Draf Seminar Hasil Penelitian LAPORAN HASIL PENELITIAN DOSEN MUDA
KETERKAITAN HUJAN DI NANGGO ACEH DARUSSALAM DENGAN SUHU MUKA LAUTAN PASIFIK; (Bahagian dari Upaya Mitigasi Dampak Kekurangan Air Pada Budidaya Padi)
OLEH Drs. Ahmad Farhan, M.Si Wardah, SPd, M.Bio DIBIAYAI OLEH : Universitas Syiah Kuala Nomor BCHP : 427/UN11/S/LK-PNBP/2014
PENDIDIKAN MIPA PRODI FISIKA dan BIOLOGI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA November 2014
ABSTRACT Kata kunci: Hujan, NAD, ENSO, IOD, SST, Prediksi, Musim, Pasifik, India ABSTRAK NAD adalah propinsi Indonesi di kawasan ujung pulau Sumatera. Posisi 60 LU. Giografis diapit oleh benua Asia – Australia dan daerah pertemuan lautan Pasifik – India. Giografis terdiri dari datran rendah sampai tinggi. Keunikan tersebut, menyebabkan kondisi iklim perlu ditinjau secara spesifik. Aktifitas Monson dan Pasat equatorial merupakan variabel yang berpengaruh terhadap Ch dan keadaan hujan di walayah tersebut. Kajian keterkaitan variabel prediktan dan prediksi dikemas dalam tema “Keterkaitan Hujan Di Nanggo Aceh Darussalam Dengan Suhu Muka Lautan Pasifik; Bahagian dari upaya mitigasi dampak kekurangan air pada budidaya Padi”. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendapatkan variabel prediktan secara ilmiah untuk digunakan dalam kegiatan lanjutan guna membangun model prediksi musim yang berlaku spesifik lokasi di NAD. Analisis korelasi spasial dengan program prediksi iklim NCL. Indek SST Pasifik dan India digunakan sebagai prediktan dan indek Ch seasenal NAD sebagai variabel terikat. Periode analisis dikelompokkan atas 4 periode musim; DJF, MAM, JJA dan SON. Hasil analis menunjukkan Ch seasenal NAD berkorelasi berkorelasi negatif dengan SST Pasifik dan India dalam periode MAM, JJA dan SON. Analisis dilanjutkan dalam periode 3 musim yg berkorelasi tersebut, mengunakan prediktan lag 1 – 3 mont leaf. Hasil anisis lanjut diperoleh, korelasi spasial antara Ch seasenal NAD dengan SST Pasifik berlangsung dalam periode Maret – Mai dan September – November. Keterkaitan Ch Seanal NAD dengan SST India berlangsung dalam periode juli – Oktober. Dengan demikian disimpulkan Ch seasenal NAD terkait erat dengan SST Pasifik dan India dengan koefisien korelasi -0,8. Indek SST Pasifik dan India dapat digunakan untuk meprediksi keadaan musim hujan di NAD sampai 3 bulan kedepan, sehingga bermanfaat untuk peningkatan mitigasi bencana yang disebabkan oleh anomali iklim. Dibutuhkan analisis spesifik lokasi untuk membangun model prediksi yg pretisi dan akurat serta tingkat keandalan (skill) tinggi.
PENDAHULUAN Variasi Ch (Curah hujan) DI (Daerah Irigasi) Rentang dipengaruhi Muson Asia - Australia dan Passat equator lautan Pasifik dan samudera India (Prabowo dan Nicholls, 2002; Lim dan Kim. 2007), sehingga anomali ENSO (Aldrian. E.200.) dan meridian dipole di lautan India (Indian Ocean Dopole; IOD) mempengaruhi anomali iklim di Indonesia.
Metode debit andalan dan peluang Ch dalam perencanaan tanam di DI irigasi, berlaku dengan baik pada saat musim normal.
Apabila terjadi
penyimpangan iklim, asumsi peluang hujang tidak terpenuhi; debit yang diharapkan sulit terpenuhi. Mengingat isu penyimpangan iklim sudah semakin nyata, peluang frekuensi atau intensitasnya kemungkinan akan meningkat (Murphy, 2007), maka dibutuhkan model prediksi Ch yang merepresentasikan keadaan musim. Prediksi musim untuk beberapa bulan ke depan di kawasan tipe iklim Muson, dapat dilakukan dengan menggunakan prediktor anomali SST (Sea Surface Temperature) Pasifik dan India.
