EFEKTIFITAS PENATAUSAHAAN KAYU DI HUTAN ALAM PRODUKSI (Studi Kasus di Areal Kerja PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah)
ASRI RUWIATI
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
EFEKTIFITAS PENATAUSAHAAN KAYU DI HUTAN ALAM PRODUKSI (Studi Kasus di Areal Kerja PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah)
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Oleh: ASRI RUWIATI E14061029
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN ASRI RUWIATI. E14061029. Efektifitas Penatausahaan Kayu di Hutan Alam Produksi (Studi Kasus di Areal Kerja PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh UJANG SUWARNA. Penatausahaan Hasil Hutan (PUHH) adalah kegiatan-kegiatan yang meliputi penatausahaan tentang perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan, pengukuran dan pengujian, pengangkutan atau peredaran dan penimbunan, pengolahan dan pelaporan. PUHH dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan pedoman kepada semua pihak yang melakukan usaha atau kegiatan dibidang kehutanan, sehingga PUHH berjalan dengan tertib dan lancar serta kelestarian hutan, hak-hak negara atas hasil hutan dan pemanfaatan hasil hutan secara optimal dapat tercapai. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan efektifitas penatausahaan kayu di hutan alam produksi, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas penatausahaan kayu dan membuat alternatif solusi terhadap masalah yang mempengaruhi efektifitas penatausahaan kayu. Penelitian ini diharapkan dapat membantu perusahaan dalam mengetahui kinerja penatausahaan kayu yang selama ini telah dilakukan dan memberikan strategi perbaikan terhadap sistem penatausahaan kayu yang telah diterapkan sebelumnya. Penelitian ini dilakukan dengan melihat kesesuaian antara fakta lapangan dengan ketentuan yang berlaku yaitu Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2006 jo Peraturan Menteri Kehutanan No. P.63/Menhut-II/2006 jo Peraturan Menteri Kehutanan No. P.8/Menhut-II/2009 tentang Penatausahaan Hasil Hutan (PUHH). Penelitian ini mencakup kegiatan penatausahaan kayu di Petak Tebang, TPn, TPK Hutan dan TPK Antara. Hasil pengamatan menunjukkan kegiatan penatausahaan kayu yang dilakukan oleh perusahaan memiliki tingkat efektifitas baik. Namun demikian, masih terdapat beberapa hal yang perlu diperbaiki, yaitu kegiatan timber cruising dimana terjadi ketidaksesuaian dalam pelabelan pohon layak tebang, penomoran batang yang menggunakan nomor internal, penandaan batang yang tidak lengkap, penumpukkan kayu bulat yang tidak dilakukan terpisah antara kayu bulat yang telah dicatat dengan yang telah disahkan dan belum lunas Provisi Sumber Daya Hutan/Dana Reboisasi (PSDH/DR), pembuatan Daftar Kayu Bulat untuk Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (DKB SKSKB) menjadi lima rangkap, DKB Faktur angkutan Kayu Bulat (DKB FA-KB) menjadi lima rangkap, Laporan Mutasi Kayu Bulat (LMKB) menjadi empat rangkap, perpanjangan masa berlaku dokumen angkutan yang tidak dilakukan karena adanya toleransi dari Pejabat Pemeriksa Penerimaan Kayu Bulat (P3KB) dan pihak-pihak terkait, serta keterlambatan penyerahan dokumen SKSKB, FA-KB dan LMKB kepada Dinas Kabupaten. Alternatif solusi yang bisa diberikan adalah meningkatkan koordinasi antara pihak perusahaan dan kontraktor mengenai penomoran dan penandaan batang sesuai dengan peraturan yang berlaku, pengadaan pelatihan pengenalan kriteria pohon, perbaikan sistem manajemen pengadaan label dan pengelolaan jaringan internet secara profesional oleh tenaga kerja yang kompeten. Kata Kunci: Penatausahaan Hasil Hutan (PUHH), Hutan Alam Produksi
SUMMARY ASRI RUWIATI. E14061029. Effectiveness of Timber Administration in Natural Forest Production (Case Study inWorking Area of PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah). Supervised by UJANG SUWARNA. Timber administration is defined as administration activities in utilization of forest product, that includes production planning, harvesting, recording, assessing, transporting, processing and reporting. It intends to provide legal certainty and guidance for all actors who conduct businesses or activities in forestry, till it runs orderly and expeditious then forests preservation, states rights upon forest products and its utilization might be achieved. This research aims to determine the effectiveness of the administration of timber in natural forest production, analyzing the factors that influence the effectiveness of the administration of wood and create alternative solutions to problems that affect the effectiveness of the administration of timber. This research is expected to help companies find out the performance of the timber administration that had been done and provide strategic improvements to the timber administration system that has been applied previously. This research was conducted by matching between the fact in the field with the applied provisions, that’s the Minister of Forestry Regulation No. P.55/Menhut-II/2006 jo Minister of Forestry Regulation No. P.63/Menhut-II/2006 jo Minister of Forestry Regulation No. P.8/Menhut-II/2009. This study includes administration activities plot logging, TPn, TPK and TPK Between Forests. The results showed that wood administration activities performed by the company have a good level of effectiveness. However, there are some things that need improvements, cruising activities where there is inappropiate in labeling the trees worth cutting, numbering rods that use internal numbers, marking incomplete rods, piling logs which do not separate between the logs that have been recorded with the approved and not yet been paid to Forest Resource Provision/Reforestation Funds (PSDH/DR), making Log Document for the Certificate of Legal Roundwood (DKB SKSKB) up to 7 copies, Log Document for the Roundwood Transport (DKB FA-KB) up to 5 copies, Mutation Report Log (LMKB) up to 4 copies, extension of document transportation validity period that is not done because of the tolerance of the Examining Officer Reception Log (P3KB) and the relevant parties, and late submission of documents SKSKB, FAKB and LMKB to the District Office. Alternative solutions could be delivered to improve coordination among the company and contractor regarding to the numbering and tagging the stem in accordance with applied regulations, procurement of the trees criteria introduction training, improvement of label procurement management system and professionally network management by competent workers. Keywords: Timber Administration, Natural Forest Production
PERNYATAAN Dengan
ini
saya
menyatakan
bahwa
skripsi
berjudul
Efektifitas
Penatausahaan Kayu di Hutan Alam Produksi (Studi Kasus di Areal Kerja PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2010
Asri Ruwiati NRP E14061029
Judul
: EFEKTIFITAS PENATAUSAHAAN KAYU DI HUTAN ALAM PRODUKSI
(Studi Kasus di Areal Kerja PT. Austral Byna,
Kalimantan Tengah). Nama
: Asri Ruwiati
NIM
: E14061029
Menyetujui: Dosen Pembimbing,
Ujang Suwarna, S.Hut, M.Sc. F. NIP. 19720512 199702 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Manajemen Hutan
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 20 Maret 1988 sebagai anak kelima dari lima bersaudara pasangan Bapak Ahmad Kasno dan Ibu Endang Budi Setyowati. Pada tahun 2006 penulis lulus dari SMU Negeri 99 Cibubur dan pada tahun yang sama masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis menempuh pendidikan Tingkat Persiapan Bersama (TPB) selama satu tahun (2006-2007) sebelum akhirnya diterima di Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 2007/2008. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni anggota divisi PSDH Forest Management Student Club (FMSC) tahun 2008/2009, Sekretaris umum Asean Forestry Student Association (AFSA), Panitia Temu Manager (TM) Departemen Manajemen Hutan 2009. Penulis telah mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) pada tahun 2008 di daerah Baturaden-Cilacap, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) pada tahun 2009 di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi, Jawa Barat dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di IUPHHK-HA PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Efektifitas Penatausahaan Kayu di Hutan Alam Produksi (Studi Kasus di Areal Kerja PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah) dibimbing oleh Ujang Suwarna S.Hut., M.Sc. F.
UCAPAN TERIMA KASIH
Atas rahmat dan karunia ALLAH SWT, penulis memanjatkan puji syukur kehadirat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini sebagai tugas akhir yang berjudul ”Efektifitas Penatausahaan Kayu di Hutan Alam Produksi (Studi Kasus di Areal Kerja PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah)”. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ibu, Bapak dan Kakak-kakak tercinta serta Keluarga Besar atas dukungan baik moril maupun materil serta nasehat dan doa yang tidak pernah putus-putusnya dipanjatkan agar penulis dapat menempuh dan menyelesaikan studi dengan baik. 2. Bapak Ujang Suwarna, S.Hut., M.Sc. F selaku dosen pembimbing atas semua saran, bimbingan, nasehat dan ilmu yang telah diberikan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Prof. DR. Ir. Muh. Yusram Massijaya, MS selaku dosen penguji dari Departemen Teknologi Hasil Hutan. 4. Bapak DR. Ir. Agus Priyono Kartono, MSi selaku dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumber Daya dan Ekowisata. 5. Ibu Ir. Oemijati Rachmatsyah, MS selaku dosen penguji dari Departemen Silvikultur. 6. IUPHHK-HA PT. Austral Byna, Bapak Ir. Obay Subarman selaku Manager Operasional Muara teweh (MOM), Bapak Hasbullah Idung selaku Manager Pemanfaatan Hutan, Bapak Ir. Adi Gani Rachman, Bapak Ir. Totok Riyanto, Bapak Ir. Suhaemi, Bapak Sugianur, Bapak M. Yuliadi, Bapak Saraya, Bapak Sarni, Bapak Djoko, Ibu Indah, Bapak Muhaimin, Bapak Ihya S.Hut, Bapak Jurni, Bapak Samsuni dan seluruh staff karyawan PT. Austral Byna Camp Sikui, Budiyana S.Hut, Agus M. Arifin S.Hut, Siti Mardiana S.Hut, Setia Budiana A.Md, Iwan Kurniawan. 7. Pihak kontraktor yaitu PT. Jaya Pratama, Bapak Kuncoro selaku Manager dan Bapak Dadang.
5. Bapak Dr. Ir. Didik Suharjito, MS selaku Ketua Departemen MNH, Staff TU dan AJMP (Pak Syaiful, Pak Edi, Bu Asih, dll), Mamang, Bibi serta seluruh keluarga besar Departemen Manajemen Hutan. 6. Sahabat-sahabat terbaik yang selalu ada dan memberi dukungan kepada penulis (Devie Retno Wulan, Yuni Indriyani, Luffi Hapsari Natalia, Anisa Hidayah dan Lana Puspitasari), semoga keindahan ukhuwah ini tidak akan pernah usai walau terpisah jarak dan waktu. 7. Keluarga besar MNH 43 dan sahabat-sahabat PKL di PT. Austral Byna. 8. Sahabat-sahabat dari Departemen Hasil Hutan, Silvikultur dan KSHE yang telah memberikan dukungan selama penelitian ini. 9. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil.
i
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokaatuh. Puji dan syukur penuli spanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah yang telah diberikan sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan sebagai prasyarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Judul karya ilmiah yang dipilih pada penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juni sampai Juli 2010 ini adalah Efektifitas Penatausahaan Kayu di Hutan Alam Produksi (Studi Kasus di Areal Kerja PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah). Penulis menjadikan penyusunan karya ilmiah ini sebagai wahana untuk melatih keterampilan dan wawasan penulis. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan bagi penyusunan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak terkait. Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.
Bogor, Desember 2010 Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR .................................................................................... i DAFTAR ISI ..................................................................................................
ii
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1.2 Tujuan ........................................................................................... 1.3 Manfaat Penelitian ......................................................................... 1.4 Rumusan Masalah..........................................................................
1 2 2 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penatausahaan Hasil Hutan (PUHH) .............................................. 2.2 Wawancara Mendalam................................................................... 2.3 Metode Penentuan Nilai Bobot Kriteria Indikator .......................... 2.4 Pengelolaan Hutan ALam Produksi Lestari (PHAPL) ....................
3 7 8 9
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ......................................................................... 3.2 Alat, Bahan dan Obyek Penelitian.................................................. 3.3 Batasan Penelitian.......................................................................... 3.4 Desain Penelitian ........................................................................... 3.5 Persiapan Penelitian ....................................................................... 3.6 Pengumpulan Data ......................................................................... 3.7 Analisis Data .................................................................................
11 11 11 13 13 14 14
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Luas Areal Penelitian ................................................... 4.2 Tanah dan Geologi......................................................................... 4.3 Iklim .............................................................................................. 4.4 Keadaan Hutan .............................................................................. 4.5 Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat .......................................
17 17 18 19 21
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penatausahaan Kayu di Petak Tebang ........................................... 5.1.1 Efektifitas Penatausahaan Kayu di Petak Tebang .................. 5.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Penatausahaan Kayu di Petak Tebang .......................................................... 5.1.3 Solusi Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Efektifitas Penatausahaan Kayu di Petak Tebang...................................
22 22 22 26
iii
5.2 Penatausahaan Kayu di Tempat Pengumpulan Kayu (TPn) ........... 5.2.1 Efektifitas Penatausahaan Kayu di TPn ................................ 5.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Penatausahaan Kayu di TPn ........................................................................ 5.2.3 Solusi Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Efektifitas Penatausahaan Kayu di TPn ................................................. 5.3 Penatausahaan Kayu di Tempat Penimbunan Kayu (TPK Hutan) .. 5.3.1 Efektifitas Penatausahaan Kayu di TPK Hutan ..................... 5.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Penatausahaan Kayu di TPK Hutan ............................................................. 5.3.3 Solusi Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Efektifitas Penatausahaan Kayu di TPK Hutan...................................... 5.4 PenatausahaanKayu di TempatPenimbunanKayu (TPK Antara) ..... 5.4.1 Efektifitas Penatausahaan Kayu di TPK Antara .................... 5.4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Penatausahaan Kayu di TPK Antara ............................................................ 5.4.3 Solusi Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Efektifitas Penatausahaan Kayu di TPK Antara .................................... 5.5 Efektifitas Penatausahaan Kayu di Seluruh Lokasi .........................
27 27 29 35 36 36 37 38 38 38 40 42 43
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ................................................................................... 48 6.2 Saran ............................................................................................. 49 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 51
iv
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1.
Matriks perbandingan berpasangan .......................................................... 15
2.
Skala banding secara berpasangan ............................................................ 15
3.
Nilai indeks random (Random Index) ....................................................... 16
4.
Karakteristik iklim di areal IUPHHK PT. Austral Byna ........................... 18
5.
Luasan setiap bentuk vegetasi di areal IUPHHK PT. Austral Byna........... 19
6.
Tipe, komposisi dan potensi tegakan pada areal IUPHHK PT. Austral Byna ........................................................................................................ 19
7.
Jumlah batang dan volume rata-rata menurut jenis dan kelas diameter di areal IUPHHK PT. Austral Byna.............................................................. 20
8.
Perkembangan areal ................................................................................. 20
9.
Mata pencaharian penduduk di desa-desa sekitar IUPHHK PT. Austral Byna ........................................................................................................ 21
10. Penilaian penatausahaan kayu di Petak Tebang ........................................ 22 11. Penatausahaan kayu di Petak Tebang ....................................................... 27 12. Penilaian penatausahaan kayu di TPn ....................................................... 28 13. Penatausahaan kayu di TPn ...................................................................... 36 14. Penilaian penatausahaan kayu di TPK Hutan ............................................ 37 15. Penatausahaan kayu di TPK Hutan ........................................................... 38 16. Penilaian penatausahaan kayu di TPK Antara ........................................... 39 17. Penatausahaan kayu di TPK Antara .......................................................... 42 18. Penilaian penatausahaan kayu di seluruh lokasi ........................................ 43 19. Penatausahaan kayu secara keseluruhan ................................................... 46
v
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1. Tahapan Penelitian ................................................................................... 13 2. Label merah pada pohon yang akan ditebang pada petak DI 49 ................ 23 3. Label kuning pada pohon yang akan ditebang pada petak DI 50 ............... 23 4. Pohon tanpa label dan akan ditebang pada petak DI 50............................. 24 5. Tunggak dengan label merah pada pohon yang telah ditebang pada Petak DI 49........................................................................................................ 25 6. Tunggak tanpa label pada pohon yang telah ditebang ............................... 26 7. Pembagian label merah untuk tunggak, batang dan chainsawman ............ 26 8. Penandaan nomor internal batang dan barcode pada TPn petak DH 46.... 30 9. Penandaan nomor internal batang pada TPn petak DH 47 ......................... 30 10. Pengukuran diameter batang pada TPn petak DH 46 ................................ 30 11. Pengukuran panjang batang pada TPn petak DH 46.................................. 31
vi
DAFTAR LAMPIRAN
No. 1.
2.
Halaman Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2006 jo Peraturan Menteri Kehutanan No. P.63/Menhut-II/2006 jo Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 8/Menhut-II/2009 tentang Penatausahaan Hasil Hutan untuk Hutan Negara .................................................................................
53
Hasil analisis kriteria dan indicator penatausahaan kayu di hutan alam produksi ...................................................................................................
56
3.
Peta sebaran pohon pada petak DI 49 penebangan tahun 2010 ..................
67
4.
Peta sebaran pohon pada petak DI 50 penebangan tahun 2010 ..................
