EFEKTIVITAS KEBIJAKAN TENAGA TEKNIS PENGUJIAN KAYU BULAT DALAM PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN ALAM DI KALIMANTAN TENGAH
HAJRAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektivitas Kebijakan Tenaga Teknis Pengujian Kayu Bulat dalam Penatausahaan Hasil Hutan Alam di Kalimantan Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2016 Hajrah NIM E151130091
RINGKASAN HAJRAH. Efektivitas Kebijakan Tenaga Teknis Pengujian Kayu Bulat dalam Penatausahaan Hasil Hutan Alam di Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO dan BRAMASTO NUGROHO. Pengusahaan hutan di luar pulau Jawa berkembang sejak diterbitkannya PP Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH). Berbagai institusi dibuat untuk mengatur pengelolaannya, diantaranya melalui peraturan penatausahaan hasil hutan (PUHH). Kegiatan PUHH melibatkan tenaga teknis yang disebut GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R. Terdapat kecenderungan peningkatan tenaga teknis dalam pengusahaan hutan di Kalimantan Tengah namun tidak diimbangi dengan peningkatan PSDH–DR dan kelestarian usaha. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perkembangan kebijakan (dinamika kelembagaan) dan efektivitas tenaga teknis penguji kayu bulat dikaitkan dengan tujuan kebijakan PUHH. Penelitian ini menggunakan pendekatan teori principal–agent, content analysis, policy process analysis, dan institutional and organisational development analysis. Perkembangan kebijakan dilakukan untuk melihat narasi yang mendasari setiap perubahan kebijakan, aktor yang dominan dan kepentingan dibaliknya. Efektivitas tenaga teknis mengacu pada tujuan kebijakan PUHH, yaitu: a) mengamankan hak-hak negara atas hasil hutan yang ditunjukkan dengan kepatuhan membayar PSDH–DR; b) pengendalian produksi kayu bulat; c) pengendalian peredaran kayu bulat; d) pengendalian penerimaan kayu bulat; e) pengurangan biaya transaksi; f) peningkatan harga jual kayu bulat; dan g) proyeksi standing stock IUPHHK–HA guna melihat kemampuan keberlanjutan produksinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejak periode 1990 sampai dengan 2014 kebijakan kebijakan tenaga teknis dalam kegiatan PUHH hampir tidak mengalami perubahan secara substantif. Kemenhut sebagai principal murni menjadi aktor utama dalam setiap perubahan kebijakan tersebut. Biaya pengawasan yang dibebankan kepada agent selaku pihak yang diawasi menimbulkan konflik kepentingan baik pada principal maupun agent, sehingga berakibat pada ketidakefektifan tenaga teknis dalam melaksanakan tugasnya. Untuk menghindari hal tersebut maka sumber daya untuk keperluan pengawasan harusnya menjadi tanggung jawab principal. Kemajuan teknologi saat ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan penatausahaan hasil hutan. Kata kunci:
efektivitas, penatausahaan hasil hutan, tenaga teknis PHPL, teori agensi
SUMMARY HAJRAH. The Effectiveness of Grader Policy in Natural Forest Product Administration System in Central Kalimantan. Supervised by HARIADI KARTODIHARDJO and BRAMASTO NUGROHO. Forest utilization in outside of Java has grown since the issueance of Government Regulation No. 21/1970 regulating on Forest Concession Right (HPH) and Forest Products Collection Right (HPHH). Various institutions has been established to arrange its management. One of those regulations is the forest products administrations system (PUHH). The activity of PUHH include log grader named as GANISPHPL–PKB–R and WAS–GANISPHPL–PKB–R. There is an indication of increment of them in forest utilisation in Central Kalimantan which has not followed by increment of Forest Resource Provisions and Reforestation Fund (PSDH–DR) and the sustainability of forestry business. The purpose of this study is to analyse the policies development (institution dynamic) and the effectiveness of grader related in the objectives of PUHH policies. This study uses principal–agent theory, content analysis, policy process analysis, and institutional and organisational development analysis. The evolution of policies conducted to identify the naration that influences any policy adjustment and the dominant actors including their interests. Grader effectiveness refer to the purpose of they involvement in PUHH activities, consists of: a) to secure forest products as goverment‟s right which is proved by the obligation in fulfilling the PSDH–DR; b) to control logs productions; c) to control logs distributions; d) to control logs movement; e) to reduce transaction cost; f) to increase timber price; g) to predict standing stock that indicating sustainable production capacity. The results showed that since 1990 until 2014 the policies of grader in PUHH activity did not indicate any significant substantial adjustment. Ministry of Forestry as the principal plays its role as the main actor in every adjustment of the policies. Monitoring cost which is obligated to the agents as the supervised parties has resulted conflict of interest among the principal and the agents that cause lack of efectiveness showed by grader in accomplishing the tasks. To avoid that condition, the responsibility of monitoring has to be obligated to the principal. The technology development nowadays can be utilised to improve forest products administration system. Keywords: agency theory, effectiveness, forest products administration system, grader, scaler
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EFEKTIVITAS KEBIJAKAN TENAGA TEKNIS PENGUJIAN KAYU BULAT DALAM PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN ALAM DI KALIMANTAN TENGAH
HAJRAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji pada Ujian Tesis: Dr Ir Teddy Rusolono, MSi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia– Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari sampai dengan Juni 2015 ini ialah kebijakan, dengan judul Efektivitas Kebijakan Tenaga Teknis Pengujian Kayu Bulat dalam Penatausahaan Hasil Hutan Alam di Kalimantan Tengah. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS dan Bapak Prof Dr Ir Bramasto Nugroho, MS selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Teddy Rusolono, MSi yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Lystia Kusumawardhani dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bapak Djarot Wahyudi, SHut dari Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, Bapak Kuswandi, SHut dan Bapak Dedy Karyanson, SHut dari Dinas Kehutanan Kabupaten Katingan, Bapak Lasmari dan Bapak Ir Achwan Hadisaputro dari PT. Dwimajaya Utama, Bapak Ir Emon Sulaiman dari PT. Sari Bumi Kusuma dan Ibu Yuliana Suryani, SHut dari PT. Indexim Utama Corp. atas kesediaannya membantu pengumpulan data. Bapak Ir Iman Rusmana, Bapak Akhmad Sodiq, SP MSi dan rekan-rekan BP2HP Wilayah XII Palangka Raya atas dukungannya. Teman-teman seperjuangan IPH angkatan 2013 atas kerja samanya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada nenek tercinta Hj Halmiah Muke, BA, ayahanda Drs M. Aring, ME, ibunda Farida, suami Andri, AMd Vet, kedua putri putra Aira Azkia dan A. Yusuf Zidan serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Februari 2016 Hajrah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
DAFTAR SINGKATAN ISTILAH
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang Kerangka Pemikiran Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 5 8 8 9 9
TINJAUAN PUSTAKA Efektivitas Kebijakan Tenaga Teknis Penatausahaan Hasil Hutan Kelembagaan Policy Process Analysis Agency theory Institutional and Organisational Development Analysis
9 9 9 10 11 11 12 13
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Pengumpulan Data Analisis Data Analisis perkembangan kebijakan (dinamika kelembagaan) Analisis Efektivitas GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R
13 13 14 14 14
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Kebijakan (Dinamika Kelembagaan) Tenaga Teknis PHPL-PKB-R dalam PUHH Narasi perubahan kebijakan Peran tenaga teknis Bentuk pengawasan Pengangkatan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R Penilaian kinerja GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R Insentif dan sanksi SI–PUHH online Post Audit Hubungan principal–agent
19
15
19 19 29 34 36 37 39 41 43 44
Efektivitas GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R Kepatuhan IUPHHK–HA membayar PSDH–DR Pengendalian produksi kayu bulat Pengendalian peredaran kayu bulat Pengendalian penerimaan kayu bulat Pengurangan biaya transaksi Peningkatan harga jual kayu bulat Kondisi standing stock Efektivitas GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R dari perspektif principal dan agent
46 46 49 52 54 57 58 59 60
SINTESIS HASIL PENELITIAN
61
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
67 67 68
DAFTAR PUSTAKA
69
RIWAYAT HIDUP
81
DAFTAR TABEL 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Perbandingan jumlah unit IUPHHK–HA, luas RKT, jumlah produksi kayu bulat, pendapatan PSDH–DR, serta jumlah GANISPHPL–PKB– R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R di provinsi Kalimantan Tengah Luas areal, kebutuhan minimal dan kepemilikan GANISPHPL–PKB– R pada tiga unit contoh IUPHHK–HA Matriks metode penelitian Perbandingan perubahan kebijakan terhadap keberadaan tenaga teknis dalam PUHH Narasi, aktor, dan kepentingan dalam setiap perubahan kebijakan tenaga teknis dalam kegiatan PUHH Periodisasi peran tenaga teknis penguji kayu bulat Peran, tugas dan wewenang GANISPHPL–PKB–R dan WAS– GANISPHPL–PKB–R Kontrak yang tertuang dalam SK IUPHHK–HA Perbandingan kewajiban dan pembayaran PSDH dan DR berdasarkan pengesahan LHP pada tiga unit contoh Perbandingan estimasi potensi PSDH–DR dan PSDH–DR yang terpungut pada 3 unit contoh Jumlah transaksi, frekuensi tepat waktu, frekuensi keterlambatan dan pengenaan denda pembayaran PSDH–DR Perbandingan target dan realisasi RKT serta penggunaan alat pada tiga unit contoh
4 13 17 21 27 30 32 45 47 47 48 50
13.
14. 15. 16. 17. 18. 19.
Perspektif informan kunci terhadap keberadaan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPHPL–PKB–R dalam kegiatan pengendalian produksi kayu Perspektif informan kunci terhadap keberadaan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPHPL–PKB–R dalam kegiatan peredaran kayu Perbandingan mutasi kayu di TPK Hutan dan TPK Antara pada tiga unit contoh Perspektif informan kunci terhadap keberadaan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPHPL–PKB–R dalam kegiatan penerimaan kayu Besaran biaya yang dikeluarkan IUPHHK–HA*) Perbandingan harga kayu bulat jenis meranti pada pasar domestik dan internasional Penentuan efektivitas GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL– PKB–R
51 53 54 56 57 58 60
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
11. 12. 13. 14. 15.
Luas areal IUPHHK-HA dari tahun ke tahun Jumlah IUPHHK-HA dari tahun ke tahun Jumlah GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R di Prov. Kalimantan Tengah tahun 2009–2013 Kerangka pikir penelitian Alur identifikasi DFID Perubahan peraturan PUHH dan tenaga teknis PHPL Alur titik kontrol pada kegiatan PUHH Proses pengangkatan GANISPHPL–PKB–R Proses pengangkatan WAS–GANISPHPL–PKB–R Hasil penilaian kinerja GANISPHPL–PKB–R dan WAS– GANISPHPL–PKB–R tiga tahun terakhir di Provinsi Kalimantan Tengah Perkembangan IUPHHK di Provinsi Kalteng yang menerapkan SI–PUHH online Perbandingan data realisasi produksi antara Dishut Kab. Katingan, Dishut Prov. Kalteng, BP2HP P.Raya dan SI–PUHH online Hubungan principal–agent dalam kegiatan PUHH di hutan alam Perbandingan proyeksi IHMB, usulan RKT dan realisasi RKT pada tiga unit contoh Identifikasi fungsi WAS–GANISPHPL–PKB–R dalam kegatan PUHH
3 3 4 7 16 20 35 36 37
38 42 42 44 59 67
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3.
Perubahan mekanisme pengangkatan petugas PUHH Jenis pelanggaran dan sanksi terkait keberadaan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R dalam kegiatan PUHH Jenis pelanggaran dan sanksi terhadap GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R dalam kegiatan PUHH
76 78 80
DAFTAR SINGKATAN ISTILAH AAC APHI BP2HP BPKH CDK Dephut DFID Ditjen PHPL DKB DKBK DKBS DR FA–KB GANISPHPL–PKB–R
: : : : : : : : : : : : : :
HPH IDS IHH IHMB IPHHK ITSP IUPHHK–HA JPT KBBI Kepmenhut Kepmenhutbun Keppres KLHK KPHP LHC LHP
: : : : : : : : : : : : : : : :
Annual Allowance Cut Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Cabang Dinas Kehutanan Departemen Kehutanan Department for International Development Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Daftar Kayu Bulat Daftar Kayu Bulat Kecil Daftar Kayu Bulat Sedang Dana Reboisasi Faktur Angkutan Kayu Bulat Tenaga Teknis Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Pengujian Kayu Bulat Rimba Hak Pengusahaan Hutan Institute of Development Studies Iuran Hasil Hutan Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala Industri Primer Hasil Hutan Kayu Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam Jatah Produksi Tebangan Kamus Besar Bahasa Indonesia Keputusan Menteri Kehutanan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Keputusan Presiden Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Laporan Hasil Cruising Laporan Hasil Produksi
LRP P2LHP P2SKSHH P2SKSKB Perdirjen BPK Permenhut PHH PHPL PKBRI PNBP PP PPHH PPKBRI PSDH PUHH Pusdiklat RIL RPH RPKB Sekditjen SAKB SI–PUHH SK SKSHH SKSHHK SPP SPT STTPP TPK TPn TUHH TUK WAS– GANISPHPL– PKB–R
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Laporan Realisasi Penjualan/Penyerahan Pejabat Pengesah Laporan Hasil Produksi Pejabat Penerbit Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan Pejabat Penerbit Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Peraturan Menteri Kehutanan Penguji Hasil Hutan Pengawas Penguji Hasil Hutan Penguji Kayu Bulat Rimba Indonesia Penerimaan Negara Bukan Pajak Peraturan Pemerintah Pengawas Penguji Hasil Hutan Pengawas Penguji Kayu Bulat Rimba Indonesia Provisi Sumber Daya Hutan Penatausahaan Hasil Hutan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Reduced Impact Logging Resort Pemangkuan Hutan Rekapitulasi Pemeriksaan Kayu Bulat Sekretariat Direktorat Jenderal Surat Angkutan Kayu Bulat Sistim Informasi Penatausahaan Hasil Hutan Surat Keputusan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan Kayu Surat Perintah Pembayaran Surat Perintah Tugas Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Pelatihan Tempat Penimbunan Kayu Tempat Pengumpulan Kayu Tata Usaha Hasil Hutan Tata Usaha Kayu Pengawas Tenaga Teknis Pnegelolaan Hutan Produksi Lestari Pengujian Kayu Bulat Rimba
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pengusahaan hutan berkembang sejak berdirinya Orde Baru, yaitu ketika diterbitkannya PP Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH). Pemerintah selaku pihak yang diberikan mandat untuk mengatur dan mengurus hutan–karena keterbatasan modal dan teknologi serta mempunyai tujuan publik–membuat kebijakan pengusahaan hutan yang pelaksanaannya tidak harus dilakukannya sendiri secara langsung, melainkan sebagian diserahkan kepada pihak swasta yang memiliki keahlian dibidangnya (Soedomo 2012). Menurut Nugroho (2008a) hubungan pemerintah dan swasta tersebut dapat digambarkan sebagai hubungan kontraktual antara principal dan agent. Principal (pemerintah) merupakan pihak yang memberikan mandat kepada pihak lain, yaitu agent (pemegang IUPHHK–HA) untuk melakukan kegiatan pemanfaatan hasil hutan. Dalam teori agency, agent bertindak atas nama principal dan bergantung kepada kontrol principal (Kim 2011; Muller dan Turner 2005). Namun baik principal maupun agent melakukan tindakan yang dimotivasi oleh keinginan untuk memenuhi kepentingannya masing-masing (Kaskarelis 2010). Kondisi ini kemudian menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) antara principal dan agent. Principal ingin memaksimumkan kelestarian hutan produksi sementara agent ingin memaksimumkan keuntungan yang diperolehnya dengan waktu yang sesingkat-singkatnya (Nugroho 2003). Permasalahan yang terjadi dalam hubungan principal–agent pengusahaan hutan disebabkan oleh ketidaksepadanan informasi (asymmetric information) dan bentuk pemindahan hak kepemilikan (transfer of rights) dari principal kepada agent (Nugroho 2003). Ketidaksepadanan informasi muncul karena informasi yang dimiliki salah satu pihak (principal atau agent) tidak sama (Bowers 2005; Yustika 2012). Pemegang izin mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan akses terhadap informasi yang lebih unggul dibanding pemerintah terkait sumber daya yang terdapat dalam hutan yang dikelola, sementara pemerintah mendominasi informasi kebijakan pengelolaan hutan (Zubayr 2014). Kondisi ini kemudian memicu perilaku moral hazard 1 baik oleh pemegang ijin maupun oknum pemerintah. Nugroho (2003) mengemukakan bahwa bentuk pemindahan hak kepemilikan 2 dalam konteks pengusahaan hutan adalah bersifat sementara sekaligus permanen. Bersifat sementara karena areal hutan tidak ditetapkan sebagai aset tetap pemegang izin dan akan dikembalikan kepada negara setelah masa konsesi berakhir. Bersifat permanen karena pohon/tegakan yang ditebang, langsung dijual oleh pemegang IUPHHK-HA dan pemerintah tidak akan mendapatkan kembali pohon tersebut. Oleh karena itu, sebagai kompensasinya 1
Moral hazard merupakan keadaan yang berkaitan dengan sifat, pembawaan, dan karakter manusia yang dapat menambah besarnya kerugian dibandingkan dengan resiko rata-rata, seperti perilaku oportunistik dan korupsi dalam pengelolaan hutan. 2 Bentuk hak kepemilikan dapat bersifat sementara seperti sewa-menyewa dan dapat bersifat permanen seperti jual–beli.
2 pemerintah mengenakan pungutan-pungutan diantaranya pungutan PSDH–DR (Nugroho 2008a). Sementara menurut Kartodihardjo (1998), permasalahan pengusahaan hutan alam produksi berkaitan dengan dua kondisi, yaitu adanya kepentingan pemerintah dan pemegang IUPHHK-HA untuk memanfaatkan sumber daya hutan yang bersifat konflik dan tingginya biaya yang diperlukan untuk mengontrol pelaksanaan kontrak. Kontrol menjadi hal penting dalam hubungan principal–agent, karena sulit untuk mempercayai bahwa agent akan selalu bertindak berdasarkan kepentingan principal (Kim 2011; Muller dan Turner 2005). Oleh karena itu pemerintah menetapkan bagaimana pemegang IUPHHK-HA memperlakukan sumber daya yang dikuasai oleh pemerintah melalui pembentukan institusi (Kartodihardjo 1998; Nugroho 2008). Salah satu bentuk kontrol oleh pemerintah adalah melalui peraturan penatausahaan hasil hutan (PUHH) yang didalamnya mengandung kewajiban pemegang IUPHHK-HA untuk mempekerjakan tenaga teknis, dalam hal ini tenaga teknis bidang pengujian kayu bulat rimba (GANISPHPL–PKB–R). Pengawasan terhadap GANISPHPL–PKB–R dilakukan oleh WAS–GANISPHPL–PKB–R3. PUHH dan tenaga teknis saling terkait karena hampir pada semua level kegiatan dalam PUHH melibatkan tenaga teknis. PUHH pada hutan alam bertujuan memperoleh hak-hak negara berupa PNBP (PSDH–DR) secara optimal dan untuk menjamin legalitas kayu yang dimanfaatkan oleh pemegang IUPHHKHA (Kemenhut 2014a). GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R mempunyai kompetensi untuk melakukan pengukuran dan pengujian kayu bulat serta melakukan PUHH yang berasal dari hutan alam (Kemenhut 2014b). Pengukuran dan pengujian kayu bulat merupakan kegiatan untuk menetapkan jenis, volume, dan kualita kayu yang menjadi dasar penarikan PSDH–DR (Kemenhut 2014a). Di samping itu pelaksanaan pengukuran dan pengujian kayu juga mempunyai tujuan mengetahui harga jual, sebagai dasar perhitungan laba– rugi pemegang izin dan upah/gaji karyawan pemegang izin, serta sebagai dasar untuk menentukan kualitas dan umur tegakan baik dari aspek ekonomi maupun aspek ekologi (Kemenhut 2011). Penelitian Pineros dan Lewis (2013) di Meksiko menunjukkan bahwa perubahan preferensi masyarakat terhadap indikator PHPL salah satunya adalah pentingnya bantuan tenaga profesional. Keberadaan tenaga teknis yang memiliki keterampilan, pengalaman dan kemampuan dipercaya mampu menyumbangkan nilai ekonomi bagi pemegang izin sehingga tenaga teknis yang berkualitas dapat disejajarkan dengan modal fisik ataupun sumber daya alam (Muis 2013; Hardjanto 2002). Teknik-teknik yang diperoleh tenaga teknis melalui pelatihan dapat meningkatkan keterampilan mereka dan dapat menjamin perspektif pekerjaan yang lebih baik serta membawa dampak positif bagi unit manajemen (Egan 2005; Tsioras 2010). Paparan tersebut di atas mengandung makna bahwa keberadaan tenaga teknis dalam PUHH diharapkan mampu mendukung upaya melindungi hak-hak negara dan terciptanya pengelolaan hutan produksi yang lestari. Namun berdasarkan data statistik yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan, baik luas konsesi maupun jumlah pemegang IUPHHK-HA menunjukkan fluktuasi 3
GANISPHPL–PKB–R adalah karyawan yang bekerja pada unit IUPHHK-HA, sedangkan WAS– GANISPHPL–PKB–R adalah pegawai pemerintah yang bekerja pada instansi kehutanan
3
Luas areal IUPHHK-HA (juta ha)
dengan trend yang menurun (Gambar 1 dan 2). Praktik kayu ilegal juga masih kerap terjadi–dalam konteks ini–seperti penebangan di luar batas-batas konsesi, penebangan melebihi batas yang diijinkan, menghindari royalti dan kewajiban dengan melakukan pengukuran dan pengujian serta membuat laporan yang tidak sesuai, penetapan harga kayu yang lebih rendah, salah dalam menetapkan jenis, dan pemalsuan dokumen legalitas kayu seperti pemalsuan tanda tangan, stempel palsu, dan keterangan yang tidak sesuai dalam mengisi dokumen (Casson dan Obidzinski 2002; Callister 1999; Budiono 2007). Dapat dikatakan keberadaan tenaga teknis belum efektif dalam mencapai tujuan dari kebijakan. Budiono (2007) menguatkan hal ini yang dalam penelitiannya menemukan bahwa secara teknis kegiatan pengawasan belum efektif dalam mewujudkan ketertiban dan kelancaran PUHH. 60 50 40 30 20 10 0
Tahun
Jumlah IUPHHK-HA (unit)
Gambar 1 Luas areal IUPHHK-HA dari tahun ke tahun (Sumber: Kemenhut 2012)
600 500 400 300 200 100 0
Tahun
Gambar 2 Jumlah IUPHHK-HA dari tahun ke tahun (Sumber: Kemenhut 2012)
4
Orang
Kalimantan Tengah saat ini memiliki hutan produksi terluas kedua secara nasional yaitu 9.74 juta ha (Kemenhut 2012). Jumlah GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R menunjukkan trend meningkat (Gambar 3). 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Ganis Wasganis
2009
2010
2011 Tahun
2012
2013
Gambar 3 Jumlah GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R di Prov. Kalimantan Tengah tahun 2009–2013 Jika dirata-ratakan, luasan areal kerja untuk satu orang GANISPHPL–PKB–R dapat diawasi oleh dua orang WAS–GANISPHPL–PKB–R. Jumlah pengawas yang lebih banyak seharusnya mampu mengendalikan kinerja dari yang diawasi, namun fenomena yang terjadi tidaklah demikian. Peningkatan jumlah tenaga teknis tidak serta merta diikuti dengan peningkatan PSDH–DR (Tabel 1). Tabel 1 Perbandingan jumlah unit IUPHHK–HA, luas RKT, jumlah produksi kayu bulat, pendapatan PSDH–DR, serta jumlah GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R di provinsi Kalimantan Tengah No .
Tahun
Jumlah IUPHHK –HA (unit)*)
Luas areal (juta ha)
Luas RKT (ribu ha)
Volume (m3/ha)
PSDH (juta Rp/ha)
DR (juta Rp/ha)
Ganisphpl PKB (ha/orang)
Wasganisphpl PKB (ha/orang)
1 2 3 4 5
2009 2010 2011 2012 2013
47 50 46 48 50
3.44 3.60 3.38 3.42 3.59
82.21 72.53 67.72 77.88 73.62
25.22 25.88 28.73 25.93 25.58
1.49 1.49 1.74 1.77 1.47
3.93 4.00 4.71 4.29 3.96
404.97 298.47 235.12 238.90 186.82
233.54 189.86 171.00 194.22 203.90
Sumber: Diolah dari data Dishut Prov. Kalteng (2014) dan BP2HP Kalteng (2014) *): IUPHHK–HA yang aktif
Paparan tersebut di atas sekaligus menunjukkan bahwa aktivitas PUHH pada hutan alam di Kalimantan Tengah saat ini masih sangat aktif. Hal ini mengindikasikan bahwa Kalimantan Tengah sebenarnya masih bisa menjadi harapan untuk menghidupkan kembali ekonomi kehutanan melalui usaha kehutanan yang terbuka dan adil dengan tetap menjaga kelestarian hutan. Kebijakan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R dalam PUHH seyogyanya bisa menjadi salah satu alat untuk mencapai harapan tersebut. Namun efektivitas GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R masih belum banyak diketahui karena studi terkait tenaga teknis dalam pengelolaan hutan
5 masih sangat jarang dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji bagaimana efektivitas kebijakan pemerintah yang mewajibkan adanya tenaga teknis dalam kegiatan penatausahaan hasil hutan. Mengapa keberadaan tenaga teknis belum mampu mendukung kelestarian usaha dan sumber daya hutan secara optimal. Kerangka Pemikiran Pemerintah menerbitkan beberapa kebijakan untuk mengatur pengusahaan hutan. Ada beberapa kegiatan yang dianggap harus dilaksanakan oleh tenaga teknis yang berkualifikasi di bidang tertentu. Salah satunya adalah kegiatan pengukuran dan pengujian kayu bulat. Pada tahun 2008 pemerintah menerbitkan kebijakan tersendiri terkait GANISPHPL dan WAS-GANISPHPL melalui Permenhut Nomor P.58/Menhut–II/2008 dan kemudian diganti dengan P.54/Menhut–II/2014. Kebijakan terkait PUHH telah beberapa kali mengalami perubahan, terakhir dengan Permenhut Nomor P.41/Menhut–II/2014. Perubahan kebijakan sebagai bentuk penyempurnaan institusi seyogyanya mampu menjawab persoalan-persoalan yang tidak lagi dapat dikendalikan pada kebijakan sebelumnya. Perubahan institusi menjadi tidak efektif jika hasil yang diperoleh belum sesuai dengan apa yang telah ditetapkan. Polri (2010) mengemukakan bahwa seringnya perubahan Permenhut terkait PUHH dan terkesan sulit dilaksanakan menyebabkan pemegang IUPHHK-HA cenderung untuk mengabaikannya sehingga menimbulkan pelanggaran-pelanggaran. Kurangnya pengetahuan dan keterampilan pelaksana kebijakan serta lemahnya sistim pengawasan ikut mendukung hal tersebut (Suharto 2005). Kartodihardjo (2013) mengungkapkan, seringkali pengawas tidak memperhatikan apakah pelaksanaan peraturan mencapai tujuan dari peraturan atau tidak, yang penting adalah memastikan bahwa subyek pelaksana melaksanakan peraturan tersebut dan secara administrasi sudah terpenuhi. Hal ini kemudian memberikan peluang perilaku oportunistik 4 dan membuka ruang negosiasi atas hasil pengawasan yang dilakukan. Menurut Hamilton (1997) satu-satunya cara untuk menghindari ancaman berat terhadap keberlangsungan penebangan hutan tropis di Indonesia adalah bergantung pada penegakan hukum dan kebijakan pemerintah yang efektif. Lane (2013) mengemukakan bahwa model principal–agent dapat digunakan untuk melihat permasalahan dalam interaksi antara principal dan agent terkait dengan perumusan dan implementasi kebijakan. Pemerintah bertindak sebagai principal untuk agent dalam pelayanan publik. Penggunaan agency theory dalam kajian kebijakan memberikan kemudahan dalam menganalisis hubungan, peranan, tanggungjawab, perilaku, risiko dan prediksi terhadap hasil yang akan diperoleh (Zubayr 2014). Masalah agensi antara pemerintah (principal) dan pemegang IUPHHK–HA (agent) tidak lepas dari adanya perbedaan hak kepemilikan (property rights) antara principal dan agent. Property rights merupakan otoritas hukum untuk melakukan tindakan tertentu dalam domain tertentu (Ostrom dan Hess 2007). Terdapat lima bentuk hak kepemilikan yaitu a) access–hak untuk memasuki suatu 4
Perilaku oportunistik adalah upaya untuk mendapatkan keuntungan melalui praktik yang tidak jujur dalam kegiatan transaksi.
