ANALISIS JURNAL INTERNASIONAL DAN NASIONAL Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Analisis Kurikulum & Problematika Pembelajaran Matematika
Dosen Pengampuh : Dr. Kadir, S.Pd., M.Si
OLEH YAYUK ANDRIANI G2I1 13 015
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2015
JURNAL 1 JUDUL: Kemandirian Belajar dan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Mahasiswa Program Studi Penddikan Matematika (Prosiding) OLEH : Risnanosanti Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UMB Email :
[email protected]
ABSTRAK: Penelitian ini didasarkan pada kerangka konseptual bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa berkaitan dengan kebiasaan belajar yang dilakukan. Fokus penelitian adalah perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemandirian belajar mahasiswa pada dua kelompok. Penelitian ini adalah penelitian kuasi eksperimen dengan subjek penelitian adalah mahamahasiswa yang mengambil mata kuliah matematika diskrit pada program studi pendidikan matematika FKIP Universitas Muhammadiyah Bengkulu. Data dikumpulkan pada semester ganjil tahun ajaran 2012/2013. Instrumen yang digunakan adalah tes kemampuan awal matematika tes kemampuan pemecahan masalah matematis dan skala kemandirian belajar. Secara umum hasil yang diperoleh mendukung teori tentang kemandirian belajar yang menyatakan bahwa ketika mahasiswa diberi kesempatan dan diajar untuk belajar secara mandiri akan berpengaruh positif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematisnya. Hasil ini juga menunjukkan bahwa mahasiswa menjadi agen yang aktif untuk dilatih menjadi pembelajar yang bertanggung jawab sehingga mereka tidak hanya memahami untuk apa belajar tetapi juga mengerti bagaimana caranya belajar.
LATAR BELAKANG MASALAH: Pembelajaran matematika memiliki karakteristik: pembelajaran berpusat pada guru, pendekatan yang digunakan lebih bersifat ekspositori, guru lebih mendominasi proses aktivitas kelas, latihan-latihan yang diberikan lebih banyak yang bersifat rutin. Sementara itu, kurikulum yang disepakati untuk digunakan sebagai pedoman pembelajaran menuntut sebuah proses pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa, mengembangkan kreativitas mahasiswa, menciptakan kondisi yang menyenangkan dan menantang, mengembangkan beragam kemampuan yang bermuatan nilai, menyediakan pengalaman belajar yang beragam dan belajar melalui berbuat. Karena itu harus ada upaya keras dari semua pihak yang terlibat dalam proses pendidikan untuk bersama-sama berusaha memperbaiki proses KBM yang terjadi pada saat ini. Mahasiswa harus menjadi mahasiswa yang mandiri dan mendorong program matematika sekolah dalam menciptakan mahasiswa yang memiliki kemandirian dalam belajar. Mahasiswa membangun pemahaman yang mendalam dalam belajar matematika ketika mereka dapat mengontrol belajarnya, dengan cara menentukan tujuan belajar, memonitor kemajuannya, menilai dan merefleksi proses berpikirnya, percaya diri terhadap kemampuannya, dan berkeinginan dan tekun dalam menghadapi kesulitan.
SOLUSI: Menyikapi masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan matematika, dan harapan yang ingin dicapai dalam pembelajaran matematika, maka diperlukan upaya
yang
inovatif
untuk
menanggulanginya.
Salah
satu
pendekatan
pembelajaran yang didasari oleh faham konstruktivisme adalah Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM). Pembelajaran ini memberikan suatu lingkungan pembelajaran dengan masalah yang menjadi basisnya, artinya pembelajaran dimulai dengan masalah kontekstual yang harus dipecahkan. Masalah dimunculkan sedemikian hingga mahasiswa perlu menginterpretasi masalah, mengumpulkan informasi yang diperlukan, mengevaluasi alternatif solusi, dan mempresentasikan solusinya. Ketika mahasiswa mengembangkan suatu metode
untuk menyusun suatu prosedur, mereka mengintegrasikan pengetahuan konsep dengan keterampilan yang dimilikinya. Dengan demikian secara keseluruhan mahasiswa yang membangun pengetahuan mereka, dengan bantuan pengajar selaku fasilitator. Lingkungan
belajar dengan PBM memberikan banyak
kesempatan kepada mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan matematis mereka, untuk menggali, mencoba, mengadaptasi, dan merubah prosedur penyelesaian, termasuk memverifikasi solusi, yang sesuai dengan situasi yang baru diperoleh. Sementara dalam kelas konvensional mahasiswa selalu dihadapkan dengan teori, contoh, dan latihan yang terbatas implementasinya dalam situasi yang tidak dikenal. Hal ini memperlihatkan bahwa untuk mengembangkan
kemampuan
pemecahan
masalah
matematis
mahasiswa
dibutuhkan kemandirian belajar mahasiswa yang tinggi. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis dan
kemandirian
belajar
mahamahasiswa
ditinjau
berdasarkan
model
pembelajaran berbasis masalah dan model pembelajaran konvensional.