Pengkajian dalam skala luas telah
banyak dilakukan. Penelitian adaptif yang konferhensif untuk skala lokal perlu dilakukan untuk menjembatani dest study dengan alpikasi lapangan. DI Rentang propinsi Jawa Barat, dengan luas areal pengairan 90.000 Ha. Sumber air irigasi dari sungai Cimanuk, disadap di bendung Rentang. Pluktuasi debit Cimanuk mengikuti variasi Ch di kawasan DAS, sehingga areal DI rentang rawan banjir pada MH (Musim Hujan) dan rawan kekeringan pada MK (Musim Kemarau). Mitigasi resiko bencana yang berhubungan dengan kondisi iklim, dapat dilakukan melalui prediksi Ch yang terkait dengan kondisi musim. Tulisan ini ditulis untuk mengkaji (1) kontribusi Ch terhadap supplai air di DI Rentang (2) keterkaitan antara Ch DI Rentang dengan SST Pasifik dan India, dan menggunakannya untuk membangun model prediksi Ch DI Rentang. Hasil pengkajian menjadi dasar ilmiah untuk memperbarui metode yang digunakan dalam kegiatan perencanaan tanam sesuai dengan kondisi musim. Model yang dibangun secara spesifik lokasi, diharapkan aplikasitif ditingkat operasional.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan Januari 2009 sampai Mei 2010, menggunakan data sekunder (1) peta jaringan irigasi DI Rentang (2) Ch bulanan dari 10 stasion pengamat di kawasan pengairan periode pengamatan 1974 – 2005 dan (3) SST bulanan resolusi 1 x 1 derajat lintang-bujur lautan Pasifik dan India periode 1974 2005. Alat yang digunakan adalah seperangkat personal komputer, perangkat microsoft office 2007, Minitap 14, NCL.
Analisis kontribusi Ch terhadap ketersediaan air DI Rentang, dilakukan berdasarkan tinggi Ch dengan kebutuhan konsumtif tanaman padi.
Analisis
dilakukan untuk periode masa tanam MH dan MK. Keterkaitan antara Ch DI Rentang dengan SST Pasifik dan India, dilaksanakan dalam tiga tahap analisis. Tahap 1. Ch dari 10 stasion dikelompokkan dalam 4 periode musiman. Principal Component Analysis dilakukan terhadap Ch 3 moon average DJF (Desember-Januari-Februari), MAM (Maret-April-Mai), JJA (Juni-Juli-Agustus) dan SON (September-Oktober-November). Variabel spasial baru yang ortogonal dan paling besar merepresentasikan karakteristik fisik dari variabel fungsi asal EOF 1 (Empirical Orthogonal Fungtions) digunakan sebagai indek rata-rata Ch musiman. (Huth dan Pokorná, 2005; Lim dan Kim 2007; Manatsa at al. 2010). Tahap 2. Analisis korelasi spasial antara indek rata-rata Ch dengan ratarata anomali SST menggunakan periode 3 moon average yang sama (Lag 0). Interval periode yang nilai korelasi spasial ≥ 5 dianalisis lebih detil. Periode analisis dibuat berbeda 1 - 6 lag (1 - 6 month lead time) antara rata-rata Ch musiman dengan rata-rata SST bulanan. Tahap 3. Data rata-rata SST bulanan dari lautan Pasifik dan India, diektrak pada kawasan korelasi spasial ≥ 5. Rata-rata SST lag 1 - 6 digunakan sebagai pasangan rata-rata Ch musiman untuk dianalisis korelasi. Pasangan yang nilai korelasi segnifikan pada taraf kepercayaan ≤ 5 %, digunakan untuk menbangun model prediksi yang dikembangkan dari persamaan regresi (Smith at al. 2000). Bentuk model prediksi Ch DI Rentang adalah sebagai berikut: Chi = a + b SSTPlagj + c SSTI + d SSTIndaus Dimana: a
= konstanta
Chi
= Ch musiman DI Rentang periode ke i
SSTPlagj
= SST Lautan Pasifik pada lag ke j
SSTIlagj
= SST lautan India pada Lag ke j
SSTIndaus = SST lautan Indonesia - Australia pada lag ke j Model prediksi dianggap sesuai, apabila segnifikans pada taraf kepercayaan ≤ 5 %. Tingkat keandalan model ditinjau dari koefisien determinasi (R2). HASIL DAN PEMBAHASAN Curah Hujan DI Rentang dan pola Empirical Orthogonal Fungtions
Ch tahunan di DI Rentang 1.309 - 1.792 mm; tertinggi di stasion pengamatan Indramayu dan terendah di stasion pengamatan Bulak. Ditinjau dari kebutuhan air untuk budidaya padi, bulan basah (Ch > 200 mm/bulan) berlangsung selama 3 bulan berturutan dan bulan kering (Ch < 100 mm/bulan) berturutan terjadi selama 6 bulan. Berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman, tipe iklim DI Rentang temasuk dalam kategori kelas D.
