Editorial Dilema Relasi Hukum Internasional dan Nasional Relasi dan interaksi antara hukum internasional dan nasional merupakan salah satu isu pen ng sekaligus kontroversial dalam hukum internasional. Mengomentari hal ini Lambertus Erades mengatakan sebagai berikut: “The rela on between interna onal and municipal law is a subject with which many genera ons of lawyers have wrestled, are westling and will con nue to wrestle” (Lambertus Erades: 1980: 376). Meskipun kedua sistem hukum ini memiliki sejumlah perbedaan yang dapat ditelusuri baik dalam prak k maupun teori, namun keduanya memiliki sejumlah k persamaan, salah satu diantaranya adalah kedua sistem hukum tersebut menjadikan negara sebagai subjek sekaligus objek kajiannya. Persoalan pokoknya adalah, apakah kedua sistem hukum itu merupakan satu kesatuan (Monisme) atau merupakan dua sistem hukum yang terpisah (Dualisme) dan bagaimana pola interaksi diantara kedua sistem hukum tersebut. Para pakar hukum internasional berbeda pendapat dalam mendudukkan masalah ini. Begitu juga prak k negaranegara termasuk Indonesia menunjukkan adanya keragaman sistem dan bentuk relasi serta interaksi diantara keduanya. Pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN (Charter of the Associa on of Southeast Asian Na ons) (selanjutnya disebut UU Ra fikasi ASEAN Charter) yang diajukan oleh sejumlah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) kepada Mahkamah Kons tusi (MK) pada tahun 2011 merupakan kasus pertama yang baik langsung maupun dak langsung membuka tabir ke dakjelasan relasi hukum nasional dan internasional dalam sistem hukum nasional Indonesia. Berbeda dengan produk legislasi pada umumnya, undangundang tentang ra fikasi melahirkan beberapa persoalan hukum yang cukup rumit, antara lain terkait dengan bentuk dari undang-undang tersebut. Undang-undang tentang ra fikasi yang pada hakikatnya merupakan formalitas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap suatu perjanjian internasional pada umumnya hanya terdiri dari beberapa pasal saja yang in nya menyatakan bahwa Indonesia terikat oleh perjanjian internasional tersebut. Para pakar hukum internasional misalnya Cassese menyebut undang-undang semacam ini dengan is lah “enabling legisla on” (Antonio Cassese: 2005: 221-222). Persoalan pokoknya adalah, apakah MK berwenang untuk menguji bentuk undang-undang seper ini, karena pada hakikatnya undang-undang tersebut hanya undang-undang dalam ar formal yang substansi normanya dak berlaku langsung kepada rakyat melainkan hanya merupakan bentuk persetujuan DPR terhadap perjanjian internasional yang telah dibuat oleh Pemerintah. Akar persoalannya terletak pada persetujuan DPR yang berbentuk undang-undang, sementara ada i
ii
Editorial
persetujuan DPR yang diberikan dak dalam bentuk undang-undang melainkan hanya semacam pernyataan saja misalnya persetujuan DPR terkait dengan pengangkatan duta besar. Meskipun pada akhirnya MK menolak permohonan pengujian undang-undang tersebut lewat Putusan No.33/PUU-IX/2011, namun persoalan persetujuan DPR atas perjanjian internasional dalam bentuk undangundang masih tetap belum terjawab. Dalam hal ini MK antara lain mengatakan: pilihan bentuk hukum ra fikasi perjanjian internasional dalam bentuk formil undang-undang, khususnya pada ASEAN Charter yang disahkan dengan UU Ra fikasi ASEAN Charter perlu di njau kembali. Putusan tersebut secara jelas menggambarkan adanya kegamangan MK dalam memosisikan secara kons tusional relasi antara hukum internasional dan nasional dengan tetap menghorma kewajiban internasional Indonesia. Putusan ini dak memberikan kejelasan mengenai relasi dan interaksi diantara keduanya. Bagaimana posisi hukum internasional misalnya hukum kebiasaan internasional atau perjanjian internasional, apakah posisinya lebih nggi atau sejajar dengan hukum nasional. Berbeda dengan prak k di beberapa negara misalnya Amerika yang mengakui bahwa hukum kebiasaan internasional adalah bagian dari hukum federal (Cur s A.Bradley: 1999: 529-531). Bahkan ada negara-negara tertentu yang menempatkan hukum kebiasaan internasional lebih nggi dari hukum nasionalnya