METODE PENELITIAN:
Penelitian
ini
merupakan
penelitian
quasi
eksperimen
dengan
mengggunakan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang di kenal dengan pretest–postest control group design.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa program studi pendidikan matematika yang sedang mengambil mata kuliah matematika diskrit di semester V tahun ajaran 2012/2013 sebanyak 4 kelas. Sedangkan sampel dipilih 2 kelas dengan cara acak kelas.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes kemampuan awal matematika berupa soal-soal materi prasyarat bagi matakuliah matematika diskrit, tes kemampuan pemecahan masalah matematis berupa soal uraian yang terdiri dari lima soal dan skala kemandirian belajar.
HASIL PENELITIAN: Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan terkait kemampuan pemecahan masalah matematis matematis serta kemandirian belajar mahasiswa. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah secara signifikan lebih baik dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemandirian belajar mahasiswa dibandingkan pembelajaran konvensional. Hasil temuan ini memperkuat dan melengkapi hasil-hasil penelitian terdahulu tentang PBM antara lain penelitian yang dilakukan oleh Juandi (2006), Herman (2006), Dwijanto (2007), Dewanto (2008) yang menyimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada pembelajaran konvensional dalam meningkatkan kemampuan matematis maupun berpikir matematis pada mahasiswa.
KESIMPULAN: Penelitian ini telah mengungkap bahwa kualitas kemampuan pemecahan masalah matematis serta kemandirian belajar mahasiswa yang mendapat pembelajaran matematika berbasis masalah lebih baik daripada mahasiswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Kesimpulan ini memberikan implikasi bahwa PBM layak dipergunakan sebagai alternatif untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemandirian belajar mahasiswa. Selain itu kegiatan diskusi dan presentasi dalam PBM selain menjadi media untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan kemandirian belajar mahasiswa juga menjadi media pengembangan kepercayaan diri mahasiswa akan kemampuannya karena mereka mendapatkan lingkungan belajar yang lebih dinamis, demokratis dan menyenangkan.
JURNAL 2 JUDUL: Kesulitan Siswa Menengah 2 dalam Menyelesaikan Masalah Non-Rutin OLEH : Kai Kow Joseph YEO (Ph.D) National Institute of Education Nanyang Technological University 1 Nanyang Walk Singapore 637616 Tel: (65) 6790 3912 Fax: (65) 6896 9417 Email:
[email protected] ABSTRAK : Sebagai bagian dari studi pada pemecahan masalah matematika sekunder 2 (13-14 tahun) siswa di Singapura, 56 Sekunder dua siswa dari sepuluh sekolah menengah berpartisipasi dalam penelitian ini. Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengeksplorasi kesulitan yang dihadapi oleh 56 Secondary 2 siswa ketika memecahkan masalah. Wawancara ini dianalisis menggunakan struktur berasal dari Newman (1983) dan Ransley (1979). Dari wawancara kesulitan yang dialami oleh Secondary 2 siswa yang dicegah dari mendapatkan solusi yang tepat adalah: (a) kurangnya pemahaman dari masalah yang diajukan, (b) kurangnya pengetahuan strategi, (c) ketidakmampuan untuk menerjemahkan masalah ke bentuk matematis, dan (d) ketidakmampuan untuk menggunakan matematika yang benar. KESIMPULAN Hal ini diamati selama wawancara bahwa siswa berada di kebiasaan mencoba untuk memecahkan masalah saat ini hanya menggunakan satu heuristik. Mereka tidak menunjukkan fleksibilitas apapun dalam mencari untuk memecahkan
masalah dengan menggunakan lebih dari satu heuristik. Praktek ini memiliki implikasi untuk spesialis kurikulum dan guru pendidik. Jika kurikulum pemecahan masalah adalah menjadi berhasil dibawa ke ruang kelas di sekolahsekolah Singapura, praktik-praktik ini mungkin harus hati-hati diperiksa dan guru matematika dibuat sadar bagaimana mereka berhasil dapat menerapkan pemecahan masalah matematika di kelas. Kesulitan yang dialami oleh 27 Secondary 2 siswa memiliki implikasi penting bagi guru kelas. Format wawancara sederhana yang digunakan dalam penelitian ini adalah mudah diterapkan dan dapat diadaptasi dan digunakan oleh guru kelas untuk menganalisis kesulitan siswa dan memulihkan kesulitan mereka. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa siswa harus memiliki pengetahuan yang relevan dan dapat mengkoordinasikan penggunaan keterampilan yang tepat untuk memecahkan masalah. Selain itu, faktor pengetahuan (Kroll & Miller, 1993) seperti pengetahuan algoritmik, pengetahuan linguistik, konseptual pengetahuan, pengetahuan skema dan pengetahuan strategis adalah ciri-ciri penting dari kemampuan pemecahan masalah.. Bagi para guru matematika untuk membantu siswa mereka mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, adalah penting bahwa menyadari kesulitan pertama mereka. Sebagai studi ini telah menunjukkan bahwa diagnostik wawancara (Lankford, 1974) dapat memberikan pengetahuan yang komprehensif dari proses pemikiran mahasiswa. Tanggapan wawancara berguna bahwa mereka dapat membantu para guru matematika untuk fokus pada kesulitan siswa selama perbaikan. JURNAL 3 JUDUL: Pengaruh Pendekatan SAVI terhadap Kemampuan Komunikasi dan Penalaran Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa. OLEH :Haerudin Guru SD Yakeswa Bandung
[email protected]
ABSTRAK: SAVI kepanjangan dari Somatis, Auditori, Visual, dan Intelektual merupakan sebuah pendekatan dalam pembelajaran yang diharapkan mampu memberikan kontribusi yang baik dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan penalaran matematik serta kemandirian belajar
siswa SMP. Dalam
pendekatan SAVI seluruh indera dipergunakan dalam belajar. Kemampuan mendengar, membaca, menyimak,
merefleksi diri,
mengatakan sesuatu,
melakukan tindakan, dan mempergunakan intelektual merupakan bagian penting dari pendekatan SAVI. Dengan kemampuan tersebut, akan memudahkan siswa dalam mengkomunikasikan matematika menggunakan daya nalarnya sehingga mudah dipahami dan akhirnya akan menumbuhkan rasa kemandirin belajar yang tinggi.
LATAR BELAKANG MASALAH: Baik kemampuan komunikasi dan penalaran matematik sangat berperan dalam membuat siswa mandiri dalam belajar. Dengan kemampuan tersebut diharapkan siswa akan semakin senang dalam belajar matematika, semakin terpacu mempelajarinya dan baik pola pikirnya, dan semakin tertantang dalam menyelesaikan soal-soal matematikanya. Dengan demikian, siswa akan lebih mandiri dalam belajar dan selalu berusaha agar dirinya mampu menguasai matematika dengan baik. Namun kenyataan di lapangan untuk meningkatkan kemampuan penalaran dan komunikasi matematik serta kemandirian belajar tidaklah mudah. Hal ini karena sebagian besar guru masih mengajar dengan cara yang biasa sehingga proses pembelajaran masih terfokus pada guru dan kurangnya inovatif dalam pembelajaran. Menciptakan pembelajaran yang inovatif, bermutu, menyenangkan, dan pembelajaran yang terfokus pada siswa sesuai dengan tingkat kemampuan siswa sangat diperlukan.
SOLUSI: Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan penalaran matematik serta kemandirian belajar siswa adalah
pendekatan SAVI, karena pendekatan SAVI lebih berorientasi pada siswa yang menggabungkan gerak fisik dengan aktivitas intelektual dan melibatkan semua indera sehingga akan berpengaruh besar pada pembelajaran. SAVI kepanjangan dari Somatis, Auditori, Visual, dan Intelektual. Menurut Meier (2002: 91-92) bahwa unsur-unsur SAVI mudah diingat, Somatis: belajar dengan bergerak dan berbuat, Auditori: belajar degan berbicara dan mendengar,Visual: belajar dengan mengamati mengambarkan, dan Intelektual: belajar dengan memecahkan masalah dan merenung.
HASIL PENELITIAN: Pendekatan SAVI memberikan peluang lebih besar bagi siswa dalam mengembangkan kemampuan penalaran dan komunikasi matematiknya. Seluruh alat
indera
dilibatkan
dalam
proses
pembelajaran.
Unsur
somatisnya
dikembangkan agar memiliki sikap kreatif dan berjiwa berani mengemukakan pendapatnya. Auditorinya juga diarahkan agar siswa memiliki kemampuan dalam berbicara dan teliti dalam mendengarkan setiap apa yang diungkapkan orang lain. Visualisasinya diarahkan memiliki pengamatan yang baik sehingga mampu memberikan tanggapan yang terarah dan sesuai dengan apa yang diharapkan. Akhirnya unsur intelektual dikembangkan agar siswa mampu berpikir dengan baik, kreatif, dan menyelesaikan permasalahan dengan baik. Bila pendekatan SAVI dilaksanakan dengan baik maka bukan hanya kemampuan penalaran dan komunikasi matematiknya yang meningkat, akan tetapi kemandirian belajar juga akan meningkat. Akhirnya apa yang menjadi tujan dalam pembelajaran akan tercapai dengan baik.