Ch memberikan kontribusi
yang cukup segnifikan untuk kegiatan budidaya padi pada MT MH (Oktober Maret). Pada awal MT, Ch masih rendah rendah, sehingga proses olah tanah masih mengandalkan air irigasi. Memasuki November, Ch sudah memenuhi 75 % kebutuhan tanaman.
Desember - Februari, Ch bulanan sudah mencukupi
kebutuhan konsumtif tanaman.
Meskipun demikian, pengirigasian masih
dibutuhkan pada Ch dasarian < 65 mm. Supplai air sudah tidak dibutuhkan lagi pada bulan Maret, karena memasuki pematangan. MT MK (April - Agustus), Ch < dari kebutuhan konsumtif tanaman. Kontribusi Ch untuk kebutuhan konsumtif tanaman sekitar 30 % sehingga peranan irigasi menjadi dominan. Supplai debit Cimanuk yang tidak stabil, menyebabkan padi yang ditanam terlambat di areal golongan 3 terutama di lokasi hilir, rentang terhadap kekeringan (Farhan dan Kartaatmadja 2001). Ch DI Rentang Kebutuhan konsumtif padi
mm 400
Pola EOF 1 Inverse Pola EOF 1
300 200 100 0 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
a
b
Gambar 5.4 (a) Pola Ch DI Rentang, (b) Pola EOF 1 dan Pola EOF 1 Inverse DI Rentang termasuk zona iklim Munson, yang memiliki pola hujan satu puncak (Gambar 5.4).
MH berlangsung dalam periode November – April.
Puncak hujan terjadi pada bulan Januari.
Dalam periode tersebut, matahari
berada di belahan bumi selatan.
Pemanasan benua Australia menyebabkan
terbentuk palung tekanan rendah.
Massa udara lembab (Muson barat laut)
bergerak dari palung tekanan tinggi di benua Asia bergerak ke benua Australia.
Inter Tropical Convergence Zona (ITCZ) berada di wilayah Indonesia.
MH
berlangsung dalam siklus Muson barat laut (Moron at al. 2009). MK berlangsung dalam periode Mei – Oktober. Dalam periode ini, intensif pemanasan terjadi di belahan bumi utara. Palung tekanan rendah terjadi di benua Asia sedangkan palung tekanan tinggi di benua Australia. Muson tenggara dari Australia ke Asia menguat dalam periode Mei - Juli. Wilayah ITCZ bergeser ke belahan bumi utara. Kawasan divergen berada di Indonesia, sehingga dalam periode tersebut MK terjadi di zona iklim Muson. Indek rata-rata Ch dari EOF 1 memiliki pola yang berlawanan dengan pola Ch Musonal, sehingga dilakukan inverse untuk menyesuaikan dengan pola data asal (Gambar 5.3.b). Penyesuaian pola dilakukan melalui perkalian dengan nilai 1, sehingga nilai skalarnya tidak mengalami perubahan. Keterkaitan Antara Ch DI Rentang dengan SST Pasifik dan India Korelasi spasial antara indek rata-rata Ch DI Rentang dengan rata-rata SST Pasifik dan India terlihat lemah dalam periode DJF (Gambar 5.5).
Dalam
periode ini, sistem palung tekanan rendah dan tekanan tinggi lebih intensif di sekitar wilayah Nino-1 2 (Boer dan Faqih, 2005; Soler at al. 2009), yang posisinya lebih dekat dengan Amerika latin. Oleh sebab itu, Angin Walker dari interaksi lautan - atmosfir di Pasifik equator, tidak berpengaruh kuat terhadap Ch DI Rentang. Ch DI Rentang lebih didominasi oleh Muson barat laut. Berbeda dengan kawasan Asia timur, Ch periode DJF (puncak ENSO) berkaitan erat dengan SST Pasifik, bahkan keterkaitan berlanjut sampai periode JJA (Luo et al. Tanpa tahun). Akan tetapi kawasan spesifik dari lautan Pasifik tidak dijelaskan.