68
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penatausahaan Hasil Hutan (PUHH) berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2006 adalah kegiatan-kegiatan yang meliputi penatausahaan tentang perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan, pengukuran dan pengujian, pengangkutan atau peredaran dan penimbunan, pengolahan dan pelaporan. PUHH pada hutan produksi memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan ekonomi berupa pendapatan devisa negara melalui pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Oleh karena itu, untuk mengamankan hak-hak negara
agar tercipta pembangunan
ekonomi secara lestari maka diberlakukan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2006 jo Peraturan Menteri Kehutanan No. P.63/Menhut-II/2006 untuk Hutan Negara. PUHH ini diterapkan pada tanggal 1 Januari 2007, berdasarkan pada Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2006 jo Peraturan Menteri Kehutanan No. P.63/Menhut-II/2006 untuk Hutan Negara, sebagai pengganti ketentuan penatausahaan lama sesuai keputusan Menteri Kehutanan No. SK.126/Kpts-II/2003. PUHH dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan pedoman kepada semua pihak yang melakukan usaha atau kegiatan dibidang kehutanan, sehingga PUHH berjalan dengan tertib dan lancar serta kelestarian hutan, hak-hak negara atas hasil hutan dan pemanfaatan hasil hutan secara optimal dapat tercapai. Kegiatan PUHH dilakukan dibeberapa areal hutan yaitu Petak Tebang, Tempat Pengumpulan Kayu (TPn), Tempat Penimbunan Kayu (TPK Hutan) dan Tempat Penimbunan Kayu (TPK Antara). Dalam peredaran hasil hutan terdapat beberapa areal hutan yang rawan terhadap penyimpangan sehingga kemungkinankemungkinan ditemukannya permasalahan atau ketidaksesuaian dapat terjadi dan jika hal ini dibiarkan maka akan merugikan negara dan perusahaan. Oleh karena itu, untuk mengetahui permasalahan atau ketidaksesuaian yang terjadi di lapangan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya perlu dilakukan pengecekan terhadap kesesuaian antara kegiatan di lapangan dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini
2
untuk mengetahui tingkat efektifitas PUHH yang selama ini telah dilakukan oleh perusahaan serta faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas PUHH. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menentukan efektifitas penatausahaan kayu di hutan alam produksi. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas penatausahaan kayu. 3. Membuat alternatif solusi terhadap masalah yang mempengaruhi efektifitas penatausahaan kayu. 1.3 Manfaat Penelitian Membantu perusahaan dalam mengetahui kinerja penatausahaan kayu yang selama ini telah dilakukan dan memberikan strategi perbaikan terhadap sistem penatausahaan kayu yang telah diterapkan sebelumnya. 1.4 Rumusan Masalah Penyelenggaraan pengusahaan hutan khususnya pada hutan produksi memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, perlu diterapkannya sistem pengawasan terhadap sumber daya alam nasional dan devisa negara, sehingga tercapai tujuan pengelolaan sumber daya hutan bagi kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi secara lestari. Sistem pengawasan yang dimaksud adalah sistem penatausahaan hasil hutan (PUHH). PUHH menjadi suatu yang sangat penting karena berkaitan dengan peredaran hasil hutan mulai dari Petak Tebang sampai TPK Antara dan Industri (dari milik negara menjadi milik pribadi). Selama peredaran kayu di lapangan,
kemungkinan-kemungkinan
ditemukannya
permasalahan
atau
ketidaksesuaian dapat saja terjadi dan jika hal ini dibiarkan maka akan merugikan negara dan perusahaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat efektifitas PUHH yang selama ini telah dilaksanakan oleh perusahaan, khususnya pada penerapan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2006 jo P.63/Menhut-II/2006 serta mengkaji faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ketidakefektifan PUHH.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penatausahaan Hasil Hutan (PUHH) Penatausahaan Hasil Hutan (PUHH) adalah kegiatan yang meliputi penatausahaan tentang perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan, penandaan, pengukuran dan pengujian, pengangkutan atau peredaran dan penimbunan, pengolahan dan pelaporan. PUHH ini dimaksudkan sebagai pengawasan terhadap kegiatan peredaran hasil hutan mulai dari perencanaan produksi sampai pelaporan melalui pencatatan dan verifikasi. Hal ini dilakukan dalam rangka mengamankan hak-hak dan aset negara (baik aset perusahaan maupun aset negara) serta memberi kepastian hukum dan pedoman pada semua pihak (usahawan) yang bergerak dalam bidang kehutanan. (Departemen Kehutanan 2006). Menurut Ngadiono (2004), sistem Tata Usaha Kayu (TUK) merupakan sistem pencatatan, penerbitan dokumen dan pelaporan hasil hutan kayu yang meliputi kegiatan perencanaan, produksi dan penggunaannya. Penatausahaan kayu ditujukan untuk mengawasi jalannya penyelenggaraan pengusahaan hutan dan peredaran kayu. Berdasarkan sifat kegiatannya, sistem TUK dikenal sebagai sistem lacak balak (asal usul kayu) yang berguna untuk menghindari terdapatnya perdagangan kayu hasil penebangan liar (illegal logging). Prinsip legalitas hasil hutan yang berasal dari hutan negara adalah bahwa suatu komoditas hasil hutan dapat secara bebas diperdagangkan atau dimanfaatkan setelah melalui suatu proses verifikasi secara utuh dan dinyatakan memenuhi ketentuan (compliance), mulai dari legalitas perizinan (izin pemanfaatan), legalitas izin pemanenan/Rencana Kerja Tahunan (RKT)), legalitas pemanenan (kebenaran blok dan petak tebangan), legalitas pengukuran dan pengujian untuk menetapkan
hak-hak
negara,
legalitas
pemenuhan
kewajiban
kepada
negara/Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) serta legalitas
pengangkutan hasil hutan. Terdapat beberapa aspek yang perlu
dipertimbangkan dalam penerbitan dokumen PUHH sebagai bukti legalitas
4
diantaranya aspek keamanan, aspek kepemilikan, aspek asal-usul, dan aspek penggunaan dokumen (Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan 2010). Pengangkutan kayu bulat pada hutan negara menggunakan dokumen Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB) yaitu dokumen pengangkutan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang dan dipergunakan dalam pengangkutan kayu bulat dari TPK di dalam areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) ke TPK di luar areal IUPHHK serta untuk penguasaan atau pemilikan hasil hutan berupa kayu bulat dari areal izin yang sah di Hutan Alam (HA) dan telah melalui proses verifikasi serta telah dilunasi PSDH/DR oleh pemilik kayu kepada Pemerintah. Dokumen SKSKB ini digunakan untuk mengindikasikan legalitas kayu bulat yang ditebang dari hutan alam negara, dalam penerbitan SKSKB menggunakan blanko model Daftar Kayu Bulat (DKB. 401) dan harus dilampirkan DKB model 104a (Departemen Kehutanan 2006). Selain SKSKB, dokumen yang digunakan dalam pengangkutan hasil hutan yang termasuk SKSHH
berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.8/Menhut-II/2009
adalah FA-KB menggunakan blanko model Daftar Kayu Angkutan (DKA. 301), Faktur Angkutan Hasil Hutan Bukan Kayu (FA-HHBK) menggunakan blanko model DKA. 302, FA-KO menggunakan blanko model DKA. 303, SAL menggunakan blanko model DKB. 402 dan Nota atau faktur perusahaan pemilik kayu olahan (Departemen Kehutanan 2009). FA-KB adalah dokumen angkutan yang diterbitkan oleh Penerbit FA-KB yang merupakan petugas atau karyawan perusahaan yang bergerak dibidang kehutanan yang telah memiliki izin yang sah dari Pemerintah dan mempunyai kualifikasi. FA-KB dipergunakan dalam pengangkutan hasil hutan berupa kayu bulat atau kayu bulat kecil yang berasal dari perizinan yang sah pada hutan alam negara atau hutan tanaman di kawasan hutan produksi dan untuk pengangkutan lanjutan kayu bulat atau kayu bulat kecil yang berasal dari kawasan hutan negara yang berada di luar kawasan. FA-KB wajib disertai pada setiap pengangkutan lanjutan kayu bulat maupun kayu bulat kecil yang merupakan angkutan lanjutan dari TPK Antara/TPK Industri (Departemen Kehutanan 2006). Ruang lingkup penatausahaan kayu terdiri dari Petak Tebang, TPn, TPK Hutan dan TPK Antara. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.
5
P.55/Menhut-II/2006, Petak Kerja Tebangan adalah bagian dari blok tebangan dengan luas tertentu yang merupakan unit administrasi terkecil dalam kesatuan pengelolaan atau manajemen hutan. Pada setiap petak tebangan dilakukan kegiatan timber cruising, yaitu kegiatan pengukuran, pengamatan dan pencatatan terhadap pohon yang akan ditebang, pohon inti, pohon yang dilindungi, permudaan dan data lapangan lainnya. Beberapa data yang dicatat antara lain jenis pohon, jumlah pohon, diameter, tinggi pohon, serta informasi tentang keadaan lapangan yang dilaksanakan dengan intensitas tertentu sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. TPn adalah tempat untuk mengumpulkan kayu-kayu hasil penebangan atau pemanenan yang terletak di sekitar petak kerja tebangan, dekat jalan angkutan besar yang merupakan tempat kayu-kayu akan disarad dan tempat dimulainya angkutan yang sesungguhnya (Departemen Kehutanan 2006). Menurut Elias (2008), TPn adalah tempat pengumpulan kayu yang terletak di tepi jalan angkutan yang berfungsi untuk menampung kayu yang disarad dari dalam tegakan atau areal hutan. TPK Hutan adalah tempat untuk menimbun kayu bulat atau kayu bulat kecil dari beberapa TPn. TPK Hutan merupakan milik pemegang IUPHHK dan keberadaannya ditetapkan dalam RKT. Pada TPK Hutan dilakukan beberapa kegiatan antara lain pembuatan DKB, penerbitan SKSKB dan pembuatan Laporan Mutasi Kayu Bulat (LMKB). TPK Antara adalah tempat untuk menimbun kayu bulat atau kayu bulat kecil berupa tempat pengumpulan kayu di dalam air (logpond) atau tempat pengumpulan kayu di darat (logyard), yang dibuat diluar areal IUPHHK dan keberadaannya ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. TPK sedapat mungkin dilindungi terhadap pengaruh-pengaruh luar untuk dijual secara besar-besaran atau sedikit demi sedikit (Departemen Kehutanan 2006). Menurut Elias (2008), TPK Antara adalah tempat penimbunan kayu bulat atau kayu bulat kecil yang dibuat di antara jalur pengangkutan kayu dari TPn ke TPK akhir. TPK Antara biasanya dibuat untuk mengatasi masalah cuaca yang tidak terduga dan efisiensi bagi pengangkutan yang jaraknya jauh.
6
Pelanggaran hukum dalam peredaran hasil hutan (Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan 2010): 1. Tidak dilengkapi dokumen legalitas (SKSKB/FA-KB) diancam pidana sesuai UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 50 ayat (3) huruf h. 2. Hasil pemeriksaan fisik kayu (100%) tidak sesuai dengan dokumen angkutan (SKSKB/FA-KB), terhadap kayu yang tidak sesuai diancam pidana sesuai UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 50 ayat (3) huruf h. Pelanggaran hukum dalam hal pemenuhan hak-hak negara (PSDH/DR) antara lain (Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan 2010): 1. Kayu bulat tidak dibayar PSDH/DR dan masih berada di dalam areal izin. Terhadap kayu bulat tersebut dikenakan sanksi administrasi yaitu penghentian pelayanan sanksi administrasi dalam bentuk tidak disahkannya Laporan Hasil Produksi-Kayu Bulat (LHP-KB) periode berikutnya dan tidak diterbitkan SKSKB. 2. Kayu bulat yang belum dibayar PSDH/DR tetapi diangkut keluar areal izin. Syarat pengangkutan kayu bulat adalah harus disertai bersama-sama dengan SKSKB, SKSKB dapat diterbitkan apabila sudah ada bukti pelunasan PSDH/DR apabila SKSKB diterbitkan sebelum ada pelunasan PSDH/DR, maka SKSKB tersebut tidak sah dan dokumen yang tidak sah dianggap tidak ada, sehingga kayu bulat yang diangkut dengan dokumen tersebut dianggap tanpa dokumen dan dapat diancam sanksi pidana sesuai UU No. 41 Tahun 1999. Pelaksanaan kegiatan tata usaha hasil hutan rakyat di Perhutani diawali dengan kegiatan penerimaan kayu oleh mandor penerima dan penguji kayu atau pembantu penguji. Hasil pencatatan dari kegiatan penerimaan ini dituliskan pada Daftar Kapling (DK. 304c) atau Nota Penerimaan Sementara. Selanjutnya kegiatan fisik pembongkaran kayu dari truk dilakukan oleh blandong. Penyortiran dilakukan berdasarkan kelas diameter, kelas panjang dan kelas mutu kemudian kayu-kayu yang telah disortir ditumpuk menjadi pra kapling oleh blandong. Volume setiap kapling telah ditentukan yaitu tidak lebih dari 5 m3 dan tidak kurang dari 3 m3 . Pra kapling yang telah jadi kemudian diperiksa dan dicatat ke dalam buku catatan sementara oleh petugas Tata Usaha (TU) TPn dengan dibantu
7
oleh mandor penyerahan untuk membuat DK 308 siap jual. Kapling yang telah tercatat dalam Daftar Kapling dan siap dijual, diberi tanda sabuk kapling selebar 5 cm dengan cat putih oleh mandor kapling. Data kapling yang telah terjual dari Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) kemudian diberi tanda laku berupa garis miring. Kayu-kayu yang sudah terjual dan siap diambil diberi tanda laku tok perusahaan sebagai tanda bahwa kayu tersebut sah karena kayu-kayu tersebut akan dilampiri dengan SKSHH (Kurniawati 2004). Hasil kajian mengenai Permenhut No. P.55/Menhut-II/2006 menunjukkan bahwa mekanisme pelaksanaan PUHH telah berubah dari penilaian/pengesahan oleh pemerintah (official assesment) menjadi penilaian/pengesahan oleh perusahaan pada kayu bulat yang telah menjadi milik perusahaan (self assesment), dengan diterbitkannya peraturan ini beberapa permasalahan yang ada dapat teratasi seperti dasar perhitungan PSDH/DR yang sebelumnya berdasarkan LHC telah diganti menjadi berdasarkan LHP yang telah disahkan oleh P2LHP (Syahadat 2007). Efektifitas menurut Robbins dan Coulter (2005) adalah menyelesaikan kegiatan-kegiatan sehingga sasaran organisasi dapat tercapai, digambarkan sebagai ’’melakukan segala sesuatu yang benar”. Salah satu faktor
yang
mempengaruhi efektifitas adalah kualitas dan kuantitas tenaga kerja. Pelaksanaan PUHH memerlukan tenaga kerja yang profesional (memiliki kemampuan dibidangnya) agar tujuan PUHH dapat tercapai. 2.2 Wawancara Mendalam Wawancara mendalam adalah metode yang memungkinkan pewawancara untuk bertanya kepada responden dengan harapan untuk memperoleh informasi mengenai fenomena yang ingin diteliti (West dan Lynn 2008). Wawancara mendalam biasanya dinamakan wawancara kualitatif yang dilakukan dengan santai, informal dan masing-masing pihak seakan-akan tidak ada beban psikologis. Wawancara mendalam ini akan memperoleh kedalaman data yang menyeluruh (Endraswara 2006). Wawancara mendalam lebih memfokuskan pada persoalan-persoalan yang menjadi pokok dari minat penelitian. Pedoman wawancara mendalam biasanya tidak berisi pertanyaan-pertanyaan yang mendetail tetapi hanya garis besar tentang
8
data atau informasi apa yang ingin didapatkan dari informan yang nanti dapat dikembangkan dengan memperhatikan perkembangan, konteks dan situasi wawancara (Pawito 2007). 2.3 Metode Penentuan Nilai Bobot Kriteria Indikator Dalam metode pembobotan nilai terdapat dua aspek penting yaitu kriteria dan indikator. Kriteria adalah suatu aspek yang dianggap penting untuk melakukan penilaian terhadap suatu sistem dengan sekumpulan indikator yang sesuai (Suhendang 2002). Indikator adalah ukuran kualitatif atau kuantitatif yang menjadi dasar penilaian suatu kriteria dan bobot indikator kinerja mencerminkan seberapa penting indikator kinerja yang bersangkutan dalam menentukan nilai capaian kinerja (Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2001). Salah satu metode yang digunakan dalam mengukur prioritas program kegiatan adalah metode Perbandingan Berpasangan (Pairwise Comparisons) dengan sistem pembobotan. Metode perbandingan berpasangan adalah penilaian pendekatan yang melibatkan perbandingan tiap elemen dengan elemen lainnya atau dua elemen sekaligus, dengan standar tunggal untuk menentukan mana yang lebih baik. Urutan rangking dapat diperoleh dengan menghitung berapa kali masing-masing elemen terpilih sebagai yang lebih baik untuk satu buah pasangan (Noe 2000 dan Jackson & Schuler 1996). Metode perbandingan berpasangan dapat memberikan keputusan (judgement) dalam memecahkan masalah terhadap adanya komponen-komponen yang tak terukur yang mempunyai peran yang cukup besar sehingga tidak dapat diabaikan, karena tidak semua masalah sistem dapat dipecahkan melalui komponen yang dapat diukur, maka dibutuhkan skala yang dapat membedakan setiap pendapat serta mempunyai keteraturan sehingga memudahkan unuk mengaitkan antara judgement dengan skala-skala yang tersedia (Muhridwan 2010). Nilai skala perbandingan berpasangan yang digunakan menurut Saaty (1991) adalah skala 1 s/d 9. Adapun tahapan analisis data menggunakan metode perbandingan berpasangan yang dikembangkan oleh Saaty (1991): 1. Menentukan dan menyusun jenis-jenis kriteria atau indikator dalam bentuk matriks berpasangan.
9
2. Melakukan
perbandingan
berpasangan
yang
menggambarkan
tingkat
kepentingan atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing elemen lainnya. 3. Melakukan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh jumlah judgment dari responden sebanyak n(n-1)/2 dimana n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan. 4. Menghitung eigen value (ukuran konsistensi judgment) dan menguji konsistensinya dengan menggunakan Consistency Racio (CR) dengan ketentuan CR<0,1; jika CR>0,1 maka tidak konsisten dan pengisian nilai-nilai pada matriks berpasangan baik dalam unsur kriteria maupun alternatif harus diulang. Distribusi frekuensi adalah pengelompokkan data ke dalam beberapa kelompok (kelas) dan kemudian dihitung banyaknya data yang masuk ke dalam tiap kelas. Distribusi frekuensi dibagi menjadi dua yaitu distribusi frekuensi kualitatif dan distribusi frekuensi kuantitatif. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan kelas bagi distribusi frekuensi data kuantitatif, yaitu jumlah kelas dan batas kelas. Untuk jumlah kelas, tidak ada aturan umum yang menentukan jumlah kelas. Batas kelas bawah menunjukan kemungkinan niai data terkecil pada suatu kelas dan batas kelas atas mengidentifikasikan kemungkinan nilai data terbesar dalam suatu kelas (Supranto 2000). 2.4 Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL) Pengelolaan hutan alam produksi lestari adalah strategi dan pelaksanaan kegiatan untuk memproduksi hasil hutan yang menjamin keberlanjutan fungsifungsi produksi, ekologi atau lingkungan dan sosial. Kelestarian fungsi produksi adalah pengelolaan hutan lestari yang menjamin keberlangsungan pemanfaatan hasil hutan yang dicirikan oleh kelestarian sumber daya, hasil hutan dan usaha. Kelestarian fungsi ekologi adalah pengelolaan hutan lestari yang menjamin dicapainya fungsi hutan untuk mempertahankan sistem penyangga kehidupan berbagai spesies dan plasma nutfah asli serta ekosistem unik yang mungkin ditemukan di dalam hutan tersebut. Kelestarian fungsi sosial adalah pengelolaan hutan lestari yang menjamin keberlangsungan manfaat ekonomi, sosial maupun budaya (Badan Standarisasi Nasional 1998).
10
Departemen Kehutanan memberlakukan program sertifikasi PHAPL secara wajib bagi Unit Manajemen IUPHHK, karena merupakan suatu proses yang berkelanjutan dalam pencapaian pengelolaan sumberdaya hutan secara lestari dan sebagai sarana penilaian kinerja HPH/IUPHHK yang akan digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk menetapkan status ijin HPH/IUPHHK. PHAPL mengacu pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 4795/Kpts-II/2002 tanggal 3 Juni 2002 tentang Kriteria dan Indikator PHAPL pada Unit Pengelolaan dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 208/Kpts-II/2003 tentang Tata Cara Penilaian Kinerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam di Unit Manajemen dalam rangka pengelolaan hutan secara lestari beserta peraturan pelaksanaannya (Departemen Kehutanan 2009). Standar PHPL dan pedoman pelaksanaan sertifikasi PHPL untuk Indonesia telah ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) pada tahun 1998 (Suhendang 2002): 1. Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-5000-1998 (Kerangka sistem PHPL). 2. SNI 19-5000-1-1998 (Sistem PHAPL). 3. SNI 19-5005-1998 Istilah dan pengertian yang berhubungan dengan sertifikasi PHPL. 4. Pedoman BSN 99 (Sistem sertifikasi PHPL).
11
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di areal kerja IUPHHK-HA PT. Austral Byna, Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah pada bulan Juni-Juli 2010. 3.2 Alat, Bahan dan Obyek Penelitian Alat yang digunakan antara lain alat tulis, tallysheet dan PC (Personal Computer). Sedangkan bahan yang digunakan adalah Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2006 jo Peraturan Menteri Kehutanan No. P.63/Menhut-II/2006 jo Peraturan Menteri Kehutanan No. P.8/Menhut-II/2009 tentang Penatausahaan Hasil Hutan (PUHH) untuk hutan negara. Obyek penelitian adalah kegiatan PUHH berupa kayu bulat di Perusahaan mulai dari Petak Tebang, TPn, TPK Hutan dan TPK Antara. 3.3 Batasan Penelitian Penelitian ini dibatasi hanya pada areal Petak Tebang, TPn, TPK Hutan dan TPK Antara. Sistem penatausahaan kayu yang diamati lebih ditekankan pada penatausahaan kayu yang sesuai pada Permenhut No.P.55/Menhut-II/2006 jo Permenhut No.P.63/Menhut-II/2006 jo Permenhut No.P.8/Menhut-II/2009, tidak mengarah pada mekanisme SIPUUH on line dan sistem lacak balak (chain of custody). Penelitian ini hanya mengamati tata urutan atau kesesuaian proses penatausahaan kayu di lapangan dengan peraturan yang berlaku. Berdasarkan definisi dan batasan penatausahaan kayu, serta kondisi lapangan penelitian, maka kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan di lapangan dan di kantor. Adapun kegiatan-kegiatan di lapangan antara lain: 1. Kegiatan di Petak Tebang meliputi pengambilan sampel secara acak (dua puluh pohon layak tebang), pengamatan LHC dan wawancara. 2. Kegiatan di TPn meliputi pengambilan sampel secara acak (dua puluh batang kayu bulat), pengamatan Buku Ukur Kayu Bulat, LHP-KB dan wawancara.
12
3. Kegiatan di TPK Hutan meliputi pengambilan sampel secara acak (sepuluh batang kayu bulat), pengamatan SKSKB, LMKB dan wawancara. 4. Kegiatan di TPK Antara meliputi pengambilan sampel secara acak (sepuluh batang kayu bulat), pengamatan FA-KB, LMKB, pengecekan terhadap perlakuan dokumen angkutan di tempat tujuan dan wawancara. Sedangkan kegiatan-kegiatan di kantor antara lain: 1.
Tata cara penerbitan SKSKB dan FA-KB.
2.
Perpanjangan masa berlaku dokumen angkutan.
3.
Pembuatan LMKB.
4.
Pengangkatan Pejabat Pengesah Laporan Hasil
Penebangan (P2LHP),
Pejabat Penerbit Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (P2SKSKB) dan Pejabat Pemeriksa Penerimaan Kayu Bulat (P3KB). 5.
Tugas dan tanggung jawab P2LHP, P2SKSKB dan P3KB.
6.
Tata cara pemberhentian P2LHP, P2SKSKB dan P3KB.
7.
Pembakuan, kodefikasi dan pengadaan blanko.
8.
Penatausahaan blanko dalam PUHH.
9.
Perencanaan dan pendistribusian blanko SKSKB.
10. Penatausahaan, penyimpanan dan penghapusan blanko angkutan hasil hutan. 11. Pelaporan, pembinaan dan pengendalian pelaksanaan PUHH. 12. Ketentuan kebenaran antara fisik kayu bulat dengan dokumen angkutan. 13. Pelanggaran dan sanksi, ketentuan lain dan ketentuan peralihan.
