Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Anemia Gizi Pada Remaja Putri Di SMP N 1 Gatak, Kecamatan Gatak Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Factors associated with the incidence of anemia in adolescent girls at SMP N 1 Gatak, Sukoharjo regency, Central Java Province !"#$!" Rahma Ayu Ningrum¹, Ratu Ayu Dewi Sartika² Kebidanan Komunitas, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia ABSTRAK Anemia merupakan masalah gizi yang paling lazim di dunia, dan menjangkiti lebih dari 600 juta manusia. Prevalensi anemia pada anak usia sekolah 37%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada remaja putri di SMP N 1 Gatak, Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa tengah. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain study cross sectional. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa prevalensi anemia pada siswi putri di SMP N 1 Gatak sebesar 32%. Berdasarkan uji statistik didapatkan rata-rata kadar Hb 12,8 g/dl, pengukuran Hb menggunakan alat Hemocue kit. Pengetahuan anemia adalah variabel yang paling dominan berhubungan dengan kejadian anemia setelah dikontrol oleh variabel pendidikan ibu, variabel pekerjaan ibu, variabel pantangan terhadap makanan dan variabel pengetahuan TTD. Kata Kunci : Anemia, Remaja Putri ABSTRACT Anemia is the most prevalent nutritional problem in the world, and affects more than 600 million people. The prevalence of anemia in school-age children 37%. This study aims to determine the factors associated with the incidence of anemia in adolescent girls at SMP N 1 Gatak, District Gatak, Sukoharjo regency, Central Java Province. This research is quantitative by using a cross-sectional study design. Results of this study declare that the prevalence of anemia in young girls at SMP N 1 Gatak is 32%. Based on statistical tests obtained an average hemoglobin level of 12.8 g / dl, HemoCue Hb measurements using the tool kit. Knowledge anemia is the most dominant variables associated with the incidence of anemia
after controlled by variable maternal education, maternal employment variables, variables and variable food dietary restrictions against and TTD knowledge Keywords: Anemia, adolescent girls PENDAHULUAN Remaja beresiko tinggi menderita anemia, khususnya anemia defisiensi besi, remaja putri beresiko lebih tinggi daripada remaja putra, remaja putri merupakan kelompok yang rentan untuk terkena anemia. Anemia terbagi menjadi 2 tipe anemia yaitu anemia gizi dan non gizi, anemia gizi yang disebabkan oleh kekurangan zat besi disebut anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi merupakan penyebab anemia terbesar di Indonesia dan negara berkembang lainnya, lebih dari 50% anemia adalah anemia defisiensi besi. Menurut data Riskesdas 2007 Prevalensi anemia di Indonesia pada remaja putri adalah 11,3%, sedangkan prevalensi anemia di Provinsi Jawa tengah tahun 2007 pada remaja putri 12,4%. Berdasarkan hasil pemeriksaan kadar haemoglobin (Hb) yang dilaksanakan oleh Seksi Pembinaan Gizi Masyarakat Dinas kesehatan Kota Semarang terhadap remaja putri (Siswi SMP dan SMA) tahun 2008 menunjukkan remaja putri yang mengalami anemia sebanyak 40,13%. Prevalensi anemia pada WUS tahun 2010 di Kabupaten Sukoharjo 16,87%, dan pada survey yang dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo pada bulan oktober tahun 2011 terhadap WUS didapatkan 17,25% menderita anemia, Hasil tersebut didapatkan dari 1200 sampel dimana terbanyak pada usia anak sekolah (SMP), Kecamatan dengan prevalensi anemia WUS tertinggi ada di Kecamatan Gatak yaitu