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang DJF Dengan anomali SST DJF
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang JJA Dengan anomali SST JJA
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang MAM Dengan anomali SST MAM
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang SON Dengan anomali SST SON
Gambar 5.5 Peta korelasi spasial rata-rata indek Ch musiman dengan anomali SST Pasifik dan India. Garis merah merupakan kawasan anomali SST yang memiliki korelasi tinggi. Maret - November (periode MAM, JJA dan SON), terjadi keterkaitan yang kuat (nilai korelasi spasial ≥ ± 0,6) antara indek rata-rata Ch DI Rentang dengan SST Pasifik, India dan perairan Indonesia - Australia (Indaus). Pada periode MAM, keterkaitan antara Ch DI Rentang dengan SST Pasifik terlihat kuat. Nilai korelasi spasial ≥ - 0,6 terkosentrasi di sekitar wilayah Nino-4, yang merupakan kawasan yang mempengaruhi Ch di Indonesia (Boer et al. 1999 dan Prabowo dan Nocholl, 2002). Dalam periode tersebut, matahari berada di equator menuju ke kutup utara. Muson barat laut melemah, sehingga Ch didominasi oleh sirkulasi Walker. SST Pasifik timur lebih rendah dari suhu dataran kepulauan Indonesia. Angin Passat barat laut dari kawasan Nino-4 memasuki wilayah Indonesia. Ch terjadi di kawasan konvergensi sekitar wilayah Indonesia (AG BOM, 2006.a). Periode JJA dan SON, Ch DI Rentang, tidak hanya berhubungan dengan SST Pasifik (daerah Nino), tetapi juga berkaitan dengan SST India barat (daerah terjadinya IOD) dan dengan SST di sekitar perairan Indaus (samudera Indonesia bagian timur dan perairan barat daya Australia). Anomali SST India periode Muson sammer (Juni - Agustus) berkorelasi segnifikan terhadap anomali total Ch di kawasan northeastern India sampai Bangladesh (Fujinami et al. 2010). Periode JJA, Matahari dari belahan bumi utara menuju equator. Periode ini, merupakan siklus Munson tenggara dari benua Australia menuju benua Asia.
Angin Walker dari equator Pasifik, bergabung dengan Monsun tenggara menuju benua Asia. Zona konversi berada di benua Asia dan wilayah iklim Monsun di Indonesia mengalami MK. Oleh sebab itu, keterkaitan Ch DI rentang dengan SST Pasifik tidak sekuat dalam periode MAM. Ch DI Rentang lebih kuat pengaruhnya dengan SST di sekitar perairan Indonesia dan Australia (SST Indaus). Koralasi spasial antara Ch DI Rentang dengan SST Indoaus bernilai positif. Ini berati, hujan di DI Rentang akan terjadinya hujan, apabila perairan Indaus menghangat. Ch akan tinggi apabila SST Indaus tinggi. Matahari dari equator menuju belahan bumi selatan dalam periode SON. ITCZ mulai bergeser ke arah kepulauan Indonesia. Pemanasan benua Australia mulai terjadi, yang merupakan awal terjadinya Muson Asia - Australia. Pada periode awal, Muson timur laut belum nyata. Ch DI Rentang masih didominasi oleh angin Passat barat laut.
Memasuki November - Januari Muson tersebut
menguat, bertemu dengan angin Passat dari wilayah Nino-4 dan bersama-sama bergerak ke arah equator, kemudian berubah menjadi Monsun barat laut ketika memasuki belahan bumi selatan. Muson barat laut yang hangat dan lembab mengalami kondensasi di daerah konveksi, sehingga terjadi banyak awan dan menghasilkan hujan. Selama siklus Monsun barat laut, zona iklim monsun di indonesia mengalami MH (Naylor et al. 2002). Keterkaitan Ch DI Rentang dengan SST Pasifik dan India dalam periode JJA dan SON menjadi indikasi bahwa anomali SST di wilayah Nino (ENSO) dan anomali SST di lautan India (IOD), akan menyebabkan anomali Ch DI rentang. El Nino menyebabkan reduksi Ch yang segnifikan periode September – Desember (Hamada et al. 2002), dan dampaknya masih berlangsung sampai periode Desember - Februari (Moron et al. 2009).