6 areal; b) withdrawal–hak untuk memanfaatkan atau memanen suatu produk sumber daya; c) management–hak untuk mengatur pola pemanfaatan/pemanenan dan mengubah sumber daya; d) exclusion–hak untuk menentukan siapa lagi yang akan memiliki hak untuk mengakses sumber daya dan cara untuk mentransfer sumber daya; e) alienation–hak untuk menjual atau menyewakan hak (Ostrom 2008). Hak kepemilikan yang lemah akan menyebabkan sumber daya menjadi over eksploitasi karena tidak ada yang menentukan keikutsertaan pihak lain, sehingga pencurian akan sumber daya beresiko tinggi (Hotte et al. 2013). Biasanya agent memiliki proporsi kepemilikan yang sangat kecil sehingga mempunyai kecenderungan mengambil keputusan yang kurang sejalan dengan kepentingan principal tanpa sepengetahuan principal (Kim 2011). Pemisahan fungsi sebagai pemilik dan sebagai pengelola ini dapat memberikan keleluasaan bagi pengelola untuk memaksimalkan laba. Di sisi lain, individu di tempat kerjanya dimotivasi oleh suatu keinginan untuk memuaskan sejumlah kebutuhannya. Masing-masing individu mempunyai perspektif, tujuan, dan kemampuan yang berbeda-beda. Variasi sifat individu ini menyebabkan perilaku yang berbeda satu sama lain yang memberikan pengaruh langsung terhadap efektivitas institusi (Tangkilisan 2005). Bowers (2005) mengemukakan tiga alasan kegagalan kebijakan dalam kerangka principal–agent. Pertama, moral hazard yang timbul dari adanya informasi asimetris. Principal tidak dapat mengamati pengelolaan sumber daya oleh agent secara langsung. Dengan demikian agent memperoleh insentif dengan tidak melaksanakan kewajiban pengelolaan dan melimpahkan kesalahan pada faktor-faktor eksogen sehingga dalam pengetahuan principal tidak terdapat bukti yang diperlukan untuk menegakkan peraturan. Kedua, first mover (penggerak pertama) yang mengambil peluang sebelum terjadinya perubahan kebijakan. Keterlambatan perubahan suatu kebijakan akan dimanfaatkan oleh agent (karena informasi yang dimilikinya) untuk melanggar kebijakan tersebut ketika keuntungan pelanggaran lebih besar dari sanksi. Ketiga, adverse selection yaitu seleksi agent yang tidak sesuai. Akibatnya principal menghadapi dua resiko yaitu: 1) salah memilih agent yang sesuai dengan keinginannya (adverse selection of risk) pada ex ante (sebelum kontrak dibuat); dan 2) agent ingkar janji (moral hazard) pada ex post (setelah kontrak disepakati) (Nugroho 2003). Efektivitas suatu kebijakan juga ditentukan oleh lembaga yang terkait di dalamnya. Peran lembaga berhubungan dengan fungsi dari lembaga itu sendiri. Lembaga dikatakan berperan jika telah menjalankan fungsinya dan dikatakan efektif jika peran tersebut bekerja dengan baik dan tujuan lembaga dapat tercapai (Cahyono dan Tjokropandojo 2013). Pengaturan lembaga terkait tenaga teknis dalam PUHH dimulai dari penyiapan GANISPHPL–PKB–R dan WAS– GANISPHPL–PKB–R, pengangkatan sebagai pejabat PUHH, penilaian kinerja, sampai dengan pemberian insentif dan sanksi. Pengaturan lembaga ini diharapkan mampu meminimumkan potensi masalah yang timbul dalam hubungan principal– agent. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa informasi, sistim kontrak, dan proses transaksi bisa sangat asimetris (Yustika 2012). Kebijakan tidak hanya dilihat dari masalah teknis semata, tetapi juga melibatkan ranah politik, ilmu pengetahuan dan kekuasaan. Efektivitas pelaksanaan kebijakan dipengaruhi oleh berbagai kepentingan dan perspektif dari pihak-pihak yang terlibat yang senantiasa bersaing satu sama lain (Kartodihardjo 2008). Kebijakan dibangun pada keberhasilan aktor dan penciptaan jaringan yang mampu
7 memanfaatkan ruang kebijakan yang muncul dari konteks, kondisi, dan waktu tertentu (IDS 2006). Dengan demikian, pertentangan narasi dan aktor-aktor yang terlibat serta kepentingannya sangat perlu untuk melihat apakah terdapat ruang (policy space) untuk terjadinya perubahan kebijakan (IDS 2006; Kartodihardjo 2008). Pada penelitian ini efektivitas kebijakan diartikan dengan tercapainya tujuan kebijakan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R dalam kegiatan PUHH. Tujuan kebijakan yang dimaksud mengacu pada Permenhut P.41/Menhut-II/2014 dan Perdirjen BUK P.3/VI-BIKPHH/2014, yaitu: 1) mengamankan hak-hak negara atas hasil hutan yang ditunjukkan dengan kepatuhan membayar PSDH–DR; 2) mengendalikan produksi hasil hutan; 3) mengendalikan peredaran hasil hutan; 4) mengendalikan penerimaan hasil hutan; 5) meningkatkan harga jual kayu bulat; dan 6) berkurangnya ekonomi biaya tinggi dikaitkan dengan keberadaan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R. Untuk melihat kemampuan IUPHHK–HA mempertahankan kemampuan produksinya maka penelitian ini juga akan melihat kondisi standing stock berdasarkan proyeksi IHMB. Hubungan kontraktual pemerintah (principal) dan pemegang IUPHHK-HA (agent) Temporary transfer of right
Asymmetric information PUHH pada HA GANISPHPL– PKB–R
WAS–GANISPHPL– PKB–R
Narasi dan kelembagaan dalam setiap perubahan kebijakan PUHH
Kepatuhan IUPHHK–HA membayar PSDH–DR, pengendalian produksi– peredaran–penerimaan KB, pengurangan biaya transaksi, peningkatan harga jual kayu, kondisi standing stock Agency theory, policy process analysis, institutional and organizational analysis
Content analisys, policy process analysis, agency theory
Efektivitas Ganis dan Wasganis Rekomendasi
Gambar 4 Kerangka pikir penelitian
8 Rumusan Masalah Pengelolaan sumber daya alam akan menempatkan salah satu pihak sebagai pemilik/penguasa sumber daya (principal) dan pihak lainnya sebagai pengelola sumber daya (agent) yang akan saling memberikan keuntungan untuk masingmasing pihak yang terlibat (Kaskarelis 2010). Dalam konteks ini pemerintah merupakan pihak principal dan pemegang IUPHHK–HA sebagai agent, sehingga pemerintah perlu menetapkan bagaimana perlakuan terhadap sumber daya hutan diperlakukan. Untuk memastikan penegakan kontrak maka pemerintah melakukan pengawasan terhadap pemegang IUPHHK–HA. Ketergantungan yang sangat besar pada hutan sebagai sumber pendapatan bisa menyebabkan kerusakan yang lebih parah dan menghambat pemanfaatannya di masa datang. Maraknya illegal logging menjadi faktor yang ikut mendorong kerusakan tersebut. Seringkali jumlah kayu yang dilaporkan lebih rendah dari jumlah sebenarnya (Resosudarmo 2003). Kondisi ini pada akhirnya bermuara pada ketidaklestarian hutan produksi. Berbagai institusi telah dibuat untuk mengatur pengelolaan hutan produksi. Perubahannya pun terbilang sering dengan rentang waktu yang cukup singkat. Namun persoalan yang hendak diatasi tetap saja berada pada pusaran yang sama. Hal ini terjadi akibat sulitnya keluar dari kebiasaan yang cenderung bersifat teknis dan administratif (Kartodihardjo 2013) dan mengabaikan fakta lain yang turut mempengaruhi kebijakan dan dinamika kelembagaan tersebut seperti narasi/diskursus, aktor dan kepentingannya (IDS 2006; Sutton 1999; Kartodihardjo 2008; Khan 2011). Kehadiran GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R dalam PUHH diharapkan mampu mengamankan hak-hak negara atas hasil hutan sekaligus mendukung upaya kelestarian hasil hutan melalui pengendalian produksi dan peredaran hasil hutan. Di sisi lain pemegang IUPHHK-HA memerlukan tenaga profesional untuk menjalankan roda perusahaan. Namun efektivitas tenaga teknis sampai saat ini belum banyak diketahui. Berdasarkan hal tersebut, pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana perkembangan kebijakan (dinamika kelembagaan) tenaga teknis pengukuran dan pengujian kayu bulat dalam kegiatan PUHH? 2. Bagaimana efektivitas GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R dikaitkan dengan tujuan kebijakan PUHH? Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah menilai efektivitas kebijakan tenaga teknis bidang pengukuran dan pengujian kayu bulat dalam penatausahaan hasil hutan pada hutan alam. Dari tujuan utama tersebut kemudian dijabarkan sebagai berikut: 1. Menganalisis perkembangan kebijakan (dinamika kelembagaan) tenaga teknis pengukuran dan pengujian kayu bulat dalam kegiatan PUHH. 2. Menganalisis efektivitas GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R dikaitkan dengan tujuan kebijakan PUHH.
9 Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan informasi terkait perkembangan kebijakan dan efektivitas GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R dalam kegiatan PUHH, serta sebagai bahan acuan pengembangan kebijakan tenaga teknis kehutanan dan acuan dalam menganalisis tenaga teknis kehutanan dengan kualifikasi yang berbeda. Dari sisi ilmiah akan menambah ilmu pengetahuan atau sebagai sumber referensi terkait kebijakan tenaga teknis dan PUHH dalam pengelolaan hutan produksi berdasarkan teori principal–agent dan analisis IDS. Ruang Lingkup Penelitian Pada saat penelitian ini dilakukan Permenhut nomor P.41/Menhut–II/2014 masih berlaku, sehingga PUHH yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada peraturan tersebut. Sementara kompetensi GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R mengacu pada P.54/Menhut–II/2014. Kegiatan PUHH dibatasi pada kegiatan yang hanya melibatkan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R yaitu pengukuran dan pengujian, serta pengangkutan/peredaran kayu bulat. Penelitian ini fokus pada upaya menjawab rumusan permasalahan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
TINJAUAN PUSTAKA Efektivitas Kebijakan Efektivitas digunakan untuk menjawab apakah hasil yang diinginkan dari tujuan kebijakan telah tercapai (Dunn 1999). Suatu kebijakan dikatakan efektif apabila proses kebijakan dan lembaga pelaksana kebijakan menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin (Dwijowijoto 2003). Dalam organisasi, efektivitas merujuk pada sejauh mana organisasi melaksanakan kegiatan atau fungsifungsinya sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal (Tangkilisan 2005). Lebih lanjut Tangkilisan (2005) mengemukakan bahwa efektivitas organisasi menyangkut dua aspek, yaitu tujuan organisasi dan bagaimana pelaksanaan fungsi atau cara mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian, efektivitas merupakan suatu cara untuk mengetahui apakah tujuan dari suatu kebijakan telah tercapai dan bagaimana pelaksanaan kebijakan dalam mencapai tujuan tersebut. Tenaga Teknis Pengembangan sumber daya manusia yang terarah dan terencana disertai pengelolaan yang baik akan dapat menghemat sumber daya alam. Paling tidak pengolahan dan pemakaian sumber daya alam dapat secara berdaya guna dan berhasil guna. Secara mikro di suatu organisasi sangat penting dalam mencapai hasil kerja yang optimal. Oleh karena itu pengembangan sumber daya manusia
10 merupakan bentuk investasi (human investment) dan suatu conditio sine quanom (harus ada dan terjadi di dalam suatu organisasi) (Tangkilisan 2005). Perilaku sumber daya manusia merupakan kunci dalam mencapai efektivitas. Jika kinerja individu baik dan menghasilkan laba, pemberian kerja akan terus berlangsung dan diberikan kenaikan upah, begitupula sebaliknya (Ivancevich et al. 2007). GANISPHPL–PKB–R adalah tenaga teknis yang memiliki kompetensi untuk melakukan pengukuran dan pengujian kayu bulat serta melakukan PUHH yang berasal dari hutan alam. Sementara WAS–GANISPHPL–PKB–R adalah tenaga teknis yang memiliki kompetensi yang sama dengan GANISPHPL–PKB–R namun bertugas mengawasi, memeriksa, dan melaporkan hasil kerja GANISPHPL–PKB–R (Kemenhut 2014b). Baik GANISPHPL–PKB–R maupun WAS–GANISPHPL–PKB–R adalah personil yang berwenang menerbitkan dokumen legalitas kayu. GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R selaku tenaga teknis yang mempunyai legitimasi dalam peraturan perundangan kehutanan seyogyanya mampu mendukung efektivitas kebijakan PUHH. GANISPHPL–PKB–R bisa menjadi investasi yang berharga manakala ikut mendorong kinerja pemegang izin. Begitu pula dengan WAS–GANISPHPL–PKB–R akan menjadi aset bagi pemerintah ketika mampu melaksanakan tugasnya yaitu melakukan pengawasan sekaligus memberikan pelayanan secara profesional untuk mencapai tujuan kebijakan. Penatausahaan Hasil Hutan Penatausahaan hasil hutan (PUHH) kayu meliputi kegiatan pencatatan dan pelaporan perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan, pengukuran dan pengujian, penandaan, pengangkutan/peredaran serta pengolahan hasil hutan kayu (Kemenhut 2014a). PUHH menggunakan suatu sistim monitoring yang mengalir secara konsisten pada setiap segmen dari hulu sampai ke hilir. PUHH bertujuan diperolehnya hak-hak negara berupa PNBP dan menjamin hasil hutan yang beredar berasal dari sumber atau perizinan yang sah yang telah melalui proses verifikasi dan apabila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan balik. Oleh karena itu penerbitan dan penggunaan dokumen dalam PUHH harus mempertimbangkan 4 aspek dasar yaitu aspek keamanan, aspek kepemilikan, aspek asal-usul, dan aspek penggunaan dokumen (Kemenhut 2010). Ruwiati (2010) menemukan kegitan PUHH dari petak tebang, TPn, TPK Hutan dan TPK Antara memiliki tingkat efektivitas yang baik. Namun demikian masih terdapat beberapa hal yang menyebabkan PUHH menjadi tidak efektif antara lain kualitas tenaga kerja, ketersediaan alat dan bahan, sistim penomoran dan penandaan pada batang yang berlaku di perusahaan dan pengelolaan jaringan internet. PUHH sangat terkait dengan tenaga teknis karena hampir seluruh rangkaian kegiatan di dalam PUHH disyaratkan untuk dilakukan oleh tenaga terampil yang telah bersertifikasi. Agar PUHH dapat berjalan efektif secara keseluruhan maka perlu diketahui hal yang mempengaruhi keefektifan tenaga tersebut.
11 Kelembagaan Kelembagaan atau institusi mengacu pada aturan, norma, dan kode baik formal maupun informal, menentukan hak dan kewajiban berbagai kelompok di bawah aturan (Kant et al. 2005). Sementara North (1990) menekankan kelembagaan sebagai aturan main dalam suatu kelompok yang dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, sosial, dan politik. Komponen kelembagaan terdiri atas: 1) aturan formal (formal institutions) yang meliputi konstitusi, hukum, dan seluruh regulasi pemerintah lainnya; 2) aturan informal (informal institutions) yang meliputi pengalaman, nilai-nilai tradisional, agama, dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk perspektif subyektif individu; dan 3) mekanisme penegakan (enforcement mechanism) yang meliputi penegakan aturan (Yustika 2012). Kelembagaan yang baik dicirikan oleh tiga hal. Pertama, pemaksaan terhadap hak kepemilikan (enforcement of property right). Hak kepemilikan yang jelas akan mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan ekonomi. Kedua, membatasi tindakan kelompok-kelompok yang berpengaruh untuk memperoleh keuntungan ekonomi tanpa prosedur yang jelas (misalnya rent–seeking)3. Ketiga, memberikan kesempatan yang sama kepada tiap-tiap individu untuk mengerjakan aktivitas ekonomi (Yustika 2012). Kelemahan kelembagaan di Indonesia tidak saja terbatas pada ketidakmampuan menegakkan aturan formal. Tetapi dipengaruhi pula oleh kegagalan dalam menyediakan aturan main yang baik. Peraturan yang ada diindikasikan 1) tidak memadai untuk mengatasi permasalahan; 2) struktur (isi) yang tidak konsisten; 3) konsisten namun beresiko dalam pelaksanaannya; 4) terlalu sering berubah dan tidak tersosialisasikan dengan baik; dan 5) masih berpotensi menimbulkan biaya transaksi tinggi (Nugroho 2013). Policy Process Analysis Policy process analysis yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada analisis yang digunakan oleh Institute of Development Studies–IDS (2006). IDS (2006) dalam penelitian proses kebijakan pada dasarnya bertanya bagaimana masalah dan solusi kebijakan dibuat, oleh siapa, dan bagaimana dampak yang ditimbulkan. Untuk menjawab pertanyaan ini IDS melakukannya dari tiga pendekatan yang saling berhubungan yaitu: 1) pengetahuan dan diskursus (narasi kebijakan yang digunakan) narasi yang kuat akan mempengaruhi dan mendasari suatu kebijakan. Narasi tertanam dalam struktur lembaga tertentu, birokrasi, atau kelompok jaringan aktor; 2) aktor dan jaringan (siapa saja yang terlibat dan bagaimana mereka saling terhubung) jaringan, koalisi, dan aliansi aktor (individu atau institusi) yang mempunyai visi yang sama sangat penting dalam menyebarkan dan mempertahankan narasi. Penyebaran narasi dapat melalui rantai persuasi dan pengaruh seperti jurnal, konferensi, edukasi atau introduksi informal;
12 3) politik dan kepentingan (dinamika kekuasaan yang mendasari) proses kebijakan dipengaruhi oleh berbagai kelompok yang berkepentingan dengan mengerahkan kekuatan dan kekuasaan dalam pembuatan kebijakan. Kompetisi terjadi antar kelompok masyarakat berdasarkan perbedaan kepentingan yang berkaitan dengan alokasi sumber daya. Kepentingan tersebut bisa jadi disusupkan dalam narasi tertentu. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, narasi merupakan cerita atau deskripsi suatu kejadian atau peristiwa dari waktu ke waktu yang diuraikan dengan urutan awal, tengah, dan akhir. Narasi berbeda dengan diskursus. Sebuah narasi dapat menjadi bagian dari sebuah diskursus. Diskursus merupakan cara berpikir dan memberikan argumen yang didalamnya melibatkan kepentingan aktor. Diskursus dapat juga merujuk kepada dialog, bahasa, dan percakapan (Sutton 1999). Adanya kesamaan diskursus dan kepentingan membentuk aktoraktor dan jaringannya. Untuk mencapai tujuan kebijakan, aktor dan jaringannya akan menggunakan sumber daya yang mereka miliki seperti kekuasaan, kewenangan, anggaran, kekayaan, dll. (Kartodihardjo 2013). Diskursus, pengetahuan, kejelasan obyek yang dipermasalahkan, serta aktor dan jaringannya berperan dalam menentukan efektivitas perdebatan kebijakan. Diskursus dan pengetahuan diperlukan dalam melahirkan obyek yang dipermasalahkan. Tetapi adanya perbedaan kepentingan dan kekuatan masingmasing aktor dan jaringannya tidak akan memudahkan pencapaian kesepakatan bersama (Kartodihardjo 2008). Agency theory Teori agency mampu menjelaskan potensi konflik kepentingan diantara berbagai pihak yang berkepentingan (Jensen dan Meckling 1976). Hubungan principal-agent dilakukan dengan kontrak antara pemilik aset (principal) dan pengelola aset (agent). Pemilik aset menunjuk pengelola dan memberikan hak untuk melakukan usaha dan kegiatan terhadap aset, karena ia yakin bahwa dirinya tidak mempunyai kemampuan atau pengetahuan untuk menghadapi kompleksitas pasar. Karena itu ia memberikan hak pengelolaan asetnya kepada agent untuk memperoleh keuntungan maksimum dalam jangka pendek dan jangka panjang dengan melakukan pengelolaan yang efisien (Kaskarelis 2010). Principal membuat agent di bawah kendali, baik melalui hasil pengelolaannya atau dengan memeriksa rencana kerja untuk restrukturisasi dan ekspansi. Principal dapat memecat agent jika principal berpikir bahwa nantinya agent tidak bertindak menguntungkan bagi kepentingan asetnya. Karena kemungkinan perbedaan tingkat penghindaran risiko dan informasi asimetris antara principal dan agent, ada moral hazard dari agent untuk melanggar kontrak (Kaskarelis 2010). Dalam posisi ini, informasi dianggap asimetris karena: a) tindakan agent tidak dapat diamati secara langsung oleh principal; atau b) pihak agent membuat beberapa pengamatan yang tidak dikerjakan oleh principal, misalnya agent tahu persis berapa output yang dihasilkan, tetapi principal tidak mengetahuinya. Pada kasus ini, sangat mahal bagi principal untuk mengawasi tindakan agent secara langsung atau mendapatkan pengetahuan lengkap dari informasi yang diperoleh agent (Yustika 2012).
13 Institutional and Organisational Development Analysis Sejumlah besar kegiatan pembangunan berkaitan dengan upaya meningkatkan performance organisasi. Institutional and organisational development analysis pada penelitian ini mengacu pada pedoman yang dibuat oleh Department for International Development (DFID 2003). Pedoman ini dapat membantu mengidentifikasi masalah kelembagaan dan mengetahui perubahan yang diperlukan melalui kerangka kerja konseptual, pendekatan terstruktur dan beberapa alat diagnostik. Pendekatan ini dapat digunakan secara fleksibel karena tidak ada satu konsep yang benar-benar tepat yang akan bekerja dalam setiap situasi (DFID 2003). DFID (2003) membuat beberapa pertanyaan untuk mengidentifikasi pilihan perubahan pelayanan publik. Reformasi kelembagaan biasanya berfokus pada kebijakan atau insentif untuk meningkatkan pelayanan. Sementara reformasi organisasi bisa jadi terhadap struktural, sistim, atau sumber daya manusianya. Cara terbaik untuk memulai adalah dengan melihat beberapa pilihan, termasuk apakah fungsinya diperlukan atau tidak. Setelah itu dicarikan berbagai alternatif.
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2015. Untuk contoh unit IUPHHK–HA dilakukan pada PT. Sari Bumi Kusuma (Blok Katingan), PT. Dwimajaya Utama dan PT. Indexim Utama Corp di Provinsi Kalimantan Tengah. Ketiga unit contoh IUPHHK-HA dipilih secara purposive berdasarkan perbedaan luas areal konsesi IUPHHK–HA. Luas areal konsesi berhubungan dengan jumlah kebutuhan GANISPHPL–PKB–R yang wajib dimiliki sebagaimana diatur dalam Perdirjen BPK nomor P.8/VI–SET/2009 (Tabel 2). Ketiga unit contoh IUPHHK–HA tersebut telah memperoleh sertifikat PHPL. Ketiganya dipilih untuk melihat apakah terdapat perbedaan kinerja antar IUPHHK–HA dikaitkan dengan luas areal konsesi dan jumlah kepemilikan GANISPHPL–PKB–R. Tabel 2 Luas areal, kebutuhan minimal dan kepemilikan GANISPHPL–PKB–R pada tiga unit contoh IUPHHK–HA Unit contoh IUPHHK–HA PT. Sari Bumi Kusuma (Blok Katingan) PT. Dwimajaya Utama PT. Indexim Utama Corp
Luas areal (ha)
Kebutuhan minimal GANISPHPL–PKB–R (orang)
Kepemilikan GANISPHPL–PKB–R (orang)
208 300
11
22
127 300 52 480
9 5
6 4
14 Metode Pengumpulan Data Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus. Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan mengumpulkan data, peraturan dan literatur terkait tenaga teknis PHPL dan PUHH, observasi langsung terhadap aspek-aspek yang dikaji, dan wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap informan kunci (key informant) yang memiliki kompetensi sesuai kajian. Wawancara mendalam merupakan proses memperoleh data melalui percakapan secara intensif dengan informan kunci (Bungin 2007). Penentuan informan kunci dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling dan snowball sampling. Purposive sampling yaitu teknik penentuan informan yang dipilih secara sengaja dengan pertimbangan tertentu yang dianggap dapat memperkaya data penelitian, sementara snowball sampling menentukan informan dari informan sebelumnya (Irawan 2006). Informan kunci adalah orang yang memahami informasi dan fakta terkait hal yang diteliti (Bungin 2007). Informan kunci dipilih berdasarkan peran, pengetahuan, keterlibatan, komunikatif, dan kesediaan untuk melakukan wawancara. Dalam penelitian ini informan kunci terbagi atas pihak principal dan pihak agent. Pihak principal berasal dari KLHK tiga orang, BP2HP Palangka Raya tiga orang, Dishut Kab. Katingan tiga orang, dan WAS–GANISPHPL–PKB–R lima orang. Sedangkan pihak agent terdiri atas pengelola IUPHHK–HA lima orang, APHI Komda Kalteng dua orang, dan GANISPHPL–PKB–R lima orang. Hasil wawancara baik dari tape recorder maupun catatan tulisan tangan ditransfer menjadi bentuk tertulis (transkrip data). Selanjutnya dari hasil transkrip data diambil kata kunci dan diberikan kode. Katakata kunci yang memiliki makna yang sama digolongkan ke dalam satu besaran kategori dan akhirnya dibuat suatu kesimpulan. Uji validitas dilakukan dengan triangulasi yaitu cara uji silang antara sumber data yang satu dengan sumber data lainnya. Proses ini dilakukan terus menerus sampai tidak ada lagi perbedaanperbedaan dan tidak ada lagi yang perlu dikonfirmasikan kepada informan. Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan masing-masing tujuan penelitian, sebagaimana uraian berikut: Analisis perkembangan kebijakan (dinamika kelembagaan) Analisis data yang digunakan yaitu content analysis, process policy analysis (IDS 2006) dan agency theory. Content analysis merupakan metode analisis dengan menggunakan berbagai sumber informasi dari data sekunder seperti dokumen, peraturan perundangan, laporan, dan dokumen lainnya yang terkait (Irawan 2006). Analisis ini dilakukan untuk mengkaji narasi apa yang mendasari setiap perubahan peraturan tenaga teknis dalam kegiatan PUHH, peran GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R, bentuk pengawasan, penyediaan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R sampai dengan pengangkatan sebagai pejabat PUHH, penilaian kinerja yang dilakukan, serta insentif dan sanksi yang diberikan.
15 Process policy analysis dilakukan untuk melihat perbedaan dan persamaan narasi, aktor/jaringan, dan kepentingan yang terlibat dalam lingkup kebijakan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R pada kegiatan PUHH. Hasil analisis data kemudian diuraikan dengan menggunakan pendekatan agency theory untuk melihat apakah aturan yang telah ditetapkan mampu meminimumkan masalah agensi atau malah sebaliknya, menjadi potensi timbulnya masalah agensi. Analisis Efektivitas GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R Efektivitas dalam kebijakan publik pada dasarnya untuk mengukur apakah hasil kebijakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan (Dunn 1999, Nugroho 2008b). Dalam penelitian ini efektivitas GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R diukur dengan melihat pencapaian tujuan kebijakan dan kondisi standing stock IUPHHK–HA. Tujuan kebijakan didasarkan pada Permenhut P.41/Menhut-II/2014 dan Perdirjen BUK P.3/VI-BIKPHH/2014. Adapun tujuan kebijakan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R diangkat sebagai pejabat PUHH yaitu: a) mengamankan hak-hak negara atas hasil hutan yang ditunjukkan dengan kepatuhan membayar PSDH–DR; b) pengendalian terhadap produksi kayu bulat; c) pengendalian terhadap peredaran kayu bulat; d) pengendalian terhadap penerimaan kayu bulat; e) pengurangan biaya transaksi; f) peningkatan harga jual kayu bulat; dan g) proyeksi standing stock IUPHHK–HA guna melihat kemampuan keberlanjutan produksinya. Informasi dan data yang telah dihasilkan diuraikan secara deskriptif dengan menggunakan pendekatan IDS dan agency theory. Untuk membuat pilihan apakah keberadaan GANISPHPL–PKB–R dan WAS– GANISPHPL–PKB–R masih diperlukan dalam kegiatan PUHH, dilakukan identifikasi dengan menggunakan pendekatan institutional and organisational development (DFID 2003). Identifikasi institutional and organisational development dilakukan dengan menjawab beberapa tahapan pertanyaan. Jika jawaban pertanyaan adalah “ya” maka dilanjutkan ke tahapan pertanyaan berikutnya. Jika “tidak” maka pertanyaannya tidak dilanjutkan dan kemudian dibuat alternatif solusinya (Gambar 5).
16
Apakah fungsi ganis/wasganis diperlukan?
Pertimbangan implikasi
Fungsi ditutup
Ya Apakah ada alternatif lain untuk memenuhi fungsi tersebut? Argumen apa yang bisa menjelaskan agar fungsi tersebut dipertahankan? Ya Apakah pemerintah masih dibutuhkan untuk fungsi tersebut? Apakah pemerintah yang harus memenuhinya?
Pertimbangan implikasi
Pertimbangan implikasi
Bentuk alternatif lainnya
Kerjasama pihak ketiga
Ya Apakah ada ruang untuk rasionalisasi? Bisakah fungsinya dilebur atau ditransfer? Tidak
Jangan dirasionalisasikan
Ya
Rasionalisasi/peleburan /transfer Status badan Desain ulang organisasi Peningkatan kapasitas
Gambar 5 Alur identifikasi DFID
Selanjutnya untuk kategori efektivitas dibagi menjadi tiga yaitu: 1) efektif, jika tujuan kebijakan dapat tercapai; 2) cukup efektif, jika sebagian tujuan kebijakan dapat tercapai; dan 3) tidak efektif, jika tujuan kebijakan sama sekali tidak tercapai. Untuk lebih jelasnya matriks metode penelitian disajikan pada Tabel 3.
Tujuan Penelitian
Menganalisis perkembangan kebijakan (dinamika kelembagaan) tenaga teknis pengukuran dan pengujian kayu bulat dalam kegiatan PUHH
Menganalisis efektivitas GANISPHPL– PKB–R dan WAS– GANISPHPL– PKB–R dikaitkan dengan tujuan kebijakan PUHH
No.
1
2
Efektivitas kebijakan
Perkembangan kebijakan
Variabel
c. Pengendalian terhadap peredaran kayu bulat
b. Pengendalian terhadap produksi kayu bulat
a. Kepatuhan membayar PSDH–DR
b.
a.
b.
a.
c.
b.
a.
a. b.
Kesesuaian antara kewajiban dan realisasi PSDH–DR yang harus dibayarkan Ketepatan waktu dalam membayar PSDH–DR Pengenaan sanksi karena terlambat bayar Kesesuaian antara target RKT, realisai produksi, dan penggunaan alat berat Perspektif informan kunci terhadap keberadaan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPHPL–PKB–R dalam kegiatan produksi kayu bulat Ada tidaknya gangguan dalam pengangkutan kayu Perspektif informan kunci terhadap keberadaan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPHPL–PKB–R dalam kegiatan peredaran kayu bulat
Perubahan narasi Termuat dalam aturan
Parameter
Tabel 3 Matriks metode penelitian a. Narasi yang mendasari setiap perubahan peraturan b. Peran tenaga teknis c. Bentuk pengawasan d. Pengangkatan GANISPHPL– PKB–R dan WAS– GANISPHPL–PKB–R e. Penilaian kinerja GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R f. Insentif dan sanksi
Indikator
a. Data primer: perspektif informan kunci terhadap keberadaan GANISPHPL– PKB–R dan WAS– GANISPHPHPL–PKB–R dalam kegiatan produksi kayu bulat b. Data sekunder: data target dan realisasi RKT, data alat berat Data primer: perspektif informan kunci terhadap adanya gangguan dalam pengangkutan kayu dan terhadap keberadaan GANISPHPL– PKB–R dan WAS– GANISPHPHPL–PKB–R dalam kegiatan produksi kayu bulat
a. Data primer: perspektif informan kunci terhadap kepatuhan IUPHHK–HA membayar PSDH–DR b. Data sekunder: laporan penerimaan PSDH–DR
c. Data primer: wawancara terkait perubahan kebijakan (dinamika kelembagaan) d. Data sekunder: peraturan perundangan dan dokumen terkait
Jenis Data
a. Wawancara dengan informan kunci b. Observasi c. Telaah dokumen dan pengolahan data
Metode Pengumpulan Data a. Wawancara dengan informan kunci b. Pengumpulan data sekunder c. Telaah dokumen
Analisis deskriptif kualitatif, process policy analysis, agency theory, institutional and organisational development analysis
Metode Analisis Data Content analysis (analisis isi), process policy analysis, agency theory
17
No.