sebesar 36%. Anemia yang terjadi pada remaja dipengaruhi oleh kebiasaan makan pada remaja, pola konsumsi makanan, pola menstruasi, status sosial ekonomi, kebiasaan konsumsi tablet tambah darah (TTD) dan tingkat pengetahuan individu yang bersangkutan. Lebih lanjut dalam penelitian lainnya menyebutkan bahwa variabel yang berhubungan bermakna secara statistik dengan kejadian anemia pada remaja putri adalah tingkat pengetahuannya mengenai anemia yaitu bahwa remaja putri yang memiliki pengetahuan buruk, 53,5% menderita anemia defisiensi besi. Dampak anemia pada remaja putri yaitu pertumbuhan terhambat, tubuh pada masa pertumbuhan mudah terinfeksi, mengakibatkan kebugaran/kesegaran tubuh berkurang,
daya konsentrasi menurun sehingga semangat belajar/prestasi menurun, pada saat akan menjadi calon ibu maka akan menjadi calon ibu yang beresiko tinggi untuk kehamilan dan melahirkan. TINJAUAN PUSTAKA Anemia gizi ialah keadaan dimana kadar HB dalam darah lebih rendah dari normal, akibat kekurangan satu macam atau lebih zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan darah, (misalnya zat besi, asam folat, virtamin B12), tanpa memandang penyebab kekurangan tersebut, untuk memastikan diagnosis anemia perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengukur kadar HB dan Ht .Sebagai indikator untuk menilai derajat anemia, digunakan nilai cut off point hemoglobin yang tetapkan WHO (2001): Tabel 1 Nilai Cut off points Kategori Anemia Kelompok Umur/Gender Nilai Hb(g/dl) 6 bulan – 5 tahun
11
5-11 tahun
11,5
12-13 tahun
12
Wanita >15 tahun
12
Wanita hamil
11
Laki-laki
13
Defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun. Menurut DepKes (2001), penyebab anemia gizi karena kurangnya zat besi atau Fe dalam tubuh. Karena pola konsumsi masyarakat Indonesia, terutama wanita kurang mengkonsumsi sumber makanan hewani yang merupakan sumber heme Iron yang daya serapnya > 15%. Ada beberapa bahan makanan nabati yang memiliki kandungan Fe tinggi (non heme Iron), tetapi hanya hanya bisa diserap tubuh < 3% sehingga diperlukan jumlah yang sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan Fe dalam tubuh, jumlah tersebut tidak mungkin terkonsumsi. Anemia juga disebabkan karena terjadinya peningkatan kebutuhan oleh tubuh terutama pada remaja, ibu hamil, dan karena adanya penyakit kronis. Penyebab lainnya karena perdarahan yang disebabkan oleh haid yang berlebihan, perdarahan saat melahirkan dan investasi cacing terutama cacing tambang ,malaria.
Klasifikasi Anemia menurut (Crowin dalam Ningrum, 2013) ada 3 jenis yaitu : Ø Anemia
pernisiosa
merupakan
anemia
megaloblastik
dengan
karakteristik
sel darah merah besar yang abnormal dengan nuklei imatur (blastik). Anemia pernisiosa disebabkan defisiensi vitamin B12 dalam darah. Ø Anemia
defisiensi
folat
(asam
folat)
merupakan
anemia
megaloblastik
dengan karakteristik perbesaran sel darah merah yang memiliki nuklei atau inti sel imatur. Defisiensi asam folat disebabkan kekurangan asam folat. Ø Anemia
defisiensi
besi
adalah
anemia
mikrositik-hipokromik
yang
terjadi