13
3.4 Desain Penelitian Contents Analysis P.55/Menhut-II/2006 jo P.63/MenhutII/2006 jo P.8/Menhut-II/2009
Rekapitulasi hasil contents analysis Petak Tebang
Rekapitulasi hasil pengamatan di lapangan
Pengamatan kegiatan Penatausahaan Kayu di lapangan
TPn
TPK Hutan
TPK Antara
Analisis kesesuaian dan permasalahan
Perencanaan penebangan (Pembuatan LHC).
Pembuatan LHP dan pengesahan LHP kayu bulat.
Penerbitan SKSKB dan pembuatan LMKB.
Penerbitan FA-KB, perpanjangan masa berlaku dokumen, mematikan SKSKB/FA-KB oleh P3KB.
Analisis efektifitas dan alternatif solusi
Gambar 1 Tahapan Penelitian. 3.5 Persiapan Penelitian 1. Menganalisis isi (contents analysis) dari Permenhut No. P.55/Menhut-II/2006 jo Permenhut No. P.63/Menhut-II/2006 jo Permenhut No. P.8/Menhut-II/2009. 2. Pembuatan tally sheet PUHH berdasarkan Permenhut No. P.55/Menhut-II/2006 jo Permenhut No. P.63/Menhut-II/2006 jo Permenhut No. P.8/Menhut-II/2009. 3. Membangun Kriteria Indikator Analisis yang akan digunakan untuk menganalisis kesesuaian antara data di lapangan dengan Permenhut No. P.55/Menhut-II/2006 jo Permenhut No. P.63/Menhut-II/2006 jo Permenhut No. P.8/Menhut-II/2009 (Kriteria dan indikator selengkapnya disajikan pada lampiran 1).
14
3.6 Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan merupakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan fakta lapangan terkait penatausahaan kayu mencakup 5W (What, Who, Where, When, Why) dengan pengambilan sampel secara acak, yaitu dua petak tebang masing-masing sepuluh pohon, dua TPn masing-masing sepuluh batang kayu bulat, satu TPK Hutan dengan sampel sepuluh batang kayu bulat dan satu TPK Antara dengan sampel sepuluh batang kayu bulat, penelusuran dokumen/blanko penatausahaan kayu di perusahaan dan wawancara mendalam dengan pejabat kehutanan dan badan usaha yang melakukan kegiatan penatausahaan kayu di areal kerja perusahaan. Data sekunder diperoleh dari perusahaan dan Dinas Kehutanan, meliputi dokumen-dokumen yang digunakan dalam PUHH, seperti : 1.
Buku Ukur Kayu, LHP-KB, SKSKB, FA-KB dan LMKB.
2.
Pengangkatan P2LHP, P2SKSKB dan P3KB.
3.
Tugas dan tanggung jawab P2LHP, P2SKSKB dan P3KB.
4.
Tata cara pemberhentian P2LHP, P2SKSKB dan P3KB.
5.
Penatausahaan blanko dalam PUHH.
6.
Perencanaan dan pendistribusian blanko SKSKB.
7.
Penatausahaan, penyimpanan dan penghapusan blanko angkutan hasil hutan.
8.
Pelaporan, pembinaan dan pengendalian pelaksanaan PUHH.
9.
Ketentuan kebenaran antara fisik kayu bulat dengan dokumen angkutan.
10. Pelanggaran dan sanksi, ketentuan lain dan ketentuan peralihan. 3.7 Analisis Data Analisis data menggunakan metode analisis deskripsi dengan melihat kesesuaian antara temuan fakta lapangan (fact finding) dengan ketentuan yang berlaku (Permenhut No.P.55/Menhut-II/2006 jo Permenhut No.P.63/MenhutII/2006 jo Permenhut No.P.8/Menhut-II/2009) untuk menentukan tingkat efektifitas kegiatan PUHH yang telah dilaksanakan di areal hutan perusahaan. Analisis data ini menggunakan Kriteria Indikator Analisis, dengan perangkat analisis yang akan digunakan adalah kriteria, indikator dan verifier (pengukur)
15
dengan mencantumkan hal-hal yang bisa diukur secara objektif dan lebih bersifat spesifik untuk lokasi tertentu. Pengukuran prioritas kegiatan penatausahaan kayu menggunakan metode Perbandingan Berpasangan (Pairwise Comparison). Metode perbandingan berpasangan adalah penilaian pendekatan yang melibatkan perbandingan tiap elemen dengan elemen lainnya dengan standar tunggal untuk menentukan mana yang lebih baik. Urutan rangking dapat diperoleh dengan menghitung berapa kali masing-masing elemen terpilih sebagai yang lebih baik untuk satu buah pasangan. Tahapan analisis data menggunakan metode perbandingan berpasangan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty (Muhridwan 2010): 1. Menentukan dan menyusun jenis-jenis kriteria atau indikator dalam bentuk matriks berpasangan. Tabel 1 Matriks perbandingan berpasangan C1 C2 … Cn
C1 1 1/a12 … 1/a1n
… … … … …
C2 a12 1 … 1/a2n
Cn A1n A2n … 1
A=(aij)
Dalam hal ini, C1, C2,...Cn adalah set elemen pada satu tingkat dalam hierarki. Kuantifikasi pendapat dari hasil perbandingan berpasangan membentuk matriks n x n. Nilai aij merupakan nilai matriks pendapat hasil perbandingan yang mencerminkan nilai kepentingan Ci terhadap Cj. 2. Melakukan
perbandingan
berpasangan
yang
menggambarkan
tingkat
kepentingan atau pengaruh setiap eleman terhadap masing-masing elemen lainnya. Menurut Saaty (1991), nilai skala perbandingan berpasangan yang digunakan adalah skala 1 s/d 9 seperti tercantum dalam Tabel 2. Tabel 2 Skala banding secara berpasangan Tingkat Kepentingan 1
Definisi
Keterangan
Kedua elemen sama pentingnya.
Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan.
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lain.
Pengalaman dan penilaian sedikit mendukung satu elemen dibanding elemen yang lainnya.
5
Elemen yang satu jelas lebih penting daripada elemen yang lain.
Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen yang lainnya.
16
Tabel 2 (Lanjutan) Tingkat Kepentingan 7
Definisi
Keterangan
Elemen yang satu sangat jelas lebih penting daripada elemen yang lain. Elemen yang satu mutlak lebih penting daripada elemen yang lain.
9
Satu elemen dengan kuat didukung dan dominan terlihat dalam praktek. Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan.
2,4,6,8
Apabila ragu-ragu antara dua Nilai ini diberikan bila ada dua nilai yang berdekatan (nilai kompromi di antara dua pilihan. kompromi). Keterangan : Nilai kebalikan (1/3, 1/5,…, 1/9) digunakan apabila aktivitas i dibandingkan dengan aktivitas j mendapatkan satu angka maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i.
3. Melakukan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh jumlah judgment dari responden sebanyak n(n-1)/2 dimana n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan. 4. Menghitung eigen value (ukuran konsistensi judgment) dan menguji konsistensinya dengan menggunakan Consistency Racio (CR) dengan ketentuan CR<0,1 jika CR>0,1 maka tidak konsisten dan pengisian nilai-nilai pada matriks berpasangan baik dalam unsur kriteria maupun alternatif harus diulang. Adapun persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut : Menghitung Lamda max (λmax) dengan rumus:
Menghitung Consistency Index (CI) dengan rumus:
Menghitung Consistency Ratio (CR) dengan rumus :
Tabel 3 Nilai indeks random (Random Index) n
1,2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
RI
0,00
0,58
0,90
1,12
1,24
1,32
1,41
1,45
1,49
1,51
1,48
1,56
1,57
1,59
17
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PRAKTEK 4.1 Lokasi dan Luas Areal Penelitian Berdasarkan letak geografis, terletak antara 0o 30’-1o 68’ LS dan 114o 45’115o 45’ BT. Adapun batas-batas luar areal perusahaan adalah: 1. Sebelah Utara: Berbatasan dengan PT. Wana Inti Kahuripan. 2. Sebelah Timur: Berbatasan dengan PT. Barito Putra, PT. Timber Dana, dan Hutan Lindung Sumhai Kendilo Gunung Ketam. 3. Sebelah Selatan: Berbatasan dengan PT. Indexim Utama, PT. Sindo Lumber dan PT. Parwata Rimba. 4. Sebelah Barat: Berbatasan dengan PT. Meranti Sembada, IUPHHK-HT PT. Rimba Berlian Hijau, IUPHHK-HT PT. Purwa Permai dan HGU PT. Antang Ganda Utama. Luas areal perusahaan adalah 255.530 ha. Menurut peta penataan areal kerjanya (PAK), luas areal efektifnya (areal bersih produksi) ada sekitar 210.290 ha yang terdiri atas areal THPB, TPTI dan TPTII. Secara administrasi pemerintahan, areal perusahaan termasuk kedalam wilayah Kecamatan Lahei, Teweh Timur dan Gunung Purui, Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah dengan ibukota Palangkaraya dan termasuk kedalam BKPH Muara Teweh, KPH Murung Utara, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah. Berdasarkan hidrologi, pada areal kerja perusahaan terdapat empat kelompok sungai yaitu Sungai Teweh-Sungai Lahei dan Sungai Montallat-Sungai Sempirang. 4.2 Tanah dan Geologi Jenis tanah perusahaan termasuk jenis podsolik tersusun dari batuan sedimen (batu, liat, batu debu dan batu pasir). Tanah ini umumnya bersolum dalam, bertekstur sedang dan agak halus serta berada pada daerah yang berdrainase terhambat. Berdasarkan sifat-sifat tanah yang diamati (kedalaman, drainase dan tekstur lapisan teratas 50 cm) disimpulkan bahwa tanah di perusahaan bersolum dalam, berdrainase baik, bertekstur sedang dan agak halus.
18
Ditinjau dari segi geologi, berdasarkan Peta Geologi skala 1:250.000 lembah Muara Teweh, Kalimantan Tengah, Statografi daerah diendapkan secara tidak selaras pada zaman Tersier Miosen sampai Oligosen sekitar 15-20 juta tahun yang lalu. Satuan geologinya termasuk cekungan Barito, sedangkan formasinya adalah Formasi Wakurin (Tmw) dan Formasi Karamun (Tomk). Daerah daratan dicirikan oleh pola sungai yang hampir sejajar. Dalam perkembangannya, bentuk wilayah dipengaruhi oleh erosi. Erosi pada kemiringan curam terlihat jelas kikisnya, sehingga terjadi torehan-torehan yang makin tajam, sedangkan pada bagian perlembahan terjadi pengendapan, pada daerah perbukitan terlihat jelas sekali adanya proses pengikisan akibat erosi. 4.3 Iklim Berdasarkan kriteria Schimdt & Ferguson, areal perusahaan termasuk dalam tipe iklim nilai Q berkisar 0-14,3%. Berdasarkan data dari Stasiun Meteorologi Bandara Beringin Muara Teweh, curah hujan bulanan tertinggi dalam kurun waktu 1992-2002, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November 2001 dan curah hujan terendah terjadi pada bulan November 1991 yaitu 7 mm. Jumlah hari hujan tahunan rata-rata adalah 212 hari, tetapi pada tahun 1992 jumlah hari hujan hanya 120 hari dan merupakan jumlah hari hujan yang terendah selama kurun waktu 1992-2002. Nilai hujan rata-rata dan hari hujan tahunan rata-rata disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Karakteristik iklim di areal IUPHHK PT. Austral Byna Bulan
Curah Hujan (mm)
Hari Hujan (hari)
Suhu (°C)
Januari 294 19 26,1 Februari 254 18 26,1 Maret 285 19 26,1 April 325 19 26,1 Mei 283 19 26,8 Juni 141 13 26,5 Juli 170 14 26,9 Agustus 105 11 26,2 September 159 12 26,3 Oktober 251 17 26,7 November 327 20 26,3 Desember 321 22 26,3 Jumlah 2.195 203 Rata-rata 183 17 26,3 Sumber : Stasiun Bandara Beringin, Muara Teweh (1992-2002)
Kelembaban (%)
Kecepatan Angin (knot)
85 84 85 84 45 84 85 83 83 83 85 85 84,25
0,23 0,24 0,3 0,26 0,2 0,2 0,2 0,23 0,26 0,26 0,24 0,24 0,24
19
4.4 Keadaan Hutan Hutan pada areal perusahaan termasuk ke dalam hutan tropika basah dataran rendah. Bentuk vegetasinya merupakan areal bekas tebangan dan non hutan, dengan luasan seperti disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Luasan setiap bentuk vegetasi di areal IUPHHK PT. Austral Byna No.
Penutupan Lahan
Fungsi Hutan (Ha) HPT
1
HP
HPK
Buffer Zone (ha) 728
Jumlah (ha)
Persen (%)
Hutan Bekas 69.013 61.786 24.564 156.090 61,08 tebangan 2 Non Hutan 19.113 38.890 36.246 141 94.391 36,94 3 Tertutup Awan 1.828 2.2921 300 0 5.050 1,98 Jumlah 89.954 103.597 61.110 868 255.530 100,00 Kondisi Penutupan Lahan (Berdasarkan Citra Landsat 2008 (Landsat TM + Band 542 skala 1:100.000 Path/Row/Liputan : Mozaik 117/60/16 Juni 2009, 117/61/29 April 2009, 118?60/7 Juni 2009 dan 117/61/7 Juni 2009), Pengesahan Kepala Badan Planologi Kehutanan melalui surat nomor : S.476/IPSDH-2/2009, tanggal 31 Agustus 2009.
Komposisi tegakan pada areal perusahaan terdiri dari jenis-jenis Dipterocarpaceae, non Dipterocarpaceae dan jenis langka yang dilindungi. Jenis Dipterocarpaceae
didominasi oleh jenis Meranti (Shorea spp),
Kapur
(Dryobalanops rubra), Balau (Shorea spp) dan Keruing (Dipterocarpus grandiflorus). Tipe, komposisi dan potensi tegakan pada areal perusahaan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Tipe, komposisi dan potensi tegakan pada areal IUPHHK PT. Austral Byna No. 1. 2.
3.
Uraian Tipe Hutan Komposisi Hutan a. Dipterocarpaceae Jenis Meranti(%) Jenis Kapur(%) Jenis Balau(%) Jenis Keruing(%) Jenis Lambin(%) Jenis Lainnya(%) b. Non Dipterocarpaceae Jenis Nyatoh Jenis Bintangur Jenis Biwan Jenis Binuang Jenis Lainnya Jenis-jenis kurang dikenal (%) c. Jenis Langka yang Dilindungi Jenis Tengkawang(%) Jenis Jelutung(%)
Jumlah/Keterangan Hutan Hujan Tropika Basah 47,02 11,56 5,94 12,09 4,85 2,64 1,42 1,42 11,72 0,72 0,95 0,10 0,57 0,4 8,71 20,1
20
Tabel 6 (Lanjutan) No. 4.
Uraian Potensi Tegakan (20-39) cm (M3) (40-49) cm (M3) 50 cm up (M3) 60 cm up (M3) AAC/JPT berdasarkan kepentingan IUPHHK a. Tahun I-III Minimum Maksimum b. Tahun IV-dst Minimum Maksimum
Jumlah/Keterangan 9,82 34,75 32,87 62,09 266.400 m3/ Ts 443.900 m3/ Ts 266.400 m3/ Ts 443.900 m3/ Ts
Kawasan perusahaan tergolong mempunyai keanekaragaman jenis vegetasi yang tinggi. Vegetasi yang mendominasi diantarnya jenis Meranti dan Rimba Campuran. Jumlah batang dan volume rata-rata menurut jenis dan kelas diameter disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Jumlah batang dan volume rata-rata menurut jenis dan kelas diameter di areal IUPHHK PT. Austral Byna Uraian 20-49 cm Areal Bekas Tebangan Kel. Jenis Meranti Kel. Rimba Campuran Jumlah
50-59 cm
N (batang/ha) dan V (m³/ha) 40 cm Up >60 cm
>50 cm
66,41
45,65
7,70
11,99
25,73
46,64
21,86
31,34
29,56
43,33
5,84
3,52
6,30
9,80
21,04
36,16
17,89
28,70
24,19
38,50
72,25
49,17
14
21,79
46,77
82,80
39,75
60,04
53,75
81,83
Perkembangan areal hutan perusahaan telah mengalami perubahan luas yang semula 294.600 ha menjadi 255.530 ha. Hal ini disebabkan oleh mutasi areal hutan untuk penggunaan lain seperti pertambangan, HTI, dll. Perkembangan areal perusahaan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Perkembangan areal No. 1 2
Luas Areal Semula Mutasi Areal : a. Perkebunan
HL (Ha) -
Fungsi TGHK/Paduserasi RTWP dan TGHK SA HP HPT HK APL Jumlah (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) 118.000 118.000 58.000 294.600 -
-
-
-
-
-
21
Tabel 8 (Lanjutan) No.
Luas Areal
HL (Ha) -
Fungsi TGHK/Paduserasi RTWP dan TGHK SA HP HPT HK APL Jumlah (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) 6.851 20.500 20.500 1.621 10.098
b. Transmigrasi c. Pertambangan d. HTI e. Lain-lain 3 Koreksi Perhitungan Luas Luas Sekarang 103.100 91.480 60.950 255.530 Keterangan : Berdasarkan TGHK/Padu Serasi RTRWP dan TGHK Kal-Teng Tahun 1982.
4.5 Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pekerjaan utama sebagian besar penduduk adalah sebagai petani/peladang. Mata pencaharian penduduk di Kabupaten Barito Utara disajikan pada Tabel 9. Penduduk asli yang berada di sekitar areal perusahaan adalah masyarakat Dayak Siang, Dayak Ngaju, Dayak Bakumpai dan Dayak Tawangan. Perbedaan antara suku Dayak Tawangan dan Bakumpai terlihat dari aspek kepercayaan agama. Agama yang dianut oleh masyarakat Dayak tersebut adalah agama Kristen Protestan, Katolik dan kepercayaan Kaharingan sedangkan suku Dayak Bakumpai merupakan kelompok masyarakat suku Dayak yang telah memeluk agama Islam. Tabel 9 Mata pencaharian penduduk di desa-desa sekitar IUPHHK PT. Austral Byna No.
Jenis/Mata Pencaharian
Sikui
Jumlah Penduduk (Jiwa) Sampirang Benangi I
Peladang - Pemilik 1.456 210 - Penggarap 310 2 Perkebunan 224 15 3 Peternakan 23 1 4 Industri Kecil 803 5 Pegawai Negeri/ABRI 30 5 6 Perdagangan 9 7 Lain-lain 9 3 Jumlah 2.864 225 Sumber: Kabupaten Barito Utara dalam Angka, 2002.
Kandui
1
160 13 1 25 2 13 214
208 32 208 100 10 621
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Penatausahaan Kayu di Petak Tebang 5.1.1 Efektifitas Penatausahaan Kayu di Petak Tebang Berdasarkan penilaian penatausahaan kayu seperti tercantum pada Tabel 10, diketahui bahwa kegiatan di Petak Tebang yang memiliki tingkat kepentingan tinggi adalah indikator 1.1 yaitu pemegang IUPHHK wajib melakukan kegiatan timber cruising (0,41). Nilai lapang dari kegiatan ini adalah 0,77 dan untuk kegiatan pembuatan LHC dan rekapitulasinya, pelaporan LHC dan RLHC kepada Kepala Dinas Provinsi, penyusunan RKT serta penandaan tunggak memiliki nilai lapang 1 sehingga tingkat efektifitas kegiatan penatausahaan kayu di Petak Tebang termasuk dalam kategori baik yaitu 0,916. Tabel 10 Penilaian penatausahaan kayu di Petak Tebang No. 1
Lokasi Petak Tebang
Nilai Akhir 0,316
Baik
1 1
0,270 0,140
Sedang Buruk
0,14
1
0,140
0,05
1
0,050
Indikator
Bobot
1.11
0,41
2
1.2 1.33
0,27 0,14
1.44 5
1.5
Nilai Lapang 0,77
Kategori 0,661-1 0,331-0,66 0-0,33
Jumlah 0,916 Keterangan : Nilai lapang diperoleh dari 100% (1) dikurangi dengan nilai dari kegiatan yang tidak dilakukan atau tidak sesuai ketentuan dan nilai akhir diperoleh dari hasil perkalian antara bobot indikator dengan nilai lapang. Bobot dari masing-masing indikator dan verifier diperoleh dari hasil perhitungan menggunakan metode perbandingan berpasangan.