IOD positif akan menyebabkan
pengurangan Ch yang puncaknya terjadi pada bulan Oktober. Keadaan sebaliknya berlaku apabila La Nina dan IOD negatif. Apabila IOD negatif terjadi bersamaan dengan EL Nino, maka dampak El Nino di Indonesia akan berkurang (Boer dan Wahab, 2007; Manatsa at al. 2010; Nagura dan Konda, 2007). 5.4.2 Model Prediksi Curah Hujan DI Rentang Analisis detil keterkaitan Ch DI Rentang dengan STT Pasifik dan India dikembangkan dari interval Maret - November (Lampiran 5.7.a - 5.7.j). Diperoleh
8 deret periode Ch musiman yang nilai korelasi spasialnya segnifikan yaitu periode MAM, AMJ, MJJ, JJA, JAS, ASO dan OND. Kombinasi periode Ch musiman tersebut digunakan untuk membangun model prediksi Ch DI Rentang. Masing-masing musim dianalisis menggunakan SST bulanan lag 1 - 6 bulan ke belakang. Sedangkan satu periode Ch musiman, yaitu NDJ, nilai korelasi spasial SST dengan Ch < 5 untuk semua lag yang dianalisis, sehingga periode tersebut tidak digunakan untuk membangun model prediksi. Tabel 5.2 Zona korelasi spasial antara indek rata-rata Ch DI Rentang dengan anomali SST Pasifik dan India. Zona Korelasi Spasial Seasen
MAM AMJ MJJ JJA JAS ASO SON OND
Zona Lautan Pasifik (o)
Zona Lautan India (o)
5 S - 20 N ; 155 E - 140 W 10 S - 10 N; 160 - 180 E 10 S - 20 N; 155 E - 140 W 15 S - 20 N; 155 E - 140 W 20 S - 10 N; 160 E - 155 W 10 S - 15 N ; 160 E - 90 W 10 S - 15 N; 150 E - 120 W 5 S - 10 N ; 160 E - 110 W
10 S - 10 N; 60 - 80 E 10 S - 15 N; 60 - 80 E -
Zona Samudera Indonesia/lautan Australia (o) 15 - 30 S; 90 - 110 E 0 - 30 S ; 100 - 130 E 0 - 15 S ; 100 - 140 E 5 - 20 S ; 100 - 150 E
Rata-rata SST Pasifik, India dan Indaus (Lampiran 5.8) diekstrak dari zona-zona spesifik yang mempengaruhi CH DI Rentang (Tabel 5.2 dan Lampiran 5.9). Ch DI Rentang periode MAM dan AMJ berkaitan dengan SST Pasifik wilayah Nino-4. Periode MJJ dan JJA, berhubungan dengan SST Pasifik wilayah Nino-4 dan STT Indaus. Periode JAS keterkaitan Ch DI Rentang terjadi dengan SST wilayah Nino-4 dan lautan India wilayah barat. Periode ASO Ch berkaitan dengan SST wilayah Nino-3 4 dan lautan India barat. SST di wilayah pertemuan Nino-3 4, dan Indaus berkorelasi dengan Ch DI Rentang periode SON. SST di Wilayah Nino-3 4 dan Indaus, berkaitan dengan Ch DI Rentang periode OND. Wilayah Nino-4, Nino-3 4 dan pertemuan Nino-3 4 merupakan kawasan terjadinya ENSO. Anomali SST di wilayah Nino-3 sebesar 0,5/-0,5 0C (Selvaraju, 2003) dan di wilayah Nino-3 4 (Boer et al. 1999; Prabowo dan Nicholls, 2002), merupakan indikasi kemungkinan akan terjadi El Nino/La Nina untuk periode
September - Desember. Keterkaitan Ch DI Rentang dengan wilayah tersebut dan dengan lautan India bagian barat, memperkuat kenyakinan bahwa peristiwa ENSO dan IOD akan menyebabkan anomali Ch DI Rentang. Tabel 5.3 Model prediksi Ch DI Rentang Periode Maret - Desember yang segnifikan pada taraf kepercayaan ≤ 0,05. Periode
R2
Lag
α
(%)
MAM AMJ MJJ JJA JAS ASO SON OND
1 - 6 month lead time 1 - 3 month lead time 1 - 4 month lead time 1 - 3 month lead time 1 - 3 month lead time 1 - 4 month lead time 1 - 6 month lead time 2 - 6 month lead time
23,90 16,70 37,10 25,70 24,60 18,70 19,40 26,10
- 36,50 - 32,50 - 43,40 - 30,30 - 33,90 - 36,30 - 52,20 - 46,10
0,000 - 0,004 0.001 - 0.02 0,000 - 0,001 0,01 0,002 - 0,017 0,001 - 0,050 0,000 - 0,044 0,000 - 0,013
Model prediksi Ch musiman periode 3 bulanan untuk DI Rentang dibangun dengan menggunakan persamaan regresi.