Tujuan Penelitian
Tabel 3 (lanjuan)
Variabel
Ada tidaknya pengaruh GANISPHPL–PKB–R dan WAS– GANISPHPHPL–PKB–R dalam peningkatan harga jual kayu bulat
f.
g. Kondisi standing stock
Perbandingn antara proyeksi standing stock berdasarkan IHMB dan RKT yang diusulkan
Ada tidaknya pengurangan biaya transaksi informal dalam kegiatan PUHH
e. Pengurangan biaya transaksi
Peningkatan harga jual kayu bulat
a. Kesesuaian mutasi kayu di TPK Antara dan TPK Hutan b. Perspektif informan kunci terhadap keberadaan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPHPL–PKB–R dalam kegiatan penerimaan kayu bulat
Parameter
d. Pengendalian terhadap penerimaan kayu bulat
Indikator
Data primer: perspektif informan kunci terhadap keberadaan GANISPHPL– PKB–R dan WAS– GANISPHPHPL–PKB–R dalam peningkatan harga jual kayu bulat b. Data sekunder: data harga jual kayu bulat Data sekunder: data proyeksi standing stock laporan IHMB dan usulan RKT
a.
Data primer: perspektif informan kunci terhadap keberadaan GANISPHPL– PKB–R dan WAS– GANISPHPHPL–PKB–R dalam kegiatan penerimaan kayu bulat b. Data sekunder: data LMKB di TPK Hutan dan TPK Antara Data primer: perspektif informan kunci terhadap adanya biaya transaksi informal rutin terkait kegiatan PUHH
a.
Jenis Data
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis Data
18
19
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Kebijakan (Dinamika Kelembagaan) Tenaga Teknis PHPL-PKB-R dalam PUHH Dinamika kelembagaan dalam pengelolaan hutan tidak dapat dilepaskan dari kebijakan yang diterapkan. Kebijakan dapat diturunkan dalam bentuk peraturan (Djogo et al. 2003) yang mencakup aturan main untuk pemecahan masalah bersama dengan lembaga administratur publik menjadi domain utamanya (Nugroho 2008b). Perkembangan kebijakan akan turut mempengaruhi kelembagaan. Kebijakan yang bagus namun dilandasi kelembagaan yang jelek tidak akan mencapai tujuan atau hasil secara maksimal, begitupun sebaliknya (Djogo et al. 2003). Tahun 1990 dijadikan landasan awal dalam penelitian ini mengingat pada tahun tersebut tata usaha kayu dijadikan sebagai aturan terhadap pengendalian dan pemasaran hasil hutan. Narasi perubahan kebijakan Narasi kebijakan merupakan kisah tentang perubahan kebijakan yang mempunyai awal, tengah, dan akhir yang menggambarkan peristiwa bagaimana keputusan kebijakan tersebut terbentuk dan biasanya tertanam dalam struktur lembaga tertentu, birokrasi, atau kelompok jaringan aktor (IDS 2006). Sebelum tahun 2008 peraturan kompetensi tenaga teknis PHPL belum diatur secara tersendiri. Khusus untuk tenaga teknis penguji kayu bulat terintegrasi dalam peraturan PUHH. Perubahan peraturan PUHH dan tenaga teknis PHPL disajikan pada Gambar 6. Sementara perbandingan perubahan kebijakan terhadap keberadaan tenaga teknis dalam PUHH disajikan pada Tabel 4.
20 Kepmenhut nomor 402/Kpts-IV/90 jo. nomor 525/Kpts-II/1991 tentang Tata Usaha Kayu
Kepmenhutbun nomor 316/Kpts-II/1999 tentang Tata Usaha Hasil Hutan
Kepmenhut nomor 126/Kpts-II/2003 jo. 334/Kpts-II/2003 jo. 279/Menhut-II/2004 jo. 18/Menhut-II/2005 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Permenhut nomor P.55/Menhut-II/2006 jo. P.63/Menhut-II/2006 jo. P.8/MenhutII/2009 jo. P.45/Menhut-II/2009 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Negara
Permenhut nomor P.58/MenhutII/2008 jo. P.20/Menhut-II/2010 tentang Kompetensi dan Sertifikasi Tenaga Teknis Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
Permenhut nomor P.41/Menhut-II/2014 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Alam
Permenhut nomor P.54/MenhutII/2014 tentang Kompetensi dan Sertifikasi Tenaga Teknis dan Pengawas Tenaga Teknis Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
Permenlhk nomor P.43/Menlhk-Setjen/2015 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari Hutan Alam
Gambar 6 Perubahan peraturan PUHH dan tenaga teknis PHPL Selama periode 1990 sampai dengan 2015, peraturan tentang PUHH telah mengalami perubahan sebanyak 5 kali dengan jeda waktu bervariatif. Periode paling lama adalah 1990 sampai dengan 1998 (delapan tahun) dan paling cepat periode 2014 sampai dengan 2015 (satu tahun). Pada periode tahun 2006 sampai dengan 2013 muncul peraturan tersendiri mengenai tenaga teknis PHPL.
21 Tabel 4 Perbandingan perubahan kebijakan terhadap keberadaan tenaga teknis dalam PUHH Periode
Independensi Wasganis terhadap Ganis
Informasi yang ditransaksikan
Penguasaan informasi produksi KB yang sebenarnya oleh Wasganis
Pengendalian terhadap kerja Ganis dan Wasganis
Implikasi terhadap biaya transaksi
1990–1998
Rendah
Rendah
Rendah
2003–2005
Rendah
Pengawasan berjenjang Pengawasan berjenjang -
Tinggi
1999–2002
2006–2013
Rendah Sedang
Penilaian kinerja Penilaian kinerja Penilaian kinerja
Tinggi
2014–2015
Kayu berdasarkan LRP Kayu berdasarkan LHP Kayu berdasarkan LHC Kayu berdasarkan LHP Kayu berdasarkan LHP Kayu berdasarkan LHP
2016– sekarang
Belum teridentifikasi
Rendah Rendah Rendah Sedang Belum teridentifikasi
Tinggi Tinggi
Tidak diketahui Belum teridentifikasi
Periode 1990–1998 Periode ini masih merupakan masa Orde Baru. Kebijakan pemanfaatan hasil hutan diarahkan untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional melalui pungutan usaha kayu. Pemanfaatan tersebut dilakukan secara maksimal untuk mempercepat peningkatan perekonomian. Oleh karena itu kemudian diterbitkan Keppres nomor 29 tahun 1990 tentang Dana Reboisasi dan nomor 30 tahun 1990 tentang Pengenaan, Pemungutan, dan Pembagian Iuran Hasil Hutan. Untuk melaksanakan lebih lanjut Keppres tersebut, Menteri Kehutanan menerbitkan peraturan nomor 402/Kpts-IV/1990 jo nomor 402/Kpts-II/1991 tentang Tata Usaha Kayu (TUK). Pelaksanaan pengukuran dan pengujian kayu diwajibkan bagi pemegang izin untuk memperoleh informasi secara benar dan akurat terkait produksi kayu yang dihasilkan. Pemerintah (principal) memberikan kepercayaan kepada pemegang izin (agent) untuk menerbitkan dokumen pengangkutan kayu bulat berupa SAKB dan perhitungan IHH–DR 5 secara self assessment. Perhitungan IHH–DR didasarkan pada LRP dengan menjumlahkan hasil penjualan atau pemakaian sendiri dan tarif IHH–DR yang berlaku pada saat itu. Pembuat LHP dan Penerbit SAKB langsung ditunjuk oleh pemegang izin. Hal ini diberlakukan dengan asumsi bahwa pelayanan birokrasi dan administrasi pengusahaan hutan akan lebih mudah dan cepat jika dilakukan sendiri oleh pemegang izin. Meskipun demikian narasi kebijakan diarahkan kepada pentingnya keberadaan pengawas tenaga teknis untuk memastikan bahwa hasil pengukuran yang dilakukan oleh tenaga teknis perusahaan telah sesuai atau minimal tidak melebihi batas toleransi yang diperkenankan dan benar-benar berasal dari izin yang sah. Pengawas ini ditempatkan pada simpul hulu yaitu di TPn (P2LHP) dan simpul hilir yaitu di tempat tujuan pengangkutan (P3KB). Keberadaan P2LHP 5
IHH digantikan PSDH dengan dimasukkannya PSDH sebagai PNBP melalui PP nomor 51 tahun 1998.
22 pada masa ini tidak berkaitan langsung dengan pemungutan IHH–DR namun bertugas mengesahkan LHP sebagai syarat penerbitan dokumen SAKB yang diterbitkan oleh karyawan perusahaan yang ditunjuk sendiri. Pemberlakuan self assessment dan pemanfaatan hasil hutan secara maksimal memungkinkan pemegang izin untuk melakukan produksi sebanyak mungkin (Brown 1999). Namun hal ini banyak dilakukan dengan cara memanipulasi dokumen angkutan dan data kayu bulat baik dari jumlah, volume, maupun jenis kayu (ICW dan Greenomics 2004). SAKB yang seharusnya hanya digunakan pada kayu legal banyak diperjualbelikan untuk mengangkut kayu illegal sehingga sulit membedakan keduanya (Prahasto dan Irawanti 2000). Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa pada periode ini sangat mudah untuk meloloskan kayu. Diduga satu dari dua unit pengangkutan dalam satu kali trip tidak memiliki dokumen resmi. Kondisi ini didukung oleh oknum yang ikut memperoleh keuntungan. Akibatnya kondisi sumber daya hutan menurun namun pemasukan negara tidak ikut meningkat (Tacconi et al. 2004; Sari et al. 2009). Laporan FAO (2010) menyebutkan laju deforestasi di Indonesia dalam kurun 1990–2000 mencapai 1.9 juta ha/tahun. Dari luasan 118.5 juta ha pada tahun 1990 menjadi 99.4 juta ha pada tahun 2000. Sementara produk domestik bruto (PDB) nasional tahun 1993–1999 terus mengalami penurunan sebesar 0.13% per tahun. Periode 1999–2002 Pergantian kepemimpinan pada tahun 1998 ikut mempengaruhi kebijakan di sektor kehutanan. Kepercayaan pemerintah terhadap pemegang izin melalui mekanisme self assessment ternyata tidak mampu mengungkap informasi pendapatan produksi yang sebenarnya. Sebaliknya, hal ini dijadikan peluang bagi pemegang izin untuk memperoleh pendapatan yang lebih banyak. Kewajibankewajiban pungutan atas hak negara banyak yang hilang disertai dengan peredaran hasil hutan yang tidak tertib. Ada dua hal yang dianggap menjadi kelemahan utama. Pertama, tidak adanya pemeriksaan fisik terhadap kayu yang diedarkan (SAKB self assessment). Kedua, koordinasi antara Dishut asal dan tujuan kayu tidak memadai–jika tidak ingin mengatakan tidak ada (Puspitojati 2001). Melihat kondisi pelaksanaan TUK secara self assessment yang tidak terkendali pemerintah kemudian menerbitkan Kepmenhutbun nomor 316/Kpts–II/1999 tentang Tata Usaha Hasil Hutan (TUHH) sebagai pengganti peraturan TUK sebelumnya. Mekanisme TUHH dibalik menjadi official assessment. Berangkat dari asumsi bahwa agent tidak bisa diberikan kepercayaan untuk melakukan assessment sendiri maka pengawas tenaga teknis harus berada di garis depan untuk mengamankan hak-hak negara. Tenaga teknis perusahaan hanya berwenang sebagai Pembuat LHP. LHP yang telah disahkan oleh P2LHP menjadi dasar perhitungan PSDH–DR. PSDH–DR harus sudah dilunasi sebelum kayu bulat diangkut keluar dari TPK hutan menuju logpond antara, IPKH, atau tujuan lainnya. Dokumen SAKB yang sebelumnya diterbitkan oleh petugas pemegang izin dialihkan kepada petugas kehutanan yang ditunjuk. Perubahan kepemimpinan juga ikut merubah sistim pemerintahan daerah melalui UU 22 tahun 1999. Kewenangan pusat hanya menyusun pedoman standar kegiatan pemantauan. Sementara pelaksanaannya secara teknis diserahkan kepada daerah. Pemda diuntungkan dengan sistim ini karena DR dimasukkan dalam dana
23 perimbangan 6 . Diharapkan dengan adanya otonomi daerah, pengawasan dapat dilakukan secara intensif sehingga pemungutan PSDH–DR lebih mudah dilakukan. Posisi PPHH yang berada di Dinas Kabupaten dan provinsi dianggap cukup efektif karena rentang kendalinya tidak terlalu jauh. Meskipun sistim TUHH telah dilakukan secara official assessment namun ternyata belum mampu mengubah perilaku agent untuk membayar PSDH–DR tepat waktu. Banyak pemegang izin tetap melakukan penebangan tanpa memperhatikan kemampuan pembayaran PSDH–DR yang tertunggak, termasuk HPH besar. Sementara kayu tidak diperkenankan keluar sebelum PSDH–DR dibayarkan. Hal ini dikeluhkan oleh pemegang izin karena melambatkan penjualan kayu. Kualitas kayu jadi berkurang dan berdampak pada menurunnya harga jual. Akibatnya kayu menumpuk karena PSDH–DR belum dibayarkan. Tercatat sekitar Rp1.28 triliun tunggakan PSDH–DR sampai dengan akhir 2003 (Subarudi dan Dwiprabowo 2007). Periode 2003–2005 Pada tahun 2003 peraturan TUHH diganti dengan Kepmenhut nomor 126/Kpts-II/2003 jo 334/Kpts-II/2003 jo 279/Menhut-II/2004 jo 18/Menhut-II/2005 tentang Penatausahaan Hasil Hutan (PUHH). Pada periode ini mekanisme PUHH secara keseluruhan bersifat official assessment 7 . Pemerintah merubah cara penetapan dan pemungutan PSDH–DR. Hal ini disebabkan menumpuknya kayu yang sudah ditebang namun tidak dibayarkan PSDH–DRnya. Pembayaran PSDH– DR tidak lagi berdasarkan LHP namun dari hasil LHC. Peranan tenaga teknis juga diatur lebih rinci. Pada setiap blok kerja tebangan wajib ditempatkan minimal satu orang Pembuat LHP. Dokumen angkutan hasil hutan diganti dengan SKSHH8 dan hanya diterbitkan oleh P2SKSHH. Proses penunjukan dan pengangkatan petugas PUHH menjadi lebih rumit. Pengangkatan petugas PUHH semuanya harus melalui Dishut Provinsi. Pemegang izin mengusulkan nama-nama Pembuat LHP kepada Dishut Provinsi dan selanjutnya Kepala Dishut Provinsi mengangkat Pembuat LHP disertai dengan pemberian nomor register. Untuk pengangkatan P2LHP, P2SKSHH, dan P3KB, sebelumnya ditetapkan oleh Kepala BSPHH berupa daftar nama PHH/PPHH yang memenuhi kualifikasi dan kelayakan kerja. Berdasarkan daftar tersebut Kepala Dishut Provinsi mengangkat personil P2LHP, P2SKSHH, dan P3KB setelah melakukan koordinasi dengan Dishut Kabupatan/Kota. Masa tugas sebagai petugas PUHH berlaku untuk satu tahun RKT. Perubahan mekanisme ini mendapat protes dari pemegang izin yang merasa dirugikan karena tidak hanya membayar PSDH–DR atas kayu yang dipungut tetapi juga termasuk batang atau pohon yang tertinggal di tempat penebangan (Dafriandi dan Jaaman 2012). Hal ini didukung oleh BPKP (2005) yang 6
Pemerintah pusat memperoleh DR 60% dan PSDH 20%. Sementara pemerintah daerah memperoleh DR 40% dan PSDH 80% (provinsi 16%, kabupaten penghsil 32%, dan kabupaten lainnya 32%). Sebelumnya pemerintah pusat memperoleh DR 100% dan PSDH 80%, pemerintah daerah hanya mendapat bagian PSDH sebesar 20%. 7 Sebelumnya SAKO dan SAHHBK diterbitkan oleh pemegang izin. 8 Terhitung sejak tanggal 12 Juni 2000 seluruh petugas kehutanan dan petugas pemegang izin dilarang menerbitkan dokumen SAKB, SAKO dan SAHHBK. Sebagai gantinya digunakan dokumen SKSHH yang dilakukan secara official assessment oleh pejabat kehutanan yang ditunjuk. Pejabat ini ditetapkan oleh Kepala Kanwil Departemen Kehutanan dan Perkebunan Provinsi atas usul Kepala Dinas Kehutanan Provinsi setempat. SKSHH merupakan alat bukti atas legalitas hasil hutan.
24 mengemukakan bahwa tata cara pemungutan PSDH–DR berdasarkan LHC sulit diterapkan karena datanya tidak akurat dan tidak diuji oleh pejabat yang berwenang. Disamping itu besarnya peranan pemerintah berimplikasi pada tingginya biaya transaksi dan waktu yang cukup lama (Dafriandi dan Jaaman 2012). Periode 2006–2013 Terbitnya Instruksi Presiden nomor 4 tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya menuntut Dephut–pada waktu itu–untuk lebih memperketat pengawasannya. Sistem PUHH yang berlaku selama ini dianggap masih mencampuradukkan antara hasil hutan yang menjadi aset negara dan aset private (pemegang izin) sehingga tidak memberikan kepastian hukum. Pemerintah kemudian membuat mekanisme PUHH dengan memadukan antara official assessment dan self assessment. Pengesahan LHP, penerbitan SKSKB dan penerimaan kayu bulat dilakukan secara official assessment. Sementara untuk dokumen angkutan lanjutan menggunakan Faktur Angkutan Kayu Bulat (FA–KB) yang diterbitkan secara self assessment. Kebijakan ini dituangkan melalui Permenhut nomor P.55/Menhut-II/2006 jo P.63/Menhut-II/2006 jo P.8/Menhut-II/2009 jo P.45/Menhut-II/2009 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Negara. Tujuan utamanya masih sama yaitu mengamankan hak-hak negara atas hasil hutan dan terciptanya kelestarian hutan. Tahun 2008 pemerintah mulai memanfaatkan teknologi informasi melalui penerapan SI–PUHH online. Dengan pelibatan teknologi informasi ini diharapkan akan memperpendek rantai birokrasi sehingga dapat menekan biaya transaksi. Bagi pemegang izin yang menerapkan SI–PUHH online diberikan insentif menerbitkan SKSKB secara self assessment (SKSKB–OL). Pengangkatan petugas PUHH melalui proses birokrasi yang cukup rumit. Tenaga teknis yang akan diberdayakan harus memperoleh rekomendasi BP2HP, kecuali Penerbit FA–KB 9 . Untuk Pembuat LHP dan Penerbit SKSKB–OL, pemegang izin harus mengajukan usulan kepada Dishut Provinsi dengan tembusan BP2HP. Selanjutnya BP2HP membuat rekomendasi teknis. Dari usulan dan rekomendasi teknis tersebut, Kepala Dishut Provinsi kemudian menetapkan Pembuat LHP dan Penerbit SKSKB–OL. Sementara P2LHP, P2SKSKB, dan P3KB personilnya diusulkan dari Dishut Kabupatan/Kota ke Dishut Provinsi. Dishut Provinsi selanjutnya meminta pertimbangan teknis kepada BP2HP. Dari hasil pertimbangan teknis tersebut Dishut Provinsi kemudian mengangkat personil P2LHP, P2SKSKB, dan P3KB. Pertimbangan teknis dari BP2HP menjadi salah satu syarat mengingat selama periode sebelumnya banyak terjadi perangkapan jabatan oleh PPHH, misalnya sebagai P2SKSHH sekaligus sebagai P3KB. Namun mekanisme yang panjang ini mengakibatkan banyak waktu terbuang sehingga ikut mempengaruhi lambatnya kegiatan produksi. Keseluruhan proses pengangkatan bisa memakan waktu dua sampai tiga bulan. Ditengah maraknya pemberantasan illegal logging, posisi tenaga teknis dianggap lemah karena belum ada payung hukum tersendiri yang mengatur legalitas kompetensinya. Profesionalisme tenaga teknis menjadi suatu keharusan di dalam pengusahaan hutan karena keberadaannya merupakan salah satu indikator PHPL dan bagian dari amanah PP 6 tahun 2007. Oleh karena itu kemudian dibuat suatu peraturan tersendiri menyangkut tenaga teknis PHPL 9
Penerbit FA–KB ditetapkan langsung oleh Kepala BP2HP berdasarkan usulan pemegang izin.
25 (Gambar 6). Peraturan ini menjadi pedoman bagi tenaga teknis untuk memahami perannya, aturan main yang perlu ditaati, dan sanksi yang dikenakan jika melanggar ketentuan. Pemegang izin juga diwajibkan mempekerjakan tenaga teknis dengan jumlah memadai berdasarkan luas areal konsesinya melalui Perdirjen BPK nomor P.8/VI-SET/2009. Sebenarnya pemberlakuan kebijakan ini juga demi kepentingan IUPHHK–HA sendiri. Masih banyak pemegang izin yang tidak menyadari keberadaan GANISPHPL–PKB–R sebagai tenaga terampil. Dengan diwajibkannya memiliki tenaga teknis sendiri tidak ada lagi biaya untuk peminjaman atau transfer tenaga teknis. Hal ini akan berdampak pada kinerja IUPHHK–HA karena posisi GANISPHPL–PKB–R sudah berada di tempat. Dengan demikian pemungutan hak-hak negara pun akan lebih cepat dilakukan. Bercermin dari hal tersebut sepatutnya IUPHHK–HA memasukkan GANISPHPL–PKB–R sebagai bagian dari investasi perusahaan. Periode 2014–2015 Berkurangnya sumber daya hutan di Indonesia akibat illegal logging mendapat sorotan dari berbagai pihak baik dalam negeri maupun luar negeri. Menurut Smith et al. (2003) korupsi menjadi salah satu penyebab utama illegal logging tersebut. Masih adanya pemahaman bahwa dokumen lebih penting daripada hasil hutannya mengakibatkan penyalahgunaan PUHH selalu berulang. Pada periode ini KPK mulai masuk sebagai tindakan pencegahan korupsi. KPK memberikan rekomendasi perbaikan tata kelola kehutanan diantaranya melalui pengaturan kembali PUHH. Pengaturan PUHH dibuat berdasarkan asal hasil hutan, yaitu PUHH kayu dari hutan alam, PUHH kayu dari hutan tanaman, dan PUHH bukan kayu yang berasal dari hutan negara. Dalam penelitian ini dibatasi pada lingkup PUHH kayu dari hutan alam yaitu Permenhut nomor P.41/Menhut-II/2014. Pokok-pokok perubahan yang terdapat dalam peraturan ini yaitu: a) peningkatan profesionalitas birokrasi dan kepastian hukum pelaku usaha hal ini dilakukan melalui pembatasan waktu terhadap pengesahan LHP, penerbitan SKSKB dan penerimaan kayu oleh instansi kehutanan. Sebelumnya, meskipun sudah ada batas waktu yang ditetapkan tetapi implementasinya tidak mengikuti tata waktu tersebut. Seringkali pengawas tidak berada ditempat atau terkesan menghindar ketika diperlukan untuk mengesahkan/menerbitkan dokumen. Atau sebaliknya pihak pemegang izin yang lambat dalam melaporkan atau mengusulkan pengesahan/penerbitan dokumen. Akibatnya pungutan PSDH–DR dan pemiliran kayu menjadi lambat. b) minimalisasi birokrasi Pembuat LHP, Penerbit SKSKB, Penerbit FA–KB, Penerima KB ditetapkan oleh pemegang izin secara self assessment tanpa melalui Dishut Provinsi dan rekomendasi BP2HP. Sedangkan P2LHP, P2SKSKB, dan P3KB diangkat oleh Kepala Dishut Provinsi tanpa rekomendasi teknis dari BP2HP. Masa berlaku pengangkatan sebagai petugas PUHH dan nomor register menyesuaikan kartu GANISPHPL–PKB–R atau WAS-GANISPHPL–PKB–R. Sebelumnya, pengangkatan petugas PUHH cukup memakan waktu yang lama karena rantai birokrasi yang panjang. Penggunaan nomor register yang berbeda 10 10
Nomor register sebagai petugas PUHH tidak sama dengan nomor register kualifikasi GANISPHPL–PKB–R/WAS–GANISPHPL–PKB–R
26 menyebabkan petugas PUHH mempunyai nomor register ganda dan masa waktu sebagai petugas PUHH hanya berlaku selama satu tahun. Dengan mengikuti masa berlaku kartu maka dimungkinkan menjadi tiga tahun. c) penegasan sanksi PUHH bagi pemegang izin akan dikenakan sanksi administratif jika melakukan pelanggaran PUHH. Untuk P2LHP/P2SKSKB/P3KB yang tidak melaksanakan tugas sesuai tata waktu secara akumulatif sebanyak tiga kali akan diberhentikan sebagai petugas PUHH. Pembuat LHP/P2LHP yang mengesahkan LHP sebelum lunas PSDH–DR periode sebelumnya akan dicabut kartu GANISPHPL–PKB–R/WAS-GANISPHPL–PKB–Rnya. Sebelumnya, kriteria pelanggaran PUHH belum diatur secara tegas. d) optimalisasi penerimaan negara kayu yang sudah diukur dan dicatat di buku ukur wajib di LHP–kan pada periode yang sama. Sebelumnya, kayu yang sudah diukur tidak langsung dimasukkan ke dalam LHP pada periode atau bulan yang sama namun pada periode selanjutnya atau ketika akan dimilirkan saja. Akibatnya pungutan PSDH–DR menjadi tidak optimal karena ada beberapa kondisi kayu yang sudah rusak atau lapuk sehingga tidak jadi dimasukkan ke dalam LHP. e) pemanfaatan teknologi informasi pemberlakuan SI–PUHH online wajib bagi seluruh IUPHHK–HA dan input data dilakukan oleh petugas PUHH. Sebelumnya, SI–PUHH online hanya diwajibkan bagi pemegang izin dengan AAC minimal 60 000 m3/tahun dan dapat dilakukan oleh operator yang tidak berkualifikasi. Perombakan kebijakan PUHH dan fungsi GANISPHPL–PKB–R dan WAS– GANISPHPL–PKB–R mengundang reaksi keras dari berbagai kalangan, bahkan dari pejabat tinggi kalangan Kemenhut sendiri 11 . Menurut mereka hal ini akan melemahkan bahkan menghilangkan fungsi kontrol pemerintah. Seharusnya yang dipertegas adalah pemberian sanksi terhadap GANISPHPL–PKB–R dan WAS– GANISPHPL–PKB–R tersebut. Sementara APHI dan IUPHHK–HA menyambut baik perubahan ini. Dengan adanya fungsi WAS–GANISPHPL–PKB–R yang bisa digantikan oleh GANISPHPL–PKB–R akan berdampak pada efisiensi sumber daya yang harus dikeluarkan oleh IUPHHK–HA. Namun mereka merasa harus lebih berhati-hati karena kebenaran hasil pengukuran menjadi tanggungjawab GANISPHPL–PKB–R dan perusahaannya. Periode 2016–sekarang Hanya berselang satu tahun Permenhut nomor P.41/Menhut-II/2014 kembali dirubah dengan Permenlhk nomor P.43/Menlhk-Setjen/2015. Pemberian peran yang lebih besar kepada pelaku usaha melalui self assessment merupakan implikasi dari kewajiban SI–PUHH online. Dengan terbitnya peraturan ini maka peran WAS–GANISPHPL–PKB–R dihapuskan. Seluruh rangkaian kegiatan PUHH dilakukan dengan menggunakan sistim elektronik. Belum banyak informasi yang dapat diperoleh pada periode ini mengingat masa berlaku efektif baru dimulai pada 1 Januari 2016.
11
Hasil wawancara dengan mantan Dirjen BIKPHH
27 Paparan tersebut di atas memperlihatkan bahwa perubahan kebijakan disesuaikan dengan kondisi yang sedang berlangsung pada saat itu. Namun secara substantif dapat dikatakan hampir tidak mengalami perubahan yang signifikan. Penyediaan informasi perolehan kayu bulat tetap diserahkan kepada agent sehingga pada dasarnya principal tetap tidak mengetahui secara pasti perolehan kayu bulat yang sebenarnya. Perubahan tersebut juga turut dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu narasi, aktor/jaringan, dan kepentingan yang menentukan seberapa besar ruang yang tersedia untuk memungkinkan terjadinya perubahan kebijakan (IDS 2006). Secara ringkas narasi, aktor, dan kepentingan dalam setiap perubahan kebijakan tenaga teknis dalam kegiatan PUHH disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Narasi, aktor, dan kepentingan dalam setiap perubahan kebijakan tenaga teknis dalam kegiatan PUHH Periode 1990–1998
1999–2002
2003–2005
2006–2013
Narasi
Aktor
Kepentingan
Pemungutan terhadap hak-hak negara akan maksimal jika pengukuran dilakukan oleh tenaga teknis yang berkualifikasi. Agar pemungutan menjadi lebih mudah dan cepat maka tata usaha kayu dilakukan oleh pemegang izin (self assessment) Peningkatan perekonomian nasional akan cepat dicapai jika pemanfaatan hasil hutan dilakukan secara maksimal Pungutan terhadap kewajiban PSDH–DR akan terpenuhi jika peran pemerintah dalam kegiatan TUK lebih besar (official assessment) Harga jual akan menururn (kualitas kayu berkurang akibat ditumpuk terlalu lama) jika kayu tidak segera dipasarkan.
