MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah)
SAMSURI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Model Spasial Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan: Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi di manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari tesis ini. Bogor, Agustus 2008 Samsuri NIM 051040021
ABSTRACT SAMSURI. Spatial Model of Land and Forest Fire Risk Index, Case Study in Central Kalimantan Province. Under the direction of I NENGAH SURATI JAYA and LAILAN SYAUFINA Forest fire is one of the causing factors of deforestation. According to hotspot data from NOAA 12 satellite, Central Kalimantan is one of Indonesia province with the most number of hotspot during 2002‐2006 year. Forest fire prevention is an effort to reduce forest degradation rate. This paper describes spatial models of land and forest fire risk in Central Kalimantan. The models were established base on human factor and biophysical factor approaches. The main objective of this research is to map out forest fire risk index in Central Kalimantan as well as to identify the major factor that significantly affects the forest fire risk itself. Materials used in this research were thematic maps within vector format. They were soil type map, land system map, road map, river map, village map, land cover map, city map, land allocation map and hotspot data. The study use CMA (Composite Mapping Analysis) method to develop spatial model of land and forest fire risk. The mathematical model obtained from this study is: y = ‐0,00004x2 + 0,021x – 0,356 having R2 about 54 %. The significant factors that affect the forest fire risk are land allocation, land cover, land system and soil type. Model validation shows that the model can predict the risk fire index providing 66,76 % of accuracy. Keywords: Central Kalimantan, forest fire risk, CMA
RINGKASAN SAMSURI. Model Spasial Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan: Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah. Di bawah bimbingan I NENGAH SURATI JAYA dan LAILAN SYAUFINA Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab utama deforestasi di berbagai negara. Kebakaran hutan menyebabkan kerusakan yang signifikan terhadap lingkungan, hilangnya keanekaragaman hayati dari hutan, polusi udara dan kerugian ekonomi lainnya. Kebakaran yang merusakkan area cukup luas terjadi pada tahun 1991 yang mencapai 118.831 ha, tahun 1994 seluas 161.798 ha, dan yang lebih luas lagi pada tahun 1997‐1998 mencapai 519.752 ha (Suratmo et al. 2003). Kebakaran hutan dan lahan memberikan dampak signifikan terhadap sosial ekonomi, dimana diperkirakan kerugian yang ditimbulkan kebakaran tahun 1997‐1998 berkisar US$ 8.7 juta sampai US$ 9.6 juta. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan faktor‐faktor yang menjadi faktor utama pendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan, serta menganalisis data curah hujan dan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan; dan mendapatkan tingkat kerusakan tegakan di area bekas kebakaran hutan dan lahan. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kalimantan Tengah yang merupakan daerah dengan hotspot lebih banyak dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Bahan‐bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi peta digital (format vektor) yaitu tipe sistem lahan, penutupan lahan, penggunaan lahan, jaringan sungai, jaringan jalan, pusat desa/perkampungan, kota kecamatan, batas administrasi, dan jenis tanah wilayah propinsi Kalimantan Tengah, Sebaran dan lokasi (koordinat) hot spot Kalimantan , dan data curah hujan harian. Sedangkan alat yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi personal computer dan paket software ArcView GIS versi 3.2, Spiegel Relaskop Bitterlich (SRB), phi band, kompas, GPS Garmin XL dan kamera digital. Metode yang digunakan untuk menyusun model adalah metode Composite Mapping Analysis (CMA). Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan dibuat berdasarkan pada distribusi kejadian titik panas di propinsi Kalimantan Tengah, khususnya pada bulan‐bulan di mana jumlah hotspot mencapai puncaknya. Penelitian ini melibatkan 8 faktor yang dapat mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan yaitu tutupan lahan (x1), jarak terhadap sungai (x2), jarak terhadap jalan (x3), jarak terhadap pusat desa (x4), jarak terhadap pusat kota (x5), penggunaan lahan (x6), tipe tanah (x7) dan sistem lahan (x8). Hasil analisis menunjukkan bahwa berdasarkan tingkat kepadatan hotspot, tutupan lahan semak belukar merupakan area dengan tingkat kepadatan hotspotnya tertinggi sebesar 0.5070 per km2. Berdasarkan fungsi kawasannya, kawasan yang berfungsi sebagai kawasan hutan tanaman industri memiliki tingkat kepadatan hotspot paling tinggi, dan disusul oleh kawasan konservasi gambut tebal. Tingginya kepadatan hotspot di kawasan hutan tanaman industri diduga disebabkan oleh aktivitas penyiapan
lahan HTI dengan cara membakar, selain aktifitas pembakaran di sekitar kawasan HTI juga diduga merembet ke area HTI sehingga terjadi kebakaran di luar area HTI. Jumlah hotspot pada tipe sistem lahan shallow peat (gambut dangkal) sebesar 1,613 adalah tertinggi disusul hotspot pada deeper peatswamp forest (rawa gambut dalam) sebanyak 1 491. Gambut dangkal pada musim kemarau lebih cepat kering yang berarti kadar air rendah. Kandungan kadar air yang rendah memerlukan energi yang relative lebih kecil umtuk menyalakan bahan bakar sehingga menjadi hotspot (Chandler et al 1983, Pyne et al 1996). Untuk menghitung nilai koinsidensi antara skor kerawanan dan kejadian kebakaran, maka dipilih sebanyak 1.775 poligon berdasarkan area yang tercover oleh titik pengamatan lapangan. Empat faktor yaitu tutupan lahan, tipe tanah, sistem lahan dan fungsi kawasan, dan enam faktor (empat faktor ditambah jarak terhadap pusat desa, jarak terhadap jaringan jalan) menunjukkan potensi korelasi cukup baik dengan tingkat kepadatan hotspot. Dengan menggunakan koefisien persamaan regresi bobot masing‐masing faktor dapat ditentukan. Bobot masing‐masing faktor digunakan untuk menghitung skor komposit. Bobot masing‐masing faktor menunjukkan tingkat pengaruh faktor tersebut terhadap respon model. Fungsi kawasan memiliki pengaruh yang relatif lebih besar dibanding faktor lainnya yaitu sebesar 30,4 %. Perbedaan fungsi kawasan sebagai kawasan hutan produksi maupun kawasan bukan produksi dapat menentukan kejadian kebakaran hutan dan lahan. Hasil uji signifikansi model menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara model terpilih yang diuji yang ditunjukkan oleh nilai Z hitung lebih kecil dari nilai kritis Z nya pada taraf nyata 5 %. Hasil perhitungan matrik koinsidensi model terpilih menunjukkan bahwa model terbaik mempunyai akurasi sebesar 52,56 %. Hasil uji akurasi menunjukkan juga bahwa pengkelasan ke dalam tiga kelas meningkatkan akurasi dari 52,56 % menjadi 66,76 %. Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan menunjukkan bahwa semua daerah dengan kerawanan sangat tinggi sekali (extremely high) berada di lahan gambut yaitu seluas 85,018.70 ha (0.56 % dari total area studi), sedangkan area non gambut lebih banyak masuk ke dalam kelas sedang yaitu seluas 7,025,208.798 ha (46.02 % dari area studi). Hal ini karena tipe lahan gambut di Indonesia pada umumnya berupa gambut kayuan (Hutagalung et al 1998), yang pada saat musim kering sisa‐sisa kayu akan muncul dan akan sangat mudah terbakar. Kebakaran gambut sangat berbahaya dan sulit dideteksi karena tipe kebakaran gambut penjalarannya melalui bawah permukaan gambut dan membentuk cekungan (Syaufina, 2004). Menurut tipe tutupan lahannya, maka area dengan tipe tutupan lahan semak seluas 80.708,99 ha (0,53 % total area studi) adalah area dengan tingkat resiko kebakaran hutan dan lahan paling tinggi (extremely high). Hal ini disebabkan karena semak merupakan jenis bahan bakar yang lebih halus dibandingan dengan hutan, sehingga lebih mudah terbakar. Berdasarkan fungsi kawasannya, maka fungsi hutan produksi merupakan area paling terluas yaitu 3.264.012,86 ha atau 21,38% dari area studi dengan tingkat kerawanan sangat tinggi, sebaliknya kawasan hutan penelitian paling kecil luasanya, hanya 1.175,37 ha yang masuk kelas resiko tinggi sekali. Hutan produksi merupakan
kawasan yang terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat, sehingga kemungkinan terjadinya kebakaran lebih tinggi. Jika dilihat dari tipe sistem lahannya, maka tiga sistem lahan yang sangat rentan terhadap bahaya kebakaran adalah sistem lahan deeper peat swamp, shallow peat, dan shallower peat. Hal ini ditunjukkan oleh model yang disusun dimana seluruh kawasan dengan tingkat resiko sangat tinggi sekali berada di tiga sistem lahan tersebut yaitu deeper peat swamp (8.188,44 ha atau 0,54 %), shallow peat (1.958,96 ha atau 0,01 % ) dan shallower peat (1.175,37 ha atau 0,01 %). Gambut terdiri dari sisa kayu, serasah dan ranting yang belum terdekomposisi yang pada musim kering akan mudah terbakar jika ada pemicunya. Makin dalam lapisan gambut, makin banyak kandungan sisa‐sisa kayu sehingga makin dalam lapisan gambut tingkat resiko kebakaran juga makin tinggi. Berdasarkan analisis kecenderungan pola data antara data curah hujan bulanan dan jumlah hotspot menunjukkan bahwa jumlah hotspot dipengaruhi oleh besarnya curah hujan dengan koefisien determinasi 66.7 %. Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) ada empat faktor (tipe sistem lahan, tipe tutupan lahan, tipe tanah dan fungsi kawasan) utama yang berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan nilai koefisien determinasi yang cukup (54 %), dan dapat digunakan untuk menduga kepadatan hotspot per km2, (2). Model kerawanan kebakaran hutan dan lahan dengan menggunakan empat faktor memiliki akurasi sebesar 66,76 % untuk pengkategorian ke dalam tiga kelas, dan 52,6 % untuk pengkategorian ke dalam lima kelas, (3) besarnya curah hujan memiliki pengaruh terhadap jumlah hotspot, dengan nilai koefisien determinasi sebesar 66,7 %, (4) tingkat kepadatan hotspot kurang berpengaruh terhadap tingkat kerusakan tingkat, dimana nilai koefisien determinasinya hanya sebesar 1,7 %. Hasil pemetaan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan menunjukkan bahwa seluruh area dengan tipe tanah gambut merupakan daerah dengan tingkat kerawanan kebakaran sangat tinggi sekali (extremely high risk). Oleh karena itu disarankan untuk melakukan penelitian yang mendalam, dengan menambahkan faktor ketebalan gambut untuk mengetahui perbedaan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan berdasarkan ketebalan gambut.
©Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi undang‐undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN: Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah
SAMSURI Tesis sebagai salah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS
Judul Tesis
Nama NIM
: MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah : Samsuri : E051040021
Disetujui Komisi pembimbing
P Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M. Agr. Ketua Diketahui
Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. Anggota
Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS
Tanggal ujian : 1 Juli 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia‐Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik penelitian yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan dari bulan Maret 2008 ini adalah pemodelan spasial, dengan judul Model Spasial Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan:Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah. Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya,M.Agr dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. yang dengan penuh kesabaran dan dedikasi yang tinggi membimbing dan mengarahkan selama masa studi, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi. 2. Bapak Dr. Ir. M Buce Saleh, MS selaku penguji luar komisi atas nasehat, komentar, saran dan masukan untuk perbaikan tulisan. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS, wakil Program Studi IPK yang memberikan saran, kritikan dan nasehat sehingga tulisan ini menjadi lebih baik. 4. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara atas ijin dan dukungannya yang besar dalam melanjutkan studi pascasarjana 5. Internasional Research Institute (IRI), atas bantuannya sehingga penulis dapat melakukan survey lapangan. 6. Keluarga besar H Hamzah Zainuddin dan Lamiran atas dukungan dan doanya yang tiada henti 7. Pak Uus dan Kang Edwin yang membantu mempersiapkan data; teman‐ teman di Laboratorium Remote Sensing dan Sistem Informasi Geografis atas kebersamaannya; Mr & Mrs. Cupri atas bantuannya dalam seminar. 8. Rekan‐rekan dari Universitas Sumatera Utara, wadyabala IPK’2004; mbak Tina UNPAR, Anderson dan mas Niin atas dukungannya selama di Kalimantan Tengah; serta semua kawan‐kawan yang tidak dapat disebutkan di sini. 9. Penulis sangat berterima kasih kepada yang penulis sayangi dan cintai istriku Nita serta anak‐anakku Najla dan Ziyan atas doa, pengorbanan dan kasih sayangnya selama menyelesaikan studi. Mudah‐mudah tulisan ini dapat bermanfaat bagi diri penulis dan yang membaca tulisan ini. Bogor, Agustus 2008 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ponorogo pada tanggal 9 Januari 1974 dari ayah Lamiran dan ibu Yaini. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara. Setelah menyelesaikan studi di SMA I Ponorogo pada tahun 1993, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun 2000 penulis diangkat menjadi staf pengajar di Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara sampai sekarang. Penulis melanjutkan studi S2 di Sekolah Pascasarjana IPB tahun 2004 pada program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS DIKTI Departemen Pendidikan Nasional. Penulis menikah dengan Anita Zaitunah pada bulan Februari 2001, dan telah dianugerahi seorang putri yang kami beri nama Najla Azaria Alifa yang lahir pada tahun 2006 dan seorang putra yang kami beri nama Muhammad Ziyan Rasyad Andaru yang lahir pada tahun 2007.
kupersembahkan buat nita istriku, najla dan ziyan permata hatiku
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ..................................................................................................... i DAFTAR TABEL ............................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... vi I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 A. Latar Belakang ....................................................................................... 1 B. Perumusan Masalah .............................................................................. 3 C. Kerangka Pemikiran ............................................................................... 4 D. Tujuan Penelitian ................................................................................... 8 E. Manfaat Penelitian ................................................................................ 8 II.
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... A. Kebakaran Hutan .................................................................................. B. Faktor‐Faktor Yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan ...... C. Kejadian Kebakaran Hutan dan Lahan .................................................. D. Pemodelan Spasial ................................................................................
9 9 10 15 17
III.
METODE PENELITIAN ................................................................................... A. Tempat dan Waktu ................................................................................ B. Bahan dan Alat ...................................................................................... C. Metode Penelitian ................................................................................. 1. Pengumpulan Sekunder ................................................................... 2. Pengumpulan Data Lapangan ........................................................... D. Metode Analisis Data ............................................................................ 1. Tingkat Kerusakan ............................................................................ 2. Analisis Data Spasial .........................................................................
23 23 23 24 24 25 27 27 27
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... A Sebaran Hotspot .................................................................................... B. Pemodelan Spasial Kebakaran Hutan dan Lahan .................................. 1. Jumlah hotspot dan tipe tutupan lahan .......................................... 2. Jumlah hotspot dan jarak terhadap jaringan sungai ....................... 3. Jumlah hotspot dan jarak terhadap jaringan jalan ........................... 4. Jumlah hotspot dan jarak terhadap pusat desa ............................... 5. Jumlah hotspot dan jarak terhadap pusat kota ............................... 6. Jumlah hotspot dan jenis penggunaan lahan ................................... 7. Jumlah hotspot dan tipe tanah ......................................................... 8. Jumlah hotspot dan tipe sistem lahan ............................................. C. Pemberian Skor ..................................................................................... 1. Analisis koefisien determinasi skor masing‐masing peubah dan kepadatan hotspot ........................................................................... 2. Kepadatan hotspot dan skor komposit model 1 M1 (X1,X6 dan X7)
33 33 37 37 39 41 42 45 47 50 52 54 54 60
i
D. E. F. G.
3. Kepadatan hotspot dan skor komposit model 2 M2 (X1,X6,X7, dan X8) .............................................................................................. 4. Kepadatan hotspot dan skor komposit model 3 M3 (X1, X3, X4, X6, X7 dan X8) ...................................................................................... 5. Kepadatan hotspot dan skor komposit berdasarkan skor aktual .... Validasi Model ...................................................................................... Uji Akurasi Model. ................................................................................ Implementasi Model ............................................................................ Kerusakan Area Bekas Kebakaran .........................................................
V. SIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. LAMPIRAN .............................................................................................................
62 64 65 67 69 70 75 78 79 83
ii
DAFTAR TABEL No. Teks Halaman 1. Pengkelasan faktor yang akan digunakan dalam menyusun model ............. 27 2.
Selang nilai yang digunakan untuk membuat kelas kerawanan kebakaran hutan dan lahan ........................................................................... 28
3.
Pola pengolahan lahan petani di Kalimantan Tengah. .................................. 35
4.
Kepadatan hotspot pada berbagai tipe tutupan lahan ................................. 38
5.
Kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap jaringan sungai .............. 34
6.
Kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap jaringan jalan ............... 41
7.
Kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap pusat desa ..................... 44
8
Kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap pusat kota ..................... 46
9.
Kepadatan hotspot pada berbagai jarak berbagai jenis penggunaan kawasan .................................................................................. 48
10. Kepadatan hotspot pada berbagai jarak tipe tanah .................................... 51 11 Kepadatan hotspot pada berbagai sistem lahan. .......................................... 52 12. Nilai koefisien dan bobot faktor penyusun skor komposit model ............. 61 13. Nilai koefisien dan bobot faktor penyusun skor komposit model 2 ............. 62 14. Nilai koefisien dan bobot faktor penyusun skor komposit model 3 ............. 67 15. Model hubungan antara skor komposit beberapa faktor dan tingkat kepadatan hotspot ........................................................................... 68 16. Hasil uji z‐Test: Two Sample for Means untuk model 2 ................................ 68 17. Hasil uji z‐Test: Two Sample for Means untuk model 3 ................................ 59 18. Hasil uji z‐Test: Two Sample for Means untuk model 2 dan model 3 ........... 69 19. Matrik koinsidensi model terpilih dan hasil observasi ................................. 70
iii
DAFTAR GAMBAR No. Teks Halaman 1. Kerangka pemikiran ......................................................................................... 5 2. Tahapan pengolahan data ............................................................................... 24 3. Pengelompokan kondisi pohon di area bekas terbakar ke dalam :
(a) pohon mati komersial (a) pohon mati komersial, (b). pohon hidup, (c) pohon hidup merana, dan (d) pohon mati hangus ........................ 26
4. Perbandingan jumlah hotspot di Indonesia tahun 2002). ............................... 33 5. Sebaran hospot pada bulan Oktober 2002 di propinsi Kalimantan Tengah . ....................................................................................................... 34 6. Diagram kepadatan penduduk di Kalimantan Tengah menurut wilayah kabupaten . ........................................................................................ 35 7. Diagram prosentase penduduk di Kalimantan Tengah menurut profesinya di di wilayah eks PLG ...................................................................... 36 8 Pubungan antara jumlah curah hujan dan jumlah hotspot ............................ 37 9. Diagram kepadatan hotspot pada berbagai tipe tutupan lahan). ................... 39 10. Diagram kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap jaringan sungai. ....................................................................................................... 40 11. Diagram kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap jaringan jalan. ....................................................................................................... 42 12. Pola jumlah hotspot per km2 pada berbagai jarak terhadap pusat desa/pemukiman). ........................................................................................... 44 13. Pola sebaran hotspot pada berbagai jarak terhadap pusat kota kecamatan. ...................................................................................................... 48 14. Sebaran jumlah hotspot pada berbagai fungsi kawasan ................................. 49 15. Area yang terbakar dengan tutupan lahan didominasi alang‐alang ............... 50 16. Diagram jumlah hotspot pada tipe tanah gambut dan non gambut .............. 50 17. Diagram kepadatan hotspot pada berbagai tipe sistem lahan ....................... 53 18. Pola sebaran hotspot pada berbagai tipe sistem lahan .................................. 54 19. Diagram pencar skor tipe tutupan lahan terhadap jumlah hotspot per km2 ............................................................................................................. 55 20. Diagram pencar skor jarak terhadap jaringan sungai terhadap jumlah hotspot per km2 ................................................................................... 55 21. Diagram pencar skor jarak terhadap jaringan jalan terhadap jumlah hotspot per km2 ............................................................................................... 56 iv
22. Hubungan antara nilai kepadatan hotspot per km2 dengan skor jarak terhadap pusat desa ........................................................................................ 57 23. Hubungan antara nilai kepadatan hotspot per km2 dengan skor jarak terhadap pusat kota km2 ................................................................................. 58 24. Hubungan antara nilai kepadatan hotspot per km2 dengan skor fungsi kawasan ................................................................................................. 59 25. Hubungan antara skor masing‐masing tipe tanah dan tingkat kepadatan hotspot ........................................................................................... 59 26. Hubungan antara skor masing‐masing tipe sistem lahan dan kepadatan hotspot per km2 ............................................................................. 60 27. Hubungan antara skor komposit (X1, X6 dan X8) dengan tingkat kepadatan hotspot per km2 ............................................................................. 61 28. Hubungan antara skor komposit (X1,X6,X7 dan X8) dan tingkat kepadatan hotspot per km2 ............................................................................. 64 29. Hubungan antara skor komposit (X1,X6, X3,X4,X7,dan X8) dan tingkat kepadatan hotspot per km2 ................................................................. 65 30. Hubungan antara skor komposit (X1,X6,X7 dan X8) dan tingkat kepadatan hotspot per km2 (skor aktual) ........................................................ 66 31. Hubungan antara skor komposit (X1,X6, X3,X4,X7,dan X8) dan tingkat kepadatan hotspot per km2 (skor aktual) ............................................ 67 32. Peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan wilayah Kalimantan Tengah (5 kelas) ............................................................................ 71 33. Peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan wilayah Kalimantan Tengah (3 kelas) ............................................................................ 73 34. Kondisi tutupan lahan di area bekas terbakar pada area dengan tingkat kerawanan sangat tinggi sekali ........................................................... 74 35 Kondisi area bekas terbakar di area bekas kebakaran (a). Pohon terbakar bertunas kembali (hidup merana), dan (b) . Pohon mati hangus ....................................................................................................... 75 36. Hubungan antara persentase pohon hidup sehat di area bekas kebakaran dengan jumlah hotspot .................................................................. 76 37. Peta tingkat kerusakan tegakan hasil analisis data lapangan ......................... 77
v
DAFTAR LAMPIRAN No.
