STUDI PENENTUAN TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DI KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROPINSI SUMATERA SELATAN
ERICA PURWANDINI SEPTICORINI E14201022
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN Erica Purwandini Septicorini (E14201022). Studi Penentuan Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Propinsi Sumatera Selatan. Dibimbing oleh Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo M. Agr, Ir. Zulfikhar MM dan Ir. Sambusir Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang memiliki kekayaan dan keanekaragaman hayati yang tinggi baik flora dan fauna maupun tipe-tipe ekosistem hutan. Berkurangnya kualitas dan kuantitas hutan akibat adanya gangguan dan kerusakan hutan dapat menyebabkan terganggunya fungsifungsi hutan. Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk dari gangguan terbesar yang dapat menciptakan kerusakan hutan di Indonesia. Kebakaran yang terjadi hampir selalu disebabkan oleh ulah manusia, seperti pembukaan lahan dengan cara membakar. Upaya pencegahan menjadi perioritas utama dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Oleh karena itu diperlukan sebuah peta kerawanan kebakaran hutan untuk mengetahui daerah mana yang memiliki potensi untuk terjadinya kebakaran. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memetakan tingkat kerawanan kebakaran hutan berdasarkan jenis dan kedalaman gambut, kawasan fungsi hutan, jumlah curah hujan, dan sebaran hotspot dalam upaya pencegahan kebakaran hutan. Melalui peta kerawanan kebakaran hutan dapat dilakukan kegiatan pemantauan dan pencegahan kebakaran sedini mungkin sehingga dapat diambil langkah-langkah pengendalian dengan tepat dan dapat dilaksanakan segera sebelum api melanda areal yang lebih luas. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Dinas Kehutanan Sumatera Selatan dan PT. SBA Wood Industries dimulai bulan Juni – September 2005. Data yang diperlukan adalah sebaran Hotspot tahun 1997-2004 dari Citra satelit NOAA (Sumber: South Sumatra Forest Fire Management Project), Peta Kawasan Fungsi Hutan (Sumber: Dinas Kehutanan Sumatera Selatan, 2005), Peta Curah Hujan (Sumber: Dinas Kehutanan Sumatera Selatan, 1999), Peta Jenis dan Kedalaman Gambut (Sumber: Dinas Kehutanan Sumatera Selatan, 2001), Peta Konsesi PT SBA Wood Industries (Sumber: PT. SBA Wood Industries, 2005), Data Curah Hujan (Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika), Data Kebakaran sebagai data penunjang seperti luasan kebakaran hutan, waktu terjadinya kebakaran, frekuensi kebakaran, penyebab kebakaran, dan jenis tanaman yang terbakar. Dalam menganalisis setiap peta-peta tersebut digunakan sistem skoring. Klasifikasi skoring untuk data sebaran hotspot berdasarkan mean, median dan standar deviation. Klasifikasi skoring untuk kawasan fungsi hutan berdasarkan jumlah hotspot yang menyebar di setiap daerah fungsi hutan. Klasifikasi skoring untuk data curah hujan berdasarkan jumlah curah hujan. Klasifikasi skoring untuk jenis dan kedalaman gambut berdasarkan karakteristik dan kedalaman gambutnya. Analisis Sistem Informasi Geografi (SIG) yaitu analisis terakhir dengan overlay semua variabel tersebut sehingga diperoleh peta kerawanan kebakaran hutan di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Dilakukan overlay antara peta kerawanan kebakaran dan peta konsesi PT. SBA Wood Industries sehingga diperoleh luasan areal tingkat kerawanan kebakaran di PT. SBA Wood Industries. Pengambilan
titik-titik pengamatan dilakukan untuk mengetahui jenis bahan bakaran dan kondisi lahan di lapangan. Satelit NOAA dalam mendeteksi kebakaran hutan adalah tidak mendeteksi kebakaran secara langsung namun yang dideteksi adalah hotspot. Jumlah hotspot tertinggi dalam periode tahun 1997-2004 di setiap bulannya jatuh pada bulan oktober yaitu sebanyak 11 174 hotspot dan tidak ditemukannya hotspot pada bulan desember. Jumlah hotspot tertinggi terjadi pada tahun 1997 yaitu sebesar 15 164 titik, sebagian besar merupakan kejadian kebakaran. Hotspot mulai banyak dijumpai pada bulan Juli sampai September dalam jumlah yang cukup banyak dikarenakan bulan-bulan tersebut merupakan iklim kering (musim kering). Peta kerawanan kebakaran hutan berdasarkan analisis sebaran hotspot Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) sebagian besar merupakan daerah rawan sangat tinggi, yaitu seluas 1 720 756.75 Ha (98.71%). Pada peta kerawanan kebakaran hutan berdasarkan analisis fungsi hutan sebagian besar Kabupaten OKI merupakan daerah rawan sangat tinggi seluas 691 198.29 Ha (39.65%). Dari hasil peta kerawanan kebakaran hutan berdasarkan analisis curah hujan kabupaten OKI sebagian besar termasuk wilayah kelas tidak rawan dengan luasan 1 455 249.17 Ha (83.48%). Dan peta kerawanan kebakaran hutan berdasarkan analisis jenis dan kedalaman gambut, diketahui bahwa kabupaten OKI sebagian besar masuk kelas rawan tinggi seluas 692 985.210 Ha (39.75%). Berdasarkan peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten OKI sebagian besar merupakan daerah yang memiliki tingkat kerawanan tidak rawan yaitu seluas 552 599.69 Ha (31.70%). Hasil overlay peta kerawanan kebakaran dengan daerah konsesi PT. SBA Wood Industries dapat diketahui bahwa PT. SBA Wood Industries sebagian besar daerahnya termasuk daerah rawan tinggi dengan luas 83 053.33 Ha (73.40%). Kebakaran yang tidak terkendali merupakan masalah besar yang timbul, sehingga kegiatan pencegahan menjadi prioritas utama dalam kegiatan penanggulangan kebakaran. Kegiatan pencegahan akan menjadi lebih efektif dan efisien dengan adanya peta kerawanan kebakaran hutan dalam rangka pemantauan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Berdasarkan peta kerawanan kebakaran Kabupaten Ogan Komering Ilir memiliki tingkat kerawanan tidak rawan dengan luas 552 599.66 Ha (31.70%), sedangkan tingkat kerawanan rawan tinggi memiliki luas 519 331.53 Ha (29.79%). Daerah rawan sedang memiliki luas 148 114.97 Ha (8.50%), tingkat rawan rendah seluas 451 356.14 Ha (25.89%) dan tingkat kerawanan sangat tinggi dengan luas 57 413.43 Ha (3.29%).
STUDI PENENTUAN TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DI KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROPINSI SUMATERA SELATAN
ERICA PURWANDINI SEPTICORINI E14201022
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul
: STUDI
PENENTUAN
KEBAKARAN
HUTAN
TINGKAT DI
KERAWANAN
KABUPATEN
OGAN
KOMERING ILIR PROPINSI SUMATERA SELATAN Nama
: Erica Purwandini Septicorini
NRP
: E14201022
Menyetujui, Pembimbing I
Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M. Agr NIP. 131 878 497
Pembimbing II
Pembimbing III
Ir. Zulfikhar, MM NIP. 710 009 309
Ir. Sambusir
Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP. 131 430 799
Tanggal Lulus : 5 Januari 2006
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jember, Jawa Timur pada tanggal 1 September 1983 dari Bapak Marikin, SP dan Ibu Tien Kastinah, Spd. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2001 penulis lulus dari SMA Negeri I Tamanan Bondowoso dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalus Undangan Seleksi Masuk IPB.
Penulis memilih Program Studi Budidaya Hutan, Jurusan
Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama perkuliahan, penulis telah melakukan Praktek Pengenalan Hutan di KPH Banyumas Barat, BKPH Rawa Timur, RPH Cilacap dan KPH Banyumas Timur, BKPH Gunung Slamet Barat, RPH Baturaden, jawa Tengah dan Praktek Pengelolaan Hutan di Hutan Pendidikan Getas, Jawa Timur pada tahun 2004. Selain itu penulis juga mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Sirnabaya, Kecamatan Teluk Jambe Timur, Kabupaten Karawang. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis melaksanakan penelitian ini dan menyusun skripsi dengan judul “Studi
Penentuan Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Propinsi Sumatera Selatan”, dibimbing oleh Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr., Ir. Zulfhikar, MM dan Ir. Sambusir.
KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, Rab semesta alam, yang maha penyayang lagi penerima taubat, yang memberi petunjuk kepada kebenaran. Shalawat serta salam tercurah kepada Nabi dan Rasul Muhammad SAW beserta keluarganya, para sahabatnya dan siapa saja yang mengikuti jejak mereka dengan baik hingga hari akhir, sehingga skripsi yang berjudul “Studi
Penentuan Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Propinsi Sumatera Selatan” dapat terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari skripsi ini akan sulit terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Papa, Mama dan Mbah Putri atas segala kasih sayang dan perhatiannya yang tak mungkin terbalaskan serta do’anya yang tak pernah putus dipanjatkan serta Adik Aditya dan Adik Diko tercinta. 2. Bapak Dr.Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr, sebagai dosen pembimbing I, Ir. Zulfhikar, MM sebagai dosen pembimbing II dan Ir. Sambusir sebagai dosen pembimbing III yang telah berkenan meluangkan waktu, banyak memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Dr.Ir. Bintang C. H. Simangunsong, MS.Ph.D. sebagai dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Bapak Dr. Ir. Harnios Arief, M.Sc.F selaku dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. 4. Bapak Wardana, Bapak Indra dan M’Atik terimakasih atas semua bantuannya. 5. Teman-teman tercinta dan semua pihak yang telah membantu yang tidak mungkin disebut satu persatu, semoga Allah SWT mencatatnya sebagai suatu kebaikan disisi-Nya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna dengan segala keterbatasan yang dimiliki penulis maka dengan segala kerendahan hati penulis menerima tanggapan, kritik dan saran-saran perbaikan untuk menyempurnakan skripsi ini. Selain itu juga penulis mengharapkan hasil yang tertuang dalam skripsi ini dapat bermanfaat, Amin.
Bogor,
2006
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
ii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
iii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
iv
PENDAHULUAN ....................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan ............................................................................. Klasifikasi Tingkat Rawan Kebakaran Hutan Berdasarkan Bahan Bakar .............................................................................................. Cuaca Kebakaran Hutan .................................................................. Titik Panas (Hotspot) ...................................................................... Gambut ............................................................................................ Sistem Informasi Geografi (SIG) ....................................................
9 10 14 17 18
KONDISI UMUM Letak Geografis dan Luas Wilayah ................................................. Iklim ................................................................................................ Topografi ......................................................................................... Keadaan Tanah ................................................................................ Hidrologi .........................................................................................
20 20 21 21 21
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ......................................................... Alat dan Bahan ................................................................................ Pengumpulan Data .......................................................................... Metode Penelitian ...........................................................................
23 23 24 24
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Penyebab Kebakaran Hutan ...................................... Titik Panas (Hotspot) ...................................................................... Peta Kerawanan Kebakaran Hutan Bedasarkan Sebaran Hotspot .. Peta Kerawanan Kebakaran Hutan Bedasarkan Fungsi Hutan ....... Peta Kerawanan Kebakaran Hutan Bedasarkan Curah Hujan ........ Peta Kerawanan Kebakaran Hutan Bedasarkan Jenis dan Kedalaman Gambut......................................................................... Peta Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan .................................... Peta Tingkat Kerawanan kebakaran hutan di PT. SBA Wood Industries .........................................................................................
3
31 32 35 37 40 41 43 46
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
51
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
52
LAMPIRAN ..............................................................................................
55
DAFTAR TABEL Halaman 1
Iklim bio berdasarkan rata-rata presipitasi tahunan (mm) ................
13
2
Kelas kerawanan kebakaran hutan berdasarkan jumlah sebaran Hostpot tahun 1997-2004 ..................................................................
25
3
Kelas kerawanan kebakaran hutan berdasarkan fungsi hutan ...........
26
4
Kelas kerawanan kebakaran hutan berdasarkan banyaknya curah hujan ..................................................................................................
26
5
Kelas kerawanan kebakaran hutan berdasarkan jenis gambut ..........
27
6
Kelas kerawanan kebakaran hutan berdasarkan kedalaman gambut ...............................................................................................
27
Kelas kerawanan kebakaran hutan berdasarkan jenis dan kedalaman gambut ............................................................................
28
Pembobotan total skor serta penentuan kelas tingkat kerawanan kebakaran hutan ................................................................................
29
Jumlah hotspot bulanan tahun 1997-2004 Kabupaten Ogan Komering Ilir, Propinsi Sumatera Selatan ........................................
33
Luas kelas kerawanan kebakaran hutan berdasarkan analisis sebaran hotspot ..................................................................................
36
11
Luas kelas kerawanan kebakaran hutan berdasarkan fungsi hutan ...
38
12
Luas kelas kerawanan kebakaran hutan berdasarkan curah hujan ....
40
13
Luas kelas kerawanan kebakaran hutan berdasarkan jenis dan kedalaman gambut ............................................................................
42
14
Luas kelas kerawanan kebakaran hutan ............................................
44
15
Luas kelas kerawanan kebakaran hutan di PT. SBA Wood Industries ...........................................................................................
46
7 8 9 10
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Segitiga api ........................................................................................
3
2
Grafik sebaran hotspot dengan kurva normal ...................................
25
3
Bagan alir kegiatan ............................................................................
30
4
Grafik hubungan jumlah sebaran hotspot bulanan Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan tahun 1997-2004 (Sumber data Satelit NOAA-AVHRR, FFPMP2 PHKA/JICA) .......
33
Grafik hubungan sebaran hotspot pada fungsi hutan Kabupaten Ogan Komering Ilir Propinsi Sumatera Selatan tahun 1997-2004 (Sumber data Satelit NOAA-AVHRR, FFPMP2 PHKA/JICA) .......
37
6
Lahan bekas terbakar pada tahun 2004 .............................................
45
7
Daerah kelas rawan tinggi pada unit A nomor petak 2005613 .........
47
8
Daerah kelas rawan tinggi pada unit D nomor petak 2301160 .........
47
9
Daerah kelas rawan tinggi pada unit N nomor petak 2711160 .........
47
10
Daerah kelas rawan sangat tinggi pada unit L nomor petak 2505190 ...................................................................................
48
Daerah kelas rawan sangat tinggi pada unit K nomor petak 1415150 ...................................................................................
48
12
Daerah kelas rawan rendah pada unit H nomor petak 2412080........
48
13
Pembersihan lahan dengan cara mekanik .........................................
49
14
Pembersihan lahan dengan cara manual ...........................................
49
15
Areal semprot sebelum tanam ...........................................................
50
5
11
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Peta kerawanan kebakaran hutan di Kabupaten Ogan Komering Ilir Propinsi Sumatera Selatan...........................................................
56
Peta kerawanan kebakaran hutan berdasarkan analisis sebaran hotspot ...............................................................................................
57
3
Peta kerawanan kebakaran hutan berdasarkan fungsi hutan .....
58
4
Peta kerawanan kebakaran hutan berdasarkan analisis curah hujan .
59
5
Peta kerawanan kebakaran hutan berdasarkan analisis jenis dan kedalaman gambut ............................................................................
60
6
Peta kerawanan kebakaran hutan di PT. SBA Wood Industries .......
61
7
Tabel titik pengamatan di Lapangan .................................................
62
8
Tabel luasan kebakaran di PT. SBA Wood Industries tahun 2002 ...
64
9
Tabel luasan kebakaran di PT. SBA Wood Industris tahun 2004 .....