5.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Penatausahaan Kayu di Petak Tebang Tingkat efektifitas kegiatan penatausahaan kayu di petak tebang termasuk dalam kategori baik. Namun demikian, masih terdapat beberapa hal yang perlu 1 2
3 4
5
Pemegang IUPHHK wajib melaksanakan timber cruising. Hasil timber cruising wajib dibuatkan LHC HA (DKA.101a) dan Rekapitulasi (DKA.101c) dan ditandatangani oleh pimpinan perusahaan. LHC dan rekapitulasinya dilaporkan kepada Kepala Dinas Provinsi dengan tembusan Kepala Dinas Kabupaten/Kota. Pemegang IUPHHK menyusun dan mengusulkan RKT kepada Kepala Dinas Provinsi untuk mendapatkan penilaian dan pengesahan. Penandaan pada tunggak berupa nomor pohon sesuai cruising, jenis pohon, tanggal tebang, nomor petak tebang dan tahun RKT.
23
diperbaiki, antara lain pada kegiatan timber cruising khususnya pada pelabelan pohon terdapat ketidaksesuaian dalam pemberian label menurut jenis dan kriteria pohon seperti beberapa pohon layak tebang diberi label kuning yang merupakan label untuk pohon inti dan pohon dilindungi, begitu pula sebaliknya. Hal ini disebabkan oleh label yang diperlukan habis sehingga menggunakan label yang masih ada walaupun label tersebut tidak sesuai dengan kriteria pohon dan kurangnya pemahaman tim cruising mengenai jenis dan kriteria pohon dengan baik. Selain itu, terdapat beberapa pohon yang tidak diberi label sama sekali, hal ini disebabkan tim crusing yang kurang teliti sehingga terdapat beberapa pohon yang terlewat. Nilai lapang dari kegiatan timber cruising yang dilakukan oleh perusahaan adalah 0,77.
Gambar 2 Label merah pada pohon yang akan ditebang pada petak DI 49.
Gambar 3 Label kuning pada pohon yang akan ditebang pada petak DI 50.
24
Gambar 4 Pohon tanpa label dan akan ditebang pada petak DI 50. Kesalahan pada kegiatan timber cruising ini akan berpengaruh pada kegiatan penatausahaan kayu terutama keakuratan data dalam Buku Ukur Kayu Bulat yang selanjutnya dibuat LHP, karena akan terjadi perbedaan antara LHC dengan pohon yang ditebang. Ketidaksesuaian antara LHC dengan timber cruising ini diperkuat dengan data yang diperoleh dari pengambilan sampel di petak tebang sebanyak dua puluh sampel pada petak DI 49 dan DI 50, beberapa pohon diberi label dan beberapa lagi tidak. Untuk pohon yang diberi label dilakukan pencocokan dengan data LHC, namun dari dua puluh sampel pohon yang diambil hanya tiga jenis pohon yang sesuai dengan LHC itupun hanya jenisnya saja, dimensi pohonnya berbeda. Seperti contoh pohon pada petak DI 49, pada label merah tertera jenis pohon adalah Balau Putih, diameter/tinggi adalah 85/24 dan nomor pohon adalah 1798, namun pada LHC petak DI 49 jenis pohon yang tertera adalah Keruing dengan diameter/tinggi adalah 60/13. Berdasarkan dari pengambilan sepuluh sampel pohon, diketahui hanya satu yang sama itupun hanya jenis pohonnya saja, dimensinya berbeda yaitu pada nomor pohon 1743, jenis pohon Meranti. Hal yang sama juga ditemukan pada petak DI 50, pada label merah tertera jenis pohon adalah Meranti, diameter/tinggi adalah 56/23 dan nomor pohon adalah 1320, namun pada LHC petak DI 50 nomor pohon yang tertera hanya sampai pada nomor pohon 1276, jadi nomor pohon 1320 tidak tercatat dalam LHC tetapi diberi label merah dan ditebang. Selain itu juga ditemukan, nomor pohon 1160 yang tertera pada label merah, diameter/tinggi adalah 50/20 dan jenis pohon adalah Balau, namun pada LHC diameter/tinggi adalah 60/17 dengan jenis pohon sama
25
yaitu Balau. Berdasarkan dari pengambilan sepuluh sampel pohon, diketahui hanya dua pohon yang sama yaitu nomor pohon 1155 dan 1160, itupun hanya jenisnya saja, dimensinya berbeda yaitu jenis Meranti dan Balau. Ketidaksesuaian antara data LHC dengan keterangan yang tertera pada label disebabkan oleh kelemahan dalam pelaksanaan timber cruising sehingga terjadi kesalahan dalam pencatatan data. Setelah kegiatan timber cruising dilanjutkan dengan pembuatan LHC HA (DKA.101a)
dan
rekapitulasinya
(DKA.101c),
pelaporan
LHC
dan
rekapitulasinya kepada Kepala Dinas Provinsi dengan tembusan Kepala Dinas Kabupaten, pengusulan dan pengajuan RKT kepada Kepala Dinas Provinsi dan penandaan tunggak. Kegiatan ini memiliki nilai lapang 1 yang artinya pembuatan dokumen dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Permenhut No. P.55/Menhut-II/2006. Penandaan pada tunggak telah dilakukan sesuai ketentuan, hanya saja penandaan tunggak belum dilakukan pada semua pohon yang telah ditebang. Hal ini karena keterbatasan label, yaitu terdapat beberapa pohon layak tebang yang tidak diberi label sehingga chainsawman tidak dapat melakukan penandaan pada tunggak.
Gambar 5 Tunggak dengan label merah pada pohon yang telah ditebang pada petak DI 49.
26
Gambar 6 Tunggak tanpa label pada pohon yang telah ditebang. Berdasarkan Permenhut No. P.55/Menhut-II/2006, penandaan pada tunggak dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui asal–usul kayu bulat. Penandaan pada tunggak ini menggunakan label merah yang terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian pertama untuk penandaan pada tunggak (nama perusahaan, tahun RKT, nomor petak, jenis pohon, nomor pohon sesuai cruising dan diameter), bagian kedua untuk penandaan pada batang (nomor petak, nomor pohon dan jenis pohon) dan bagian ketiga untuk dibawa oleh chainsawman (nomor petak, nomor pohon dan jenis pohon) sebagai perhitungan upah mereka. Penandaan pada tunggak terdiri dari nama perusahaan, tahun RKT, nomor petak, jenis pohon, tanggal tebang, nomor pohon sesuai cruising dan diameter. Untuk penandaan pada tunggak
Untuk panandaan pada batang
Untuk dibawa oleh chainsawman
Gambar 7 Pembagian label merah untuk tunggak, batang dan chainsawman. 5.1.3 Solusi Pemecahan Masalah untuk Penatausahaan Kayu di Petak Tebang
Meningkatkan
Efektifitas
Efektifitas penatausahaan kayu dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu kualitas tenaga kerja, sistem manajemen pengadaaan label dan ketersediaan alat dan bahan
27
(Tabel 11). Kualitas tenaga kerja, dalam hal ini adalah dalam pelaksanaan timber cruising, diperlukan tenaga kerja berkualitas dan tersertifikasi yang memiliki kemampuan dalam mengenal dan memahami jenis-jenis pohon dengan baik agar kesalahan-kesalahan yang terjadi tidak terulang lagi. Selain itu, diperlukan peningkatan ketelitian tenaga kerja dalam pencatatan data timber cruising ke dalam LHC sehingga tidak lagi terjadi perbedaan antara data yang tertera pada label pohon layak tebang dengan LHC. Sistem manajemen pengadaan label yang perlu diperbaiki melalui pembuatan label sesuai dengan perhitungan jumlah potensi pohon yang dilakukan oleh tim survei sehingga tidak terjadi kekurangan label pada saat kegiatan timber cruising. Penyediaan alat dan bahan oleh perusahaan, khususnya pada kegiatan penempelan label pada tunggak dan batang seperti paku dan palu. Penempelan yang selama ini dilakukan hanya dengan menyelipkan label pada celah-celah batang dan tunggak sehingga label mudah lepas dan hilang. Hal ini akan menyulitkan dalam penyesuaian data keterangan batang dengan nomor LHC. Dalam hal ini, diharapkan pihak perusahaan menyediakan alat dan bahan seperti palu dan paku kecil agar label tidak mudah lepas, termasuk pada saat disarad ke TPn. Tabel 11 Penatausahaan kayu di petak tebang No. 1
Ketidakefektifan Indikator 1.2 Ketidaksesuaian pelabelan dalam penetapan pohon layak tebang.
Faktor Penyebab Kurangnya pemahaman cruiser mengenai jenis dan kriteria pohon. Pembuatan label yang tidak sesuai dengan perhitungan jumlah potensi pohon oleh tim survei.
Alternatif solusi Perbaikan sistem manajemen pengadaan label. Pelatihan cruiser.
5.2 Penatausahaan Kayu di Tempat Pengumpulan Kayu (TPn) 5.2.1 Efektifitas Penatausahaan Kayu di TPn Berdasarkan penilaian penatausahaan kayu seperti tercantum pada Tabel 12, diperoleh nilai kepentingan tertinggi pada beberapa indikator di TPn yaitu 0,09 diantaranya pemegang IUPHHK wajib melakukan pemberian nomor pada setiap batang sesuai dengan nomor LHC dan melakukan pengukuran serta pengujian kayu bulat, penandaan pada batang berupa nomor batang, nomor petak, diameter rata-rata, panjang dan jenis kayu, pencatatan data hasil pengukuran ke dalam buku
28
ukur kayu bulat, pembuatan LHP-KB dan rekapitulasinya, penempatan pembuat LHP-KB minimal satu orang pada setiap blok kerja, pembuatan LHP-KB nihil dan pelaporan LHP-KB dan rekapitulasinya kepada Kepala Dinas Kabupaten dengan tembusan Kepala Dinas Provinsi, Kepala Balai, P2SKSKB dan P2LHP. Tingkat efektifitas kegiatan penatausahaan kayu di TPn termasuk dalam kategori baik dengan nilai 0,843. Tabel 12 Penilaian penatausahaan kayu di TPn No. 2
Lokasi TPn
Indikator 2.16 2.27 2.38 2.49 2.510 2.611 2.712 2.813 2.914 2.1015 2.1116 2.1217 2.1318 2.1419 2.1520
Bobot 0,08 0,09 0,09 0,09 0,01 0,09 0,09 0,09 0,09 0,04 0,05 0,02 0,08 0,02 0,09
Nilai Lapang Nilai Akhir Kategori 0,080 1 Baik 0,661-1 0,67 0,060 Sedang 0,331-0,66 0 0,000 Buruk 0-0,33 0,97 0,087 0 0,000 0,97 0,087 1 0,090 0,92 0,083 0,91 0,082 1 0,040 0,95 0,048 0,94 0,019 1 0,080 0 0,000 0,97 0,087 Jumlah 0,843 Keterangan : Nilai lapang diperoleh dari 100% (1) dikurangi dengan nilai dari kegiatan yang tidak dilakukan atau tidak sesuai ketentuan dan nilai akhir diperoleh dari hasil perkalian antara bobot indikator dengan nilai lapang. Bobot dari masing-masing indikator dan verifier diperoleh dari hasil perhitungan menggunakan metode perbandingan berpasangan.
Namun, masih terdapat beberapa indikator yang perlu diperbaiki dalam aplikasi di lapangan diantaranya indikator 2.2 dengan nilai lapang 0,67 dan indikator 2.3, 2.5 dan 2.14 dengan nilai lapang 0. Indikator 2.2 yaitu pemegang 6
Jika terjadi pemotongan menjadi beberapa batang, maka penomoran batang sesuai nomor pohon ditambah huruf A(102A,102B), jika dipotong lagi maka ditambah huruf a dibelakang A(102Aa). 7 Pemegang IUPHHK wajib melakukan pemberian nomor pada setiap batang (sesuai nomor pohon dalam LHC) serta melakukan pengujian /pengukuran yang berlaku. 8 Penandaan pada batang berupa nomor batang, nomor petak tebang, diameter rata-rata, panjang dan jenis kayu. 9 Data hasil pengukuran dicatat setiap hari kedalam Buku Ukur KB (DKA.102a) oleh petugas perusahaan. 10 Penumpukkan terpisah antara KB yang telah dicatat dengan KB yang telah disahkan. 11 Pemegang IUPHHK wajib membuat LHP-KB (DKA.103a) di Tpn dan Rekapitulasi LHP-KB (DKA.103b.) oleh petugas pembuat LHP setiap pertengahan dan akhr bulan dengan data berasal dari buku ukur. 12 Setiap blok kerja tebangan wajib ditempatkan minimal satu orang pembuat LHP-KB. 13 Jika tidak ada realisasi penebangan diwajibkan membuat LHP-KB nihil beserta alasan-alasan pada kolom keterangan. 14 Sekurang-kurangnya setiap pertengahan dan akhir bulan pembuat LHP-KB wajib mengajukan permohonan pengesahan LHP-KB kepada P2LHP. 15 P2LHP melakukan pemeriksaan fisik sesuai ketentuan yang berlaku 16 Hasil pemeriksaan fisik dimasukkan ke dalam Daftar Pemeriksaan Kayu Bulat (DKB.201a) dan dibuat BAP LHP-KB (DKB. 201h), apabila benar BAP digunakan sebagai dasar pengesahan LHP-KB. 17 Pengesahan LHP-KB oleh P2LHP di TPn. 18 LHP-KB yang sah dijadikan dasar perhitungan pembayaran PSDH atau DR. 19 Penumpukkan terpisah antara KB yang sah dengan KB yang belum lunas PSDH atau DR. 20 Pembuatan Rekapitulasi LHP-KB dan dilaporkan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Dinas Provinsi, Kepala Balai, P2SKSKB dan P2LHP.
29
IUPHHK wajib melakukan pemberian nomor pada setiap batang sesuai dengan nomor LHC, melakukan pengukuran, pengujian kayu bulat dan indikator 2.3 yaitu penandaan pada batang berupa nomor batang, nomor petak diameter rata-rata, panjang dan jenis kayu serta indikator 2.5 dan 2.14 yaitu penumpukan yang terpisah antara kayu bulat yang telah dicatat dengan yang telah disahkan dan belum lunas PSDH/DR. 5.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Penatausahaan Kayu di TPn Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan, kegiatan penatausahaan kayu di TPn khususnya pendokumenan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan, namun pada kegiatan di lapangan terdapat beberapa hal yang perlu diperbaiki, yaitu indikator pemegang IUPHHK wajib melakukan pemberian nomor pada setiap batang (sesuai nomor pohon dalam LHC) serta melakukan pengujian/pengukuran yang berlaku. Pada aplikasi di lapangan melalui pengambilan sampel pada dua TPn yaitu TPn petak DH 46 dan TPn DH 47, diketahui bahwa pemberian nomor batang tidak menggunakan nomor LHC melainkan nomor internal perusahaan, yaitu nomor yang diurutkan dari petak sebelumnya sehingga kegiatan ini memiliki nilai lapang 0,67. Hal yang sama juga terjadi pada penandaan batang yang seharusnya mencantumkan nomor petak, nomor pohon, diameter, panjang dan jenis kayu bulat namun pada aplikasi di lapangan hanya menggunakan nomor internal saja sehingga memiliki nilai lapang 0. Hal ini dikarenakan, penerapan dari pihak kontraktor dengan tujuan untuk memudahkan dalam pengecekan kayu bulat dan beranggapan bahwa dengan adanya barcode sudah mencakup semua keterangan kayu bulat tanpa harus ditulis nomor petak, nomor pohon dan dimensi kayu bulat pada setiap batang.
30
Gambar 8 Penandaan nomor internal batang dan barcode pada TPn Petak DH 46.
Gambar 9 Penandaan nomor internal batang pada TPn Petak DH 47. Pengukuran dimensi kayu bulat dilakukan pada diameter pangkal, diameter ujung, panjang, volume dan dilakukan oleh scaler dengan dibantu oleh tenaga teknis. Untuk pengukuran diameter menggunakan tali ukur berukuran 3 sampai 5 m, diukur d1 dan d2 kemudian dirata-ratakan (berlaku untuk diameter pangkal dan ujung), pengukuran panjang menggunakan tali ukur berukuran 30 sampai 50 m. Pengujian yang dilakukan hanya cacat kayu saja yaitu gerowong, persentase gerowong dihitung dari diameter terbesar dari gerowong dan diameter keseluruhan.
Gambar 10 Pengukuran diameter batang pada TPn Petak DH 46.