Teks
1. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor tipe tutupan lahan .................... 83 2. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor jarak terhadap sungai ................ 84 3. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor jarak terhadap jaringan jalan .................................................................................................................. 85 4. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor jarak terhadap pusat desa .................................................................................................................. 86 5. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor jarak terhadap pusat desa .................................................................................................................. 88 6. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor fungsi kawasan .......................... 90 7. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor tipe tanah .................................. 91 8. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor tipe sistem lahan ....................... 92 9. Data hasil pengukuran vegetasi di area bekas terbakar .................................. 93
vi
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kejadian kebakaran hutan di Indonesia telah menarik perhatian masyarakat internasional karena dampak terhadap lingkungan, sosial dan ekonomi yang ditimbulkan oleh kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Kebakaran hutan dan lahan berdampak negatif terhadap pembangunan daerah dan nasional, juga berpengaruh langsung terhadap kanekaragaman hayati, mata pencaharian dan kesehatan masyarakat setempat. Dampak negatif juga menimpa infrastruktur transportasi dan industri. Kebakaran hutan dan lahan yang hebat di Indonesia pada tahun 1981/1982 terjadi di Kalimantan Timur yang mencapai luas 3,6 juta Ha (Suratmo et al 2003). Menurut PHPA‐JICA 1998 dalam Suratmo 2003 dalam kurun waktu tahun 1985‐1990 luas kebakaran hutan di Indonesia berkisar antara 25.000 dan 50.000 Ha per tahun. Kebakaran yang merusakkan area cukup luas terjadi lagi pada tahun 1991 yang mencapai 118.831 Ha, tahun 1994 seluas 161.798 Ha, dan yang lebih luas lagi pada tahun 1997‐1998 mencapai 9.655.000 Ha Bappenas (1999) dalam Ganz (2002) Menurut data Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dalam Statistik Kehutanan tahun 2006, luas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 berturut‐turut adalah 7.089,95 Ha, 4.868,78 Ha 13.742,01 dan 55.933,55 Ha. Luas kebakaran cenderung naik dari tahun 2003 sampai tahun 2006. Berdasarkan data hotspot satelit NOAA 12 dari JICA tahun 2002 sampai tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah titik panas di Indonesia mencapai puncaknya pada bulan Juli, Agustus, September dan Oktober. Sedangkan berdasarkan penyebarannya, jumlah hotspot paling tinggi tahun 2002‐2006 berada di Kalimantan dan Sumatera. Di wilayah Kalimantan, jumlah titik panas terbanyak kurun waktu tahun 2002‐2006 terdapat di Kalimantan Tengah yang
1
diikuti oleh Kalimantan Barat, sedangkan di pulau Sumatera terbanyak berada di propinsi Sumatera Selatan dan Riau. Kebakaran hutan dan lahan berdampak negatif terhadap sosial ekonomi, dimana diperkirakan kerugian yang ditimbulkan kebakaran tahun 1997‐1998 berkisar US$ 8.7 juta sampai US$ 9.6 juta. Menurut WWF dalam Suratmo 2003 kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan tahun 1997 mencapai 4.5 juta dollar AS. Kebakaran hutan dan lahan juga menambah volume gas rumah kaca. Emisi gas rumah kaca diperkirakan berasal dari lebih dari 12 juta Ha hutan yang terbakar di Sumatera, Kalimantan, Brasilia dan Meksiko (Murdiyarso dan Adiningsih, 2006) dan diperkirakan Indonesia berkontribusi sekitar 1.45 Gt C ke atmosfer pada tahun itu. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tahun 1997/1998 mengeluarkan emisi gas yang menyebabkan efek rumah kaca lebih dari 700 milliar metrik ton CO2 ke atmosfer. Kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah tahun 1997 ini telah menghilangkan lapisan gambut setebal 35‐70 cm (Jaya et al 2000) berakibat atas kestabilan lingkungan, karena kehilangan lapisan gambut setebal itu setara dengan pelepasan karbon (C) sebanyak 0,2–0,6 Gt (Siegert, 2002). Kebakaran tahun 2006 juga menimbulkan asap, yang berimplikasi pada tertundanya penerbangan dan kegiatan pariwisata. Greenomic (2006) memperkirakan potensi kerugian di bidang penerbangan dan pariwisata akibta kebakaran sebesar 4,89 miliar rupiah.
Dari segi kesehatan kebakaran hutan mengakibatkan gangguan pada kesehatan diantaranya adalah adanya gas toksik seperti CO, O3, NO2, hydrocarbons, aldehydes, particles and polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) Gas‐gas ini diketahui dapat menyebabkan infeksi saluran pernafasan akut. Masyarakat juga kekurangan mata pencaharian akibat hilangnya sumberdaya hutan dan sumberdaya hayati lainnya.
2
Diperlukan usaha‐usaha untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan untuk menghindari berbagai dampak negatif yang telah diketahui menimbulkan kerugian yang sangat besar baik dalam bidang sosial, ekonomi dan ekologi melalui pendekatan berbagai faktor penyebab dan pendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Tindakan pencegahan merupakan komponen terpenting dari seluruh sistem penanggulangan bencana termasuk kebakaran. Bila pencegahan dilaksanakan dengan baik, seluruh bencana kebakaran dapat diminimalkan atau bahkan dihindarkan. Pencegahan kebakaran diarahkan untuk meminimalkan atau menghilangkan sumber api di lapangan. Salah satu usaha untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah melalui pengembangan sistem peringatan dini akan bahaya kebakaran. Sistem peringatan dini akan lebih memberikan informasi jika dilengkapi dengan data spasial. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka usaha pencegahan kebakaran hutan merupakan langkah pertama dalam pengurangan kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh kebakaran. Salah satu usaha untuk melakukan pencegahan kebakaran hutan diantaranya adalah melalui sistem peringatan dini. Sistem peringatan dini yang dapat digunakan antara lain peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan. Pengetahuan tentang tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan suatu wilayah sangat penting bagi keberhasilan kegiatan pencegahan kebakaran hutan. Tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan dapat dibuat dengan menggunakan pemodelan hubungan antara kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan faktor‐faktor yang mempengaruhinya. Karena faktor‐faktor tersebut sebagian besar bereferensi keruangan, maka pemodelan ini dapat didekati dan dibangun dalam suatu sistem informasi geografis. Kebakaran hutan dan lahan akan terjadi jika 3 kondisi sebagai syarat terjadinya kebakaran tersedia yaitu bahan bakar (biomass), dryness (kekeringan)
3
dan faktor pemicunya. Oleh karenanya pemahaman perilaku kebakaran sangat diperlukan dalam rangka menyusun rencana dan usaha pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Perilaku kebakaran merupakan hasil interaksi dari faktor lingkungan dimana api menyala yang dinyatakan dalam konsep lingkungan api. Tiga unsur kebakaran yang menyusun segitiga api yaitu bahan bakar, oksigen atau udara dan sumber panas merupakan unsur yang saling terkait. Pelemahan satu unsur akan mengurangi peluang terjadinya penyalaan api. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kebakaran hutan di Indonesia diduga lebih banyak disebabkan oleh aktivitas manusia dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh kejadian alam. Menurut Saharjo dan Husaeni (1998) dalam Soewarso (2003), kebakaran yang disebabkan proses alam sangat kecil dan sebagai contoh untuk kasus Kalimantan kurang dari 1%. Walaupun demikian, belum diketahui dengan pasti faktor‐faktor apa saja yang signifikan sebagai pemicu kebakaran hutan dan lahan khususnya di Indonesia baik dari segi manusia maupun lingkungan fisiknya. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini mencoba untuk menjawab permasalahan antara lain: - Faktor‐faktor apa saja yang menjadi faktor utama yang memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan ? - Bagaimana kondisi tegakan di areal bekas kebakaran hutan dan lahan ? C. Kerangka Pemikiran Kondisi hutan dan lahan Indonesia rentan terhadap bahaya kebakaran terutama yang disebabkan oleh berbagai aktivitas di dalam hutan dan lahan, sehingga perlu usaha‐usaha pencegahan untuk mengurangi dan mencegah terjadinya kebakaran hutan. Walaupun sudah dilakukan namun pelaksanaannya di lapangan belum efektif dalam mengurangi kejadian kebakaran hutan dan lahan.
4
Faktor Alam
Faktor manusia
Data Spasial
Data atribut
Fire risk
Fire behaviour
Kebakaran Hutan
meminimalkan
Cara pencegahan/ peringatan dinin
Kerugian ekonomi, kerusakan lingkungan
Tindakan pencegahan
perlu
Prediksi kebakaran/ pemodelan
Faktor paling berpengaruh
Gambar 1. Diagram kerangka pemikiran. Bagian penting dalam usaha pencegahan kebakaran hutan dan lahan diantaranya adalah melakukan analisis tingkat resiko serta penyebab kebakaran hutan dan lahan. Dalam usaha pencegahan kebakaran hutan dan lahan akan sangat berguna jika disajikan juga data dan informasi tentang penyebab utama kebakaran, kerawanan suatu lokasi dan lokasi yang harus dilindungi. Informasi umum yang harus dimuat dalam petunjuk pencegahan kebakaran diantaranya adalah peta kejadian kebakaran, statistik kebakaran, peta tingkat kerawanan kabakaran, peta bahaya kebakaran dan peta kerja. Kebakaran hutan dan lahan tidak akan terjadi jika ketiga unsur dalam segitiga api tidak berinteraksi. Interaksi antar unsur‐unsur kebakaran akan lebih cepat dan lebih sering jika ada faktor‐faktor penyebabnya. Dari Gambar 1 dapat dijelaskan bahwa kejadian kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi antara lain oleh faktor cuaca, faktor biofisik dan faktor manusia. Faktor biofisik yang dapat mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan antara lain tipe tutupan lahan, tipe sistem lahan, dan tipe tanah; sedangkan faktor manusia yang mempengaruhi
5
adalah aktivitas masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya jaringan jalan, jaringan sungai, pusat pemukiman dan lahan‐lahan budidaya. Faktor tipe tutupan lahan diduga sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan dalam hubungannya dengan ketersediaan bahan bakar. Tipe tutupan lahan yang berbeda menentukan sifat‐ karakteristik dan volume potensi bahan bakar. Tipe sistem lahan dan tipe tanah menjadi salah satu faktor penentu tingkat resiko kebakaran hutan dan lahan karena tipe sistem lahan dan tipe tanah menentukan karakteristik penyusun tanah. Pada tipe tanah dan sistem lahan yang berbeda, mengandung kadar bahan organik yang berbeda di mana bahan organik ini dapat memberikan pengaruh pada tingkat resiko kebakaran hutan dan lahan yang berbeda Faktor manusia yang mempengaruhi kejadian kebakaran hutan dan lahan berkaitan dengan aktivitas manusia. Jaringan jalan diduga berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan, karena jaringan jalan merupakan sarana bagi manusia untuk mendatangi suatu kawasan hutan atau lahan. Demikian juga dengan jaringan sungai juga menjadi salah satu prasarana transportasi khususnya di Kalimantan Tengah. Jika manusia memasuki suatu lahan tertentu, dapat diduga bahwa peluang terjadinya kebakaran lebih tinggi dibandingkan dengan jika tidak ada aktivitas manusia. Pusat‐pusat pemukiman baik berupa desa maupun kota menjadi salah satu faktor yang diduga mempengaruhi tingkat resiko kebakaran hutan dan lahan. Penduduk yang tinggal di pusat‐pusat pemukiman akan memanfaatkan sumberdaya alam yang berada pada lahan yang lebih mudah dijangkau dari tempat tinggal mereka. Penggunaan lahan‐lahan di sekitar pusat pemukiman ini diduga dapat memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan, sehingga pada area yang lebih dekat dengan pusat pemukiman peluang terjadinya kebakaran hutan dan lahan akan lebih tinggi. Faktor manusia lainnya yang mempengaruhi kejadian kebakaran hutan dan lahan adalah fungsi kawasan. Penetapan kawasan yang berfungsi lindung
6
menyebabkan masyarakat tidak akan memasuki kawasan tersebut karena adanya sanksi‐sanksi jika melakukan pemanfaatan lahan di kawasan yag dilindungi. Sedangkan penetapan kawasan sebagai kawasan produksi dan pengembangan budidaya menyebabkan masyarakat memasuki kawasan ini, sehingga peluang terjadinya kebakaran hutan dan lahan diduga akan lebih tinggi dibandingkan di kawasan yang dilindungi. Identifikasi dan analisis dilakukan terhadap faktor‐faktor tersebut, sehingga dapat ditemukan faktor‐faktor mana yang paling berpengaruh terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Faktor‐faktor ini akan digunakan untuk menyusun model penduga tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan yang dapat digunakan dalam penyusunan sistem peringatan dini. Jika sistem peringatan dini ini dapat dijalankan secara effektif dan benar maka pencegahan kebakaran hutan dan lahan dapat berhasil. Keberhasilan pencegahan kebakaran hutan dan lahan dapat dinilai dari penurunan kejadian kebakaran, dan pengurangan dampak akibat kebakaran.
Oleh karena itu penelitian ini akan mengkaji faktor yang diduga sebagai
faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan yaitu faktor alam dan faktor manusia yaitu aktivitas masyarakat termasuk aksesibilitasnya. Kebakaran hutan dan lahan dalam penelitian ini dijadikan sebagai peubah respon. Analisis spasial maupun stastistik dari komponen prediktor diharapkan mampu mendapatkan beberapa faktor utama yang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan sehingga akan diperoleh model spasial kerawanan kebakaran hutan dan lahan sebagai masukan untuk melengkapi berbagai peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pemerintah dalam menanggulangi dan mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan khususnya di Kalimantan Tengah.
7
D. Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah mendapatkan faktor‐faktor utama penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Di samping tujuan utama tersebut terdapat beberapa tujuan tambahan yaitu : a. Mendapatkan hubungan antara kondisi penggunaan lahan yang direpresentasikan oleh penutupan lahan dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan b. Mengidentifikasi hubungan curah hujan dan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan c. Mendapatkan tingkat kerusakan tegakan di area bekas kebakaran hutan dan lahan E. Manfaat Penelitian Manfaat yang akan diperoleh melalui identifikasi dan penemuan faktor‐ faktor utama penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan di wilayah penelitian antara lain : •
Bahan masukan dalam upaya penyusunan sistem informasi pengendalian, khususnya pencegahan kebakaran hutan dan lahan di wilayah penelitian
•
Menambah informasi sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan lahan di wilayah penelitian
8
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan didefinisikan sebagai proses reaksi cepat oksigen dan unsur‐unsur lainnya, dan ditandai dengan panas, cahaya serta biasanya menyala. Proses kebakarannya menyebar bebas dengan mengkonsumsi bahan bakar berupa vegetasi yang masih hidup maupun mati, serasah, humus, semak dan gulma (Brown dan Davis 1973). Penyebab utama kebakaran hutan yang disebutkan adalah konversi ke penggunaan lahan lain (terutama pertanian), hama dan penyakit, kebakaran, over eksploitasi hasil hutan (kayu industri, kayu bakar), praktek pemanenan yang buruk, penggembalaan berlebih, polusi udara dan badai (FAO 2001). Dalam dua puluh tahun terakhir, kebakaran telah menjadi salah satu ancaman terbesar bagi hutan hujan tropis terutama di Indonesia. Kebakaran merupakan hal yang sering terjadi di Pulau Kalimantan dan Sumatra, membakar areal dengan luas terbesar pada tahun 1986, 1991, 1994 dan 1997. Kondisi tersebut diperparah oleh fenomena El Nino tahun 1997/1998, kebakaran tak terkendali telah menghancurkan areal sangat luas dari hutan hujan dan semak belukar di Indonesia. Kerugian ekonomi dan kerusakan ekologis begitu luar biasa (IFFM/GTZ 1998 dalam Sunuprapto 2000). Hutan hujan Indonesia terbakar karena beberapa faktor yang saling berhubungan yang berkaitan dengan manusia dan alam. Kemungkinan terbakarnya suatu hutan bergantung pada tingkat bahaya dan resiko api. Bahaya api adalah ukuran tentang jumlah, jenis dan kekeringan bahan bakar potensial yang ada di hutan. Tingkat resiko api umumnya berhubungan dengan tindakan manusia, seperti melakukan pembakaran di dekat hutan saat bahaya kebakaran tinggi (Glover dan Jessup 2002).
Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab utama deforestasi di
berbagai negara. Banyak penelitian yang menelaah faktor‐faktor yang
9
berpengaruh dalam proses kebakaran hutan. Upaya pencegahan kebakaran hutan telah mulai menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG digunakan untuk menghasilkan model yang dapat menunjukkan zona kerawanan kebakaran hutan. Pencegahan kebakaran hutan merupakan langkah yang harus diambil guna mencegah kerusakan hutan lebih lanjut. Informasi mengenai daerah rawan kebakaran hutan menjadi sangat penting bagi pengelola hutan. Model spasial yang menunjukkan daerah dengan tingkat kerawanan akan kebakaran hutan yang berbeda dapat menjadi salah satu masukan bagi upaya pencegahan kebakaran hutan. B. Faktor‐faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan 1. Faktor aktivitas manusia Penyebab kebakaran hutan di Indonesia umumnya adalah manusia baik sengaja maupun karena unsur kelalaian, dimana kegiatan konversi menyumbang 34 %, peladang liar 25 %, pertanian 17 %, kecemburuan social 14 %, proyek transmigrasi 8 % dan hanya 1 % yang disebabkan oleh alam (Dephut, 2003). Boonyanuphap (2001) menyatakan bahwa pemukiman merupakan faktor aktivitas manusia yang paling signifikan menentukan resiko kebakaran hutan dan lahan selain jaringan jalan, jaringan sungai, dan penggunaan lahan. Faktor aktivitas manusia sekitar hutan berpengaruh nyata terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan korelasi positip, yaitu pengeluaran rumah tangga, dan kegiatan masyarakat di dalam kawasan hutan (Soewarso 2003). Meningkatnya akses manusia ke dalam kawasan hutan meningkatkan kemungkinan terjadinya pembalakan liar, pembukaan lahan dengan pembakaran. Kebakaran yang dilakukan oleh masyarakat dilatarbelakangi oleh faktor sosial ekonomi. Faktor ini sangat erat hubungannya dengan konsep 10
penggunaan lahan oleh masyarakat, dimana masyarakat yang luas lahannya kecil/tidak memiliki lahan akan berupaya membuka lahan baru atau ikut kerjasama dengan masyarakat pendatang dalam bentuk kelompok tani, yayasan, atau koperasi (Pratondo 2007). Beberapa aktivitas masyarakat tradisional seperti sistem budidaya padi sonor (dimana padi ditanam pada lahan‐lahan gambut yang sengaja dibakar pada musim kemarau), diduga menjadi sumber pemicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan (PFFSEA 2003). Demikian juga pembukaan lahan oleh petani hutan bertujuan untuk membuka ladang baru atau memperluas lahan miliknya yang penyiapan lahannya dilakukan dengan sistem tebas, tebang dan membakar. Semak merupakan area dengan kemungkinan aktivitas peladang berpindah. Pada umumnya mereka membuat sekat bakar, melakukan pembakaran balik, menjaga nyala api sampai padam. Hardjanto (1998) menyatakan bahwa pembakaran dilakukan oleh petani untuk menambah kesuburan dan biasanya satu keluarga hanya mampu membakar ladang seluas 1 ha. Pembukaan lahan juga dilakukan oleh perambah hutan, namun tujuannya adalah untuk mencari kayu. Perambahan hutan pada umumnya dilakukan di area milik perusahaan (Pratondo 2007). Kebakaran akan semakin luas dengan bertambahnya pendatang baru yang akan membuka ladang dengan pembakaran. Pratondo (2007) menyatakan bahwa masyarakat maupun pengembang berupaya mengkonversi hutan secara besar‐besaran. Di Kalimantan Barat menurut dia, penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah kegiatan pembukaan lahan secara besar‐besaran untuk kelapa sawit, dimana setelah IUPHHK memanen kayu komersial, maka selanjutnya terjadi perubahan status lahan dari hutan menjadi perkebunan sawit atau IUPHHK HT. Dalam penyiapan lahannya mereka menggunakan api untuk membersihkan bahan bakar yang terdapat di atas permukaan tanah. Berdasarkan studi Bappedalda Kaltim tahun 1998 menunjukkan bahwa sebesar 22 % kebakaran disebabkan 11
oleh Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) sedangkan sebesar 41 % oleh Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK HT). 2. Faktor lingkungan biofisik (a). Karakteristik bahan bakar Karakteristik bahan bakar di hutan tropis bervariasi antara tempat dan waktu. Hutan gambut berkayu merupakan bahan bakar yang baik karena mengandung nilai kalor yang sangat tinggi atau kapasitas panas tinggi. Pembangunan HTI dengan spesies eksotis seperti Acacia mangium, Gmelina arborea atau Eucalyptus spp. bisa menyumbangkan tingkat resiko bahaya kebakaran, khususnya selama musim kering karena akan ada muatan bahan bakar yang tinggi di lantai hutan. Brown dan Davis, (1973) dan Chandler (1983) menyebutkan bahwa terdapat 3 tipe bahan bakar yaitu (1) bahan bakar bawah terdiri atas duff, akar, dan gambut; (2) bahan bakar permukaan terdiri atas serasah, ranting, kulit kayu dan cabang pohon yang semua belum terurai, termasuk juga rumput, tumbuhan bawah, anakan dan semai; (3) bahan bakar tajuk terdiri atas bahan bakar hidup ataupun yang sudah mati berada di atas dan menutupi kanopi menyebar dari tanah dengan tinggi 1,2 meter. Wright dan Bailey (1982) menyatakan bahwa jenis bahan bakar semak dan anakan, penutup tanah serta serasah merupakan bahan bakar halus yang sangat mudah menyala. Demikian juga cabang yang mati dan sisa tebangan adalah bahan bakar potensial dan mudah menyala sehingga dalam jumlah banyak dapat menyebabkan area kebakaran yang sangat luas. Makin kecil ukuran bahan bakar, maka proses transfer panas melalui radiasi, konveksi dan konduksi dari titik yang sedang terbakar ke bahan yang belum terbakar dapat berlangsung bersamaan sehingga suhu penyalaan cepat tercapai (Davis 1959).