64
10
Tabel kerawanan kebakaran hutan berdasarkan analisis sebaran hotspot ..............................................................................................
64
Regression analysis Hotspot (y) versus Indek Kerawanan (x).........
65
2
11
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang memiliki kekayaan dan keanekaragaman hayati yang tinggi baik flora dan fauna maupun tipe-tipe ekosistem hutan. Fungsi-fungsi hutan yang sangat penting bagi kehidupan makhluk hidup diantaranya fungsi hutan untuk menghasilkan kayu dan hasil hutan non kayu, fungsi hutan dalam memberikan perlindungan terhadap siklus air dan pengendalian erosi, fungsi hutan sebagai tempat penyimpanan karbon, fungsi hutan dalam pemeliharaan keanekaragaman hayati, dan lain-lain. Berkurangnya kualitas dan kuantitas hutan akibat adanya gangguan dan kerusakan hutan dapat menyebabkan terganggunya fungsi-fungsi hutan tersebut sehingga perlu dilakukan pengelolaan yang baik guna menjaga kelestariannya. Gangguan dan kerusakan hutan yang terjadi bisa disebabkan oleh faktor alam maupun oleh manusia itu sendiri, baik sengaja maupun tidak disengaja, baik langsung maupun tidak langsung, hal tersebut dapat memberikan kerugian yang sangat besar baik dari segi ekonomi maupun dari segi ekologi. Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk dari gangguan terbesar yang dapat menciptakan kerusakan hutan di Indonesia. Penyebab kebakaran sering kali tidak dapat ditentukan dengan pasti, namun kebakaran-kebakaran yang terjadi hampir selalu disebabkan oleh ulah manusia seperti pembukaan lahan dengan cara membakar. Kebakaran hutan telah memberikan dampak yang cukup serius yaitu adanya akumulasi asap di atas Pulau Sumatera dan Kalimantan yang mengganggu kesehatan, menganggu kelancaran lalu lintas penerbangan, transportasi darat dan air, bahkan adanya keluhan dari negara tetangga. Besarnya angka kerugian akibat kebakaran menuntut kita untuk melakukan usaha pencegahan dan pengendalian kebakaran secara terus menerus. Anderson et. al., (1999) dalam Solichin (2004) melakukan analisa data NOAA hotspot periode tahun 1996-1999 dan mengidentifikasi 7 zona kebakaran di Sumatera. Dua zona kebakaran terletak di Propinsi Sumatera Selatan, yaitu di Kecamatan Tulung Selapan Kabupaten Ogan komering Ilir dan di Kecamatan Muara Rumpit Kabupaten Musi Rawas. Kedua wilayah tersebut merupakan
wilayah hutan gambut yang telah terdegradasi akibat logging atau konversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 1997, kedua wilayah tersebut merupakan penyumbang kabut asap terbesar di wilayah Sumatera Selatan. Upaya pencegahan menjadi perioritas utama dalam penanggulangan kebakaran hutan khususnya untuk daerah-daerah yang menjadi zona kebakaran salah satunya yaitu di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Dalam usaha pengendalian kebakaran hutan tersebut sangat diperlukan sebuah peta kerawanan kebakaran hutan untuk mengetahui daerah mana yang memiliki potensi untuk terjadinya kebakaran. Melalui peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dapat dilakukan kegiatan pemantauan dan pencegahan kebakaran sedini mungkin sehingga dapat diambil langkah-langkah pengendalian dengan tepat dan dapat dilaksanakan segera sebelum api melanda areal yang lebih luas.
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memetakan tingkat kerawanan kebakaran hutan berdasarkan jenis dan kedalaman gambut, kawasan fungsi hutan, jumlah curah hujan, dan sebaran hotspot dalam upaya pencegahan kebakaran hutan.
Manfaat Penelitian Tingkat kerawanan kebakaran hutan bermanfaat memberikan informasi tingkat kerawanan kebakaran hutan kepada pemerintah dan instansi terkait. Informasi tersebut berupa peta tingkat kerawanan kebakaran hutan diharapkan dapat menjadi dasar dalam upaya pencegahan sedini mungkin.
TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan Defenisi Kebakaran Hutan Definisi kebakaran hutan secara umum adalah kejadian alam yang bermula dari proses reaksi secara cepat dari O2 dengan unsur lainnya yang ditandai dengan panas cahaya secara nyata (Davis, 1959). United States Forest Service (1956) dalam Brown dan Davis (1973) mendefinisikan kebakaran hutan sebagai suatu proses pembakaran yang menyebar secara bebas yang mengkonsumsi bahan bakar hutan seperti serasah, rumput, humus, ranting, kayu mati, sisa- sisa gulma, semak, dedaunan, serta pohon-pohon segar untuk tingkat terbatas. Dengan demikian arti penting dari kebakaran hutan adalah sifatnya yang tidak tertekan dan bebas menyebar free burning. Brown dan Davis (1973) mengatakan bahwa proses pembakaran merupakan kebalikan dari proses fotosintesis yang dapat dijelaskan sebagai berikut : Proses fotosintesis: 6CO2 + H2O + Energi matahari
C6H12O6 + 6O2
Proses Pembakaran : C6H12O6 + 6O2 + Energi panas
CO2 + H2O + energi panas
Menurut Brown dan Davis (1973), kebakaran terjadi bila terdapat unsur 3 unsur yang mempengaruhinya yaitu bahan bakar, O2 dan panas atau yang disebut dengan fire triangle atau segitiga api. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Panas
Oksigen
Api Bahan bakar Gambar 1 Segitiga api (Clar and Chatten, 1954)
Prinsip ini juga merupakan dasar dalam strategi penanggulangan kebakaran hutan dan penggunaan api. Dengan mencegah bertemunya kompenen segitiga api tersebut maka kebakaran hutan dapat dihindarkan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi bahan bakar hutan yang potensial maupun sumber panas yang dapat terjadi karena faktor manusia. Tahapan Proses Kebakaran Selama proses kebakaran, dapat diperlihatkan lima fase pembakaran (De Bano et al., 1998) yaitu : Fase pra
pemanasan (Pre-ignation). Bahan bakar mulai terpanaskan,
kering dan mulai mengalami pirolisis, yaitu terjadi pelepasan uap air, CO2, dan gas-gas yang mudah terbakar termasuk methane, methanol, dan hidrogen. Dalam proses pirolisis ini reaksi berubah dari eksotermik menjadi endotermik. Bahan bakar kayu busuk (rotten wood) menghasilkan panas yang berbeda dibanding dengan kayu sehat (sound wood) yaitu dibawah 1500C. Proses eksotermik mencapai puncak dari suhu 300-4000C pada kayu sehat (sound wood) pelepasannya lebih banyak dari pada kayu busuk (rotten wood). Ini bisa membantu menerangkan pada kayu busuk (rotten wood) pemanasannya lebih mudah disebabkan oleh petir atau bunga api dari sistem energi. Flaming Combustion. Pirolisis melaju dan mempercepat oksidasi dari gasgas yang dapat terbakar. Gas-gas yang mudah terbakar dan uap air mengakibatkan pirolisis meningkat di sekitar bahan bakar termasuk O2 dan pembakaran terjadi selama tahap ini. Api mulai menyala dan dapat merembet dengan cepat akibat hembusan angin dan gas-gas yang pada tahap flaming mudah terbakar menandai penyalaan bahan bakar. Gas-gas mudah menyala lebih cepat dihasilkan dan reaksi kimia menjadi proses eksotermik yang lebih kuat mencapai puncak sekitar suhu 3200C. Meskipun gas-gas lebih mudah menyala pada suhu atas 3200C, gas-gas tersebut tidak akan menyala bahkan ketika bercampur dengan udara pada suhu 4250C-4800C. Suhu maksimum yang bisa dihasilkan oleh pembakaran gas-gas dari wildland fuels yaitu antara 19000C dan 2000C dengan campuran gas dan udara yang ideal.
Smoldering. Terdapat dua zona yang merupakan karakteristik dari fase ini yaitu 1) zona pirolisis dengan berkembangnya hasil-hasil pembakaran dan 2) zona arang dengan hasil pembakaran yang tidak terlihat. Laju penjalaran api mulai menurun karena bahan bakar tidak dapat menyuplai gas-gas yang dapat terbakar dalam kosentrasinya dan pada laju yang dibutuhkanuntuk pembakaran yang dahsyat. Kemudian panas yang dilepaskan menurun dan suhunya pun menurun menyebabkan gas-gas lebih banyak berkondensasi ke dalam asap. Proses ini menyebar lambat, sekitar 3 cm/jam. Proses ini bisa menaikkan temperatur tanah mineral di atas 3000C untuk beberapa jam dengan suhu maksimum sekitar 6000C yang menyebabkan dekomposisi bahan organik dan kematian organisme tanah. Glowing. Fase ini merupakan fase akhir dari proses smoldering. Bila suatu kebakaran mencapai fase glowing, sebagian besar dari gas-gas yang mudah menguap akan hilang dan oksigen mengadakan kontak langsung dengan permukaan dari bahan bakar yang mengarang. Hasil dari fase ini adalah CO, CO2 dan abu sisa pembakaran. Extinction. Suatu kebakaran akhirnya berhenti bila semua bahan bakar yang tersedia telah dikonsumsi. Tiga tahap proses kebakaran pada pohon menurut Chandler et al., (1983) : 1 Penyerapan panas (endoterm), dimana bahan bakar menyerap panas sampai mencapai titik bakar. 2 Peningkatan suhu disertai penguapan air dan hancurnya molekul pada jaringan pohon dan melepaskan kandungannya yang mudah menguap. 3 Pelepasan panas (eksoterm), bahan bakar selulosa terbakar melepas panas. Tipe Kebakaran Hutan Dilihat dari bahan bakar yang terbakar dan cara penjalaran api, kebakaran hutan dapat digolongkan dalam 3 tipe (Davis, 1959), yaitu : Kebakaran Bawah (Ground Fire). Merupakan kebakaran yang membakar bahan-bahan organik di permukaan tanah yang meliputi bahan organik yang sedang membusuk, humus dan lapisan tanah bagian atas. Penjalaran api lambat
tapi kontinu dan tidak menimbulkan nyala api, sehingga sulit diketahui. Arah kebakaran kesegala arah sehingga kebakaran bawah berbentuk lingkaran. Kebakaran Permukaan (Surface Fire). Kebakaran jenis ini terjadi di lantai hutan, bahan bakarnya antara lain berupa serasah dan tumbuhan bawah yang ada di lantai hutan. Kebakaran ini dapat menjalar pada vegetasi yang lebih tinggi dan penjalarannya dimulai dari permukaan lantai hutan. Penjalaran api berbentuk lonjong atau elips karena mendapat pengaruh angin. Kebakaran Atas (Crown Fire). Kebakaran atas disebut pula kebakaran tajuk. Kebakaran tajuk dapat terjadi karena adanya kebakaran permukaan yang menjalar kearah tajuk pohon, atau sebaliknya. Biasanya kebakaran jenis ini mempercepat terjadinya kebakaran dan berkembang dari tajuk suatu pohon ke tajuk pohon yang lainnya. Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Kebakaran Hutan Jenis Bahan Bakar. Hawley dan Stickel (1948), membagi bahan bakar hutan berdasarkan potensinya dalam menimbulkan kebakaran kedalam 7 kelompok, yaitu : 1 Pohon hidup yang menyusun hutan tersebut 2 Semak belukar 3 Rumput tanaman penutup tanah 4 Serasah dan humus 5 Dahan mati dan lumut yang terdapat pada pohon hidup 6 Pohon mati yang masih berdiri 7 Sisa pembalakan Bahan bakar berdasarkan lapisannya dapat dikelompokan menjadi (Brown and Davis, 1973): 1 Bahan Bakar Bawah (Ground fuels) Bahan bakar ini terdiri dari duff dan akar-akaran, letaknya berada di dalam bumi yang telah terakumulasi selama beberapa tahun dan berasal dari mineral yang jatuh. Memiliki sifat kekompakan yang tinggi dan sebagian didekomposisi yang mengakibatkan api menjalar lambat dengan nyala yang sedikit.
2 Bahan Bakar Permukaan (Surface fuels) Bahan bakar ini berupa bahan bakar herba seperti rumput dan paku-pakuan. Bahan bakar tersebut memiliki perbedaan yang mencolok karena tidak sama dengan bahan bakar bawah. Bahan bakar ini sebelumnya merupakan tumbuhtumbuhan yang hidup di daerah tersebut lebih merupakan hasil proses biologi dibanding proses mekanik
kebakarn rumput-rumputan lebih cepat menjalar
dibanding kebakaran yang lainnya. 3 Bahan Bakar Tajuk (Aerial Fuels) Bahan bakar ini berupa daun, ranting, dan cabang-cabang kecil. Umumnya bahan bakar tersebut merupakan bahan bakar hidup dan mempunyai kelembaban yang tinggi sehingga bahan bakar tersebut tidak akan terbakar kecuali dibakar dalam periode waktu yang lama. Topografi. Ketinggian tempat, letak, lereng dan kondisi permukaan tanah berpengaruh pada penjalaran dan kekerasan kebakaran. Pada daerah yang tidak rata dimana frekuensi dan vareasi dari topografi cukup besar, maka penyebaran kebakaran adalah tidak teratur (Hawley dan Stickel, 1948). Brown dan davis (1973) mengatakan bahwa faktor topografi yang berperan dalam mempengaruhi kebakaran adalah kemiringan. Api mempunyai tendensi membakar cepat ke atas bukit dan lambat ke arah lembah. Hal ini disebabkan oleh adanya angin permukaan yang naik keatas lereng. Kadar air yang tinggi di lembah menyebabkan terhentinya penjalaran api yang kemudian mati. Iklim Mikro dalam Hutan. Musim kemarau yang panjang menyebabkan berkurangnya kelembaban vegetasi, sehingga pemasukan panas yang rendah pun dapat menyebabkan kebakaran yang hebat. Pemanasan menyebabkan evaporasi, mengeringnya material tanaman, meningkatnya suhu hingga 200oC serta terbentuknya gas-gas yang mudah terbakar dan kebakaran akan meningkat secara cepat karena adanya panas yang dilepaskan dari kebakaran serasah (Brown and Davis, 1973).
Waktu terjadinya kebakaran hutan. Menurut Saharjo (2004), pada pagi hari dengan suhu yang relatif rendah (18-220C), kelembaban relatif tinggi (95-100%), maka tingkat kadar air bahan bakar juga akan relatif tinggi (>40%), sehingga api sukar untuk menjalar bila kebakaran berlangsung. Selain itu pola kebakaran yang terjadi relatif tidak berubah dari bentuk lingkaran, ini karena kecepatan angin relatif stabil atau boleh dikatakan tidak terlalu berpengaruh. Sementara itu pada siang hari dengan suhu udara yang relatif tinggi sekitar 350C, kelembaban relatif 70-80%, kecepatan angin sekitar 60 meter/menit, dan tentu saja kadar air bahan bakar yang relatif rendah (<30%), membuat proses pembakaran rtelatif cepat dengan berubah-rubah arah, intensitas kebakaran tinggi membuat bentuk kebakaran yang terjadi menjadi tidak beraturan. Bagi bahan bakar yang mengandung kadar air cukup tinggi (>30%), maka relatif memerlukan energi panas yang cukup tinggi guna mencapai temperatur penyalaan. Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan Kebakaran hutan disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu faktor alam dan faktor manusia. Secara alam kebakaran dipengaruhi oleh beberapa faktor alam yang berkaitan, yaitu iklim (kemarau panjang, petir dan daya alam lainnya), jenis tanaman (misalnya pinus, mengandung resin), tipe vegetasi (alang-alang, hutan terbakar, hutan-hutan monokultur tertentu), bahan-bahan sisa vegetasi (serasah, ranting kering), humus dan lain-lain (Direktorat Perlindungan Hutan, 1983 dalam Franky, 1999). Suratmo (1985) menyatakan bahwa penyebab kebakaran hutan pada umumnya adalah : 1 Dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. 2 Api berasal dari ladang yang berdekatan dengan hutan. 3 Bara dari kereta api. 4 Api dari pekerja hutan dan penebang pohon. 5 Api dari perkemahan (api unggun). 6 Petir. 7 Api dari perokok dan orang-orang yang lewat dekat hutan. 8 Lain-lain sebab,misalnya api dari gunung berapi. 9 Tidak diketahui penyebabnya.