seper di Jerman, Itali, dan Austria. Yang menarik adalah prak k Belanda yang kons tusinya dak secara eksplisit menyebutkan mengenai posisi hukum kebiasaan internasional, tapi justru menempatkan perjanjian internasional lebih nggi dari perundang-undangan nasionalnya. Prak k Indonesia terkait relasi antara hukum nasional dan internasional mencerminkan adanya penerimaan baik terhadap ajaran monisme maupun dualisme. Namun pada saat yang sama juga bisa dikatakan bahwa Indonesia tengah memprak kkan pendekatan yang lebih pragma s, yaitu pendekatan yang lebih fleksibel yang meni k beratkan kepada pokok persoalannya (subject ma er) sampai sejauhmana hal tersebut berdampak terhadap hukum nasional. Prak k legislasi Indonesia dalam penerapan norma-norma hukum internasional melalui undang-undang ataupun Keputusan Presiden memperlihatkan bahwa Indonesia menerapkan mekanisme transformasi yang diyakini sebagai bentuk konkret dari ajaran madzhab dualisme. Sementara itu, beberapa putusan peradilan di Indonesia misalnya Putusan Mahkamah Kons tusi (MK) dalam judicial review Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, MK merujuk langsung pada berbagai instrumen hukum internasional seper Universal Declara on of Human Rights (1948), Interna onal Covenant on Civil and Poli cal Rights (ICCPR 1966), Rome Statute of the Interna onal Criminal Court (ICC 1998), dan sebagainya. Prak k
Editorial
iii
tersebut menunjukkan bahwa Indonesia juga menyerap anasir-anasir dari madzhab monisme. Analisis di atas secara teori s ada benarnya paling dak dengan menggunakan analisis yang bersifat post factum. Namun perlu dikaji secara cermat apakah benar ke ka pemerintah ataupun peradilan di Indonesia menggunakan pendekatan tersebut sepenuhnya didorong oleh keharusan untuk menerapkan ajaran baik monisme atau dualisme. Prak k selama ini diklaim sebagai pelaksanaan Pasal 11 (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Uraian di atas memberikan indikasi bahwa UUD 1945 hanya mengatur mengenai kekuasaan presiden yang terkait dengan hubungan luar negeri (internasional), tapi dak menjelaskan secara jelas bagaimana posisi hukum internasional dalam kons tusi Indonesia. Jadi persoalannya bukan terletak pada apakah Indonesia harus memilih mazdhab monisme atau dualisme, melainkan pada ketentuan kons tusi Indonesia yang dak mengatur secara jelas mengenai posisi dan relasi antara hukum nasional dan internasional. Berbagai teori telah dikembangkan untuk mendudukkan posisi dan interaksi antara hukum internasional dan nasional. Meskipun belum ada teori yang memuaskan, madzhab monisme dan dualisme merupakan dua teori yang paling banyak dibahas para pakar hukum internasional dalam menjelaskan interaksi antara hukum internasional dan nasional (Werner Levi: 1991: 22). Selain itu, muncul juga teori lain misalnya teori jalan ke ga (third way), yang diperkenalkan oleh pakar hukum internasional ternama, Gerald Fitzmaurice. Pakar lain menyebutnya sebagai teori harmonisasi (Rosalie Balkin: 2005: 116-117), Fitzmaurice compromise (Wallace and Mar n-Ortega: 2009: 38), dan doktrin Fitzmaurice (Alina Kaczorowska: 2005: 39). Ke daksempurnaan teori dan keragaman prak k negara-negara mendorong terciptanya orientasi baru dalam hubungan hukum internasional dan nasional. Saat ini hukum internasional bukan merupakan hukum yang hanya mengatur hubungan antar negara berdaulat saja atau jus inter postates, tapi juga en tas selain negara. Orientasi hukum internasional sudah bergeser menuju terciptanya civitas maxima, yaitu suatu komunitas masyarakat manusia yang terdiri dari individu, negara, organisasi internasional, dan en tas internasional lainnya. Begitu juga hukum internasional telah bergeser dari hanya seperangkat norma yang mengatur hubungan antara subjeknya yang bersifat horizontal, mengarah ke norma-norma yang mengatur hubungan-hubungan yang sifatnya ver kal-jus super partes (a corpus of legal standards regula ng interna onal dealings 'from above'). Dengan perkataan lain, hukum internasional telah bergeser dari hanya sekedar hukum yang bersifat 'koordina f' menjadi hukum dengan nuansa 'subordina f'.