12
Menurut Clar dan Chatten (1954) ada beberapa hal yang mempengaruhi kebakaran yaitu : 1. Ukuran bahan bakar, bahan bakar yang halus lebih cepat kering dan lebih mudah terbakar sedangkan bahan bakar kasar lebih sulit terbakar 2. Susunan bahan bakar, bahan bakar yang menyebar secara horizontal mempercepat meluasnya kebakaran 3. Volume bahan bakar, bahan bakar dalam jumlah besar akan memperbesar nyala api, temperatur tinggi dan sulit dipadamkan 4. Kerapatan bahan bakar, kayu akan terbakar dengan baik pada kerapatan tinggi dan pada bila kerapatan rendah; sedangkan rumput akan lebih mudah terbakar pada saat kerapatan rendah dan berhenti bila kerapatan tinggi 5. Kadar air bahan bakar, bahan bakar yang banyak mengandung air lebih sulit terbakar Kadar air bahan bakar sebagai kandungan air pada partikel bahan bakar (Chandler et al. 1983, dan Pyne et al. 1996) adalah faktor yang mempengaruhi perilaku kebakaran hutan dan lahan. Selain itu kandungan air yang tinggi dari bahan bakar, memerlukan panas yang tinggi sebelum bahan bakar dibakar api sehingga tingkat kebakaran dan daya nyala bahan bakar akan berkurang. Kadar air bahan bakar berubah seiring dengan perubahan kondisi cuaca, baik musiman maupun selama periode waktu yang lebih pendek. Kadar air gambut (peat moisture) ditentukan ketebalan gambut. Kadar air gambut jauh lebih besar dibandingkan dengan kadar air tanah mineral. Kadar air gambut yang belum mengalami perombakan berkisar antara 500 % ‐ 1000 %, sedangkan kadar air gambut yang telah mengalami perombakan berkisar 200 % ‐ 600 % (Boelter, 1996 diacu dalam
13
Noor, 2001). Kemampuan gambut yang terbakar dalam memegang air turun sekitar 50 % (Rieley et al. 1996 dalam Noor 2001). (b). Tipe tanah Kejadian kebakaran hutan dan lahan di wilayah Kalimantan Tengah lebih banyak terjadi pada tipe tanah gambut (peat soil). Hutan gambut yang tumbuh di atas tanah tipe gambut adalah tipe hutan rawa gambut (peat swamp forest). Kejadian kebakaran hutan dan lahan di daerah bergambut pada umumnya dipengaruhi oleh kandungan air gambut, jumlahnya sesuai dengan curah hujan dikurangi dengan evapotranspirasi (Rahayu B. 1998), dan dipengaruhi oleh kondisi drainase (Kusmana et al. 2008). Selanjutnya Kusmana et al. 2008 juga menyatakan bahwa tanah gambut yang sudah terbuka dan dimanfaatkan cenderung padat, menjadi lebih kering sehingga mudah terbakar. Kebakaran di lahan gambut merupakan jenis kebakaran yang paling berbahaya bila dibandingkan dengan tipe kebakaran hutan yang lainnya yang sulit dideteksi dan dikendalikan. Kebakaran di tanah gambut menembus ke bawah lapisan tanah dan membentuk lubang corong, kemudian api menyebar di bawah permukaan secara horizontal (Syaufina 2002). Lebih lanjut Syaufina (2002) menjelaskan bahwa variasi iklim berperan penting dalam mempengaruhi kebakaran rawan gambut. Secara statistik, musim mempengaruhi kandungan air, bulk density, potassium, magnesium, sodium dan tinggi muka air. Kecenderungan peningkatan ditemui pada bulk density dan kandungan magnesium terjadi pada musim kemarau, di samping terjadi kecenderungan penurunan kadar air, potassium, sodium dan tinggi muka air. Menurut Harahap dan Hutagalung (1998), tanah gambut di Indonesia
pada
umumnya
merupakan
gambut
kayuan
dimana
pembentukannya berasal dari pohon dan semak belukar yang tertimbun di daerah yang umumnya tergenang air. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
14
berdasarkan kedalamannya gambut digolongkan ke dalam 3 kriteria yaitu gambut dangkal (0.6 – 1 m), gambut sedang (1‐2 m) dan gambut dalam (> 2 m). Sebagai contoh daerah Palangkaraya umumnya bergambut tipis (shallow peat) dengan lapisan pasir kwarsa di bawahnya (van Veen 1998). Tanah gambut memiliki daya penahan air yang sangat besar, dan akan menyusut serta menurun permukaannya bergantung pada sistem drainase. Gambut yang mengkerut tidak akan kembali lagi (irreversible drying) yang sangat mudah terbakar dan tererosi baik oleh air maupun angin. Susutnya air dalam gambut memunculkan sebagian besar sisa batang dan tunggul pohon, yang akan mudah terbakar. Kebakaran merambat sangat cepat dan sulit dideteksi karena merambat di bawah permukaan tanah (Syaufina 2004). Api pada kebakaran gambut tidak bergerak cepat tetapi dapat berlangsung berminggu‐minggu sampai sebulan atau lebih lama (de Bano et al. 1998). C. Kejadian Kebakaran Hutan dan Lahan 1. Hotspot
Kejadian kebakaran hutan dan lahan dapat diamati dengan
menggunakan teknik penginderaan jauh. Sensor yang paling luas dan banyak digunakan untuk mendeteksi kebakaran hutan dan lahan dalam jangka panjang dan dalam area yang luas adalah Advance Very High Resolution (AVHRR) yang terpasang pada satelit orbit polar NOAA AVHRR. Sensor AVHRR melakukan perekaman setiap hari pada resolusi sedang (1 km). Kisaran spektral yang dimiliki oleh NOAA AVHRR sangat luas yaitu dari visible (ch 1 0.66 um), near infra red mempunyai dua manfaat dalam monitoring kebakaran hutan dan lahan.
Di Indonesia terdapat tiga sumber penyedia data hot spot yaitu JICA
(Japan International Cooperation Agency), LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) dan ASMC (ASEAN Specialized Meteorology Center). 15
Perbedaan antara ketiga sumber tersebut terletak pada ambang batas (threshold) suhu terendah sehingga suatu hasil perekaman dapat dinyatakan sebagai sebuah hot spot (fire exist) Hidayat et al. (2003) menyebutkan bahwa LAPAN menggunakan threshold (suhu minimum) sebesar 322 o K. Sedangkan JICA menurut FFMP2 2004, memakai ambang batas suhu 315 o K pada siang hari dan 310 o K pada malam hari lebih rendah dibandingkan dengan ASMC yang memakai threshold sebesar 320 o K pada siang hari dan 314 o K pada malam hari. 2. Kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan
Dampak dari kejadian kebakaran hutan dan lahan adalah rusaknya
vegetasi yang tumbuh di area yang terbakar. Jaya dan Husaeni (1998) melakukan studi dampak kebakaran terhadap kerusakan tegakan di area HTI PT ITCI Kalimantan Timur, menemukan bahwa sebagian besar tegakan yang dikategorikan ke dalam kerusakan berat berada pada area bekas tebangan setelah 5 tahun. Kerusakan berat juga terjadi di area bekas tebangan 20 – 23 tahun yang lalu. Selanjutnya Jaya dan Husaeni (1998) mengkategorikan tingkat kerusakan tegakan bekas terbakar ke dalam 4 kelas yaitu : a. Kelas hutan terbakar ringan, yaitu area bekas kebakaran hutan dengan persentase pohon hidup yang sehat lebih besar dari 75 % b. Kelas hutan terbakar sedang, yaitu area bekas kebakaran hutan dengan persentase pohon hidup yang sehat berkisar 50 % ‐ 75 % c. Kelas hutan terbakar berat, yaitu area bekas kebakaran hutan dengan persentase pohon hidup yang sehat berkisar 25 % ‐ 50 % d. Kelas hutan terbakar sangat berat yaitu area bekas kebakaran hutan dengan persentase pohon hidup yang sehat kurang dari 75 %
16
D. Pemodelan Spasial 1. Sistem Informasi Geografis Sejarah penggunaan komputer untuk pemetaan dan analisis spasial menunjukkan adanya perkembangan bersifat paralel dalam pengambilan data secara otomatis, analisis data dan presentasi pada berbagai bidang terkait, seperti pemetaan kadastral dan topografi, kartografi tematik, teknik sipil, geografi, studi matematika dari variasi spasial, ilmu tanah, survei dan fotogrametri, perencanaan pedesaan dan perkotaan, utility networks, dan penginderaan jauh serta analisis citra (Burrough 1986). Burrough 1986 mengatakan bahwa SIG mempunyai tiga komponen penting, yaitu perangkat keras komputer, sekumpulan modul aplikasi perangkat lunak, dan konteks organisasi yang baik. Ketiganya harus dalam keseimbangan agar sistem berjalan memuaskan. Geographical Information System (GIS) disarankan sebagai alat yang cocok untuk memetakan distribusi data spasial dari bahaya kebakaran hutan. GIS dapat juga memadukan secara spasial beberapa peubah bahaya, seperti vegetasi, topografi dan sejarah kebakaran (Chuvieco and Salas 1993 dalam Sunuprapto 2000).
Informasi spasial merupakan input mendasar untuk lingkungan model
dalam ruang tertentu. GIS berkenaan dengan data spasial dan dapat digunakan dengan sejumlah aturan untuk memodelkan proses spasial. Beberapa model bahaya kebakaran hutan telah dikembangkan dengan memadukan peubah geografis resiko kebakaran kedalamnya. Chuevieco et al. 1999 dalam Sunuprapto 2000 menyebutkan beberapa peubah spasial yang telah luas digunakan untuk membangun kerawanan kebakaran hutan, peubah tersebut adalah: 1. Topografi (elevasi, slope, aspek dan iluminasi) 2. Vegetasi (tipe bahan bakar, kadar kelembaban)
17
3. Pola cuaca (suhu, kelembaban relatif, angin dan presipitasi) 4. Aksesibilitas terhadap jalan dan infrastruktur lain 5. Tipe kepemilikan lahan atau tipe penggunaan lahan 6. Jarak dari kota atau pemukiman 7. Tanah dan bahan bawah tanah 8. Sejarah kebakaran atau catatan kebakaran dan 9. Ketersediaan air Sistem informasi geografis (SIG) telah menjadi solusi bagi pengguna yang menginginkan kemudahan memasukkan data dan informasi keruangan, memadukan beberapa informasi menjadi keluaran informasi yang terpadu. Data dan informasi saat ini telah memungkinkan penyimpanan secara digital. 2. Pemodelan spasial Pemodelan spasial adalah proses manipulasi dan analisis data spasial atau geografis untuk membangkitkan informasi yang lebih berguna bagi pemecahan permasalahan yang komplek. Model spasial dapat digunakan untuk memprediksi berbagai fenomena alam karena beberapa alasan diantaranya : -
penemuan hubungan antar bentang alam geografis untuk pemahaman, dan mengkaitkan permasalahan utama
-
pendefinisian masalah jelas dan logis
-
penyediaan kerangka pemahaman proses di dunia nyata
-
simulasi untuk mengekstrak informasi yang tidak mungkin dan terlalu mahal untuk diukur Pemodelan (modelling) juga menjadi salah satu alternatif aplikasi bagi
pengelolaan sumberdaya alam. Pemodelan memungkinkan seseorang untuk melakukan prediksi terhadap suatu fenomena yang menjadi perhatiannya, contohnya model yang memberi informasi mengenai tingkat kerawanan kawasan terhadap bencana alam.
18
Geographical Information System (GIS) disarankan sebagai alat yang cocok untuk memetakan distribusi data spasial dari bahaya kebakaran hutan. GIS dapat juga memadukan secara spasial beberapa peubah bahaya, seperti vegetasi, topografi dan sejarah kebakaran (Chuvieco and Salas 1993 dalam Sunuprapto 2000).
Informasi spasial merupakan input mendasar untuk lingkungan model
dalam ruang tertentu. GIS berkenaan dengan data spasial dan dapat digunakan dengan sejumlah aturan untuk memodelkan proses spasial. Beberapa model bahaya kebakaran hutan telah dikembangkan dengan memadukan peubah geografis resiko kebakaran kedalamnya. Pemodelan digunakan dalam beberapa cara dan beberapa arti. Sebagai representasi beberapa bagian dari kondisi nyata di permukaan bumi dapat dipertimbangkan menggunakan sebuah model bagi bagian bumi tersebut. Keterwakilan tersebut akan memiliki karakteristik yang umum dengan kondisi nyata bumi (de By 2001). Sebuah model merupakan penyederhanaan fenomena‐fenomena yang terjadi di bumi. Sebuah model yang baik harus memiliki kemampuan untuk memprediksi keluaran dari sebuah input. Model‐model adalah penyederhanaan bagi realita yang merepresentasikan atau menggambarkan bagian terpenting elemen‐elemen dan interaksinya. Proses pemodelan bertujuan pada peningkatan pemahaman dan perkiraan pengaruh proses‐proses alam dan sosial ekonomi dan interaksinya. Model mendiskripsikan perilkau sebuah fenomena yang direpresentasikan oleh lapangan, jejaring dan agen individu dengan berbagai tipe interaksi spasial pada tingkat lokal, regional dan global. Beberapa penelitian tentang tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan telah dilakukan di Sumatera dan Kalimantan. Di Sumatera Selatan, Sunuprapto (2000) telah memformulasikan model regresi linear ganda berbasis keruangan yang menyatakan hubungan antara intensitas kebakaran hutan dan lahan dengan peubah‐peubah penduganya yaitu : Intensitas kerusakan kebakaran = ‐0,709 + 0,206 (penutupan lahan) + 0,02531 (penggunaan lahan) + 0,160 (tipe tanah) + 0,0000001881 (jarak dari rel) – 0,00001769 (jarak dari
19
sungai) + 0,00004779 (jarak dari pemukiman). Selain itu dia juga berhasil menyusun model penduga area terbakar dengan menggunakan persamaan regresi logistik (logistics regression) yaitu : log (ODDS) area terbakar = ‐18,03 + 1,6848 (penutupan lahan) + 0,9784 (penggunaan lahan) + 2,3129 (tipe tanah) + 0,0003 (jarak dari rel) – 0,0002 (jarak dari kanal) + 0,0003 (jarak dari pemukiman). Faktor lingkungan fisik dan aktivitas manusia merupakan dua kelompok utama faktor resiko kebakaran hutan dan lahan. Pusat perkampungan, jaringan jalan, jaringan sungai, tipe vegetasi dan penutupan lahan merupakan faktor manusia yang mempengaruhi tingkat resiko kebakaran hutan dan lahan (Boonyanuphap 2001). Lapan (2004) berhasil memetakan kelas kebakaran hutan dari yang sulit terbakar sehingga sangat mudah terbakar yaitu kelas kerawanan kebakaran sangat rendah, rendah, sedang, agak tinggi, tinggi dan sangat tinggi berdasarkan kriteria dan bobot tertentu terhadap faktor‐faktor penyebabnya. Faktor aktivitas masyarakat sekitar hutan yang berpengaruh nyata terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan korelasi positip adalah kegiatan masyarakat di dalam kawasan hutan (Soewarso 2003). Purnama dan Jaya (2007) dalam penelitiannya di propinsi Riau menyatakan bahwa peubah aktivitas manusia berupa penggunaan lahan memiliki bobot lebih tinggi (53,8 %) dibandingkan dengan bobot jarak dari pusat penduduk (5,4 %), jarak terhadap jaringan jalan (16,1 %), dan jarak terhadap jaringan sungai (24,7 %). Model kerawanan kebakaran hutan dan lahan yang disusun adalah skor kerawanan kebakaran = (0,514 (0,054 JPP+0,161 JJL+0,247 JSN + 0,538 PGL))+(0,486(0,476 CH + 0,202 NDVI + 0,322 NDWI)). Berdasarkan hasil kajiannya di Riau, Hadi 2006 menyatakan bahwa dalam penentuan kelas kerawasan kebakaran di lahan gambut Riau faktor infrastruktur lebih besar peranannya dibandingkan dengan faktor lingkungan. Persamaan model penduga tingkat kerawanan kebakaran hutan dengan metode regresi linear di Bengkalis yang diajukan oleh Hadi 2006 adalah V = {0,345 [(0,25 x1) + (0,25*x2) + (0,25*x3)] + 0,658*(0,25y1) dimana x1: skor sub faktor sub faktor 20
ketebalan gambut, x2: skor sub faktor sub faktor tipe tutupan lahan dan vegetasi, x3: skor sub faktor sub faktor tingkat kehijauan dan y1: skor sub faktor sub faktor jarak jalan ; dengan validasi 85 %. Disamping model di atas, peluang kebakaran hutan dan lahan daerah kabupaten Bengkalis juga dimodelkan oleh Thoha (2006) dengan metode regresi logistik menghasilkan formula log(ODDS) peluang kebakaran hutan = ‐0,47426 + 0,0015784 (curah hujan) – 0,0050383 (ketebalan gambut) – 3,8829293 (NDVI) – 0,000895 (jarak dari sungai) ‐ 0,0000233 (jarak dari HPH/HTI) – 0,0000191 (jarak dari perkebunan) + 0,0000322 (jarak dari lahan pertanian) dengan nilai akurasi 69,5 %. Arianti (2006) menyatakan bahwa dalam kejadian kebakaran hutan dan lahan faktor manusia lebih dominan dibandingkan dengan faktor biofisik. Lebih lanjut dia menyatakan bahwa di sub das Kapuas Propinsi Kalimantan Barat model terbaik untuk menentukan tingkat kerawanan dan lahan menggunakan metode CMA yaitu TKB (tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan) = [(a(0,54 (NDVI) + 0,40 * (NDVI wetness index) + 0,06 (curah hujan)) + (b(0,22*(jarak sungai) + 0,24*(jarak jalan) + 0,27 (jarak pemukiman) + 0.27 tutupan lahan))]; dimana “a” adalah bobot makro faktor biofisik, dan “b” adalah bobot makro aktivias manusia. Mutaqin 2008 berhasil menyusun model peluang kebakaran gambut dan kebakaran non gambut gambut di Propinsi Kalimantan Tengah menggunakan metode regresi linear untuk memetakan daerah kerawanan kebakaran. Model skor peluang kebakaran hutan dan lahan di daerah gambut diformulakan dengan: (skor penutupan lahan x (‐2,947)) + (skor buffer jalan x 0,713)) dengan koefisien determinasi 56 % dan (skor penutupan lahan x 0,013) + (skor buffer jalan x 10,850) dengan koefisien determinasi 72 %. 3. Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan Tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan merupakan suatu terminologi yang berhubungan dengan adanya peluang terjadinya kebakaran
21
dan kondisi bahan bakar. Dalam kaitannya dengan bahan bakar, fire hazard digunakan untuk menyatakan keadaan kompleks bahan bakar yang ditentukan oleh volume, tipe, kondisi, keteraturan, dan lokasi yang menentukan derajat kemudahan pembakaran dan ketahanan terhadap pengendalian (Hardy 2005). “Fire hazard” (bahaya kebakaran) merupakan perilaku potensi kebakaran berdasarkan tipe bahan bakar, tidak berhubungan dengan tipe cuaca bahan bakar‐pengaruh kelembaban bahan bakar yang penilaiannya didasarkan pada ciri fisik bahan bakar. Sementara itu, NFDRS dalam Hardy 2005 menyatakan bahwa “fire risk” (kerawanan kebakaran) adalah suatu kesempatan kebakaran dapat terjadi sebagai akibat pengaruh dari faktor alamiah dan agen penyebab kejadian (incident of causative agent). The Fire Danger Rating System (Deeming et al, 1972 dalam Hardy 2005) menyatakan bahwa kejadian kebakaran hutan dan penjalaran kebakaran hutan dapat dikategorikan ke dalam “fire risk”. Sumber‐ sumber fire risk dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok yaitu lighting risk (LR) dan man cause risk (MCR). LR ditentukan oleh kejadian kebakaran pada saat ini dan kejadian harapan yang akan datang, yang dinyatakan dalam peluang kebakaran, sedangkan MCR diturunkan dari tingkat relatif aktivitas manusia, manusia sebagai aktor utama dalam kebakaran. Kedua nilai tersebut di atas dapat dinyatakan dalam skala 1‐100, dan jika keduanya dijumlahkan maka maksimal nilainya juga 100.
