714. 36. Samet JM. et.al. (2009). Concentrated Ambient Ultrafine Particle Exposure Induces Cardiac Changes in Young Healthy Volunteers. American Journal Respirology Criteria Care Medicine, 179(11),1034-1042. 37. Abubakar, A et.al. (2009). Relation of Body Mass Index with Lipid Profile and Blood Pressure in Healthy Female of Lower Socioeconomic Group, in Kaduna Northen Nigeria. Asian Journal of Medical Sciences, 1(3), 94-96. 38. Sherpa, Khamo Y. et.al. (2011). Lipid Profile and Its Association with Risk Factors for Coronary Heart Disease in the Highlanders of Lasha, Tibet. High Altitude Medicine & Biology, 12(1), 57-63. 39. Almatsier, Sunita. (2009). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama. 40. Misikangas, M. et.al. (2001). High Linoleic Acid, Low Vegetable, and High Oleic Acid, High Vegetable Diets Affect Platelet Activation Similarly in Healthy Women and Men. J Nutr. 131(6),1700-5. 41. Schaefer, EJ. (2002). Lipoproteins, Nutrition, and Heart Disease. American Journal of Clinical Nutrition, 75(2), 191-212. 42. Williams, PT. et.al. (1986). Relationship of Dietary Fat, Protein, Cholesterol, and Fiber Intake to Atherogenic Lipoproteins in Men. American Journal of Clinical Nutrition, 44(6), 788-97. 43. Sartika, Ratu Ayu Dewi. (2007). Pengaruh Asupan Asam Lemak Trans terhadap Profil Lipid Darah. [Disertasi]. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. 44. Rastogi, Tanuja et.al. (2004). Diet and Risk of Ischemic Heart Disease in India. American Journal of Clinical Nutrition, 79(4), 582-592. 45. Niranjan, M.R. (2006). Correlative Study of Spirometric Parameters, ECG Changes and Lipid Profile in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. [Dissertation]. Rajiv Gandhi University of Health Sciences, Karnataka, Bangalore.
Pajanan PM2,5 ..., Laksita Ri Hastiti, FKM UI, 2013