Klasifikasi Tingkat Rawan Kebakaran Hutan Berdasarkan Bahan Bakar Hasil penelitian Saharjo dan Watanabe (1997), menunjukkan bahwa pakis dan alang-alang merupakan bahan bakaran dengan silica-free ash terendah yang berarti bahwa kedua bahan bakaran dari tumbuhan yang berbeda tersebut merupakan bakaran yang sangat mudah terbakar dibandingkan dengan bahan bakaran dari jenis lain misal semak belukar dan dari jenis pohon dan menurut Asril (2001) dalam Saharjo (2004), bahan bakaran yang berasal dari ranting mati merupakan bahan bakaran dengan tingkat silica-free ash yang sangat rendah dibandingkan dengan bahan bakaran dari material yang lain. Dengan melihat fakta berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menyangkut bahan bakar, kemudahan terbakar, dan intensitas kebakarannya serta tingkat kesulitan dalam pengendaliannya maka bahan bakaran yang terdapat pada berbagai tipe vegetasi dan lokasi tempat diusahakannya dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu (Saharjo, 2004) : 1 Bahan bakaran yang terdapat pada areal terbuka (tidak terlindungi/ternaungi oleh tajuk pohon) dan tidak terdapat pada lokasi yang diusahakan dengan intensitas kebakaran rendah yang bervariasi antara 1 - 1000 kW/m. Bahan bakaran pada kelompok ini umumnya di dominasi oleh bahan bakaran halus dimana intensitas kebakarannya rendah dan relatif mudah terbakar. 2 Bahan bakaran yang terdapat pada areal yang diusahakan secara sengaja dengan merubah bentuk dan struktur komposisi vegetasi dengan intensitas kebakaran 1000 – 2000 kW/m. Bahan bakaran pada kelompok ini termasuk bahan bakaran yang medium (pertengahan) yang merupakan peralihan antara kelompok bahan bakaran halus dan bahan bakaran kasar. Kelompok bahan bakaran ini didominasi oleh bahan bakaran yang timbul akibat perbuatan manusia yang relatif di sengaja seperti perladangan dan penyiapan lahan dan relatif agak sukar terbakar. 3 Bahan bakaran yang terdapat pada areal berhutan yang terganggu yang memiliki potensi bahan bakaran yang tinggi baik pada tanah mineral maupun pada lahan gambut dengan intensitas kebakaran yang tinggi bervariasi antara 2.000 – 3.000 kW/m. Bahan bakaran pada kelompok ini termasuk kelompok bahan bakaran dimana tegakan (pohonnya) relatif masih ada meskipun jarang
sebagai produk dari kegiatan konservasi yang dilakukan sebelumnya. Diantara kelompok bahan bakaran maka kelompok dimana intensitas kebakarannya tertinggi dan sulit untuk terbakar. 4 Bahan bakaran yang terdapat berupa vegetasi/tegakan berhutan yang belum terganggu sehingga sangat sukar untuk terbakar. Kelompok bahan bakaran ini merupakan kelompok bahan bakaran yang terdapat dalam tegakan dimana tegakannya masih dalam keadaan virgin (tidak terganggu). Tegakan yang terganggu dari kelompok inilah yang sering terbakar. Cuaca Kebakaran Hutan Menurut Brown dan Davis (1973) cuaca atau iklim merupakan faktor yang sangat menentukan kadar air bahan bakar, terutama peran dari hujan. Pada musim kering kelembaban udara sangat menentukan kadar air yang dapat dijadikan indikator bahaya kebakaran. Dalam hal ini, kadar air lebih besar atau sama dengan 30% dari bahan bakar dianggap aman terhadap bahaya kebakaran, tetapi makin menurunnya persentase kadar air bahaya kebakaran makin meningkat. Chandler et. al. (1983) menyatakan bahwa cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan dengan berbagai cara yang saling berhubungan yaitu : 1 Iiklim menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia 2 Iklim menentukan jangka waktu dan kekerasan musim kebakaran 3 Cuaca mengatur kadar air dan kemudahan bahan bakar hutan untuk terbakar 4 Cuaca mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan Menurut Suratmo (1985), cuaca atau iklim merupakan faktor yang sangat menentukan kadar air bahan bakar, terutama peran dari hujan. Pada musim kering, kelembaban udara sangat menentukan kadar air yang dapat dijadikan indikasi bahaya kebakaran. Dalam hal ini kadar air lebih besar atau sama dengan 30% dari bahan bakar dianggap aman terhadap bahaya kebakaran, tetapi makin menurunnya prosentase kadar air bahaya kebakaran makin meningkat.
Cuaca kebakaran (Fire Weather) adalah kondisi cuaca yang mempengaruhi awal munculnya api, perilaku api dan perjalanannya. Beberapa faktor cuaca atau iklim yang berpengaruh diantaranya : Suhu Udara Suhu udara merupakan faktor yang selalu berubah bergantung pada intensitas radiasi surya dan mempengaruhi suhu bahan bakar serta kemudahannya terbakar (Chandler et. al., 1983). Daerah yang mempunyai suhu tinggi akan mempercepat terjadinya pengeringan bahan bakar dan memudahkan terjadinya kebakaran terutama jika terjadi pada musim kemarau panjang. Suhu udara selanjutnya merupakan faktor pengatur perubahan tekanan udara, kelembaban udara dan evaporasi. Peningkatan suhu udara di suatu tempat menyebabakan penurunan kerapatan udara yang akan diikuti oleh penurunan tekanan. Hal sebaliknya terjadi pada suhu udara menurun. Peningkatan suhu udara juga menyebabkan peningkatan kapasitas udara menampung uap air, sehingga walaupun jumlah molekul uap tetap kelembaban relatif akan menurun jika suhu udara meningkat. Peningkatan suhu udara juga akan meningkatkan evaporasi, karena turunnya kelembaban (RH) akan meningkatkan defisit tekanan uap yang merupakan salah satu pembangkit penguapan. Suhu akan berangsur-angsur turun dengan meningkatnya ketinggian tempat, sehingga banyaknya satuan panas juga berbeda-beda. Ada 3 alasan yang menyebabkan keadaan ini yaitu : 1 Sumber utama pemanasan udara adalah bumi. 2 Kerapatan uap air menurun dengan menurunnya ketinggian, jadi panas sedikit dapat disimpan di udara. 3 Suhu menurun yang merupakan hasil ekspansi dari udara yang naik dari permukaan bumi. Menurut Saharjo (2004), pada pagi hari dengan suhu yang cukup rendah sekitar 200C ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat api tidak berkembang sehingga terkonsentrasi pada titik. Sementara siang hari dengan suhu 30-350C sedangkan kadar air bahan bakar cukup rendah (<30%)membuat proses pembakaran berlangsung cepat dan bentuk kebakarannya pun tidak satu titik, tapi berubah-ubah karena pengaruh angin.
Kelembaban Udara Di dalam hutan kelembaban udara akan sangat mempengaruhi mudah tidaknya bahan bakar mengering dan terbakar, hal ini dikarenakan kelembaban (kadar air di udara) dapat menentukan jumlah kandungan air di dalam bahan bakar. Semakin sedikit kadar air di udara (RH kecil) maka semakin mudah bahan bakar mengering (Fuller, 1991). Kelembaban udara dari siang hari berkisar antara 80-85% akan membuat proses kebakaran berlangsung cepat karena kadar air bahan bakar cukup rendah (<30%) sebaliknya pada pagi hari kelembaban relatif tinggi yaitu sekitar 90-95% ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat api tidak berkembang sehingga terkonsentrasi pada satu titik. Curah Hujan Curah hujan berpengaruh terhadap kelembaban bahan bakar. Jika curah hujan tinggi maka kelembaban bahan bakar juga akan tinggi sehingga menyulitkan terjadinya kebakaran. Pengaruh curah hujan akan terlihat jelas pada nilai indeks kekeringan. Bila curah hujan tinggi maka indeks kekeringan rendah begitu pula sebaliknya. Curah hujan dapat didefinisikan sebagai jumlah air yang jatuh dipermukaan tanah dan di ukur sebagai tinggi air dalam satuan mm (milimeter) sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi dan peresapan atau perembesan kedalam tanah. Curah hujan merupakan unsur iklim yang mempunyai keragaman tinggi. Pola hujan bervariasi menurut skala ruang dan waktu. Oleh karena itu pada suatu tempat tertentu curah hujan mempunyai karakteristik yang khas bila dibandingkan dengan tempat yang lain. Menurut Hamzah (1985) dalam Triani (1995), faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap luasnya areal yang terbakar adalah masa kemarau yang terlalu panjang. Sebagian besar hujan dihasilkan oleh penurunan suhu pada arus udara yang naik pada lereng pegunungan atau oleh adanya perbedaan pemanasan lokal antara satu tempat dengan tempat yang lainnya. Keadaan tersebut masingmasing akan menimbulkan sirkulasi udara untuk mencapai keseimbangan hingga memungkinkan memberikan dampak pola cuaca lokal.
Menurut Rafi’i (1997), penentuan endapan hujan (presipitasi) tahunan yang dilambangkan dengan huruf P diukur dalam milimeter. Berdasarkan tolak ukur presipitasi, ada enam daerah presipitasi (Gaussen, Chatefort dan Fontanel, 1978 dalam Rafi’i, 1997) yaitu dapat dilihat pada tabel 1. Keenam daerah presipitasi ini dihubungkan dengan kebutuhan tumbuh-tumbuhan. Tabel 1 Iklim bio berdasarkan rata-rata presipitasi tahunan (mm) Tipe Iklim (Suhu) Indonesia Lambang I. Iklim bio puncak basah (Hyperhumid bioclimates) P > 3000 II. Iklim bio amat sangat basah (Perhumid bioclimates) 2500 < P < 3000 III. Iklim bio sangat basah (Very Humid bioclimates) 2000 < P < 2500 IV. Iklim bio basah (Humid bioclimates) 1500 < P < 2000 V. Iklim bio agak kering atau agak basah, bergantung 1000 < P < 1500 dengan lamanya musim kering (sub dry or sub humid bioclimates depending on the duration of the dry season) VI. Iklim bio kering 500 < P < 1000 Sumber : Gaussen, Chatefort dan Fontanel, 1978 dalam Rafi’i, 1997
Angin Angin mempengaruhi kecepatan pengeringan bahan bakar memperbesar jumlah O2 yang tersedia yang sangat berperan sebagai agen dalam proses pemanasan. Selain itu, angin juga dapat menentukan arah perjalaran api dan kecepatan penjalarannya karena adanya perbedaan tekanan udara akibat pemanasan. Angin merupakan salah satu faktor penting dari faktor-faktor cuaca yang mempengaruhi kebakaran hutan. Angin membantu pengeringan bahan bakar yaitu sebagai pembawa air yang sudah diuapkan dari bahan bakar. Angin juga mendorong dengan meningkatkan pembakaran dengan mensuplai udara secara terus-menerus dan peningkatan penjalaran melalui kemiringan nyala api yang terus merembet pada bagian bahan bakar yang belum terbakar (Chandler et. al.,1983).
Titik Panas (Hotspot) Hotspot (titik panas) merupakan suatu istilah untuk titik yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan ambang batas yang ditentukan oleh data digital satelit. Data digital yang digunakan berasal dari satelit NOAA-AVHRR (National Oceanic Atmospheric Administration, Advanced
Very Hight Resulaton
Radiometer). Nilai ambang batas yang digunakan dalam menentukan suatu hotspot yaitu 315K (420C) pada siang hari dan 310K (370C) pada malam hari (Hotspot Distribution Image in Sumatera and Kalimatan July 2002-December 2002 Voll. 11, Forest Fire Prevention Management Projeck phase 2, DephutJICA). Satelit NOAA mengelilingi bumi setiap 100 menit di ruang angkasa sejauh 850 km. Data dari NOAA dapat diterima hampir setiap hari pada waktu tertentu. AVHRR akan mendeteksi suhu permukaan tanah menggunakan sinar infra merah pendek utama. Titik panas (hotspot) adalah terminologi dari satu pixel yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah/lokasi sekitar yang tertangkap oleh sensor satelit data digital. Ukuran kebakaran yang luasannya kurang dari 1.21 km2 akan dipresentasikan sebagai satu pixel dan yang lebih dari 1.21 km2 akan dipresentasikan sebagai 2 pixel. luas areal minimum yang mampu dideteksi sebagai 1 pixel diperkirakan seluas 0.15 ha (Albar, 2002). Metode Hotspot dapat dideteksi dengan satelit NOAA yang dilengkapi sensor AVHRR. Dalam mendeteksi kebakaran hutan dengan satelit NOAA adalah tidak mendeteksi kebakaran secara langsung namun yang dideteksi adalah hotspot (tititk panas). Parameter ini sudah digunakan secara meluas diberbagai negara untuk memantau kebakaran hutan dan lahan dari satelit. Cara pendugaan bahaya kebakaran yang lebih menjurus menunjukan akan atau terjadinya kebakaran hutan adalah dengan metode titik panas (hotspot) Sebuah titik panas dapat mencerminkan sebuah areal yang mungkin terbakar sebagian atau seharusnya, dan karena itu tidak menunjukan secara pasti seberapa besar areal yang terbakar. Jumlah titik panas dapat sangat bervariasi dari satu pengukuran selanjutnya tergantung dari waktu pengukuran pada hari itu (aktivitas api berkurang pada malam hari dan paling tinggi pada sore hari), cuaca (sensor yang digunakan tidak dapat menembus awan dan asap) dan organisasi apa
yang memberikan data tersebut (tidak terdapat standar ambang batas temperatur/suhu untuk mengindentifikasikan titik panas) (Fire Fight South East Asia, 2002 dalam Wardani, 2004). Titik panas hanya memberikan sedikit informasi apabila tidak didukung oleh analisa dan interpretasi pada umumnya, kelompok titik panas dan atau titiktitik panas yang berjumlah besar dan berlangsung secara terus-menerus adalah indikator yang baik untuk kebakaran (titik api). Data titik panas paling bermanfaat apabila dikombinasikan dengan informasi-informasi seperti mengenai pengunaan lahan, penutupan tanaman, habitat binatang atau peta-peta lainnya kesalahan bias atau topografi dari sebuah titik panas dapat sampai sejauh 3 km (Solichin, 2004). Beberapa kelemahan tetap melekat pada satelit NOAA. Salah satunya adalah sensor yang tidak dapat menembus awan, asap atau aerososl. Kelemahan tersebut akan sangat merugikan bila kebakaran besar terjadi sehingga wilayah tersebut tertutup asap. Kejadian seperti itu sangat sering sekali terjadi di musim kebakaran, sehingga jumlah hotspot yang terdeteksi jauh lebih rendah dari yang seharusnya. Karena itu analisis lanjutan sangat diperlukan untuk mengidentifikasi apakah hospot merupakan kebakaran atau pembakaran, atau terletak di wilayah yang memiliki resiko kebakaran sangat tinggi seperti lahan gambut dan lain sebagainya. Analisa dapat dilakukan dengan melakukan overlay antar data hotspot dan data/peta penggunaan lahan atau data penutupan lahan dengan sistem informasi geografis. Biasanya hotspot yang terletak di daerah pemukiman atau transmigrasi hanya merupakan pembakaran untuk penyiapan ladang. Sehingga dalam hal ini, hotspot hanya mengidentifikasikan terjadinya panas atau pembakaran (terkendali) dan belum tentu kebakaran (tidak terkendali). Namun bila hotspot terjadi di wilayah seperti HPH, HTI atau perkebunan, maka kemungkinan besar merupakan kebakaran (dengan asumsi, perusahaan tidak melakukan pembakaran karena dilarang) (Fire Fight South East Asia, 2002 dalam Wardani, 2004).