22
III.
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kalimantan Tengah yang merupakan daerah dengan hotspot lebih banyak dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Analisis data dilakukan di Laboratorium Inventarisasi Hutan dan Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan ‐ Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret 2008 sedangkan pengolahan data dilakukan pada bulan April 2008. B. Bahan dan Alat Bahan‐bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi: 1. Peta digital (format vektor) yaitu tipe sistem lahan, penutupan lahan, penggunaan
lahan,
jaringan
sungai,
jaringan
jalan,
pusat
desa/perkampungan, kota kecamatan, batas administrasi, dan jenis tanah wilayah propinsi Kalimantan Tengah 2. Sebaran dan lokasi (koordinat) hot spot Kalimantan dari satelit NOAA – AVHRR tahun 1996 sampai dengan 2006 yang diperoleh dari SIPONGI. 3. Data cuaca yang meliputi suhu maksimum harian dan curah hujan harian, kecepatan angin dari stasiun pengamat cuaca Badan Meteorologi dan Geofisika 4. Data‐data penunjang lainnya dari Biro Pusat Statistik C. Software, Hardware dan Peralatan Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Personal Computer dan paket software ArcView GIS versi 3.2 2. Printer 3. Alat pengukuran vegetasi yaitu Spiegel Relaskop Bitterlich (SRB), phi band, kompas dan meteran 4. GPS Garmin XL 5. Kamera digital 23
D. Metode Penelitian Secara ringkas tahapan penelitian disajikan dalam diagram alir pengolahan data seperti tertera pada Gambar 2. Mulai
Pengumpulan data Pra pengolahan data Data terpilih
Analisis statistik
Operasi spasial Analisis Spasial
Model-model Spasial
Validasi
Ya Tidak Model Terplih Visualisasi
Selesai
Gambar 2. Tahapan pengolahan data. 1. Pengumpulan data sekunder Tahap pengumpulan data meliputi: perolehan data spasial, kodifikasi data, penyeragaman sistem proyeksi peta, konversi format data sesuai dengan perangkat lunak yang dipakai dalam menjalankan prosedur sistem informasi geografi (SIG). Input data yang digunakan sebagai peubah pembangun model
24
adalah data spasial faktor biofisik, aktifitas manusia, data hot spot (titik panas) hasil olahan dari citra NOAA AVHRR. Sistem proyeksi yang digunakan sesuai standar nasional untuk data spasial adalah proyeksi UTM (Universal Tranverse Mercator). Adapun data yang digunakan pada penelitian ini sudah berbentuk digital sehingga tidak dilakukan lagi proses digitasi.
Faktor‐faktor yang dipilih untuk membangun prediksi kejadian kebakaran
adalah jarak dari jalan, jarak dari sungai, jarak dari pemukiman, jarak dari kota kecamatan, tipe sistem lahan, tipe tanah, jenis penggunaan lahan, curah hujan dan kelas penutup lahan. Metode yang dipakai adalah metode analisis data CMA dan regresi. 2. Pengumpulan data lapangan
Data lapangan yang diambil terutama adalah data vegetasi diperoleh
dengan cara melakukan inventarisasi dengan metode point sampling. Plot ini diletakan pada lokasi‐lokasi bekas kebakaran hutan dan lahan (hot spot) yang ditentukan secara sengaja berdasarkan distribusi hot spot, tipe penutupan lahan (land cover) dan pola penggunaan lahan (land use). Parameter pohon yang diukur adalah tinggi pohon dan luas bidang dasar tegakan.
Selain parameter pohon tersebut, diamati secara visual dan dicatat
kondisi tegakan bekas terbakar, dan dikelompokan ke dalam pohon hidup sehat, pohon hidup merana, pohon mati komersial dan pohon mati hangus (Gambar 4).
25
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 3. Pengelompokan kondisi pohon di area bekas terbakar ke dalam : (a) Pohon mati komersial, (b). pohon hidup sehat, (c) pohon hidup merana, dan (d) pohon mati hangus.
26
E.
Metode Analisis Data
1. Tingkat kerusakan tegakan Data hasil pengukuran lapangan dianalisis untuk mengetahui persentase pohon hidup yang sehat di area bekas terbakar. Persentase pohon sehat merupakan rasio antara jumlah pohon hidup sehat dalam satu plot terhadap jumlah total pohon dalam satu plot yang dinyatakan dalam persen. Berdasarkan data koordinat plot dan data persentase pohon sehat hasil analisis dibuat peta tingkat kerusakan tegakan akibat kebakaran hutan. 2. Analisis data spasial a. Pengkelasan masing‐masing peubah Masing‐masing faktor yang akan digunakan dalam penyusunan model, dibagi ke dalam beberapa kelas seperti tercantum pada Tabel 1 Tabel 1. Pengkelasan faktor yang akan digunakan dalam menyusun model Peubah Faktor X1 Tutupan lahan
X2 X3 X4 X5
Kelas • Hutan Pegunungan • Semak belukar • Lahan terbuka • Perkebunan • Hutan sekunder • Hutan dataran rendah • Ladang Jarak terhadap sungai Buffer dengan interval 1000 m (1 km) Jarak terhadap jalan Buffer dengan interval 1000 m (1 km) Jarak terhadap pusat desa Buffer dengan interval 1000 m ( 1 km) Jarak terhadap pusat kota Buffer dengan interval 1000 m (1 km)
27
Tabel 1. (lanjutan) Peubah X6
Faktor Penggunaan lahan
X7
Tipe tanah
X8
Sistem lahan
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Kelas Penelitian dan Perlindungan Hutan Taman Wisata Konservasi Air Hitam Kawasan Handil Rakyat Perairan Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lain Penelitian Hutan Hutan Produksi Tetap Hutan Produksi Kawasan Perkebunan dan Pengembangan Budidaya Konservasi Flora Fauna Transmigrasi Konservasi Hidrologi Konservasi Gambut Tebal Hutan Tanaman Industri Non gambut (non peat) Gambut (peat) Alluvial fans dan mountain Back swamps Meander belt Tidak ada data Sedimentary ridges Inter tidal‐mudflat Minor valey floor Coalescent estuarine Permanently water logged Shalower peat Undulating sandy Swampy floodplains Shallow peat Deeper peat swamps
b. Penentuan bobot Salah satu penentuan bobot suatu peubah spasial yang dilakukan secara empiris adalah dengan metode Analisis Pemetaan Komposit (Composite Mapping Analysis/CMA). Dalam kasus ini hubungan antara jumlah hotspot per km2 dengan faktor‐faktor penyusun kerawanan kebakaran hutan dan lahan dianalisis untuk menurunkan nilai skor masing‐masing 28
faktor. Faktor‐faktor yang memiliki korelasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan faktor lain dipilih dan digunakan untuk menyusun model regresi linear berganda. Bobot masing‐masing peubah adalah proporsi masing‐masing koefisien korelasi dari regresi linear terhadap total seluruh koefesien regresinya. c. Penghitungan nilai skor Nilai skor masing‐masing sub faktor dapat dihitung dengan menggunakan formula (1) dan (2) ⎡o ⎤ Xi = ⎢ i ⎥ x ⎣ ei ⎦
100 ⎛o ∑ ⎜⎜ e i ⎝ i
⎞ ⎟⎟ ⎠
………………………………………….………(1)
⎡T x F⎤ ..…………………………………………………………..(2) Ei = ⎢ ⎣ 100 ⎥⎦
Dimana : Xi = skor kelas (sub faktor) pada masing‐masing faktor Oi = jumlah hotspot yang ada pada masing‐masing kelas (obserbved hotspot) Ei = jumlah hotspot yang diharapkan pada masing‐masing kelas (expected hotspot) T = jumlah total hot spot F = persentase luas pada masing‐masing kelas d. Penghitungan skor dugaan Berdasarkan pola kecenderungan (trend line nya) hubungan antara skor setiap faktor dan kepadatan hotspot dihitung nilai skor dugaan menurut pola (persamaan regresi) yang memiliki koefisien determinasi yang relative lebih tinggi.
29
e. Penghitungan nilai skor skala (rescalling score) Untuk mendapatkan standar skor yang sama diantara semua faktor yang akan digunakan dalam menyusun model, maka skor dihitung lagi untuk mendapatkan nilai skor skala dengan menggunakan formula Jaya et al. (2007) seperti pada Persamaan 3. Score Rout = [(ScoreEinput – ScoreEmin)*(ScoreRmax–ScoreRmin)]+ ScoreRmin…………(3) Score E‐max – Score E‐min
Dimana : Score Rout Score Einput Score Emin Score Emax Score Rmax Score Rmin
= nilai skor hasil rescalling = nilai skor dugaan (estimated score) input = nilai minimal skor dugaan = nilai maksimal skor dugaan = nilai skor tertinggi hasil rescalling = nilai skor terendah hasil rescalling
f. Pembuatan persamaan matematik Skor hasil rescalling score masing‐masing faktor digunakan untuk menghitung skor komposit beberapa faktor. Model regresi yang memiliki korelasi determinasi yang tinggi akan digunakan untuk menentukan skor komposit. Skor komposit ditentukan dengan metode CMA, dengan bobot yang diturunkan dari koefisien masing‐masing faktor penyusun komposit. Berdasarkan skor komposit, disusun persamaan statistik yang menyatakan hubungan antara jumlah hot spot per km2 dengan skor komposit faktor‐faktor penyusunnya. g. Uji signifikansi model Pengujian signifikansi model dimaksudkan untuk memilih model terbaik yang memiliki akurasi tertinggi. Uji ini untuk membuktikan apakah suatu model berbeda nyata terhadap kenyataan di lapangan atau tidak. 30
Hipotesis : H0: μ1 = μ2 atau H0: μ1 – μ2 = 0 yaitu nilai rata‐rata hasil model tidak berbeda dengan nilai rata‐rata lapangan (observasi). Ha: μ1 − μ2 atau Ha: μ1 − μ2 ≠ 0 yaitu nilai rata‐rata hasil model berbeda dengan nilai rata‐rata lapangan (observasi) Statistik uji yang digunakan adalah uji z – test two sample for mean yang dihitung dengan dengan formula:
…………………………………………………………………..………(4)
dimana : ⎯x1, ⎯x2 σ1, σ2 n1, n2 Δ
= = = =
nilai rata‐rata dua contoh nilai standar deviasi dua populasi jumlah/ukuran dua contoh hipotesis perbedaan rata‐rata populasi (bernilai 0 jika pengujian terhadap nilai rata‐rata yang sama)
Hipotesis akan diterima jika nilai Z hitung lebih kecil daripada nilai Z kritisnya pada taraf nyata 0,05. h. Pembuatan peta kelas kerawanan kebakaran Berdasarkan ukuran piksel yang digunakan dan radius antar hotspot, maka kelas kerawanan kebakaran dikelompokan ke dalam lima kelas seperti tertera pada Tabel 2.
31
Tabel 2. Selang nilai yang digunakan untuk membuat kelas kerawanan kebakaran hutan dan lahan Jumlah hotspot per km2 Luas yang diwakili masing‐masing hotspot (km2) >= 1.273 < 0.785 0.318 ‐ < 1.273 0.785‐3.141 0.141‐<0.318 3.141‐7.069 0.080‐<0.141 7.069‐12.566 <=0.080 >12.566
Kelas kerawanan
Sangat tinggi sekali Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah
Sumber : Jaya et al. 2007
i.
Validasi model Akurasi model ditentukan berdasarkan nilai matrik koinsidensi antara tingkat kerawanan kebakaran menurut model dan tingkat kerawanan menurut kepadatan hotspot dengan menggunakan matrik kesalahan (confusion matrix). Nilai akurasi dihitung dengan formula seperti pada persamaan 5.
⎡⎛ ⎢⎜ OA = ⎢ ⎜ ⎢⎜ ⎢⎜ ⎣⎝
⎤ ⎞ X ii ⎟ ⎥ i =1 ⎟ * 1 0 0 % ⎥ N ⎟ ⎥ ⎟ ⎥ ⎠ ⎦ n
∑
…………………...……………………………………………………(5)
dimana : OA = overall accuracy Xii = jumlah kolom ke‐i dan baris ke‐i (diagonal) N = jumlah semua kolom dan semua baris yang digunakan j.
Visualisasi persamaan matematik menjadi model spasial Persamaan statistik atau model regresi yang diperoleh dari tahap sebelumnya diimplementasikan ke dalam model spasial. Adapun mekanisme implementasinya menggunakan Arc View dengan fasilitas Calculator.
32
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sebaran Hotspot Hotspot merupakan salah satu indikator adanya kejadian kebakaran hutan dan lahan di suatu wilayah. Berdasarkan data hotspot hasil rekaman satelit NOAA yang dikeluarkan oleh JICA tahun 2002 sampai dengan 2006 dapat diketahui pola sebaran hotspot di wilayah Indonesia. Gambar 4 menunjukkan bahwa pada tahun 2002 jumlah hotspot di pulau Kalimantan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pulau lain di Indonesia. Jumlah hotspot terbanyak di wilayah Indonesia terjadi pada bulan Juli, Agustus, September dan Oktober . Gambar 4. Perbandingan jumlah hotspot di Indonesia tahun 2002. Gambar 5 menunjukkan bahwa jumlah hotspot tahun 2002 di beberapa kabupaten di bagian selatan propinsi Kalimantan Tengah yang menempati posisi teratas dalam jumlah hotspot adalah Kotawaringin Timur, Seruyan dan Pulang Pisau. Sedangkan di bagian utara Kalimantan Tengah, jumlah hotspot relatif lebih sedikit. Pada tahun 2002, jumlah hotspot terbanyak terjadi di Kabupaten Pulang Pisau pada bulan Oktober, sedangkan bulan September tahun 2004 di Kabupaten Kotawaringin Timur terdapat titik panas terbanyak. 33
Gambar 5. Sebaran hospot pada bulan Oktober 2002 di propinsi Kalimantan Tengah 34
25 K epadatan penduduk (jiwa/ha)
20 15 10 5 0 Ko Ka Ka Su Se Ko Pu t t in pu ka r t ga lan g as ma awa r u ya n awa n rin P ing ra i s g a in in u Ba T im rat ur Kabupaten Gambar 6. Kepadatan penduduk di Kalimantan Tengah menurut wilayah kabupaten. Tabel 3. Pola pengolahan lahan petani di Kalimantan Tengah No Bulan 1 Juli – Agustus 2 Agustus – September 3 Oktober – November 4 November – Desember 5 Desember – Januari 6 Maret – April Sumber : Wetland Internasional 2006.
Kegiatan Penggarapan lahan (tebas) Pembakaran lahan Penanaman Tunggu Penyiangan Panen
Menurut kepadatan penduduknya, maka kabupaten Kapuas merupakan kabupaten terpadat diikuti Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat dan Pulang Pisau. Sedangkan berdasarkan jumlah angkatan kerjanya maka Kabupaten Kapuas memiliki jumlah angkatan kerja paling tinggi disusul Kabupaten Kotawaringin Timur, Kotawaringi Barat dan Pulang Pisau (Gambar 6). Berdasarkan pola bercocok tanam para petani yang tertera pada Tabel 3 dapat diduga bahwa pada bulan Agustus sampai September merupakan masa pembakaran lahan, sehingga pada bulan ini titik panas yang terdeteksi juga mencapai jumlah tertinggi dalam masa satu tahun. Pembakaran dilakukan untuk membersihkan lahan dalam rangka pembukaan lahan baru maupun penyiapan lahan untuk penanaman komoditas pertanian dan perkebunan.
35
Berdasarkan profesinya sebagian besar masyarakat di Mentangai, merupakan petani kebun, dan penyadap karet seperti tertera pada diagram Gambar 7. Dari kondisi ini dapat diduga kemungkinan banyak terjadi kegiatan konversi lahan ke perkebunan yang rentan terjadi kebakaran. 30 25
Persen
20 15 10 5 0 a el
in n -la ta in ro la an m yu ya ka An k la ba em n M ta ro n bu t re Ke ka p da Sa un eb rk an ik Be ba ai m ra ng Ke su n ya
N
Profesi
Gambar 7. Prosentase penduduk di Kalimantan Tengah menurut profesinya di di wilayah eks PLG (Sumber : Wetlands International 2006) Berdasarkan grafik hubungan antara curah hujan yang diolah dari data curah hujan beberapa stasiun dan jumlah hotspot (Gambar 8), menunjukkan bahwa makin tinggi curah hujan maka makin sedikit jumlah hotspot yang teridentifikasi dan sebaliknya makin rendah curah hujan maka makin tinggi jumlah hotspot yang terdeteksi. Data curah hujan yang diperoleh dari 3 stasiun di Kalimantan Tengah dan sekitarnya ini juga menunjukkan bahwa jumlah hotspot mencapai puncak pada saat jumlah curah hujan minimal dan terendah. Kejadian kebakaran hutan cenderung lebih banyak terjadi pada saat curah hujan terendah karena pada saat curah hujan rendah, maka kelembaban udara juga rendah. Kelembaban rendah menyebabkan bahan‐bahan bakar potensial lebih cepat mencapai suatu nilai ambang kelembaban dimana api akan dapat membakar bahan bakar ini. Bentuk hubungan antara jumlah hotspot dan curah 36
hujan bulanan mengikuti pola/model power dengan koefisien determinias (R2) sebesar 66.7 %.
Gambar 8. Hubungan antara jumlah curah hujan dan jumlah hotspot B. Pemodelan Spasial Kebakaran Hutan dan Lahan 1. Jumlah hotspot dan tipe tutupan lahan Tabel 3 menunjukkan jumlah hotspot tertinggi berada pada area dengan tutupan lahan semak belukar dan hutan sekunder, sedangkan jumlah hotspot paling rendah berada di area dengan tutupan lahan terbuka. Semak belukar juga 2
merupakan area dengan tingkat kepadatan hotspot per km nya paling tinggi, karena kejadian kebakaran akan sangat mudah terjadi dengan tingginya jumlah bahan bakar berupa semak belukar, apalagi jika dalam keadaan kering (kadar air rendah).
37
Tabel 3. Data kepadatan hotspot pada berbagai tipe tutupan lahan Kode tutupan lahan 1 2 3 4 5 6
Tutupan lahan Kebun Lahan terbuka Ladang Hutan dataran rendah Hutan sekunder Semak belukar
HD/km2 0,184 0,184 0,261 0,291 0,311 0,508
Luas (ha) 112,791 33,563 687,214 728,653 4,589 125,006
Jumlah hotspot 207 62 1790 2123 14 635
Berdasarkan tingkat kepadatan hotspotnya, tutupan lahan semak belukar
merupakan area dengan tingkat kepadatan hotspotnya tertinggi sebesar 0,507 per km2. Tingkat kepadatan hotspot paling rendah (0,188 per km2) berada di area tidak bervegetasi (terbuka) seperti tertera pada Gambar 10. Hal ini sesuai dengan pengamatan lapangan, dimana kejadian kebakaran lebih banyak ditemukan di area semak belukar dan area dengan permudaan galam.
Semak belukar merupakan area yang menjadi tujuan para peladang
berpindah untuk membuka ladang baru (Pratondo 2007) dimana pembersihan lahannya umumnya dilakukan dengan cara tebang, tebas dan bakar. Selain itu semak belukar merupakan tipe bahan bakar halus yang lebih cepat kering dan lebih mudah terbakar dibandingkan dengan bahan bakar yang lebih kasar (Clar dan Chatten 1954; Wright dan Bailey 1982) berupa kayu maupun tegakan yang ada di hutan sekunder ataupun di hutan dataran rendah.
38
J umlah hotspot per km2
0.6000 0.5000 0.4000 0.3000 0.2000 0.1000 0.0000 a d an ut
ng da
n ra ta
ka
ar uk el b ak em S r de un ek s ah an nd ut re
H
H
La
u rb te n ha
un eb
La
K
T ip e tutup a n la ha n
Gambar 9. Kepadatan hotspot pada berbagai tipe tutupan lahan. 2.
