http://www.shnews.co/detile-23681-dwi-kewarganegaraan-dan-dilema-karna-bagian-1.html
Dwi Kewarganegaraan dan Dilema Karna (Bagian 1) Indriyo Sukmono* | Rabu, 21 Agustus 2013 - 14:16:39 WIB (dok/ist) Ilustrasi. Wacana kepemilikan dua paspor akan menimbulkan pro kontra di masyarakat. Dokumen dengan format B7 ini memang istimewa. Dengan lebar 88 milimeter (mm) dan tinggi 125 mm, identitas pribadi bersampul warna warni—hijau, hitam, merah, cokelat, biru—merupakan dokumen milik negara yang berisi permohonan kepada negara di dunia untuk mengizinkan pemiliknya masuk-keluar secara leluasa serta permintaan untuk perlindungan apabila diperlukan. Praktik pengeluaran dokumen untuk kepentingan bepergian ini sudah muncul beberapa abad sebelum Masehi, namun baru distandardisasi secara internasional sekitar tahun 1980-an oleh ICAIO, organisasi penerbangan sipil internasional, di bawah naungan PBB. Pemegang dokumen yang populer dengan nama paspor ini secara tidak langsung berperan ganda sebagai duta negara. Tugas yang diembannya dijunjung penuh kesadaran serta tanggung jawab untuk senantiasa mempertahankan keutuhannya dengan segenap kekuatan dan kemampuan. Dengan demikian hak serta kewajiban kepemilikan sebuah paspor tidaklah sepele dan gampangan. Konsekuensi kepemilikan dua paspor atau lebih tentunya melibatkan tanggung jawab yang semakin besar dan rumit sehingga hanya pribadi dewasa yang sudah matang serta bijaksana sajalah yang sebenar-benarnya mampu dan berhak memilikinya. Wacana kepemilikan dua paspor yang merupakan buah dari kebijakan “dwi kewarganegaraan”, seumpama genderang sudah ditabuh. Gaung tuntutannya akan semakin dikumandangkan dalam perhelatan akbar Konggres Diaspora Indonesia ke-2 pada 18-20 Agustus ini. Pada tataran ini, hal dwi kewarganegaraan lebih dari sekadar urusan fungsional, legal, sosial, politik, dan ekonomi. Pemahaman serta penghayatan internal yang antara lain meliputi cara pandang, etika, sistem nilai haruslah menjadi akar serta landasan yang mendasari tindakan praktis. 1
Untuk perkara yang fundamental dalam tempo yang singkat dan berharga, tulisan ini mengajak seluruh unsur bangsa dan negara menyisihkan waktu merenung dengan menggali nilai-nilai serta kearifan budaya Nusantara yang tercinta ini. Ketersediaan referensi yang realistis, bermakna, tidak dangkal dan tidak menggurui sangat diperlukan. Tidak berlebihanlah wayang dengan lakon-lakonnya dan keterbatasannya menjadi salah satu sumber utama yang sahih. Satu alasan utama masyarakat diaspora dituntut memahami warisan budaya agung ini (di antara sekian banyak warisan berharga lainnya) adalah bahwa sebutan dan kata diaspora sendiri menyandang pengertian suatu masyarakat ultranasional, dan kepemilikan sebuah paspor merupakan salah satu bukti. Predikat sebagai duta bangsa ini dengan sendirinya telah mengangkat seorang diaspora ke orbit lain sehingga ia mampu melihat kepulauan Indonesia dalam konstelasi mancanegara, melebihi batas Sabang Merauke. Dengan demikian, seorang diaspora seyogianya proaktif membekali diri, memahami serta fasih mengutarakan kekayaan budaya Nusantara yang diwakilinya. Tiga alasan praktis dan nyata tambahan antara lain pertama, bukankah “dwi, warga, dan negara”, semua kata dalam “dwi kewarganegaraan” yang merupakan tuntutan kelompok diaspora bersumber dari bahasa dan negara yang sama tempat wayang berasal?; kedua, bukankah salah satu ciri orang yang betul-betul modern adalah kemampuan menghayati estetika masa lalu seperti yang diyakini oleh Romo Magnis, seorang diaspora Jerman yang telah menjadi WNI dan menambah nama belakang Suseno?; dan ketiga bukankah pengakuan UNESCO tanggal 7 November 2003 atas wayang kulit sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity merupakan bukti kuat pengakuan dunia yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh kelompok yang menyebut dirinya diaspora? Dalam tampak permukaan, dunia wayang secara umum diwakili dua pihak yang saling berselisih: Sri Rama (kerajaan Kosala) dan Rahwana (kerajaan Alengka) dalam kisah Ramayana; selanjutnya keluarga Pandawa (Yudistira, Bima, Arjuna dan Nakula, Sadewa kelima anak Pandu) dan Kurawa (terdiri dari seratus saudara sepupu yang dipimpin oleh sulung Duryudana) yang bersengketa atas kerajaan Astina/Hastinapura dalam cerita Mahabarata. Seperti kita ketahui Sri Rama dan Pandawa adalah tokoh yang disuratkan menjadi pihak benar dan menjadi pemenang. Sekilas terlihat sederhana dan hitam putih. Namun melalui beratus lakon dan penokohan, wayang sarat dengan dunia abu-abu sehingga ia bukan hanya sekadar tontonan namun yang lebih mendalam memancarkan tuntunan. Dalam wacana dwi kewarganegaraan, masing-masing negara memosisikan dirinya sebagai pihak utama seperti Sri Rama dan Pandawa lewat tuntutan kesetiaan utuh. Hal ini 2
secara jelas tecermin dalam sumpah atau janji yang wajib diucapkan (dan selanjutnya dicacat dan dimasukkan sebagai dokumen resmi negara) oleh seseorang guna memperoleh hak kewarganegaraan. “Demi Allah/demi Tuhan Yang Maha Esa, saya bersumpah (Saya berjanji) melepaskan seluruh kesetiaan saya kepada kekuasaan asing, mengakui, tunduk, dan setia kepada … (nama negara yang bersangkutan)…. Penggalan Pasal 16, UU RI No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan ini secara garis besar mewakili isi sumpah atau janji menjadi seorang warganegara di semua negara di dunia. Sebagai tambahan bahkan ada negara yang mewajibkan mengangkat senjata sebagai upaya bela negara. Wow. Sungguh sebuah deklarasi yang sakral, mengusik hati nurani dan merasuk ke kedalaman sumsum tulang. Jelaslah ini bukan perkara enteng dan murahan.
http://www.shnews.co/detile-23743-dwi-kewarganegaraan-dan-dilema-karna-bagian-2habis.html
(Bagian 2/habis) Indriyo Sukmono* | Kamis, 22 Agustus 2013 (dok/ist) Ilustrasi. Tidak jarang segala cara dihalalkan dan arti kebangsaan disepelekan.
Kisah Karna telah diurai dari berbagai sudut pandang, sebagai tokoh antagonis, antagonis baik, protagonis, protagonis salah tempat salah waktu, dan abu-abu. Terlahir dari perawan Kunti akibat mantera yang diucapkan secara coba-coba ke dewa Surya, bayi Karna dibuang ke sungai Aswa untuk menjaga keberadaan ibunya sebagai perempuan yang belum menikah. Karna kecil akhirnya ditemukan Adirata, kusir kereta di kerajaan Astina dan ia tumbuh besar dalam asuhan keluarga wong cilik. Seperti tokoh utama lain dalam wayang, perjalanan hidup Karna penuh dengan once in a life time experience, cobaan, tempaan unik, rumit, tragis, dan menarik. Walaupun dibesarkan dalam lingkungan papa, di tubuhnya mengalir darah dewa, karena itu Karna bercita-cita menjadi satria. Seperti Arjuna, Karna dikenal sebagai pemanah ulung. Keahlian inilah yang mempertemukannya dengan Arjuna selama adu keterampilan memanah yang diadakan padepokan Drona di hadapan punggawa Korawa dan Pandawa. Sesaat setelah Arjuna,
3
kesayangan Dorna, dinyatakan sebagai pemenangnya, Karna menyeruak di antara penonton dan menantang Arjuna sembari memamerkan keahliannya. Dalam ajang kenegaraan ini, aturan protokoler mewajibkan pendeta istana meminta Karna memperkenalkan diri untuk memastikan bahwa ia berasal dari kelas bangsawan seperti anak didik Dorna. Seketika itu pula Karna merasakan hinanya menjadi rakyat jelata. Duryudana, sulung keluarga Korawa yang sudah memiliki benih iri dan benci terhadap keluarga Pandawa, memanfaatkan kesempatan baik ini dengan membela dan menyelamatkan muka Karna. Pada detik itu pula ia mendesak ayahnya Dretarastra, raja Astina, untuk mengangkat martabat Karna dengan menahbiskannya menjadi raja di Angga, wilayah Astina dengan gelar Adipati. Adirata