Menurut Putri (2004) sebaran titik panas pada areal penutupan lahan paling tinggi terdapat pada penutupan berupa hutan yaitu HPH. HPH juga memiliki jumlah titik panas tertinggi. Tingginya jumlah titik panas pada HPH tersebut di duga terjadi karena adanya kegiatan pembukaan lahan dengan cara pembakaran di dalam areal HPH tersebut. Lokasi pemantauan/deteksi FFPMP2 diutamakan untuk daerah Kalimantan dan Sumatra. Daerah lain yang terjangkau dalam deteksi ini adalah: Sulawesi, Sabah, Serawak, Singapura dan bagian ujung selatan Semenanjung Malaysia. Satelit ini sering digunakan untuk pendeteksian wilayah tersebut karena salah satu sensornya yang dapat membedakan suhu permukaan didarat atau laut. Kelebihan lain adalah seringnya satelit-satelit tersebut mengunjungi tempat yang sama dua kali sehari siang dan malam keuntungan lainnya adalah, harga yang relatif murah. Kegiatan pemantauan titik panas di Propinsi Sumatera Selatan merupakan bagian dari pengelolaan penanggulangan kebakaran hutan dan kebun yang terpantau di seluruh kepulauan Sumatera yang dilaksanakan oleh Forest Fire Prevention and Control Project (FFPCP) yaitu proyek kerja sama dengan Uni Eropa. System informasi kebakaran bermula dari stasiun Penerima Data Satelit NOAA yang berada di kantor Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Wilayah II di Palembang. Idealnya, hasil kegiatan pemantauan yang disajikan dalam bentuk koordinat titik panas dan waktu pemantauan serta sebaran titik panas bisa langsung diinformasikan setiap hari ke lokasi (Dinas Kehutanan Tk. II/Cabang Dinas Kehutanan) melalui radio atau telekomunikasi bahkan dengan internet. Namun karena keterbatasan sarana dan dana, maka hasil pemantauan dibuat periodik atau bulanan dengan catatan untuk informasi yang sifatnya darurat bisa langsung disampaikan ke lokasi pada saat kejadian. Informasi data yang dihasilkan diharapkan dapat memberi dukungan terhadap upaya pengendalian kebakaran hutan dan kebun secara dini dan terkoordinasi serta dapat segera ditindaklanjuti oleh instansi terkait maupun masyarakat di sekitar lokasi kebakaran (Departemen Kehutanan, 2005).
Gambut Gambut adalah tanah organik (organic soils), tetapi tidak berarti bahwa tanah organik adalah tanah gambut.
(Andriesse, 1988). Pengertian gambut
menurut Noor (2001) diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan tidak dan hanya sedikit mengalami perombakan. Menurut Andriesse (1988)
terdapat tiga macam bahan organik yang
dikenal berdasarkan tingkat dekomposisi bahan tanaman aslinya, yaitu fibrik, hemik dan saprik. Fibrik: bahan gambut ini pada umumnya memiliki bulk density kurang dari 0.1 g/cm3 kandungan serat 2/3 dari volumenya dan kadar air maksimum pada saat jenuh berkisar antara 850% sampai >3000% dari berat kering oven bahan. Memiliki laju pergerakan air yang tinggi karena ukuran porinya besar sehingga sangat porous. Warnanya pada umumnya coklat kekuningan, coklat tua atau coklat kemerah-merahan. Hemik: bahan gambut ini memiliki tingkat dekomposisi sedang, bulk density pada umumnya antara 0.070.18 g/cm3 dan kandungan serat normalnya antara 1/3-2/3 dari volumenya. Kadar air maksimum pada saat jenuh berkisar antara 250-450%. Warnanya coklat keabuabuan tua sampai coklat kemerah-merahan. Saprik: bahan gambut ini memiliki tingkat kematangan yang paling tinggi. Bulk density biasanya ≥ 0.2 g/cm3 dan rata kandungan seratnya < 1/3 dari volumenya. Kadar air maksimum pada saat jenuh normalnya < 450%. Warnanya kelabu sangat tua sampai hitam. Menurut Notohadiprawiro (1996) dalam Noor (2001), berdasarkan ketebalan lapisan bahan organiknya gambut dipilah dalam lima kategori yaitu gambut sangat dangkal/sangat tipis (<50cm), gambut dangkal/tipis (50-100cm), gambut sedang (100-200cm), gambut dalam/tebal (200-400cm), dan gambut sangat dalam (>400cm). Gambut dalam umumnya terdapat di hutan-hutan primer di kawasan Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Sumatera yang jarang dijamah manusia. Makin tebal gambut, maka makin miskin lapisan atasnya.
Sistem Informasi Geografi (SIG) Aronoff (1989) dalam Prahasta (2002), Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem yang berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi – informasi geografi, yaitu data dan informasi yang terpaut pada bentang bumi. Dalam hal ini istilah SIG hanya dikaitkan dengan penerapan komputer dalam menangani data dan informasi. Selanjutnya dikatakan pula bahwa SIG dalam beberapa hal dapat dianggap sebagai sistem pengolahan peta. Berbagai peta disimpan untuk diperoleh kembali sewaktu-waktu. Peta-peta yang dianalisis dan dimanipulasi akan membentuk peta baru yang disajikan sebagai pertimbangan untuk suatu proses pengambilan keputusan. Penerapan komputer dalam hal ini memungkinkan penanganan yang jauh lebih efektif dan efisien serta memerlukan waktu yang lebih singkat dibanding dengan cara manual. Berbagai amplikasi SIG antara lain seperti pembuatan jaringan jalan, pertanian, perencanaan penggunaan tanah, kehutanan, pengelolaan satwa langka, geologi dan tata kota. Sistem SIG terdiri dari beberapa komponen sebagai berikut: Perangkat keras, perangkat lunak, data dan informasi geografi, manajemen. SIG menghubungkan sekumpulan unsur-unsur peta dengan atribut-atributnya didalam satu-satuan yang disebut layer. Sungai, bangunan, jalan, laut, batas-batas administrasidan hutan merupakan contoh-contoh layer. Kumpulan layer-layer ini akan membentuk basis data SIG (Prahasta, 2002). SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereverensi geografi: (a) masukan, (b) manajemen data (penyimpana dan pemanggilan data), (c) analisis dan manipulasi data, (d) keluaran Aronoff (1989) dalam Prahasta (2002). Selanjutnya menurut Widjojo (1993) dalam Apriani (1999), SIG didefinisikan sebagai perangkat lunak untuk koleksi, penyimpanan, pemanggilan kembali, transformasi dan display data keruangan permukaan bumi dengan tujuan tertentu.
SIG mendeskripsikan objek permukaan bumi dalam hal (Widjojo, 1993 dalam Apriani, 1999): 1 Spasial, data yang berkaitan dengan koordinat geografis (lintang, bujur dan ketinggian). 2 Atribut, data yang berkaitan dengan posisi geografis. 3 Hubungan data spasial, atribut dan waktu. Menurut Widjojo (1993) dalam Apriani (1999), keuntungan Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sebagai berikut: 1 Data dapat dikelola dalam format yang kompak seperti dalam disket atau magnetic file. 2 Data dapat dikelola dan diekstrak dengan biaya yang lebih murah per unit data. 3 Data dapat dipanggil kembali dengan cepat. 4 Beberapa jenis komputer memberi fasilitas untuk beberapa jenis manipulasi termasuk pengukuran jarak, overlay, transformasi dan manipulasi data base. 5 Data grafis dan non grafis (seperti transpormasi atribut) dapat digabung dan dimanipulasi secara bersamaan dan berhubungan. 6 Analisis model geografis dapat dilakukan dengan mudah (seperti analisa kemampuan lahan/kesesuaian lahan). 7 Analisa perubahan untuk dua periode waktu atau lebih dapat tersajikan lebih efisien. 8 Grafis yang interaktif dan produksi kartografi otomatik plotter dapat digunakan dalam perencanaan. Arc-view merupakan software yang dapat mengerjakan dan menganalisis suatu informasi geografis lainnya yang lebih cepat dan lebih mudah dari yang pernah dikerjakan sebelumnya (Trisasoko et al., 1997 dalam Satriani, 2001).
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni – September 2005. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor; Dinas Kehutanan Sumatera Selatan dan PT. SBA Wood Industries. Alat dan Bahan Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan perangkat programnya Arc View, alat tulis, printer dan alat hitung. Bahan Bahan yang diperlukan adalah : 1 Data Sebaran Hotspot tahun 1997-2004 dari Citra satelit NOAA (Sumber: South Sumatra Forest Fire Management Project) 2 Peta Digital Kawasan Fungsi Hutan Kabupaten Ogan Komering Ilir (Sumber: Dinas Kehutanan Sumatera Selatan, 2005) 3 Peta Digital Curah Hujan (Sumber: Dinas Kehutanan Sumatera Selatan, 1999) 4 Peta Digital Jenis dan Kedalaman Gambut Sumatera Selatan (Sumber: Dinas Kehutanan Sumatera Selatan, 2001) 5 Peta Digital Konsesi PT SBA Wood Industries (Sumber: PT. SBA Wood Industries, 2005) 6 Data Curah Hujan (Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika) 7 Data Kebakaran sebagai data penunjang seperti luasan kebakaran hutan, waktu terjadinya kebakaran, lokasi kebakaran, frekuensi kebakaran, penyebab kebakaran, dan jenis tanaman yang terbakar.
Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data yang meliputi data sebaran hotspot bulanan tahun 1997-2004 (Citra satelit NOAA); peta digital jenis dan kedalaman gambut; peta digital curah hujan dan peta digital kawasan fungsi hutan Kabupaten Ogan Komering Ilir Propinsi Sumatera Selatan. Peta sebaran hospot di Kabupaten Ogan Komering Ilir Propinsi Sumatera Selatan diperoleh dari South Sumatera Forest Fire Management Project (SSFMP). Peta kawasan fungsi hutan, peta curah hujan dan peta jenis dan kedalaman gambut diperoleh dari Dinas Kehutanan Sumatera Selatan. Data curah hujan dari Badan Meteorologi dan Geofisika. Peta konsesi SBA Wood Industries dan data penunjang seperti luas kebakaran hutan, waktu terjadinya kebakaran dan sebagainya diperoleh dari PT. SBA Wood Industries. Metode Penelitian Metode penelitian ini terdiri dari 3 tahapan pokok yaitu : 1. Pengumpulan data yaitu data sebaran hotspot, peta kawasan fungsi hutan, peta jenis dan kedalaman gambut serta peta konsesi SBA Wood Industries 2. Pengolahan data dan analisis data dengan menggunakan software 3. Menyajikan hasil analisis berupa peta dan laporan tertulis Pengolahan Data Hotspot dari NOAA-AVHRR Data spasial berformat vektor adalah salah satu jenis data masukan untuk mengolah data. Pada penelitian ini data yang digunakan adalah data sebaran hotspot tahun 1997-2004. Data hotspot yang diperoleh dari hasil pemantauan kebakaran berbentuk lintang bujur. Pengolahan yang dilakukan dengan cara memplotkan posisi hotspot dengan software arc view. Hasil plot tersebut akan menunjukkan posisi dan sebaran hotspot pada lokasi rawan kebakaran sehingga dapat diketahui potensi kebakaran hutan di Kabupaten Ogan Komering Ilir persatuan wilayah land unit.
Tabel 2 Kelas kerawanan tahun 1997-2004 Jumlah 0 1 - 2 3 - 7 8 - 44 45 - 4273
kebakaran berdasarkan jumlah sebaran hotspot Skor 0 1 2 3 4
Keterangan Tidak rawan Rawan rendah Rawan sedang Rawan tinggi Rawan sangat tinggi
Pembuatan skor ini didasarkan pada jumlah hotspot yang menyebar di Kabupaten Ogan Komering Ilir pada periode 1997-2004. Kisaran nilai dari 0 sampai 4273 merupakan sebaran jumlah hotspot yang ada dengan nilai paling rendah 0 dan sebarannya sangat banyak yaitu 547 data, jumlah 1-2 dengan sebaran 58 data, jumlah 3-7 dengan sebaran 53 data, jumlah 8-44 dengan sebaran 55 data dan jumlah 45-4273 dengan sebaran 55 data. Dengan analisis melalui Minitab 13 for windows diperoleh deskriptif statistiknya diketahui data tersebut tidak menyebar secara normal, sehingga tidak dipakai asumsi sebaran normal. Hal ini menyebabkan pemberian skor berdasarkan analisis statistik seperti mean, median dan std. deviation yang akan diperoleh kisaran nilai maksimum 45-4273 dan nilai terendah nol. Grafik sebaran hotspot dengan kurva normal terlihat pada gambar berikut:
Frequency
500 400 300 200 100 0 0
1000
2000
3000
4000
Hotspot
Gambar 2 Grafik sebaran hotspot dengan kurva normal
Analisis Peta Kawasan Fungsi Hutan Dalam pembuatan peta tingkat kerawanan kebakaran hutan berdasarkan fungsi hutan dibagi kedalam 3 kelas kerawanan kebakaran hutan. Peta kawasan fungsi hutan ini dianalisis dengan menggunakan sistem skoring. Klasifikasi skoring berdasarkan banyaknya jumlah hotspot di setiap fungsi hutan dengan mempertimbangkan luasan areal fungsi hutan tersebut di Kabupaten Ogan Komering Ilir pada periode tahun 1997-2004. Tabel 3 Kelas kerawanan kebakaran hutan berdasarkan fungsi hutan Fungsi Hutan Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Hutan Produksi Konversi Hutan Lindung Hutan Suaka Alam
Hotspot 240 15181 2499 952 172
Skor 4 4 3 2 2
Keterangan Rawan sangat tinggi Rawan tinggi Rawan sedang Rawan rendah Rawan rendah
Analisis Peta Curah Hujan Pembuatan peta kerawanan kebakaran hutan berdasarkan curah hujan menganalisis dengan menggunakan sistem
skoring. Klasifikasi skoring
berdasarkan besarnya jumlah curah hujan yang dimiliki suatu daerah. Nilai jumlah curah hujan yang digunakan pada skoring ini berdasarkan tolak ukur curah hujan (presipitasi) menurut Gaussen, Chatefort dan Fontanel (1978) dalam Rafi’i (1997). Dimana curah hujan (presipitasi) kurang dari 500 mm termasuk iklim sangat kering sehingga memiliki tingkat rawan sangat tinggi dan presipitasi lebih dari 2000 mm termasuk iklim basah yang memiliki tingkat kerawanan tidak rawan. Tabel 4 Kelas kerawanan kebakaran hutan berdasarkan banyaknya curah hujan Curah Hujan (mm) < 500 501 - 1000 1001 - 1500 1501 - 2000 > 2000
Skor 4 3 2 1 0
Keterangan Rawan sangat tinggi Rawan tinggi Rawan sedang Rawan rendah Tidak rawan
Analisis Peta Jenis dan Kedalaman Gambut Pembuatan peta kerawanan kebakaran hutan berdasarkan jenis dan kedalaman gambut terdapat 5 kelas. Peta jenis kedalaman gambut tersebut menganalisis
dengan
menggunakan
sistem
skoring.