Jumlah hotspot dan jarak terhadap jaringan sungai Jumlah hotspot menunjukkan kecenderungan menurun (0,332 per km2
sampai 0,125 per km2) dengan semakin bertambahnya jarak terhadap jaringan sungai (Tabel 5) artinya semakin jauh jarak dari jaringan sungai semakin sedikit jumlah kejadian kebakarannya. Hal ini diduga karena jaringan sungai merupakan salah satu sarana transportasi utama di Kalimantan Tengah, sehingga semakin jauh dari jaringan sungai semakin sedikit pelaku pembakaran dapat memasuki wilayah yang jauh dari jaringan sungai. Sebaliknya area yang lebih dekat dengan jaringan sungai lebih tinggi jumlah hotspotnya. Boonyanuphap (2001); Sunuprapto (2000); Suwarso (2003) juga menyatakan bahwa kejadian kebakaran dipengaruhi oleh jarak terhadap jaringan sungai; dimana semakin dekat dengan sungai semakin banyak jumlah hotspot yang ditemukan (Sunuprapto 2000; Hadi 2006; Purnama dan Jaya 2007; Thoha 2006). Hal ini karena jaringan sungai merupakan sarana transportasi yang digunakan masyarakat di Kalimantan Tengah termasuk masyarakat yang akan melakukan kegiatan perladangan, pertanian, perkebunan dan aktivitas lain yang berhubungan dengan pemanfaatan lahan terutama di daerah‐daerah yang dekat dengan jaringan sungai.
39
Gambar 10 menunjukkan pola hubungan antara jumlah hotspot per km2 dengan jarak terhadap jaringan sungai yang mengikuti model polinomial dengan nilai koefisien determinasi sebesar 90,9 %. Tabel 5. Kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap jaringan sungai Jarak sungai (km) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
HD/km2 0,278 0,316 0,327 0,313 0,295 0,269 0,257 0,249 0,214 0,152 0,161 0,149 0,125 0,125 0,125
Luas (ha) 740.084 317.963 195.085 137.971 99.927 68.536 47.855 31.637 16.498 10.508 8.065 8.574 6.754 2.153 205
Jumlah hotspot 2.059 1.006 639 432 294 185 123 79 35 16 13 13 8 3 0
Gambar 10. Kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap jaringan sungai
40
3. Jumlah hotspot dan jarak terhadap jaringan jalan Jumlah hotspot pada jarak kurang dari 7 km berada pada kisaran 0,24 – 0,38 per km2, mencapai tingkat tertinggi pada jarak 8 km dan menurun dari 0,4 sampai dengan 0,125 per km2 (Tabel 6). Pola sebaran jumlah hotspot berdasarkan jarak terhadap jaringan jalan mengikuti model polinomial dengan nilai koefisien determinasi 89,72 % (Gambar 11). Jumlah hotspot cenderung menurun dengan semakin jauh jarak terhadap jaringan jalan, diduga sulitnya aksesibilitas dapat mengurangi motivasi orang untuk datang dan menyebabkan kebakaran hutan dan lahan. Tabel 6. Kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap jaringan jalan Jarak jalan (km)
HD/km2
Luas (ha)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
0,252 0,255 0,279 0,292 0,293 0,324 0,400 0,437 0,410 0,381 0,342 0,318 0,298 0,300 0,337 0,359 0,286 0,204 0,159 0,147 0,132 0,141
140.092 133.585 116.148 109.484 103.022 95.091 85.308 78.194 76.743 70.239 63.679 61.281 57.946 55.145 46.642 37.222 34.913 31.959 29.431 27.237 25.897 24.043
Jumlah hotspot 354 341 324 320 302 308 341 342 314 268 218 195 173 165 157 134 100 65 47 40 34 34
Jarak jalan (km)
HD/km2
Luas (ha)
Jumlah hotspot
23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
0,163 0,173 0,183 0,165 0,159 0,155 0,133 0,129 0,140 0,146 0,133 0,134 0,133 0,129 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,147 0,125 0,125
20.630 18.584 17.488 18.020 16.481 15.289 11.070 10.047 8.951 8.207 7.451 6.558 5.745 5.167 4.316 3.588 2.983 2.655 2.262 1.664 981 378
34 32 32 30 26 24 15 13 13 12 10 9 8 7 5 4 4 3 3 2 1 0
41
Gambar 11. Kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap jaringan jalan. Berdasarkan pengamatan lapangan, ditemukan bahwa kejadian kebakaran hutan dan lahan lebih banyak terjadi di area‐area yang lebih dekat dengan jalan, sebagaimana dinyatakan oleh Soewarso (2003), Sunuprapto (2000), Boonyanuphap (2001), dan Purnama dan Jaya (2007) bahwa faktor jalan berpengaruh positip terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan. Selain itu adanya akses jalan, mendorong masuknya orang untuk membuka lahan baru yang dapat memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan (Pratondo, 2007). Pada umumnya mereka akan lebih memilih lahan yang dekat dengan jalan sebagai lahan garapan, karena lebih memudahkan dalam mencapai lahan serta membawa hasil pertanian pada saat panen nantinya. Sehingga lahan‐lahan yang lebih dekat dengan jalan pada umumnya banyak terindentifikasi hotspot. 4.
Jumlah hotspot dan jarak terhadap pusat desa Tabel 7 menunjukkan bahwa jumlah hotspot relatif lebih tinggi berada
pada jarak kurang dari 7 km dan terdapat kecenderungan turun dengan bertambahnya jarak terhadap jaringan jalan. Pada area dengan jarak terhadap pusat desa lebih dari 7 km, jumlah hotspot per km2 cenderung turun dari 0,403 sampai 0,125 per km2 dengan bertambahnya jarak (Gambar 12). Hal ini 42
memperlihatkan bahwa pada jarak kurang dari 7 km, kebakaran diduga masih dapat dikendalikan sehingga tidak menjalar ke lokasi lain. Model polinomial orde 3 dapat menjelaskan pola hubungan antara jumlah hotspot dan jarak terhadap pusat desa dengan koefisien determinasi 87,5 %. Masyarakat di desa atau pusat pemukiman umumnya merupakan petani atau berkebun seperti pada umumnya masyarakat di daerah Mentagai (Gambar 7). Para petani dan peladang melakukan perluasan maupun pembukaan ladang baru menggunakan teknologi pembakaran untuk membersihkan lahannya (PFFSEA, 2003). Kegiatan pembukaan lahan ini diduga dilakukan pada lokasi‐ lokasi yang berdekatan dengan pusat‐pusat desa dan pemukiman, karena lebih mudah menjangkau lokasi baik pada saat penyiapan lahan maupun pada saat melakukan pengelolaan tanaman yang dibudidayakan di ladang. Semakin jauh dari pusat desa dan pemukiman, semakin berkurang aktivitas pembukaan ladang baru karena memerlukan waktu yang lama untuk mencapai lokasi, sehingga dapat diduga bahwa di lokasi yang jauh dari pusat desa dan pemukiman maka semakin sedikit aktivitas manusia yang menyebabkan terjadinya kebakaran (Soewarso, 2003; Booyanuphap, 2001). Banyaknya pendatang yang bermukim di desa‐desa atau pusat‐pusat pemukiman membutuhkan lahan untuk bercocok tanam sebagai mata pencahariannya. Pendatang ini bersama dengan masyarakat yang ingin meluaskan lahan membuka lahan‐lahan baru terutama yang dekat dengan pusat pemukimannya. Kegiatan ini dapat mendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan, jika pembukaan lahan dilakukan dengan metode tebang, tebas dan bakar.
43
Tabel 7. Kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap pusat desa Jarak desa (km) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
HD/km2 0,195 0,192 0,212 0,235 0,264 0,306 0,363 0,390 0,404 0,426 0,405 0,347 0,312 0,291 0,321 0,334 0,353 0,308 0,233
Luas (ha)
Jumlah hotspot
4.697 96.178 122.021 125.987 125.455 112.850 98.651 92.396 89.154 81.217 74.162 69.776 64.379 58.344 54.151 51.436 47.382 41.176 37.380
68 184 258 96 331 346 358 360 360 346 300 242 201 170 174 172 167 127 87
Jarak desa (km) 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
HD/km2
Luas (ha)
Jumlah hotspot
0,169 33.367 0,149 27.396 0,143 4.160 0,130 21.654 0,135 19.816 0,143 16.642 0,135 14.010 0,125 12.179 0,125 10.578 0,125 7.428 0,125 6.624 0,125 5.907 0,125 4.741 0,125 3.661 0,125 2.910 0,125 1.971 0,125 1.485 0,125 494
56 41 35 28 27 24 19 15 13 9 8 7 6 5 4 2 2 1
2
Gambar 12. Pola jumlah hotspot per km pada berbagai jarak terhadap pusat desa/pemukiman.
44
5. Jumlah hotspot dan jarak terhadap pusat kota Berdasarkan data jumlah hotspot Tabel 8, pada jarak kurang dari 13 km jumlah hotspot relatif lebih kecil yaitu 0,162 – 0,350 per km2. Sedangkan pada jarak lebih dari 13 km jumlah hotspot tinggi, dan menurun dengan semakin jauh jaraknya terhadap pusat kota, serta naik lagi pada jarak terjauh dari kota. Kecenderungan tersebut mengikuti pola linear dengan koefisien determinasi 51,5 %. Terdapat kecenderungan semakin jauh dari pusat kota, maka semakin sedikit jumlah hotspot yang terjadi. Model polinomial orde 4 dapat menjelaskan 85,16 % variasi jumlah hotspot. Jumlah hotspot yang cenderung kecil pada area dengan jarak kurang dari 13 km terhadap pusat kota diduga karena pada jarak ini pihak yang berwenang masih mampu mengontrol wilayahnya sehingga dapat mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Pada jarak ini, jika terjadi kebakaran yang disengaja pun pada umumnya masyarakat masih mampu mengendalikan dengan melakukan manajemen bakar. Berdasarkan survey lapangan, pada lokasi yang dekat dengan kota‐kota kecamatan terdapat beberapa pos pengawasan kebakaran dan pemantauan kebakaran, sehingga pelaku pembakaran enggan melakukan pembakaran. Selain itu, pelaku pembakar lahan biasanya masih mampu membatasi dan mengontrol kebakaran sehingga tidak meluas yang diindikasikan oleh jumlah hotspot yang relatif lebih sedikit. Pada umumnya, pengendalian kebakaran kebakaran dilakukan dengan cara membuat sekat bakar (Pratondo, 2007), misalnya dengan membuat parit‐parit yang berisi air.
45
Gambar 13. Pola sebaran hotspot pada berbagai jarak terhadap pusat kota kecamatan. Tabel 8. Kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap pusat kota Jarak kota (km) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
HD/km2
Luas (ha)
Jumlah hotspot
0,166 0,164 0,176 0,192 0,192 0,185 0,185 0,213 0,259 0,298 0,297 0,340 0,355 0,406 0,414 0,403 0,368 0,328 0,331 0,341 0,342 0,316 0,305 0,272 0,252
3.834 13.350 27.137 37.403 41.240 49.587 54.780 53.862 51.283 48.631 48.055 49.639 52.802 54.274 54.440 57.164 59.799 60.291 60.330 57.025 52.716 52.382 49.458 47.679 42.798
6 22 48 72 79 92 102 115 133 145 143 169 187 220 225 230 220 198 200 195 180 166 151 130 108
Jarak kota (km) 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51
HD/km2
Luas (ha)
0,233 0,237 0,267 0,285 0,262 0,246 0,242 0,247 0,284 0,298 0,302 0,294 0,253 0,286 0,361 0,358 0,245 0,162 0,135 0,125 0,125 0,136 0,177 0,239 0,245 0,339
40.761 39.009 35.878 35.531 35.215 35.411 34.294 33.415 33.434 32.598 28.156 23.260 18.424 13.680 11.800 10.348 8.757 7.492 6.550 5.236 4.949 4.383 4.207 3.870 3.193 2.008
Jumlah hotspot 95 93 96 101 92 87 83 83 95 97 85 68 47 39 43 37 21 12 9 7 6 6 7 9 8 7
46
6. Jumlah hotspot dan jenis penggunaan kawasan Dalam rencana tata ruang wilayah tahun 2003, wilayah propinsi Kalimantan Tengah dibagi ke dalam beberapa fungsi penggunaan kawasan (Tabel 9). Berdasarkan fungsi kawasannya, maka kawasan dengan fungsi sebagai kawasan perkebunan dan pengembangan budidaya memiliki jumlah hotspot tertinggi. Sedangkan kawasan yang berfungsi sebagai kawasan hutan penelitian memiliki paling sedikit jumlah hotspotnya. Jumlah hotspot tinggi yang berada di dalam kawasan perkebunan dan pengembangan budidaya ini sejalan dengan pengembangan perkebunan secara besar‐besaran di Kalimantan Tengah, sebagaimana juga terjadi di propinsi Kalimantan Barat (Pratondo 2007). Di wilayah kabupaten Kapuas, dijumpai kegiatan peladang membuka dan menyiapkan lahannya dengan cara menebas dan membakar. Pada umumnya pembakaran yang mereka lakukan masih dapat dikendalikan, karena luasannya kecil sekitar 1 Ha (Hardjanto, 1998) seperti banyak ditemukan pada saat survey lapangan. Kegiatan peladang tersebut banyak ditemukan di area eks Proyek Lahan Gambut yang fungsi kawasannya sebagai kawasan Konservasi Gambut Tebal (KGT), contohnya di daerah Mentangai Kabupaten Kapuas. Penyiapan area penanaman oleh petani dan peladang di daerah ini mencakup menebang, menebas, membakar dan menanam (Wetland Internasional, 1998).
47
Tabel 9.
Kepadatan hotspot pada berbagai jarak berbagai jenis penggunaan kawasan
Fungsi kawasan Penelitian dan Perlindungan Hutan Penelitian Kehutanan Taman Wisata Konservasi Air Hitam Kawasan Handil Rakyat Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lain Perairan Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Kawasan Perkebunan dan Pengembangan Konservasi Flora Fauna Transmigrasi Konservasi Hidrologi Konservasi Gambut Tebal Hutan Tanaman Industri
Fungsi kawasan
Jumlah hotspot
HD/km2
Luas (ha)
PPH PPK TW KEAH KHR
0,125 0,125 0,125 0,138 0,149
779 146 3.437 20.090 87.136
1 0 4 28 130
KPPL DS HPT HP
0,194 0,202 0,211 0,252
77.841 16.315 206.717 394.239
151 33 436 993
KPP KFF T1 KH KGT HTI
0,257 0,313 0,335 0,417 0,440 1,035
444.399 77.286 53.304 102.778 197.709 9.641
1.142 242 179 429 870 100
Akan tetapi berdasarkan jumlah hotspot per km2 seperti ditampilkan pada diagram Gambar 14 , maka kawasan yang berfungsi sebagai kawasan hutan tanaman industri memiliki tingkat kepadatan hotspot paling tinggi, dan disusul oleh kawasan konservasi gambut tebal serta konservasi hidrologi. Kawasan hutan penelitian dan perlindungan memiliki tingkat kepadatan hotspot terendah yakni 0.125 per km2.
48
Nilai s kor fung s i kawas an
1.2000 1.0000 0.8000 0.6000 0.4000 0.2000
T
TI H
H
G
K
K
T1
FF K
P
T
PP K
H
S
P H
L PP
K
D
R
H
H K
EA
K
TW
PK P
P
PH
0.0000
F ung si ka w a sa n
Gambar 14. Sebaran jumlah hotspot pada berbagai fungsi kawasan.
Tingginya kepadatan hotspot di kawasan hutan tanaman industri diduga disebabkan oleh aktivitas penyiapan lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan cara membakar. Selain itu, aktifitas pembakaran di sekitar kawasan HTI juga diduga merembet ke area HTI sehingga terjadi kebakaran di area HTI. Adanya akses jalan yang dibuat untuk membangun HTI menarik orang untuk masuk dan membuka lahan baru di sekitar HTI. Pembukaan lahan ini akan memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan, jika dilakukan dengan metode tebang, tebas dan membakar, sebagaimana terjadi di Kalimantan Barat di mana 41 % kebakaran hutan dan lahan terjadi di area Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHKHT) (Bappelda Kaltim dalam Pratondo 2007) Di kawasan konservasi gambut tebal tingkat kepadatan hotspot tinggi, yang sesuai dengan hasil verifikasi lapangan dimana menunjukkan bahwa di area bekas proyek sejuta hektar gambut banyak ditemukan aktifitas penyiapan lahan pertanian dengan cara pembakaran. Data pola bercocok tanam di masyarakat sekitar Mentangai (area gambut) pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pada bulan Agustus, September dan Oktober adalah masa penyiapan lahan dengan cara pembakaran .
49
Pada umumnya bahan bakar di area‐area ini adalah berupa alang‐alang, dimana hanya bagian atasnya yang terbakar untuk kemudian tumbuh lagi alang‐ alang dan menjadi potensi bahan bakar (Gambar 15).
Gambar 15. Area yang terbakar dengan tutupan lahan didominasi alang‐alang. 7. Jumlah hotpot dan tipe tanah Jumlah hotspot pada area bergambut lebih banyak dibandingkan dengan pada area tidak bergambut (Tabel 10). Demikian juga dengan tingkat kepadatan hotspotnya, yaitu tingkat kepadatan hotspot di area bergambut lebih tinggi dibanding kepadatan di area tidak bergambut (Gambar 16). . J umlah hotspot per km2
0.3500 0.3000 0.2500 0.2000 0.1500 0.1000 0.0500 0.0000 non peat
peat T ip e ta na h
Gambar 16. Jumlah hotspot pada tipe tanah gambut dan non gambut
50
Tanah gambut merupakan tanah yang banyak mengandung bahan organik seperti serasah, ranting‐ranting kayu, tunggul dan sisa‐sisa kayu yang belum terdekomposisi sempurna. Pada tanah gambut yang mengalami kekeringan karena proses alamiah maupun karena adanya drainase menyebabkan bahan‐bahan organik kadar airnya rendah (kering) dan akan mudah terbakar jika ada pemicunya. Karakter tanah gambut sebagai bahan bakar yang relatif halus yang juga menyebar secara horizontal memudahkan terjadinya penyalaan api (Clar dan Chatten 1954). Kadar air gambut juga mempengaruhi intensitas kebakaran, dimana sifat gambut yang irreversible srink mendukung terjadinya kebakaran yang lebih lama. Jika gambut dalam keadaan kering, maka gambut akan sulit menjerap air kembali sehingga apabila mengalami kekeringan dapat diduga bahwa pada waktu berikutnya gambut ini akan lebih mudah terbakar. Tabel 10. Kepadatan hotspot pada berbagai jarak tipe tanah Tipe tanah
HD/km2
Luas (ha)
Jumlah hotspot
Bukan gambut 0,218 571.918 1.247 Gambut 0,327 1.119.898 3.661 Kemampuan gambut dalam mengkonservasi air akan berubah jika terjadi pengeringan gambut yang disebabkan oleh konversi, penebangan maupun pembakaran. Proses peneringan gambut akan mengubah sifat gambut hidrofil (menyukai air) menjadi hidrofob (tidak menyukai air) sehingga air yang telah hilang tidak dapat dikembalikan seperti kondisi sebelumnya. Berubahnya sifat gambut dari hidrofil menjadi hidrofob menyebabkan hutan dan lahan gambut menjadi rentan terhadap bahaya kebakaran, sebagaimana dinyatakan oleh Syaufina (2002) bahwa kebakaran gambut merupakan kebakaran paling berbahaya dan sulit dideteksi karena menembus ke bawah permukaan dan menyebar secara horizontal. Kebakaran gambut pada tahun 1998 di Kalimantan berlangsung berbulan‐bulan, karena sulitnya dideteksi karena merambat di baah permukaan (Syaufina 2004) sehingga sulit dilakukan pemadaman.
51
Di samping itu, tanah gambut memiliki kandungan bahan bakar yang tinggi, karena kandungan akan bahan organik yang tinggi dimana persentasenya dapat mencapai lebih dari 65%. Bahan organik yang besar volumenya ini merupakan bahan bakar potensial, jika dalam keadaan keadaan kering (kadar air rendah). Selain itu beberapa aktivitas masyarakat tradisional seperti sistem budidaya padi sonor di lahan gambut, diduga menjadi pemicu terjadinya kebakaran di lahan gambut (PFFSA, 2003). 8. Jumlah hotspot dan tipe sistem lahan Jumlah hotspot pada tipe sistem lahan shallow peat (gambut dangkal) sebesar 1.475 adalah tertinggi disusul hotspot pada deeper peatswamp forest (rawa gambut dalam) sebanyak 1.408. Sedangkan tipe sistem lahan alluvial dan back swamp memiliki jumlah hotspot paling rendah (Tabel 11). Tabel 11. Kepadatan hotspot pada berbagai sistem lahan Sistem lahan Alluvial fans and mountain Back swamps Meander belt Sedimentary ridges Inter‐tidal mudflat Minor valley floors Coalescent estuarine Permanently waterlogged Shallower peat Undulating sandy Shallow peat Swampy floodplains Deeper peat swamps
HD/km2 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,146 0,169 0,240 0,272 0,290 0,301 0,308 0,394
Luas (ha) 258 674 1.966 743 132 18.700 341.576 24.403 159.192 208.543 536.670 20.359 378.599
Jumlah hotspot 0 1 2 1 0 27 577 59 433 605 1.613 63 1.491
Berdasarkan kepadatan hotspotnya (Gambar 17) area deeper swamp forest merupakan area dengan tingkat kepadatan hotspot paling tinggi, disusul area shallow peat dan swampy. Hal ini disebabkan gambut dangkal pada musim kemarau lebih cepat kering, yang berarti kadar air rendah sehingga lebih cepat
52
terbakar. Sedangkan pada gambut dalam proses smolding nya berlangsung lebih lama. Kandungan kadar air yang rendah memerlukan energi yang relatif lebih kecil umtuk menyalakan bahan bakar sehingga akan terdeteksi menjadi hotspot (Chandler et al 1983, Pyne et al 1996). Area dengan tingkat kepadatan hotspot paling rendah berada di daerah alluvial dan backswamp. Tanah alluvial pada umumnya merupakan endapan di tepi‐tepi jalan air/sungai (Mackinnon et al. 1996), sehingga diduga potensi bahan bakar di dalamnya banyak mengandung air (kadar air tinggi). Banyaknya kandungan air dalam potensi bahan bakar memerlukan energi panas yang tinggi untuk menyalakan bahan bakar menjadi kebakaran hutan (relatif lebih sulit
sw am M e ed ps an im d e en ta r be In ry lt te r‐t rid ge M ida in or l m s C ud P o a l v a er lle fla es t m a n cen y flo en t e o tly s tu rs w ar at in e e S ha rlo g ge ll U n d ow d er ul a t pe in g a t sa S S w h a m a ll ndy o D e e py w p f ea l pe o t r p o d ea pla t s ins w am ps
0.4500 0.4000 0.3500 0.3000 0.2500 0.2000 0.1500 0.1000 0.0500 0.0000
S
B
ac
k
J umlah hots pot per km2
terjadi kebakaran).