menyambut gembira penobatan anaknya, namun ia tidak menyadari bahwa dengan demikian terkuaklah jatidiri Karna sebagai anak kusir. Sekali lagi diperlukan belaan Duryudana untuk meredam cemoohan. Drama sekejap tersebut membuat suasana memanas karena sekarang Karna telah memenuhi persyaratan kelas dan siap bertarung dengan Arjuna. Kejadian ini merupakan titik tolak perubahan jalan hidup Karna. Dalam Bharatayudha, perang besar keluarga keturunan Baratha yaitu Korawa dan Pandawa, Adipati Karna bertempur di pihak Korawa. Pada hari ke-16, Karna diangkat menjadi panglima perang dan pertempuran sengit dengan Arjuna dimulai. Pertempuran berlanjut keesokan harinya sampai Karna gugur di ujung panah Pasopati Arjuna dan berakhirlah perang besar di medan Kurusetra. Hanya melalui pendalaman puluhan lakon, pertentangan pribadi Karna dan ironi di sekelilingnya tersingkap. Dalam konteks ini sedikitnya lima hal bisa menjadi dasar perenungan. Pertama, walaupun sadar dengan keistimewaan karena terlahir dari ayah seorang dewa, nama panggilan Sutaputra yang berarti anak kusir dan Radheya, dari Radha, nama ibu asuhnya memperlihatkan bahwa Karna menjunjung tinggi kehormatan. Kedua, setelah penolakan Drona, Karna berhasil menjadi murid Parasurama yang juga guru Drona. Ketiga, kedermawanan Karna menyebabkan hilangnya kavacha dan kundala karena ia memberikannya sebagai sedekah kepada Dewa Indra yang menyamar sebagai resi yang memintanya. Ketulusan Karna meluluhkan hati Indra dan ia dianugerahi senjata ampuh Konta. Keempat, pertolongan Duryudana membuat kepasrahan total yang tidak bisa ditawar meski lambat laun Karna sadar bahwa dalam banyak hal Korawa mengedepankan
4
kelicikan dan kecurangan. Ikatan utang budi, jabatan, dan adu nasib membutakan mata hati. Kelima, setelah sadar bahwa Kunti adalah ibu kandungnya yang kemudian menjadi istri Pandu dan melahirkan tiga Pandawa (Yudistira, Bima dan Arjuna), Karna bersikeras ibunya adalah Radha istri kusir kereta dan menyesalkan kejadian pembuangan bayi yang akhirnya berakibat permusuhan saudara. Namun, sebagai tanda sikap tegar dan hormat pada Kunti, Karna berikrar bahwa ia tidak akan membunuh Pandawa kecuali Arjuna. Kepahitan dan harga diri menutup pilihan hidup. Diaspora, dalam beberapa keadaan menyerupai Karna, anak sulung bangsa yang terhisap dalam rimba perantauan. Beberapa merasa dibuang, tersisih, teraniaya, dianaktirikan, dibenci, diperas, tapi dirindukan, tergerus krisis identitas dan loyalitas. Oportunis dan apatis. Tak jarang segala cara dihalalkan dan arti kebangsaan disepelekan. Semboyan “rejeki sama dinikmati, datang prahara ditinggal mengudara” menjadi buah simalakama. Terlintaskah kesulungan membawa kerendahan hati dan tut wuri handayani? Sebagai masyarakat, pejabat dan wakil rakyat, tidakkah sadar sejarah kelabu telah menceraiberaikan anak bangsa; tidakkah mahfum bahwa ada kalanya nasionalisme sempit adalah rumus dan alat untuk menuding; adakah iri hati mencuat terhadap kesempatan yang bukan haknya; bukankah banyak aturan yang dibuat akhirnya berujung untuk dibengkokkan dan dilanggar; terlintaskah jiwa besar dan empati adalah senjata ampuh untuk merangkul anak yang hilang? Perenungan adalah upaya menilik diri sendiri. Tokoh Karna dalam judul di atas tidak jelas terbaca tanpa bantuan cermin. Hiruk pikuk wacana dwi kewarganegaraan dan pragmatisme akan segera membungkam kearifan wayang. Ketidakpedulian warisan luhur ini pun masih memungkinkan seseorang memiliki dua paspor. Ignorance rules and life goes on. Wayang tidak pretensius. Wayang bukan preskripsi dan bukan pula instruksi. Tetapi wayang mampu menanyakan pertanyaan telak untuk jawaban tepat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. *Penulis adalah diaspora Indonesia yang menetap di New Haven, Connecticut, USA.
5