Klasifikasi
skoring
berdasarkan sifat atau karakteristik dari setiap jenis gambut dan kedalaman atau ketebalan dari gambutnya. Pembuatan skoring untuk jenis gambut dan pembuatan skoring untuk kedalaman gambut disajikan pada tabel 5 dan 6. Tabel 5 Kelas kerawanan kebakaran hutan berdasarkan jenis gambut Jenis gambut Saprik Hemik Fibrik
Skor 4 3 2
Keterangan Rawan sangat tinggi Rawan tinggi Rawan sedang
Setiap jenis gambut memiliki perbedaan tingkat kematangan atau dekomposisinya sehingga kemudahan terbakar dan tingkat kerusakannya akan berbeda pula. Pada fibrik memiliki kadar air maksimum cukup besar sehingga api sulit untuk lolos dengan mengetahui sifat dan karakteristik tersebut maka jenis ini masuk pada tingkat kerawanan sedang. Untuk jenis Hemik yang memiliki tingkat dekomposisi setengah matang memiliki tingkat kerawanan tinggi. Sedangkan pada jenis saprik yang terkomposisi 100% dan memiliki pori-pori tanah cukup renggang sehingga api lebih cepat untuk lolos dan membakarnya, sehingga jenis tanah ini termasuk kedalam tingkat kerawanan sangat tinggi. Tabel 6 Kelas kerawanan kebakaran hutan berdasarkan kedalaman gambut Kedalaman gambut (cm) Sangat tipis (< 50) Tipis (50-100) Sedang (100-200) Tebal (>200)
Skor 4 3 2 1
Keterangan Rawan sangat tinggi Rawan tinggi Rawan sedang Rawan rendah
Gambut tipis akan lebih rawan terbakar bila dibandingkan dengan gambut tebal. Gambut tipis yang terbakar akan lebih mudah sekali rusak dan akan hilang bila terjadi leaching. Gambut tipis akan lebih mudah menjadi irreversible drying yaitu sifat tanah gambut yang tidak dapat kembali setelah terbakar. Sifat ini menyebabkan gambut yang dalam keadaan kering bercerai berai dan tidak dapat
kembali ke kondisi semula (kompak) walau gambut tersebut dibasahi (Suyanto el. al., 2003). Oleh karena itu gambut tipis memiliki skor terbesar yaitu 4, dan gambut sangat tebal memiliki skor terendah yaitu 1. Dari
kedua
variabel
ini
kemudian
dilakukan
pembobotan
untuk
mendapatkan peta kerawanan kebakaran hutan. Kedua variabel tersebut yaitu jenis gambut dan kedalaman gambut sama-sama mempunyai pengaruh yang penting sebagai bahan bakar potensial, maka nilai bobotnya sama yaitu 50%. Persamaan yang digunakan : IKG = 0.5*SJG + 0.5*SDG Keterangan : IKG
= Indeks Kerawanan Gambut
Sjg
= Skor jenis gambut
Sdg
= Skor kedalaman gambut
Tabel 7 Kelas kerawanan kebakaran hutan berdasarkan jenis dan kedalaman gambut Indek rawan gambut 4 3 2 1
Skor 4 3 2 1
Keterangan Rawan sangat tinggi Rawan tinggi Rawan rendah Rawan sedang
Pembuatan Peta Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan Pembuatan peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dengan analisis Sistem Informasi Geografi (SIG). Analisis SIG ini adalah analisis terakhir yang harus dilakukan dengan mengoverlay variabel yaitu peta kerawanan berdasarkan jumlah curah hujan, jenis dan kedalaman gambut dan tipe hutan sehingga menjadi satu kesatuan peta tingkat rawan kebakaran hutan di Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Dalam analisis ini digunakan program arc view 3.2 untuk memetakan tingkat kerawanan kebakaran hutan dengan menghitung indeks kerawanan kebakaran. Peta – peta tersebut dioverlay kemudian dilakukan perhitungan pembobotan dengan persamaan : IK = a*SGbt + b*SFhtn + c*SChjn Keterangan : IK
= Indek Kerawanan
SGbt
= Skor Jenis dan Kedalaman Gambut
SFhtn
= Skor Fungsi Hutan
SChjn = Skor Curah Hujan a,b,c
= Konstanta
Indek Kerawanan dapat diduga dari sebaran hotspot periode tahun 19972004. Deteksi hotspot (titik panas) merupakan informasi yang akurat dan yang dapat diperoleh dengan mudah dalam upaya meningkatkan kepedulian dan kewaspadaan dalam kegiatan pengendalian kebakaran hutan (Saharjo, 2004). Penentuan
tingkat
kerawanan
kebakaran
hutan
dengan
pembobotannya
ditunjukkan pada tabel 8. Tabel 8 Pembobotan skor serta penentuan kelas tingkat kerawanan kebakaran hutan Total Skor 0 - 0,8 0,8 - 1,6 1,6 - 2,4 2,4 - 3,2 3,2 - 4
Bobot 0 1 2 3 4
Keterangan Tidak rawan Rawan rendah Rawan sedang Rawan tinggi Rawan sangat tinggi
Penentuan Tingkat Kerawanan Kebakaran di PT SBA Wood Industries PT. SBA Wood Industries merupakan salah satu TUPHHK yang mengembangkan lahan gambut. Untuk mengetahui tingkat kerawanan PT. SBA Wood Industries dilakukan overlay antara peta tingkat kerawanan kebakaran dengan peta konsesi SBA Wood Industries. Dari hasil overlay dapat diketahui luasan areal tingkat kerawanan kebakaran dapat diketahui. Pengambilan titik-titik pengamatan dilakukan untuk mengetahui jenis bahan bakaran dan kondisi lahan di lapangan.
Peta Digital
Peta Lokasi SBA Wood
Peta kawasan fungsi hutan
Peta kerawanan kebakaran hutan berdasarkan analisis fungsi hutan
Peta curah hujan
Peta kerawanan kebakaran hutan berdasarkan analisis curah hujan
Peta jenis dan kedalaman gambut Peta kerawanan kebakaran berdasarkan jenis dan kedalaman gambut
Analisis SIG
Peta Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan
Peta Kerawanan Kebakaran di PT SBA Wood Industries Gambar 3 Bagan Alir Kegiatan
Data Sebaran Hotspot Peta Kerawanan kebakaran hutan berdasarkan analisis sebaran hotspot
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Penyebab Kebakaran Hutan Setiap tahun terjadi kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Sumatera Selatan, dengan frekwensi intensitas yang paling besar terjadi pada musim kemarau yang terjadi setiap 3-5 bulan antar bulan Juli dan Oktober. Dampak negatif kebakaran hutan dan lahan secara umum adalah hilang dan menurunnya biodiversitas, kerusakan tanah, hutan, dan pencemaran udara akibat asap. Kebakaran telah merugikan berbagai pihak, terutama masyarakat di tingkat Sumatera Selatan, Indonesia, maupun Internasional, serta perusahaan swasta dan pemerintah. Sebagian besar masalah kebakaran terjadi di lahan gambut (Departemen Kehutanan, 2005). Sebab utama dari kebakaran adalah pembukaan lahan yang meliputi: pembukaan lahan yang dilaksanakan baik oleh masyarakat maupun perusahaan. Kurangnya penegakan hukum terhadap perusahaan yang melanggar peraturan pembukaan lahan tanpa bakar menambah jumlah kebakaran yang terjadi. Pembukaan lahan yang dilaksanakan dengan pembakaran dalam sekala besar dapat menjadi sulit terkendali. Sebagian dari kebakaran yang terjadi di Sumatera Selatan adalah bermanfaat bagi petani kecil, kebakaran tersebut merupakan kebakaran kecil yang hanya bertahan selama satu sampai dengan tiga jam saja di siang hari. Tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah, sehingga terpaksa memilih alternatif yang mudah, murah dan cepat untuk pembukaan lahan. Pembukaan lahan yang dilaksanakan yaitu untuk sonor dan mencari ikan (Suyanto et. al., 2003). Kebakaran tidak terkendali dengan banyak asap terakhir kali terjadi pada tahun 1997, pada waktu El Nino. Kebakaran itu dapat bertahan lebih dari satu bulan. Hutan Rawa Gambut yang tersisa di Kabupaten Ogan Komering Ilir semuanya rusak pada tahun 1997. Kebakaran gambut ini menyebabkan adanya polusi asap di Palembang selama bulan September dan November. Land Fire Danger: area dengan resiko tinggi akan kebakaran lahan adalah area bekas HPH pada lahan gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir dengan luas area sekitar 265 000 Ha. Areal ini telah banyak dilakukan kegiatan penebangan dan
merupakan salah satu areal utama akan kegiatan penebangan liar. Hutan yang rusak akan terbakar dan menyebabkan tumbuhnya alang-alang sehingga suksesi yang terjadi akan lebih sulit (FFPCP, 2001). Faktor – faktor penggunaan lahan yang menunjang kebakaran antara lain: 1) Keadaan vegetasi hutan yang rusak akibat kegiatan HPH. Vegetasi terdegradasi tersebut mengandung banyak bekas kayu atau cabang kering yang mudah terbakar; 2) Pola pengembangan yang menjadikan tanaman sangat rawan kebakaran, misalnya dengan menggunakan acacia mangium yang mudah terbakar waktu masih muda, atau kebun karet rakyat yang sering terserang alang-alang; 3) Daerah padang alang-alang/semak belukar akibat dari kegiatan pembukaan lahan untuk pertanian yang kemudia gagal dan tidak jadi ditanami. Kasus ini terutama pada daerah transmigrasi; 4) Pada daerah gambut, api yang memasuki daerah gambut kering pada kemarau panjang dapat hidup dan menjalar dibawah tanah selama beberapa minggu ataupun beberapa bulan, sehingga dapat keluar lagi dan mengakibatkan banyak kerusakan dan banyak asap (FFPCP, 2001). Titik Panas (Hotspot) Satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) dalam mendeteksi kebakaran hutan adalah tidak mendeteksi kebakaran secara langsung namun yang dideteksi adalah hotspot (titik panas). Dengan melihat adanya hotspot yang menyebar disuatu daerah merupakan cara pendugaan bahaya kebakaran yang lebih menjurus menunjukan akan atau terjadinya kebakaran hutan karena tidak semua titik panas merupakan titik kebakaran di lapangan. Deteksi hotspot (titik panas) merupakan informasi yang akurat dan yang dapat diperoleh dengan mudah dalam upaya meningkatkan kepedulian dan kewaspadaan dalam kegiatan penanggulangan kebakaran hutan (Saharjo, 2004). Hotspot yang terpantau pada citra dapat digunakan untuk mendeteksi titik kebakaran, penelitian tentang hal ini telah banyak dilakukan. Penelitian oleh Karnowo (1999) menunjukkan dari 17 pixel yang terdeteksi dengan 15 lokasi berupa kebakaran hutan dan 2 merupakan kilauan surya sehingga keberhasilan pendeteksian
mencapai
88%.
Dan
penelitian
oleh
Basyruddin
(1996)
menunjukkan dari 12 pixel yang terdeteksi pada citra sebagai kebakaran hutan, di
lapangan 10 diantaranya terbukti benar telah terjadi kebakaran hutan dan 2 lokasi adalah kilauan cahaya. Hal
ini berarti kemampuan deteksi kebakaran hutan
mencapai 83%. Jumlah hotspot bervariasi pada setiap bulannya menurut kondisi cuaca dan iklim (pola hujan bulanan dan suhu maksimum bulanan), arah dan kecepatan angin serta bahan bakaran dari vegetasi yang ada dilokasi tersebut. Kondisi cuaca di lokasi terjadinya hotspot sangat berpengaruh terhadap peningkatan jumlah hotspot dan penyebarannya kedaerah lain. Musim kemarau yang ditandai dengan rendahnya rata-rata curah hujan bulanan berpengaruh terhadap jumlah hotspot. Semakin kering suatu daerah maka hotspot akan meningkat dan sebaliknya (Solichin, 2004). Tabel 9 Jumlah Hotspot Bulanan Tahun 1997-2004 di Kabupaten Ogan Komering Ilir Propinsi Sumatera Selatan Bulan
1997 1998 Januari 0 0 Februari 0 2 Maret 0 2 April 0 0 Mei 0 0 Juni 0 0 Juli 20 9 Agustus 1273 2 September 4729 71 Oktober 6475 46 November 2667 2 Desember 0 0 15164 134 Total
1999 0 1 3 6 3 35 48 303 1102 0 0 0 1501
Tahun 2000 2001 0 0 2 0 5 0 0 0 0 0 0 0 17 71 32 64 47 77 0 1 0 0 0 0 103 213
2002 4 1 1 0 3 15 31 435 1166 2930 47 0 4633
2003 0 1 0 0 0 19 65 305 319 121 0 0 830
Total 2004 0 4 7 14 0 11 0 6 1 7 13 82 8 269 193 2607 328 7839 1601 11174 544 3260 0 0 2695 25273
Sumber data : Satelit NOAA-AVHRR, FFPMP2 PHKA/JICA Tahun 1997-2004
Hotspot yang terdeteksi pada periode 1997-2004 di Kabupaten Ogan Komering Ilir oleh satelit NOOA-AVHRR yaitu sebanyak 25 273 hotspot. Pada tabel 9 menunjukkan tahun-tahun penghasil hotspot terbanyak terdapat pada tahun 1997, 2002, 2004, 2003, dan 1999 yang masing- masing terdeteksi sebanyak 15 164, 4 633, 2 695, dan 1 501 hotspot. Sedangkan pada tahun 1998, 2000, 2001 dan 2003 terdeteksi masing-masing sebanyak 134, 103, 213, dan 830 hotspot. Jumlah hotspot tertinggi pada setiap bulannya jatuh pada bulan oktober yaitu sebanyak 11 174 hotspot dan tidak ditemukannya hotspot pada bulan desember.
Pada tahun 1997, 2002 dan 2004 jumlah hotspot terbesar jatuh pada bulan Oktober yang masing – masing terdeteksi sebanyak 6 475, 2 930, 1 601 hotspot. Tahun 1998 sampai tahun 2001 dan tahun 2003
jumlah hotspot terbanyak
terdapat pada bulan september yang masing – masing terdeteksi sebanyak 71, 1 102, 47, 77 dan 319 hotspot. Jumlah hotspot mulai banyak tedeteksi juga terdapat pada bulan Juli dan Agustus. Hotspot mulai banyak dijumpai pada bulan Juli sampai September dalam jumlah yang cukup banyak dikarenakan bulan-bulan tersebut merupakan iklim kering (musim kering). Hotspot mencapai nilai yang sangat tinggi pada bulanbulan yang mempunyai curah hujan rendah (Sulistiyowati, 2004). Tingginya jumlah hotspot pada musim kering tersebut menunjukkan adanya hubungan bahwa pada bulan – bulan kering memiliki potensi sebagai penghasil hotspot. Pada bulan – bulan itu juga biasanya kebakaran hutan dan lahan sering terjadi. 6500 6000 5500 5000 4500 Hotspot
4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
Jan
Feb
Mrt
Apr
Mei
Jun
Jul
Agust
Sept
Okt
Nov
Des
Bulan 1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Gambar 4 Grafik Jumlah Sebaran Hotspot Bulanan di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Propinsi sumatera Selatan Tahun 1997-2004 (Sumber Data Satelit NOAAAVHRR, FFPMP2 PHKA/JICA)
Kabupaten Ogan Komering Ilir memiliki jumlah hotspot tertinggi pada tahun 1997 yaitu sebesar 15 164 titik. Hotspot yang terdeteksi pada tahun 1997 sebagian besar merupakan kejadian kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran hutan dan lahan terbesar yang terjadi menyebabkan hutan rawa gambut yang tersisa di Kabupaten Ogan Komering Ilir hampir semuanya rusak pada tahun 1997.