SST Lag 1 - 6 bulan
sebelumya (1 - 6 month lead time) dari zona spesifik masing-masing periode, digunakan sebagai prediktan (Lampiran 5. 10).
Persamaan regresi yang
segnifikan pada taraf kepercayaan 5 % dianggap sebagai model prediksi yang sesuai. Dalam periode MAM - OND, terjadi korelasi spasial negatif antara Ch DI Rentang dengan SST wilayah Nino di lautan Pasifik dan SST India bagian barat. Posisi lautan Pasifik dan India relatif jauh dengan kawasan DI Rentang. Korelasi negatif menunjukkan hubungan pada saat SST Pasifik dan India turun, Ch DI Rentang meningkat.
Kawasan suhu permukaan laut rendah, akan memiliki
tekanan udara permukaan lautan tersebut tinggi.
Massa udara lembab akan
membawa uap air ke kawasan tekanan udara udaranya lebih rendah. keadaan sebaliknya terjadi korelasi positif antara kasawan DI Rentang dengan samudera Indonesia - Australia (Indaus). Ch DI Rentang tinggi pada saat SST Pasifik rendah dan SST Indaus tinggi. Apabila perairan Indonesia - Australia menghangat, akan terbentuk palung tekanan udara rendah. letak kedua kawasan yang relatif berdekatan, memungkinkan daerah konvergensi udara mencapai kawasan DI Rentang. Pada daerah konvergensi ini terbentuk awan dan Ch yang tinggi. Hubungan anomali SST dengan kemungkinan penyimpangan Ch DI
Rentang, dijelaskan berdasarkan nilai variabel dari model prediksi yang diringkas dalam Tabel 5.4. Tabel 5.4 Ilustrasi dampak anomali SST sebesar ± 1 0c terhadap anomali Ch musiman DI Rentang periode 3 bulanan. Periode
MAM AMJ MJJ JJA JAS ASO SON OND
SST Lautan Pasifik Pasifik Pasifik Indaus Pasifik Pasifik India Pasifik India Pasifik Indaus Pasifik Indaus
Lag (month lead time) 1-6 1-3 1-2 1-2 1-2 1-4 1-2 1-4 1-3 1-3 1 -2 2-4 1-2
Nilai Korelasi (r) yang segnifikan
Anomali SST ± 1 0c; ± anomali Ch DI Rentang (mm)
-0,489 – -0,606 -0,49 – -0,570 -0,408 - -0,513 0,384- 0,518 -0,015 - -0,030 -0,412 - 0,513 -0,044 - -0,536 -0,428 - -0,592 -0,401 - -0,424 -0,534 - -0,626 0,386 - 0,754 -0,525 - -0,621 0,525 - 0,621
113 – 168 94, 5 - 146 139 – 151 87,4 - 120 131 - 243 75,2 - 115 62,0 - 83,0 66,5 - 120 12,6 - 68,8 181 - 218 128 - 144 126 - 138 125 - 129
Banyaknya bulan (lag) yang dapat digunakan untuk memprediksi Ch DI Rentang bervariasi untuk setiap periode (Tabel 5.3). Variasi nilai SST 3 - 6 bulan sebelumnya (3 - 6 month lead time) dari zona yang telah ditentukan, mampu menduga variasai Ch musiman DI Rentang secara segnifikan. Interval lag dari model prediksi Ch DI Rentang tidak jauh berbeda dengan model prediksi POAMA yang mampu memprediksi kejadian IOD berdasarkan anomali SST India sampai lag 5 month lead time (Mei dan Hendon, 2009). Berdasarkan nilai koefisien diterminasi (R2), tingkat keandalan model prediksi bervariasi antar musim (Gambar 5.6). Secara umum tingkat keandalan berkurang dengan bertambahnya lag. Tingkat keandalan model yang terendah diperoleh pada masa awal MK (AMJ) dan paling tinggi diperoleh pada periode MK (MJJ) dan awal MH (SON). Prediksi terbaik dari model prediksi POAMA, juga diperoleh dalam phase puncak IOD September-November (Mei dan Hendon, 2009). Jadi, model prediksi Ch Rentang ini, untuk perencanaan mampu dengan baik memprediksi awal MK dan Awal MH, sehingga memungkinkan untuk digunakan dalam kegiatan pertanian. Keandalan model tertinggi dari masingmasing periode Ch musiman dicantumkan pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5 Skill tertinggi dari model prediksi Ch DI Rentang Periode
Skill tertinggi pada Lag (month lead time)
Bulan
MAM AMJ MJJ JJA JAS ASO SON OND
1 1 2 3 1 1 1 2
Februari Maret Maret Maret Juni Juli Agustus Agustus
Aplikasi dalam kegitan pertanian tanaman pangan, model tersebut dapat digunakan untuk menduga keadaan supplai air di DI Rentang (Wang at al. 2008). Penentuan awal tanam MH dapat ditentukan dengan prediksi keadaan hujan periode SON menggunakan prediktor SST 2 month lead time. Sedangkan untuk menentukan awal tanam MK I, prediksi CH baik menggunakan MJJ dengan prediktor 2 month lead time. Lag prediktor (SST 2 bulan sebelum periode Ch musiman prediktan), apabila dimanfaatkan secara efisien dan profesional, memadai untuk perencanaan awal tanam, jenis tanaman dan sistem pengairan di DI Rentang. (%)
MAM JAS
60,00
AMJ ASO
MJJ SON
JJA OND
50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 1 month lead time
2month lead time
3month lead time
4 month lead 5 month lead 6 month lead time time time
Gambar 5.6 Grafik nilai koefisien diterminasi model prediksi Ch DI Rentang.