Pemerintah pusat
Terpungutnya IHH–DR dengan cepat untuk pembangunan nasional
Pemegang izin
Memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat
Dephut, Pemda
Pembagian dana perimbangan dan kewenangan
Pemegang IUPHHK–HA
Hak-hak negara akan terlindungi jika pemerintah memegang kendali terhadap PUHH
Kemenhut, Pemda
Biaya produksi akan meningkat jika biaya transaksi tinggi
APHI, pemegang IUPHHK–HA
Pendapatan negara dari PSDH– DR akan optimal jika aset negara dan aset private (pemegang IUPHHK–HA) dipisahkan secara jelas Inefisiensi akan terjadi jika rantai birokrasi lebih panjang (penambahan titik simpul pegawasan dan personil Ganis)
Kemenhut, Dinas Kehutanan Prov/Kab
Pemberian porsi kewenangan yang lebih besar kepada official mengurangi kemudahan pengangkutan kayu untuk dijual Kepastian hasil hutan dari izin yang sah dan kelestarian hutan melalui pengendalian peredaran dan pemasaran hasil hutan Kecenderungan menebang lebih untuk menutupi biaya tinggi Tercapainya kelestarian hutan dan pendapatan negara secara optimal dengan kepastian hukum
APHI, pemegang IUPHHK–HA
Meningkatnya biaya transaksi sangat membebani perusahaan
28
Tabel 5 (lanjutan) Periode 2014–2015
2016–sekarang
Narasi
Aktor
Kepentingan
Ekonomi biaya tinggi akan berkurang jika peran Ganis ditingkatkan
Kemenhut, APHI, pemegang IUPHHK–HA, KPK
Fungsi pengawasan akan lemah jika peran Wasganis dikurangi atau ditiadakan
Kemenhut, Dinas Kehutanan Prov/Kab, pemegang IUPHHK–HA
Pendapatan negara akan lebih mudah terpantau jika dilakukan secara self assessment dengan dukungan teknologi informasi Agent akan patuh jika pemberian sanksi benar-benar ditegakkan
KLHK, KPK, Pemegang IUPHHK–HA
Principal yang mendukung narasi ini berpendapat perlunya perbaikan tata kelola hutan, sementara pihak pengusaha menginginkan efisiensi sumber daya Principal yang mendukung narasi ini mengusung mosi tidak percaya terhadap pihak agent dan berkurangnya pembagian kewenangan, sementara pihak agent mengkhawatirkan jika Wasganis ditiadakan akan rentan terhadap jebakan (posisi Wasganis sebagai tameng) Kecepatan dalam ketersediaan data dan informasi akan hakhak negara dari pemegang izin yang sah Aktor yang mendukung narasi ini berpendapat bahwa self assessment bukan solusi agar agent patuh terhadap kontrak, namun yang paling penting adalah penegakan sanksi. Di sisi lain post audit sebagai bentuk pengawasan baru dianggap dapat menyebabkan tumpang tindih tugas pengawasan antar instansi kehutanan
KLHK, Dinas Kehutanan Prov/Kab
Ruang kebijakan (policy space) berhubungan dengan sejauh mana pembuat kebijakan dibatasi dalam membuat keputusan oleh suatu kekuatan, seperti pendapat atau narasi dari jaringan aktor yang dominan (IDS 2006). Perubahan kebijakan tenaga teknis dalam kegiatan PUHH pada setiap periode menyesuaikan kondisi pada saat itu. Tidak terdapat tekanan yang kuat dalam pengambilan keputusan. Namun siapa yang mampu memunculkan dan menegaskan pendapatnya maka itulah yang akan dipertimbangkan, baik itu suatu kelompok maupun seseorang yang memiliki pengaruh atas proses pengambilan keputusan. Pemahaman bahwa pemindahan hak yang sesuai pada hutan alam adalah bersifat sementara sudah mengakar kuat tidak hanya pada sisi principal tetapi juga pada sisi agent. Pemahaman ini dilandasai dari karakteristik hutan alam yang berbeda dengan izin konsesi lainnya seperti perkebunan dan hutan tanaman industri. Perspektifnya adalah areal izin konsesi pada hutan alam sangat luas dan pohon sebagai objek yang ditransaksikan tumbuh secara alami sehingga harus benarbenar dijaga kelestariannya. Isu pentingnya perubahan kebijakan bergulir sejak penerapan official assessment melalui WAS–GANISPHPL–PKB–R ternyata berdampak ekonomi biaya tinggi bagi pemegang izin. Di samping itu pelaporan terkait pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan tidak dapat terpantau tepat waktu dan tidak akuntabel.
29 Narasi ini kemudian membawa kepada munculnya perubahan kebijakan secara self assessment dan pemanfaatan teknologi informasi. Jika diperhatikan, pola peran tenaga teknis dalam PUHH akan berulang pada waktu tertentu. Awal tahun 1990–an sistim dibuat secara self assessment, kemudian periode 1999 hingga 2002 dibuat sistim gabungan antara official assessment dan self assessment, periode 2003 hingga 2005 dibuat secara official assessment penuh, periode 2006 hingga 2013 digabung antara official assessment dan self assessment, tahun 2014 hingga 2015 dapat dikatakan sebagai masa transisi karena pada awal tahun 2016 polanya kembali menerapkan self assessment. Sebenarnya terdapat satu narasi lagi namun tidak dilakukan kajian dalam penelitian ini. Narasi ini diusung oleh para akademisi yang mengemukakan bahwa informasi SDH harus dikuasai secara penuh oleh principal jika ingin meminimalisir penyelewengan oleh agent. Bentuk pemanfaatannya dapat dilakukan dengan cara melelang atau memberikan kepada pihak ke tiga. Peluang munculnya narasi ini nampaknya masih kecil mengingat pola pemberian izin konsesi sudah cukup lama bertahan. Di sisi lain biaya yang diperlukan guna pengumpulan informasi SDH dan pengusahaan hutan cukup tinggi. Nampaknya untuk memunculkan ide baru perlu membangun jaringan dengan aktor yang mempunyai pengaruh yang kuat. Peran tenaga teknis Menurut KBBI peran didefinisikan sebagai perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat. Berperan berarti bermain sebagai atau bertindak sebagai. Peran berkaitan erat dengan status12 yang mengacu pada satu posisi yang dipegang (Horton dan Horton 1982). Peran diatur oleh norma-norma yang berlaku dengan tujuan agar orang yang mempunyai peranan dan orang-orang yang berkaitan dengan perannya tersebut dapat menerima dan menaati nilai-nilai yang telah diatur untuk kedua belah pihak. Namun seringkali dalam proses interaksinya, terjadi hubungan yang timpang yang cenderung memperlihatkan bahwa satu pihak hanya mempunyai hak saja dan pihak lain semata-mata hanya mempunyai kewajiban saja (Soekanto 1982). Peran tenaga teknis dalam kegiatan PUHH diartikan sebagai pengendali dalam pengelolaan hutan alam melalui kegiatan PUHH. Tenaga teknis dalam kegiatan PUHH terdiri atas 2 yaitu: 1) tenaga teknis yang berasal dari IUPHHK; dan 2) tenaga teknis yang berasal dari instansi kehutanan. Pada kurun waktu 1990–2008 tenaga teknis dikenal dengan istilah Penguji Hasil Hutan (PHH) dan Pengawas Penguji Hasil Hutan (PPHH). PHH dan PPHH di bidang kayu bulat disebut dengan Penguji Kayu Bulat Rimba Indonesia (PKBRI) dan Pengawas Penguji Kayu Bulat Rimba Indonesia (PPKBRI). Setelah terbitnya Permenhut nomor P.58/Menhut-II/2008 istilah tersebut diganti dengan Tenaga Teknis Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Pengujian Kayu Bulat Rimba (GANISPHPL– PKB–R) dan Pengawas Tenaga Teknis Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Pengujian Kayu Bulat Rimba (WAS–GANISPHPL–PKB–R). Secara terminologi PKBRI dan PPKBRI esensinya sama dengan GANISPHPL–PKB–R dan WAS– GANISPHPL–PKB–R sebagaimana disebutkan dalam bab tinjauan pustaka.
12
Status secara umum didefinisikan sebagai pangkat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok atau sistim sosial (Horton dan Horton 1982).
30 Periodisasi peran GANISPHPL–PKB–R disajikan pada Tabel 6.
dan
WAS–GANISPHPL–PKB–R
Tabel 6 Periodisasi peran tenaga teknis penguji kayu bulat Periode
1990
PHH (PKBRI)
PPHH (PPKBRI)
1999
Pembuat LHP Penerbit SAKB Pembuat LHP
2003
Pembuat LHP
2006
Pembuat LHP Penerbit FA–KB
2008
-
P2LHP P3KB P2LHP Penerbit SAKB P3KB P2LHP P2SKSHH P3KB P2LHP P2SKSHH P3KB -
2014
-
-
2016
-
-
GANISPHPL (GANISPHPL–PKB–R)
WAS–GANISPHPL (WAS–GANISPHPL– PKB–R)
-
-
-
-
-
-
-
-
Pembuat LHP Penerbit FA–KB Penerbit SKSKB–OL Pembuat/Pengesah LHP Penerbit FA–KB Penerbit SKSKB–OL Penerima KB Pembuat LHP Penerbit SKSHHK Penerima KB
P2LHP P2SKSKB P3KB P2LHP P2SKSKB P3KB -
Pada periode 1990 sampai dengan 1998, PKBRI berperan sebagai Pembuat LHP dan Penerbit SAKB. Sementara PPKBRI bertindak sebagai P2LHP dan P3KB. Pembuat LHP bertugas melakukan penomoran batang (nomor petak, nomor pohon, dan nomor batang), penandaan batang (ukuran diameter, ukuran panjang, dan jenis kayu), serta penghitungan volume batang. Nomor pohon dan jenis kayu yang tercantum dalam LHP harus sesuai dengan LHC. Pada setiap akhir periode, pembuat LHP wajib mengajukan permohonan pemeriksaan dan pengesahan LHP kepada instansi kehutanan atau CDK setempat. P2LHP yang ditunjuk kemudian melakukan pemeriksaan dan mengesahkan LHP jika hasil pemeriksaannya telah sesuai. Selanjutnya kayu bulat yang akan diangkut wajib disertai dokumen SAKB. Dokumen SAKB diterbitkan oleh petugas pemegang izin yang ditunjuk oleh direksi/pimpinan pemegang izin setelah memperoleh nomor register dari Kanwil Kehutanan dan Perkebunan. Setelah kayu bulat tiba di IPKH, pemilik IPKH melaporkan ke instansi kehutanan atau CDK setempat. P3KB yang ditunjuk mematikan SAKB, melakukan pemeriksaan dan mencatatnya dalam buku register. P3KB kemudian membuat berita acara pemeriksaan dan melaporkan kepada atasannya setiap bulan dalam bentuk RPKB. Boleh dikatakan keterlibatan langsung pengawas TUK pada periode ini masih sangat minim, hanya pada blok penebangan dan tujuan akhir pengangkutan kayu. Pada tahun 1999 pemberlakuan official assessment memberikan peran yang lebih besar kepada PPHH. P2LHP mengesahkan LHP jika PSDH–DR telah dibayarkan. Penerbit SAKB juga dialihkan kepada PPHH. Namun secara
31 administrasi tidak berbeda jauh dengan sebelumnya. Sebelum otonomi daerah, pengawasan pengusahaan hutan dilakukan secara berjenjang. Dishut Provinsi membawahi CDK dan dibawahnya dibentuk BKPH dan dibawahnya lagi terdapat RPH. Selanjutnya BKPH dan RPH memantau dan mengawasi P2LHP, P3KB dan Pengawas HPH. Namun karena keterbatasan tenaga dan sarat akan konflik kepentingan, KBKPH/KRPH ada juga yang bertindak sebagai P2LHP, Penerbit SAKB atau P3KB. Bahkan ada yang merangkap jabatan seperti P2LHP sekaligus Penerbit SAKB atau P2LHP sekaligus P3KB, dan begitu seterusnya. Demikian pula halnya staf yang ditunjuk sebagai petugas PUHH, pada umumnya terjadi perangkapan jabatan. Dari hasil wawancara ditemukan fakta bahwa sampai dengan periode ini tidak semua perusahaan mempunyai Pembuat LHP. Pembuat LHP langsung melekat pada P2LHP. Saat itu kondisi tenaga teknis di Kalimantan tidak sebanding dengan jumlah pemegang izin yang ada. Sehingga banyak petugas kehutanan yang ditunjuk sebagai pejabat PUHH tidak berdasarkan kualifikasi melainkan berdasarkan penunjukan oleh Kepala Dinas Provinsi atau Kepala CDK. Kualifikasi tenaga teknis masih dianggap sebagai formalitas. Sebaliknya kondisi di Sumatera, jumlah perusaahan tidak sebanyak di Kalimantan sehingga yang ditunjuk sebagai pejabat PUHH adalah orang-orang yang memang mempunyai kualifikasi. Oleh karena itu kemudian banyak pegawai kehutanan yang mutasi ke Kalimantan agar bisa diberdayakan sebagai petugas PUHH. Sejak tahun 2003 usulan LHP dibuat menjadi 2 periode dalam satu bulan yaitu setiap pertengahan dan akhir bulan. P2LHP melakukan pemeriksaan dan mengesahkan LHP setelah PSDH–DR dibayarkan. Untuk pengangkutan kayu bulat, pemegang izin mengajukan permohonan penerbitan SKSHH kepada P2SKSHH. Selambat-lambatnya satu hari setelah menerima permohonan penerbitan SKSHH, P2SKSHH melakukan pemeriksaan administrasi dan fisik atas kayu bulat yang akan diangkut. Hasil pemeriksaan kemudian dituangkan dalam BAP dan P2SKSHH segera menerbitkan SKSHH. Setelah tiba di tujuan akhir, paling lambat satu hari kerja SKSHH dilaporkan ke P3KB untuk segera dimatikan dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan administrasi dan fisik. P3KB wajib mengumpulkan SKSHH lembar pertama dan membuat buku register penerimaan SKSHH sebagai bahan laporan kepada Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten dan Provinsi. Penyelewengan yang terjadi dalam pengawasan PUHH seperti pengesahan LHP dan pemeriksaan penerimaan kayu bulat yang tidak sesuai fisik ternyata banyak diakibatkan oleh petugas PUHH yang ditunjuk tidak berkualifikasi sebagaimana mestinya. Hal ini kemudian berdampak pada legalitas hasil hutan yang dianggap tidak sah karena petugas yang melakukan pengesahan/penerbitan dokumen tidak mempunyai kartu izin menguji. Ditambah lagi banyak yang tidak melakukan cross check secara langsung di lapangan dan hanya melakukan transaksi pengesahan atau penerbitan dokumen di kantor. Untuk menegaskan kembali peran tenaga teknis ini maka pada tahun 2006 diterbitkan peraturan PUHH yang baru. Dan sebagai payung hukumnya diterbitkan peraturan tentang kompetensi tenaga teknis PHPL pada tahun 2008. Istilah tenaga teknis pun berganti menjadi GANISPHPL–PKB–R (bagi PHH– PKBRI) dan WAS–GANISPHPL–PKB–R (bagi PPHH–PPKBRI). Peran GANISPHPL–PKB–R bertambah menjadi Pembuat LHP, Penerbit FA–KB, dan Penerbit SKSKB online. Sementara peran WAS–GANISPHPL–PKB–R tetap
32 sebagai P2LHP, P2SKSKB (sebelumnya P2SKSHH), dan P3KB. Dalam kedua peraturan tersebut ditegaskan kembali persyaratan, tata cara pengangkatan dan pemberhentian petugas PUHH baik GANISPHPL–PKB–R maupun WAS– GANISPHP–PKB–R, tugas dan tanggung jawab masing-masing, serta jenis pelanggaran dan sanksi yang diberikan. Disebutkan pula bahwa P2LHP bertanggung jawab terhadap kebenaran administrasi dan fisik dari LHP yang disahkannya. Pembayaran PSDH–DR dilakukan setelah LHP disahkan oleh P2LHP. P2SKSKB bertanggung jawab terhadap kebenaran administrasi dan fisik dari DKB yang disahkannya dan SKSKB yang diterbitkannya. Sementara P3KB bertanggung jawab terhadap penerimaan kayu bulat dan harus melakukan pemantauan secara aktif terhadap kayu bulat yang masuk di wilayah kerjanya. Meskipun peraturan PUHH selalu berubah namun perubahan tersebut tidak lepas dari masalah klasik kebijakan seperti yang dikemukakan Kartodihardjo (2013), secara administratif berubah tetapi tidak secara substansial. Dari sisi tenaga teknis kelemahan yang dianggap paling menonjol adalah kemampuan profesional pengawas yang rendah dan metode pengawasan yang masih konvensional (Hartoyo 2011). Hal ini juga berakibat pada pencatatatn dan pelaporan produksi yang tidak berjalan dengan baik. Akhirnya pada tahun 2014 pemerintah mewajibkan penerapan SI–PUHH online bagi seluruh IUPHHK. Peran GANISPHPL–PKB–R dalam kondisi tertentu disejajarkan dengan WAS– GANISPHPL–PKB–R. Diberlakukannya Undang-Undang nomor 23 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah berimplikasi pada pelayanan dan pengendalian secara teknis yang selama ini dilakukan oleh kabupaten/kota. Peran WAS– GANISPHPL–PKB–R dihapuskan dan diganti dengan SI–PUHH online tersebut. Peran, tugas dan wewenang GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R sebelum berlakunya SI–PUHH online secara penuh disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Peran, tugas dan wewenang GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL– PKB–R Peran GANISPHPL– PKB–R
Tugas dan wewenang
Peran WAS– GANISPHPL– PKB–R
Tugas dan wewenang
Pembuat LHP
Mengendalikan produksi hasil hutan dan mengamankan hakhak negara atas hasil hutan: a. Melakukan pengukuran/pengujian dan dicatat dalam Buku Ukur; b. Membuat permohonan pengesahan usulan LHP-KB kepada P2LHP, c. Mengesahkan LHP jika dalam jangka waktu 2 x 24 jam belum dilakukan pemeriksaan oleh P2LHP, d. Menginput data LHP (bagi IUPHHK-HA yang sudah menerapkan SI-PUHH Online)
P2LHP
Mengendalikan produksi hasil hutan dan mengamankan hakhak negara atas hasil hutan pada pemegang izin: a. Melakukan pemeriksaan administrasi terhadap LHP; b. Melakukan pemeriksaan fisik atas KB yang di LHPkan; c. Mengesahkan LHP d. Mengunggah/upload data rekapitulasi LHP sah ke dalam aplikasi pelaporan PUHH
33
Tabel 7 (lanjutan) Peran GANISPHPL– PKB–R
Tugas dan wewenang
Peran WAS– GANISPHPL– PKB–R
Tugas dan wewenang
Penerbit SKSKB
Mengendalikan peredaran hasil hutan dan mengamankan hakhak negara atas hasil hutan: a. Menerbitkan SKSKB apabila dalam jangka waktu 2 x 24 jam belum diterbitkan oleh P2SKSKB dan mengunggah/upload data penerbitan SKSKB ke dalam aplikasi pelaporan PUHH (bagi IUPHHK–HA yang belum menerapkan SIPUHH Online) b. Menerbitkan SKSKB dan menginput penerbitan SKSKB melalui aplikasi SIPUHH Online (bagi IUPHHK–HA yang sudah menerapkan SI-PUHH Online)
P2SKSKB
Mengendalikan peredaran hasil hutan dan mengamankan hakhak negara atas hasil hutan pada pemegang izin: a. Melayani permohonan pemegang izin untuk menerbitkan SKSKB; b. Melakukan pemeriksaan administrasi dan fisik kayu yang akan diangkut; c. Mengunggah/upload data penerbitan SKSKB ke dalam aplikasi pelaporan PUHH; d. Membuat buku register penerimaan, penyerahan, dan persediaan SKSKB; e. Membuat laporan penerbitan SKSKB setiap bulannya
Penerbit FA–KB
Mengendalikan peredaran hasil hutan dan mengamankan hakhak negara atas hasil hutan: a. Melakukan pemeriksaan administrasi dan fisik b. Menerbitkan FA-KB (dokumen angkutan lanjutan) c. Mengunggah/upload data penerbitan FA-KB ke dalam aplikasi pelaporan PUHH bagi yang belum menerapkan SI-PUHH Online d. Menginput penerbitan FAKB melalui aplikasi SIPUHH Online bagi yang sudah menerapkan SIPUHH Online
-
Penerima KB
Mengendalikan penerimaan hasil hutan: a. Mematikan dokumen dan melakukan pemeriksaan administrasi dan fisik apabila dalam jangka waktu 1 x 24 jam belum dilaksanakan oleh P3KB (bagi pemegang izin yang belum menerapkan SIPUHH Online) b. Mematikan dokumen secara fisik dan online, serta melakukan pemeriksaan administrasi dan fisik (bagi pemegang izin yang sudah menerapkan SI-PUHH Online)
P3KB
-
Mengendalikan penerimaan hasil hutan: a. Mematikan dokumen angkutan; b. Melakukan pemeriksaan administrasi dan fisik; c. Mengunggah/upload data penerimaan SKSKB/FA-KB ke dalam aplikasi pelaporan PUHH; d. Membuat BAP hasil pemeriksaan.
34 Bentuk pengawasan Pengawasan merupakan proses yang dilakukan untuk memastikan apakah pekerjaan yang telah direncanakan berjalan sebagaimana mestinya atau tidak (Sule dan Saefullah 2005). Konsep pengawasan berangkat dari kenyataan bahwa manusia sebagai penyelenggara kegiatan operasional memiliki keterbatasan dan terkadang dipengaruhi oleh perilaku negatif yang muncul dan memberikan pengaruh pada hasil kerjanya (Siagian 2000). Jadi pada dasarnya pengawasan diarahkan untuk menghindari kemungkinan adanya penyelewengan atau penyimpangan dari tujuan yang akan dicapai. Sujamto (1986) dalam Handajani et al. (2014) membedakan pengawasan ke dalam 2 bentuk yaitu pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung. Pengawasan langsung dapat juga dikatakan pemeriksaan di tempat dengan cara mendatangi obyek yang diawasi. Pemeriksaan yang dilakukan berupa pemeriksaan administratif dan fisik di lapangan. Sebaliknya, pengawasan tidak langsung dilakukan tanpa mendatangi tempat obyek yang diawasi. Pemeriksaannya melalui laporan dan atau dokumen terkait. Bentuk pengawasan yang dilakukan oleh WAS–GANISPHPL–PKB–R dapat digolongkan sebagai pengawasan langsung yaitu berupa pemeriksaan administrasi dan fisik. Mekanismenya hampir tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Tata cara pemeriksaan diuraikan sebagai berikut: a) Pengesahan LHP Pemeriksaan administrasi untuk pengesahan LHP dilakukan terhadap LHP yang diusulkan dengan memastikan bahwa LHP periode sebelumnya telah dilunasi PSDH–DRnya, lokasi penebangan sesuai, dan pembuatan LHP benar meliputi nama, nomor register dan tanda tangan pembuat LHP, serta kesesuaian nomor-nomor dan jenis kayu antara LHP dan LHC. Sementara pemeriksaan fisik dilakukan terhadap kayu yang di LHPkan. Dimulai dengan menghitung seluruh jumlah batang dan memeriksa jenis kayu serta penandaan kayu yang meliputi nomor batang, diameter, panjang dan jenis. Jika jumlah, jenis dan penandaan kayu telah sesuai dilanjutkan dengan pemeriksaan ukuran. Pemeriksaan ukuran dilakukan terhadap sampel yang diambil secara acak dengan ketentuan: (a) jumlah kayu 100 batang maka jumlah sampelnya 100%; (b) jumlah kayu 101–1000 batang maka jumlah sampelnya minimal 100 batang; (c) jumlah kayu lebih dari 1000 batang maka jumlah sampelnya 10%. Pemeriksaan ukuran LHP dinyatakan benar apabila selisih perbedaan volume kayu antara hasil pemeriksaan dan usulan LHP kurang atau sama dengan 5%. Dengan demikian LHP bisa disahkan oleh P2LHP. Pemeriksaan dan pengesahan LHP oleh P2LHP dilakukan di TPn atau TPK Hutan. LHP yang telah disahkan kemudian dilaporkan oleh pemegang IUPHHK–HA kepada pejabat penagih PSDH–DR untuk segera diterbitkan SPP PSDH–DR. b) Pemeriksaan SKSKB Pemeriksaan SKSKB secara administrasi dilakukan terhadap Daftar Kayu Bulat (DKB/DKBS/DKBK). Nomor batang, jenis kayu, ukuran dan volume yang tercantum dalam DKB/DKBS/DKBK harus sesuai dengan LHP yang telah disahkan dan dilunasi PSDH–DRnya. Pemeriksaan SKSKB secara fisik dilakukan dengan memastikan bahwa identitas fisik kayu (nomor, ukuran, jenis) yang akan diangkut sesuai dengan DKB/DKBS/DKBK. Jika pemeriksaan administrasi dan fisik telah sesuai maka P2SKSKB menandatangani dan menerbitkan SKSKB.
35 c) Pemeriksaan penerimaan kayu bulat Pemeriksaan penerimaan kayu bulat secara administrasi dilakukan dengan memastikan kebenaran dokumen angkutan (SKSKB/FA–KB), meliputi keaslian dokumen, kebenaran pengisian, tanda tangan penerbit, masa berlaku dokumen dan kesesuaian tujuan pengangkutan. Jika terdapat ketidaksesuaian maka P3KB harus segera melaporkan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota setempat untuk dilakukan proses lebih lanjut. Untuk pemeriksaan penerimaan kayu bulat secara fisik dilakukan dengan menghitung jumlah batang dan memastikan jenis kayu secara keseluruhan (100%). Jumlah batang, jenis kayu, dan nomor batang yang tertera pada fisik kayu harus sesuai dengan dokumen angkutan. Jika telah sesuai maka dilanjutkan dengan pemeriksaan ukuran untuk memastikan kesesuaian antara volume kayu yang diangkut dan dokumen angkutan yang menyertainya. Pemeriksaan ukuran dilakukan dengan mengambil sampel secara acak dengan ketentuan: (a) jumlah kayu minimal 100 batang maka jumlah sampelnya 100%; (b) jumlah kayu 101–1000 batang maka jumlah sampelnya minimal 100 batang; (c) jumlah kayu lebih dari 1000 batang maka jumlah sampelnya 10%. Hasil pengukuran tersebut dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Ukuran dinyatakan benar apabila selisih perbedaan volume kayu antara yang tercantum dalam dokumen dan hasil pemeriksaan fisik tidak melebihi 5%. Jika terdapat perbedaan yang besarnya melebihi 5% maka harus dilakukan pemeriksaan secara keseluruhan (batang per batang). Titik-titik kontrol pengawasan disajikan pada Gambar 7. TPn/TPK Hutan
Pembuat LHP
P2LHP
P3KB
Penerima KB
TPK Hutan
2x24 jam belum disahkan P2LHP
LHP sah
Tujuan akhir
1x24 jam belum dimatikan P3KB
2x24 jam belum diterbitkan P2SKSKB
Penerbit SKSKB
Bayar PSDH dan DR
FA–KB
Penerbit SKSKB–ol/ P2SKSKB
Penerbit FA–KB
SKSKB
TPK Antara
Industri
P3KB 1x24 jam belum dimatikan P3KB Penerima KB
Gambar 7 Alur titik kontrol pada kegiatan PUHH
36 Pengangkatan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R Tenaga teknis diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi. Hal ini dapat diperoleh melalui pendidikan dan keterampilan agar proses kerja yang ada pada unit organisasi dapat berjalan secara efisien, tepat, dan efektif (Tangkilisan 2005). Pengangkatan GANISPHPL–PKB–R Penyediaan GANISPHPL–PKB–R bisa melalui dua cara yaitu diklat dan uji kompetensi. Di Kalimantan Tengah, IUPHHK–HA pada umumnya memilih jalur diklat dibanding uji kompetensi. Selain pertimbangan masa kerja (karyawan yang akan diikutkan uji kompetensi masa kerja sekurang-kurangnya tiga tahun), peluang kelulusan juga lebih besar. Proses penyediaan GANISPHPL–PKB–R jalur diklat melalui beberapa tahapan (Gambar 8). IUPHHK–HA yang membutuhkan GANISPHPL–PKB–R menyampaikan permintaan diklat kepada APHI. Selanjutnya APHI menyampaikan permohonan diklat kepada BP2HP. Berdasarkan permintaan dari APHI, BP2HP melaksanakan diklat GANISPHPL– PKB–R dan melaporkannya kepada Pusdiklat Kehutanan selaku penyelenggara diklat. Karyawan IUPHHK–HA yang dinyatakan lulus diberikan STTPP dan diangkat sebagai GANISPHPL–PKB–R melalui penetapan Kepala BP2HP dan penerbitan kartu GANISPHPL–PKB–R dengan masa berlaku selama tiga tahun. Persyaratan umum bagi karyawan yang akan diangkat sebagai GANISPHPL– PKB–R adalah minimal SMU atau sederajat, karyawan tetap IUPHHK–HA, sehat jasmani dan rohani13, tidak pernah dikenakan sanksi pencabutan kartu, dan akan memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku14. Biaya diklat bisa secara swadana dari IUPHHK–HA yang mengikutkan karyawannya, anggaran pemerintah atau anggaran lain yang tidak mengikat. Tetapi pada umumnya biaya diklat untuk GANISPHPL–PKB–R bersumber dari swadana IUPHHK–HA.
Gambar 8 Proses pengangkatan GANISPHPL–PKB–R 13 14
Dibuktikan dengan surat keterangan sehat dari dokter pemerintah Penandatanganan pakta integritas
37 Penyediaan WAS–GANISPHPL–PKB–R Berbeda dengan GANISPHPL–PKB–R, penyediaan WAS–GANISPHPL– PKB–R hanya dilakukan melalui jalur diklat. Dinas Kehutanan menyampaikan permintaan diklat kepada BP2HP. Selanjutnya BP2HP melakukan seleksi peserta dan melaporkan rencana diklat kepada Pusdiklat kehutanan selaku penyelenggara dan Direktur yang membawahi BP2HP. Diklat dapat dilaksanakan oleh BP2HP atau Balai Diklat setempat. Pegawai yang dinyatakan lulus akan diberikan STTPP dan diangkat sebagai WAS–GANISPHPL–PKB–R melalui penetapan Kepala BP2HP serta diterbitkan Kartu WAS–GANISPHPL–PKB–R dengan masa berlaku kartu selama tiga tahun (Gambar 9). Persyaratan umum untuk menjadi WAS– GANISPHPL–PKB–R adalah sekurang-kurangnya pangkat pengatur muda (IIa) dengan masa kerja minimal tiga tahun, minimal SMU atau sederajat, sehat jasmani dan rohani, tidak pernah dikenakan sanksi pencabutan kartu, dan akan memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Biaya diklat dapat berasal dari APBN, APBD atau anggaran lain yang tidak mengikat. Setiap tahun BP2HP melakukan identifikasi kebutuhan jenis diklat dan mengusulkan anggaran diklat pengawas PHPL. Kendalanya seringkali terletak pada masa kerja pegawai yang akan direkrut sebagai WAS–GANISPHPL–PKB–R mengingat jumlah pegawai pada Dinas Kehutanan terbatas. Untuk menutupi kekurangan tersebut seringkali pegawai yang masa kerjanya belum cukup tiga tahun tetap diikutkan diklat.