Kebakaran gambut ini menyebabkan adanya polusi asap di Palembang selama bulan September dan November. Besarnya jumlah hotspot ditahun 1997 dibanding dengan tahun-tahun yang lainnya juga dikarenakan adanya fenomena El Nino yang berlangsung sekitar 1996 dan Agustus1997 (Panuju at. al., 2003). Tahun 2002 dan 2004 juga sebagai tahun penghasil hotspot terbesar dimana pada tahun tersebut juga terdapat kejadian kebakaran hutan dan lahan yang cukup besar. Hal ini dapat di ketahui bahwa kebakaran hutan lahan terbesar yang terjadi di PT SBA Wood Industries pada tahun 2002 dan 2004 dengan luasan areal yang terbakar yaitu seluas 5 122.79 ha dan 7 808,52 ha. Semakin tinggi curah hujan maka semakin kecil peluang untuk terjadinya hotspot selain itu pada tingkat curah hujan tinggi maka pembentukan awan juga akan tinggi. Hal ini akan menyebabkan titik panas tidak dapat terdeteksi. Satelit NOAA yang mendeteksi adanya hotspot mempunyai kelemahan. Salah satunya adalah sensornya yang tidak dapat menebus awan, asap atau aerosol (Solichin, 2004). Peta Kerawanan Kebakaran Hutan Berdasarkan Sebaran Hotspot Penentuan daerah rawan kebakaran hutan yang didasarkan sebaran hotspot dapat memberikan gambaran tentang wilayah dan kegiatan potensial penghasil hotspot dalam rangka mengantisipasi kemungkinan terjadinya kebakaran lebih besar serta meminimalisasi kemungkinan perusakan sumberdaya alam yang tersisa. Dengan diketahuinya wilayah serta kegiatan potensial penghasil hotspot dalam suatu wilayah tertentu maka kegiatan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan khususnya dalam kegiatan pencegahan menjadi lebih efefektif dan efisien. Dalam pembuatan peta kerawan kebakaran hutan berdasarkan sebaran hotspot di dasarkan pada kumpulan hotspot setiap bulannya yang menyebar pada landunit. Dengan adanya perbedaan landunit akan membedakan banyaknya kumpulan hotspot. Perbedaan landunit berpengaruh terhadap kejadian kebakaran sehingga dapat dipakai sebagai analisis peta kerawanan berdasarkan sebaran hotspot.
Tabel 10 Luas Kelas Kerawanan Kebakaran Hutan Berdasarkan Analisis Sebaran Hotspot Kelas kerawanan Rawan Sangat Tinggi Rawan Tinggi Rawan Sedang Kelas Lain Total
Luas (ha) 1 720 756.75 898.83 6 716.47 14 904.48 1 743 276.53
% 98.71 0.05 0.39 0.85 100.00
Berdasarkan analisis sebaran hotspot daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir sebagian besar merupakan daerah rawan sangat tinggi dengan luas 1 720 756.75 hektar (98.71%). Untuk kelas rawan tinggi seluas 898.83 hektar (0.05%) dan kelas rawan sedang seluas 6 716.47 hektar (0.85%). Daerah gambut, marin, plain atau perbukitan, alluvial dan acid tuff plain merupakan daerah yang berpotensi sebagai penghasil hotspot. Daerah gambut dan marin sebagian besar merupakan daerah hutan produksi. Sedangkan daerah plain, alluvial dan acid tuff plain sebagian daerahnya merupakan daerah hutan produksi konversi. Dengan besarnya jumlah hotspot pada landunit tersebut menunjukkan bahwa telah banyak terjadi pembukaan
lahan
oleh
aktivitas
manusia
yang
berhubungan
dengan
penggunaan api. Jumlah hotspot dilahan gambut sebanyak 14 001 hotspot, daerah Marin sebanyak 5 184, Plain atau dataran sebanyak 2 849, daerah Alluvial terdapat 2 612 hotspot, daerah Acid Tuff
Plain sebanyak 539 hotspot, daerah pemukiman
sebanyak 47 hotspot, daerah water body terdapat 28 hotspot dan daerah Hilli sebanyak 11 hotspot. Daerah yang memiliki potensi paling besar sebagai penghasil hotspot adalah pada lahan gambut (14 001 hotspot). Karena wilayah lahan kering yang secara ekstensif telah dibangun dan dikembangkan, lahan gambut di Sumatera semakin menjadi perhatian bagi kegiatan ekonomi, termasuk hutan tanaman industri (HTI). Penggunaan api yang tidak terkontrol dan timbulnya kebakaran berkaitan dengan sebagian besar dari kegiatan-kegiatan pengembangan di lahan gambut (Suyanto at. al., 2003).
Adanya hotspot pada daerah water body diduga hotspot yang terpantau merupakan kebakaran kecil yang dilakukan oleh masyarakat. Kegiatan masyarakat dalam mencari ikan dan pola pertanian sonor, mereka menggunakan api untuk membakar semak atau vegetasi yang menutupi kolam-kolam kecil tempat ikan berkumpul. Peta Kerawanan Kebakaran Hutan Berdasarkan Fungsi Hutan Tipe fungsi hutan di Kabupaten Ogan Komering Ilir terdiri dari lima macam yaitu hutan produksi terbatas, hutan produksi, hutan konversi, hutan lindung dan hutan suaka alam. Setengah dari luasan daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir merupakan daerah berhutan yaitu seluas 58.22%. Dengan luasnya areal berhutan tersebut dan didukung adanya aktivitas manusia maka peluang untuk terjadinya kebakaran menjadi besar atau tingkat kerawanannya tinggi. Upaya pencegahan atau pengendalian kebakaran di areal berhutan salah satunya yaitu dengan melihat sebaran hotspot yang terdapat di masing-masing daerah fungsi hutan. Dalam pembuatan peta kerawanan kebakaran berdasarkan analisis fungsi hutan yaitu dengan melihat sebaran hotspot yang ada disetiap daerah fungsi hutan tersebut. Pada gambar 3 merupakan pola jumlah hotspot dari daerah yang memiliki tingkat rawan sangat tinggi sampai daerah fungsi hutan yang memiliki tingkat kerawanan rendah.
16000 14000
Hotspot
12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
HPT
HP
HPK
HL
HSA
Fungsi Hutan
Gambar 5 Grafik Jumlah Sebaran Hotspot Pada Fungsi Hutan di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Propinsi sumatera Selatan Tahun 1997-2004 (Sumber Data Satelit NOAA-AVHRR, FFPMP2 PHKA/JICA)
Dilihat dari hotspot yang terdeteksi, hutan produksi terbatas memiliki jumlah 240 hotspot, hutan produksi memiliki jumlah hotspot tertinggi yaitu sebanyak 15 181 hotspot, hutan produksi 2 499 hotspot, hutan lindung 952 hotspot dan hutan suaka alam memiliki jumlah hotspot terendah yaitu 172 hotspot. Berbedanya jumlah hotspot disetiap fungsi hutan dipengaruhi oleh luasan areal hutan dan banyaknya aktivitas manusia yang menunjukkan berbedaan tingkat kerawanan kebakaran hutan. Diketahui bahwa hutan produksi terbatas memiliki jumlah hotspot rendah akan tetapi masuk pada kelas rawan sangat tinggi. Dengan melihat luasannya yang paling kecil bila dibandingkan dengan luasan daerah fungsi hutan lainnya ternyata hutan produksi terbatas berpotensi paling besar sebagai penghasil hotspot. Dengan luasan daerah sebesar 9 945.34 hektar dapat menghasilkan hotspot sebanyak 240 hotspot. Hutan produksi masuk ke dalam rawan sangat tinggi karena selain jumlah hotspot yang dihasilkan cukup tinggi, kejadian kebakaran hutan yang terjadi selama ini di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan menimbulkan banyak asap sering terjadi di daerah ini. Tabel 11 Luas kelas kerawanan kebakaran hutan berdasarkan fungsi hutan Kelas kerawanan Rawan Sangat Tinggi Rawan Tinggi Rawan Sedang Rawan Sedang Kelas lain Total
Fungsi hutan Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Hutan Produksi Konversi Hutan Lindung Hutan Suaka Alam
Luas (ha) 9 945.34 681 252.95 213 157.19 923 88.51 181 37.97 728 394.57 1 743 276.54
% 0.57 39.08 12.23 5.30 1.04 41.78 100.00
Hasil dari analisis berdasarkan fungsi hutan diketahui bahwa sebagian besar Kabupaten Ogan Komering Ilir memiliki tingkat kerawanan sangat tinggi yaitu seluas 691 198 29 hektar (39.65%). Kelas rawan tinggi seluas 213 157.19 hektar (12.23%) dan kelas rawan sedang seluas 110 526.48 hektar (6.34%). Tingkat kerawanan menunjukkan perbedaan aktivitas manusia pada masing – masing kawasan fungsi hutan. Sebagian besar daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir termasuk kelas rawan tinggi yaitu tepatnya pada hutan produksi, dikarenakan pada daerah hutan produksi tersebut memiliki tingkat aktifitas
manusia yang tinggi (mobilitasnya tinggi). Pada daerah fungsi hutan suaka alam memiliki luasan lebih besar (18 137.97 hektar) hampir dua kali lipat luas hutan produksi terbatas (9 945.34 hektar) dengan hotspot yang dihasilkan lebih kecil yaitu sebanyak 172 hotspot. Hal ini menunjukkan bahwa hutan suaka alam memiliki tingkat aktivitas lebih kecil di bandingkan dengan hutan produksi terbatas. Hutan produksi merupakan hutan yang mobilitasnya tinggi, karena tipe fungsi hutan ini adalah hutan buatan yang sengaja dibuat dan hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Hal ini mengakibatkan resiko kebakaran di hutan ini lebih besar di banding tipe fungsi hutan yang lain. Sedangkan hutan lindung memiliki kelembaban yang tinggi dengan kanopi yang tertutup dengan sedikit semak belukar sehingga kadar air vegetasi dalam hutan ini dapat tersedia dalam kurun waktu lama dan mengurangi resiko kebakaran. Adanya hotspot di hutan lindung dan hutan suaka alam menunjukkan bahwa kawasan fungsi hutan tersebut telah terganggu. Hotspot sebagian besar terletak di areal hutan yang telah dibuka, baik karena adanya penebangan, illegalloging maupun karena bekas terbakar. Hutan yang telah terbuka tersebut memiliki tingkat kerawanan tinggi terhadap timbulnya kebakaran karena kayu-kayu baik dalam bentuk log sisa penebangan maupun sisa bekas terbakar tak sempurna yang ada, membuat areal tersebut lebih berpotensial untuk dapat terbakar (Saharjo, 2004). Hutan yang belum terganggu sebenarnya sulit terbakar karena penutupan tajuk akan menciptakan tingkat kelembaban yang tinggi, suhu rendah dan kecepatan angin yang rendah sehingga proses pengeringan bahan bakar akan berjalan lambat yang mengakibatkan tingkat kerawanan api di hutan yang belum terganggu menjadi rendah. Bila hutan terganggu misalnya akibat penebangan maka hutan akan kehilangan tajuknya yang akan mengakibatkan sinar matahari akan langsung menembus lantai hutan dan akan mempengaruhi iklim mikro sehingga meningkatkan peluang terjadinya kebakaran (Saharjo, 2004).
Peta Kerawanan Kebakaran Hutan Berdasarkan Curah Hujan Iklim atau perubahan cuaca memang bukanlah penyebab utama terjadinya kebakaran. namun tingkat kekeringan yang terjadi akibat pengaruh iklim sangat berpotensi meningkatkan resiko terjadinya kebakaran di wilayah tertentu yang menggunakan api untuk pengelolaan lahan atau yang memiliki potensi penyulutan api lainnya. Tabel 12 Luas kelas kerawanan kebakaran hutan berdasarkan curah hujan Kelas kerawanan Rawan Rendah Tidak Rawan Kelas Lain Total
Curah hujan (mm) 1501 – 2000 > 2000
Luas (ha) 273 122.87 1 455 249.17 14 904 48 1 743 276.53
% 15.67 83.48 0.85 100.00
Pemetaan ini mulai dianalisis dari stasiun-stasiun klimatologi yang ada di Kabupaten Ogan Komering Ilir dengan data curah hujan tahunan dalam jangka beberapa tahun. Dari hasil analisis berdasarkan curah hujan ini didapatkan bahwa Kabupaten Ogan Komering Ilir sebagian besar termasuk wilayah kelas tidak rawan dengan luasan 1 455 249.17 (83,48%), dengan curah hujan tahunan diatas 2000 mm yang merupakan daerah iklim basah (Rafi’i, 1997). Sedangkan untuk kelas rawan rendah seluas 273 122.87 (15,67%). Menurut klasifikasi Schmidth dan Ferguson Kabupaten Ogan Komering Ilir termasuk tipe iklim B basah yaitu daerah basah dengan vegetasi masih hutan hujan tropika dengan bulan dengan hujan > 100 mm dan nilai perbandingan ratarata bulan kering dan bulan basah (Q) sebesar 27.8% (Sulistiyowati, 2004). Suatu wilayah dikatakan termasuk bulan basah dan bulan kering berdasarkan nilai curah hujannya. Bulan Kering (BK) yaitu bila bulan dengan hujan < 60 mm, Bulan Lembab(BL) yaitu bila bulan dengan hujan 60 – 100 mm, dan Bulan Basa (BL) yaitu bila bulan dengan hujan > 100 mm (Handoko, 1995). Meskipun daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir merupakan daerah beriklim basah namun kebakaran hutan masih terus berlangsung. Faktor iklim ini bukan menjadi faktor utama penyebab kejadian kebakaran hutan. Kebakaran hutan yang terjadi merupakan akibat dari aktivitas manusia. Salah satunya adalah kegiatan yang dilakukan para peladang. Pekerjaan land clearing yang dilakukan peladang biasanya dilakukan pada saat musim kemarau menjelang musim
penghujan. Pembakaran dilakukan peladang dengan harapan untuk mendapatkan hara tanaman dan mengurangi kemasaman tanah, sehingga tanahnya subur dan dapat ditanami. Itulah sebabnya mengapa pada bulan-bulan kemarau seperti itu kebakaran hutan biasa terjadi dan agak sulit dipadamkan. Kebakaran hutan ini dapat semakin meluas dan tidak terkendali, bila ada pembakaran liar (Santoso, 1996). Peta Kerawanan Kebakaran Berdasarkan Jenis dan Kedalaman Gambut Menurut Subagjo (2002), tanah gambut mempunyai pori-pori dan kapiler yang tinggi, sehingga mempunyai daya menahan air yang sangat besar. Dalam keadaan jenuh, kandungan air tanah gambut dapat mencapai 4,50-30 kali bobot keringnya. Meskipun pada musim kemarau, tanah gambut masih tetap lembab dengan kadar air tinggi. Kondisi tersebut merupakan kondisi yang optimal bagi petumbuhan tanaman. Lahan basah tropis adalah komponen penting dari siklus karbon global dan menjadi perhatian penting secara internasional. Lahan basah menyimpan sekitar 2 150 sampai 2 875 t C/ha (Chokkalingam et. al., in prep., Maltby dan Immirzi) dengan laju penyerapan sebesar 0.01 - 0.03 Gt C/year (Nuzil, 1997 dalam Suyanto et. al., 2003). Lahan basah juga memiliki fungsi yang penting dalam fungsi hidrologi. Penting sebagai daerah tangkapan air, sistem kontrol, pengaturan fluktuasi air, pencegahan banjir dan pencegah terjadinya penggaraman air (Rieley et. at., 1997 dalam Suyanto et. al., 2003). Menurut Andriesse (1988) terdapat tiga macam bahan organik yang dikenal berdasarkan tingkat dekomposisi bahan tanaman aslinya, yaitu fibrik, hemik dan saprik. Kadar air yang dimiliki fibrik paling besar bila dibandingkan hemik dan saprik yaitu 850% sampai >3 000% dari berat kering oven bahan dan memiliki laju pergerakan air yang tinggi karena ukuran porinya besar sehingga sangat porous. Hemik memiliki tingkat dekomposisi sedang, kadar air maksimum pada saat jenuh berkisar antara 250 – 450%. Saprik memiliki tingkat kematangan yang paling tinggi. Kadar air maksimum pada saat jenuh normalnya < 450%.