akibat defisiensi besi dalam diet, atau kehilangan darah secara lambat dan kronis Klasifikasi Defisiensi Besi menurut beratnya defisiensi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu : 1. Deplesi besi (iron depleted state): Cadangan besi menurun, tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu. 2. Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoiesis): cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu, tetapi belum timbul anemia secara laboratorik. 3. Anemia defiensi besi: cadangan besi kosong disertai anemia defisiensi besi Adapun tanda-tanda dari anemia adalah (1) lesu, lemah, letih, lelah, lalai (5L), (2) Sering mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang, (3) Gejala lebih lanjut adalah kelopak mata, bibir, lidah, kulit, dan telapak tangan menjadi pucat. Penderita anemia dapat mengalami salah satu tanda atau beberapa tanda anemia tersebut. Dampak anemia pada remaja putri yaitu pertumbuhan terhambat, tubuh pada masa pertumbuhan mudah terinfeksi, mengakibatkan kebugaran/kesegaran tubuh berkurang, daya konsentrasi menurun sehingga semangat belajar/prestasi menurun, pada saat akan menjadi calon ibu maka akan menjadi calon ibu yang beresiko tinggi untuk kehamilan dan melahirkan (Badriah dalam Ningrum, 2013) Menurut Departemen gizi dan kesmas (FKM UI dalam Ningrum, 2013) akibat lain yang ditimbulkan oleh anemia adalah penurunan perfoma kerja pada kelompok dewasa, sedangkan
dampak terhadap bayi dan anak-anak dihubungkan dengan gangguan perilaku dan pengembangan kecerdasan. Cara Mencegah dan mengobati Anemia Menurut Departemen Gizi dan Kesmas (FKM UI, 2010) mengatakan bahwa anemia bisa dicegah dengan memelihara keseimbangan antara asupan Fe dengan kebutuhan dan kehilangan Fe. Jumlah Fe yang dibutuhkan untuk memelihara ini bervariasi antara satu wanita dengan wanita yang lainnya, tergantung riwayat reproduksi dan jumlah kehilangan darah selama menstruasi. Peningkatan konsumsi Fe untuk memenuhi kebutuhan Fe dilakukan melalui peningkatan konsumsi makanan yang mengandung heme iron, bersifat mempercepat (enhancer) non heme iron, dan meminimalkan konsumsi makanan yang mengandung penghambat absorbsi Fe (inhibitor). Jika kebutuhan Fe tidak tercukupi dari diet makanan, dapat ditambah dengan suplemen Fe.
Kebutuhan besi (yang diabsorpsi atau fisiologis) harian dihitung berdasarkan jumlah zat besi dari makanan yang diperlukan untuk mengatasi kehilangan basal, kehilangan karena menstruasi dan kebutuhan bagi pertumbuhan. Kebutuhan tersebut bervariasi berdasarkan usia dan jenis kelamin; dalam kaitannya dengan berat badan, kebutuhan ini paling tinggi pada bayi yang kecil. Tabel 2. Kecukupan Zat besi untuk remaja menurut AKG Indonesia Usia
Zat Besi (mg/hari)
10-12 tahun
13
13-15 tahun
19
16-18 tahun
15
10-12 tahun
20
13-15 tahun
26
16-18 tahun
26
Laki-laki
Wanita
METODE Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain study cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah siswi SMP N 1 Gatak, Besar sampel dalam
penelitian ini menggunakan tehnik Simple random sampling. Sampel minimal sebanyak 96 siswi yang dibulatkan menjadi 100. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari pengisian kuesioner oleh responden yang telah diuji coba. Kuesioner meliputi 13 variabel antara lain frekuensi konsumsi makanan dengan menggunakan Food Frequensy Quesionery (FFQ), pola menstruasi, pantangan makanan, pengetahuan tentang anemia, pengetahuan tentang Tablet Tambah Darah (TTD), konsumsi TTD. Data yang didapat dari kuesioner kemudian dianalisis dengan menggunakan program pengolah data.Kegiatan dilakukan mulai dari pengisian kuesioner oleh responden kemudian pemeriksaan Hb oleh petugas dengan menggunakan alat hemoque.
HASIL PENELITIAN Gambaran dan distribusi frekuensi anemia pada remaja putri adalah Tabel 3. Gambaran Kadar Hb Responden (N=100) Variabel Hb (gr/dl)
Min 10,4
Maks 15
Mean 12,8
Median Std.Dev 13 1,16
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa rata-rata hasil pemeriksaan kadar hb respoden adalah sebesar 12,8 gr/dl. Setelah diklasifikasikan didapatkan 32% siswi mengalami anemia.