Gambar 9 Proses pengangkatan WAS–GANISPHPL–PKB–R Penilaian kinerja GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R Penilaian kinerja dilakukan untuk menilai kompetensi GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R secara periodik. Penilaian kinerja sebenarnya telah diatur pada tahun 2005 melalui Perdirjen BPK nomor P.03/VI–BPPHH/05
38
Orang
namun baru efektif dilaksanakan setelah terbitnya Permenhut P.58/Menhut–II/2008. Penilaian kinerja terdiri atas lima kriteria yaitu: a) pemahaman dan penguasaan materi (bobot 20%); b) keterampilan dan ketepatan menggunakan sarana kerja (bobot 20%); c) pelaporan (bobot 40%); d) pengembangan profesi (bobot 10%); dan e) pelanggaran (bobot 10%). Kriteria pemahaman dan penguasaan peraturan meliputi pemahaman dan penguasaan peraturan terkait bidang PHPL serta tugas dan kewenangannya. Kriteria keterampilan dan ketepatan menggunakan sarana kerja meliputi pengetahuan dan keterampilan dalam menetapkan jenis, serta tata cara pengukuran dan pengujian kayu bulat secara teori dan praktek. Kriteria pelaporan meliputi pembuatan dan penyampaian laporan kegiatan bulanan, serta kesesuian/kelengkapan laporan dengan format standar. Kriteria pengembangan profesi meliputi diklat, seminar, sosialisasi, dan pembahasan bidang pengelolaan hutan produksi yang diikuti. Terakhir kriteria pelanggaran meliputi jenis pelanggaran dan sanksi yang pernah dikenakan terkait tugas dan kewenangannya. Hasil penilaian kinerja dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: kategori A (baik), kategori B (sedang), dan kategori C (kurang). Kategori A jika jumlah nilai tertimbangnya lebih besar dari 2.40, kategori B jika nilai tertimbangnya 1.80 sampai dengan 2.39, dan kategori C jika nilai tertimbangnya kurang dari 1.80. Hasil penilaian kinerja digunakan sebagai bahan pengendalian dalam proses perpanjangan kartu, bahan pertimbangan teknis atau kelayakan untuk diangkat sebagai petugas PUHH, dan sebagai bahan pengembangan profesi dan pembinaan terhadap GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R. Bagi yang memperoleh kategori A diberikan perpanjangan kartu tanpa penyegaran dan biasanya diprioritaskan untuk ditunjuk sebagai petugas PUHH. Kategori B diwajibkan mengikuti penyegaran untuk memperpanjang kartu dan kategori C dikenakan sanksi pembekuan kartu dan tidak boleh diberdayakan sebagai petugas PUHH. Pelaksana penilaian kinerja adalah BP2HP dan dilaksanakan minimal sekali dalam setahun. 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
WASGANIS GANIS
Gambar 10
A
B 2012
C
63 27
214 208
28 13
A
B 2013 Tahun 138 177 70 211
C
A
B 2014
C
1 2
93 68
190 248
2 5
Hasil penilaian kinerja GANISPHPL–PKB–R dan WAS– GANISPHPL–PKB–R tiga tahun terakhir di Provinsi Kalimantan Tengah
39 Hasil penilaian kinerja GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL– PKB–R di Provinsi Kalteng menunjukkan fluktuasi namun secara umum berada pada kisaran kategori B atau sedang (Gambar 10). Penilaian kinerja mengalami peningkatan pada tahun 2013 tetapi kemudian menurun di tahun selanjutnya. Ini terjadi pada GANISPHPL–PKB–R maupun WAS–GANISPHPL–PKB–R. Namun bila dibandingkan selama tiga tahun terakhir, nilai WAS–GANISPHPL–PKB–R lebih baik dari GANISPHPL–PKB–R. Ini dapat dilihat dari nilai kategori A yang diperoleh WAS–GANISPHPL–PKB–R selalu lebih besar dibanding GANISPHPL–PKB–R. Meskipun pada tahun 2011 WAS–GANISPHPL–PKB–R lebih banyak memperoleh kategori C dibanding GANISPHPL–PKB–R namun pada dua tahun selanjutnya jumlah ini berbalik. Dari hasil penelusuran ditemukan bahwa WAS–GANISPHPL–PKB–R yang memperoleh kategori C pada umumnya disebabkan pelaporan yang tidak tertib seperti format yang tidak sesuai ketentuan dan penyampaian laporan yang tidak tepat waktu. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Budiono (2007) yang menyebutkan bahwa meskipun pemahaman dan penguasaan tata cara pengukuran baik dan mahir dalam menggunakan alat ukur namun banyak yang tidak menyampaikan laporan dengan sengaja atau bahkan tidak membuatnya. Tetapi dari segi penguasaan peraturan WAS–GANISPHPL–PKB–R lebih baik dan up to date. Sebaliknya GANISPHPL–PKB–R yang memperoleh kategori C lebih banyak disebabkan kurangnya pengetahuan dan pemahaman peraturan karena tidak mengikuti perkembangan yang ada. Insentif dan sanksi Insentif secara sederhana diartikan sebagai suatu imbalan tambahan berupa materi atau non materi karena prestasi kerja melebihi standar kerja yang telah ditetapkan (Hasibuan 2013). Lebih lanjut Hasibuan (2013) mengemukakan bahwa insentif diberikan untuk menarik dan memotivasi individu atau kelompok sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. Pada dasarnya terdapat 2 jenis insentif yang secara umum diberikan, yaitu insentif finansial dan insentif non–finansial. Insentif finansial adalah insentif dalam bentuk uang seperti bonus, komisi, pembagian laba, dsb. Sementara insentif non–finansial adalah insentif dalam bentuk penghargaan atau pengakuan seperti promosi jabatan, tunjangan fasilitas, dsb. Sanksi dibuat untuk memaksa menepati perjanjian atau menaati ketentuan. Didalamnya terkandung norma atau ketentuan tentang perbuatan yang dilarang dan diharuskan disertai ancaman bagi yang melanggar larangan tersebut (Setiadi dan Yulia 2010). Sanksi dalam pengusahaan hutan terdiri atas sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi meliputi denda, pengurangan jatah produksi, pencabutan izin dan penghentian insentif. Sementara sanksi pidana berupa pidana denda dan pidana penjara. Insentif bagi IUPHHK – HA Insentif bagi IUPHKK–HA diberikan oleh pihak pemerintah dalam bentuk apresiasi berupa kemudahan agar IUPHKK–HA terdorong untuk bekerja lebih baik sehingga kinerjanya juga ikut meningkat. Pemberian insentif secara formal baru diatur setelah terbitnya P.55/Menhut-II/2006 jo P.8/Menhut-II/2009. Bagi IUPHKK–HA yang mengimplementasikan SI–PUHH Online penerbitan SKSKB dilakukan secara self assessment dan dapat mengesahkan LHP sendiri apabila dalam waktu 2x24 jam belum dilakukan oleh P2LHP. Tetapi tampaknya bagi
40 agent insentif ini tidak sebanding dengan pengorbanan biaya yang harus dikeluarkan. Hal ini tercermin dari petikan wawancara berikut: “...kalau dibilang insentif, insentifnya apa? Aku belum merasakan yang sesungguhnya. Insentifnya itu baru satu, nerbitkan RKT sendiri saja. Lah RKT ini kan kaitannya sama kinerja PHPL bukan PUHH. Tapi RKT kan juga ga ujug2 langsung jadi, harus melewati anak tangga juga...” Suich (2013) mengemukakan bahwa insentif merupakan kunci untuk menarik dan mempertahankan partisipasi dalam pengelolaan sumber daya alam. Namun insentif tidak akan berhasil jika yang ditawarkan tidak sepadan atau manfaat langsungnya terlalu kecil. Hal ini tidak cukup untuk meningkatkan kinerja atau paling tidak memberikan motivasi terhadap pengelolaan hutan jangka panjang dan sikap loyal terhadap institusi. Insentif bagi GANIS–PHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R Insentif yang diatur dalam P.41/Menhut-II/2014 hanya diperuntukkan bagi WAS–GANISPHPL–PHPL–PKB–R yang menjabat sebagai petugas PUHH (P2LHP, P2SKSKB, dan P3KB). Insentif yang diberikan dapat berupa penghargaan, tunjangan pejabat PUHH, peningkatan kapasitas, dan penyegaran. Sampai dengan saat ini insentif yang diberikan berupa tunjangan sebagai petugas PUHH, peningkatan kapasitas dan penyegaran. Nominal tunjangan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia, sekitar Rp200 000–Rp300 000/bulan. Jumlah ini tentunya tidak sebanding dengan tugas yang diemban, terlebih jika lokasinya sangat jauh dan medan berat. Oleh karena itu fasilitas dan biaya pengawasan lebih banyak ditanggung pemegang izin. Sementara untuk GANISPHPL–PHPL–PKB–R pengaturannya tidak disebutkan sama sekali. Insentif bagi GANISPHPL–PHPL– PKB–R pengaturannya diserahkan pada unit manajemennya masing-masing. Selain gaji tetap, insentif biasanya diberikan dalam bentuk premi produksi yang didasarkan dari volume kayu yang dihasilkan (Rp/m3). Insentif non–finansial yang diberikan baik kepada GANISPHPL–PHPL– PKB–R maupun WAS–GANISPHPL–PHPL–PKB–R mulai diatur pada tahun 2008 melalui P.58/Menhut-II/2008 (sekarang dirubah menjadi P.54/Menhut-II/2014). Jika dalam penilaian kinerja memperoleh nilai A maka dibebaskan penyegaran untuk perpanjangan kartu. Sebelum adanya peraturan tersebut, apabila masa berlaku kartu (tiga tahun) sudah habis, otomatis harus melalui penyegaran. Sebenarnya hal ini juga menjadi insentif bagi IUPHHK–HA karena tidak perlu mengeluarkan biaya untuk penyegaran. Sanksi bagi IUPHHK–HA Usaha kehutanan pada perkembangannya melibatkan keserakahan sejumlah pihak untuk memperoleh keuntungan. Hal inilah yang menimbulkan kejahatan di bidang kehutanan yang selanjutnya berdampak pada pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang tidak berkelanjutan (Sembiring dan Djefrianto 2009). Praktik pelanggaran yang terjadi dalam skala besar ternyata turut melibatkan pemegang izin konsesi (Sari et al. 2009). Hukuman yang rendah tidak mengakibatkan efek jera bagi para pelaku. Lahirnya UU 41 tahun 1999 seperti membawa angin segar dengan dicantumkannya ketentuan pidana, ganti rugi dan beberapa penambahan jenis sanksi administrasi. Dengan dimasukkannya sanksi ini diharapkan akan menimbulkan efek jera bagi si pelanggar hukum di bidang kehutanan. Efek jera
41 ditujukan tidak hanya bagi pelaku yang telah melakukan pelanggaran tetapi juga bagi oknum yang mempunyai niat untuk melakukan tindak kejahatan sehingga timbul rasa enggan ketika mengetahui sanksi pidana yang akan dikenakan. Meskipun demikian penindakan terhadap pelanggar kehutanan ternyata masih belum optimal karena sanksi yang dijatuhkan lebih sering berupa sanksi administrasi (Sari et al. 2009). Meningkatnya perusakan hutan menyebabkan kerugian negara dan kerusakan kehidupan sosial negara yang sangat besar pula. Karena itu kemudian pemerintah mengeluarkan UU nomor 18 tahun 2013 terkait pencegahan dan perusakan hutan untuk menjadi payung hukum yang kuat sehingga penegakan hukum dapat lebih terlaksana dengan baik. Lebih lengkapnya jenis dan pelangggaran yang dikenakan terhadap IUPHHK–HA terkait keberadaan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R dalam kegiatan PUHH disajikan pada Lampiran 2. Sanksi bagi GANISPHPL dan WAS–GANISPHPL Pengenaan sanksi terhadap GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL– PKB–R lebih banyak bersifat administratif yaitu pembekuan dan pencabutan kartu. Namun yang paling sering dijatuhkan terhadap GANISPHPL–PKB–R dan WAS– GANISPHPL–PKB–R hanyalah pembekuan kartu yang diberikan terhadap GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R yang memperoleh nilai C pada saat penilaian kinerja (jumlahnya dapat dilihat pada Gambar 7). Selebihnya belum pernah ditemukan kasus selain hal tersebut. Dengan adanya UU nomor 18 tahun 2013, GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R diharapkan dapat bekerja dengan serius dan lebih memperhatikan tanggungjawabnya. Jenis dan pelangggaran yang dikenakan terhadap GANISPHPL–PKB–R dan WAS– GANISPHPL–PKB–R disajikan pada Lampiran 3. SI–PUHH online SI–PUHH online merupakan sistim aplikasi PUHH yang berbasis web untuk pencatatan identitas, legalitas, dan pelacakan asal-usul kayu bulat yang dapat diakses secara online di internet (Dirjen BUK 2014). Berkembangnya informasi teknologi dimanfaatkan oleh KLHK untuk memantapkan PUHH. Pada awalnya SI–PUHH dimaksudkan untuk memudahkan keterlacakan kayu melalui otomatisasi sistim, proses perekaman dan pelaporan data secara online (Dephut 2008). Seiring perkembangan kondisi pengusahaan hutan, SI–PUHH digunakan untuk meningkatkan pengendalian dan pemasaran hasil hutan. Hal ini juga berkaitan dengan tuntutan publik terhadap transparansi informasi pengelolaan hutan dari sisi pengusahaan hutan. Informasi yang disajikan merupakan bentuk pertanggungjawaban dari pemegang izin kepada pemerintah dan dari pemerintah kepada publik. Bentuk pengawasaan secara konvensional yang dilakukan oleh WAS–GANISPHPL–PKB–R dianggap memiliki banyak kelemahan, diantaranya data yang tidak akurat, lamban dalam pembaruan data, tidak akuntabel dan sarat akan praktek kolusi. Penggunaan sistim barcode pada SI–PUHH online memungkinkan setiap batang kayu bulat untuk dilacak asal-usulnya dan diketahui pemenuhan kewajiban PSDH–DRnya. Ada 3 komponen penting yang harus dipertimbangkan untuk menerapkan SI–PUHH online, yaitu: a) hardware, perangkat keras yang akan digunakan; b) software, perangkat lunak berupa aplikasi yang tepat, cepat dan sederhana sehingga memudahkan penyelesaian
42 pekerjaan; c) humanware, kemampuan SDM dalam menggunakan teknologi (Dephut 2008). Adapun humanware yang terlibat dalam aplikasi ini adalah administrator yang berkedudukan di KLHK pusat, operator pada KLHK pusat, operator pada APHI, operator pada UPT (BP2HP), operator pada Dishut Provinsi, operator pada KPHP, dan operator pada IUPHHK. Tercatat sampai dengan saat ini Kalimantan Tengah menduduki peringkat pertama dalam penerapan SI–PUHH online. Perkembangannya dapat dilihat pada Gambar 11. 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
42 unit
19 unit
2011
22 unit
23 unit
2012
2013
2014
Gambar 11 Perkembangan IUPHHK di Provinsi Kalteng yang menerapkan SI–PUHH online
Realisasi produksi (M3)
Meningkatnya jumlah IUPHHK yang menerapkan SI–PUHH online ternyata ikut mempengaruhi konsistensi data. Jika sebelumnya data yang dimiliki pada masing-masing instansi terkait mulai dari tingkat kabupaten sampai pusat sangat berbeda (dengan kecenderungan semakin ke pusat nilainya semakin kecil), maka dengan penerapan SI–PUHH online data yang disajikan sudah hampir sama. Contohnya data realisasi produksi yang disajikan pada Gambar 12. Hal ini karena jika salah satu pengguna lalai atau tidak melaksanakan tugasnya, maka sistim tidak akan bisa berlanjut ke tahapan berikutnya. Dengan demikian, GANISPHPL– PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R dituntut untuk meningkatkan kemampuannya mengaplikasikan teknologi informasi yang digunakan. Hal ini cukup baik sebagai salah satu cara peningkatan profesionalisme. 600000 500000 400000 Dishut Kab 300000
Dishut Prov
200000
BP2HP
100000
SI-PUHH
0 2011
2012
2013
2014
Tahun
Gambar 12 Perbandingan data realisasi produksi antara Dishut Kab. Katingan, Dishut Prov. Kalteng, BP2HP P.Raya dan SI–PUHH online
43 SI–PUHH yang berbasiskan teknologi tetap tidak lepas dari berbagai permasalahan. Permasalahan yang dihadapi secara teknis diantaranya sulitnya capture sinyal, label barcode yang tidak bisa terbaca karena rusak saat penyaradan atau hilang, kepraktisan dalam mobilisasi alat, dan kemampuan petugas dalam mengoperasionalkan alat (Dephut 2008). Permasalahan lainnya adalah adanya konflik kepentingan dalam pengadaan alat SI–PUHH. Sebagaimana diketahui, peralatan teknologi tentu tidak menghabiskan biaya yang sedikit. Hal ini memberikan ruang oportunistik bagi beberapa oknum untuk dijadikan „sumber pendapatan‟, salah satunya dengan cara mengarahkan pemenang tender. Meskipun demikian, secara keseluruhan SI–PUHH online cukup baik diterapkan untuk kecepatan dan keterbukaan informasi. SI–PUHH online dapat menjadi alternatif untuk mengembangkan PUHH. Keberadaan tenaga teknis sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan SI–PUHH, terutama dalam hal pengukuran secara fisik agar data yang akurat bisa diperoleh. Post Audit Kepercayaan pemerintah selaku principal diberikan kepada IUPHHK–HA berupa kewenangan untuk merencanakan dan melaksanakan PUHH serta melaporkan kewajiban pembayaran PSDH–DRnya secara self assessment. Konsekuensi dari kebijakan ini adalah diperlukannya suatu sistim yang akan menguji ketaatan pemegang izin terhadap pelaksanaan self assessment tersebut. Salah satu bentuk pemantauan self assessment adalah post audit. Post audit merupakan serangkaian kegiatan pemeriksaan terhadap kegiatan pemanfaatan hasil hutan, penatausahaan hasil hutan dan kegiatan pemenuhan kewajiban pembayaran PNBP dengan cara mengintegrasikan data dan informasi teknis dan laporan keuangan pemanfaatan hutan produksi serta dokumen-dokumen pendukungnya, termasuk data dan informasi elektronik, untuk mengetahui ketaatan pemegang izin terhadap ketentuan perundangan-undangan (KLHK 2015). SI–PUHH online menjadi data dan informasi awal dalam kegiatan post audit. Sistim ini akan terintegrasi dengan Sistim Informasi Produksi Hasil Hutan Alam Online (SIPHAO), Sistim Informasi Monitoring dan Evaluasi Kinerja IUPHHK–HA (e–Monev Kinerja) dan sistem pembayaran PNBP online pada Kementerian Keuangan (SIMPONI). Pedoman post audit terhadap IUPHHK telah diatur melalui P.46/Menlhk– Setjen/2015. Pelaksana post audit terdiri atas personil Sekditjen, Ditjen PHPL, Dinas Provinsi/KPHP, dan BP2HP. Perlu diingat bahwa hal yang paling penting dalam pelaksanaan post audit adalah kualitas kinerja auditor. Mengacu pada Standar Auditing seksi 150 tahun 2001, seorang auditor harus memenuhi kriteria berikut: a) kompetensi, memiliki keahlian dan pemahaman pada bidang yang diaudit; b) independen, tidak mudah dipengaruhi dan tidak bersikap memihak; dan c) cermat dan seksama dalam melaksanakan tugasnya. Menurut Kosasih (2000) terdapat empat jenis risiko yang dapat merusak independen auditor, yaitu: 1) self interest risk, terjadi apabila auditor menerima manfaat dari auditee; 2) self review risk, terjadi apabila auditor membuat pertimbangan yang mempengaruhi informasi yang menjadi pokok bahasan; 3) advocacy risk, terjadi apabila tindakan auditor menjadi terlalu erat kaitannya dengan kepentingan auditee; dan 4) client influence risk, terjadi apabila auditor mempunyai hubungan yang erat dengan auditee misalnya hubungan kekerabatan atau pertemanan.
44 Hubungan principal–agent Ditinjau dari hubungan principal–agent, terdapat hubungan bertingkat yang kompleks dalam kegiatan PUHH (Gambar 13). Ada lima tingkatan principal yang diidentifikasi. Principal–I yaitu KLHK sebagai pemberi izin konsesi. Principal–II yaitu Dishut Provinsi sebagai pembina dan pengendali pelaksanaan PUHH dengan menunjuk dan mengangkat pengawas PUHH. Principal–III yaitu Dishut Kabupaten sebagai pengawas pelaksanaan PUHH dengan menyiapkan dan menyediakan personil WAS–GANISPHPL–PKB–R. Principal–IV yaitu BP2HP sebagai UPT KLHK, mengangkat dan menetapkan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R serta memberikan penilaian kinerja. Principal–V yaitu WAS–GANISPHPL–PKB–R sebagai pelaksana pengawasan PUHH. Sementara hubungan principal–agent murni ada dua tingkat. Tingkat pertama adalah hubungan antara KLHK dan IUPHHK–HA. KLHK bertindak sebagai pihak yang memberikan mandat kepada IUPHHK–HA untuk mengelola sumber daya. Hubungan tingkat kedua antara IUPHHK–HA dan GANISPHPL– PKB–R. IUPHHK–HA memberikan kewenangan kepada GANISPHPL–PKB–R untuk melakukan pengukuran dan pengujian. Dalam hal ini IUPHHK–HA bertindak sebagai principal dan GANISPHPL–PKB–R sebagai agent. KLHK P–A P I–P II Dishut Prov IUPHHK–HA P II–P III P I–P IV
Dishut Kab
P–A
P III–P V WAS– GANISPHPL– PKB–R
P–A
GANISPHPL– PKB–R
P IV–P V BP2HP
P–A
Gambar 13 Hubungan principal–agent dalam kegiatan PUHH di hutan alam Terdapat lebih dari satu principal dalam kegiatan PUHH (Gambar 13). Menurut Nielson dan Tierney (2003) hubungan principal–agent yang memiliki principal lebih dari satu terdiri atas dua macam. Pertama multiple principal, jika agent memiliki kontrak lebih dari satu dengan beberapa principal. Kedua collective principal, jika agent memiliki kontrak dengan satu principal tetapi principal lebih dari satu aktor. Nampaknya dalam kegiatan PUHH hubungan ini termasuk jenis yang kedua. Bahkan terlihat lebih kompleks karena baik principal maupun agent mempunyai fungsi secara bersama dalam waktu yang sama (Breaux et al. 2002).
45 Masalah muncul ketika masing-masing pihak memanfaatkan kapasitasnya untuk meningkatkan kesejahteraannya sendiri (Haryono 2005). Sebagai principal utama KLHK memiliki kewenangan untuk meminimalkan asimetri informasi dengan menerapkan sistim kontrol. Namun Pemda sebagai bagian dari principal juga memiliki kepentingannya sendiri. Jika KLHK dituntut untuk meningkatkan PNBP maka demikian halnya dengan Pemda untuk meningkatkan PAD. WAS–GANISPHPL–PKB–R disini berperan sebagai agent dari KLHK sekaligus Pemda tetapi juga memiliki kepentingan untuk menyejahterakan dirinya sendiri. Praktik koflik kepentingan yang dilakukan oleh pemerintah biasanya berhubungan dengan abuse of power atau abuse of office. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Tacconi et al. (2004), bahwa pemerintah daerah menekan pemegang izin agar lebih lebih tanggap terhadap permintaan daerah dan memberikan kontribusi finansial termasuk biaya-biaya informal. Sementara pemegang izin cenderung melaporkan hasil produksi secara under estimate untuk memperoleh keuntungan lebih. Hal ini terlihat pada Tabel 1 yang menunjukkan jumlah produksi yang dihasilkan hanya berkisar 25 m3/ha. Padahal dari hasil wawancara diperoleh infomasi jika volume produksi bisa mencapai bahkan lebih dari 40 m3/ha. Diperlukan suatu kesepakatan di antara principal dan negosiasi kontrak dengan agent untuk mewujudkan kepentingan para principal (Nielson dan Tierney 2003). Principal harus merancang suatu kontrak agar dapat memotivasi agent dan mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang terlibat (Bogle 2012). Kontrak antara pemerintah dan IUPHHK–HA terkait tenaga teknis dan PUHH disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Kontrak yang tertuang dalam SK IUPHHK–HA Hak Melakukan kegiatan dan memperoleh manfaat dari hasil usahanya sesuai dengan izin yang diperolehnya
Kewajiban a. Mempekerjakan tenaga profesional bidang kehutanan (GANISPHPL) yang memenuhi persyaratan sesuai kebutuhan b. Membayar iuran atau dana sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku c. Melakukan penatausahaan hasil hutan d. Melakukan pengukuran atau pengujian hasil hutan
Status kepemilikan a. IUPHHK–HA pada hutan produksi tidak merupakan hak kepemilikan atas kawasan hutan b. Areal IUPHHK–HA tidak dapat dijadikan jaminan, agunan, atau dijaminkan kepada pihak lain c. Jangka waktu pemberian izin selama 45 tahun
Pengenaan sanksi Pemegang IUPHHK–HA akan dikenakan sanksi apabila melanggar ketentuan dan perundangundangan yang berlaku
Sistim kontrol melalui kebijakan GANISPHPL–PKB–R dan WAS– GANISPHPL–PKB–R menjadi salah satu alternatif yang dibuat principal dengan maksud memperoleh hasil yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara teknis kehutanan. Secara umum kewajiban yang tersaji pada Tabel 8 telah dilaksanakan oleh IUPHHK–HA. Namun demikian performance IUPHHK–HA
46 sepertinya tetap tidak mengalami peningkatan. Kewajiban tersebut seolah-olah hanya sebagai formalitas belaka, karena jika tidak dilaksanakan kayu akan sulit untuk dikeluarkan dari areal izin, yang artinya kayu tidak akan bisa dipasarkan. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Kartodihardjo (1998) bahwa meskipun pemegang izin telah melaksanakan kewajiban sesuai kontrak, pemegang izin tetap tidak menjaga kelestarian produksi kayu. Lebih lanjut diungkapkannya, hal ini diduga diantaranya karena pemegang izin hanya memperoleh hak akses dan memanfaatkan sehingga komitmen untuk melaksanakan pengusahaan hutan secara berkelanjutan menjadi lebih rendah. Nugroho (2003) mengemukakan hal yang sama bahwa sebagai konsekuensi pemindahan hak yang bersifat sementara, principal menerapkan kebijakan melalui pendekatan command and control, hasilnya bukannya efektif justru malah menyebabkan tingginya biaya transaksi. Efektivitas GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R Efektivitas dalam kebijakan publik pada dasarnya untuk mengukur apakah hasil kebijakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan (Dunn 1999, Nugroho 2008b). Efektivitas GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R dalam penelitian ini merujuk pada tujuan kebijakan pemerintah terhadap peran GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R dalam kegiatan PUHH. Berdasarkan Permenhut P.41/Menhut-II/2014 dan Perdirjen BUK P.3/VI-BIKPHH/2014 tujuan kebijakan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R diangkat sebagai pejabat PUHH yaitu: a) mengamankan hak-hak negara atas hasil hutan yang dinilai melalui kepatuhan membayar PSDH–DR; b) pengendalian terhadap produksi kayu bulat; c) pengendalian terhadap peredaran kayu bulat; d) pengendalian terhadap penerimaan kayu bulat; e) pengurangan biaya transaksi; f) peningkatan harga jual kayu bulat; dan g) kondisi standing stock untuk melihat peluang keberlanjutan produksi. Kepatuhan IUPHHK–HA membayar PSDH–DR Kepatuhan IUPHHK–HA membayar PSDH–DR dilihat dari dua hal yaitu: 1) selisih antara kewajiban PSDH–DR dan jumlah realisasi PSDH–DR yang diterima; 2) ketepatan waktu IUPHHK–HA dalam membayar PSDH–DR, termasuk pengenaan denda karena terlambat bayar. Berdasarkan Permenhut P.18/Menhut-II/2007 tentang petunjuk teknis tata cara pengenaan pemungutan dan pembayaran PSDH dan DR, pelunasan PSDH–DR paling lambat enam hari kerja sejak SPP diterbitkan.
47 Tabel 9
Perbandingan kewajiban dan pembayaran PSDH dan DR berdasarkan pengesahan LHP pada tiga unit contoh
Tahun PT. SBK (Blok Katingan) 2011 2012 2013 2014 PT. DJU 2011 2012 2013 2014 PT. IUC 2011 2012 2013 2014
PSDH
DR
Kewajiban (Rp)
Pembayaran (Rp)
Selisih (Rp)
Kewajiban (US$)
Pembayaran (US$)
Selisih (US$)
3.1 miliar 1.7 miliar 2.6 miliar 3.9 miliar
2.8 miliar 1.7 miliar 2.6 miliar 3.9 miliar
291 juta -
864.6 ribu 388.7 ribu 742.7 ribu 1.0 juta
785.0 ribu 388.7 ribu 742.7 ribu 1.0 juta
80.6 ribu -
3.3 miliar 6.6 miliar 5.9 miliar 6.3 miliar
3.3 miliar 6.6 miliar 5.9 miliar 6.3 miliar
-
904.6 ribu 1.3 juta 1.6 juta 1.6 juta
904.6 ribu 1.3 juta 1.6 juta 1.6 juta
-
144.9 juta 1.8 miliar 2.9 miliar 2.9 miliar
144.9 juta 1.6 miliar 2.9 miliar 2.9 miliar
199.3 juta -
38.3 ribu 489.8 ribu 706.2 ribu 708.2 ribu
38.3 ribu 437.1 ribu 706.2 ribu 708.2 ribu
52.7 ribu -
Sumber: diolah dari laporan PNBP Dishut Prov. Kalteng (2011, 2012, 2013, 2014)
Tabel 9 menunjukkan hampir semua kewajiban pembayaran PSDH–DR dilunasi oleh contoh unit IUPHHK–HA kecuali pada tahun 2011 oleh PT.SBK dan tahun 2012 oleh PT.IUC. Namun selisih ini telah dimasukkan ke tahun berikutnya sebagai suplisi15. Hal ini bisa dipahami karena perhitungan kewajiban PSDH–DR pada Tabel 9 tidak dihitung berdasarkan jumlah potensi, tetapi berdasarkan usulan LHP yang telah disahkan. Jika dibandingkan dengan estimasi potensi yang dimiliki, pencapaian PSDH–DR yang terpungut jumlahnya lebih bervariasi (Tabel 10). Tabel 10 Perbandingan estimasi potensi PSDH–DR dan PSDH–DR yang terpungut pada 3 unit contoh Tahun PT.SBK (Blok Katingan) 2011 2012 2013 2014 PT.DJU 2011 2012 2013 2014 PT.IUC 2011 2012 2013 2014
PSDH
DR
Potensi (Rp)
Terpungut (Rp)
Pencapaian (%)
Potensi (US$)
Terpungut (US$)
Pencapaian (%)
3.7 miliar 3.8 miliar 3.1 miliar 5.1 miliar
2.8 miliar 1.7 miliar 2.6 miliar 3.9 miliar
76 46 85 76
897.8 ribu 908.9 ribu 750.2 ribu 1.2 juta
785.0 ribu 388.7 ribu 742.7 ribu 1.0 juta
87 43 99 82
3.5 miliar 6.5 miliar 6.1 miliar 6.1 miliar
3.3 miliar 6.6 miliar 5.9 miliar 6.3 miliar
97 102 96 103
833.0 ribu 1.5 juta 1.5 juta 1.5 juta
904.6 ribu 1.3 juta 1.6 juta 1.6 juta
109 86 107 112
1.7 miliar 2.5 miliar 2.7 miliar 2.7 miliar
265.9 juta 1.6 miliar 2.9 miliar 2.9 miliar
16 66 106 111
403.7 ribu 595.3 ribu 652.7 ribu 638.5 ribu
69.8 ribu 437.1 ribu 706.2 ribu 708.2 ribu
17 73 108 110
Sumber: diolah dari laporan RKT dan PNBP Dishut Prov. Kalteng (2011, 2012, 2013, 2014) 15
Suplisi adalah kekurangan pembayaran akibat perhitungan ulang seperti adanya kesalahan karena perubahan tarif, dasar tarif, dsb.