5.4 KESIMPULAN Curah hujan di DI Rentang memiliki peranan yang cukup besar dalam mendukung intensifikasi budiaya.
Ditinjau dari Ch bulanan pada MT MH,
kontribusi Ch sangat tinggi, hampir keseluruhan periode tanam, Ch bulanan (> 200 mm), sehingga kebutuhan konsumtif tanaman padi dapat terpenuhi. Akan tetapi, suplemen dari air irigasi masih dibutuhkan pada dasarian yang Ch < 65 mm.
MT MK, Ch hanya memenuhi sekitar 30 % dari kebutuhan air untuk
tanaman padi. Sumber Air irigasi DI Rentang tidak tersedia dalam jumlah yang cukup sepanjang periode tanam.
Tanaman yang terlambat tanam pada MT MK
berpotensi mengalami kekeringan. Peluang kekeringan akan meningkat apabila terjadi anomali ENSO negatif. Sistem perkiraan ketersediaan air dalam kegiatan perencanaan tanam yang hanya mengandalkan pada metode rangking order, dapat menduga debit andalan dengan ketepatan yang cukup baik pada saat kondisi musim normal. Apabila terjadi anomali musim, metode tersebut akan mengalami bias yang cukup besar. Mitigasi resiko akibat variabilitas iklim yang ketepatan musimnya semakin sulit diprediksi, metode pendugaan ketersediaan air perlu diperbarui. Ch DI Rentang berkorelasi negatif dengan SST Pasifik dan India dan positif dengan perairan Indonesia - Australia.
Anomali SST Pasifik dan India
(ENSO dan IOD), menyebabkan anomali Ch, yang semakin segnifikan dengan meningkatnya intesitas anomali tersebut.
Model prediksi Ch DI Rentang
dikembangkan dari prinsip korelasi dan regresi. Model yang dibangun mampu memprediksi ch musiman 1 - 6 bulan sebelumnya; skill yang handal pada 1 -2 month lead time. Pemanfaatan model prediksi dengan metode rangking mampu menduga debit andalan untuk periode masa tanam berdasarkan peluang musim. Dengan demikian, peluang anomali ENSO atau IOD telah diprediksi sebelumnya dan resiko bencana iklim dapat diminimalisasi.
DAFTAR PUSTAKA Australian Goverment Bureau of Meteorology. 2006.a. Climate Variability And El Niño. http://www.bom.gov.au.shtml. Dikunjungi 10 Oktober 2014. Australian Goverment Bureau of Meteorology, 2006.b. Climate Glossary. http://www.bom.gov.au.shtml. Dikunjungi 10 Oktober 2006. Aldrian. E/ 200.. Spatial Patterns Of Enso Indonesian Rainfall. Dikunjungi pada 12 Mei 2010.