Berdasarkan analisis data didapatkan bahwa 61% pendidikan ayah responden rendah, 68% dengan pendidikan ibu rendah, sedangkan 68% proporsi ibu responden bekerja. Untuk frekuensi makanan yang mengandung heme, non heme, peningkat absorbsi zat besi proporsi terbesar masuk dalam kategori “jarang”. Proporsi pada pantangan makanan ada 17% dengan jenis makanan antara lain Hati, kerang, udang, kacang panjang, ikan asin,telur dan belut. Distribusi pada pola menstruasi 61% menunjukan tidak normal dengan melihat dari frekuensi menstruasi, lama menstruasi dan jumlah pembalut yang dipakai dalam 1 siklus menstruasi. Gambaran pengetahuan anemia dan TTD bisa dilihat pada (tabel 4) bawah ini :
Tabel 4. Distribusi Tingkat pengetahuan tentang anemia dan TTD pada responden Pengetahuan
Salah n
Pengetahuan Anemia Pengertian Anemia Penyebab Anemia Gejala Anemia Cara Kenali Anemia Sumber Makanan Zat Besi Dampak Anemia Cara Cegah Anemia Tindakan jika Anemia Kadar Hb pada Anemia Cara Obati Anemia Pengetahuan TTD Manfaat TTD Aturan minum TTD untuk cegah anemia Aturan minum TTD untuk obati anemia Makanan Peningkat Absorbsi Zat Besi Makanan Penghambat Absorbsi Zat Besi
Benar %
n
%
50 20 19 7 87 29 19 35 28 19
50 20 19 7 87 29 19 35 28 19
50 80 81 93 13 71 81 65 72 81
50 80 81 93 13 71 81 65 72 81
28 63 40 71 40
28 63 40 71 40
72 37 60 29 60
72 37 60 29 60
Pengetahuan responden tentang anemia yang terendah yaitu pada sumber makanan yang mengandung zat besi dimana jawaban benar hanya 13%. Sedangkan pengetahuan responden tentang anemia yang tertinggi yaitu pada cara mengenali anemia dimana jawaban benar sebesar 93%.Pengetahuan responden tentang TTD yang terendah yaitu pada jenis makanan yang bersifat peningkat absorbsi zat besi dimana jawaban benar hanya 29%. Sedangkan pengetahuan responden tentang anemia yang tertinggi yaitu pada manfaat tablet tambah darah dimana jawaban benar sebesar 72%. Tabel 5. Gambaran Pengetahuan Responden (N=100) Variabel Pengetahuan Anemia Pengetahuan TTD
Min 2 0
Maks 9 5
Mean 6,9 2,6
Median Std.Dev 7 1,64 3 1,13
Distribusi gambaran pengetahuan tentang anemia dan TTD dengan kategori “baik” masingmasing 67% dan 57%. Dan 85% siswi tidak pernah mengkonsumsi TTD selama menstruasi. Dari 13 variabel yang diteliti, ada 10 variabel yang berhubungan dengan kejadian anemia yaitu pendidikan ayah, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, asupan heme, asupan non heme, asupan peningkat absorbsi Zat besi, asupan penghambat absorbsi zat besi, pantangan makanan, pengetahuan anemia dan tentang TTD.
Variabel pengetahuan tentang anemia, merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan kejadian anemia
setelah dikontrol oleh variabel pendidikan ibu,
pekerjaan ibu, pantangan terhadap makanan dan variabel
pengetahuan tentang TTD.
Variabel konfounder pada penelitian ini adalah variabel pendidikan ayah, asupan peningkat zat besi dan asupan hem. (Tabel 6 ). Tabel 6. Permodelan Terakhir Analisis Multivariat 95% C.I.for EXP(B) Lower Upper
B
S.E.