31
Gambar 11 Pengukuran panjang batang pada TPn Petak DH 46. Indikator penumpukkan kayu bulat yang dipisah antara kayu bulat yang telah dicatat dengan kayu bulat yang telah disahkan dan belum lunas PSDH/DR juga memiliki nilai lapang 0. Berdasarkan pengamatan di lapangan, masih terdapat beberapa kayu bulat yang ditumpuk menjadi satu dengan kayu bulat yang telah disahkan dan belum lunas PSDH/DR. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengarahan di awal kegiatan dan juga pengawasan oleh pihak perusahaan dan kontraktor. Indikator-indikator selain yang tersebut di atas telah memiliki nilai lapang mendekati satu artinya sebagian besar kegiatan telah dilakukan sesuai ketentuan. Beberapa indikator tersebut adalah pencatatan data hasil pengukuran kedalam Buku Ukur Kayu Bulat yang dilakukan setiap hari oleh petugas perusahaan. Data yang dicatat kedalam Buku Ukur Kayu Bulat yaitu nomor batang LHC, jenis kayu, panjang, diameter pangkal, ujung dan rata-rata, volume, dan keterangan. Pencatatan dilakukan sesuai ketentuan, hanya saja tidak dilakukan di TPn melainkan di Base Camp dan sebelumnya data pengukuran kayu bulat dicatat ke dalam buku lapang. Hal ini tidak menghambat proses pencatatan ke dalam Buku Ukur Kayu Bulat, kegiatan pencatatan tetap berjalan sebagaimana mestinya karena lokasi pencatatan bersifat kondisional. Berdasarkan data pengambilan sampel sepuluh kayu bulat secara acak di TPn, diperoleh kesesuaian antara data di TPn dengan Buku Ukur Kayu Bulat, adapun keterangan yang tercantum pada Buku Ukur Kayu Bulat yaitu nomor LHC dan dimensi karena yang tercantum di batang adalah nomor internal maka di buku ukur kayu bulat dicantumkan juga nomor batang internal. Kayu bulat pada petak DH 46 dengan nomor batang 7212 di TPn maka yang tercantum di Buku Ukur Kayu Bulat pun sama yaitu nomor batang 7212 dengan nomor LHC 541 dan
32
keterangan jenis kayu Meranti Putih, panjang 162 m, diameter rata-rata 78 cm dan volume 774 m3 . Hal yang sama juga ditemukan pada kayu bulat di TPn Petak DH 47, dengan nomor batang 11063 di TPn maka yang tercantum di buku ukur kayu bulat pun sama yaitu nomor batang 11063 dengan nomor LHC 876 dan jenis kayu Meranti, panjang 22 m, diameter rata-rata 62 cm dan volume 664 m3 sehingga diperoleh nilai lapang dari keseluruhan kegiatan ini adalah 0,97 dan termasuk dalam kriteria baik. Namun demikian, perusahaan perlu segera melakukan perbaikan dalam hal penandaan batang, hal ini karena pada penentuan nomor LHC dilakukan secara perkiraan sehingga data tidak akurat dan terjadi ketidaksesuaian antara dimensi pada LHC dengan pohon yang ditebang. Pemegang IUPHHK wajib membuat LHP-KB (DKA.103a) di TPn dan Rekapitulasi LHP-KB (DKA.103b) sekurang-kurangnya dua kali setiap bulan oleh petugas pembuat LHP (pertengahan dan akhir bulan) di TPn dengan data berasal dari buku ukur. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan, LHP-KB dan rekapitulasinya dibuat setiap pertengahan dan akhir bulan (tanggal 15 dan 28), hanya saja tidak dilakukan di TPn melainkan di kantor karena keterbatasan fasilitas. Namun, hal ini tidak mempengaruhi keberlangsungan proses pembuatan LHP-KB karena bersifat kondisional. Pada RKT 2010, LHP-KB 01, LHP-KB 02 dan LHP-KB 03 adalah LHP-KB nihil, hal ini karena pada bulan Januari dan pertengahan Februari 2010 belum dilakukan penebangan. Pada tanggal 28 Februari 2010 dibuat LHP-KB 04/LHP-AB/II/2010 dan rekapitulasinya dengan jumlah penebangan 1.001 batang jenis kayu Meranti dan kayu Rimba dengan volume 5.845,80 m3 , target volume penebangan pada RKT 2010 adalah 89.320 m3 . Selama penelitian berlangsung, LHP-KB yang dibuat adalah LHP-KB 09 tanggal 15 Mei 2010 dan LHP-KB 12 tanggal 28 Juni 2010. Pembuatan LHP-KB nihil dilakukan sesuai dengan ketentuan yaitu dibuat jika tidak ada realisasi penebangan/pemanenan dan disertai dengan alasan-alasan pada kolom keterangan, hanya saja tidak dilakukan di TPn karena keterbatasan fasilitas. LHP-KB nihil yang dibuat pada RKT 2010 adalah LHP-KB 01, LHP-KB 02 dan LHP-KB 03. Setelah LHP-KB selesai dibuat maka pembuat LHP-KB wajib mengajukan permohonan pengesahan LHP-KB kepada P2LHP minimal setiap pertengahan dan akhir bulan. Setelah dilakukan pengajuan permohonan
33
pengesahan LHP-KB kepada P2LHP, selanjutnya P2LHP melakukan pemeriksaan fisik kayu bulat di TPn, jika jumlah kayu bulat <100 maka pemeriksaan fisik dilakukan 100% tetapi jika >100 pemeriksaan fisik dilakukan 10% dari jumlah keseluruhan dan jika kesalahan kurang dari 5% maka tidak diulang. Namun demikian, pemeriksaan fisik ini tidak selalu dilakukan dikarenakan oleh faktor cuaca yang tidak memungkinkan. Berdasarkan hasil pengamatan antara data di TPn dengan LHP-KB 09 dan LHP-KB 12 secara keseluruhan diperoleh kesesuaian antara LHP-KB dengan data lapangan, sebagai contoh kayu bulat dengan nomor internal 7218 tercantum dalam LHP-KB 09 tanggal 15 Mei 2010 dengan keterangan sebagai berikut Petak DH 46, nomor LHC 528, nomor barcode 1702A02AUBN0000000000020072.01, jenis kayu Keruing (kelompok Meranti) dengan panjang 12,7 m, diameter ratarata 63 cm, volume 3,96 m3 dan termasuk kayu baik. Selain itu juga, pada kayu bulat dengan nomor internal 11063 diperoleh kesesuaian yaitu tercantum dalam LHP-KB 12 dengan keterangan sebagai berikut Petak DH 47, nomor LHC 876, nomor barcode 1702A02AUBN0000000000024018, jenis kayu Meranti dengan panjang 22 m, diameter rata-rata 65 cm, volume 7,30 m3 dan termasuk kayu baik. Terdapat satu batang dengan nomor internal 11069, tidak tercantum dalam LHPKB 09. Untuk data LHC dan LHP pada petak DH 46 secara keseluruhan terdapat perbedaan antara dimensi kayu bulat di LHC dan LHP, hal ini disebabkan oleh penggunaan nomor internal pada batang (tidak dicantumkannya nomor LHC) sehingga ketika pemindahan data ke dalam Buku Ukur Kayu Bulat dilakukan dengan metode perkiraan antara dimensi kayu bulat pada LHC yang besarnya mendekati dimensi kayu bulat pada pohon yang ditebang. Pada petak DH 47, terdapat dua kayu bulat yang memiliki dimensi yang berbeda jauh antara data LHC dan LHP yaitu nomor LHC 885 dengan data di LHC diameter 108 cm, panjang 25 m sedangkan data di LHP diameter 69 cm, panjang 20,5. Nomor LHC 918 dengan data di LHC diameter 75 cm, panjang 16 m sedangkan data di LHP diameter 100 cm, panjang 13,7 m hanya jenis kayunya saja yang sama yaitu Meranti. Selain itu, terdapat dua nomor pohon yang pada LHP yang tidak tercantumkan dalam LHC yaitu nomor 820 dan 811, hal ini karena perbedaan
34
persepsi antara chainsawman dengan cruiser mengenai pohon yang akan ditebang berkaitan dengan pelabelan pohon. Hasil pemeriksaan fisik oleh P2LHP dimasukkan ke dalam Daftar Pemeriksaan Kayu Bulat (DKB. 201a) dan dibuat BAP (DKB 201h). Secara keseluruhan kegiatan pemindahan data hasil pemeriksaan fisik dilakukan sesuai ketentuan berlaku tetapi DKB dan BAP tidak diberikan kepada perusahaan melainkan disimpan di Dinas Kabupaten Barito Utara, sehingga perusahaan tidak mempunyai arsip DKB dan BAP dan juga pembuatan dokumen ini tidak dilakukan di TPn melainkan di Dinas Kabupaten, hal ini karena keterbatasan fasilitas. Jika berdasarkan BAP tidak ada kesalahan, maka dilakukan pengesahan LHP-KB oleh P2LHP dan jika dalam 2x24 jam P2LHP tidak melakukan pengesahan maka LHP-KB sah dengan sendirinya dan ditandatangani oleh pembuat LHP-KB. Pembuat LHP-KB telah diberi wewenang untuk melakukan pengesahan LHP-KB jika P2LHP tidak mengesahkan dalam 2x24 jam. LHP-KB yang telah sah dijadikan sebagai dasar perhitungan PSDH/DR, seperti contoh LHP-KB 09 dan LHP KB 12, LHP-KB 09 terdiri dari jenis kayu Meranti (volume 7.004,19 m3) dan rimba campuran (volume 23,51 m3), harga PSDH masingmasing kayu bulat per m3 adalah Rp. 60.000,00 dan Rp 36.000,00 maka total tarif PSDH sebesar Rp. 421.097.760,00. Sedangkan untuk DR dibayar dengan satuan USD, tarif DR untuk kayu Meranti adalah US$ 16 dan kayu rimba campuran adalah US$ 13, maka total DR sebesar US$ 112.372,67. Pembayaran PSDH/DR ini sesuai dengan besarnya volume yang tercantum pada LHP-KB yaitu jenis kayu Meranti (volume 7.004,19 m3) dan Rimba Campuran (volume 23,51 m3). LHP-KB dan rekapitulasinya dilaporkan kepada Kepala Dinas Kabupaten Barito Utara dengan tembusan Kepala Dinas Provinsi Palangkaraya, Kepala Balai dan P2LHP. Namun, untuk LHP-KB pada RKT 2010 terjadi keterlambatan dalam penyerahan kepada Dinas Kabupaten, hal ini karena pihak perusahaan yang beranggapan bahwa dengan berlakunya sistem on line maka tidak diharuskan untuk menyerahkan dokumen kepada Dinas Kehutanan Kabupaten.
35
5.2.3 Solusi Pemecahan Masalah Penatausahaan Kayu di TPn
untuk
Meningkatkan
Efektifitas
Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi efektifitas penatausahaan kayu di TPn, yaitu sistem penomoran dan penandaan pada batang yang berlaku di perusahaan dan kualitas tenaga kerja (Tabel 13). Dalam hal ketidaksesuaian sistem penomoran batang, diharapkan perusahaan dan kontraktor segera melakukan perubahan mengenai sistem penomoran dan penandaan pada batang yang selama ini diterapkan dan menyesuaikan dengan ketentuan yang tercantum dalam Permenhut No. P.55/Menhut-II/2006. Ketidaksesuaian dalam penandaan batang ini menyulitkan P2LHP dalam melakukan pemeriksaan fisik, karena nomor internal tidak tercantum dalam LHP-KB sehingga P2LHP harus membuka kembali buku ukur kayu bulat, hal ini sangat tidak efektif dan memerlukan waktu lama. Peningkatan kualitas tenaga kerja berkaitan dengan penumpukan kayu bulat yang seharusnya dipisah antara kayu bulat yang telah dicatat dengan yang telah disahkan dan dengan yang belum lunas PSDH/DR, perlu dilakukan melalui pengarahan diawal kegiatan dan peningkatan pengawasan terhadap kegiatan penumpukan kayu bulat. Hal ini agar memudahkan dalam pemberian barcode dan proses pengangkutan kayu bulat. Selain itu, perlu meningkatkan pemahaman pihak perusahaan mengenai pentingnya penerapan Permenhut No. P.55/MenhutII/2006, bahwa dengan berlakunya Permenhut No. P.8/Menhut-II/2009 tentang SIPUHH on line bukan berarti Permenhut No. P.55/Menhut-II/2006 tidak berlaku lagi perusahaan tetap harus menyerahkan dokumen-dokumen PUHH kepada Dinas Kehutanan Kabupaten.
36
Tabel 13 Penatausahaan kayu di TPn No. 1
Ketidakefektifan Indikator 2.2 Pemberian nomor pada batang tidak menggunakan nomor LHC.
Faktor Penyebab Pihak kontraktor penebangan menetapkan nomor batang menggunakan nomor internal yang diurutkan dari petak sebelumnya.
Alternatif solusi Pihak perusahaan dan kontraktor harus membuat kesepakatan bahwa penomoran batang harus sesuai dengan nomor LHC.
2
Indikator 2.3 Penandaan pada batang hanya menggunakan nomor internal.
Pihak kontraktor penebangan menetapkan nomor batang menggunakan nomor internal yang diurutkan dari petak sebelumnya.
Pihak perusahaan dan kontraktor harus membuat kesepakatan bahwa penandaan pada batang terdiri dari nomor petak, nomor pohon, diameter, panjang dan jenis kayu bulat.
3
Indikator 2.5 dan 2.14 Penumpukan kayu bulat tidak dipisah antara kayu bulat yang telah dicatat dengan yang telah disahkan dan dengan yang belum lunas PSDH/DR.
Kurangnya pengarahan di awal kegiatan dan kurangnya pengawasan oleh pihak perusahaan dan kontraktor.
Memberikan pengarahan mengenai pemisahan penumpukan kayu bulat baik kepada karyawan perusahaan maupun kontraktor.
5.3 Penatausahaan Kayu di Tempat Penimbunan Kayu (TPK Hutan) 5.3.1 Efektifitas Penatausahaan Kayu di TPK Hutan Berdasarkan penilaian penatausahaan kayu seperti tercantum pada Tabel 14, kegiatan di TPK Hutan memiliki tingkat kepentingan yang sama antar indikator yaitu 0,11. Hal ini karena kegiatan di TPK Hutan adalah pembuatan dokumen SKSKB dan LMKB sehingga antara satu dengan yang lain memiliki kepentingan yang sama dan saling berhubungan. Tingkat efektifitas penatausahaan kayu di TPK Hutan termasuk dalam kategori baik dengan nilai akhir 0,860. Namun, masih terdapat beberapa hal yang perlu diperbaiki yaitu indikator 3.4 dengan nilai lapang 0,8 dan indikator 3.9 dengan nilai lapang 0,28. Indikator 3.4 yaitu pembuatan DKB menjadi tujuh rangkap dan indikator 3.9 yaitu pembuatan LMKB menjadi empat rangkap.
37
Tabel 14 Penilaian penatausahaan kayu di TPK Hutan No. 3
Lokasi TPk Hutan
Indikator
Bobot
Nilai Lapang
3.1 3.222 3.323 3.424 3.525
0,11 0,11 0,11 0,11 0,11
1 1 1 0,8 0,96
3.626 3.727 3.828 3.929
0,11 0,11 0,11 0,11
21
Nilai Akhir 0,110 0,110 0,110 0,088 0,106
Kategori Baik Sedang Buruk
0,661-1 0,331-0,66 0-0,33
0,86 0,095 0,92 0,101 1 0,110 0,28 0,031 Jumlah 0,860 Keterangan : Nilai lapang diperoleh dari 100% (1) dikurangi dengan nilai dari kegiatan yang tidak dilakukan atau tidak sesuai ketentuan dan nilai akhir diperoleh dari hasil perkalian antara bobot indikator dengan nilai lapang. Bobot dari masing-masing indikator dan verifier diperoleh dari hasil perhitungan menggunakan metode perbandingan berpasangan.
5.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Penatausahaan Kayu di TPK Hutan Efektifitas penatausahaan kayu di TPK Hutan sebagian besar telah dilakukan dengan baik, hal ini terlihat dari perolehan nilai lapang yang sebagian besar mendekati nilai 1. Namun, dalam aplikasi di lapangan terdapat beberapa hal yang perlu diperbaiki antara lain belum dibuatnya DKB menjadi tujuh rangkap, hal ini karena DKB SKSKB masih dalam proses pembuatan dan pengesahan yang disebabkan oleh jaringan internet yang kurang baik. Hal ini menyebabkan terjadi keterlambatan dalam penyerahan SKSKB kepada Dinas Kabupaten dan
21
Setiap penerbitan SKSKB, pemohon mengajukan permohonan penerbitan SKSKB kepada P2SKSKB dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota. 22 KB yang diangkut harus berasal dari LHP-KB yang telah disahkan dan telah dibayar lunas PSDH dan DR-nya. 23 Permohonan penerbitan SKSKB dilampiri persediaan stock kayu bulat, bukti pelunasan PSDH/DR, DKB dan identitas pemohon. 24 Ketentuan pembuatan DKB yaitu memindahkan data berupa nomor dan tanggal LHP-KB, nomor batang kelompok jenis kayu, ukuran dan volume, KB dari LHP-KB yang telah disahkan dan dibayar lunas ke dalam DKB (DKA 104a), pengisian DKB dengan mesin ketik, dibuat oleh pemegang izin yang bersangkutan, DKB dibuat tujuh rangkap, diperiksa dan disahkan oleh P2SKSKB dan dipakai sebagai penerbitan SKSKB. 25 Dalam penomoran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, apabila terjadi pemotongan dari satu batang menjadi dua batang atau lebih, maka penomoran potongan KB dalam pengisian DKB harus sama dengan nomor batang pada LHP-KB dengan menambahkan huruf A, B, dan seterusnya, demikian pula penomoran serta penandaan pada fisik potongan KB harus sesuai dengan perubahan tersebut. 26 P2SKSKB selambat-lambatnya 1 hari setelah menerima permohonan penerbitan SKSKB wajib melakukan pemeriksaan administrasi dan fisik KB dan dibuatkan BAP, P2SKSKB dibantu oleh satu orang/lebih, jika dinyatakan benar maka P2SKSKB segera menandatangani DKB dan menerbitkan SKSKB yang dilakukan di lokasi yang akan diangkut, pengisian kolom didasarkan atas rekapitulasi DKB. Pengisian blanko diketik. 27 Pembuatan Laporan Mutasi Hasil Hutan (LMKB). 28 Tata cara pengisian LMKB. 29 LMKB dibuat empat rangkap yaitu lembar ke-1 untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota, lembar ke-2 untuk P3KB, lembar ke-3 untuk Balai setempat, lembar ke-4 untuk arsip untuk pemilik TPK Antara. (LMKB harus sesuai dengan fisik baik jenis, jumlah, maupun volume.
38
menyebabkan perusahaan mendapat surat himbauan dari Dinas Kabupaten berkaitan dengan keterlambatan dalam penyerahan dokumen SKSKB. Pembuatan LMKB secara keseluruhan telah memenuhi ketentuan yang berlaku hanya saja mengalami keterlambatan. Pada RKT 2010, untuk LMKB bulan Januari dan Februari 2010 adalah LMKB nihil karena LHP-KB 01, 02, 03 adalah LHP-KB nihil. Hal ini karena pada bulan Januari dan pertengahan Februari belum dilakukan penebangan. Selain itu, SKSKB dan FA-KB bulan Maret masih dalam proses pembuatan sehingga LMKB untuk bulan Maret-Juni 2010 belum dapat dibuat, namun demikian data persediaan stok kayu bulat ada dan telah lunas PSDH-DR. Hal ini menyebabkan perusahaan belum menyerahkan dokumen LMKB kepada Kepala Dinas Kabupaten sampai bulan Juni 2010, sehingga untuk pembuatan LMKB belum dicetak menjadi empat rangkap. 5.3.3 Solusi Pemecahan Masalah untuk Penatausahaan Kayu di TPK Hutan
Meningkatkan
Efektifitas
Beberapa hal yang perlu ditingkatkan dalam kegiatan penatausahaan kayu di TPK Hutan adalah perbaikan dalam pengelolaan jaringan internet secara profesional oleh tenaga kerja yang kompeten di bidangnya agar tidak terjadi keterlambatan dalam penyerahan dokumen kepada Dinas Kabupaten (Tabel 15). Tabel 15 Penatausahaan kayu di TPK Hutan No. 1
Ketidakefektifan Indikator 3.4 DKB SKSKB belum dibuat tujuh rangkap
Faktor Penyebab DKB SKSKB masih dalam proses pembuatan dan pengesahan. Pengelolaan jaringan internet yang kurang baik.
Alternatif solusi Meningkatkan pengelolaan jaringan internet secara profesional oleh tenaga kerja yang kompeten.
2
Indikator 3.9 LMKB belum dibuat empat rangkap
LMKB masih dalam proses pembuatan. Pengelolaan jaringan internet yang kurang baik.
Meningkatkan pengelolaan jaringan internet secara profesional oleh tenaga kerja yang kompeten.
5.4 Penatausahaan Kayu di Tempat Penimbunan Kayu (TPK Antara) 5.4.1 Efektifitas Penatausahaan Kayu di TPK Antara Berdasarkan penilaian penatausahaan kayu seperti tercantum pada Tabel 16, diketahui bahwa kegiatan di TPK Antara yang paling penting adalah penetapan TPK antara dengan keputusan Kepala Dinas Kabupaten/Kota setempat berdasarkan usulan perusahaan pemilik TPK Antara selama lima tahun yaitu 0,21.
39
Kegiatan ini memiliki nilai lapang 1. Tingkat efektifitas penatausahaan kayu di TPK Antara termasuk dalam kategori baik dengan nilai akhir 0,816. Tabel 16 Penilaian penatausahaan kayu di TPK Antara Nilai Nilai Kategori Lapang Akhir 4 TPK Antara 4.130 0,07 1 0,070 Baik 0,661-1 4.231 0,21 1 0,210 Sedang 0,331-0,66 4.332 0,08 0,9 0,072 Buruk 0-0,33 4.433 0,07 0,71 0,067 4.534 0,07 1 0,070 4.635 0,06 0 0,000 4.736 0,07 0,86 0,068 4.837 0,05 1 0,050 4.938 0,08 0,80 0,064 4.1039 0,08 1 0,080 4.1140 0,09 0 0,000 4.1241 0,09 1 0,090 Jumlah 0,816 Keterangan : Nilai lapang diperoleh dari 100% (1) dikurangi dengan nilai dari kegiatan yang tidak dilakukan atau tidak sesuai ketentuan. Nilai akhir diperoleh dari hasil perkalian antara bobot indikator dengan nilai lapang. Bobot diperoleh dari perhitungan pebandingan berpasangan. No.