48 Tabel 10 menunjukkan potensi PSDH–DR yang terpungut pada umumnya mampu mencapai lebih dari 50% bahkan ada yang sampai melampaui 100%. Menurut Witte dan Woodbury (1985), salah satu kesulitan mendasar dalam penetapan pajak sesungguhnya karena kurangnya data dan informasi yang lengkap dan terpercaya mengenai produk kayu yang dihasilkan. Keinginan principal untuk memaksimalkan pendapatan tidak dapat dilakukan karena principal tidak mengamati pendapatan sebenarnya dari agent. Principal hanya meminta agent untuk melaporkan penghasilannya lalu membuat keputusan. Hal ini kemudian menimbulkan kecenderungan agent untuk memaksimalkan kesejahteraannya (Reinganum dan Wilde, 1985). Oleh karena itu untuk meningkatkan kualitas informasi tersebut, principal perlu mencocokkan dengan informasi atau data lain yang dimiliki oleh principal (Witte dan Woodbury 1985). Meskipun pembayaran PSDH–DR selalu dipenuhi oleh unit contoh IUPHHK–HA tetapi jadwal pembayaran tidak selalu tepat waktu dan beberapa berakibat pada pengenaan denda. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Jumlah transaksi, frekuensi tepat waktu, frekuensi keterlambatan dan pengenaan denda pembayaran PSDH–DR Tahun PT.SBK (Blok Katingan) 2011 2012 2013 2014 PT.DJU 2011 2012 2013 2014 PT.IUC 2011 2012 2013 2014
Total transaksi (kali)
Frekuensi tepat waktu (kali)
Frekunsi terlambat (kali)
Frekuensi denda (kali)
17 11 22 30
14 11 17 20
3 5 10
3 7
28 15 34 27
26 10 30 21
2 5 4 6
1 1
3 12 15 19
3 8 14 -
4 1 -
-
Sumber: diolah dari laporan PNBP Dishut Prov. Kalteng (2011, 2012, 2013, 2014)
Tabel 11 menunjukkan bahwa keterlambatan pembayaran tidak serta merta diberikan pengenaan denda. Meskipun tahun 2013 dan 2014 ada denda yang dikenakan tetapi frekuensinya tidak sesuai dengan frekuensi keterlambatan. Keterlambatan agent dalam menyetorkan PSDH–DR diantaranya disebabkan oleh penggunaan modal ke sektor lainnya atau bertepatan dengan hari raya/tanggal merah. Tidak adanya denda terhadap keterlambatan waktu pembayaran disebabkan adanya pemberian toleransi oleh principal sendiri. Frekuensi tepat waktu yang lebih banyak dibanding terlambat bayar menjadi salah satu pertimbangan untuk tidak menjatuhkan denda. Selain itu adanya peringatan sebelum pengenaan sanksi denda memberikan waktu bagi IUPHHK–HA untuk segera memenuhi kewajibannya. Dalam peraturan disebutkan, apabila PSDH–DR
49 melampaui jatuh tempo pembayaran maka dikenakan sanksi administrasi berupa denda 2% dari bagian yang terutang. Untuk tingkat yang lebih berat izin konsesi akan dicabut jika tiga kali berturut-turut telah diberikan peringatan namun belum melunasi tunggakan. Wibisono dan Suhayati (2014) mengemukakan, sanksi denda ikut mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak. Namun saat ini sanksi denda dianggap masih kurang memberikan efek jera karena pengenaan sanksi belum tegas. Kondisi ini pada akhirnya akan diikuti dengan menurunnya tingkat kepatuhan wajib bayar (Nugraha 2014). Berdasarkan wawancara yang dilakukan, baik pihak principal maupun agent menyatakan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R ikut mendorong kepatuhan membayar melalui penyampaian dan pengesahan LHP secara priodik. Namun masih sering terjadi produksi yang seharusnya masuk dalam LHP bulan lalu baru dilaporkan pada bulan berikutnya. Sementara WAS– GANISPHPL–PKB–R sebagai P2LHP telah konsisten tidak akan mengesahkan LHP berikutnya jika LHP sebelumnya tidak dibayarkan PSDH dan DR–nya. Pengendalian produksi kayu bulat Pengendalian produksi hasil hutan dinilai dari dua hal yaitu: 1) kesesuaian antara target RKT, realisai produksi, dan penggunaan alat berat; dan 2) perspektif informan kunci terhadap keberadaan GANISPHPL–PKB–R dan WAS– GANISPHPHPL–PKB–R dalam kegiatan produksi kayu. Perbandingan target dan realisasi RKT serta penggunaan alat pada tiga unit contoh disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 menunjukkan pencapaian berbeda dari masing-masing unit contoh. Pada umumnya jumlah kepemilikan alat empat kali lipat dari yang dibutuhkan. Kondisi ketersediaan alat yang sangat memadai seharusnya mampu mendukung kegiatan produksi. Dari perbandingan ketiga unit contoh terlihat bahwa jumlah ketersediaan alat yang lebih banyak tidak menjamin pencapaian target produksi secara maksimal. Jika diasumsikan ketersediaan alat setidaknya tiga kali dari jumlah alat yang dibutuhkan16 telah mampu mendukung kegiatan produksi, maka kondisi alat yang memadai dapat mencapai atau paling tidak mendekati target produksi. Semestinya penggunaan alat harus diimbangi dengan perencanaan yang baik sehingga hasil produksi yang diperoleh bisa lebih optimal dan pengerjaan produksi menjadi lebih efektif dan efisien. Penggunaan alat selalu luput dari pengawasan WAS–GANISPHPL–PKB–R karena memang tidak diatur dalam kegiatan PUHH, hanya dicantumkan pada usulan RKT. Disinilah menjadi salah satu titik potensi perilaku sub optimal agent.
16
Mengingat ada alat yang rusak atau dalam kondisi maintenance dan perbedaan kondisi topografi
133.3 126.1 77.7 105.3
76.9 125.0 100.0 100.0
40.0 31.8 48.0 45.0
1 822 1 855 1 531 2 517
1 700 3 165 3 000 2 991
824 1 215 1 332 1 303
Target RKT (ribu m3)
4.3 30.7 43.9 44.4
76.5 123.3 98.9 100.3
98.8 70.2 48.0 65.6
Realisasi RKT (ribu m3)
11 96 92 99
99 99 99 100
74 56 62 62
Pencapaian (%)
3 2 3 3
5 7 6 6
8 8 5 6
Traktor
2 1 2 2
3 4 3 3
4 4 3 4
Logging truck
1 1 1 1
1 1 1 1
1 1 1 1
Wheel loader
*Kebutuhan alat (unit)
6 6 8 8
6 10 12 12
25 25 25 28
Traktor
14 9 12 12
5 4 5 6
23 23 23 24
Logging truck
4 4 4 4
4 4 5 5
5 5 5 4
Wheel loader
Kepemilikan alat (unit)
3 4 5 5
1 3 6 6
17 17 20 22
Traktor
12 8 10 10
2 1 2 3
19 19 20 20
Logging truck
Selisih (unit)
3 3 3 3
3 3 4 4
4 4 4 3
Wheel loader
Perhitungan alat berat hanya dilakukan untuk kegiatan produksi dan pengangkutan seperti traktor, logging truck dan wheel loader. Kebutuhan alat dihitung dengan menggunakan persamaan= target produksi/KPxJKxHKxHT, dimana KP adalah kapasitas produksi; JK adalah jam kerja per hari; HK adalah hari kerja per bulan; dan HT adalah bulan kerja per tahun. KP, JK, HK, dan HT mengacu pada penelitian Darmawan (2014).
17
Sumber: diolah dari laporan RKT dan PNBP Dishut Prov. Kalteng (2011, 2012, 2013, 2014)17
PT.SBK (Blok Katingan) 2011 2012 2013 2014 PT.DJU 2011 2012 2013 2014 PT.IUC 2011 2012 2013 2014
Tahun
Luas RKT (ha)
Tabel 12 Perbandingan target dan realisasi RKT serta penggunaan alat pada tiga unit contoh
50
51 Perspektif informan kunci keberadaan GANISPHPL–PKB–R dan WAS– GANISPHPL–PKB–R dalam kegiatan pengendalian produksi kayu secara umum hampir seragam yaitu dianggap penting (Tabel 13). Dari sisi IUPHHK–HA adanya GANISPHPL–PKB–R sangat mempengaruhi kinerja perusahaan. GANISPHPL–PKB–R berperan dalam mengontrol target kayu yang telah diproduksi baik dari jumlah, jenis dan volume kayu. Di samping itu administrasi terkait hasil produksi menjadi lebih tertib. Hasil pengukuran yang dilakukan GANISPHPL–PKB–R akan menentukan laba–rugi perusahaan. Namun menurut GANISPHPL–PKB–R beban kerja yang dimiliki sering tidak sebanding dengan insentif yang diperoleh. Tabel 13 Perspektif informan kunci terhadap keberadaan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPHPL–PKB–R dalam kegiatan pengendalian produksi kayu Informan kunci
Keberadaan Ganis
KLHK
Penting. Untuk menghitung kuantitas dan kualitas KB
Dishut Kab. Katingan
Penting. Untuk menghitung jumlah dan volume KB yang dihasilkan Penting. Sebagai ujung tombak perolehan hasil KB melalui pengukuran dan pengujian. Namun perlu ada perbaikan tunjangan atau insentif
BP2HP
APHI
IUPHHK–HA
GANISPHPHPL–PKB–R
WAS–GANISPHPL–PKB–R
Penting. Untuk menentukan perolehan produksi KB sehingga dapat memprediksi laba rugi perusahaan. Di samping itu target kayu yang diproduksi bisa dikontrol Sangat penting. Administrasi jauh lebih tertib, hasil pengukuran lebih akurat, dan pencapaian target produksi bisa dimonitor Sangat penting. Untuk perolehan informasi hasil produksi. Namun tanggung jawab dan beban kerja seringkali tidak seimbang dengan insentif yang diperoleh Penting. Untuk memperoleh informasi hasil produksi
Keberadaan Wasganis Penting. Sebagai kendali pemerintah dalam mengoptimalkan pungutan negara. Namun seiring perkembangan kondisi saat ini perlu dibarengi penggunaan teknologi informasi Penting. Sebagai filter terhadap kebenaran fisik dan administrasi KB yang telah dihasilkan Penting. Sebagai pengabsah perolehan hasil KB melalui pemeriksaan pengukuran dan pengujian. Namun perlu ada perbaikan tunjangan atau insentif Penting. Sebagai aspek legalitas atas hasil pengukuran yang telah diperoleh ganis
Penting. Pembayaran PSDH– DR termonitor, LHP tidak bisa disahkan jika belum dibayar periode sebelumnya. Biasa saja. Namun paling tidak bisa saling menjaga
Sangat penting. Sebagai pengontrol produksi hasil hutan. Di samping itu masih ada beberapa Ganis yang memerlukan bimbingan terkait pengukuran dan pengujian
52 Dari sisi principal keberadaan WAS–GANISPHPL–PKB–R sangat diperlukan untuk memastikan terpungutnya hak-hak negara melalui filter terhadap hasil kerja GANISPHPL–PKB–R sekaligus mengawasi perilaku IUPHHK–HA. Masih sering terjadi penumpukan antara kayu yang telah disahkan dengan yang belum dibayarkan PSDH–DRnya. Kesalahan pengukuran juga kerap ditemukan terutama pada bagian pengukuran diameter. Dari sisi agent WAS–GANISPHPL– PKB–R diperlukan sebagai fungsi legalitas dan untuk meminimalisir kesalahan GANISPHPL–PKB–R di lapangan. Secara tidak langsung IUPHHK–HA juga memanfaatkan WAS–GANISPHPL–PKB–R untuk mengawasi tindakan GANISPHPL–PKB–R terutama kaitannya dalam penentuan volume, sebab akan mempengaruhi pembayaran PSDH–DR. Jika GANISPHPL–PKB–R mengukur over estimate maka akan merugikan perusahaan karena pembayaran PSDH–DR akan berlebih sementara pada saat dijual volumenya berkurang. Pengendalian peredaran kayu bulat Efektivitas GANISPHPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPHPL–PKB–R dalam pengendalian peredaran kayu bulat dinilai dari: 1) ada tidaknya gangguan dalam pengangkutan kayu bulat; dan 2) perspektif informan kunci terhadap keberadaan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPHPL–PKB–R dalam kegiatan peredaran kayu bulat. Dokumen SKSKB dan FA–KB merupakan alat sah atas kayu yang diangkut. Berdasarkan peraturan yang ada, dalam proses pengangkutan tidak diperkenankan lagi adanya pemeriksaan di tengah jalan. Apabila masih terdapat kegiatan yang dianggap „mengganggu‟ dalam proses pengangkutan kayu maka dapat dikatakan peran GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPHPL–PKB–R menjadi tidak efektif. Berdasarkan hasil wawancara terhadap informan kunci, masih terdapat gangguan dalam proses pengangkutan kayu diantaranya: 1) adanya pos-pos yang harus dilewati; 2) pemeriksaan di tengah jalan oleh oknum yang mengaku dari aparat kehutanan dan militer; dan 3) kewenangan yang berlebih dari pihak kepolisian. Gangguan ini tentu saja berimplikasi pada biaya yang harus dikeluarkan oleh IUPHHK–HA. Biaya ini guna menghindari proses pemeriksaan yang tentunya akan membuang waktu sehingga dapat menyebabkan terlambatnya pengangkutan kayu 18 . Keterlambatan ini berdampak pada biaya pengangkutan, masa berlaku dokumen, dan kondisi kualitas kayu sehingga berpotensi menimbulkan lagi masalah baru. Kondisi tersebut kemudian dimanfaatkan oleh pemburu rente (rent seeker). Dalam hal ini oknum yang mengaku dari pihak keamanan berargumen melakukan tugas pemeriksaan dalam rangka pencegahan, meskipun dalam peraturan PUHH telah disebutkan bahwa pemeriksaan hanya dilakukan di tempat tujuan oleh petugas yang diberi kewenangan yaitu P3KB. Kondisi tersebut menyebabkan peran P2SKSKB menjadi tidak berarti, sebagaimana kutipan wawancara berikut ini: “..kita mau ngeyel bahwa kertas itu sah, apa ya jalan kira2 mbak, ga akan jalan kan...”
18
Pada umumnya di Kalimantan Tengah kayu gelondongan diangkut melalui jalur air, sehingga dipengaruhi oleh pasang–surut air. Jika terlambat sedikit saja maka pemiliran tidak bisa dilakukan.
53 Jika pada pengendalian produksi kayu bulat keberadaan WAS– GANISPHPHPL–PKB–R dianggap penting, maka tidak demikian halnya pada pengendalian peredaran kayu bulat. Disini fungsi WAS–GANISPHPHPL–PKB–R dianggap tidak begitu penting karena bisa digantikan oleh GANISPHPHPL– PKB–R. Dokumen pengangkutan yaitu SKSKB online dan FA–KB secara aturan memang dilakukan secara self assessment. Namun dari sisi APHI dan IUPHHK–HA dokumen ini hanya bersifat formalitas, karena tidak efektif dalam menangkal gangguan di tengah pengangkutan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Persepsi informan kunci terhadap keberadaan GANISPHPL–PKB–R dan WAS– GANISPHPHPL–PKB–R dalam kegiatan peredaran kayu disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Perspektif informan kunci terhadap keberadaan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPHPL–PKB–R dalam kegiatan peredaran kayu Informan kunci KLHK
Dishut Kab. Katingan
BP2HP
APHI
IUPHHK–HA
Keberadaan Ganis Penting. Penerbitan dokumen SKSKB yang menerapkan SI– PUHH dan FA–KB dilakukan secara self assessment sehingga diperlukan tenaga terampil. Mereka memonitor kayu yang keluar Penting. Terutama bagi IUPHHK–HA yang telah menerapkan SI–PUHH, harus menggantikan peran Wasganis sebagai P2SKSKB Penting. Dengan perkembangan yang ada sekarang keberadaan P2SKSKB sudah tidak sesuai lagi. Dengan FA–KB sebenarnya sudah cukup. Sudah saatnya untuk mengoptimalkan SI–PUHH Penting. Untuk memonitor kayu yang akan diangkut. Namun dokumen pengangkutan sifatnya hanya melengkapi pengangkutan dan menjadi tidak efektif manakala terbentur dengan aparat hokum Sangat penting. Untuk memonitor kayu yang keluar. Namun tidak memberikan pengaruh dalam legalitas dokumen. Hanya sekedar administrasi (macan kertas). Seharusnya dokumen pengangkutan penting karena memuat data kayu yang diangkut. Namun menjadi tidak efektif karena adanya campur tangan dari aparat hukum.
Keberadaan Wasganis Tidak begitu penting. Peran ini dapat digantikan oleh Ganis
Tidak begitu penting. Peran Wasganis bisa digantikan oleh Ganis yang dimiliki pemegang izin. Tidak begitu penting. Bisa digantikan oleh Ganis
Tidak begitu penting. Bisa digantikan oleh Ganis
Tidak begitu penting. Bisa digantikan oleh Ganis
54 Tabel 14 (lanjutan) Informan kunci
Keberadaan Ganis
GANISPHPHPL–PKB–R
Keberadaan Wasganis
Sangat penting, sebagai aspek legalitas. Ganis seharusnya memiliki hak untuk menerbitkan dokumen sesuai ketentuan tanpa ada campur tangan pihak lain Penting. Untuk memperoleh informasi atas kayu yang beredar
WAS–GANISPHPL–PKB–R
Tergantung aturan
Tidak begitu penting, karena di simpul awal sudah ada P2LHP. Namun peran P3KB di bagian tengah dan hilir harus diperkuat
Pengendalian penerimaan kayu bulat Pada penelitian ini terdapat dua hal yang dinilai dalam efektivitas pengendalian penerimaan kayu bulat, yaitu: 1) kesesuaian mutasi kayu di TPK Antara dan TPK Hutan; dan 2) perspektif informan kunci terhadap keberadaan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPHPL–PKB–R dalam kegiatan penerimaan kayu bulat. Untuk perbandingan penerimaan kayu di TPK Antara dan TPK Hutan disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Perbandingan mutasi kayu di TPK Hutan dan TPK Antara pada tiga unit contoh Tahun/uraian PT.SBK (Blok Katingan) 2011 Persediaan awal Penambahan Pengurangan Persediaan akhir 2012 Persediaan awal Penambahan Pengurangan Persediaan akhir 2013 Persediaan awal Penambahan Pengurangan Persediaan akhir 2014 Persediaan awal Penambahan Pengurangan Persediaan akhir
TPK Hutan Batang
Volume (m3)
TPK Antara Batang
Keterangan
Volume (m3)
1 068 37 224 33 479 4 813
2 867.73 98 765.03 86 798.35 14 834.41
253 33 172 32 158 1 267
1 312 85 886.85 80 779.65 6 419.2
Pemakaian sendiri 307 btg (911.50 m3)
4 813 24 336 24 494 4 655
14 834.41 70 198.43 72 161.66 12 871.18
1 267 24 240 25 507 0
6 419.2 71 475.21 77 894.41 0
Pemakaian sendiri 254 btg (686.45 m3)
4 655 14 947 19 602 0
12 871.18 47 986.22 60 857.40 0
0 19 066 19 066 0
0 60 287.95 60 287.95 0
Pemakaian sendiri 536 btg (569.45 m3)
0 24 391 20 751 3 642
0 65 635.37 54 367.41 11 267.96
0 19 715 19 607 108
0 53 320.14 52 706.10 614.04
Pemakaian sendiri 1036 btg (1047.27 m3)
55 Tabel 15 (lanjutan) Tahun/uraian PT.DJU 2011 Persediaan awal Penambahan Pengurangan Persediaan akhir 2012 Persediaan awal Penambahan Pengurangan Persediaan akhir 2013 Persediaan awal Penambahan Pengurangan Persediaan akhir 2014 Persediaan awal Penambahan Pengurangan Persediaan akhir PT.IUC 2011 Persediaan awal Penambahan Pengurangan Persediaan akhir 2012 Persediaan awal Penambahan Pengurangan Persediaan akhir 2013 Persediaan awal Penambahan Pengurangan Persediaan akhir 2014 Persediaan awal Penambahan Pengurangan Persediaan akhir
TPK Hutan Batang
TPK Antara
Volume (m3)
Batang
Keterangan
Volume (m3)
0 13 901 13 901 0
0 76 512.25 76 512.25 0
145 13 693 13 838 0
719.65 76 177.10 76 896.75 0
Pemakaian sendiri 125 btg (180.97 m3)
0 22 106 22 106 0
0 12 3278.5 12 3278.5 0
0 21 288 19 728 1 560
0 12 2419.70 11 3398.10 9 021.60
Pemakaian sendiri 818 btg (858.79 m3)
0 18 422 18 422 0
0 98 902.8 98 902.8 0
1 560 18 101 18 738 923
9 021.60 98 633.60 102 375.70 5 279.50
Pemakaian sendiri 321 btg (269.2 m3)
0 16 939 17 853 -914
0 100 284.7 101 037.9 -753.2
923 16 800 17 637 86
5 279.50 97 678.35 102 339.10 618.75
Pemakaian sendiri 450 btg (385.98 m3)
2 628 4 008 3 032 3 604
17 559.23 26 932.07 20 275.31 24 215.99
2 3 032 2 557 408
13.77 20 275.31 17 217.43 2 786.61
Pemakaian sendiri 69 btg (285.04 m3)
3 604 4 402 5 057 2 949
24 215.99 27 365.97 33 051.42 18 530.54
408 4 936 4 835 509
2 786.61 32 765.50 32 442.98 3 109.30
Pemakaian sendiri 121 btg (285.92 m3)
2 949 6 027 4 427 4 549
18 530.54 35 128.26 27 403.97 26 254.83
509 4 184 4 683 10
3 109.30 26 250.58 29 311.38 48.33
Pemakaian sendiri 249 btg (1 171.80 m3)
4 549 10 166 10 824 3 891
26 254.83 56 582.33 61 739.74 21 097.42
10 10 441 9 567 884
48.33 60 176 94 55 397.60 4 827.67
Pemakaian sendiri 383 btg (1 562.80 m3)
Sumber: diolah dari laporan LMKB IUPHHK–HA unit contoh (2011, 2012, 2013, 2014)
Selisih atau jumlah mutasi yang tidak sesuai pada Tabel 15 ditunjukkan dengan warna abu-abu. Pada umumnya selisih mutasi kayu terdapat pada neraca pengurangan di TPK Hutan dan neraca penambahan di TPK Antara. Seharusnya pada neraca pengurangan di TPK Hutan sesuai dengan TPK Antara. Begitu pula posisi kayu persediaan akhir pada tahun sebelumnya harus sama dengan persediaan awal pada tahun berikutnya. Jika melihat dari keterangannya selisih ini disebabkan penggunaan sendiri oleh IUPHHK–HA seperti untuk pembuatan jalan dan camp tarik di TPn atau TPK Hutan. Posisi minus atau jumlah yang tidak sesuai mengindikasikan adanya mutasi kayu yang tidak termonitor. Hal ini mengindikasikan bahwa pembuatan LMKB tidak pernah benar-benar dicross– check kebenarannya tetapi hanya sebatas pemenuhan kewajiban saja.
56 Tabel 16 Perspektif informan kunci terhadap keberadaan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPHPL–PKB–R dalam kegiatan penerimaan kayu Informan kunci KLHK
Dishut Kab. Katingan
BP2HP
APHI
IUPHHK–HA
GANISPHPHPL–PKB–R
WAS–GANISPHPL–PKB–R
Keberadaan Ganis Penting. Sebagai pengganti Wasganis jika tidak berada di tempat atau lambat memberikan pelayanan Tidak penting. Jika Ganis yang diberdayakan sebagai P3KB sama saja dengan memeriksa diri sendiri. Pemeriksaan via SI–PUHH online hanya berupa data saja, sementara secara fisik di lapangan tetap diperlukan Wasganis Tidak begitu penting. Penerapan SI–PUHH online merupakan peningkatan pelayanan. Namun secara fisik tetap diperlukan pengawasan dari pemerintah Penting. Pemberdayaan Ganis sebagai P3KB akan menekan biaya transaksi dan waktu jadi lebih efisien Sangat penting. Untuk memastikan jumlah dan identitas kayu yang masuk. Dari sisi perusahaan juga menjadi lebih efisien Penting. Untuk memastikan kayu sudah sampai di tujuan dengan jumlah yang benar sesuai dokumen Tidak penting. Ganis adalah orang perusahaan, sehingga sulit untuk dipercaya
Keberadaan Wasganis Penting. Untuk mengontrol kuantitas dan kualitas kayu yang diterima Sangat penting. P3KB adalah personil terakhir yang mengevaluasi, menerima dan memeriksa kayu yang diangkut dari areal konsesi. Sebaiknya P3KB adalah Wasganis.
Penting. Hal ini melihat fenomena yang ada di industri, seringkali output kayu olahan lebih besar dari jumlah bahan baku yang diterima Tidak begitu penting. Bisa digantikan oleh Ganis
Tidak begitu penting. Prosedurnya terlalu panjang dan menambah biaya transaksi
Tergantung aturan
Sangat penting. Sebagai simpul ujung pengawasan untuk memastikan kesesuaian dari hasil produksi yang telah disahkan oleh P2LHP.