Wald
df
PValue
OR
Pendidikan ayah Pendidikan ibu Pekerjaan ibu
1,06
0,95
1,25
1
0,26
0,34
0,05
2,22
2,81
0,94
8,97
0,00
16,56
2,64
103,96
2,00
0,96
4,30
0,04
7,38
1,12
48,81
Asupan hem
1,80
0,91
3,94
0,05
6,02
1,02
35,50
1,49
0,80
3,47
0,06
4,42
0,93
21,06
2,13
0,89
5,76
0,02
8,37
1,48
47,52
2,86
0,82
12,27
0,00
17,42
3,52
86,23
2,22
0,80
7,72
0,01
9,17
1,92
43,77
Variabel
Asupan peningkat Pantangan makanan Pengetahuan Anemia Pengetahuan TTD
1 1 1 1 1 1 1
PEMBAHASAN Pada penelitian ini ada keterbatasan yang ditemukan antara lain Pengukuran variabel asupan gizi menggunakan metode Food Frequency Questionaire (FFQ) yang mempunyai kelemahan tidak bisa mengestimasi asupan zat gizi secara akurat dibandingkan dengan Food Recall ataupun food record karena tidak dapat mengukur detail penting asupan makanan, seperti metode pengolahan makanan. Pada penelitian ini volume darah saat menstruasi tidak diukur secara langsung. Volume darah diasosiasikan dengan pembalut yaitu jumlah pembalut yang dipakai selama satu siklus menstruasi. Pola menstruasi pada penelitian ini dikaji hanya pada saat itu saja, sehingga pada pola menstruasi tidak bisa menggambarkan kejadian anemia yang sesungguhnya, karena harus melihat pola menstruasi paling tidak dalam waktu 6 bulan terakhir. Begitu juga dengan konsumsi TTD yang dikaji hanya pada saat itu saja. Selain itu kuesioner yang dibuat oleh peneliti masih sangat sangat dangkal dalam menggali informasi terhadap responden seperti
pada Jenis konsumsi makanan peningkat absorbsi zat besi (MFP) belum dimasukkan, pada konsumsi TTD tidak ditanyakan sejak kapan konsumsi TTD dan berapa jumlahnya. Secara teoritis banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya anemia seperti yang terlihat pada kerangka teori. Namun mengingat tujuan penelitian, terbatasnya sumberdaya dan sumberdana serta waktu, maka masih banyak variabel-variabel yang tidak diteliti. Anemia gizi ialah keadaan dimana kadar HB dalam darah lebih rendah dari normal, akibat kekurangan satu macam atau lebih zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan darah, (misalnya zat besi, asam folat, virtamin B12), tanpa memandang penyebab kekurangan tersebut, untuk memastikan diagnosis anemia perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengukur kadar HB dan Ht. Sebagai indikator untuk menilai derajat anemia, digunakan nilai cut off point hemoglobin yang tetapkan WHO (2001) untuk remaja usia 1213 yaitu 12 gr/dl. Pada penelitian ini diketahui bahwa rata-rata kadar Hb remaja putri di SMP N 1 Gatak adalah 12,822 g/dl atau dalam kategori normal. Dan yang mengalami anemia sebanyak 32%. Penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Witrianti (2011) terhadap remaja putri di Kota Bekasi dengan prevalensi 31,9% dan penelitian yang dilakukan oleh Syafyanti (2001) sebesar 30%. Berdasarkan uji statistik, faktor-faktor yang berhubungan dengan anemia dalam penelitian ini meliputi pendidikan orang tua, pekerjaan ibu, konsumsi hem, konsumsi non hem, konsumsi peningkat zat besi, konsumsi penghambat zat besi, pantangan terhadap makanan, pengetahuan tentang anemia dan pengetahuan tentang Tablet Tambah Darah ( TTD). Pada penelitian ini ditemukan kejadian anemia tertinggi pada kelompok responden dengan pendidikan ayah maupun pendidikan ibu yang rendah dibandingkan dengan pendidikan tinggi. Hasil uji hubungan menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan ayah maupun pendidikan ibu dengan kejadian anemia. Dengan demikian remaja dengan pendidikan ayah yang rendah cenderung 3,2 kali lebih tinggi untuk anemia dibandingkan dengan responden yang pendidikan ayah tinggi. Begitu juga remaja dengan pendidikan ibu yang rendah cenderung 3,6 kali lebih tinggi untuk anemia dibandingkan dengan responden yang pendidikan ibu tinggi.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian siahaan (2012) yang menunjukkan bahwa prevalensi anemia lebih tinggi pada ayah yang berpendidikan rendah. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pendidikan orangtua terutama ibu tentang kesehatan dan gizi anak. Dengan pendidikan yang tinggi diharapkan tingkat pengetahuan ibu juga semakin tinggi, ibu dengan pendidikan tinggi akan lebih mudah menyerap informasi tentang kesehatan dan gizi ibu dibandingkan ibu yang berpendidikan rendah. Pengetahuan ibu yang baik tentang penyusunan pola makan keluarga, mulai dari pemilihan bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari akan berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas zat gizi yang dikonsumsi keluarga. Pekerjaan orang tua bukan merupakan faktor utama terhadap status gizi remaja, namun pekerjaan berpengaruh terhadap daya beli atau kemampuan untuk menyediakan pangan di rumah, pemilihan bahan pangan yang akan disediakan, dan pemberian uang saku terhadap remaja putri. Beberapa hal ini pada akhirnya berpengaruh pada status gizi remaja putri. Berdasarkan status pekerjaan orang tua terdapat juga dampak terhadap status gizi remaja putri yaitu ibu yang bekerja memiliki kendala kesulitan untuk menyediakan makanan yang sehat di rumah, akibatnya remaja putri lebih memilih jajan atau mengkonsumsi makanan di luar rumah yang tidak terjamin keamanan dan kesehatan makanannya. Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan ibu dengan kejadian anemia (p-value=0,029), hal ini mungkin dikarenakan oleh karena ibu yang bekerja tidak sempat atau tidak memiliki waktu, sehingga kurang memperhatikan jenis konsumsi makanan, frekuensi makanan yang disajikan untuk keluarganya. Penelitian ini sejalan dengan siregar (2003) di bogor, bahwa pekerjaan ibu turut mempengaruhi kejadian anemia. Hal ini berbeda dengan pernyataan oleh Apriadji (1986) bahwa pada ibu yang bekerja akan bisa lebih memperhatikan apa yang dikonsumsi untuk keluarganya dikarenakan ada penghasilan tambahan dari pekerjaannya. Pada penelitian ini ditemukan kejadian anemia tertinggi pada kelompok responden dengan frekuensi konsumsi heme dan non heme yang jarang dibandingkan dengan konsumsi yang sering. Hasil uji hubungan menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara frekuensi konsumsi heme dan non heme dengan kejadian anemia. Dengan demikian remaja dengan frekuensi konsumsi heme yang jarang cenderung 4,3 kali lebih tinggi untuk anemia
dibandingkan dengan responden dengan frekuensi konsumsi yang sering. Begitu juga remaja dengan frekuensi konsumsi non heme yang jarang cenderung 3,3 kali lebih tinggi untuk anemia dibandingkan dengan responden dengan frekuensi konsumsi yang sering. Dalam pengamatan peneliti, terlihat bahwa secara umum konsumsi makanan dan kebiasaan makan pada siswi SMP tergantung pada pengetahuan dari responden dan juga karena rendahnya pendidikan orangtua, selain itu dikarenakan adanya pantangan terhadap makanan tertentu yang justru banyak kandungan heme atau non-heme. Penelitian ini sejalan dengan Siregar (2003) yang mengatakan ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan makan sumber heme dengan kejadian anemia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Guthrie dan Garro yang mengatakan bahwa zat besi heme mempunyai nilai bioavailabilitas yang yang lebih tinggi dan dapat diserap langsung oleh tubuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar siswi SMP N 1 Gatak mempunyai kebiasaan mengkonsumsi makanan peningkat Absorbsi Zat besi yang ‘jarang’(65%). Hasil analisis Bivariat antara Peningkat absorbsi zat besi dengan anemia mempunyai hubungan yang bermakna (p-value=0,035). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian oleh Kwatrin (2007) di Banten dan Hamid (2002) dipadang yang mengatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara keduanya dengan nilai p-value >0,05. Berdasarkan hasil uji tabu silang diketahui bahwa dari siswi yang jarang mengkonsumsi makanan peningkat ini terkena anemia sebesar 40% dan nilai OR 3,2, hal ini kemungkinan terjadi karena siswi tidak tahu makanan yang menjadi peningkat absorbsi zat besi, dan karena rendahnya pengetahuan siswi tentang hal ini. Penelitian ini sejalan dengan Lestari (1996) di Bandung yang mengatakan terdapat hubungan yang bermakna antara asupan peningkat dengan kejadian anemia. Absorbsi zat besi dalam hidangan bisa dicapai secara maksimal bila hidangan terdiri dari kombinasi bahan makanan yang mengandung Heme, non heme, meat factor dan vitamin C. Selain itu keberadaan zat peningkat absorbsi besi dalam hidangan sehari-hari sangat berpengaruh terhadap absorbsi zat besi non heme yang terdapat dalam berbagai jenis bahan makanan yang dihidangkan.