Lokasi
Indikator
Bobot
Namun, masih terdapat beberapa kegiatan yang perlu diperbaiki dalam aplikasi di lapangan yaitu indikator 4.4 dengan nilai lapang 0,71, indikator 4.6 dengan nilai lapang 0 dan indikator 4.11 dengan nilai lapang 0. Indikator 4.4 yaitu pembuatan DKB-FA, indikator 4.6 yaitu perpanjangan masa berlaku dokumen angkutan dan indikator 4.11 yaitu penyerahan SKSKB/FA-KB lembar ke-1 (asli) beserta BAP dan rekapitulasinya kepada Kepala Dinas Kabupaten yang selanjutnya disampaikan kepada Kepala Dinas Provinsi. 30
Penerbitan FA-KB untuk kayu lanjutan dari TPK Antara dilakukan di TPK Antara oleh penerbit FA-KB. TPK antara ditetapkan dengan keputusan Kepala Dinas Kabupaten/Kota setempat berdasarkan usulan perusahaan pemilik TPK antara . Penetapan TPK antara oleh Dinas Kabupaten/Kota selama lima tahun. 32 Penerbitan FA-KB harus dilampiri DKB-FA. 33 Pengisian DKB-FA dilakukan oleh penerbit FA-KB dengan memindahkan data identitas KB (nomor dan tanggal LHPKB, nomor batang, kelompok jenis kayu, ukuran dan volume kayu bulat dari SKSKB/DKB atau FA-KB/ DKB-FA sebelumnya kedalam DKB-FA (DKA.104b), pengisian menggunakan mesin ketik dan dibuat lima rangkap. 34 Penggunaan blanko FA-KB menggunakan blanko FA-KB milik IUPHHK yang bersangkutan. 35 Perpanjangan masa berlaku dokumen angkutan. 36 Perlakuan dokumen angkutan di tempat tujuan, yaitu setiap penerimaan KB di TPK Antara wajib dilaporkan kepada P3KB paling lambat 1x24 jam sejak kedatangan dengan menyampaikan dokumen SKSKB/FA-KB lembar ke-1 dan ke-2, kemudian P3KB segera mematikan dan memeriksa administrasi dan fisik KB, hasilnya dimasukkan kedalam DKB.201a dan dibuat BAP Penerimaan KB (DKB.201k) dan menandatangani SKSKB/FA-KB. 37 Apabila berdasarkan BAP ditemukan adanya perbedaan antara fisik dan dokumen, maka P3KB wajib melaporkan kepada atasan langsungnya untuk ditindaklanjuti. 38 P3KB wajib mengumpulkan SKSKB/FA-KB lembar ke-1 dan membuat Daftar Penerimaan Dokumen SKSKB lembar ke-1 (DKB.203e), pencatatan FA-KB kedalam Rekapitulasi Penerimaan Dokumen FA-KB lembar ke-1 (DKB.203f) di tempat tujuan. 39 SKSKB lembar ke-2 berikut DKB atau FA-KB lembar ke-2 berikut DKB-FA yang telah dimatikan dan ditandatangani oleh P3KB, diserahkan kembali kepada pemilik KB di tempat tujuan sebagai arsip. 40 Kumpulan SKSKB/FA-KB lembar ke-1(asli) berikut BAP dan Rekapitulasi Penerimaan FA-KB setiap pertengahan dan akhir bulan wajib disampaikan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang selanjutnya pada akhir bulan disampaikan kepada Kepala Dinas Provinsi. 41 Jika terdapat TPK antara yang disebabkan oleh topografi berat dan debit air kecil pada musim kering maka SKSKB dimatikan di TPK antara paling akhir, diganti dengan FA-KB dengan kewajiban melapor kepada P3KB. 31
40
5.4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Penatausahaan Kayu di TPK Antara Berdasarkan penilaian bobot indikator, penetapan TPK Antara berdasarkan keputusan Kepala Dinas Kabupaten/Kota setempat dan usulan perusahaan pemilik TPK antara selama lima tahun memiliki nilai kepentingan tertinggi yaitu 0,21 dan memiliki nilai lapang 1. Hal ini karena pada RKT 2010, perusahaan telah mengajukan surat permohonan penetapan rencana lokasi TPn, TPK Hutan, TPK Antara (Logpond Antara) kepada Kepala Dinas Kabupaten dengan tembusan Kepala Dinas Provinsi Palangkaraya. Dinas Kabupaten juga telah melakukan pemeriksaan fisik pada setiap lokasi yang diajukan dengan didampingi oleh karyawan perusahaan dan membuat BAP untuk dilaporkan kepada Kepala Dinas Kabupaten. Surat Keputusan mengenai pengesahan lokasi TPn, TPK Hutan, TPK Antara (Logpond Antara) telah dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kabupaten. TPK antara ditetapkan selama lima tahun dan SK ini berlaku sejak 01 Januari 2010 dan berakhir 31 Desember 2014. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan, terdapat beberapa kegiatan di TPK Antara yang perlu diperbaiki, yaitu pembuatan DKBFA menjadi lima rangkap, perpanjangan masa berlaku dokumen angkutan dan penyerahan FA-KB kepada Dinas Kabupaten. Pembuatan DKB-FA menjadi lima rangkap belum dibuat, hal ini dikarenakan FA-KB masih dalam proses pembuatan sehingga DKB-FA belum dibuat menjadi lima rangkap, keterlambatan ini disebabkan oleh pengelolaan jaringan internet yang kurang baik dan tidak adanya tenaga ahli dibidang Ilmu Teknologi. Perpanjangan masa berlaku dokumen angkutan tidak dilakukan, hal ini karena adanya toleransi waktu dari pihak-pihak terkait seperti P3KB. Selain itu juga dipengaruhi oleh pengamanan sistem on line yang masih sangat kurang, terlihat dari mudahnya mengganti tanggal untuk mematikan dokumen dan mengatur masa berlaku dokumen sehingga sangat dengan mudah untuk mengubah dokumen FA-KB. Indikator kumpulan SKSKB/FA-KB lembar ke-1 (asli) berikut BAP dan Rekapitulasi Penerimaan FA-KB pada setiap pertengahan dan akhir bulan wajib disampaikan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang selanjutnya pada akhir bulan disampaikan kepada Kepala Dinas Provinsi memiliki nilai lapang 0. Hal ini
41
karena SKSKB/FA-KB masih dalam proses pembuatan yang disebabkan oleh pengelolaan jaringan internet yang kurang baik sehingga terjadi keterlambatan perusahaan penyerahan dokumen SKSKB/FA-KB kepada Dinas Kabupaten. Keterlambatan ini menyebabkan perusahaan mendapat surat himbauan dari Dinas Kabupaten untuk segera menyerahkan dokumen SKSKB/FA-KB kepada Dinas Kabupaten. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan, penerbitan FAKB pada perusahaan ada dua, yaitu FA-KB Langsir dan FA-KB Pemiliran. FAKB Langsir adalah dokumen angkutan yang dibuat untuk pengangkutan kayu bulat dari TPK Hutan ke TPK antara (masih dalam areal IUPHHK) dan setiap satu FA-KB Langsir berasal dari satu SKSKB. Sedangkan FA-KB Pemiliran adalah dokumen angkutan yang dibuat untuk pengangkutan kayu bulat dari TPK Antara ke Industri (di luar areal IUPHHK) dan setiap satu FA-KB Pemiliran berasal dari beberapa SKSKB. Penerbitan dua FA-KB ini menyesuaikan dengan kondisi alam, khusus untuk FA-KB Pemiliran hanya untuk pengangkutan kayu ke luar areal IUPHHK (ke Industri). Tujuan FA-KB ini adalah untuk memudahkan mutasi kayu (peredaran kayu). Untuk pengangkutan kayu bulat dari TPK Hutan ke TPK Antara tidak disertai dengan FA-KB Langsir hanya pengantar angkutan kayu (bon trip) yang berisi keterangan mengenai jenis kayu dan volume kayu yang diangkut per angkutan (volume per angkutan rata-rata 65 m3). FA-KB baru dibuat setelah kayu diangkut ke TPK Antara berdasarkan data yang tercantum pada pengantar angkutan kayu tersebut dan masa berlaku FA-KB adalah satu hari. Sedangkan untuk FA-KB Pemiliran dibuat setelah kayu dirakit dan hasil rakitan tersebut dicatat kedalam log list oleh petugas di Logpond, log list inilah yang diserahkan ke perusahaan untuk segera dibuat FA-KB Pemiliran. FA-KB pemiliran diterbitkan per angkutan rakit (kapal motor) dan masa berlaku ditetapkan oleh Dinas Kabupaten. Volume angkutan rakit antara 6000 m3-8000 m3. Dalam penerbitan FA-KB, baik FA-KB Langsir maupun FA-KB Pemiliran dilampirkan DKB-FA dan Rekapitulasi DKB (untuk rekapitulasi dibuat per kelompok jenis).
42
5.4.3 Solusi Pemecahan Masalah untuk Penatausahaan Kayu di TPK Antara
Meningkatkan
Efektifitas
Beberapa hal yang mempengaruhi efektifitas penatausahaan kayu di TPK Antara yaitu kualitas tenaga kerja dan jaringan internet seperti yang tercantum pada Tabel 17. Kualitas kerja dalam hal ini adalah perpanjangan masa berlaku dokumen angkutan yaitu dengan meningkatkan kinerja kedua belah pihak (pihak perusahaan dan P3KB) dalam penerapan perpanjangan masa berlaku dokumen angkutan dan pemberian sanksi administrasi berupa denda kepada perusahaan atau pihak-pihak lain yang melanggar ketentuan dan penyerahan dokumen ke Dinas Kabupaten. Selain itu, perlu meningkatkan pemahaman perusahaan mengenai penerapan P.55/Menhut-II/2006 bahwa dengan berlakunya P.8/Menhut-II/2009 bukan berarti P.55/Menhut-II/2006 tidak berlaku lagi. Hal ini untuk mengatasi keterlambatan penyerahan dokumen kepada Dinas Kabupaten. Perbaikan pengelolaan jaringan internet perlu segera dilakukan dengan
dikelola secara
profesional oleh tenaga kerja yang berkompeten agar proses pembuatan dokumen tidak terhambat. Tabel 17 Penatausahaan kayu di TPK Antara No Ketidakefektifan 1 Indikator 4.4 DKB FAKB belum dibuat lima rangkap. 2
3
Faktor Penyebab FA-KB masih dalam proses pembuatan dan pengesahan. Pengelolaan jaringan internet yang kurang baik.
Alternatif solusi Meningkatkan pengelolaan jaringan internet secara profesional oleh tenaga kerja yang kompeten.
Indikator 4.6 Perpanjangan masa berlaku dokumen tidak dilakukan sesuai ketentuan berlaku.
Adanya toleransi perpanjangan masa berlaku dari pihak-pihak terkait.
Indikator 4.11 Keterlambatan penyerahan dokumen FA-KB kepada Dinas Kabupaten.
Pengelolaan jaringan internet yang kurang baik. Kurangnya pemahaman pihak perusahaan mengenai pemberlakuan Permenhut P.55/Menhut-II/2006.
Meningkatkan kinerja kedua belah pihak (perusahaan dan P3KB) dalam penerapan perpanjangan masa berlaku dokumen angkutan dan pemberian sanksi administrasi berupa denda kepada perusahaan atau pihak-pihak lain yang melanggar ketentuan ini. Meningkatkan pengelolaan jaringan internet secara profesional oleh tenaga kerja yang kompeten. Meningkatkan pemahaman perusahaan mengenai penerapan Permenhut P.55/MenhutII/2006.
43
5.5 Efektifitas Penatausahaan Kayu di Seluruh Lokasi Berdasarkan penilaian penatausahaan kayu di seluruh lokasi seperti tercantum pada Tabel 18, diketahui bahwa lokasi penatausahaan kayu yang memiliki tingkat kepentingan tertinggi adalah Petak Tebang yaitu 0,54, selanjutnya adalah TPn 0,28, TPK Hutan 0,09 dan TPK Antara 0,09. Nilai lapang dari masing-masing lokasi mulai dari Petak Tebang sampai TPK Antara berturutturut adalah 0,916, 0,843, 0,860 dan 0,816. Tabel 18 Penilaian penatausahaan kayu di seluruh lokasi No.
Lokasi
Bobot
Nilai Lapang
1 2
Petak Tebang TPn
0,54 0,28
0,16 0,843
3
TPK Hutan
0,09
4
TPK Antara
0,09
Nilai Akhir 0,495
Kategori
0,236
Baik Sedang
0,661-1 0,331-0,66
0,860
0,077
Buruk
0-0,33
0,816
0,073
Jumlah 0,882 Keterangan : Nilai lapang diperoleh dari 100% (1) dikurangi dengan nilai dari kegiatan yang tidak dilakukan atau tidak sesuai ketentuan dan nilai akhir diperoleh dari hasil perkalian antara bobot indikator dengan nilai lapang. Bobot dari masing-masing indikator dan verifier diperoleh dari hasil perhitungan menggunakan metode perbandingan berpasangan.
Petak Tebang memiliki bobot tertinggi karena kegiatan di Petak Tebang mengawali seluruh kegiatan penatausahaan kayu mulai dari kegiatan timber cruising, penyusunan Rencana Kerja Tahunan (RKT) dan penandaan tunggak. Selain itu juga, kegiatan di Petak Tebang sangat erat kaitannya dengan kelestarian hutan, khususnya pada saat timber cruising dan penebangan terhadap pohonpohon yang layak tebang, pohon inti dan pohon dilindungi serta pada proses penyaradan kayu bulat ke TPn. Kegiatan di TPn memiliki tingkat kepentingan kedua, karena TPn merupakan tempat pengumpulan kayu bulat hasil penebangan untuk diubah kepemilikannya dari hasil hutan (kayu bulat) milik negara menjadi milik perusahaan melalui pembayaran PSDH/DR. Pembayaran PSDH/DR yang dilakukan oleh perusahaan sesuai dengan besarnya volume
kayu bulat yang
tercantum pada LHP-KB, seperti contoh pada LHP-KB 09 volume kayu bulat yang ditebang adalah 7.027,70 m3 maka volume yang tercantum dalam Surat Perintah Pembayaran (SPP) pembayaran PSDH/DR adalah 7.027,70 m3 dengan total tarif PSDH Rp. 421.097.760,00 dan DR sebesar US$ 112.372,67. TPK Hutan memiliki tingkat kepentingan ketiga karena TPK Hutan merupakan tempat penimbunan kayu bulat dari beberapa TPn dan kayu bulat yang terdapat di TPK Hutan adalah kayu bulat yang telah lunas PSDH/DR dan telah
44
menjadi hak milik perusahaan. Selain itu, TPK Hutan merupakan lokasi keberlanjutan kayu bulat untuk diangkut ke tujuan akhir dengan disertai dengan dokumen-dokumen PUHH seperti SKSKB, FA-KB dan LMKB. TPK Antara tingkat kepentingan yang sama dengan TPK Hutan karena kegiatan penatausahaan kayu pada kedua lokasi ini merupakan kegiatan mengenai keberlanjutan pembuatan dokumen kayu bulat untuk diangkut ke tujuan akhir. Pembuatan dokumen ini bertujuan untuk mengetahui asal-usul kayu bulat dan memudahkan dalam proses mutasi kayu bulat ke tujuan akhir. Berdasarkan penilaian secara keseluruhan dari lokasi penatausahaan kayu mulai dari Petak Tebang, TPn, TPK Hutan dan TPK Antara diketahui bahwa efektifitas kegiatan penatausahaan kayu yang selama ini dilakukan oleh perusahaan termasuk dalam kategori baik yaitu 0,882. Hal ini terlihat dari keseluruhan jumlah indikator yaitu 41, hanya sepuluh yang tidak dilakukan sesuai dengan Permenhut No. P.55/Menhut-II/2006 jo Permenhut No. P.63/MenhutII/2006 jo Permenhut No. P.8/Menhut-II/2009, seperti tercantum pada Tabel 19.. Adapun sepuluh indikator yang perlu diperbaiki, diantaranya kegiatan timber cruising dimana terjadi ketidaksesuaian dalam pelabelan pohon layak tebang, penomoran batang yang menggunakan nomor internal, penandaan batang yang tidak lengkap, penumpukkan kayu bulat yang tidak dilakukan terpisah antara kayu bulat yang telah dicatat dengan yang telah disahkan, penumpukkan kayu bulat antara kayu bulat yang telah disahkan dan belum lunas PSDH/DR, pembuatan DKB (SKSKB) menjadi tujuh rangkap, pembuatan DKB (FA-KB) menjadi lima rangkap, pembuatan LMKB menjadi empat rangkap, perpanjangan masa berlaku dokumen angkutan yang tidak dilakukan karena adanya toleransi dari P3KB dan pihak-pihak terkait, serta ketelambatan penyerahan dokumen SKSKB, FA-KB dan LMKB kepada Dinas Kabupaten. Berdasarkan hasil wawancara dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Barito Utara, diketahui bahwa pada RKT 2010 perusahaan belum menyerahkan dokumen-dokumen penatausahaan kayu terhitung dari bulan Januari sampai Juni 2010, diantaranya LHP-KB, LMKB, FA-KB, SKSKB dan bukti penerimaan serta penerbitan blanko FA-KB dan SKSKB. Dokumen LHP-KB sudah diserahkan kepada Dinas Kabupaten sedangkan LMKB, SKSKB, FA-KB dan bukti
45
penerimaan serta penerbitan blanko FA-KB dan SKSKB masih dalam proses karena terhambat dengan jaringan internet yang kurang baik. Ketidaksesuaian aplikasi di lapangan pada kegiatan penomoran batang, penandaan
batang
dan
penyerahan
dokumen
menyebabkan
perusahaan
memperoleh surat himbauan dari Dinas Kabupaten. Himbauan ini dikarenakan adanya keluhan dari P2LHP yang mengalami kesulitan dalam pemeriksaan fisik kayu bulat, karena yang tertera dalam bontos hanya nomor internal dan ID barcode saja sedangkan berdasarkan Permenhut No. P.55/Menhut-II/2006 harus dicantumkan nomor petak, nomor pohon, jenis pohon, diameter dan tinggi pohon. Tetapi, menurut Dinas Kehutanan Kabupaten Barito Utara, hal ini tidak menyalahi peraturan, karena dalam ID barcode pun sudah tertera semuanya, hanya saja petugas mengalami kesulitan dalam pengecekan fisik kayu bulat baik ketika di TPn dan di Industri, ditambah lagi saat ini Handheld Remote Capture (HRC) tidak bisa digunakan sehingga menyulitkan dalam pengecekan kayu bulat. Efektifitas PUHH dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kualitas tenaga kerja, sistem manajemen pengadaaan label, ketersediaan alat dan bahan, sistem penomoran dan penandaan pada batang yang berlaku di perusahaan dan jaringan internet. Alternatif solusi dari faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakefektifan PUHH adalah dengan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) baik dari pihak perusahaan dan kontraktor serta peningkatan pemahaman SDM mengenai Permenhut No. P.55/Menhut-II/2006 jo Permenhut No. P.63/MenhutII/2006 jo Permenhut No. P.8/Menhut-II/2009, pengadaan pelatihan pengenalan pohon untuk memperoleh tenaga kerja yang tersertifikasi, perbaikan sistem manajemen pengadaan label, penyediaan alat dan bahan dalam penempelan label pada tungak dan batang serta perbaikan jaringan internet, karena internet sangat berperan penting dalam proses kegiatan PUHH.
46
Tabel 19 Penatausahaan kayu secara keseluruhan No. 1
Ketidakefektifan Pelaksanaan kegiatan timber cruising dimana terjadi ketidaksesuaian dalam pelabelan pohon layak tebang.
Faktor penyebab Kurangnya pemahaman cruiser mengenai jenis dan kriteria pohon. Pembuatan label yang tidak sesuai dengan perhitungan jumlah potensi pohon oleh tim survei.
Alternatif solusi Perbaikan sistem manajemen pengadaan label. Pelatihan cruiser.
2
Penomoran batang tidak menggunakan nomor LHC melainkan menggunakan nomor internal perusahaan.
Pihak kontraktor penebangan menetapkan nomor batang menggunakan nomor internal yang diurutkan dari petak sebelumnya.
Pihak perusahaan dan kontraktor harus membuat kesepakatan bahwa penomoran batang harus menggunakan nomor LHC.
3
Penandaan pada batang hanya nomor internal saja, tidak dicantumkan nomor petak, nomor pohon, diameter, panjang dan jenis kayu bulat.
Pihak kontraktor penebangan menetapkan nomor batang menggunakan nomor internal yang diurutkan dari petak sebelumnya.
Pihak perusahaan dan kontraktor harus membuat kesepakatan bahwa penandaan pada batang terdiri dari nomor petak, nomor pohon, diameter, panjang dan jenis kayu bulat.
4
Penumpukan kayu bulat yang tidak dilakukan terpisah antara kayu bulat yang telah dicatat dengan yang telah disahkan.
Kurangnya pengarahan di awal kegiatan dan kurangnya pengawasan oleh pihak perusahaan dan kontraktor.
Memberikan pengarahan mengenai pemisahan penumpukkan kayu bulat baik kepada karyawan perusahaan maupun kontraktor.
5
Penumpukkan kayu bulat yang tidak dilakukan terpisah antara kayu bulat yang telah disahkan dan belum lunas PSDH/DR.
Kurangnya pengarahan di awal kegiatan dan kurangnya pengawasan oleh pihak perusahaan dan kontraktor.
Memberikan pengarahan mengenai pemisahan penumpukan kayu bulat baik kepada karyawan perusahaan maupun kontraktor.
6
DKB SKSKB belum dibuat menjadi tujuh rangkap .
Meningkatkan pengelolaan jaringan internet secara profesional oleh tenaga kerja yang kompeten.
7
DKB FA-KB belum dibuatmenjadi lima rangkap.
DKB SKSKB masih dalam proses pembuatan dan pengesahan. Pengelolaan jaringan internet yang kurang baik. DKB FA-KB masih dalam proses pembuatan. Pengelolaan jaringan internet yang kurang baik.
Meningkatkan pengelolaan jaringan internet secara profesional oleh tenaga kerja yang kompeten.
47
Tabel 19 (Lanjutan) No. 8
Ketidakefektifan Perpanjangan masa berlaku dokumen angkutan tidak dilakukan.
Faktor penyebab Adanya toleransi perpanjangan masa berlaku dari pihak-pihak terkait.
9
Pembuatan LMKB menjadi empat rangkap.
LMKB masih dalam proses pembuatan. Pengelolaan jaringan internet yang kurang baik.
10
Ketelambatan penyerahan dokumen SKSKB, FA-KB dan LMKB kepada Dinas Kabupaten.
Pengelolaan jaringan internet yang kurang baik. Kurangnya pemahaman pihak perusahaan mengenai pemberlakuan Permenhut No. P.55/Menhut-II/2006.
Alternatif solusi Meningkatkan kinerja kedua belah pihak (pihak perusahaan dan P3KB) dalam penerapan perpanjangan masa berlaku dokumen angkutan dan pemberian sanksi administrasi berupa denda kepada perusahaan atau pihakpihak lain yang melanggar ketentuan ini. Meningkatkan pengelolaan jaringan internet secara profesional oleh tenaga kerja yang kompeten.
Meningkatkan pengelolaan jaringan internet secara profesional oleh tenaga kerja yang kompeten. Meningkatkan pemahaman perusahaan mengenai penerapan Permenhut No.P.55/Menhut-II/2006.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1.