iv
Editorial
Menarik juga untuk dicerma bahwa dikotomi antara hukum nasional dan internasional yang dibingkai dalam teori monisme versus dualisme sebenarnya sangat dipengaruhi oleh konsep kewilayahan (teritorialitas) dalam hukum. Negara yang sejak abad ke-18 merupakan subjek hukum utama hukum internasional adalah penjelmaan dari konsep kewilayahan, karena negara adalah en tas yang menikma kedaulatan atas wilayah teritorialnya. Namun perkembangan sekarang menunjukkan bahwa hukum internasional dak sepenuhnya didasarkan atas konsep kewilayahan seiring dengan diakuinya en tas selain negara sebagai subjek hukum internasional. Dalam kaitan ini terjadi pula pergeseran paradigma (paradigm shi ) dimana sebelumnya hukum internasional sepenuhnya bertumpu kepada konsep kewilayahan sekarang mengarah kepada apa yang oleh Brolmann disebut sebagai de-territorializa on in Interna onal Law (Catherine Brolmann: 2007: 84109). Saat ini ada dua perkembangan pen ng di masyarakat internasional berkaitan dengan penerapan norma hukum internasional di ngkat nasional. Pertama, terdapat sejumlah perjanjian internasional yang secara eskplisit mewajibkan negara peserta untuk membuat undang-undang atau mekanisme hukum sejenis untuk mengimplementasikan berbagai ketentuan atau beberapa ketentuan dalam perjanjian tersebut. Misalnya ketentuan dalam 4 Konvensi Jenewa 1949 mengenai korban perang. Hal yang sama juga dijumpai dalam sejumlah konvensi internasional mengenai HAM dan instrumen hukum lainnya seper Statuta ICTY (Interna onal Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia), ICTR (Interna onal Criminal Tribunal for Rwanda), dan ICC (Interna onal Criminal Court). Kedua, beberapa ketentuan internasional yang dikategorikan sebagai jus cogens, mensyaratkan negara-negara untuk membuat aturan pelaksanaannya di ngkat nasional. Misalnya dalam kasus Furundzija (2000), ICTY mengatakan bahwa salah satu konsekuensi diakuinya larangan penyiksaan (torture) sebagai jus cogens, negara berkewajiban untuk membuat aturan pelaksanaan di ngkat nasional yang melarang praktek tersebut. Mekanisme dan prosedur yang di pakai oleh masing-masing negara untuk menerapkan hukum internasional di ngkat nasional dak seragam. Salah satu alasan utamanya karena mereka menganggap hal ini merupakan bagian dari kedaulatan negara. Namun demikian, inkorporasi dan transformasi merupakan dua mekanisme yang paling banyak diiku dan diprak kkan oleh negara. Disamping itu sekarang berkembang pula satu mekanisme yang lebih fleksibel yang oleh sebagian pakar disebut dengan pendekatan pragma s. Singkat kata, relasi hukum internasional dan nasional, terlebih lagi untuk konteks Indonesia masih tetap dilema s. Ar kel terpilih dalam Jurnal Padjadjaran edisi kali ini beberapa diantaranya mencerminkan nuansa-nuansa relasional antara hukum internasional dan nasional. Fitria membahas mengenai perlindungan pengungsi di negara ke ga: prak k
Editorial
v
Indonesia. Emmy La fah mengkaji dan mengkri si eksistensi prinsip-prinsip keadilan dalam sistem hukum perdagangan internasional. Tiara Ika Winarni mengkri si pelanggaran prinsip ik kad dak baik terhadap negosiasi Treaty on Certain Mari me Arrangements in the Timor Sea oleh Australia berdasarkan hukum internasional. Sefriani membahas mengenai pengakhiran sepihak perjanjian perdagangan internasional. Diajeng Wulan Chris an mengkaji mengenai yurisdiksi Interna onal Criminal Court terhadap warga negara non-pihak Statuta Roma dan dampaknya bagi Indonesia. Ar kel terpilih lainnya mengupas persoalan-persoalan dalam hukum ekonomi dan bisnis. Si Hapsah Isfardiyana membahas mengenai tanggung jawab direksi perseroan terbatas dalam pelanggaran fiduciary duty. Prof. Asep Warlan Yusuf, Tajudin dan Nella Sumika Putri, dan juga Amirizal mengupas wacana keadilan. Prof. Komariah Sapardjaya menyempurnakan edisi kali ini dengan topik hangat yang mengguncang jagat hukum Indonesia yaitu putusan praperadilan Hakim Sarpin dalam kasus Komjen Budi Gunawan yang ditersangkakan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Edisi kali ini ditutup dengan resensi buku mengenai Global Warming oleh Nadia As ani dan khazanah yang mengupas pemikiran Carl Von Savigny.