Pada penelitian ini proporsi siswi dengan kebiasaan makan bahan makanan penghambat absorbsi besi ‘jarang’ lebih tinggi dibandingkan dengan yang sering yaitu sebesar 82%. Tapi bila dilihat dari proporsi siswi yang sering makan makanan penghambat ini proporsi kejadian anemia sebesar 55,6%. Ada hubungan yang bermakna antara makan makanan penghambat absorbsi zat bei dengan kejadian anemia, nilai OR 3,4 yang artinya siswi dengan kebiasaan makan makanan penghambat absorbsi zat besi ‘sering’ akan cenderung 3,4 kali lebih tinggi mengalami anemia. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh kwatrin (2007) yang mengatakan bahwa ada hubungan antara keduanya dengan nilai p-value <0,05. Menurut pengamatan peneliti, hal ini dimungkinkan karena kebiasaan atau gaya hidup remaja sekarang yang sangat konsumtif terhadap minuman teh atau kopi dan sejenisnya. Ketika remaja sedang berkumpul atau bermain dengan teman-temannya, umumnya mereka mengkonsumsi minuman teh atau kopi yang saat sedang digemari masyarakat luas. Pada penelitian ini ditemukan kejadian anemia tertinggi pada kelompok responden yang memiliki pantangan makanan dibandingkan yang tidak memiliki pantangan makanan. Begitu juga kejadian tidak anemia tertinggi pada kelompok responden yang tidak memiliki pantangan makanan dibandingkan yang memiliki pantangan makanan. Hasil uji hubungan menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara pantangan makanan dengan kejadian anemia. Dengan demikian remaja yang memiliki pantangan makanan cenderung 3,9 kali lebih tinggi untuk anemia dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki pantangan makanan. Penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Handayani (2010) di Kabupaten Bintan yang memaparkan proporsi remaja putri yang memiliki pantangan dan mengalami anemia sebanyak 40% dan proporsi remaja putri mengalamai anemia yang tidak memiliki pantangan ada sebesar 26%. Perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan mempengaruhi jumlah konsumsi makanan dan zat-zat gizi, terjadinya perubahan pola makan remaja, misalnya takut gemuk mereka hanya makan sekali sehari, banyak melakukan aktifitas fisik yang lebih tinggi, Kebiasaan ngemil yang rendah gizi dan kebiasaan makan yang siap saji yang komposisi gizinya tidak seimbang.
Hasil uji statistik diketahui bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pola menstruasi dengan kejadian anemia (p-value 0,599), hal ini dikarenakan siswi SMP masih dalam masa peralihan dari anak-anak ke remaja, pada tahap ini siswi SMP baru dalam masa pubertas, sehingga pola menstruasi tidak bisa menjadi tolak ukur terjadinya anemia. Penelitian ini sejalan dengan Witrianti (2011) di kota Bekasi dimana tidak ada hubungan ynag bermakna antara pola menstruasi dengan kejadian anemia. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh siregar (2003) di Bogor bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara Pola menstruasi dengan kejadian anemia. Berdasarkan hasil uji statistik dalam penelitian ini diketahui bahwa tingkat pengetahuan tentang anemia dengan nilai p-value 0,000 sedangkan pengetahuan tentang TTD nilai p-value 0,004 sehingga ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan anemia dan pengetahuan TTD dengan kejadian anemia, dengan proporsi 66,7% siswi yang mengalami anemia mempunyai pengetahuan yang tidak baik tentang anemia dan 48,8% mengalami anemia dengan tingkat pengetahuan TTD yang tidak baik. Dengan demikian remaja yang memiliki pengetahuan tentang anemia yang tidak baik cenderung 11,4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pengetahuan yang baik. Begitu juga remaja yang memiliki pengetahuan tentang tablet tambah darah yang tidak baik cenderung 3,9 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pengetahuan yang baik. Hal ini bisa dikarenakan kurangnya informasi baik dari media massa, iklan, akses informasi yang yang masih rendah ataupun kurang mendapat sosialisasi terkait dengan anemia dan TTD. Penelitian ini tidak sejalan dengan siahaan (2012) di Kota Depok, bahwa pengetahuan tidak mempunyai hubungan terhadap kejadian anemia. Namun penelitian ini sejalan dengan Gayuh (2009) yang mengatakan bahwa tingkat pengetahuan pada siswi yang tidak baik mengalami anemia sebesar 53,5%. Hasil uji statistik dalam penelitian ini diketahui bahwa 34,1% yang tidak mengkonsumsi TTD mengalami anemia, walaupun hasilnya menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi TTD dengan kejadian anemia pada remaja putri (p-value 0,375). Hal ini dimungkinkan karena remaja saat ini tidak dibiasakan mengkonsumsi TTD oleh orang tuanya. Selain itu, pengetahuan yang kurang tentang TTD dapat menjadi alasan rendahnya konsumsi TTD saat haid pada remaja putri. Hasil penelitian ini sejalan dengan Nurhayati (2005) yang menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antar konsumsi TTD dengan kejadian anemia dengan nilai p-value 0,28.