T ipe siste m la ha n
Gambar 17. Kepadatan hotspot pada berbagai tipe sistem lahan.
53
Gambar 18. Pola sebaran hotspot pada berbagai tipe sistem lahan. C. Pemberian skor Berdasarkan data nilai kepadatan hotspot yang dijelaskan dari Tabel 5 sampai dengan Tabel 12 di atas, dihitung nilai skor aktual, skor perkiraan dan skor skala. Data‐data hasil perhitungan ketiga nilai skor di atas dapat dilihat pada Lampiran 1 sampai dengan Lampiran 8. 1. Analisis koefisien determinasi skor masing‐masing peubah dan kepadatan hotspot. Diagram pencar (Gambar 19) menunjukkan pola hubungan antara kepadatan hotspot dan skor tipe tutupan lahan menunjukkan bahwa model linear dan model polinomial orde 2 memiliki koefesien determinasi yang tertinggi yaitu 30,8 % dan 31,0 %. Model polinomial dapat menjelaskan 31,0 % variasi yang terdapat dalam skor jarak terhadap tipe tutupan lahan. Nilai koefisien determinasi tersebut relatif rendah dibandingkan dengan koefisien determinasi yang dimiliki oleh skor tipe fungsi lahan dan skor tipe sistem lahan.
54
2
Gambar 19. Diagram pencar skor tipe tutupan lahan terhadap jumlah hotspot per km .
Diagram pencar (Gambar 20) menunjukkan hubungan antara kepadatan
hotspot dan skor jarak terhadap jaringan sungai, dimana model yang dicobakan hanya memiliki nilai koefisien tertinggi sebesar 11,0 %. Nilai ini sedikit lebih besar dibandingkan dengan skor jarak terhadap pusat kota.
Gambar 20. Diagram pencar skor jarak terhadap jaringan sungai terhadap jumlah hotspot per km2.
55
Berdasarkan analisis diagram pencar (Gambar 21) hubungan antara kepadatan hotspot dan skor jarak terhadap jaringan jalan menunjukkan bahwa model polinomial dan model power memiliki koefisien relatif lebih tinggi dibandingkan dengan model yang lain, dengan nilai koefisien determinasi sebesar 14,8 % dan 12,1 %. Dengan demikian model‐model yang dicobakan hanya dapat menjelaskan dengan baik 14,8 % variasi yang ada dalam skor jarak terhadap jalan.
Gambar 21. Diagram pencar skor jarak terhadap jaringan jalan terhadap jumlah hotspot per km2. Diagram pencar hubungan skor jarak terhdap pusat desa dan kepadatan hotspot (Gambar 22) menunjukkan bahwa model eksponensial dan model power memiliki nilai koefisien determinasi tertinggi yaitu sebesar 33,70 % dan 23,40 %. Dengan demikian sebanyak 33,70 % variasi dalam skor jarak terhadap pusat desa dapat dijelaskan dengan model eksponensial.
56
2
Gambar 22. Grafik hubungan antara nilai kepadatan hotspot per km dengan skor jarak terhadap pusat desa. Berdasarkan analisis diagram pencar (Gambar 23) hubungan antara kepadatan hotspot dan skor jarak terhadap pusat kota menunjukkan bahwa semua model yang dicobakan hanya memiliki nilai koefisien dari yang terbesar ke terkecil yaitu 2,3 %; 1,2 % dan 0,3 %. Dengan demikian model‐model yang dicobakan tidak dapat menjelaskan dengan baik variasi yang ada dalam skor jarak terhadap pusat kota.
57
Gambar 23. Hubungan antara nilai kepadatan hotspot per km2 dengan skor jarak terhadap pusat kota. Berdasarkan analisis diagram pencar (Gambar 24) hubungan antara kepadatan hotspot dan skor fungsi kawasan menunjukkan bahwa model power memiliki koefisien determinasi tertinggi yaitu 49,7 %. Model ini dapat menjelaskan 49,7 % variasi dalam skor fungsi kawasan. Dibandingkan dengan faktor yang lain, skor fungsi kawasan memiliki nilai koefisien determinasi tertinggi dibandingkan dengan faktor‐faktor yang lainnya.
58
2
Gambar 24. Hubungan antara nilai kepadatan hotspot per km dengan skor fungsi kawasan. Diagram pencar (Gambar 25) hubungan antara kepadatan hotspot dan skor tipe tanah menunjukkan bahwa model power memiliki nilai koefisien determinasi tertinggi sebesar 26,4 %, lebih tinggi dari koefisien determinasi model linear (22,0 %). Dengan demikian model power dapat menjelaskan 26,4 % variasi dalam tipe tanah.
Gambar 25. Hubungan antara skor masing‐masing tipe tanah dan tingkat kepadatan hotspot. 59
Gambar 26 menunjukkan hubungan antara kepadatan hotspot dan skor tipe sistem lahan, dimana model power memiliki nilai koefisien determinasi tertinggi sebesar 39,71 %, lebih tinggi dari koefisien determinasi model linear (32,67 %) dan model ekponensial (37,98 %). Hal ini berarti sebanyak 39,71 % variasi dalam skor tipe sistem lahan dapat dijelaskan oleh model power. Koefisien determinasi hubungan antara skor tipe sistem lahan dan kepadatan hotspot lebih kecil dibandingkan dengan koefisien determinasi hubungan antara fungsi kawasan; dan lebih besar dari nilai koefisien determinasi hubungan skor 6 faktor yang lain dengan kepadatan hotspot.
Gambar 26.
Hubungan antara skor masing‐masing tipe sistem lahan dan kepadatan hotspot
2.
Kepadatan hotspot dan skor komposit model 1 M1/(X1,X6, dan X7) Nilai skor komposit dihitung dengan menggunakan peubah yang memiliki
tingkat koefisien determinasi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan faktor‐ faktor lainnya. Besarnya nilai koefisien determinasi secara berurutan adalah skor fungsi kawasan, skor fungsi tipe sistem lahan, tipe tutupan lahan, tipe tanah, jarak terhadap pusat desa, jarak terhadap jalan, jarak terhadap sungai, dan jarak terhadap pusat kota.
60
Gambar 27. Hubungan antara skor komposit (X1, X6 dan X8) dengan tingkat kepadatan hotspot Model regresi antara nilai kepadatan hotspot dan peubah penduganya (X1,X6, dan X7) memiliki nilai koefisien korelasi sebesar 53,7 %. Koefisien ketiga peubah ini (Tabel 12) digunakan untuk menduga skor komposit (X1,X6 dan X7) menggunakan metode CMA. Tabel 12. Nilai koefisien dan bobot actor penyusun skor komposit model 1 Peubah X1 Tutupan lahan X6 Fungsi kawasan X7 Tipe tanah
koefisien 0.006 0.007 0.001
Bobot 0.429 0.500 0.071
Analisis hubungan antara skor komposit dan kepadatan hotspot menghasilkan model yang menunjukkan bahwa model polinomial memiliki nilai koefisien determinasi paling tinggi diantara model power, linear dan eksponensial yaitu 53,00 %. Hal ini berarti model polinomial dapat menjelaskan 53,00 % variasi di dalam kepadatan hotspot dan skor komposit.
61
3.
Kepadatan hotspot dan skor komposit M2 (X1,X6,X7,dan X8) Untuk mendapatkan nilai koefisien determinasi yang tinggi dilakukan
beberapa penambahan faktor dengan mempertimbangkan nilai koefisien determinasi masing‐masing faktor dengan kepadatan hotspot. Model yang diperoleh di atas yang menyatakan hubungan antara skor komposit (X1,X6,X7 dan X8) ditambahkan satu faktor lagi untuk menentukan nilai skor kompositnya. Model yang kedua disusun dengan menggunakan skor komposit (X1,X6, X7,dan X8), dimana nilai koefiisien determinasi (R2) model regresi keempat faktor tersebut adalah 54.0 %. Nilai koefisien persamaan regresinya (Tabel 13) digunakan untuk menghitung nilai skor komposit dengan metode CMA. Tabel 13. Nilai koefisien dan bobot faktor penyusun skor komposit model 2 Peubah X1 X6 X7 X8
Tutupan lahan Fungsi kawasan Tipe tanah Tipe sistem lahan
Koefisien
Bobot
0,005 0,008 0,001 0,003
0,294 0,471 0,059 0,176
Bobot masing‐masing faktor menunjukkan tingkat pengaruh faktor
tersebut terhadap respon model. Pada model 2 faktor fungsi kawasan memiliki pengaruh yang relatif lebih besar dibanding faktor lainnya yaitu sebesar 30,4 %. Perbedaan fungsi kawasan sebagai kawasan hutan produksi maupun kawasan bukan produksi dapat menentukan kejadian kebakaran hutan dan lahan. Fungsi kawasan yang lebih terbuka terhadap akses masyarakat ke dalamnya, menunjukkan tingkat kepadatan hotspot relatif lebih tinggi dibandingkan dengan fungsi kawasan lain, misalnya kawasan dengan fungsi sebagai HTI. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Purnama dan Jaya (2007) yang menemukan bahwa peubah aktivitas manusia berupa penggunaan lahan memiliki bobot lebih tinggi (53,8 %) dibandingkan dengan bobot jarak dari pusat penduduk (5,4 %). Pada lahan yang berfungsi sebagai HTI berpeluang terjadi kebakaran karena aktifitas pembukaan lahan untuk HTI maupun aktifitas lain di sekitar HTI sebagaimana dijelaskan oleh Dun dan Ray 2003 bahwa salah satu penyebab utama kebakaran hutan dan lahan adalah konversi lahan.
62
Konversi lahan sangat terkait dengan perubahan tutupan lahan, sehingga faktor tutupan lahan juga cukup berpengaruh terhadap tingkat kepadatan hotspot dengan tingkat pengaruh sebesar 29,4 % pada model 2. Hasil ini sesuai dengan penelitian Sunuprapto (2000) yang menunjukkan bahwa faktor tutupan lahan juga memiliki pengaruh yang paling tinggi dibandingkan dengan faktor lainnya sebesar 20,6 %. Tutupan lahan dapat dijadikan sebagai indikator ketersediaan bahan bakar, terutama untuk tipe kebakaran pada permukaan dan di atas permukaan tanah. Tipe tanah dalam model ini membedakan antara jenis tanah gambut dan non gambut. Analisis hubungan tipe tanah dan kepadatan hotspot menunjukkan perbedaan yang cukup antara tingkat kebakaran di tipe tanah gambut dan bukan gambut. Dengan demikian dapat diduga bahwa faktor tipe tanah sangat berpengaruh dalam menentukan kejadian kebakaran hutan dan lahan terutama pada tipe kebakaran bawah permukaan. Seperti halnya faktor tipe tanah, maka tipe sistem lahan menjadi faktor yang berpengaruh karena adanya perbedaan tingkat kepadatan hotspot yang cukup besar antara sistem lahan yang mengandung gambut dan tidak mengandung gambut. Analisis hubungan antara skor komposit (X1,X6, X7,dan X8 ) dan kepadatan hotspot menunjukkan bahwa model power memiliki nilai koefisien determinasi paling tinggi yaitu 55,00 % (Gambar 28).
63
Gambar 28. Hubungan antara skor komposit (X1,X6,X7 dan X8) dan tingkat kepadatan hotspot per km2.
4.
Kepadatan hotspot dan skor komposit M3 (X1, X3,X4,X6,X7,dan X8) Untuk mendapatkan model dengan tingkat koefisien determinasi yang
tinggi ditambahkan lagi faktor yang belum digunakan untuk menghitung skor komposit. Koefisien korelasi model regresi hubungan keenam faktor penyusun skor komposit adalah 56,7 %; untuk kemudian nilai koefisien masing‐masing faktor (Tabel 14) digunakan untuk menentukan skor komposit. Skor komposit yang diperoleh digunakan untuk menduga tingkat kepadatan hotspot. Tabel 14. Nilai koefisien dan bobot faktor penyusun skor komposit model 3 Peubah
Koefisien
Bobot
X1
Tutupan lahan
0.006
0.261
X3
Jarak terhadap jaringan jalan
0.002
0.087
X4
Jarak terhadap pusat desa
0.005
0.217
X6
Fungsi kawasan
0.007
0.304
X7
Tipe tanah
0.001
0.043
X8
Tipe sistem lahan
0.002
0.087
Analisis hubungan antara skor komposit dan kepadatan hotspot menunjukkan bahwa model power memiliki nilai koefisien determinasi paling
64
tinggi yaitu 55.0 % (Gambar 30) sama dibandingkan dengan model 2 (Gambar 29). Penambahan dua faktor tidak meningkatkan koefisien determinasi untuk model power. Akan tetapi penambahan dua peubah ini memberikan peningkatan nilai R2 pada model polinomial, dan model linear.
Gambar 29. Hubungan antara skor komposit (X1,X6, X3,X4,X7, dan X8) dan tingkat kepadatan hotspot per km2. Pada model 3 ini faktor fungsi kawasan masih memiliki pengaruh paling tinggi yaitu 30,04 %, disusul oleh faktor tutupan lahan (26,1 %) dan faktor jarak terhadap pusat desa. Pengaruh terendah dimiliki oleh faktor tipe tanah yaitu sebesar 4,3 %. 5.
Kepadatan hotspot dan skor komposit berdasarkan skor aktual Skor komposit juga dihitung dengan menggunakan skor aktual sebagai
pembanding terhadap skor komposit yang dihitung menggunakan rescalling score. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa model hubungan antara kepadatan hotspot dan skor komposit berdasarkan skor aktual memiliki nilai koefisien determinasi tertinggi sebesar 52,2 % untuk model polinomial, baik untuk skor komposit yang dihitung dengan menggunakan 4 faktor (M2) dan 65
menggunakan 6 faktor (M3) (Gambar 30 dan Gambar 31). Nilai koefisien determinasi ini lebih rendah dibandingkan dengan nilai koefisien determinasi model power, model linear dan model polinomial hubungan antara kepadatan hotspot dan skor komposit yang dihitung dengan menggunakan rescalling score. Dengan demikian model ini tidak dapat dipilih untuk menduga tingkat kepadatan hotspot berdasarkan skor komposit.
Gambar 30. Hubungan antara skor komposit (X1,X6,X3,X4,X7, dan X8) dan tingkat kepadatan hotspot per km2 (skor aktual).
66
Gambar 31. Hubungan antara skor komposit (X1,X6,X7, dan X8) dan tingkat kepadatan hotspot per km2 (skor aktual). D. Validasi Model
Validasi model dilakukan untuk menguji dan membandingkan antara nilai
kepadatan hotspot hasil observasi dengan nilai kepadatan hotspot berdasarkan model. Berdasarkan nilai koefisien determinasinya (Tabel 15) maka dipilih dua model yaitu model 2 (model power dan model polinomial) dan model 3 (model power dan polinomial). Tabel 15. Model hubungan antara skor komposit beberapa faktor dan tingkat kepadatan hotspot Model Model 2 Model 3
Skor komposit (x) 4 faktor 6 faktor
Persamaan y = 0,000x1,746 y = ‐4E‐05x2 + 0,021x ‐ 0,356 y = 0,016x ‐ 0,229 y = 0,863ln(x) ‐ 2,713 y = 0,000x1,746 y = ‐4E‐05x2 + 0,021x ‐ 0,356 y = 0,086e0,032x y = 0,016x ‐ 0,229
Koefisien determinasi (R2) 0,550 0,540 0,539 0,531 0,550 0,540 0,504 0,539
67
Faktor tipe penggunaan lahan dan tutupan lahan merupakan faktor yang
memberikan pengaruh paling tinggi yaitu sebesar 29.4 % dan 40.47 % pada model 2 serta 30,4 % dan 26,1 % pada model 3.
Hasil uji signifikansi model (Tabel 16 dan 17) menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan yang signifikan antara model 2 dan model 3, yang ditunjukkan oleh nilai Z hitung lebih kecil dari nilai Z kritisnya pada taraf nyata 5 %. Dengan demikian tingkat kepadatan hotspot dapat diduga dengan menggunakan model 2 dan model 3. Tabel 16. Hasil uji z‐Test: Two Sample for Means untuk model 2 Nilai tengah Varian Jumlah pengamatan Perbedaan nilai tengah (hipothesis) Z P(Z<=z) one‐tail z Critical one‐tail P(Z<=z) two‐tail z Critical two‐tail
Nilai dugaan hotspot hasil observasi
Nilai dugaan hotspot hasil model 2
0,64 0,20 1775 0 1,83 0,03 1,65 0,07 1,96
0,61 0,11 1775
Tabel 17. Hasil uji z‐Test: Two Sample for Means untuk model 3 Nilai tengah Varian Jumlah pengamatan Perbedaan nilai tengah (hipothesis) Z P(Z<=z) one‐tail z Critical one‐tail P(Z<=z) two‐tail z Critical two‐tail
Nilai dugaan hotspot hasil observasi
Nilai dugaan hotspot hasil model 3
0,64 0,21 1775 0 ‐5,41 3,20 1,65 6,39 1,96
0,69 0,04 1775
68
Tabel 18. Hasil uji z‐Test: Two Sample for Means untuk model 2 dan model 3 Nilai tengah Varian Jumlah pengamatan Perbedaan nilai tengah (hipothesis) Z P(Z<=z) one‐tail z Critical one‐tail P(Z<=z) two‐tail z Critical two‐tail E. Uji akurasi model
Nilai dugaan hotspot hasil model 2
Nilai dugaan hotspot hasil model 3
0,61 0,11 1775
0,69 0,04 1775
0 ‐9,67 0 1,65 0 1,96
Model 2 dan model 3 memberikan hasil dugaan kepadatan hotspot yang tidak berbeda, berdasarkan nilai uji z‐test two sample mean. Dengan demikian kedua model tersebut dapat diuji akurasinya dengan menghitung matrik koinsidensinya. Hasil perhitungan matrik koinsidensi kedua model seperti tertera pada Tabel 19 yang menunjukkan bahwa model 2 lebih akurat dalam menduga tingkat kepadatan hotspot dengan akurasi 52,56 %. Sedangkan model 3 hanya menghasilkan nilai akurasi sebesar 35,23 %. Pengkelasan tingkat resiko kebakaran hutan ke dalam 5 kelas menimbulkan kesulitan dalam membedakan kelas terutama pada kelas resiko rendah dan tinggi, karena data observasi tidak mengkelaskan ke dalam kedua kelas tersebut. Oleh karena itu kelas rendah dan kelas tinggi dalam model ini dimasukkan ke dalam kelas sedang. Sehingga kelas resiko bahaya kebakaran hutan dan lahan model dibagi ke dalam 3 kelas yaitu kelas sedang, sangat tinggi dan sangat tinggi sekali. Hasil uji akurasi menunjukkan bahwa pengkelasan ke dalam tiga kelas meningkatkan akurasi dari 52.56 % menjadi 66.76 % (Tabel 15)
69
Tabel 19. Matrik koinsidensi model terpilih dan hasil observasi Jumlah peubah
Akurasi (%) 3 kelas
5 kelas
4 peubah (M2)
66,76
52.56 %
6 peubah (M3)
‐
35.23%
F. Implementasi Model
Berdasarkan nilai akurasi antara model 2 dan model 3 (Tabel 19), maka
dipilih model 2 untuk memetakan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan. Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan (Gambar 32) menunjukkan bahwa semua daerah dengan kerawanan sangat tinggi sekali (extremely high) berada di lahan gambut yaitu seluas 85.018,70 ha (0,56 % dari total area studi), sedangkan area non gambut lebih banyak masuk ke dalam kelas sedang yaitu seluas 7.025.208,798 ha (46,02 % dari area studi). Dengan demikian area yang termasuk ke dalam kategori sangat rawan sekali yaitu khususnya tipe tanah gambut harus mendapatkan penanganan yang lebih serius dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan.
Menurut tipe tutupan lahannya, maka area dengan tipe tutupan lahan
semak seluas 80.708,99 ha (0,53 % total area studi) adalah area dengan tingkat resiko kebakaran hutan dan lahan paling tinggi (extremely high). Hutan dataran rendah dan hutan sekunder sebagian besar termasuk ke dalam area dengan tingkat resiko kebakaran hutan dan lahan sangat tinggi yaitu masing‐masing seluas 3.510.057,76 ha (22,9 % dari total area studi) dan 2.573.676,68 ha (16,86 % total area studi).