Untuk memastikan bahwa kayu yang diterima benar-benar kayu legal, dalam arti telah dibayarkan PSDH–DRnya, principal menganggap perlu ada pengawasan di bagian hilir. Namun ada sedikit perbedaan pendapat antara KLHK pusat dan Dishut Kabupaten. KLHK berpendapat GANISPHPL–PKB–R diperlukan sebagai upaya antisipasi jika WAS–GANISPHPL–PKB–R tidak berada di tempat atau lamban dalam memberikan pelayanan. Disamping itu dengan penerapan SI–PUHH online kayu yang masuk sudah bisa diketahui melalui sistim. Sementara Dishut Kabupaten berpendapat meskipun sudah ada SI– PUHH online tetapi sifatnya hanya administratif sehingga pemeriksaan fisik di
57 lapangan tetap merupakan hal yang penting. Dalam hal ini Dishut Kabupaten didukung oleh BP2HP. Pengurangan biaya transaksi Pengusahaan hutan alam produksi salah satunya dicirikan dengan tingginya biaya transaksi (Kartodihardjo 1998). Biaya transaksi merupakan biaya yang timbul akibat adanya informasi yang tidak sepadan (Yustika 2012). Penilaian pengurangan biaya transaksi dalam penelitian ini dinilai dari sisi agent. Biaya transaksi yang dimaksud adalah biaya yang harus dikeluarkan diluar biaya produksi, bukan biaya resmi tetapi selalu dimasukkan dalam anggaran rutin tahunan oleh agent. Biaya ini meliputi biaya pengawasan dan biaya pos pengangkutan. Tabel 17 Besaran biaya yang dikeluarkan IUPHHK–HA*) Jenis
Besaran biaya (Rp)
Keterangan
Biaya pengawasan
2 juta/orang/sekali kegiatan pengawasan
Biaya pos pengangkutan
70 juta/bulan/pos
Meliputi biaya pengesahan LHP, penerbitan SKSKB, penerimaan KB. Belum termasuk premi produksi Untuk satu jalur pengangkutan terdapat 3–5 pos yang harus dilewati
*) Berdasarkan wawancara mendalam dengan informan kunci
Biaya pengawasan yang diperlihatkan pada Tabel 17 hanya merupakan sebagian biaya non–formal yang harus disiapkan oleh agent. Biaya pengawasan muncul karena tidak tersedianya anggaran dari principal untuk membiayai sendiri semua kegiatan pengawasannya sehingga sebagian dibebankan kepada agent, termasuk sarana dan prasarana yang digunakan. Hal ini kemudian turut mempengaruhi sikap WAS–GANISPHPHPL–PKB–R dalam memberikan penilaian seperti sikap toleransi dan hanya bersifat membina jika ditemukan adanya pelanggaran. Seperti telah dibahas pada bab sebelumnya tunjangan atau insentif yang diberikan dari pemerintah hanya berkisar Rp200 ribu–Rp300 ribu/bulan. WAS–GANISPHPHPL–PKB–R dalam melaksanakan tugasnya hanya berdasarkan SK sebagai pejabat PUHH dan SPT dari Kepala instansinya. Bisa dikatakan biaya pengawasan ini menjadi biaya resmi yang tidak tertulis. Tingginya biaya pengawasan dan kurangnya insentif serta sarana yang digunakan menyebabkan kinerja menjadi tidak efektif (Yasin et al. 2004). Demikian halnya biaya pos pengangkutan timbul karena lemahnya legitimasi terhadap posisi P2SKSKB. Insentif yang diperoleh dari “biaya keamanan” ini jauh lebih menarik dibanding pendapatan yang diterima dari tugas penyelidikan oleh aparat penegak hukum (Yasin et al. 2004). Hasil penelitian Priyono (2004) menemukan bahwa biaya transaksi pada hutan alam rata-rata sebesar Rp91 526.8/m3. Biaya ini terdiri atas biaya informasi Rp22 940/m3, biaya koordinasi Rp42 041.6/m3, dan biaya strategis Rp26 545.2/m3. Biaya informasi merupakan biaya untuk mencari dan mengorganisasi data seperti biaya perizinan dan biaya infomasi potensi kayu. Biaya koordinasi merupakan biaya yang dikeluarkan untuk negosiasi, pengawasan dan penegakan kontrak. Biaya strategis merupakan biaya yang timbul akibat informasi dan kekuasaan
58 yang tidak sepadan di antara pelaku seperti korupsi, rent seeking dan free riding (Ostrom et al. 1993). Selanjutnya Priyono (2004) mengungkapkan bahwa biaya koordinasi memiliki komponen lebih besar akibat proses birokrasi yang panjang sehingga kegiatan pengawasan dan penegakan kontrak memerlukan biaya yang lebih besar pula. Sementara biaya strategis timbul karena adanya negosiasi untuk menutupi perilaku sub optimal unit manajemen. Perubahan peraturan pada dasarnya untuk memperbaiki kekurangan peraturan sebelumnya, diantaranya adalah mengurangi biaya transaksi. Misalnya Permenhut P.41/Menhut-II/2014 mampu memangkas biaya terkait penunjukan dan pengangkatan petugas PUHH. Namun biaya yang tadinya dikeluarkan oleh IUPHHK–HA untuk keperluan ini beralih kepada proses birokrasi lainnya. Artinya, mungkin saja biaya tersebut menjadi berkurang di bagian tertentu tetapi kemudian muncul di bagian lainnya, sehingga pada dasarnya tidak ada pengurangan biaya transaksi yang dirasakan oleh IUPHHK–HA. Peningkatan harga jual kayu bulat Harga jual yang dimaksud dalam penelitian ini adalah harga penjualan kayu bulat oleh IUPHHK. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan kunci sebenarnya GANISPHPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPHPL–PKB–R tidak berpengaruh secara langsung terhadap harga jual kayu. Namun mereka berperan untuk memperoleh sertifikat PHPL dan untuk mengetahui kuantitas dan kualitas kayu. PHPL sendiri sebenarnya bagi IUPHHK tidak menaikkan harga kayu tetapi memudahkan penjualan kayu. Kayu bisa terjual habis. Selama empat tahun terakhir harga jual kayu bulat mengalami fluktuasi (Tabel 18). Tabel 18 Perbandingan harga kayu bulat jenis meranti pada pasar domestik dan internasional Tahun
Domestik/Indonesia (US$/m3)
Malaysia (US$/m3 FOB)
Jepang (US$/m3 FOB)
Cina (US$/m3)
2011 2012 2013 2014
218–278 229–292 235–260 200–240
265–292 240–260 255–275 280–295
280–300 255–260 280–290 270–295
315–330 321–353 329–362 319–351
Sumber: Laporan ITTO (2011, 2012, 2013, 2014)
Harga jual kayu bulat domestik meningkat pada tahun 2011 sampai dengan 2013 namun kemudian menurun pada tahun 2014. Dibandingkan dengan harga kayu bulat di pasar internasional, harga domestik memiliki nilai paling rendah. Jika harga pokok produksi sebesar Rp1.2 juta sampai dengan Rp1.3 juta19 maka sebenarnya IUPHHK–HA telah memperoleh insentif. Namun adanya sejumlah biaya transaksi non–formal yang turut membebani biaya produksi juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Dengan kebijakan larangan ekspor kayu bulat maka sebenarnya yang memperoleh keuntungan secara langsung dari sertifikat PHPL adalah IPHHK yang melakukan ekspor karena bahan bakunya berasal dari IUPHHK–HA yang bersertifikat. Sehingga produknya bisa diterima dengan 19
Berdasarkan wawancara dengan informan kunci dari IUPHHK–HA
59 mudah di pasar intenaasional. Dapat dikatakan bahwa IPHHK ekspor menjadi free–rider bagi IUPHHK–HA. Kondisi standing stock Rangkaian tujuan kebijakan yang telah dipaparkan sebelumnya pada dasarnya dimaksudkan bermuara pada terciptanya pengelolaan hutan produksi secara lestari. Sebagai daya dukung, sepatutnya kinerja GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R turut mempengaruhi hal tersebut. Jika kinerja mereka baik maka hutan produksi dapat dikelola secara berkesinambungan. Begitu pula sebaliknya jika kinerja mereka buruk, akan ikut mempercepat turunnya kemampuan produksi hutan. Hal ini dapat dilihat–diantaranya dari kemampuan IUPHHK–HA mempertahankan keberlanjutan produksinya (Kartodihardjo 1998). Untuk melihat efektivitas keberlanjutan produksi, dalam penelitian ini dinilai dengan melihat perbandingan antara proyeksi standing stock berdasarkan IHMB dan usulan RKT serta realisasinya (Gambar 14). PT. DJU
250000.00
200000.00
200000.00
150000.00
Volume (m3)
Volume (m3)
PT.SBK blok Katingan
150000.00 100000.00 50000.00
100000.00 50000.00 0.00
0.00 2011 2012 2013 Tahun
2014
2011
2012 2013 Tahun
2014
Proyeksi IHMB Usulan RKT Realisasi RKT
Proyeksi IHMB Usulan RKT Realisasi RKT
Volume (m3)
PT.IUC 140000.00 120000.00 100000.00 80000.00 60000.00 40000.00 20000.00 0.00 2011
2012 2013 Tahun Proyeksi IHMB Usulan RKT Realisasi RKT
2014
Gambar 14 Perbandingan proyeksi IHMB, usulan RKT dan realisasi RKT pada tiga unit contoh
60 Setiap tahun RKT yang diusulkan oleh ketiga unit contoh hanya separuh dari proyeksi standing stock berdasarkan IHMB. Hal ini dapat dipahami karena pemberian JPT ikut mempertimbangkan faktor eksploitasi 0,7 dan faktor pengaman 0.8 (total 0.56). Menurut IUPHHK–HA proyeksi IHMB bisa digunakan untuk seluruh potensi tegakan yang ada di areal konsesi tetapi tidak bisa diandalkan untuk tegakan yang akan dipanen. Untuk usulan RKT, IUPHHK–HA tetap menggunakan ITSP. Pihak principal sendiri mengakui hasil IHMB masih over estimate, meskipun demikian masih menjadi andalan saat ini dalam memproyeksikan standing stock. Sementara perspektif informan kunci dari pihak principal pada umumnya mengatakan keberadaan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPHPL– PKB–R ikut mempengaruhi keberlanjutan usaha IUPHHK–HA melalui perannya masing-masing. Dari pihak agent berpendapat bahwa GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPHPL–PKB–R hanya merupakan bagian kecil dari kegiatan pengusahaan hutan sehingga tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap keberlanjutan produksi. Faktor utama yang dianggap mempengaruhi keberlanjutan usaha adalah ketersediaan tegakan, kesehatan finansial dan komitmen perusahaan. Efektivitas GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R dari perspektif principal dan agent Berdasarkan hasil pemaparan sebelumnya, terdapat perbedaan perspektif antara principal dan agent. Untuk lebih jelasnya efektivitas GANISPHPL–PKB– R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R disajikan pada Tabel 19. Efektivitas digolongkan menjadi tiga kategori yaitu efektif, cukup efektif, dan tidak efektif. Tabel 19 Penentuan efektivitas GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL– PKB–R Efektivitas GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R Tujuan kebijakan
Kepatuhan IUPHHK–HA membayar PSDH–DR Mengendalikan produksi kayu Mengendalikan peredaran kayu Mengendalikan penerimaan kayu Mengurangi biaya transaksi Meningkatkan harga jual kayu Keberlanjutan produksi
Principal
Agent
Ganis
Wasganis
Ganis
Wasganis
+
+
+
+
+ + + + +
+ ++ ++ +
+ ++ + -
+-
+: efektif; +-: cukup efektif; -: tidak efektif Efektivitas GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R juga berbeda berdasarkan perannya masing-masing. Secara umum menurut principal, GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R dalam PUHH telah efektif. Hal ini bisa dipahami karena principal merupakan pihak yang mengatur kebijakan tersebut. Namun perspektif ini terlihat cenderung mengabaikan kinerja
61 yang ditampilkan. Perlu diingat bahwa efektivitas kebijakan akan terukur dari seberapa besar pencapaian tujuan kebijakan tersebut dapat terealisasi (Dunn 1999). Menurut agent peran GANISPHPL–PKB–R dalam PUHH telah efektif tetapi tidak demikian halnya dengan WAS–GANISPHPL–PKB–R. GANISPHPL– PKB–R telah melakukan pengukuran dan pengujian, serta membuat dan mengusulkan LHP secara periodik. Hasil kerja GANISPHPL–PKB–R digunakan untuk memonitor kayu yang telah diproduksi dan menjadi dasar penetapan PSDH–DR. GANISPHPL–PKB–R mampu mengurangi biaya transaksi karena dapat menggantikan peran WAS–GANISPHPL–PKB–R. Dengan adanya GANISPHPL–PKB–R, pekerjaan IUPHHK–HA menjadi lebih tertib dan rapi utamanya terkait administrasi PUHH. Sementara keberadaan WAS–GANISPHPL– PKB–R dalam PUHH menimbulkan biaya tinggi bagi IUPHHK–HA karena sebagian biaya pengawasan dan sarana yang digunakan dibebankan kepada pihak IUPHHK–HA. Dokumen pengangkutan yang diterbitkan oleh WAS–GANIS– PHPL–PKB–R tidak mempunyai power karena lemahnya legitimasi dari oknum militer. Meski demikian dari segi kepatuhan IUPHHK–HA dalam membayar PSDH–DR, keberadaan WAS–GANIS–PHPL–PKB–R dapat dikatakan efektif. WAS–GANISPHPL–PKB–R tidak akan mengesahkan LHP jika LHP periode sebelumnya belum dibayarkan PSDH–DRnya sehingga kayu tidak bisa diangkut keluar dan dipasarkan.
SINTESIS HASIL PENELITIAN Pada dasarnya pengusahaan hutan seharusnya dikelola oleh negara. Namun mengingat keterbatasan pemerintah maka pengusahaan tersebut dilaksanakan oleh pihak swasta (IUPHHK–HA). Untuk memastikan pelaksanaan pengusahaan hutan sesuai dengan yang diinginkan oleh pemerintah, dibuatlah berbagai aturan, diantaranya sistim pengawasan dalam kegiatan PUHH. SK IUPHHK–HA merupakan bentuk perjanjian yang mengikat antara pemegang IUPHHK–HA dan KLHK. SK tersebut diantaranya mewajibkan IUPHHK–HA untuk mempekerjakan GANISPHPL, membayar iuran atau dana sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, melakukan PUHH, dan melakukan pengukuran/pengujian hasil hutan. Sebagai imbalannya IUPHHK–HA diizinkan untuk melakukan kegiatan dan memperoleh manfaat dari hasil usahanya selama masa konsesi (45 tahun). Hubungan antara pemerintah dan IUPHHK–HA bisa disebut sebagai hubungan antara principal dan agent. Selama periode 1990 sampai dengan saat ini, peraturan terkait PUHH telah berganti sebanyak lima kali. Dari hasil content analysis terlihat bahwa perubahan kebijakan PUHH menyesuaikan kondisi yang ada pada saat itu. Meskipun informasi yang ditransaksikan hampir setiap periode mengalami perubahan tetapi penguasaan informasi yang sebenarnya oleh principal tetap rendah. Hal ini kemudian memicu perilaku moral hazard oleh agent dengan melakukan kaidah pengukuran dan pengujian yang tidak sesuai, salah dalam menetapkan jenis, dan keterangan yang tidak sesuai dalam membuat laporan dan mengisi dokumen. Penguasaan informasi yang lebih lengkap oleh agent juga dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan ketika belum diatur dalam suatu kebijakan (first mover) seperti keinginan melakukan penebangan dengan cepat karena adanya
62 kekhawatiran meningkatnya PSDH–DR (Ascher 1993). Hal ini menunjukkan kegagalan principal dalam memilih agent karena tidak sesuai dengan keinginannya (ex ante) dan agent melakukan moral hazard (ex post). Pengawasan berjenjang terhadap kinerja GANIS–PHPL–PKB–R dan WAS– GANIS–PHPL–PKB–R yang dilakukan selama dua periode ternyata malah memperpanjang rantai birokrasi. Dengan menggunakan metode penilaian kinerja cukup memberikan dorongan kepada GANIS–PHPL–PKB–R dan WAS–GANIS– PHPL–PKB–R untuk menguasai kaidah pengukuran dan pengujian kayu bulat, tetapi tidak cukup untuk meningkatkan profesionalisme mereka. Hal ini terlihat dari kecenderungan penguasaan isi teks peraturan daripada pencapaian tujuan kebijakan itu sendiri. Dari beberapa periode juga terlihat bahwa independensi WAS–GANIS–PHPL–PKB–R rendah. Hal ini dikarenakan adanya keterlibatan agent dalam pembiayaan pengawasan dan kontribusi terhadap daerah dimana lokasi IUPHHK berada. Tidak bisa dipungkiri kondisi ini membuka ruang bagi beberapa oknum dari pihak principal untuk melakukan praktik rent seeking. Hasil policy process analysis menunjukkan bahwa narasi yang mendasari setiap perubahan PUHH hampir tidak mengalami perubahan. KLHK selaku pihak otoritas menjadi aktor utama yang tetap mengandalkan GANISPHPL–PKB–R untuk mengumpulkan informasi terhadap produksi yang dihasilkan di bawah pengawasan WAS–GANISPHPL–PKB–R yang juga bertindak sebagai aspek legalitas atas kayu yang dihasilkan. Seiring berkembangnya isu korupsi di sektor kehutanan dan upaya pemerintah dalam perbaikan tata kelola hutan, KPK mulai ikut menentukan arah kebijakan PUHH diantaranya dengan pemotongan rantai birokrasi dalam pengangkatan petugas PUHH dan peran WAS–GANISPHPL– PKB–R yang bisa digantikan oleh GANISPHPL–PKB–R. SI–PUHH online diwajibkan bagi seluruh pemegang izin konsesi. Dengan diberlakukannya kebijakan ini, keberadaan WAS–GANISPHPL–PKB–R dianggap kurang selaras dengan sistim. Karena itu hanya berselang satu tahun kemudian kebijakan ini diganti dengan pemberian self assessment secara penuh oleh principal. Dengan demikian peran WAS–GANISPHPL–PKB–R dihapuskan. Untuk menguji ketaatan agent, principal membuat sistim post audit dan mengintegrasikan seluruh sistim informasi terkait yaitu SI–PUHH, SIPHAO, e–Monev Kinerja dan SIMPONI. Perubahan ini tetap tidak akan mengatasi asymmetric information jika principal sendiri tidak menguasai informasi terkait SDH yang ditransaksikan. Bagaimanapun sampai saat ini principal masih menyerahkan pelaksanaan inventarisasi potensi SDH kepada agent. Pemanfaatan teknologi informasi harus diimbangi dengan kesiapan sumber daya dan kemampuan principal menggunakan sistim data spasial untuk memperoleh–setidaknya mendekati–informasi potensi SDH yang sesungguhnya. Perubahan yang signifikan tersebut mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan tidak terkecuali pejabat tinggi lingkup instansi kehutanan. Ditiadakannya WAS–GANISPHPL–PKB–R dalam PUHH dianggap akan menumpulkan fungsi pengawasan. Sementara sebagian pihak APHI dan IUPHHK–HA memberikan respon positif karena dengan demikian akan mengurangi kontak pengurusan secara langsung dengan birokrasi sehingga biaya transaksi dapat ditekan dan waktu menjadi lebih efisien. Namun sebagian lagi mengkhawatirkan akan rentan terhadap jebakan.
63 Dilihat dari hubungan principal–agent terdapat hubungan yang kompleks dengan pola collective principal, yaitu agent memiliki kontrak dengan satu principal dan principal lebih dari satu aktor. KLHK sebagai principal utama memiliki kewenangan untuk membuat suatu aturan untuk membatasi perilaku agent (Suaerwald dan Peng 2012). Sistim kontrol melalui kebijakan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R menjadi salah satu alternatif yang dibuat principal dengan maksud memperoleh informasi hasil produksi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara teknis kehutanan. Perekrutan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R juga didesain sedemikian rupa agar personil yang nantinya ditunjuk sebagai petugas PUHH benar-benar mempunyai kemampuan untuk mengungkap informasi terkait hasil hutan yang sesungguhnya. Tidak hanya sampai disitu, GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R setiap tahunnya dinilai kinerjanya untuk mengevaluasi kompetensi yang dimilikinya. Dari paparan tersebut dapat dikatakan bahwa konsep penyediaan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R telah cukup memadai. Tetapi sistim ini pada kenyataannya tidak berjalan dengan baik. Aktivitas-aktivitas terkait pengungkapan informasi dan pengawasan tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit (agency cost). Kartodihardjo (1998) mengungkapkan permasalahan pengusahaan hutan alam produksi berkaitan dengan dua hal, yaitu adanya konflik kepentingan baik oleh pemerintah maupun pemegang izin, dan tingginya biaya yang diperlukan untuk mengontrol pelaksanaan kontrak. Konflik kepentingan yang terjadi dalam kasus ini cenderung bersifat finansial. Jika KLHK dituntut untuk meningkatkan PNBP maka demikian halnya dengan Pemda untuk meningkatkan PAD. WAS–GANISPHPL–PKB–R sebagai individu juga mempunyai tujuan pribadi sendiri. Sementara pemegang izin tidak akan mengungkapkan seluruh informasi yang dimilikinya untuk meningkatkan laba usaha. Pihak yang kurang mendapat perhatian disini mungkin GANISPHPL–PKB–R. Insentif yang diperoleh belum tentu lebih baik dari WAS– GANISPHPL–PKB–R. Ini terlihat dari aturan formal yang hanya mengatur pemberian insentif bagi WAS–GANISPHPL–PKB–R. Sebaliknya insentif bagi GANISPHPL–PKB–R diserahkan kepada IUPHHK–HA bersangkutan. Meskipun tenaganya dibutuhkan tetapi masih banyak IUPHHK–HA yang mengabaikan GANISPHPL–PKB–R sebagai bagian dari aset perusahaan. Akibatnya banyak GANISPHPL–PKB–R yang memilih resign atau pindah ke perusahaan lain. Sebenarnya ini menjadi suatu kerugian bagi IUPHHK, karena harus mengeluarkan lagi biaya untuk tenaga baru atau melatih tenaga yang sudah ada untuk menggantikan yang sebelumnya (Notoatmodjo 2003). Sementara menurut Nugroho (2003) masalah agensi dalam pengusahaan hutan terjadi akibat pemindahan hak yang bersifat sementara. Untuk mengawasi perilaku agent, principal menerapkan kebijakan melalui pendekatan command and control, hasilnya bukannya efektif tetapi justru malah menyebabkan tingginya biaya transaksi. Insentif dan sanksi yang berlaku tampaknya tidak cukup untuk meningkatkan kinerja atau paling tidak memberikan motivasi terhadap pengelolaan hutan jangka panjang dan sikap loyal terhadap institusi. Kurangnya manfaat langsung yang dirasakan dari insentif tidak sebanding dengan pengorbanan biaya yang harus dikeluarkan. Menurut Belghitar dan Clark (2015),
64 insentif yang lebih tinggi dapat mengurangi biaya agensi dengan memungkinkan terhindar dari resiko agent akan mengambil kesempatan. Skema insentif menjadi salah satu cara untuk berusaha menyelaraskan kepentingan bersama dalam mencapai tujuan. Insentif dapat mempengaruhi prioritas dan perilaku karena tidak bergantung pada kepentingan ekonomi semata. Namun karena adanya sejumlah motif manusia seperti pembuktian dan kebutuhan untuk diakui bahwa mereka turut berkontribusi dan berharga (Maslen dan Hopkins 2014). Selama ini pemberian sanksi tidak mampu memberikan efek jera karena lebih banyak bersifat administratif. Bagi GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R sanksi yang paling berat yang pernah dikenakan adalah pembekuan dan pencabutan kartu menguji. Sanksi pembekuan kartu diberikan selama satu tahun dan dapat berlaku kembali setelah melalui penyegaran. Tetapi untuk sanksi pencabutan kartu tidak akan diperkenankan lagi untuk diangkat sebagai GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R maupun GANISPHPL/ WAS–GANISPHPL kualifikasi lainnya. Dengan adanya UU nomor 18 tahun 2013 sangat dimungkinkan pemberian sanksi pidana. Kepatuhan IUPHHK–HA terhadap pembayaran PSDH–DR pada umumnya semakin membaik. Tagihan berdasarkan LHP telah dibayarkan meskipun ada beberapa kali yang tidak tepat waktu. Jika dibandingkan dengan potensi PSDH– DR, jumlah yang terpungut pada umumnya mencapai separuh dari estimasi bahkan ada yang melebihi 100%. Dalam hal ini fungsi GANISPHPL–PKB–R dapat dikatakan efektif karena telah tertib membuat dan menyampaikan usulan LHP secara periodik. Demikian juga fungsi WAS–GANISPHPL–PKB–R sebagai P2LHP dapat dikatakan efektif karena tidak akan mengesahkan LHP berikutnya jika LHP sebelumnya tidak dibayarkan PSDH dan DRnya. Hal ini tentu menjadi perhatian IUPHHK–HA karena jika tidak kayu tidak akan bisa dipasarkan yang artinya tidak ada pemasukan bagi perusahaan. Hasil pengukuran dan pengujian yang dilakukan GANISPHPL–PKB–R menjadi instrumen dalam pengendalian produksi dengan memonitor jumlah dan volume kayu yang telah diproduksi. Pencapaian target produksi pada umumnya tidak melampaui allowance 10%, bahkan ada yang hanya mencapai kurang dari 70%. Namun jumlah kepemilikan alat lebih banyak jika dibandingkan dengan alat yang dibutuhkan. Penggunaan alat seringkali luput dari pengawasan karena memang tidak diatur dalam kegiatan PUHH, hanya dicantumkan pada usulan RKT. Berpijak pada asumsi tersebut di atas, jumlah alat yang melebihi kebutuhan dan posisi alat yang tidak diketahui secara pasti di areal konsesi dapat menimbulkan potensi penyimpangan perilaku agent. Di satu sisi perspektif informan kunci baik principal maupun agent sama-sama mengganggap penting keberadaan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R. GANISPHPL–PKB–R berperan memproduksi informasi kuantitas dan kualitas kayu yang dihasilkan namun tidak memiliki kewenangan untuk memastikan kebenaran lokasi penebangan dan penggunaan alat berat. Sementara WAS– GANISPHPL–PKB–R bagi principal merupakan kendali untuk memastikan pembayaran PSDH–DR oleh agent. Agent sendiri memanfaatkan fungsi legalitas WAS–GANISPHPL–PKB–R untuk melindungi kayu yang telah dipanen. Baik GANISPHPL–PKB–R maupun WAS–GANISPHPL–PKB–R telah melakukan pengukuran dan pengujian. Meski demikian masih terdapat potensi penyimpangan
65 pada titik ini, sehingga fungsi GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL– PKB–R dalam pengendalian produksi kayu dapat dikatakan cukup efektif. Tertibnya peredaran kayu bulat merupakan hal yang penting dalam kegiatan PUHH karena selalu dikaitkan dengan illegal logging. Fungsi GANISPHPL– PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R disini adalah memonitor kayu yang keluar dan beredar melalui dokumen SKSKB dan FA–KB. Namun fungsi ini menjadi tidak berarti ketika harus berhadapan dengan aparat hukum. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya gangguan dalam proses pengangkutan kayu. Lemahnya legitimasi terhadap wewenang GANISPHPL–PKB–R dan WAS– GANISPHPL–PKB–R menyebabkan fungsinya dalam peredaran kayu menjadi tidak efektif. Perpindahan atau mutasi kayu perlu dipantau guna menghindari adanya kayu ilegal yang terikut masuk ke tujuan pengangkutan. Fungsi GANISPHPL– PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R adalah memastikan hal tersebut. Namun dari hasil pengolahan data LMKB secara umum terdapat perbedaan antara pengurangan kayu bulat di TPK Hutan dan penambahan kayu bulat di TPK Antara. Dari keterangan disebutkan bahwa selisih tersebut merupakan pemakaian sendiri di TPK Hutan. Posisi neraca kayu yang juga terdapat perbedaan yaitu antara persediaan akhir tahun sebelumnya dan persediaan awal tahun berikutnya. Ini mengindikasikan bahwa proses penerimaan kayu dilakukan dengan kurang teliti. Masih ada GANISPHPL–PKB–R yang tidak memahami prosedur penerimaan kayu. Kayu diperiksa terlebih dahulu kesesuaian antara dokumen dan fisik baru dokumen pengangkutan dimatikan. Padahal seharusnya begitu tiba di lokasi tujuan dokumen harus dimatikan dalam waktu 1x24 jam, setelah itu baru dilakukan pemeriksaan administrasi dan fisik. Sementara menurut WAS– GANISPHPL–PKB–R kondisi kayu yang sudah ditumpuk sedemikian rupa menyulitkan pemeriksaan sehingga pemeriksaan tidak dapat dilakukan secara maksimal. Rendahnya kapasitas GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL– PKB–R menyebabkan besarnya potensi penyelewengan. Karena itu fungsi pengendalian penerimaan kayu boleh dikatakan tidak efektif. Salah satu tujuan perubahan kebijakan PUHH adalah berkurangnya biaya transaksi. Kurangnya anggaran untuk kegiatan pengawasan menyebabkan IUPHHK–HA harus menanggung biaya dan sarana yang digunakan. Akibatnya timbul perasaan enggan dan simpati oleh WAS–GANISPHPL–PKB–R ketika menemukan pelanggaran. Tidak hanya itu, terdapat biaya rutin untuk melancarkan pengangkutan kayu yang disetorkan setiap bulannya kepada pihak tertentu. Ini adalah implikasi dari rendahnya legitimasi P2SKSKB dan Penerbit FA–KB sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Jadi meskipun pada bagian tertentu biaya transaksi berkurang tetapi pada bagian lain masih terdapat biaya rutin yang harus disediakan oleh IUPHHK–HA untuk melancarkan usahanya. Sehingga pada dasarnya tidak ada pengurangan biaya transaksi yang dirasakan. Dengan demikian keberadaan WAS–GANISPHPL–PKB–R dapat dikatakan tidak efektif. Sementara keberadaan GANISPHPL–PKB–R sangat diperlukan oleh IUPHHK–HA. Ada beberapa fungsi WAS–GANISPHPL–PKB–R yang bisa digantikan oleh GANISPHPL–PKB–R sehingga IUPHHK–HA menjadi lebih efisien dalam mengeluarkan sumber daya. Oleh karena itu keberadaan GANISPHPL–PKB–R dalam menurunkan biaya transaksi sudah efektif.
66 Kebijakan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R diantaranya dimaksudkan untuk menyongsong era pasar bebas yang menuntut adanya tenaga terampil yang bersertifikasi, tidak terkecuali pada sektor kehutanan. Kewajiban memiliki GANISPHPL–PKB–R pada IUPHHK–HA merupakan salah satu syarat untuk memperoleh sertifikat PHPL sehingga kayu dapat diterima di pasar internasional. Namun dengan adanya larangan ekspor kayu bulat IUPHHK– HA hanya bisa menjual di pasar domestik. Manfaat sertifikat PHPL bagi IUPHHK–HA bukan untuk menaikkan harga kayu tetapi memudahkan penjualan kayu. Manfaat secara langsung justru dirasakan oleh IPHHK yang melakukan ekspor karena bahan bakunya berasal dari IUPHHK–HA yang bersertifikat PHPL. Meskipun berpengaruh terhadap penjualan kayu namun keberadaan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R tidak berpengaruh terhadap peningkatan harga jual kayu. Oleh karena itu keberadaan GANISPHPL– PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R dalam meningkatkan harga jual kayu bulat dianggap tidak efektif. Kebijakan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R adalah salah satu upaya pemerintah untuk mendukung kelestarian hasil hutan melalui pengendalian produksi dan peredaran hasil hutan. Hal ini dapat dilihat pada kemampuan IUPHHK–HA mempertahankan keberlanjutan produksinya (Kartodihardjo 1998). Pada saat ini IHMB masih menjadi andalan proyeksi standing stock dalam areal konsesi IUPHHK–HA. Pada umumnya target penebangan tahunan yang ditetapkan setengah dari hasil IHMB dengan realisasi tebangan tertinggi 100.2%. GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPHPL– PKB–R hanya merupakan bagian kecil dari kegiatan pengusahaan hutan sehingga tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap keberlanjutan produksi. Faktor utama yang dianggap mempengaruhi keberlanjutan usaha adalah ketersediaan tegakan, kesehatan finansial dan komitmen perusahaan. Dengan demikian keberadaan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R dalam keberlanjutan usaha dapat dikatakan tidak efektif. Persepsi informan kunci pada umumnya menyatakan masih memerlukan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R terutama untuk memperoleh kuantitas dan kualitas kayu yang lebih akurat, sebagai aspek legalitas hasil penebangan dan tertibnya administrasi. Namun dari data pendukung memperlihatkan performance yang diharapkan dari tujuan kebijakan belum dapat tercapai secara keseluruhan. Hal ini disebabkan masih tingginya biaya transaksi yang tidak resmi akibat biaya pengawasan yang dibebankan kepada pihak IUPHHK–HA. Padahal IUPHHK–HA berada pada posisi agent yang harus diawasi oleh principal. Kondisi ini kemudian memicu konflik kepentingan baik pada principal maupun agent. Untuk membuat pilihan apakah keberadaan tenaga teknis masih diperlukan dalam kegiatan PUHH, dilakukan identifikasi dengan menggunakan institutional and organisational development analysis (DFID 2003) sebagaimana disajikan pada Gambar 15. Identifikasi ini hanya dilakukan terhadap WAS–GANISPHPL– PKB–R mengingat hasil penelitian menunjukkan keberadaan WAS– GANISPHPL–PKB–R pada beberapa titik dianggap tidak efektif. Hal ini mengindikasikan penurunan kredibilitas kinerja WAS–GANISPHPL–PKB–R pada saat ini. Sementara keberadaan GANISPHPL–PKB–R dari hasil penelitian menunjukkan sebagian besar sudah cukup efektif. GANISPHPL–PKB–R sangat
67 diperlukan oleh IUPHHK–HA dalam menjalankan roda perusahaan. Pada kondisi tertentu perannya disejajarkan dengan WAS–GANISPHPL–PKB–R. Dengan demikian fungsi GANISPHPL–PKB–R masih dianggap penting. Fungsi WAS–GANISPHPL–PKB–R: 1) memastikan dibayarnya PSDH–DR 2) memeriksa dan mengevaluasi kebenaran hasil produksi 3) memantau peredaran kayu bulat 4) pengabsah hasil penebangan
Alternatif: 1) SI–PUHH online 2) Post audit Fungsi pengawasan diperlukan karena pemerintah sebagai principal membutuhkan kepastian bahwa kewajiban yang dituangkan dalam kontrak dipenuhi oleh agent
Perspektif principal: WAS–GANISPHPL–PKB–R pada umumnya telah melaksanakan fungsinya. Sebagai bagian dari sistim pengawasan principal, WAS–GANISPHPL– PKB–R diperlukan untuk membatasi perilaku sub optimal agent dalam mengelola areal konsesi dan memastikan pemenuhan kewajiban terhadap hak-hak negara. Perspektif agent: pada beberapa titik fungsi WAS– GANISPHPL–PKB–R tidak efektif. Hal ini utamanya diakibatkan oleh biaya pengawasan yang ikut ditanggung oleh agent.