KESIMPULAN: Berdasarkan latar belakang masalah, maka Pendekatan SAVI diasumsikan berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan penalaran dan komunikasi matematik serta kemandirian belajar siswa. Tentunya bila pendekatan SAVI dilaksanakan dengan baik dan benar.
JURNAL 4 JUDUL: Pengaruh
Pendekatan
RME
dan
Kemandirian
Belajar
terhadap
Kemampuan Matematis Siswa (Prosiding) OLEH :Ahmad Fauzan dan Yerizon Jurusan Matematika FMIPA Universtas Negeri Padang Jl. Prof. Dr. Hamka, Air Tawar Padang Email:
[email protected]
LATAR BELAKANG MASALAH: Kerangka asesmen TIMSS dan PISA difokuskan pada kemampauan pemecahan masalah dan penalaran matematis, maka dapat disimpulkan bahwa pada umumnya siswa-siswa Indonesia lemah dalam kedua aspek kemampuan matematis tersebut. Analisis lebih lanjut terhadap hasil studi PISA menunjukkan bahwa pada umumnya pencapaian siswa Indonesia berada pada level rendah dan hampir tidak ada yang mencapai dua level tertinggi [3], [4]. Kondisi ini merefleksikan bahwa siswa Indonesia masih lemah dalam menyelesaikan soal-soal matematika yang melibatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking). Kondisi seperti yang ditunjukkan oleh hasil studi internasional di atas juga ditemukan di SMPN 8 Padang. Pada umumnya kemampuan pemecahan masalah dan penalaran siswa belum berkembang secara optimal. Hasil observasi awal di sekolah ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa mengalami kesulitan ketika dihadapkan pada soal-soal pemecahan masalah dan soal-soal yang menuntut penalaran matematis. Temuan di atas sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
yang menunjukkan bahwa kemampuan matematis, terutama
kemampuan pemecahan masalah dan penalaran siswa kelas VIII SMPN 8 Padang belum berkembang secara optimal. Salah satu penyebab dari masalah ini diduga disebabkan oleh metode pembelajaran yang digunakan oleh guru masih cenderung bersifat mekanistik. Pada pembelajaran yang mekanistik, proses pembelajaran
dimulai dengan guru menerangkan algoritma disertai beberapa contoh, kemudian siswa mengerjakan latihan sesuai dengan contoh yang diberikan guru. Siswa hampir tidak pernah diberi kesempatan oleh guru untuk memahami rasional dibalik algoritma-algoritma yang diajarkan kepada mereka. Guru lebih memfokuskan siswa untuk mengingat “cara-cara” yang mereka ajarkan dalam memecahkan
soal
daripada
menstimulasi
mereka
untuk
mengonstruksi
pengetahuan. Akibatnya, pengetahuan yang diperoleh siswa kurang bermakna dan cepat terlupakan. Penyebab lain adalah evaluasi yang dilaksanakan oleh guru-guru matematika di sekolah cenderung terfokus pada aspek kognitif tingkat rendah (C1, C2, dan C3). Dengan kata lain, guru-guru matematika jarang memberikan soalsoal matematika yang berbentuk pemecahan masalah atau yang menuntut penalaran matematis. Hal ini terutama dipengaruhi oleh bentukbentuk soal yang diberikan pada Ujian Nasional (UN).
SOLUSI: Setelah menganalisa subtansi dari permasalahan, diyakini bahwa pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) sangat potensial untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan penalaran matematis siswa. Realistic Mathematics Education (RME), adalah suatu pendekatan dengan paradigma bahwa matematika adalah suatu kegiatan manusia (human activities), dan belajar matematika berarti bekerja dengan matematika (doing mathematics). Pendekatan ini dikembangkan oleh Freudenthal Institute di Belanda sejak lebih dari tiga puluh tahun yang lalu dan menunjukkan hasil yang baik (lihat hasil studi TIMSS dan PISA dalam tiga periode terakhir). Dalam RME siswa belajar mematematisasi masalah kontekstual dan proses disebut horizontal matematisasi.Pada mulanya siswa akan memecahkan masalah secara informal (menggunakan bahasa mereka sendiri). Setelah beberapa waktu, yaitu setelah siswa familiar dengan prosesproses pemecahan yang serupa (melalui simplifikasi dan formalisasi), mereka akan menggunakan bahasa yang lebih formal, dan di akhir proses siswa akan menemukan suatu algoritma. Proses yang dilalui siswa sampai mereka menemukan algoritma disebut vertical matematisasi. Berdasarkan uraian di atas,