Dengan melihat perbedaan karakteristik dari setiap jenis gambut dapat diketahui bahwa jenis saprik memiliki tingkat kerawanan sangat tinggi karena kemudahan terbakar dan tingkat kerusakannya yang paling besar. Jenis hemik memiliki tingkat kerawanan tinggi dan jenis fibrik masuk kedalam tingkat kerawanan sedang. Perbedaan kedalam gambut juga mempengaruhi kemudahan terbakar dan tingkat kerusakannya. Gambut tipis akan lebih mudah terbakar atau bahkan akan habis terbakar, dan menjadi irreversible drying. Oleh karena itu gambut tipis memiliki tingkat kerawan sangat tinggi. Dari kedua variabel tersebut dilakukan overlay dan didapat peta tingkat kerawanan kebakaran hutan berdasarkan jenis dan kedalam gambut. Tabel 13 Luas Kelas Kerawanan Kebakaran Hutan Berdasarkan jenis dan kedalam gambut Keterangan Rawan Sangat Tinggi Rawan Tinggi Kelas lain Total
Luas (hektar) 169 426.30 692 985.21 880 865.02 1 743 276.53
% 9.72 39.75 50.53 100.00
Hasil analisis berdasarkan jenis dan kedalaman gambut, diketahui bahwa Kabupaten Ogan Komering Ilir memiliki dua kelas rawan kebakaran hutan yaitu daerah rawan sangat tinggi dan rawan tinggi. Kelas rawan tinggi memiliki luasan terbesar dengan luas 692 985.210 hektar (39.75%) dan luas daerah rawan sangat tinggi seluas 169 426.30 hektar (9.72%). Pada musim kemarau air di gambut akan menurun, oleh karena itu gambut adalah bahan bakar potensial. Kemarau panjang bagi masyarakat disekitar hutan merupakan opportunity karena bisa mendapatkan lahan dengan cara yang murah yaitu hanya dengan menggunakan api. Kegiatan yang dilakukan seperti sistem sonor, merupakan kegiatan pertanian dengan teknologi terbaik bagi mereka karena dapat menghasilkan padi yang lebih dari cukup. Begitu juga halnya dengan mencari ikan di hutan di tempat-tempat yang lebih mirip kolam genangan yang terdapat rawa, juga menguntungkan pada saat musim kemarau tapi masih menggunakan cara pembakaran untuk membuka rawa. Kegiatan-kegiatan diatas memicu kebakaran hutan (FFPCP, 2001).
Peta Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan Kebakaran hutan merupakan sebuah masalah yang hampir tidak pernah usai dan mengakibatkan kerugian yang cukup besar baik dibidang ekonomi, ekologi, sosial, dan kesehatan makhluk hidup khususnya manusia. Hampir setiap tahun terjadi kebakaran hutan dan lahan di indonesia dan sudah dapat dipastikan 99,9% penyebabnya adalah manusia.Kegiatan dibalik kebakaran hutan dan lahan tersebut terjadi dalam berbagai macam aktifitas baik dalam kegiatan pertanian, kehutanan maupun kegiatan lainnya (pembangunan kawasan industri, kawasan pemukiman) yang sesungguhnya dilarang (Saharjo, 2004). Kebakaran hutan tersebut tidak dibatasi waktu dan lokasi tertentu dengan kata lain dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Oleh karena itu dalam rangka pemantauan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan secara dini sangat diperlukan adanya informasi daerah rawan kebakaran. Hasil overlay antara peta kerawanan kebakaran hutan berdasarkan analisis fungsi hutan, jenis dan kedalaman gambut, dan curah hujan akan diperoleh peta kerawanan kebakaran hutan (Lampiran 1) dan luas kelas rawan kebakaran (Tabel 14). Untuk memetakan tingkat kerawanan kebakaran hutan dilakukan perhitungan indeks kerawanan kebakaran (IK). Perhitungan Indek kerawanan dengan menggunakan persamaan : IK = 0.40*SGbt + 0.35*SFhtn + 0.25*SCh. Nilai pembobotan yang dipakai dalam persamaan IK tersebut diperoleh dari analisis sebaran hotspot tahun 1997-2004. Hasil regresi antara Indek Kerawanan dengan hotspot menghasilkan R2 = 70.7%, dengan persamaan y = 43.0 + 61.1x. Hal tersebut menjelaskan bahwa 70.7% hotspot dapat dijelaskan oleh IK, dalam hal ini terjadi hubungan linier dimana kenaikan IK akan diikuti oleh kenaikan hotspot. Dari tabel 14 menunjukkan bahwa sebagian besar daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir memiliki tingkat kerawanan tidak rawan dengan luas 552 599.69 hektar (31.70%), sedangkan daerah rawan tinggi dengan luas 519 331.53 hektar (29.79%). Daerah rawan rendah memiliki luas 451 356.14 hektar (25.89%), tingkat rawan sedang seluas 148 114.97 hektar (8.50%) dan tingkat kerawanan sangat tinggi dengan luas 57413.43 hektar (3.29%).
Tabel 14 Luas Kelas Kerawanan Kebakaran Hutan Kelas Kerawanan Rawan Sangat Tinggi Rawan Tinggi Rawan Sedang Rawan Rendah Tidak Rawan Kelas Lain Total
Luas (Ha) 57 413.43 519 331.53 148 114.97 451 356.14 552 599.69 14.460,77 1 743 276.53
% 3.29 29.79 8.50 25.89 31.70 0.83 100.00
Variabel yang digunakan untuk menentukan peta tingkat kerawanan kebakaran adalah curah hujan, jenis dan kedalaman gambut, daerah fungsi hutan dan sebaran hotspot. Kabupaten Ogan Komering Ilir merupakan daerah beriklim basah akan tetapi kebakaran-kebakaran besar yang menimbulkan banyak asap terus terjadi dalam setiap tahunnya. Kebakaran hutan terjadi pada akhir musim kemarau menjelang musim penghujan. Kondisi kemarau di wilayah tersebut yaitu akhir September atau awal oktober, kemungkinan akan terjadi kebakaran hutan yang sangat merugikan. Untuk itu dibutuhkan kewaspadaan lebih besar pada bulan tersebut dimana kebakaran hutan dan lahan yang menghasilkan kabut asap diperkirakan akan dapat meningkat dari waktu ke waktu selama musim kemarau. Penggunaan variabel jenis dan kedalaman gambut dikarenakan gambut memiliki karakteristik yang berbeda dengan tanah mineral, dengan berbedanya karakteristik tersebut juga membedakan tingkat kerawanan yang dapat terjadi. Berdasarkan dari sifatnya yaitu sebagai bahan bakar potensial maka daerah gambut memiliki resiko kerawanan yang lebih tinggi. Karena wilayah lahan kering yang secara ekstensif telah dibangun dan dikembangkan, lahan gambut di Sumatera semakin menjadi perhatian bagi kegiatan ekonomi, termasuk hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan kelapa sawit berskala besar. Perusahaan – perusahaan industri tersebut yakin bahwa lahan gambut merupakan wilayah yang penting bagi pengembangan perkebunan dan HTI karena lahan gambut memiliki areal yang luas dan sebagian besar tidak dihuni, hanya sedikit yang ada kepemilikan lahannya (Suyanto et. al., 2003).
Kebakaran hutan bisa terjadi karena tiga hal. Pertama pada musim kemarau kondisi iklim setempat membuat kondisi bahan bakar mudah terbakar (kering). Kedua, karena adanya sumber api atau penyebab kebakaran hutan. Pada dasarnya hampir semua kejadian kebakaran hutan akibat ulah manusia, oleh karena itu pengelolaan HTI harus melakukan usaha-usaha pengendalian kebakaran yang terbagi atas 4 kegiatan yaitu pencegahan, deteksi, persiapan pemadaman dan pemadaman. Ketiga, tersedianya bahan bakar (Suyanto et.al., 2003). Pada hutan yang telah terbuka baik karena adanya pembukaan lahan atau akibat adanya kebakaran biasanya banyak sekali tumbuh tumbuhan alang-alang, pakis-pakisan dan tumbuhan bawah lainnya yang memiliki tingkat kemudahan untuk terbakar. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menyangkut karaktersistik bahan bakar, kemudahan terbakar, dan intensitas kebakarannya serta tingkat kesulitan dalam pengendaliannya maka bahan bakaran yang terdapat pada berbagai tipe vegetasi dan lokasi tempat diusahakannya akan berbeda (Saharjo, 2004). Hasil penelitian Saharjo dan Watanabe, 1997 menunjukkan bahwa pakis dan alang-alang merupakan bahan bakaran dengan silica-free ash terendah yang berarti bahwa kedua bahan bakaran dari tumbuhan yang berbeda tersebut merupakan bakaran yang sangat mudah terbakar dibandingkan dengan bahan bakaran dari jenis lain misal semak belukar dan dari jenis pohon dan menurut Asril (2001) dalam Saharjo (2004), bahan bakaran yang berasal dari ranting mati merupakan bahan bakaran dengan tingkat silica-free ash yang sangat rendah dibandingkan dengan bahan bakaran dari material yang lain.
Gambar 6 Lahan bekas terbakar pada tahun 2004
Setelah terjadinya kebakaran biasanya tumbuhan yang masih mampu bertahan hidup di areal tersebut adalah pakis-pakisan dan vegetasi bawah yang merupakan bahan bakaran yang paling mudah terbakar. Karenanya kebakaran sudah menjadi bagian dari siklus pada ekosistem lahan gambut terbuka (Gambar 6). Kebakaran yang tidak terkendali (diluar areal target pembakaran) merupakan masalah besar yang timbul, sehingga kegiatan pemadaman menjadi tumpuan harapan, namun seringkali kegiatan pemadaman tersebut tidak efektif. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka kegiatan pencegahan menjadi prioritas utama dalam penanggulangan kebakaran. Kegiatan pencegahan akan menjadi lebih efektif dengan adanya peta tingkat kerawanan kebakaran hutan. Peta Tingkat Kerawanan Hutan di PT SBA Wood Industries Hasil overlay antara peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dan daerah konsesi PT. SBA Wood Industries dapat diketahui bahwa PT. SBA Wood Industries memiliki daerah rawan sangat tinggi, rawan tinggi, rawan sedang, dan rawan rendah. Sebagian besar daerahnya termasuk daerah rawan tinggi dengan luas 83 053.33 hektar (73.40%), sedangkan rawan sangat tinggi memiliki luas 22 145.38 hektar (19.57%), daerah rawan sedang seluas 7 881.26 hektar (6.96%) dan tidak rawan seluas 77.53 hektar (0,07%). Tabel 15 Luas Kelas Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan PT. SBA Wood Industries Kelas kerawanan Luas (Ha) % Rawan Sangat Tinggi 22 145.38 19.57 Rawan Tinggi 83 053.33 73.40 Rawan Sedang 7 881.26 6.96 Tidak Rawan 77.53 0.07 Total 113 157.5 100.00 Dilakukan pengamatan langsung di lapangan sebanyak 21 titik pengamatan yang menyebar hampir di setiap unit areal kerja PT. SBA Wood Industries. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui keadaan langsung daerah – daerah kelas kerawanan kebakaran di lapangan, keadaan vegetasi dan jenis kegiatan yang ada di lokasi pengamatan.
Dari hasil pengamatan langsung di lapangan diketahui bahwa daerah yang masuk dalam kelas rawan tinggi dapat dilihat pada gambar 7, tegakan Acacia crassicarpa dan tumbuhan bawah yang terdapat di unit A dengan jenis kegiatannya selesai tanaman dan perawatan. Pada gambar 8 dapat dilihat bahwa adanya bahan bakaran berupa log-log sisa kebakaran tahun 2004, pakis-pakisan dan tumbuhan bawah lainnya di daerah rawan tinggi yang terdapat di unit D yang merupakan lahan bekas terbakar. Gambar 8, terdapat cabang-cabang pohon pakispakisan dan tumbuhan bawah lannya di unit N dengan jenis kegiatan replanting.
Gambar 7 Daerah rawan tinggi pada unit A nomor petak 20050613
Gambar 8 Daerah rawan tinggi pada unit D nomor petak 2301160
Gambar 9 Daerah rawan tinggi pada unit N no petak 2711160
Pada daerah rawan sangat tinggi dapat dijumpai adanya banyaknya tumbuhan bawah, pakis-pakisan, perumpung dan terdapat juga log-log sisa kebakaran serta serbuk gergajian (Gambar 10 dan 11). Menurut informasi dari PT. SBA Wood Industries, aktivitas para pengesek kayu juga sebagai salah satu penyebab terjadinya kebakaran. Pada daerah rawan sedang dapat dilihat pada gambar 12, kondisi lahannya terdapat pakis-pakisan dan tumbuhan bawah lainnya.
Gambar 10 Daerah Kelas rawan sangat tinggi pada unit L nomor petak 2505190
Gambar 11 Daerah Kelas rawan sangat tinggi pada unit K nomor petak 1415150
Gambar 12 Daerah Kelas rawan rendah pada unit H nomor petak 2412080
Kebakaran hutan yang terjadi di PT. SBA Wood Industries ini salah satunya berhubungan dengan jenis kegiatan disetiap areal petak kerjanya. Sebagai contoh, pada kegiatan penyiapan lahan dengan cara manual memiliki resiko kebakaran yang lebih besar dibandingkan dengan landclearing mekanik, karena pembersihan lahan dengan cara manual tidak benar-benar bersih masih ada sisa-sisa tumbuhan bawah/semak dan log-log yang berpotensi sebagai bahan bakaran, dan juga jumlah tenaga kerja yang bekerjanya lebih banyak. Kegiatan semprot sebelum tanam (SST), kegiatan ini dilakukan pada lahan yang memiliki banyak semak atau ilalang untuk mempermudah penyiapan lahannya. Semua tanaman yang disemprot dengan menggunakan bahan kimia yaitu gramaxon, setelah disemprot beberapa hari kemudian tanaman tersebut akan kering ditambah dengan adanya manusia yang beraktivitas di sana akan menambah tingkat kerawanan terhadap kebakaran.