SIMPULAN Prevalensi anemia pada remaja putri di SMP N 1 Gatak, kabupaten Sukoharjo sebesar 32%, dengan rata-rata kadar Hb 12,8 g/dl. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian anemia pada penelitian ini antara lain pendidikan ayah, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, asupan heme, asupan non heme, asupan peningkat absorbsi Zat besi, asupan penghambat absorbsi zat besi, pantangan makanan, pengetahuan tentang anemia dan pengetahuan tentang TTD. Pengetahuan tentang anemia merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan kejadian anemia setelah dikontrol oleh variabel pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pantangan terhadap makanan dan variabel pengetahuan tentang TTD. SARAN Sebaiknya pihak sekolah bekerja sama dengan puskesmas untuk mengadakan penyuluhan tentang anemia; pola konsumsi makan; pantangan terhadap makanan dan konsumsi TTD terhadap siswi, melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala, penyuluhan bagi orangtua siswi tentang penyediaan bahan makanan yang mengandung heme, non heme, Peningkat absorbsi zat besi dan penghambat absorbsi zat besi. Bagi siswi agar meningkatkan konsumsi sumber makanan zat besi dan meningkatkan konsumsi makanan peningkat absorbsi zat besi, mengkonsumsi TTD secara rutin sesuai dengan aturan minumnya untuk mencegah dan mengobati agar tidak mengalami anemia. DAFTAR PUSTAKA Ambarwati, FR. 2012. Gizi dan Kesehatan Reproduksi. Cakrawala Ilmu, Yogyakarta Badriah,DL. 2011.Gizi dalam Kesehatan Reproduksi. PT Refika Aditama: Bandung Bakta,IM. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta Cakrawati D, Mustika NH, 2012. Bahan Pangan, Gizi dan Kesehatan. Alfabeta, Bandung Crowin J, Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi (Handbook of Phatofisiology) (Nike Budhi Subekti, Alih Bahasa). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Depkes RI, 2010. Program Pencegahan dan Penanggulangan Gizi mikro TA.2010 Subdit Gizi makro. Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Direktorat Jendral Nina Kesehatan Masyarakat Depkes RI, 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2007, Jakarta
Gizi dan Kesmas, 2010. Gizi dan Kesmas. Edisi revisi. Departemen Gizi dan Kesmas. FKM UI. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta gizi.depkes.go.id/download/nutritionprobleminIndonesia.pdf Hermawan, R. 2012. Analisis Jurnal Penyerapan Zat Besi Pada Wanita Muda India: Hubungan Status Besi dengan anemia. www.slideshare.net/robyhermawan/analisisjurnal-anemia Lash, A.A. & Coyer, S.M. 2008, "Anemia in Older Adults", Medsurg Nursing, vol. 17, no. 5, pp. 298-304; quiz 305. Manuaba, IBG. 1998. Memahami Kesehatan Reproduksi wanita. Arcan: Jakarta Nakashima, A.T.A., de Moraes, Augusto César Ferreira, Auler, F. & Peralta, R.M. 2012, "Anemia prevalence and its determinants in Brazilian institutionalized elderly", Nutrition, vol. 28, no. 6, pp. 640-3. Ningrum RA, 2013. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada remaja putri di SMP N 1 Gatak, Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa tengah. Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta. Jakarta Ruud JS, TBonnie TD, 2004. Premenstrual Syndrome : Nutritional Implications. dalam : Zucas DK, ira W (Eds). Nutritional concern of women. 2!" ed. CRC press LLC. Boca Ranton. Hal 61-74