Kegiatan penatausahaan kayu mulai dari Petak Tebang, TPn, TPK Hutan dan TPK Antara memiliki tingkat efektifitas baik. Namun demikian masih terdapat beberapa hal yang perlu diperbaiki, yaitu kegiatan timber cruising dimana terjadi ketidaksesuaian dalam pelabelan pohon layak tebang, penomoran batang yang menggunakan nomor internal, penandaan batang yang tidak lengkap, penumpukan kayu bulat yang tidak dilakukan terpisah antara kayu bulat yang telah dicatat dengan yang telah disahkan, penumpukkan kayu bulat antara kayu bulat yang telah disahkan dan belum lunas PSDH/DR, pembuatan DKB (SKSKB) menjadi tujuh rangkap, pembuatan DKB (FA-KB)
menjadi lima rangkap, pembuatan LMKB
menjadi empat rangkap, perpanjangan masa berlaku dokumen angkutan yang tidak dilakukan karena adanya toleransi dari P3KB dan pihak-pihak terkait, serta keterlambatan penyerahan dokumen SKSKB, FA-KB dan LMKB kepada Dinas Kabupaten. 2.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakefektifan
penatausahaan kayu
antara lain kualitas tenaga kerja, sistem manajemen pengadaaan label, ketersediaan alat dan bahan, sistem penomoran dan penandaan pada batang yang berlaku di perusahaan dan pengelolaan jaringan internet. 3.
Alternatif solusi terhadap masalah yang mempengaruhi ketidakefektifan PUHH adalah meningkatkan koordinasi antara pihak perusahaan dan kontraktor mengenai penomoran dan penandaan batang sesuai dengan peraturan yang berlaku, pengadaan pelatihan pengenalan kriteria pohon, perbaikan sistem manajemen pengadaan label, penyediaan alat dan bahan dalam penempelan label pada tunggak dan batang serta perbaikan pengelolaan jaringan internet dengan dikelola secara profesional oleh tenaga kerja yang kompeten.
49
6.2 Saran 1. Meningkatkan penerapan PUHH sesuai dengan Permenhut No. P.55/MenhutII/2006 jo Permenhut No. P.63/Menhut-II/2006 jo Permenhut No. P.8/MenhutII/2009. 2. Meningkatkan koordinasi antara cruiser dan chainsawman mengenai persamaan persepsi antara pohon yang akan ditebang berkaitan dengan pelabelan pohon. 3. Meningkatkan kinerja pekerja khususnya dalam pembuatan LHC agar terjadi kesesuaian antara data di lapang dengan yang tercantum di LHC. 4. Jaringan internet harus dikelola secara profesional oleh tenaga kerja yang kompeten.
50
DAFTAR PUSTAKA [Balitbang] Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2001. Standar dan Prosedur Monitoring, Evaluasi Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta: Dephut. [Balitbang] Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2007. Administrasi Tata Usaha Kayu yang Efektif dan Transparan. Di dalam: Good Governance sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari. Prosiding Seminar Hasil Penelitian; Surakarta, 23 Nov 1994. Bogor: Balitbang. hlm 95-115. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1998. Sistem Pengelolaan Hutan Produksi Lestari. Jakarta: Standar Nasional Indonesia 19.5000:1998. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/MenhutII/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Negara. Jakarta: Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.63/MenhutII/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Negara. Jakarta: Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.8/Menhut-II/2009 tentang Perubahan kedua Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Negara. Jakarta: Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin atau Pada Hutan Hak. Jakarta: Dephut. Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2010. Kebijakan Pengendalian Peredaran Hasil Hutan Melalui Penatausahaan Hasil Hutan. Jakarta: Dephut. Elias. 2008. Pembukaan Wilayah Hutan. Bogor: IPB Press. Endraswara S. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan: Ideologi, Epistemologi dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Jackson dan Schuler. 1996. Penilaian Kinerja Karyawan. http://www.file:///G: Perbandingan%20berpasangan/metode-penilaian-pedekatan-dalam.html. [24 Februari 2010] Kurniawati D. 2004. Manajemen Tata Usaha Hasil hutan Kayu Acacia Mangium di TPn Jagabaya, BKPH Parung Panjang, KPH Bogor, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
51
Muhridwan. 2010. Perbandingan Berpasangan. http://www.damandiri.or.id//file/ muhridwanipbbab3.pdf. [20 Agustus 2010] Ngadiono. 2004. 35 Tahun Pengelolaan Hutan Indonesia Refleksi dan Prospek. Bogor: Yayasan Adi Sanggoro. Noe. 2000. Penilaian Kinerja Karyawan. http://www.file:///G:?perbandingan% 20berpasangan/metode-penilaian-pendekatan-dalam.html. [24 Februari 2010] Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta. Robbins SP. dan M Coulter. 2007. Manajemen, Edisi ke delapan. Jakarta: PT. Indeks. Saaty TL. 1991. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. Suhendang E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Supranto JMA. 2000. Statistik. Edisi ke enam. Jakarta: Erlangga. Syahadat E. 2007. Administrasi Tata Usaha Kayu yang Efektif dan Transparan. Di dalam: Good Forest Governance sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari. Prosiding Seminar Hasil Penelitian; Surakarta, 23 Nov 1994. Bogor: Balitbang. hlm 95-115. West R, Lynn HT. 2008. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi. Edisi ke tiga. Jakarta: Salemba Humanka.
52
LAMPIRAN
53
Lampiran 1 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2006 jo Peraturan Menteri Kehutanan No. P.63/Menhut-II/2006 jo Peraturan Menteri Kehutanan No.P.8/Menhut-II/2009 tentang Penatausahaan Hasil Hutan untuk Hutan Negara MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 55/MENHUT-II/2006 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN YANG BERASAL DARI HUTAN NEGARA MENTERI KEHUTANAN Menimbang :
Mengingat :
a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 Bab VII Pasal 73, telah ditetapkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 126/KPTS-II/2003 tentang Penatausahaan Hasil Hutan; b. bahwa berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan, serta dengan memper timbangkan perkembangan kondisi saat ini, maka perlu dilakukan pengaturan kembali penatausahaan hasil hutan; c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dipandang perlu menetapkan kembali Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal dari Hutan Negara dengan Peraturan Menteri Kehutanan. 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; jo. Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang; 5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi; 7. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan; 8. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan; 9. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi; 10. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan; 11. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan; 12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu; jo. Nomor 171/M Tahun 2005 13. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 jo. Nomor 62 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia; 14. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005 jis. Nomor 15 Tahun 2005 dan Nomor 63 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia; 15. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.13/Menhut-II/2005 jis. Nomor P.17/MenhutII/2005 dan Nomor P.35/Menhut-II/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG HUTAN YANG BERASAL DARI HUTAN NEGARA.
PENATAUSAHAAN HASIL
53
54
Lampiran 1 (Lanjutan) MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.63/Menhut-II/2006 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.55/Menhut-II/2006 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN YANG BERASAL DARI HUTAN NEGARA MENTERI KEHUTANAN Menimbang :
Menimbang :
a. bahwa Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Negara, berlaku efektif mulai tanggal 29 Oktober 2006; b. bahwa berdasarkan hasil sosialisasi dibeberapa provinsi, dijumpai adanya kekeliruan pada beberapa pasal dalam Peraturan Menteri Kehutanan sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. bahwa berdasarkan evaluasi ternyata sampai saat ini ketersediaan blanko FA-KB, FAHHBK dan FA-KO dan ketersediaan Penerbitnya secara merata belum dapat dipenuhi oleh masing-masing daerah; d. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk mengubah/meralat beberapa pasal Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2006, dengan Peraturan Menteri Kehutanan. 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; 3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 4. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004; 5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi; 7. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan; 8. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan; 9. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi; 10. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan; 11. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan; 12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu; jo. Nomor 171/M Tahun 2005 ; 13. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 jo. Nomor 62 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia; 14. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005 jis. Nomor 15 Tahun 2005 dan Nomor 63 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia; 15. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.13/Menhut-II/2005 jis. Nomor P.17/MenhutII/2005 dan Nomor P.35/Menhut-II/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan; 16. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2005 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Negara. M EM UTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.55/Menhut-II/2006 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN YANG BERASAL DARI HUTAN NEGARA.
54
55
Lampiran 1 (Lanjutan) MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.8/Menhut-II/2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.55/MENHUT-II/2006 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN YANG BERASAL DARI HUTAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN Menimbang : a. bahwa berdasarkan Permenhut No. P.55/Menhut-II/2006 sebagaimana telah diubah dengan Permenhut No P.63/Menhut-II/2006 telah ditetapkan Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal dari Hutan Negara; b. bahwa berdasarkan hasil evaluasi terhadap pelaksanaan Peraturan tersebut pada butir a, dan untuk meningkatkan daya saing antara lain dengan memperpendek rantai birokrasi melalui penerapan Sistem Informasi PUHH Online, terdapat beberapa Pasal yang perlu disempurnakan, guna kelancaran pelaksanaan penatausahaan hasil hutan kayu; c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dipandang perlu menetapkan Perubahan Kedua Atas Permenhut No P.55/Menhut-II/2006 jo. No. P.63/Menhut-II/2006 Tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Negara dengan Peraturan Menteri Kehutanan. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan UU No.19 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4412); 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara republik Indonesia Nomor 4844); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4207); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara republik Indonesia Nomor 4814); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Nomor 31/P Tahun 2007; 8. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Nomor 20 Tahun 2008; 9. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Nomor 50 Tahun 2008; 10. Permenhut No P.13/Menhut-II/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Nomor P.64/Menhut-II/2008; 11. Permenhut No. P.55/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Negara sebagaimana telah diubah dengan Permenhut No. P.63/Menhut-II/2006. MEMUTUSKAN : Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.55/MENHUT-II/2006 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN YANG BERASAL DARI HUTAN NEGARA
55
56
Lampiran 2 Hasil Analisis Kriteria dan Indikator Penatausahaan Kayu di Hutan Alam Produksi Kriteria No. 1 2 3 4 Indikator No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Kriteria Petak Tebang Tpn TPK Hutan TPK Antara
Bobot 0,54 0,28 0,09 0,09
Indikator
Bobot
Nilai Lapang 0,495 0,236 0,077 0,073
Nilai Lapang 0,77 1
Pemegang IUPHHK wajib melaksanakan timber cruising Hasil timber cruising wajib dibuatkan LHC HA (DKA.101a) dan Rekapitulasi LHC tebangan tahunan (DKA.101c) dan ditandatangani oleh pimpinan perusahaan. LHC dan rekapitulasinya dilaporkan kepada Kepala Dinas Provinsi dengan tembusan Kepala Dinas Kabupaten/Kota. Pemegang IUPHHK menyusun dan mengusulkan RKT kepada Kepala Dinas Provinsi untuk mendapatkan penilaian dan pengesahan. Penandaan pada tunggak berupa nomor pohon sesuai cruising, jenis pohon, tanggal tebang, nomor petak tebang, dan tahun RKT. Jika dalam satu pohon dipotong menjadi beberapa batang, maka penomoran batang sesuai nomor pohon ditambah huruf A(102A,102B),jika dipotong lagi maka ditambah huruf a dibelakang A(102Aa).
0,41 0,27 0,14 0,14 0,05 0,08
1 1 1 1
Pemegang IUPHHK wajib melakukan pemberian nomor pada setiap batang (sesuai nomor LHC) serta melakukan pengujian /pengukuran yang berlaku. Penandaan pada batang berupa nomor batang, nomor petak tebang, diameter rata-rata, panjang dan jenis kayu Data hasil pengukuran dicatat setiap hari ke dalam Buku Ukur Kayu Bulat (DKA.102a) oleh petugas perusahaan. Kayu bulat yang telah dicatat dilakukan penumpukkan/penimbunan pada tempat yang terpisah dengan kayu bulat yang telah disahkan. Pemegang IUPHHK wajib membuat LHP-KB (DKA.103a) di Tpn dan Rekapitulasi LHP-KB (DKA.103b) setiap pertengahan dan akhr bulan dengan data berasal dari buku ukur. Setiap blok kerja tebangan wajib ditempatkan minimal satu orang pembuat LHP-KB. Jika tidak ada realisasi penebangan/pemanenan maka pemegang izin diwajibkan membuat LHP-KB nihil beserta alasan-alasan pada kolom keterangan.. Sekurang-kurangnya setiap pertengahan dan akhir bulan pembuat LHP-KB wajib mengajukan permohonan pengesahan LHP-KB kepada P2LHP. P2LHP melakukan pemeriksaan fisik sesuai ketentuan yang berlaku. Hasil pemeriksaan fisik dimasukkan ke dalam Daftar Pemeriksaan Kayu Bulat (DKB.201a) dan dibuat BAP LHP-KB (DKB. 201h), apabila benar BAP digunakan sebagai dasar pengesahan LHP-KB.
0,09 0,09 0,09 0,01 0,09
0,67 0 0,97 0 0,97
0,09 0,09 0,09 0,04 0,05
1 0,92 0,91 1 0,95
56
57
Lampiran 2 (Lanjutan) No . 17 18 19 20 21 22 23 24
25
26
27 28
29 30 31 32
Indikator
Bobot
Pengesahan LHP-KB oleh P2LHP di TPn. LHP-KB yang sah dijadikan dasar perhitungan pembayaran PSDH atau DR. Penumpukkan terpisah antara kayu bulat yang sah dengan kayu bulat yang belum lunas PSDH atau DR. Pembuatan Rekapitulasi LHP-KB dan dilaporkan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Dinas Provinsi, Kepala Balai, P2SKSKB dan P2LHP. Setiap penerbitan SKSKB, pemohon mengajukan permohonan penerbitan SKSKB kepada P2SKSKB dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota. Kayu bulat yang diangkut harus berasal dari LHP-KB yang telah disahkan dan telah dibayar lunas PSDH dan DR-nya. Permohonan penerbitan SKSKB dilampiri persediaan/ stok kayu bulat, bukti pelunasan PSDH dan DR, DKB dan identitas pemohon. Ketentuan pembuatan DKB yaitu memindahkan data berupa nomor dan tanggal LHP-KB, nomor batang kelompok jenis kayu, ukuran dan volume, KB dari LHP-KB yang telah disahkan dan dibayar lunas ke dalam DKB (DKA 104a), pengisian DKB dengan mesin ketik, dibuat oleh pemegang izin yang bersangkutan, DKB dibuat tujuh rangkap, diperiksa dan disahkan oleh P2SKSKB dan dipakai sebagai penerbitan SKSKB.
0,02 0,08 0,02 0,09
Nilai Lapang 0,94 1 0 0,97
0,11
1
0,11 0,11 0,11
1 1 0,8
Dalam penomoran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, apabila terjadi pemotongan dari satu batang menjadi dua batang atau lebih, maka penomoran potongan KB dalam pengisian DKB harus sama dengan nomor batang pada LHP-KB dengan menambahkan huruf A, B, dan seterusnya, demikian pula penomoran serta penandaan pada fisik potongan KB harus sesuai dengan perubahan tersebut. P2SKSKB selambat-lambatnya 1 hari setelah menerima permohonan penerbitan SKSKB wajib melakukan pemeriksaan administrasi dan fisik KB dan dibuatkan BAP, P2SKSKB dibantu oleh satu orang/lebih, jika dinyatakan benar maka P2SKSKB segera menandatangani DKB dan menerbitkan SKSKB yang dilakukan di lokasi yang akan diangkut, pengisian kolom didasarkan atas rekapitulasi DKB. Pengisian blanko diketik. Pembuatan Laporan Mutasi Hasil Hutan (LMKB) menggunakan blanko model DKA.105a. Tata cara pengisian LMKB : a. Pengisian bagian Persediaan Awal didasarkan jumlah stock KB pada bulan sebelumnya dan telah dibayar lunas PSDH dan DR setiap bulan. b. Pengisian bagian penambahan didasarkan pada setiap jumlah KB dalam LHP-KB yang telah disahkan dan dibayar lunas PSDH dan DR setiap bulan. c. Pengisian bagian pengurangan didasarkan pada setiap penerbitan SKSKB/FA-KB atau pengangkutan KB dari TPK yang bersangkutan ke luar areal izin. d. Bagian Persediaan Akhir diisi berdasarkan Persediaan Awal ditambah Penambahan dikurangi Pengurangan. Pada kolom keterangan dicantumkan hal-hal yang perlu diinformasikan seperti nomor LHP-KB pada bagian Penambahan dan tujuan pengangkutan dalam SKSKB/FA-KB pada bagian pengurangan. LMKB dibuat empat rangkap yaitu lembar ke-1 untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota, lembar ke-2 untuk P3KB, lembar ke-3 untuk Balai setempat, lembar ke4 untuk arsip untuk pemilik TPK Antara (LMKB harus sesuai dengan fisik baik jenis, jumlah, maupun volume). Penerbitan FA-KB untuk kayu lanjutan dari TPK antara dilakukan di TPK antara oleh penerbit FA-KB Penetapan TPK oleh keputusan Kepala Dinas Kabupaten/Kota setempat selama lima tahun. Dalam penerbitan FA-KB harus dilampiri DKB-FA.
0,11
0,96
0,11
0,86
0,11 0,11
0,92 1
0,11
0,28
0,07 0,21 0,08
1 1 0,9
57
58
Lampiran 2 (Lanjutan) No. 33
Indikator
Pengisian DKB-FA dilakukan oleh penerbit FA-KB dengan memindahkan data identitas KB (nomor dan tanggal LHP-KB, nomor batang, kelompok jenis kayu, ukuran dan volume kayu bulat dari SKSKB/DKB atau FA-KB/ DKB-FA sebelumnya kedalam DKB-FA (DKA.104b), pengisian menggunakan mesin ketik dan dibuat lima rangkap. 34 Penggunaan blanko FA-KB menggunakan blanko FA-KB milik IUPHHK yang bersangkutan. 35 Perpanjangan masa berlaku dokumen angkutan. 1. Perpanjangan SKSKB/FA-KB yang melengkapi pengangkutan KB di laut maka wajib disertai/dilampiri dengan surat keterangan yang dibuat nahkoda kapal, yang berisi penjelasan mengenai sebab-sebab yang mengakibatkan terjadinya keterlambatan pengangkutan. 2. SKSKB/FA-KB yang melengkapi pengangkutan di darat/sungai atau terhambat di pelabuhan umum wajib disertai/dilampiri dengan surat keterangan yang dibuat oleh pengemudi kendaraan/nakhoda kapal yang berisi penjelasan mengenai sebab-sebab terjadinya keterlambatan. Dalam perpanjangan hanya dilakukan pengecekan keberadaan fisik KB yang diangkut mengingat sifat administrasinya. Perpanjangan dilakukan pada kolom perpanjangan dengan mengisi jumlah hari dan tanggal berlakunya perpanjangan serta tanda tangan, nama jelas, jabatan, NIP. Perpanjangan hanya dilakukan satu kali setiap pengangkutan sesuai jarak dan waktu tempuh. 36 Perlakuan dokumen angkutan di tempat tujuan, yaitu setiap penerimaan KB di TPK Antara wajib dilaporkan kepada P3KB paling lambat 1x24 jam sejak kedatangan dengan menyampaikan dokumen SKSKB/FA-KB lembar ke-1 dan ke-2, kemudian P3KB segera mematikan dan memeriksa administrasi dan fisik KB, hasilnya dimasukkan kedalam DKB. 201a dan dibuat BAP Penerimaan KB (DKB.201k) dan menandatangani SKSKB/FAKB. 37 Apabila berdasarkan BAP ditemukan adanya perbedaan antara fisik dan dokumen, maka P3KB wajib melaporkan kepada atasan langsungnya untuk ditindaklanjuti. 38 P3KB wajib mengumpulkan SKSKB/FA-KB lembar ke-1 dan membuat Daftar Penerimaan Dokumen SKSKB lembar ke-1 (DKB.203e), pencatatan FA-KB kedalam Rekapitulasi Penerimaan Dokumen FA-KB lembar ke-1 (DKB.203f) 39 SKSKB lembar ke-2 berikut DKB atau FA-KB lembar ke-2 berikut DKB-FA yang telah dimatikan dan ditandatangani oleh P3KB, diserahkan kembali kepada pemilik KB di tempat tujuan dan disimpan sebagai arsip. 40 Kumpulan SKSKB/FA-KB lembar ke-1(asli) berikut BAP dan Rekapitulasi Penerimaan FA-KB setiap pertengahan dan akhir bulan wajib disampaikan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang selanjutnya pada akhir bulan disampaikan kepada Kepala Dinas Provinsi. 41 Jika terdapat beberapa TPK antara yang disebabkan oleh topografi berat dan debit air kecil pada musim kering maka SKSKB dimatikan di TPK Antara paling akhir, diganti dengan FA-KB dengan kewajiban melapor kepada P3KB. Verifier No. Verifier 1 Pemegang IUPHHK wajib melaksanakan timber cruising a. Dilaksanakan oleh pemegang IUPHHK. b. Timber cruising dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku (pengukuran, pengamatan, dan pencatatan). c. Dilakukan sekurang-kurangnya dua bulan sekali.