Tipe hutan pegunungan yang berada di bagian utara propinsi
Kalimantan Tengah (Gambar 33) merupakan area dengan tingkat resiko kebakaran paling rendah yaitu tingkat sedang. Area dengan tingkat resiko paling rendah terluas berada di tutupan lahan ladang yaitu seluas 3.232.277,76 ha (21,17 % dari luas area studi).
70
Gambar 32. Peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan wilayah Kalimantan Tengah (5 kelas) 71
Berdasarkan fungsi kawasannya. maka fungsi hutan produksi merupakan
area paling terluas yaitu 3.264.012,86 ha atau 21.38% dari area studi dengan tingkat kerawanan sangat tinggi, sebaliknya kawasan HPP paling kecil luasanya hanya 1.175,37 ha yang masuk kelas resiko tinggi sekali. Sedangkan kawasan yang berfungsi sebagai KGT seluas 666.045,16 ha merupakan area dengan resiko kebakaran paling tinggi yaitu sangat tinggi sekali (0,44 % dari area studi). Sedangkan fungsi kawasan yang termasuk ke dalam kelas kerawanan paling rendah adalah kawasan PPK, KM, cagar alam dan PPH dimana semua area terkelaskan ke dalam tingkat resiko sedang.
Jika dilihat dari tipe sistem lahannya, maka tiga sistem lahan yang sangat
rentan terhadap bahaya kebakaran adalah sistem lahan deeper peat swamp, shallow peat, dan shallower peat. Hal ini ditunjukkan oleh model yang disusun, dimana seluruh kawasan dengan tingkat resiko sangat tinggi sekali berada di tiga sistem lahan tersebut yaitu deeper peat swamp (8.188,44 ha atau 0,54 %), shallow peat (1.958,96 ha atau 0,01 % ) dan shallower peat (1.175,37 ha atau 0,01).
72
Gambar 33. Peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan wilayah Kalimantan Tengah (3 kelas)
73
Lokasi : Kecamatan Jabiren, eks kawasan PLG, sampel PP07
Lokasi : Sekitar Tumbang Nusa, sampel PP08
Lokasi : Sekitar Tumbang Nusa, sampel PP09
Lokasi : Kecamatan Bukit Rawi, sampel BR1
Gambar 34. Kondisi tutupan lahan di area bekas terbakar pada area dengan tingkat kerawanan sangat tinggi sekali. 74
G. Kerusakan area bekas kebakaran Pada umumnya area bekas kebakaran mengalami kerusakan tegakan cukup serius. Beberapa lokasi sampel bekas kebakaran yang berada pada area dengan tingkat kerawanan sangat tinggi sekali tertera pada Gambar 34, sebagian besar sudah ditumbuhi semak belukar dan anakan galam. Sedangkan area yang pernah mengalami kebakaran hebat pada tahun 1998, sebagian pohon bekas terbakar sudah bertunas (Gambar 35 a) dan ada juga pohon yang mengalami mati hangus (Gambar 35 b). Kondisi seperti ini paling sering ditemukan di area bekas kebakaran gambut.
Gambar 35. Kondisi vegetasi bekas terbakar di area bekas kebakaran (a). Pohon terbakar bertunas kembali (hidup merana), dan (b) . Pohon mati hangus
75
Gambar 36.
Hubungan antara persentase pohon hidup sehat di area bekas kebakaran dengan jumlah hotspot
Grafik hubungan antara tingkat kerusakan (persentase jumlah pohon hidup sehat) seperti tertera pada Lampiran 9 dengan kepadatan hotspot (Gambar 36) tidak menunjukkan pola yang teratur, sehingga tingkat kerusakan tidak dapat diduga dengan menggunakan tingkat kepadatan hotspot. Hal ini berarti tingkat kepadatan hotspot tidak dapat menggambarkan kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan. Pola hubungan antara tingkat kerusakan area bekas kebakaran kebakaran dengan jumlah hotspot hanya memiliki koefisien determinasi sebesar 1,2 % saja, sehingga model ini tidak dapat digunakan. Akan tetapi berdasarkan hasil overlay antara peta tingkat kerusakan tegakan dan peta tingkat kerusakan tegakan model (Gambar 37) menunjukkan bahwa area dengan tingkat kerawanan kebakaran sangat tinggi sebesar 99,14% berada di area yang merupakan area dengan tingkat kerusakan sangat berat. Demikian juga dengan area tingkat kerawanan kebakaran sangat tinggi sekali (extreme high risk) berada di area dengan tingkat kerusakan vegetasi sangat berat juga.
76
Gambar 37. Peta tingkat kerusakan tegakan hasil analisis data lapangan
77
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan 1. Faktor‐faktor utama penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah tipe sistem lahan, tipe tutupan lahan, tipe tanah dan fungsi kawasan. 2. Model yang disusun oleh faktor tipe sistem lahan, tipe tutupan lahan, tipe tanah dan fungsi kawasan memiliki koefisien determinasi yang cukup (54 %), dan dapat digunakan untuk menduga kepadatan hotspot per km2. 3. Model kerawanan kebakaran hutan dan lahan dengan menggunakan empat faktor memiliki akurasi sebesar 66,76 % untuk pengkategorian ke dalam tiga kelas, dan 52,6 % untuk pengkategorian ke dalam lima kelas 4. Tipe tutupan lahan memiliki bobot 29,4 persen dalam menentukan tingkat kejadian kebakaran hutan dan lahan (kepadatan hotpsot). 5. Besarnya curah hujan memiliki pengaruh terhadap jumlah hotspot (tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan), dengan nilai koefisien determinasi sebesar 66,7 %. 6. Tingkat kepadatan hotspot kurang berpengaruh terhadap tingkat kerusakan tegakan, dimana nilai koefisien determinasinya hanya sebesar 1,7 %. 7. Sebesar 99,14 % area model dengan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan sangat tinggi dan 93,88 % area dengan tingkat kerawanan kebakaran sangat tinggi sekali berada pada area dengan tingkat kerusakan tegakan bekas kebakaran sangat berat. B. Saran Hasil pemetaan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan menunjukkan bahwa seluruh area dengan tipe tanah gambut merupakan daerah dengan tingkat kerawanan kebakaran sangat tinggi sekali (extremely high risk). Oleh karena itu disarankan untuk melakukan penelitian yang mendalam, dengan menambahkan faktor ketebalan gambut untuk mengetahui perbedaan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan berdasarkan ketebalan gambut.
78
DAFTAR PUSTAKA Arianti I. 2006. Pemodelan Tingkat Dan Zona Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunakan Sistem Informasi Geografis Di Sub Das Kapuas Tengah Propinsi Kalimantan Barat [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Aronoff S. 1997. Geographic Information System: A Management Perpective. WDL Publications. Ottawa. Canada. Booyanuphap J. 2001. GIS Based‐Method in Developing Wildfire Risk Model: A Case Study in Sasamba, East Kalimantan, Indonesia [Thesis]. Bogor: Graduated Program, Bogor Agricultural University. Brown AA, and KP Davis. 1973. Forest Fire Control and Use. McGraw‐Hill Company. New York. Burrough PA, 1986. Principles of Geographical Information Systems for Land Resources Assessment. Clarendon Press. Oxford. Chandler C, P Cheney, P Thomas P, L Trabaud L, D Williams. 1983. Fire in Forestry Vol. I. Jhon Wiley and Sons. Canada. Chuvieco E, and Salas F J. 1996. Mapping the Spatial Distribution of Forest Fire Danger Using GIS. Int. Jour. Geographical Information System. Vol. 10(3), p.333‐345. Clar, C.R. and L.R. Chatten. 1954. Principles of Forest Fire Management. Department of Natural Resources Division of Forestry. California. 200 pp. Danny W. 2001. Interaksi Ekologi dan Sosial Ekonomi dengan Kebakaran di Hutan Propinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Paper Presentasi pada Pusdiklat Kehutanan. Bogor. 33 hal. Davis, K.P. 1959. Forest Fire: Control and Use. McGraw‐Hill Book Company, Inc. New York. 583 pp. De Bano LF, DG Neary, and PF Folliot. 1998. Fire’s Effects on Ecosystem. Jhon Willey and Sons. USA de By RA. 2001. Principles of Geographic Information Sistems, An introductory textbook. ITC. Enschede. FAO. (2000, 6‐03‐2001). Legal and institutional framework for SFM. FAO. Retrieved 14‐07‐2003, 2003, from the World Wide Web: http://www.fao.org/forestry/fo/country/index.jsp?geo_id=82&lang_id=1 FAO. (2001). Deforestation continues at a high rate in tropical areas; FAO calls upon countries to fight forest crime and corruption. FAO. Retrieved 10‐ 07‐2003, 2003, from the World Wide Web: http:// www.fao.org/WAICENT/OIS/PRESS_NE/PRESSENG/2001/pren0161.htm
79
FFPMP2 Forest Fire Prevention Management Project 2. 2004. Sistem Deteksi dan Peringatan Dini. http://ffpmp2.hp.infoseek.co.jp/earlypageindo.htm [23 April 2004] Ganz, D. 2002. Framing Fires: A country‐by‐Country Analysis of Forest and Land Fires in the ASEAN nations. Project Fire Fight South Asia. Jakarta, Indocina: 81 pp. G van Veen, ISDP dan A van den Eelaart. 1998. Notes on the sustainable utilization of peat soils dalam Prosiding Seminar Lahan Gambut. Universitas Tanjungpura Glover, D dan T. Jessup. 2002. Mahalnya Harga Sebuah Bencana; Kerugian Lingkungan/Alibat Kebakaran dan Asap di Indonesia. Penerbit ITB. Bandung. Hadi, M. 2006. Pemodelan spasial kerawanan kebakaran di lahan gambut : studi kasus kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Harahap AJ, dan L Hutagalung. 1998. Status Tanah Gambut di Sumatera Utara dalam Prosiding Seminar Lahan Gambut. Universitas Tanjungpura. Hardy, Colin c. Wildland fire hazard and risk: Problem, definition, and context. Forest Ecology and Management 211 (2005) 73‐82. Hidayat AD, Kushardono W, Asriningrum, A Zubaedah dan I Effendy. 2003. Laporan Verifikasi dan Validasi Metode Pemantauan Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan dan Kekeringan. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh‐LAPAN Jaya INS, R Boer and Samsuri. 2007. Developing Fire Risk Index in Central Kalimantan. International Research Institute and Bogor Agricultural University. A Project Repport Kusmana C, BI Setiawan, Istomo, DR Nurrohmat, S Hardjoamidjojo. 2008. Menumbuhkembangkan Implementasi Hutan Tanaman di Indonesia. Departemen Silvikultur‐Fakultas Kehutanan IPB. LAPAN. Lembaga Atariksa dan Penerbangan Nasional. 2004. Model prediksi dampak el nino/la nina untuk mitigasi bencana kabakaran hutan. http://lapanrs.com/INOVS/IDE2_/view_doc?doc_id=35 Murdiyarso and Adiningsih. 2006. Climate anomalies, Indonesian vegetation fires and terrestrial carbon emissions. Journal Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change, Vol XII, No 1, Januari 2007. Springer Netherlands. http://www.springerlink.com/content/p333n657732k0p27/. 2 December 2007 Mutaqin, AIZ. 2008. Aplikasi Sistem Informasi Geografis dalam pemetaan peluang kebakaran hutan dan lahan di kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah [skripsi]. Bogor: Program Studi Diploma D1 Teknologi
80
Perlindungan Sumberdaya Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Noor M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Penerbit Kanisius: Jakarta PFFSEA. 2003. Membakar Lahan Gambut Sama Artinya dengan Membuat Polusi Asap. 3:5. http:///www.pffsea.com B.J. Pratondo. 2007. Kajian Pembangunan Infrastruktur dan Spasial Nasional (DSN) untuk Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat) [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Purnama, ES. dan INS Jaya. 2007. Pemodelan Spasial Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunakan Teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh: Studi Kasus di Propinsi Riau. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Volume XIII, No. 1 Januari‐April 2007: 84‐97. Rahayu B. 1998. Teknologi Pengendalian Air Gambut dalam Prosiding Seminar Lahan Gambut. Universitas Tanjungpura Runkel M. and I Bayer. 1991. Application of Remote Sensing and Geographical Information Sistems in Managing Tropical Rainforests and Conserving Natural Resources in the Asean Region. German Foundation for International Development. Feldafing. Soewarso. 2003. Penyusunan Pencegahan Kebakaran Hutan Rawa Gambut dengan Menggunakan Model Prediksi [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sunuprapto H. 2000. Forest Fire Monitoring and Damage Assesment Using Remotely Sensed Data and Geographical Information System (A Case Study in South Sumatera Indonesia). [Thesis]. Enschede The Netherland: International Institute for Aero Survey and Earth Science (ITC) . Suratmo FG, EA Husaini dan INS Jaya. 2003. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Syaufina L, AA Nuruddin, J Basyarudin, LF See and MRM Yusof. 2004. The Effect of Climatic Variation on Peat Swamp Forest Condition and Peat Combustibility. Journal of Tropical Forest Management. Vol X, No. 1: 1‐14. Syaufina L. 2002. The Effect of Climate Variation on Peat Swamp Forest Condition and Peat Combustibility [ Doctoral Thesis]. Faculty of Forestry Universiti Putra Malaysia. Malaysia. Universiti Putra Malaysia. Thoha, AS. 2006. Penggunaan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Deteksi dan Prediksi Kebakaran Gambut di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau {tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
81
Wetlands International. 2006. Laporan Akhir (Final Report) Climate Change, Forest and Peatlands in Indonesia Komponen Kalimantan Tengah. Wetlands International‐Indonesia Program World Wild Foundation. Fire Buletin. End of Year Special Edition. Published 18 January 2007. [Akses tanggal 4 Agustus 2007] World Wild Foundation. Fire Buletin. No.32/2003. Published 13‐11‐2003. [Akses tanggal 4 Agustus 2007] Wright, H.A and A.W. Bailey. 1982. Fire Ecology, United Stated and Southern Canada. John Wiley and Sons. New York. 501 pp.
82
Lampiran 1. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor tipe tutupan lahan Tutupan lahan Perkebunan Terbuka Ladang Hutan dataran rendah Hutan sekunder Semak belukar Jumlah Rata‐rata
HD/km2 0,1835 0,1841 0,2605 0,2913 0,3107 0,5080 1,7381 0,4966
HD/ha
Luas
0,0018 112.791 0,0018 33.563 0,0026 687.214 0,0029 728.653 0,0031 4.589 0,0051 125.006 0,0174 1.691.816 0,0050 483.376
%luas
Oi
Ei
0,067 0,020 0,406 0,431 0,003 0,074 1,00 0,29
207 62 1.790 2.123 14 635 4.831 1.380
322 96 1.962 2.081 13 357 4.831 1.380
Oi/Ei
skor Skor Skor aktual dugaan Rescale 0,643 10,558 10,895 10,00 0,645 10,592 11,132 11,28 0,912 14,988 12,921 20,92 1,020 16,760 16,262 38,92 1,088 17,876 21,155 65,28 1,779 29,227 27,600 100,00 6,0871 100,00 10,895 1,7392 28,57 27,600
83
Lampiran 2 Skor masing‐masing sub faktor pada faktor jarak terhadap jaringan sungai. Jarak sungai (km) 1
0,278
0,003
740.084
0,437
2.059
2.145
0,960
Skor aktual 8,290
2
0,316
0,003
317.963
0,188
1.006
922
1,091
9,426
9,328
96,04
3
0,327
0,003
195.085
0,115
639
565
1,129
9,754
9,008
91,70
4
0,313
0,003
137.971
0,082
432
400
1,080
9,324
8,660
86,98
5
0,295
0,003
99.927
0,059
294
290
1,016
8,776
8,284
81,88
6
0,269
0,003
68.536
0,041
185
199
0,929
8,028
7,880
76,40
7
0,257
0,003
47.855
0,028
123
139
0,885
7,644
7,448
70,54
8
0,249
0,002
31.637
0,019
79
92
0,859
7,420
6,988
64,30
9
0,214
0,002
16.498
0,010
35
48
0,738
6,374
6,500
57,69
10
0,152
0,002
10.508
0,006
16
30
0,526
4,542
5,984
50,69
11
0,161
0,002
8.065
0,005
13
23
0,556
4,801
5,440
43,31
HD/km2
HD/ha
Luas (ha)
%luas
Oi
Ei
Oi/Ei
Skor skor dugaan Rescale 9,620 100,00
12
0,149
0,001
8.574
0,005
13
25
0,515
4,446
4,868
35,55
13
0,125
0,001
6.754
0,004
8
20
0,431
3,725
4,268
27,41
14
0,125
0,001
2.153
0,001
3
6
0,431
3,725
3,640
18,90
15
0,125
0,001
205
0,000
0
1
0,431
3,725
2,984
10,00
Jumlah
3,356
0,034
1.691.816
1,00
4.904
4.904 11,5772 100,00
2,984
Rata‐rata
0,419
0,004
211.477
0,13
613
613
1,4472
12,50
9,620
84
Lampiran 3. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor jarak terhadap jaringan jalan Jarak jalan (km) 1
0,2524
0,003
140.092
0,0828
354
403
0,878
Skor aktual 2,673
2
0,2553
0,003
133.585
0,0790
341
384
0,889
2,704
6,025
95,25
3
0,2792
0,003
116.148
0,0687
324
334
0,972
2,957
5,738
90,62
4
0,2923
0,003
109.484
0,0647
320
315
1,017
3,096
5,459
86,13
5
0,2932
0,003
103.022
0,0609
302
296
1,020
3,105
5,188
81,76
HD/km2
HD/ha
Luas (ha)
%luas
oi
ei
Oi/Ei
Skor dugaan 6,320
skor Rescale 100,00
6
0,3235
0,003
95.091
0,0562
308
273
1,126
3,426
4,925
77,53
7
0,3995
0,004
85.308
0,0504
341
245
1,390
4,231
4,670
73,42
8
0,4373
0,004
78.194
0,0462
342
225
1,522
4,631
4,423
69,44
9
0,4097
0,004
76.743
0,0454
314
220
1,426
4,339
4,184
65,59 61,87
10
0,3809
0,004
70.239
0,0415
268
202
1,326
4,034
3,953
11
0,3419
0,003
63.679
0,0376
218
183
1,190
3,621
3,730
58,28
12
0,3178
0,003
61.281
0,0362
195
176
1,106
3,366
3,515
54,81
13
0,2978
0,003
57.946
0,0343
173
166
1,036
3,154
3,308
51,48
14
0,3001
0,003
55.145
0,0326
165
158
1,044
3,178
3,109
48,27
15
0,3368
0,003
46.642
0,0276
157
134
1,172
3,567
2,918
45,20
16
0,3588
0,004
37.222
0,0220
134
107
1,249
3,800
2,735
42,25
17
0,2857
0,003
34.913
0,0206
100
100
0,994
3,026
2,560
39,43
18
0,2039
0,002
31.959
0,0189
65
92
0,710
2,159
2,393