Fungsi WAS–GANISPHPL–PKB–R bisa dilebur dengan pihak lain: 1) KPH 2) Dishut Prov 3) BP2HP
1) Dengan lahirnya UU 23 tahun 2014, P.43/Menlhk– Setjen/2015 dan P.46/Menlhk–Setjen/2015, peran WAS–GANISPHPL–PKB–R menjadi terhapus. WAS–GANISPHPL–PKB–R yang berfungsi sebagai pengawas dalam kegiatan PUHH dituntut untuk memiliki sikap profesionalisme. Namun hal ini sulit diciptakan karena tidak didukung dengan pembiayaan dan sarana yang memadai. Dari sisi IUHHK–HA cukup membebani karena harus menganggarkan biaya pengawasan secara rutin. 2) Salah satu upaya untuk mengurangi tingginya biaya transaksi yaitu dengan melalui penerapan SI– PUHH online. Namun hal ini harus diimbangi dengan penguasaan informasi SDH oleh principal dan kemampuan principal mendayagunakan sistim data spasial untuk memperoleh informasi potensi SDH. Dengan diberlakukannya UU 23 tahun 2014, kewenangan dinas kabupaten dalam pemanfaatan hutan dihapus dan pemantauan tingkat tapak diamanatkan ke KPH. Sementara posisi WAS– GANISPHPL–PKB–R banyak yang berada di dinas kabupaten dan provinsi. Kondisi SDM KPH saat ini masih belum cukup dan dari segi kualifikasi pemanfaatan juga masih belum memadai (Dirjen planologi 2014), sehingga dimungkinkan untuk dilakukan transfer atau mutasi WAS– GANISPHPL–PKB–R. 3) Keterampilan yang dimiliki oleh WAS– GANISPHPL–PKB–R bagaimanapun tetap diperlukan dalam pelaksanaan post audit. Hal ini tersurat pada salah satu butir pedoman pelaksanaan post audit yang menyatakan bahwa bukti fisik merupakan bukti yang diperoleh dari pengukuran dan penghitungan secara langsung.
Gambar 15 Identifikasi fungsi WAS–GANISPHPL–PKB–R dalam kegatan PUHH
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perkembangan kebijakan (dinamika kelembagaan) tenaga teknis dalam kegiatan PUHH hampir tidak mengalami perubahan secara substantif. Pentingnya keberadaan tenaga teknis sebagai alat untuk memperoleh informasi terhadap produksi kayu yang sesungguhnya karena adanya hak-hak negara yang harus dipungut merupakan narasi utama yang selalu menyertai dalam setiap perubahan kebijakan. Baik principal maupun agent sama-sama mempunyai motif finansial terhadap pemanfaatan hutan alam produksi. KLHK sebagai principal murni menjadi aktor utama dalam setiap perubahan kebijakan dan menerapkannya
68 melalui pendekatan command and control, namun ternyata hal ini meningkatkan biaya transaksi. Hubungan principal–agent yang terjadi dalam kegiatan PUHH adalah hubungan collective principal dengan KLHK bertindak sebagai principal utama. Principal dengan lebih dari satu aktor ini sangat rentan terhadap masalah agensi terutama karena adanya konflik kepentingan dari masing-masing aktor principal dan agent yang pada akhirnya berdampak pada efektivitas WAS–GANISPHPL– PKB–R dan GANISPHPL–PKB–R. Efektivitas GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R terhadap tujuan kebijakan PUHH beragam bergantung pada masing-masing tujuan kebijakan. Secara umum GANISPHPL–PKB–R telah efektif dalam melakukan perannya. Dengan adanya GANISPHPL–PKB–R, pekerjaan IUPHHK–HA secara administratif menjadi lebih rapi, pengukuran lebih akurat dan mampu menurunkan biaya transaksi. Sementara keberadaan WAS–GANISPHPL–PKB–R pada umumnya dianggap tidak efektif. Ketidakefektifan ini disebabkan biaya dan sarana pengawasan dibebankan kepada IUPHHK–HA, kurangnya legitimasi dari aparat keamanan dan kapasitas WAS–GANISPHPL–PKB–R yang rendah. Namun dari sisi kepatuhan IUPHHK–HA membayar PSDH–DR, peran WAS– GANISPHPL–PKB–R sudah efektif. Artinya pada simpul ini WAS– GANISPHPL–PKB–R sudah melakukan tugasnya secara konsisten, tidak akan mengesahkan LHP jika PSDH–DR dari LHP periode sebelumnya dibayarkan. Saran Seringnya kebijakan PUHH berubah lebih disebabkan kurangnya penguasaan informasi SDH oleh principal dan transfer of right yang bersifat sementara. Penerapan SI–PUHH online memberikan dampak positif terhadap konsistensi dan kecepatan data namun hal ini perlu diimbangi dengan penguasaan informasi sumber daya hutan oleh principal dan kemampuan principal menggunakan data dari hasil teknologi informasi. Penguasaan informasi tidak sebatas pada potensi yang bisa ditebang tetapi juga pada pelaksanaan penanaman kembali oleh agent sehingga aset principal yang kembali dapat terpantau.
69
DAFTAR PUSTAKA Belghitar Y, Clark E. 2015. Manager risk incentives and investment related agency cost. International Review of Financial Analysis. 38: 191–197. doi: 10.1016/j.irfa.2014.11.012. Bogle TN. 2012. Timber supply on public land in response to catastrophic natural disturbance: a principal agent problem [a dissertation]. Canada (CD): University of Victoria. Bowers J. 2005. Instrument choice for sustainable development: an aplication to the forestry sector. Forest Policy and Economics. 7: 97–107. doi:10.1016/S1389–9341(03)00015–7. [BPKP] Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. 2005. Evaluasi Efektivitas Implementasi Ketentuan Tentang Tata Cara Pengenaan, Pemungutan, Pembayaran, dan Penyetoran PSDH–DR. Jakarta (ID): BPKP. [BP2HP] Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah XII. 2014. Laporan GANISPHPL dan WAS-GANISPHPL Lingkup BP2HP Wilayah XII. Palangka Raya (ID): BP2HP. Breaux DA, Duncan CM, Keller CD, Morris JC. 2002. Welfare reform, Missisippi style: temporary assisstance for needy families and the search for accountability. Public Administration Review. 62(1): 92–103. Brown DW. 1999. Addicted to rent: corporate and spatial distribution of forest resources in Indon`esia; implications for forest sustainabillity and government policy. Indonesia UK Tropical Forestry Management Programme. Jakarta (ID): Manggala Wanabakti. Budiono R. 2007. Fungsi unit pelaksana teknis pengawasan di bidang penatausahaan hasil hutan dalam meningkatkan ketertiban dan kelancaran penatausahaan hasil hutan [tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Bungin MB. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta (ID): Kencana Prenada Media. Cahyono S, Tjokropandojo DS. 2013. Peran kelembagaan petani dalam mendukung keberlanjutan pertanian sebagai pengembangan ekonomi lokal. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. 2(1): 15–23. Callister DJ. 1999. Corrupt and Illegal Activities in The Forest Sector. Cursent understanding and implications for the World Bank. Background Paper for The 2002 Forest Strategy. Casson A, Obidzinski K. 2002. From new order to regional autonomy: shifting dynamics of illegal logging in Kalimantan, Indonesia. World Development. 30(12): 2133–2151. Darmawan C. 2014. Ketersediaan dan kebutuhan alat berat pemanenan kayu pada salah satu izin usaha pemanfaatan hutan alam di Kalimantan Timur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2008. Pengalaman dan Pelajaran Uji Coba Penerapan Barcode 2D di PT. Dwimajaya Utama. Jakarta (ID): Dephut. [DFID] Department for International Development. 2003. Promoting Institutional and Organisational Development. UK: DFID. [Dirjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2009. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor P.14/VI–BIKPHH/2009
70 Tentang Metoda Pengukuran Kayu Bulat Rimba Indonesia. Jakarta (ID): Kemenhut. [Dirjen BUK] Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan. 2014. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor P.3/VI–BIKPHH/2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Penatausahaan Hasil Hutan Kayu dari Hutan Alam. Jakarta (ID): Kemenhut. [Dirjen Planologi] Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. 2014. Strategi Pengembangan KPH dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia. Jakarta (ID): KLHK. [Dishut Prov. Kalteng] Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah. 2014. Laporan Rekapitulasi Total Realisasi Produksi dan Pembayaran PNBP Kehutanan dalam Lima Tahun Terakhir (Tahun 2009–2013). Palangka Raya (ID): Dishut Prov. Kalteng. Djogo T, Sunaryo, Suharjito D, Sirait M. 2003. Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestri. Bogor (ID): ICRAF. Dunn WN. 1999. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Dwijowijoto RN. 2003. Kebijakan Publik; Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta (ID): PT. Elex Media Komputindo. Egan AF. 2005. Training preferences and attitudes among loggers in Northern New England. Forest Product Journal. 55(3): 19–26. [FAO] Food and Agriculture Organization of The United Nations. 2010. Global Forest Resources Assessment, Main Report. Rome: FAO. Hamilton C. 1997. The sustainability of logging in Indonesia tropical foresta: a dynamic input–output analysis. Ecological economics. 21: 183–195. Handajani R, Djumadi, Passele E. 2014. Peran pengawas tenaga teknis (WASGANIS) dalam meningkatkan efektivitas pengawasan bidang kehutanan di UPTD pengendalian peredaran hasil hutan wilayah selatan Provinsi Kalimantan Timur. eJournal Administrative Reform. 2(3): 1456–1468. Hardjanto. 2002. Mutu modal manusia dan pertumbuhan ekonomi [ulas balik]. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. VIII(1): 65–71. Hartoyo D. 2011. Panduan Audit Investigatif Korupsi di Bidang Kehutanan. Bogor (ID): CIFOR. Haryono S. 2005. Struktur kepemilikan dalam bingkai teori keagenan. Jurnal Akuntansi dan Bisnis. 5(1): 63–71. Hasibuan MSP. 2013. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi revisi. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Horton PB, Horton RL. 1982. Personal Learning Aid for Introductory Sociology. Illinois (US): Dow Jones–Irwin. Hotte L, McFerrin R, Wills D. 2013. On the dual nature of weak property rights. Resource and Energy Economics. 35: 659–678. doi:10.1016/j.reseneeco.2013.07– 001. [IDS] Institute of Development Studies. 2006. Understanding Policy Process: A Review of IDS Research on The Environment. United Kingdom (GB): University of Sussex. Irawan P. 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta (ID): Universitas Indonesia.
71 [ITTO] International Tropical Timber Organization. 2011. Tropical timber market report [internet]. [Diunduh 2015 Sept 16]. Tersedia pada: www.itto.net. [ITTO] International Tropical Timber Organization. 2012. Tropical timber market report [internet]. [Diunduh 2015 Sept 16]. Tersedia pada: www.itto.net. [ITTO] International Tropical Timber Organization. 2013. Tropical timber market report [internet]. [Diunduh 2015 Sept 16]. Tersedia pada: www.itto.net. [ITTO] International Tropical Timber Organization. 2014. Tropical timber market report [internet]. [Diunduh 2015 Sept 16]. Tersedia pada: www.itto.net. Ivancevich JM, Konopaske R, Matteson MT. 2007. Perilaku dan Manajemen Organisasi, Jilid 1. Jakarta (ID): Erlangga. Jensen M, Meckling W. 1976. Theory of the firm: managerial behaviour, agency cost, and ownership structure. Journal of Financial Economics. 3(4): 305–360. Kant S, Berry RA, Luckert MK, Diaw MC, Vatn A, Binkley CS, Chichilnisky G, Hartwick JM, Hyde WF, Sedjo RA et al. 2005. Intitutions, Sustainability, and Natural Resources: Institutions for Sustainable Forest Management. Kant S and Berry RA, editor. Belanda (NL): Springer. Kartodihardjo H. 1998. Peningkatan kinerja pengusahaan hutan alam produksi melalui kebijaksanaan penataan institusi [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kartodihardjo H. 2008. Diskursus dan aktor dalam pembuatan dan implementasi kebijakan kehutanan: masalah kerangka pendekatan rasional. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 14(1): 19–27. Kartodihardjo H. 2013. Kepemerintahan dan Kebijakan Kehutanan: Soal Diskursus dan Reduksi Ilmu Pengetahuan. Di dalam: Kartodihardjo H, editor. Kembali ke Jalan Lurus; Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia. Yogyakarta (ID): FORCI. Hlm 149–176. Kaskarelis IA. 2010. The principal–agent problem in economics and in politics. Humanomics. 26(4): 259–263.doi:10.1108/08288661011090866. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2010. Penatausahaan Hasil Hutan. Jakarta (ID): Kemenhut. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2011. Permenhut Republik Indonesia Nomor P.45/Menhut-II/2011 tentang Pengukuran dan Pengujian Hasil Hutan. Jakarta (ID): Kemenhut. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2012. Statistik Kehutanan Indonesia. Jakarta (ID): Kemenhut. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2014a. Permenhut Republik Indonesia Nomor P.41/Menhut-II/2014 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari Hutan Alam. Jakarta (ID): Kemenhut. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2014b. Permenhut Republik Indonesia Nomor P.54/Menhut-II/2014 tentang Kompetensi dan Sertifikasi Tenaga Teknis dan Pengawas Tenaga Teknis Pengelolaan Hutan Produksi Lestari. Jakarta (ID): Kemenhut. Kim PT. 2011. Beyond principal–agent theories: law and the judicial hierarchy. Northwestern University of Law. 105(2): 535–575. [KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.46/Menlhk-Setjen/2015 tentang Pedoman Post Audit Terhadap Pemegang
72 Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Izin Pemanfaatan Kayu. Jakarta (ID): Kemen–lhk. Kosasih R. 2000. Akuntan publik tidak independen bila terlalu lama menjadi auditor suatu entitas? Media Akuntansi. Juni: 47–48. Lane JE. 2013. The principal–agent approach to politics: policy implementation and public policy making. Open Journal of Political Science. 3(2): 85–89. Maslen S, Hopkins A. 2014. Do incentives work? A qualitative study of managers motivations in hazardous industries. Safety Science. 70: 419–428. doi: 10.1016/j.ssci.2014.07.008. Muis M. 2013. Manajemen Sumber Daya Manusia pada Kinerja Industri. Bogor (ID): IPB Pr. Muller R; Turner JR. 2005. The impact of principal–agent relationship and contract type on communication between project owner and manager. International Journal of Project Management. 23: 398–403. doi: 10.1016/j.ijproman.2005.03.001. Nielson DL, Tierney MJ. 2003. Delegation to international organizations: agency theory and world bank environmental reform. International Organization. 57(2): 241–276. North DC. 1990. Institution, Institutional Change, and Economic Performance. Cambridge: Cambridge University Press. Notoatmodjo S. 2003. Pengembangan SDM. Jakarta (ID): Rineka Cipta. Nugraha D. 2014. Pengaruh pengetahuan pajak, self assessment system dan sanksi pajak terhadap kepatuhan wajib pajak (survei di kantor pelayanan pajak Pratama) [internet]. [Diunduh 2015 Sept16]. Tersedia pada: jbptunikompp–gdl–dhiannugra– 34390–10–unikom_d–I.pdf. Nugroho B. 2003. Kajian institusi pelibatan usaha kecil–menengah industri pemanenan hutan untuk mendukung pengelolaan hutan produksi lestari [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nugroho B. 2008a. Sistim kelembagaan penerapan multisistim silvikultur pada areal hutan produksi (IUPHHK) di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistim Silvikultur pada Pengusahaan Hutan Produksi. Nugroho B. 2013. Reformasi Kelembagaan dan Tata Kepemerintahan: Pemungkin Menuju Tata Kelola Kehutanan yang Baik. Di dalam: Kartodihardjo H, editor. Kembali ke Jalan Lurus; Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia. Yogyakarta (ID): FORCI. Hlm 177–223. Nugroho R. 2008b. Public Policy; Teori, Manajemen, Dinamika, Analisis, Konvergensi, dan Kimia Kebijakan. Jakarta (ID): Elex Media Komputindo. Ostrom E, Hess C. 2007. Private and Common Property Rights. Syracus University. Surface. Ostrom E. 2008. Design principles of robust property rights institution: what have we learned? Workshop in Political Theory and Policy Analysis; 2008 June 2–3; Cambridge, United Kingdom. Ostrom E, Schroeder L, Wynne S. 1993. Institutional Incentives and Sustainable Development. West View Press. Colorado. Pineros SR, Lewis DK. 2013. Analysis and deliberation as a mechanism to assess changes in preferences for indicators of sustainable forest management: a
73 case study in Pueblo, Mexico. Journal of Environmental Management. 128: 52–61. [POLRI] Kepolisian Negara Republik Indonesia. 2010. Problematika Pemberantasan Illegal Logging dan Kejahatan Kehutanan di Indonesia. Jakarta (ID): POLRI. Prahasto H, Irawanti S. 2000. Peluang peredaran kayu bulat ilegal dalam tata usaha kayu self assessment. Jurnal Info Sosial Ekonomi. 1(1): 1–13. Priyono BM. 2004. Biaya transaksi dan pengaruhnya dalam pengelolaan hutan alam produksi lestari [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Puspitojati T. 2001. Sitim pemantauan produksi dan peredaran kayu di era otonomi daerah. Jurnal Info Sosial Ekonomi. 2(1): 45–54. Reinganum JF, Wilde LL. 1985. Income tax compliance in a principal agent framework. Journal of Public Economics. 26: 1–18. Resosudarmo IAP. 2003. Tinjauan atas Kebijakan Sektor Perkayuan dan Kebijakan Terkait Lainnya. Di dalam: Resosudarmo IAP, Colfer CJP, editor. Kemana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Hlm 196–235. Ruwiati A. 2010. Efektivitas penatausahaan kayu di hutan alam produksi (studi kasus di areal kerja PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sari IDA, Diansyah F, Yuntho E. 2009. Korupsi dalam Pemberantasan Illegal Logging, Analisis Kinerja dan Alternatif Kerangka Hukum. Jakarta (ID): ICW. Sauerwald S, Peng MW. 2012. Informal institutions, stakeholder coalitions, and principal–principal conflicts. Asia Pacific Journal of Management. Doi: 10.1007/s10490–012–9312–x. Sembiring SN, Djefrianto A. 2009. Penegakan Hukum Atas Kejahatan Kehutanan, Data Kasus Kejahatan Kehutanan dari Provinsi Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur Tahun 2007–2008. Jakarta (ID): IHSA. Setiadi E, Yulia R. 2010. Hukum Pidana Ekonomi. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu. Siagian SP. 2000. Manajemen Stratejik. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Sinha SK. 2011. The continuous time principal–agent problem with moral hazard and recursive preferences [a dissertation]. United States (US): Michigan State University. Soedomo S. 2012. Jenis pungutan kehutanan dari perspektif ekonomi sumber daya alam [pemikiran konseptual]. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. XVIII (1): 60–67. doi:10.7226/jtfm.18.1.60. Soekanto S. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta (ID): Rajagrafindo Persada. Suharto E. 2005. Analisis Kebijakan Publik; Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Bandung (ID): CV. Alfabeta. Subarudi, Dwiprabowo H. 2007. Otonomi Daerah Bidang Kehutanan, Implementasi dan Tantangan Kebijakan Perimbangan Keuangan. Bogor (ID): CIFOR. Suich H. 2013. The effectiveness of economic incentives for sustaining community based natural resource management. Land Use Policy. 31: 441–449. Sule ET, Saefullah K. 2005. Pengantar Manajemen. Jakarta (ID): Kencana Prenada Media Group.
74 Sutton R. 1999. The policy process: an overview. Working Paper 118. London (GB): Overseas Development Institute. Tacconi L, Obidzinski K, Agung F. 2004. Proses Pembelajaran (Learning Lessons) Promosi Sertifikasi Hutan dan Pengendalian Penebangan Liar di Indonesia. Bogor (ID): CIFOR. Tangkilisan HN. 2005. Manajemen Publik. Jakarta (ID): Grasindo. Tsioras PA. 2010. Perspective of the forest workers in Greece. IForest– Biogeosciences & Forestry. 3: 118–123.doi:10.3832/ifor0547–003. Wibisono A, Suhayati E. 2014. Pengaruh sanksi denda dan kualitas pelayanan pajak terhadap kepatuhan wajib pajak badan (studi kasus pada kantor pelayanan pajak Pratama Sumedang) [internet]. [Diunduh 2015 Sept 16]. Tersedia pada: jbptunikompp–gdl–ariyantowi–34355–10–artikel.pdf. Witte AD, Woodbury DF. 1985. The effect of tax law and tax administration on tax compliance: the case of the U.S. individual income tax. National Taxation Journal. 38(1): 1–13. Yasin AN, Wahyudiati T, Supardi, Satriyo R, Nugroho B, Sadino B, Sitorus H. 2004. Laporan studi penerapan sanksi pidana kehutanan: telaah peraturan perundang-undangan dan kelembagaan penegakan hukum (studi lanjutan). Jakarta (ID): Dephut dan EU–Forest Liaison Bureau. Yustika AE. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori dan Kebijakan. Jakarta (ID): Erlangga. Zubayr M. 2014. Implementasi kebijakan penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan: perspektif hubungan principal–agent [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
75
LAMPIRAN
a. Menetapkan nomor register Penerbit SAKB berdasarkan SK penunjukan dari HPH (IUPHHK) b. Menetapkan P2LHP dan P3KB beserta nomor registernya -
-
Kanwil Dephut/Dephutbun
Dishut Kabupaten
BP2HP
a. Pembuat LHP b. Menunjuk Penerbit SAKB
1990
IUPHHK–HA
Lembaga
-
-
a. Menetapkan P2LHP, Penerbit SAKB, dan P3KB beserta nomor registernya
1999
Koordinasi dengan Dishut Prov. terkait personil yang akan diangkat sebagai P2LHP, P2SKSHH, dan P3KB
(BSPHH) Menetapkan daftar nama PHH/PPHH yang memenuhi kualifikasi untuk diangkat sebagai petugas PUHH
-
Mengusulkan nama Pembuat LHP kepada Dishut Prov.
2003
2006
a. Rekomendasi kelayakan teknis Pembuat LHP dan Penerbit SKSKB–OL berdasarkan tembusan IUPHHK–HA b. Rekomendasi kelayakan teknis P2LHP, P2SKSKB, dan P3KB berdasarkan usulan Dishut Prov. c. Menetapkan Penerbit FA–KB berdasarkan usulan IUPHHK–HA berikut nomor registernya Mengusulkan personil yang akan diangkat sebagai P2LHP, P2SKSKB, dan P3KB kepada Dinas Prov.
-
Mengusulkan nama Pembuat LHP dan Penerbit SKSKB– OL kepada Dishut Prov. dengan tembusan BP2HP
Peran lembaga 2014
Mengusulkan personil yang akan diangkat sebagai P2LHP, P2SKSKB, dan P3KB kepada Dinas Prov.
-
Menetapkan Pembuat LHP, Penerbit SKSKB, Penerbit FA–KB, dan Penerima KB secara self approval tanpa rekomendasi teknis dari BP2HP. Nomor register dan masa tugas sesuai dengan kartu Ganis -
Lampiran 1 Perubahan mekanisme pengangkatan petugas PUHH
Menetapkan Pembuat LHP, Penerbit SKSHHK, dan Penerima KB secara self approval
20016
76
Dishut Provinsi
-
-
a. Menetapkan nomor register Pembuat LHP, P2LHP, P2SKSHH, dan P3KB b. Mengangkat P2LHP, P2SKSHH, dan P3KB berdasarkan daftar nama dari BP2HP dan hasil koordinasi dengan Dishut Kab.
a. Menyampaikan usulan personil yang akan diangkat sebagai P2LHP, P2SKSKB, dan P3KB kepada BP2HP b. Menetapkan nomor register Pembuat LHP, Penerbit SKSKB–OL, P2LHP, P2SKSKB, dan P3KB c. Mengangkat Pembuat LHP, Penerbit SKSKB– OL, P2LHP, P2SKSKB, dan P3KB berdasarkan rekomendasi BP2HP
Lampiran 1 (lanjutan) Mengangkat P2LHP, P2SKSKB, dan P3KB berdasarkan usulan Dishut Kab. tanpa rekomendasi teknis dari BP2HP. Nomor register dan masa tugas sesuai dengan yang tertera pada kartu Wasganis
77
PP Nomor 6 Tahun 2007 jo Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan
PP Nomor 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan
UU Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Peraturan
(a) Tidak mempekerjakan tenaga profesional bidang kehutanan (b) Tidak membayar iuran atau dana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
(a) Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan; (b) Melakukan pengangkutan kayu hasil hutan tanpa memiliki dokumen yang merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; (c) Memalsukan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu dan/atau menggunakan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu yang palsu; (d) Melakukan penyalahgunaan dokumen angkutan hasil hutan kayu yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang (a) Asal usul hasil hutan dan tempat tujuan pengangkutan yang tidak sesuai dengan yang tercantum dalam surat keterangan sahnya hasil hutan; (b) Keadaan fisik, baik jenis, jumlah maupun volume hasil hutan yang diangkut, dikuasai atau dimiliki, sebagian atau seluruhnya tidak sama dengan isi yang tercantum dalam surat keterangan sahnya hasil hutan; (c) Tidak disertai dan dilengkapi surat-surat yang sah sebagai bukti; (d) Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan masa berlakunya telah habis; (e) Hasil hutan tidak mempunyai tanda sahnya hasil hutan. (a) Tidak melakukan penatausahaan hasil hutan (b) Melakukan pengukuran atau pengujian hasil hutan (a) Menebang kayu yang dilindungi (b) Menebang kayu sebelum RKT disahkan (c) Menebang kayu di bawah batas diameter yang diizinkan (d) Menebang kayu di luar blok tebangan yang diizinkan Tidak melakukan pengukuran atau pengujian hasil hutan
Jenis pelanggaran
Sanksi administrasi berupa pengurangan jatah produksi Sanksi administrasi berupa pencabutan izin
Sanksi administrasi berupa denda sebanyak 10 kali PSDH Sanksi administrasi berupa denda sebanyak 15 kali PSDH
Pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000.000,-
Pidana penjara paling singkat 5tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,- dan paling banyak Rp15.000.000.000,- .
Sanksi
Lampiran 2 Jenis pelanggaran dan sanksi terkait keberadaan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R dalam kegiatan PUHH
78
Permenhut Nomor P.39/Menhut-II/2008 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan
Peraturan
Tidak melakukan PUHH dan pengukuran/pengujian hasil hutan Apabila menebang kayu yang dilindungi, menebang kayu sebelum RKT disahkan, menebang kayu di bawah batas diameter yang diizinkan, menebang kayu di luar blok tebangan yang diizinkan Memindahtangankan izin sebelum mendapat persetujuan tertulis dari pemberi izin, tidak mempekerjakan tenaga profesional bidang kehutanan sesuai kebutuhan, tidak membayar iuran dan atau dana pemanfaatan hutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jenis pelanggaran
Lampiran 2 (lanjutan)
Pencabutan izin
Denda administratif sebesar 10 kali Denda administratif sebesar 15 kali PSDH
Sanksi
79
Permenhut P.58/Menhut-II/2014 tentang Kompetensi dan Sertifikasi Tenaga Teknis dan Pengawas Tenaga Teknis PHPL
UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Peraturan
Meninggalkan tugas selama lebih dari 3 bulan tanpa izin Tidak membuat buku register sesuai dengan tugasnya Memanipulasi dokumen Menandatangani BAP tanpa melakukan pemeriksaan fisik (WAS –GANISPHPL–PKB–R) Menghilangkan dokumen baik disengaja maupun tidak disengaja Menandatangani BAP tidak sesuai fisik (WAS –GANISPHPL–PKB–R) Memberikan pelayanan dokumen pada tempat yang bukan menjadi kewenangannya Melimpahkan tugas dan tanggung jawabnya kepada orang lain yang tidak mempunyai kewenangan (i) Menyalahgunakan wewenang dan tanggung jawabnya (j) Hasil penilaian kinerja pada tahun terakhir (tahun ke-3) masa berlaku kartu memperoleh nilai kurang (C)
(a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h)
(a) Tidak membuat laporan kegiatan sesuai bidang tugasnya sesuai ketentuan (b) Telah membuat laporan kegiatan sesuai ketentuan tetapi tidak atau terlambat menyampaikannya kepada instansi yang berhak menerima laporan tersebut (c) Tidak memiliki atau kurang lengkap memiliki peralatan, sarana, dan kelengkapan administrasi di bidang yang menjadi tugasnya (d) Tidak menyimpan dengan baik dan lengkap dokumen-dokumen yang menjadi tanggungjawabnya (e) Tidak melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai prosedur dan waktu kerjanya (f) Tidak mengikuti penilaian kinerja dengan sengaja (g) Berdasarkan hasil penilaian kinerja mendapat nilai kurang (C) (h) Meninggalkan tugas sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut
Melakukan kelalaian dalam melaksanakan tugas
(a) Menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan tanpa hak (b) Dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas sehingga terjadi tindak pidana pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah
Jenis Pelanggaran
Pencabutan kartu GANISPHPL–PKB–R/WAS– GANISPHPL–PKB–R
Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 dan paling banyak Rp10.000.000.000,00. Pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 5 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 dan paling banyak Rp1.000.000.000,00. Pembekuan kartu GANISPHPL–PKB–R/WAS– GANISPHPL–PKB–R
Sanksi
Lampiran 3 Jenis pelanggaran dan sanksi terhadap GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R dalam kegiatan PUHH
80
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 15 Juni 1981 sebagai anak ke tiga dari delapan bersaudara pasangan Drs M. Aring, ME dan Farida. Penulis menikah dengan Andri, AMd Vet dan telah dikaruniai dua orang puta putri yaitu Aira Azkia dan Andi Yusuf Zidan. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Kehutanan Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin, Makassar dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2013 penulis melanjutkan pendidikan magister pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, melalui program beasiswa dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penulis bergabung di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sejak tahun 2005 dan ditempatkan di Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi (BP2HP) wilayah XII Palangkaraya, Kalimantan Tengah.