Bobot 0,07
Nilai Lapang 0,71
0,07 0,06
1 0
0,07
0,86
0,05
1
0,08
0,80
0,08
1
0,09
0
0,09
1
Bobot 0,38 0,23 0,10
58
59
Lampiran 2 (Lanjutan) No. 2
3
4
5
6
Verifier d. Dilakukan di petak tebang. Hasil timber cruising wajib dibuatkan LHC HA (DKA.101a) dan RLHC tebangan tahunan (DKA.101c) dan ditandatangani oleh pimpinan perusahaan. a. Data hasil timber cruising. a. LHC HA (DKA.101a). b. Rekapitulasi LHC tebangan tahunan (DKA.101c). LHC dan rekapitulasinya dilaporkan kepada Kepala Dinas Provinsi dengan tembusan Kepala Dinas Kabupaten/Kota. a. LHC dan Rekapitulasi LHC. b. LHC dilaporkan kepada Kepala Dinas Provinsi. c. Rekapitulasi LHC dilaporkan kepada Kepala Dinas Provinsi. d. Dilakukan oleh pemegang IUPHHK. e. Tembusan Kepala Dinas Kabupaten/Kota. Pemegang IUPHHK menyusun dan mengusulkan RKT kepada Kepala Dinas Provinsi untuk mendapatkan penilaian dan pengesahan. a. Dilakukan oleh Pemegang IUPHHK. b. Menyusun RKT mengusulkan RKT kepada Kepala Dinas Provinsi. c. Ditujukan kepada Kepala Dinas Provinsi. Penandaan pada tunggak berupa nomor pohon sesuai cruising, jenis pohon, tanggal tebang, nomor petak tebang, dan tahun RKT. a. Dilakukan penandaan pada tunggak. b. Penandaan berupa nomor pohon (sesuai cruising), jenis pohon, tanggal tebang, nomor petak dan tahun RKT. c. Dilakukan oleh pemegang IUPHHK. d. Dilakukan di petak tebang. Jika dalam satu pohon dipotong menjadi beberapa batang, maka penomoran batang sesuai nomor pohon ditambah huruf A(102A,102B), jika dipotong lagi maka ditambah huruf a dibelakang A(102Aa). a. Dilakukan Penomoran batang. b. Jika dalam satu pohon dipotong menjadi beberapa batang, maka penomoran batang sesuai no.pohon ditambah huruf A(102A,102B). c. Jika pohon tersebut dipotong lagi maka ditambah huruf a dibelakang A(102Aa). d. Dilakukan oleh pemegang IUPHHK. e. Dilakukan di TPn. 7 Pemegang IUPHHK wajib melakukan pemberian nomor pada setiap batang (sesuai nomor LHC) serta melakukan pengujian /pengukuran. a. Dilakukan oleh pemegang IUPHHK. b. Melakukan pemberian nomor pada setiap batang (sesuai no.pohon dalam LHC). c. Melakukan pengujian /pengukuran (ukuran Dpangkal dan ujung, panjang, dan volumenya)
Bobot 0,29 0,60 0,16 0,16 0,43 0,22 0,22 0,09 0,05 0,26 0,63 0,11 0,23 0,42 0,05 0,30
0,16 0,28 0,28 0,05 0,23 0,06 0,33 0,33
59
60
Lampiran 2 (Lanjutan) No. 8
9
10
11
12
13
Verifier d. Dilakukan di TPn. Penandaan pada batang berupa nomor batang, nomor petak tebang, diameter rata-rata, panjang dan jenis kayu a. Penandaan pada batang berupa no.batang, no.petak tebangan, D rata-rata, Panjang dan jenis kayu. b. Untuk kayu Ht. kering pada kedua bontos. c. Dilakukan oleh pemegang IUPHHK. d. Dilakukan di TPn. Data hasil pengukuran dicatat setiap hari ke dalam Buku Ukur Kayu Bulat (DKA.102a) oleh petugas perusahaan. a. Data hasil pengukuran dicatat ke dalam Buku Ukur Kayu Bulat. b. Dicatat setiap hari. c. Menggunakan blanko DKA 102a. d. Dilakukan oleh petugas perusahaan. e. Dilakukan di TPn. Kayu bulat yang telah dicatat dilakukan penumpukkan/penimbunan pada tempat yang terpisah dengan kayu bulat yang telah disahkan. a. Dilakukan penumpukkan/penimbunan kayu bulat. b. Penumpukkan/penimbunan dilakukan terpisah antara kayu bulat yang telah dicatat dengan kayu bulat yang sah. c. Dilakukan oleh petugas perusahaan. d. Dilakukan di TPn Pemegang IUPHHK wajib membuat LHP-KB (DKA.103a) di Tpn dan Rekapitulasi LHP-KB (DKA.103b) setiap pertengahan dan akhr bulan dengan data berasal dari buku ukur. a. LHP-KB dibuat menggunakan blanko DKA.103a dan Rekapitulasi LHP-KB dengan blanko DKA.103b. b. Dibuat sekurang-kurangnya 2x dalam sebulan setiap pertengahan dan akhir bulan. c. Data yang digunakan berasal dari Buku Ukur Kayu Bulat. d. Dilakukan oleh petugas pembuat LHP. e. Dibuat di TPn. Setiap blok kerja tebangan wajib ditempatkan minimal satu orang pembuat LHP-KB. a. Terdapat min. satu orang pembuat LHP-KB. b. Pembuat LHP-KB terdapat di setiap blok kerja tebangan. Jika tidak ada realisasi penebangan maka pemegang izin diwajibkan membuat LHP-KB nihil beserta alasan-alasan pada kolom keterangan.. a. Pemegang izin membuat LHP-KB nihil. b. LHP-KB nihil disertai alasan-alasan pada kolom keterangan.
Bobot 0,33 0,42 0,23 0,05 0,30 0,35 0,17 0,35 0,09 0,03 0,24 0,40 0,06 0,30
0,37 0,21 0,27 0,12 0,03 0,17 0,83 0,72 0,19
60
61
Lampiran 2 (Lanjutan) No. 14
15
16
17
18
19
Verifier c. Dilakukan di TPn. Minimal setiap pertengahan dan akhir bulan pembuat LHP-KB wajib mengajukan permohonan pengesahan LHP-KB kepada P2LHP. a. Pembuat LHP-KB mengajukan permohonan pengesahan LHP-KB kepada P2LHP. b. Permohonan pengesahan dilakukan minimal setiap pertengahan dan akhir bulan. c. Dilakukan di TPn. P2LHP melakukan pemeriksaan fisik sesuai ketentuan yang berlaku. a. P2LHP melakukan pemeriksaan fisik kayu bulat. b. Pemeriksaan fisik kayu bulat sesuai ketentuan yang berlaku c. Dilakukan di TPn. Hasil pemeriksaan fisik dimasukkan ke dalam Daftar Pemeriksaan Kayu Bulat (DKB.201a) dan dibuat BAP LHP-KB (DKB. 201h), apabila benar BAP digunakan sebagai dasar pengesahan LHP-KB. a. Hasil pemeriksaan fisik dimasukkan ke dalam Daftar Pemeriksaan Kayu Bulat dengan blanko DKB.201a. b. Dibuat Berita Acara Pemerikasaan LHP-KB dengan blanko DKB. 201h c. Apabila benar Berita Acara Pemeriksaan digunakan sebagai dasar pengesahan LHP-KB. d. Dilakukan oleh P2LHP. e. Dilakukan di TPn. Pengesahan LHP-KB oleh P2LHP2 di TPn. a. Pengesahan LHP-KB b. Dilakukan oleh P2LHP. c. Dilakukan di TPn. d. Dilakukan minimal setiap pertengahan dan akhir bulan. LHP-KB yang sah dijadikan dasar perhitungan pembayaran PSDH atau DR. a. LHP-KB yang sah dijadikan dasar perhitungan pembayaran PSDH atau DR. b. Pengesahan LHP-KB periode berikutnya dilakukan setelah LHP periode sebelumnya dilunasi PSDH atau DR. Penumpukkan terpisah antara kayu bulat yang sah dengan kayu bulat yang belum lunas PSDH atau DR. a. Dilakukan penumpukkan kayu bulat. b. Penumpukkan kayu bulat dilakukan pada tempat yang terpisah antara kayu yang sah dan yang belum lunas PSDH dan DR. c. Dilakukan di TPn
Bobot 0,08 0,45 0,45 0,09 0,11 0,48 0,41
0,34 0,18 0,15 0,28 0,05 0,38 0,18 0,06 0,38 0,50 0,50 0,14 0,43 0,43
61
62
Lampiran 2 (Lanjutan) No. 20
21
23
24
Verifier Pembuatan Rekapitulasi LHP-KB dan dilaporkan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Dinas Provinsi, Kepala Balai, P2SKSKB dan P2LHP. a. Dibuat rekapitulasi LHP-KB. b. Dilaporkan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota. c. Tembusan Kepala dinas provinsi, Kepala balai, P2SKSKB, P2LHP. d. Dilakukan oleh P2LHP e. Dilakukan di TPn Setiap penerbitan SKSKB, pemohon mengajukan permohonan penerbitan SKSKB kepada P2SKSKB dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota. a. Pemohon mengajukan permohonan penerbitan SKSKB. b. Permohonan penerbitan SKSKB ditujukan kepada P2SKSKB. c. Tembusan Kepala Dinas Kabupaten/Kota. a. Kayu bulat berasal dari LHP-KB. b. LHP-KB telah disahkan. c. LHP-KB telah dibayar lunas PSDH dan DR. Permohonan penerbitan SKSKB dilampiri persediaan/ stok kayu bulat, bukti pelunasan PSDH dan DR, DKB dan identitas pemohon. a. Melampirkan persediaan/stock KB pada saat pengajuan permohonan. b. Melampirkan bukti pelunasan PSDH dan DR. c. Melampirkan DKB (Daftar Kayu Bulat). d. Melampirkan identitas pemohon. Ketentuan pembuatan DKB. a. Memindahkan data berupa nomor dan tanggal LHP-KB, nomor batang kelompok jenis kayu, ukuran dan volume, KB dari LHP-KB yang telah disahkan dan dibayar lunas ke dalam DKB menggunakan blanko model DKA 104a. b. Pengisian DKB dengan mesin ketik. c. Dibuat oleh pemegang izin/pemilik KB yang bersangkutan. d. DKB dibuat tujuh rangkap. e. Diperiksa dan disahkan oleh P2SKSKB. f. Digunakan sebagai penerbitan SKSKB. g. Dilakukan di TPK Hutan.
Bobot 0,35 0,23 0,12 0,27 0,03 0,33 0,33 0,33 0,11 0,26 0,63 0,25 0,25 0,25 0,25 0,24 0,05 0,20 0,12 0,18 0,18 0,03
62
63
Lampiran 2 (Lanjutan) No. 25
26
27
28
Verifier Apabila terjadi pemotongan dari satu batang menjadi dua batang atau lebih, maka penomoran potongan KB dalam pengisian DKB harus sama dengan nomor batang pada LHP-KB. a. Terjadi pemotongan dari satu batang menjadi dua batang atau lebih. b. Penomoran potongan KB c. Penomoran serta penandaan pada fisik potongan KB d. Pengisian DKB. e. Menggunakan dokumen LHP-KB. f. Dilakukan di TPK hutan. P2SKSKB selambat-lambatnya 1 hari setelah menerima permohonan penerbitan SKSKB wajib melakukan pemeriksaan administrasi dan fisik KB dan dibuatkan BAP, P2SKSKB dibantu oleh satu orang/lebih, jika dinyatakan benar maka P2SKSKB segera menandatangani DKB dan menerbitkan SKSKB yang dilakukan di lokasi yang akan diangkut, pengisian kolom didasarkan atas rekapitulasi DKB. Pengisian blanko diketik. a. P2SKSKB wajib melakukan pemeriksaan administrasi dan fisik KB. b. Selambat-lambatnya 1 hari setelah menerima permohonan penerbitan SKSKB. c. Dibuat berita acara pemeriksaan. d. P2SKSKB dibantu oleh satu orang/lebih. e. Jika dinyatakan benar, P2SKSKB segera menandatangani DKB dan menerbitkan SKSKB yang dilakukan di lokasi/tempat yang akan diangkut. f. Pengisian kolom didasarkan atas rekapitulasi DKB. g. Pengisian blanko diketik. Pembuatan Laporan Mutasi Hasil Hutan (LMKB) menggunakan blanko model DKA.105a. a. Dibuat LMKB blanko model DKA.105a. b. Dibuat TPK Hutan. c. Dilakukan oleh petugas perusahaan. Tata cara pengisian LMKB a. Jumlah stock KB pada bulan sebelumnya. b. Stock KB telah dibayar lunas PSDH dan DR setiap bulan. c. Bagian penambahan didasarkan pada setiap jumlah KB dalam LHP-KB yang telah disahkan dan dibayar lunas PSDH dan DR setiap bulan. d. Bagian pengurangan didasarkan pada setiap penerbitan SKSKB/FA-KB dari TPK yang bersangkutan ke luar areal izin. e. Persediaan akhir diisi berdasarkan Persediaan Awal ditambah Penambahan dikurangi Pengurangan f. Dicantumkan nomor LHP-KB pada bagian Penambahan (kolom keterangan). g. Dicantumkan tujuan pengangkutan dalam SKSKB/FA-KB pada bagian pengurangan (kolom keterangan).
Bobot
0,19 0,08 0,23 0,23 0,23 0,04
0,13 0,15 0,14 0,06 0,15 0,18 0,18 0,49 0,08 0,44 0,12 0,12 0,12 0,12 0,12 0,12 0,12
63
64
Lampiran 2 (Lanjutan) No.
29
30
31
32
33
Verifier h. Dilakukan di TPK Antara i. Dilakukan oleh petugas perusahaan LMKB dibuat empat rangkap. a. LMKB dibuat 4 rangkap. b. Lembar ke-1 untuk Kepala Dinas Kab./Kota. c. Lembar ke-2 untuk P3KB d. Lembar ke-3 untuk Balai setempat e. Lembar ke-4 untuk arsip untuk pemilik TPK Antara f. LMKB harus sesuai dengan fisik kayu bulat baik jenis, jumlah, maupun volume). g. Dilakukan di TPK Antara. h. Dilakukan oleh petugas perusahaan. Penerbitan FA-KB untuk kayu lanjutan dari TPK antara dilakukan di TPK antara oleh penerbit FA-KB. a. Penerbitan FA-KB kayu lanjutan dari TPK antara dilakukan di TPK antara. b. Penerbitan FA-KB dilakukan oleh penerbit FA-KB. Penatapan TPK Antara oleh TPK Antara oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota setempat selama lima tahun. a. TPK antara ditetapkan dengan keputusan Kepala Dinas Kab./Kota setempat. b. Didasarkan pada usulan perusahaan pemilik TPK antara. Dalam penerbitan FA-KB harus dilampiri DKB-FA. a. Ada DKB-FA (Daftar Kayu Bulat-Faktur Angkutan). b. Dilakukan di TPK Antara. c. Dilakukan oleh penerbit FA-KB. Pengisian DKB-FA oleh penerbit FA-KB. a. Memindahkan data identitas KB (no. dan tanggal LHP-KB, no. batang, kel.jenis kayu, ukuran dan volume kayu bulat dari SKSKB/DKB atau FA-KB/ DKB-FA sebelumnya kedalam DKB-FA dengan blanko DKA-104b. b. Pengisian menggunakan mesin ketik. c. Dibuat lima rangkap. d. Penomoran fisik KB (Jika dalam satu pohon dipotong menjadi beberapa batang, maka penomoran batang sesuai no.pohon ditambah huruf A(102A,102B) dan Jika pohon tersebut dipotong lagi maka ditambah huruf a dibelakang A(102Aa).
Bobot 0,12 0,12 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,02 0,14 0,50 0,50 0,33 0,33 0,45 0,45
0,24 0,05 0,24 0,24
64
65
Lampiran 2 (Lanjutan) No. 34
35
36
37 38
39
Verifier Penggunaan blanko FA-KB menggunakan blanko FA-KB milik IUPHHK yang bersangkutan. a. Penerbitan FA-KB untuk pengangkutan KB lanjutan dari TPK antara milik IUPHHK. b. Blanko FA-KB milik IUPHHK yang bersangkutan. Perpanjangan masa berlaku dokumen angkutan. a. Pengangkutan KB di laut dan darat dilampiri surat keterangan mengenai sebab-sebab terjadinya keterlambatan pengangkutan dibuat nahkoda kapal. b. Tidak dilakukan pengukuran dan pengujian tetapi dilakukan pengecekkan keberadaan fisik KB. c. Mengisi jumlah hari dan tanggal berlakunya perpanjangan serta tanda tangan, nama jelas, jabatan, NIP pada koLom perpanjangan. d. Perpanjangan hanya dilakukan 1 kali setiap pengangkutan sesuai jarak dan waktu tempuh. e. Dilakukan oleh pejabat kehutanan. Perlakuan dokumen angkutan di tempat tujuan a. Melaporkan penerimaan KB di TPK kepada P3KB. b. Paling lambat 1x24 jam sejak kedatangan. c. Dokumen yang disampaikan SKSKB/FA-KB lembar ke1 dan ke2, d. P3KB segera mematikan dokumen SKSKB/FA-KB lembar1 dan 2. e. Memeriksa administrasi dan fisik KB sesuai tata cara pemeriksaan. f. Hasilnya dimasukkan kedalam DKB.201a dan g. dibuat Berita Acara Pemerikasaan Penerimaan KB dengan blanko DKB.201k h. P3KB menandatangani SKSKB/FA-KB pada kolom yang tersedia. Apabila berdasarkan BAP ditemukan adanya perbedaan antara fisik dan dokumen, maka P3KB wajib melaporkan kepada atasan langsungnya untuk ditindaklanjuti. a. Ditemukan perbedaan antara fisik dan dokumen berdasarkan BAP. P3KB wajib mengumpulkan SKSKB/FA-KB lembar ke-1 dan membuat Daftar Penerimaan Dokumen SKSKB lembar ke-1 (DKB.203e), pencatatan FA-KB kedalam Rekapitulasi Penerimaan Dokumen FA-KB lembar ke-1 (DKB.203f) a. P3KB mengumpulkan SKSKB/FA-KB lembar ke-1. b. Membuat Daftar Penerimaan Dokumen SKSKB lembar ke-1 di tempat tujuan menggunakan blanko DKB.203e c. FA-KB dicatat dan dimasukkan kedalam Rekapitulasi Penerimaan Dokumen FA-KB lembar ke-1 di Tempat tujuan dengan blanko DK.203f. SKSKB lembar ke-2 berikut DKB atau FA-KB lembar ke-2 berikut DKB-FA yang telah dimatikan dan ditandatangani oleh P3KB, diserahkan kembali kepada pemilik KB di tempat tujuan dan disimpan sebagai arsip. a. SKSKB lembar ke-2. b. DKB lembar ke-2. c. FA-KB lembar ke-2.
Bobot 0,50 0,50 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,14 0,05 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,50
0,60 0,20 0,20
0,17 0,17 0,17
65
66
Lampiran 2 (Lanjutan) No.
40
41
Verifier d. DKB-FA yang telah dimatikan. e. DKB-FA yang telah ditandatangani oleh P3KB. f. Dikembalikan/disimpan sebagai arsip. Kumpulan SKSKB/FA-KB lembar ke-1(asli) berikut BAP dan Rekapitulasi Penerimaan FA-KB setiap pertengahan dan akhir bulan wajib disampaikan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang selanjutnya pada akhir bulan disampaikan kepada Kepala Dinas Provinsi. a. SKSKB/FA-KB lembar ke-1(asli). b. Berita Acara Pemeriksaan. c. DKB.203e, DKB.203f. d. Rekapitulasi penerimaan FA-KB pada setiap pertengahan dan akhir bulan. e. Disampaikan kepada Kepala Dinas Kab./Kota. f. Kemudian disampaikan kepada Kepala Dinas Provinsi pada akhir bulan. Jika terdapat beberapa TPK antara yang disebabkan oleh topografi berat dan debit air kecil pada musim kering maka SKSKB dimatikan di TPK Antara paling akhir, diganti dengan FA-KB dengan kewajiban melapor kepada P3KB. a. TPK antara letaknya tidak strategis, yang dipengaruhi oleh faktor geografis dan faktor alam. b. Dokumen SKSKB dimatikan di TPK antara yang paling akhir dan diganti dengan FA-KB. c. Melapor kepada P3KB.
Bobot 0,17 0,17 0,17
0,20 0,20 0,20 0,20 0,20
0,33 0,33 0,33
66
67
Lampiran 3 Peta sebaran pohon pada petak DI 49 penebangan tahun 2010 No. pohon 1695
No. pohon 1693
No. pohon 1600
No. pohon 1743
No. pohon 1742 Petak DI 49
RKT 2010
Letak Petak DI 49
No. pohon 1798
No. pohon 1800
67
68
Lampiran 4 Peta sebaran pohon pada petak DI 50 penebangan tahun 2010 No. pohon 1155
No. pohon 1160
No. pohon 1387
No. pohon 1247 No. pohon 1241
No. pohon 1386
Petak DI 50
RKT 2010
Letak petak DI 50
No. pohon 1320
No. pohon 1317
68