Gambar 13 Penyiapan lahan dengan cara mekanik
Gambar 14 Penyiapan lahan dengan cara manual
Gambar 15 Areal semprot sebelum tanam
Pengendalian
kebakaran
hutan
sulit
dikendalikan
karena
medan,
keterbatasan sarana dan prasaran serta tenaga pelatih dalam penanggulangan kebakaran hutan. Sehubungan dengan tibanya bulan musim kemarau diwilayah rawan-rawan kebakaran hutan dan lahan diharapkan mulai mempersiapkan diri untuk mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan baik yang dilakukan secara tidak disengaja ataupun yang disebabkan oleh lahan masyarakat agar tidak terjadi kebakaran yang tidak terkendali. Pada daerah yang lebih rawan, tindakan patroli pada saat musim kemarau panjang perlu sering dilakukan. Tingkat kerawan ini juga banyak ditentukan oleh kondisi vegetasi yaitu tumbuhan bawah berupa alang-alang yang mendomisi. Pada daerah rawan yang berhubungan dengan aktivitas manusia harus mendapat perhatian lebih, karena kemungkinan besar kebakaran hutan terjadi pada daerah seperti ini. Koordinasi dan pengerahan bantuan peralatan dan tenaga yang tepat pada daerah rawan akan lebih memudahkan pengendalian bila terjadi kebakaran. Sedangkan pada daerah yang tingkat kerawanan rendah tidak berarti dibiarkan saja, namun tetap mendapat perhatian. Dalam penanggulangan kebakaran hutan perlu dilakukan pemantauan cuaca, akumulasi bahan bakar dan gejala rawan kebakaran, pembuatan sekat bakar, managemen water yang baik, patroli dan penjagaan rutin. Penyediaan tenaga dan peralatan pemadaman serta sarana transportasi dan komunikasi juga sangat diperlukan. Upaya pencegahan dengan adanya peta kerawanan kebakaran hutan akan sangat membantu dalam kegiatan penanggulangan kebakaran hutan tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kebakaran yang tidak terkendali merupakan masalah besar yang timbul, sehingga kegiatan pencegahan menjadi prioritas utama dalam kegiatan penanggulangan kebakaran. Kegiatan pencegahan akan menjadi lebih efektif dan efisien dengan adanya peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dalam rangka pemantauan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Tingkat kerawanan Kebakaran di Kabupaten Ogan Komering Ilir terbagi atas lima kelas yaitu rawan sangat tinggi, rawan tinggi, rawan sedang, rawan rendah dan tidak rawan. Kabupaten Ogan Komering Ilir memiliki tingkat kerawanan tidak rawan dengan luas 552 599.69 hektar (31.70%), sedangkan daerah rawan tinggi dengan luas 519 331.53 hektar (29.79%). Daerah rawan rendah memiliki luas 451 356.14 hektar (25.89%), tingkat rawan sedang seluas 148 114.97 hektar (8.50%) dan tingkat kerawanan sangat tinggi dengan luas 57 413.43 hektar (3.29%). Saran 1 Perlu adanya pembuatan peta kerawanan kebakaran hutan disetiap daerah yang menjadi zona-zona kebakaran dalam upaya kegiatan penanggulangan kebakaran hutan. 2 Untuk setiap HTI khususnya PT. SBA Wood Industries perlu adanya pembuatan peta rawan kebakaran berdasarkan jenis kegiatan di setiap petak kerja dengan menggunakan variabel lainnya sehingga dalam setiap bulannya akan memiliki daerah rawan kebakaran yang berbeda. Dengan adanya peta tersebut dapat digunakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kebakaran lebih besar dan penanggulangan kebakaran akan lebih efefektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA Albar, I. 2002. Fenomena El Nino dan Hotspot: Pemicu dan Solusi Kebakaran Hutan?. Makalah. Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan, Departemen Kehutanan. Jakarta. Andriesse, J.P. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soils. Food and Agriculture Organisation of The United Nation. Rome. Apriani, V. M. 1999. Amplikasi Geometrika untuk Pemetaan Kerawanan Kebakaran Hutan (Studi Kasus di Propinsi Kalimantan Timur) Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Brown, A. A. and K. P Davis. 1973. Forest Fire Control and Use. McGraw Hill, Inc. Toronto, Canada. Chandler, C., P. Cheney, P. Thomas, P. Trabaud. L and D. Williams. 1983. Fire in Forest, Volume 1. Forest Fire Behaviour and Effects. John Wiley and Sons, Inc. Toronto, Canada. Clar, C.R. and L.R. Chatten. 1954. Principle of Forest Fire Management Departement of Nature Resource Division of Forestry. California. Davis, K. P. 1959. Forest Fire Control and Use. McGraw Hill Book Company. Inc. New York. Debano, L. F, D. G. Neary, and P. F. Flolliott. 1998. Fire’s effect on Ecosystem. John Wiley and Sons, Inc. Canada-USA. Departemen Kehutanan. 2005. Hasil Pemantauan Titik Panas (Hotspot) di Wilayah Propinsi Sumatera Selatan Bulan Oktober 2000. http://www.dephut.go/id/INFORMASI/kebakaran/bakar_sumsel.htm. [4 Juni 2005]. Dephut-JICA. 2002. Hotspot Distribution Imagein Sumatera and Kalimantan July 2002-December 2002 Voll. 11, Forest Fire Prevention Managemen Project phase2. [FFPCP] Forest Fire Prevention and Control Project. 2001. Proceedings, Land and Forest Fire Workshoop South Sumatera, Oktober 2001, FFPCP. Pengelolaan Kebakaran Hutan dan Lahan Di Sumatera Selatan: Tanggung Jawab Kita Bersama Sebuah Loka Karya Awal Museum Bala Putra Dewa, Palembang, 24-25 Oktober 2001. http://www.ssffp.or.id /publication/ffpcp_workshop_Proceeding.PDF. [25 September 2005] [FFPMP2] Forest Fire Prevention Management Project 2. 2005. Pemecahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan. http://ffpmp2.hp.infoseek.co. jp/earlypageindo.htm. [18 September 2005]. Franky, P. 1999. Dampak Kebakara HutanTerhadap Perubahan Sifat-Sifat Tanah Histosol di Hutan Rawa Gambut. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Fuller, M. 1991. Forest Fire. Jhon Wiley and Sons, Inc, Canada.
Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Landasan Pemahaman Fisika Atmosfir dan Unsur-Unsur Iklim. Pustaka Jaya. Jakarta. Hawlay, R. C and P. W Stickel. 1984. Forest Protection. John Wiley and Son’s inc. New York. Chapman and Hall. Limited. London. Kantor Informasi dan Komunikasi Daerah Propinsi Sumatera Selatan. 2005. Geografi. http://mofrinet.cbn.net.id/informasi/infprop.htm. [25 September 2005]. Panuju, D.R., Bambang H. T dan Yudi S. 2003. Variasi Spasio Temporal Temperatur Kawasan Urban Sebagai Indikator Kualitas Lingkungan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Institut Pertanian Bogor. Prahasta, E. 2002. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Informatika. Bandung. Putri, R. D. 2004. Studi Tentang Sebaran Titik Panas (Hotspot) Bulanan sebagai Penduga Terjadinya Kebakaran Hutan Dan Lahan Di Propinsi Kalimantan Barat Tahun 2001 Dan Tahun 2002. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Rafi’i, S. 1997. Meteorologi dan Klimatologi. Angkasa. Bandung. Saharjo, B. H. 2004. Adaptasi Rencana Pembangunan Kehutanan Dibawah Bayang-bayang Perubahan Iklim. Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. ----------. 2004. Pedoman Klasifikasi Bahan Bakaran Berdasarkan Penutupan Lahan. Jakarta. Satriani, N. 2001. Pemetaan Kerawanan Kebakaran Hutan Di Kalimantan Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Tahun 19972000). Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB. Bogor. Solichin. 2004. Kecenderungan Kebakaran Hutan di Sumatera Selatan : Analisis Data Historis Hotspot NOAA dan MODIS. South Sumatera Forest Fire Managemen Project. Palembang. ----------. 2004. Panduan Pengumpulan Informasi Kebakaran Hutan Dan Lahan Melalui Internet. South Sumatera Forest Fire Managemen Project. Palembang. Subagjo, H. 2002. Penyebaran dan Potensi Tanah Gambut di Indonesia untuk Pengembangan Pertanian. Technical Report 410.02. Wetlands International-Indonesia Programme, Wildlie Habitat Canada, Bogor. Sulistyowati, S. 2004 Hubungan Unsur Iklim dan Titik Panas (Hotspot) di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Propinsi Sumatera Selatan Periode Tahun 2001-2002. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Suyanto, Unna C, Prianto W. 2003.Kebakaran di Lahan Rawa atau Gambut di Sumatera Selatan: Masalah dan Solusi. Center for International Forestry Research. Jakarta. Tidak Dipublikasikan.
Suratmo, F. G. 1985. Perlindungan Hutan. Bagian Perlindungan Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Triani, W. 1995. Keterkaitan Kebakaran dengan Faktor-Faktor Iklim di KPH Banyuwangi Selatan Peru Perhutani Unit II Jawa Timur. Skripsi. Jurusan Manjemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Wardani, S. F. 2003. Studi Tentang Sebaran Titik Panas (Hotspot) Bulan sebagai Penduga Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan di Propinsi Sumatera Selatan. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan
Lampiran 2 Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan berdasarkan analisis sebaran hotspot
Lampiran 3 Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan berdasarkan analisis fungsi hutan
Lampiran 4 Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan berdsarakan analisis curah hujan
Lampiran 5 Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan berdasarkan jenis dan kedalaman gambut
Lampiran 6 Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan di PT. SBA Wood Industries
Lampiran 7 Tabel titik pengamatan di PT. SBA Wood Industries No X (meter) Titik
Y (meter)
Pengamatan
Kegiatan
Tanggal
Unit No Petak
1
590098.069
9666880.136
Alang-alang dan tumbuhan bawah lainnya
Land Clearing
6/12/2005
E
2301270
2
590609.419
9669618.278
Pakis pakisan, alang-alang dan tumbuhan bawah lainnya
Lahan terbakar
6/12/2005
D
2301160
3
585021.070
9675840.122
Tumbuhan bawah dan Tegakan Acacia crasicarpa
Selesai Tanam dan Perawatan
6/13/2005
F
2110200
4
579675.429
9668374.911
Tumbuhan bawah dan Tegakan Acacia crasicarpa
Selesai Tanam dan Perawatan
6/13/2005
A
1412163
5
585620.906
9668711.093
Pakis-pakisan dan balok-balok sisa hasil kebakaran
Lahan terbakar
6/13/2005
F
1111120
6
583670.376
9675604.870
Tumbuhan bawah yang kering
Weeding Kimia
6/13/2005
F
2109180
7
574627.612
9666429.077
Acacia crassicarpa, Alang-alang dan tumbuhan bawah lainnya
Replanting
6/14/2005
K
1415150
8
576183.083
9666614.870
Acacia crassicarpa, pakis-pakisan dan log-log sisa hasil kebakaran
Replanting
6/14/2005
A
1414080
9
574611.030
9664166.078
Acacia crasssicarpa, Pakis-pakisan2an, perumpung dan tumbuhan bawah lainnya
Replanting
6/15/2005
K
1302060
10
575104.758
9660735.266
Acacia crassicarpa, Pakis-pakisan dan tumbuhan bawah lainnya
Replanting
6/15/2005
K
1310200
Lanjutan No Titik
X (meter)
Y (meter)
Pengamatan
Kegiatan
Tanggal
Unit
No Petak
11
595086.558
9664463.357
Acacia crassicarpa, Pakis-pakisan dan tumbuhan bawah lainnya
Replanting
6/15/2005
I
2315100
12
587634.203
9657504.274
Acacia crassicarpa, Pakis-pakisan dan tumbuhan bawah lainnya
Replanting
6/17/2005
G
1208210
13
574532.216
9675174.147
Replanting
6/19/2005
B1
2207170
14
575089.701
9660468.421
Acacia crassicarpa, Pakis-pakisan dan tumbuhan bawah lainnya Acacia crassicarpa dan pakis-pakisan
Replanting
6/19/2005
K
1310210
15
575054.706
9654996.704
Pakis-pakisan, perumpung, tumbuhan bawah dan log-log sisa hasil kebakaran
Belum digarap
6/19/2005
L
2505190
16
574991.452
9683426.228
Pakis-pakisan dan cabang kayu bekas terbakar
Lc Mekanis
6/19/2005
N
2707200
17
574961.569
9680337.676
Acacia crassicarpa dan pakis-pakisan
Replanting
6/19/2005
N
2713210
18
579655.326
9677868.019
Acacia crassicarpa, alang-alang dan pakispakisan
Replanting
6/20/2005
C
2106250
19
572112.522
9682893.206
Pakis-pakisan, pohon perpat dan tumbuhan bawah lainnya
Replanting
6/20/2005
O
2705250
20
582131.470
9680820.848
Pakis-pakisan dan tumbuhan bawah lainnya
Replanting
6/20/2005
N
2711160
21
589007.170
9649265.770
Tumbuhan Bawah dan Acacia crassicarpa
Replanting
6/17/2005
H
2412080
Lampiran 8 Luasan Kebakaran di PT. SBA Wood Industries Tahun 2002 No
Jenis Areal
Luas (Ha)
1
Areal Tanaman
2973.01
2
Semak Belukar
1327.34
3
Imas Tebang
675.07
4
Buka Jalur
147.37
Total
5122.79
Lampiran 9 Luasan Kebakaran di PT. SBA Wood Industries Tahun 2004 No
Jenis Areal
Luas (Ha)
1
Tanaman
1535.92
2
Semprot Sebelum Tanam
624.21
3
LC Mekanis dan LC Manual
406.49
4
Buka Jalur
191.25
5
Imas Tebang
94.82
6
Weeding
0.83
7
Singling
10.48
8
Areal Hutan/Belum Dikerjakan
4944.52
Total
Keterangan
Luasan Perkiraan
7808.52
Tampiran 10 Tabel Kerawanan Kebakaran Hutan Berdasarkan Analisis Sebaran Hotspot Tahun 1997-2004 Kelas Kerawanan Landunit Rawan Sangat Tinggi Peat Marin Plain Alluvial Acid Tuff Plain Rawan Tinggi Urban Rawan Sedang Water body Hilly Kelas lain Total
Hotspot
Luas (ha)
%
14001 5184 2849 2612 539 47 28 11
552169.00 407779.48 363418.69 305096.74 92292.84 898.83 5602.92 1113.55
31.67 23.39 20.85 17.50 5.29 0.05 0.32 0.06
14904.48
0.85
1743276.53
100.00
Lampiran 11 Regression Analysis Hotspot (y) versus Indek Kerawanan (x) The regression equation is y = 43.0 + 61.1 x Predictor Constant x S = 36.48
Coef SE Coef 43.044 4.902 61.104 2.571 R-Sq = 70.7%
T P 8.78 0.000 23.76 0.000
R-Sq(adj) = 70.6%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF SS MS F P 1 751669 751669 564.70 0.000 234 311478 1331 235 1063147
Unusual Observations Obs x y Fit SE Fit Residual St Resid 228 3.25 131.00 241.63 4.71 -110.63 -3.06R 229 3.25 131.00 241.63 4.71 -110.63 -3.06R 230 3.25 131.00 241.63 4.71 -110.63 -3.06R 231 3.25 131.00 241.63 4.71 -110.63 -3.06R 232 3.25 131.00 241.63 4.71 -110.63 -3.06R 233 3.25 131.00 241.63 4.71 -110.63 -3.06R 234 3.25 131.00 241.63 4.71 -110.63 -3.06R 235 3.25 131.00 241.63 4.71 -110.63 -3.06R 236 3.25 131.00 241.63 4.71 -110.63 -3.06R R denotes an observation with a large standardized residual