36,74
19
0,1593
0,002
29.431
0,0174
47
85
0,554
1,687
2,234
34,18
20
0,1467
0,001
27.237
0,0161
40
78
0,511
1,554
2,083
31,75 29,44
21
0,1315
0,001
25.897
0,0153
34
74
0,458
1,393
1,940
22
0,1408
0,001
24.043
0,0142
34
69
0,490
1,491
1,805
27,27
23
0,1634
0,002
20.630
0,0122
34
59
0,569
1,731
1,678
25,22 23,31
24
0,1727
0,002
18.584
0,0110
32
53
0,601
1,829
1,559
25
0,1833
0,002
17.488
0,0103
32
50
0,638
1,941
1,448
21,52
26
0,1651
0,002
18.020
0,0107
30
52
0,575
1,749
1,345
19,86
27
0,1593
0,002
16.481
0,0097
26
47
0,554
1,687
1,250
18,33
28
0,1553
0,002
15.289
0,0090
24
44
0,541
1,645
1,163
16,93
29
0,1334
0,001
11.070
0,0065
15
32
0,464
1,413
1,084
15,65
30
0,1287
0,001
10.047
0,0059
13
29
0,448
1,363
1,013
14,51
31
0,1401
0,001
8.951
0,0053
13
26
0,488
1,484
0,950
13,50
32
0,1462
0,001
8.207
0,0049
12
24
0,509
1,548
0,895
12,61
33
0,1326
0,001
7.451
0,0044
10
21
0,462
1,404
0,848
11,85
34
0,1341
0,001
6.558
0,0039
9
19
0,467
1,420
0,809
11,22
35
0,1330
0,001
5.745
0,0034
8
17
0,463
1,409
0,778
10,72
36
0,1285
0,001
5.167
0,0031
7
15
0,447
1,361
0,755
10,35
37
0,1250
0,001
4.316
0,0026
5
12
0,435
1,324
0,740
10,11
38
0,1250
0,001
3.588
0,0021
4
10
0,435
1,324
0,733
10,00
39
0,1250
0,001
2.983
0,0018
4
9
0,435
1,324
0,734
10,02
40
0,1250
0,001
2.655
0,0016
3
8
0,435
1,324
0,743
10,16
41
0,1250
0,001
2.262
0,0013
3
6
0,435
1,324
0,760
10,43
42
0,1471
0,001
1.664
0,0010
2
5
0,512
1,558
0,785
10,84
43
0,1250
0,001
981
0,0006
1
3
0,435
1,324
0,818
11,37
44
0,1250
0,001
378
0,0002
0
1
0,435
1,324
0,859
12,03
Jumlah
9,442
0,094
1.691.816
1,00
4.861
4.861
32,864
100,00
0,733
Rata‐rata
0,420
0,004
75.192
0,04
216
216
1,461
4,44
6,320
85
Lampiran 4. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor jarak terhadap pusat desa Jarak desa (km) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
HD/km2 HD/ha 0,195 0,192 0,212 0,235 0,264 0,306 0,363 0,390 0,404 0,426 0,405 0,347 0,312 0,291 0,321 0,334 0,353 0,308 0,233 0,169 0,149 0,143 0,130 0,135 0,143
0,002 0,002 0,002 0,002 0,003 0,003 0,004 0,004 0,004 0,004 0,004 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,004 0,003 0,002 0,002 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001
Luas
%luas
Oi
Ei
Oi/Ei
Skor aktual
34.697 96.178 122.021 125.987 125.455 112.850 98.651 92.396 89.154 81.217 74.162 69.776 64.379 58.344 54.151 51.436 47.382 41.176 37.380 33.367 27.396 24.160 21.654 19.816 16.642
0,021 0,057 0,072 0,074 0,074 0,067 0,058 0,055 0,053 0,048 0,044 0,041 0,038 0,034 0,032 0,030 0,028 0,024 0,022 0,020 0,016 0,014 0,013 0,012 0,010
68 184 258 296 331 346 358 360 360 346 300 242 201 170 174 172 167 127 87 56 41 35 28 27 24
99 276 350 361 359 323 283 265 255 233 213 200 184 167 155 147 136 118 107 96 78 69 62 57 48
0,6816 0,6683 0,7385 0,8194 0,9203 1,0693 1,2651 1,3600 1,4103 1,4874 1,4127 1,2114 1,0875 1,0159 1,1192 1,1656 1,2316 1,0735 0,8146 0,5884 0,5204 0,4991 0,4519 0,4715 0,4987
2,3624 2,3164 2,5596 2,8402 3,1898 3,7063 4,3849 4,7139 4,8881 5,1554 4,8966 4,1986 3,7692 3,5212 3,8793 4,0402 4,2688 3,7208 2,8233 2,0394 1,8036 1,7298 1,5665 1,6342 1,7286
Skor skor dugaan Rescale 8,013 7,610 7,219 6,840 6,473 6,118 5,775 5,444 5,125 4,818 4,523 4,240 3,969 3,710 3,463 3,228 3,005 2,794 2,595 2,408 2,233 2,070 1,919 1,780 1,653
100,00 94,80 89,75 84,85 80,11 75,53 71,10 66,83 62,71 58,74 54,94 51,28 47,78 44,44 41,25 38,21 35,33 32,61 30,04 27,63 25,37 23,26 21,31 19,52 17,88
86
Lampiran 4. (lanjutan) Jarak desa (km) 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 Jumlah Rata‐rata
HD/km2 HD/ha 0,135 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 8,267 0,223
0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,083 0,002
Luas
%luas
Oi
Ei
Oi/Ei
14.010 12.179 10.578 7.428 6.624 5.907 4.741 3.661 2.910 1.971 1.485 494 1.691.816 45.725
0,008 0,007 0,006 0,004 0,004 0,003 0,003 0,002 0,002 0,001 0,001 0,000 1,00 0,03
19 15 13 9 8 7 6 5 4 2 2 1 4.848 131,02
40 35 30 21 19 17 14 10 8 6 4 1 4.848 131,02
0,4704 0,4362 0,4362 0,4362 0,4362 0,4362 0,4362 0,4362 0,4362 0,4362 0,4362 0,4362 28,85 0,78
Skor Skor skor aktual dugaan Rescale 1,6306 1,538 16,39 1,5120 1,435 15,06 1,5120 1,344 13,89 1,5120 1,265 12,87 1,5120 1,198 12,00 1,5120 1,143 11,29 1,5120 1,100 10,74 1,5120 1,069 10,34 1,5120 1,050 10,09 1,5120 1,043 10,00 1,5120 1,048 10,06 1,5120 1,065 10,28 100,00 1,043 2,70 8,013
87
Lampiran 5. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor jarak terhadap pusat kota Jarak kota (km) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
HD/km2 HD/ha 0,166 0,164 0,176 0,192 0,192 0,185 0,185 0,213 0,259 0,298 0,297 0,340 0,355 0,406 0,414 0,403 0,368 0,328 0,331 0,341 0,342 0,316 0,305 0,272 0,252
0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,003 0,003 0,003 0,003 0,004 0,004 0,004 0,004 0,004 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003
Hektar
%luas
Ei
Oi
Oi/Ei
Skor aktual
Skor dugaan
skor Rescale
3.834 13.350 27.137 37.403 41.240 49.587 54.780 53.862 51.283 48.631 48.055 49.639 52.802 54.274 54.440 57.164 59.799 60.291 60.330 57.025 52.716 52.382 49.458 47.679 42.798
0,0023 0,0079 0,0160 0,0221 0,0244 0,0293 0,0324 0,0318 0,0303 0,0287 0,0284 0,0293 0,0312 0,0321 0,0322 0,0338 0,0353 0,0356 0,0357 0,0337 0,0312 0,0310 0,0292 0,0282 0,0253
6 22 48 72 79 92 102 115 133 145 143 169 187 220 225 230 220 198 200 195 180 166 151 130 108
11 38 78 108 119 143 158 155 148 140 138 143 152 156 157 164 172 173 174 164 152 151 142 137 123
1,729 1,751 1,631 1,497 1,502 1,554 1,553 1,351 1,111 0,964 0,969 0,846 0,811 0,708 0,695 0,714 0,783 0,876 0,868 0,843 0,842 0,909 0,945 1,058 1,140
2,830 2,866 2,669 2,450 2,457 2,542 2,541 2,211 1,819 1,578 1,586 1,384 1,327 1,159 1,137 1,168 1,281 1,434 1,421 1,380 1,378 1,488 1,546 1,731 1,865
0,779 0,803 0,828 0,853 0,879 0,906 0,934 0,962 0,991 1,022 1,053 1,085 1,118 1,153 1,188 1,224 1,262 1,300 1,340 1,381 1,423 1,467 1,512 1,558 1,606
10,00 10,78 11,59 12,43 13,28 14,17 15,08 16,02 16,99 17,99 19,01 20,07 21,17 22,29 23,45 24,65 25,88 27,15 28,46 29,81 31,20 32,63 34,11 35,63 37,19
88
Lampiran 5. (lanjutan) Jarak kota (km) 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 Jumlah Rata‐rata
HD/km2 0,233 0,237 0,267 0,285 0,262 0,246 0,242 0,247 0,284 0,298 0,302 0,294 0,253 0,286 0,361 0,358 0,245 0,162 0,135 0,125 0,125 0,136 0,177 0,239 0,245 0,339 13,49 0,26
HD/ha
Hektar
0,002 0,002 0,003 0,003 0,003 0,002 0,002 0,002 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,004 0,004 0,002 0,002 0,001 0,001 0,001 0,001 0,002 0,002 0,002 0,003 0,13 0,00
40.761 39.009 35.878 35.531 35.215 35.411 34.294 33.415 33.434 32.598 28.156 23.260 18.424 13.680 11.800 10.348 8.757 7.492 6.550 5.236 4.949 4.383 4.207 3.870 3.193 2.008 1.691.816 33.172,87
%luas
Ei
0,0241 95 0,0231 93 0,0212 96 0,0210 101 0,0208 92 0,0209 87 0,0203 83 0,0198 83 0,0198 95 0,0193 97 0,0166 85 0,0137 68 0,0109 47 0,0081 39 0,0070 43 0,0061 37 0,0052 21 0,0044 12 0,0039 9 0,0031 7 0,0029 6 0,0026 6 0,0025 7 0,0023 9 0,0019 8 0,0012 7 1,00 4.868 0,02 95
Oi
Oi/Ei
117 112 103 102 101 102 99 96 96 94 81 67 53 39 34 30 25 22 19 15 14 13 12 11 9 6 4.868 95
1,234 1,213 1,076 1,010 1,099 1,168 1,188 1,165 1,013 0,966 0,954 0,978 1,135 1,007 0,797 0,803 1,174 1,772 2,125 2,302 2,302 2,123 1,626 1,203 1,173 0,849 61,11 1,20
Skor Skor skor aktual dugaan Rescale 2,019 1,655 38,81 1,985 1,705 40,48 1,761 1,758 42,19 1,653 1,811 43,96 1,799 1,867 45,78 1,912 1,924 47,66 1,944 1,983 49,60 1,907 2,043 51,59 1,907 2,106 53,65 1,907 2,170 55,77 1,907 2,237 57,95 1,907 2,305 60,21 1,907 2,375 62,52 1,907 2,448 64,92 1,907 2,523 67,38 1,907 2,600 69,92 1,907 2,680 72,54 2,899 2,762 75,23 3,477 2,846 78,01 3,767 2,933 80,88 3,767 3,023 83,83 3,475 3,115 86,87 2,660 3,211 90,01 1,969 3,309 93,24 1,920 3,410 96,57 1,390 3,514 100,00 102,71 0,78 2,01 3,51
89
Lampiran 6. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor fungsi kawasan status PPH PPK TW KEAH KHR KPPL DS HPT HP KPP KFF T1 KH KGT HTI Jumlah Rata‐rata
HD/km2 0,1250 0,1250 0,1250 0,1377 0,1493 0,1939 0,2019 0,2108 0,2520 0,2570 0,3130 0,3350 0,4171 0,4398 1,0346 4,317 0,540
HD/ha 0,0013 0,0013 0,0013 0,0014 0,0015 0,0019 0,0020 0,0021 0,0025 0,0026 0,0031 0,0034 0,0042 0,0044 0,0103 0,043 0,005
Luas 779 146 3.437 20.090 87.136 77.841 16.315 206.717 394.239 444.399 77.286 53.304 102.778 197.709 9.641 1.691.816 211.477
%luas
Oi
0,000 1 0,000 0 0,002 4 0,012 28 0,052 130 0,046 151 0,010 33 0,122 436 0,233 993 0,263 1.142 0,046 242 0,032 179 0,061 429 0,117 870 0,006 100 1,00 4.737 0,13 592
Ei
Oi/Ei
2 0,446 0 0,446 10 0,446 56 0,492 244 0,533 218 0,693 46 0,721 579 0,753 1.104 0,900 1.244 0,918 216 1,118 149 1,196 288 1,490 554 1,571 27 3,695 4.737 15,419 592 1,927
Skor Skor skor aktual dugaan Rescale 2,895 2,295 10,00 2,895 2,599 12,53 2,895 2,944 15,40 3,190 3,334 18,64 3,458 3,776 22,32 4,491 4,277 26,48 4,677 4,844 31,20 4,883 5,487 36,54 5,837 6,214 42,59 5,953 7,039 49,44 7,250 7,972 57,20 7,760 9,029 65,99 9,662 10,227 75,95 10,187 11,583 87,23 23,965 13,119 100,00 100,00 2,295 12,50 13,119
90
Lampiran 7. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor tipe tanah
0,752
Skor aktual 40,018
Skor dugaan 40,0
skor Rescale 10,00
3.249
1,127
59,982
60,0
100,00
4.908
1,879
100,00
40,0
3.272
1,2524
66,67
60,0
HD/km2
HD/ha
Luas
%luas
Oi
Ei
Oi/Ei
Non gambut
0,2181
0,002
571.918
0,338
1.247
1.659
Gambut
0,3269
0,003
1.119.898
0,662
3.661
Jumlah
0,545
0,005
1.691.816
1,00
4.908
Rata‐rata
0,3633
0,0036
1.127.877
0,67
3.272
Tipe tanah
91
Lampiran 8. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor tipe sistem lahan Tipe sistem lahan Alluvial fans and mountain Back swamps Meander belt Sedimentary ridges Inter‐tidal mudflat Minor valley floors Coalescent estuarine Permanently waterlogged Shallower peat Undulating sandy Shallow peat Swampy floodplains Deeper peat swamps Jumlah Rata‐rata
HD/km2
HD/ha
Luas (ha)
% luas
oi
ei
0,1250
0,0013
258
0,0002
0
1
0,434
skor Skor Skor aktual dugaan Rescale 4,55 4,1330 10,00
0,1250 0,1250 0,1250
0,0013 0,0013 0,0013
674 1.966 743
0,0004 0,0012 0,0004
1 2 1
2 6 2
0,434 0,434 0,434
4,55 4,55 4,55
4,2980 4,5810 4,9820
11,52 14,13 17,82
0,1250
0,0013
132
0,0001
0
0
0,434
4,55
5,5010
22,60
0,1464
0,0015
18.700
0,0111
27
54
0,509
5,33
6,1380
28,47
0,1688
0,0017
341.576
0,2019
577
983
0,586
7,05
6,8930
35,43
0,2404
0,0024
24.403
0,0144
59
70
0,835
8,76
7,7660
43,47
0,2717 0,2899
0,0027 0,0029
159.192 208.543
0,0941 0,1233
433 605
458 600
0,944 1,007
9,90 10,42
8,7570 9,8660
52,60 62,82
0,3005 0,3082
0,0030 0,0031
536.670 20.359
0,3172 0,0120
1613 63
1545 59
1,044 1,070
10,95 11,23
11,0930 12,4380
74,13 86,52
0,3938
0,0039
378.599
0,2238
1491
1090
1,368
14,35
13,9010
100,00
2,7447 0,3921
0,0274 0,0039
1.691.816,14 241.688,02
1,00 0,14
4.870,79 695,83
4.870,79 695,83
Oi/Ei
9,5334 1,3619
101 14,39
4,1330 13,9010
92
Lampiran 9. Data hasil pengukuran vegetasi di area bekas terbakar No plot
Kode
1
PKY01
Terbakar Tahun
Landuse Pemukiamn
Tutupan lahan Semak
Koordinat X Y 113.918
TKL01
2007
Hutan
Ladang
113.765
-2.030
3 4
TKL02 TKL03
2006 2006
Hutan Hutan
Hutan Hutan
113.765 113.764
-2.031 -2.035
5
TKL04
2007
Hutan
Hutan campuran
113.767
-2.036
6
TKL05
2005
Hutan
Persemaian
113.765
-2.031
7
TKL06
2005
Hutan
Semak
113.762
-2.038
8 9
TKL07 TKL08
2005 2007
Hutan Hutan
Ladang Hutan gelam
113.768
-2.039
113.770 113.766 113.766
-2.050 -2.060 -2.260
TKL09 PKY02
2006 2006
Hutan Hutan
Ladang Ladang
Klas rusak Ringan
-2.270
2
10 11
Jenis pohon di area bekas terbakar Nama lokal Nama ilmiah Akasia Akasia Akasia Akasia Gerunggang Akasia Akasia
Acacia mangium Acacia mangium Acacia mangium Acacia mangium Cratoxylon sp. Acacia mangium Acacia mangium
Gerunggang Gerunggang Gerunggang Gerunggang Gerunggang Gerunggang Gerunggang Gerunggang Tumih Tumih
Cratoxylon sp. Cratoxylon sp. Cratoxylon sp. Cratoxylon sp. Cratoxylon sp. Cratoxylon sp. Cratoxylon sp. Cratoxylon sp.
Galam Galam Gerunggang
Eugenia sp. Eugenia sp. Cratoxylon sp.
Sangat berat
Ringan
Sangat berat Sangat berat
Sedang
Ringan
93
Lampiran 9. (lanjutan)
Landuse
Tutupan lahan
Koordinat X Y
No plot
Kode
Terbakar Tahun
12 13 14
PKY03 PKY04 PKY05
Hutan Hutan Hutan
Ladang Ladang Ladang
113.872 113.864 113.954
-2.252 -2.241 -2.277
15 16 17 18
PKY06 PP01 PP02 PP03
2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006
Hutan Hutan Hutan Hutan
Ladang Semak Semak Hutan gelam
113.989 114.106 114.129 114.301
-2.280 -2.029 -2.363 -2.698
19 20 21
PP04 PP06 PP07
2006 2006 2006
Hutan Hutan Hutan
114.201 114.185 114.176
-2.649 -2.632 -2.631
22
PP08
2006
Hutan
Anakan galam Anakan galam Kebun karet Hutan campuran
114.067
23 24
PP09 PP10
2006 2006
Hutan Hutan
Hutan campuran Anakan galam
114.073 114.149
Jenis pohon di area bekas terbakar Nama lokal Nama ilmiah
Tumih Tumih
Klas rusak
Sangat berat
Galam Galam
Eugenia sp. Eugenia sp.
Sangat berat
-2.326
Galam Galam Galam Galam Galam Tumih
Eugenia sp. Eugenia sp. Eugenia sp. Eugenia sp. Eugenia sp.
Sedang
-2.332 -2.380
Tumih
Sangat berat
94
Lampiran 9. (lanjutan) No plot 25
Kode BB02
Terbakar Tahun 2006
Landuse Pemukiman
Tutupan lahan
Koordinat X Y
Jenis pohon di area bekas terbakar Nama lokal Nama ilmiah
Klas rusak
Sawah Galam Galam Galam
27
KPS03
2007
Hutan
Hutan campuran
114.574
-2.664
28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
PKS02 KPS04 KPS05 KPS06 KPS07 KPS08 MTG01 MTG02 GR01 GR02 GR03
2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2005
Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan
Ladang Ladang Hutan galam Hutan galam Hutan galam Alang-alang Hutan galam Hutan galam Semak Semak Hutan galam
114.589 114.587 114.584 114.568 114.587 114.462 114.425 114.201 114.201 114.199 114.196
-2.744 -2.719 -2.678 -2.665 -2.652 -2.604 -2.618 -2.647 -2.647 -2.619 -2.647
Eugenia sp. Eugenia sp. Eugenia sp.
Kalapapak Lempada Lempada Lempada Lempada
Galam
Sangat berat
Eugenia sp.
Sangat berat Sangat berat Sangat berat Sangat berat Sangat berat Sangat berat Sangat berat
Sangat berat
95
Lampiran 9. (lanjutan)
Kode
Terbakar Tahun
38
GR04
2005
Hutan
Hutan campuran
114.202
-2.647
39
GR05
2007
Hutan
Hutan campuran
114.201
-2.649
40
BR01
2006
Hutan
Hutan campuran
113.980
-2.880
41
BR02
2006
Landuse
Koordinat X Y
No plot
Hutan
Tutupan lahan
Hutan campuran
113.993
-1.885
Jenis pohon di area bekas terbakar Nama lokal Nama ilmiah Katiau Katiau Galam Galam Meranti merah Meranti merah Meranti putih Meranti merah Resak Meranti merah Meranti merah Pampaning/baban Meranti merah Meranti putih Meranti putih Meranti merah Meranti putih Meranti putih Meranti merah Meranti merah Meranti merah Meranti merah
Gamma motleyana Gamma motleyana Eugenia sp. Eugenia sp. Shorea fagustiana Shorea fagustiana Shorea leprosula Shorea fagustiana Hopea bracteata Burk. Shorea fagustiana Shorea fagustiana Shorea fagustiana Shorea leprosula Shorea leprosula Shorea fagustiana Shorea leprosula Shorea leprosula Shorea fagustiana Shorea fagustiana Shorea fagustiana Shorea fagustiana
Klas rusak Sangat berat Sangat berat Sangat berat
Sangat berat
96
Lampiran 9. (lanjutan)
Terbakar Tahun
Landuse
Koordinat X
No plot
Kode
41
BR02
2006
Hutan
Hutan campuran
113.993
-1.885
42
BR03
2006
Hutan
Hutan campuran
113.990
-1.887
43
BR04
2006
Hutan
Hutan campuran
113.988
-1.886
44
BR05
2006
Hutan
Hutan campuran
113.972
-1.881
45
BR06
2006
Hutan
Hutan campuran
113.960
-1.887
Tutupan lahan
Y
Jenis pohon di area bekas terbakar Nama lokal Nama ilmiah Meranti merah Meranti merah Meranti putih Meranti merah Gerunggang Gerunggang Gerunggang Meranti merah Meranti merah Meranti putih Meranti merah Meranti merah Resak Gerunggang Resak Gerunggang Tumih Tumih Tumih Tumih Tumih Tumih
Shorea fagustiana Shorea fagustiana Shorea leprosula Shorea fagustiana Cratoxylon sp. Cratoxylon sp. Cratoxylon sp. Shorea fagustiana Shorea fagustiana Shorea leprosula Shorea fagustiana Shorea fagustiana Hopea bracteata Burk. Cratoxylon sp. Hopea bracteata Burk. Cratoxylon sp.
Klas rusak Sangat berat
Sangat berat
Sangat berat
Sangat berat
Sangat berat
97
Lampiran 9. (lanjutan) No plot
Kode
Terbakar Tahun
Landuse
Tutupan lahan
Koordinat X
Y
45
BR06
2006
Hutan
Hutan campuran
113.960
-1.887
46
BR07
2006
Hutan
Hutan campuran
113.964
-1.919
Jenis pohon di area bekas terbakar Nama lokal Nama ilmiah Tumih Tumih Tumih Tumih Tumih Tumih Tumih
Klas rusak Sangat berat
Sangat berat
98