Impact
On
Boer, R., Notodiputro K.A, dan Las, I. 1999. Prediction or Daily Rainfall Characteristiics from Monthly Climate Indices. proceeding of the second international conference on science and technpligy for the assessment of the global climate change and its impact on Indonesian maritime continent; 29 Nopember - 01 Desember 1999. Boer, R. 2002. Analisis Resiko Iklim untuk Produksi Pertanian. Paper Pelatihan Dosen PT se Sumatera-Kalimantan dalam bidang Pemodelan dan Simulasi Pertanian dan Lingkungan, Bogor 1 – 13 Juli 2002. Boer, R. Dan A. Faqih. 2004. Global Climate Forcing Factors and Rainfall Variability in West Java: Case study in Bandung district. J. Agromet, XVIII No. 2, Bogor. Pp. 1-11. Boer, R., A.R. Subbiah, K. Tamkani, H. Hardjanto dan S. Alimoeso. 2004. Institutionalizing Climate Information Application: Indonesian Case. Paper
Inter-Regional
Workshop
on
Strengthening
Operational
Agrometeorological Services at the National Level, Manila, 22-26 March 2004. Boer, R. 2005. Pendekatan Strategis, Taktis dan Operasional dalam Mengurangi Resiko Iklim di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Paper seminar pelembagaan pemanfaatan informasi ramalan iklim untuk mengatasi dampak bencana iklim. Kerjasama CARE Internasional dengan PEMDA propinsi Kupang, Juni 2005. Boer, R. Dan I. Wahab. 2007. Use of Seasenal Surface Temperature for predicting Optimum Planting Windaw for Potato at Pengelengan, West Java, Indonesia. Climate Prediction and Agricalture advence and Challenge, M. V. K. Sivakumar and J. Hansen eds. Spriger, 135 -141. Badan Meteorologi dan Giofisika. 2003. Prakiraan Musim Hujan 2003/2004 di Indonesia, Jakarta. Cecilia M. Tojo Soler. C. M. T, P. C. Sentelhas, G. Hoogenboom. 2009. The impact of El Niño Southern Oscillation phases on off-season maize yield for a subtropical region of Brazil. J. International of Climatology. http://www3.interscience.wiley.com/journal. dikunjungi pada 22 Mei 2010.
D. Manatsa 1 2 *, C. H. Matarira 3, G. Mukwada. 2010. Relative impacts of ENSO and Indian Ocean dipole/zonal mode on east SADC rainfall. J. International of Climatology. http://www3.interscience.wiley.com/journal/4735/home. dikunjungi pada 22 Mai 2010. Farhan, A. 2000. Penerapan Teknik Tanam Padi Sawah Sesuai Kondisi Spesifik Lokasi. Makalah Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu – ISDP Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. tanggal 25 – 27 juli 2000 di Wisma Jayaraya Cipayung, Bogor Farhan, A. dan Kartaatmadja 2001. Pengkajian Peluang Peningkatan Efisien Air Irigasi Yang Bersumber Dari Waduk. j. Saint Teks edisi khusus Oktober 2001. Universitas Semarang. Pp. 641-652. Faqih, A. 2003. Analisis pola Spasial dan Temporal Anomali Suhu Permukaan Laut di Samudera Pasifik, Hindia dan Atlantik Serta Kaitannya dengan Anomali Curah Hujan Bulanan.
Skripsi jurasan Giomet FMIPA IPB,
Bogor. Fujinami. H, D. Hatsuzuka, T. Yasunari, T. Hayashi, T. Terao, F. Murata, M. Kiguchi, Y. Yamane, J. Matsumoto, M. N. Islam, A. Habib. 2010. Characteristic intraseasonal oscillation of rainfall and its effect on interannual variability over Bangladesh during boreal summer. J. International of Climatology. http://www3.interscience.wiley.com/journal. dikunjungi pada 22 Mei 2010. Gergis. J, K. Braganza, A Fowler , S. Mooney dan J. Risbey. 2006. Reconstructing El Niño-Southern Oscillation (ENSO) from highresolution palaeoarchives. J Quaternary Scienc, 21, 707 - 722. http://www3.interscience.wiley.com/journal/4735/home. dikunjungi pada 10 Mei 2010. Hamada, J. I., M. D. Yamanaka, J. Matsumoto, S. Fukao, P. A. Winarso dan T. Sribimawati . 2002. Spatial and Temporal Variation of the Rainy seasen over Indonesia and their link to ENSO. J. Meteor. Soc. Japan, 80, 285 310. Huth, R dan L. Pokorná. 2005. Simultaneous analysis of climatic trends in multiple variables: an example of application of multivariate statistical methods. J. International of Climatology, 25, 469 - 484. http://www3.interscience.wiley.com/journal/4735/home. dikunjungi pada 10 April 2010 Lim Y. K dan K. Y. Kim. 2007. ENSO Impact on the Space–Time Evolution of the Regional Asian Summer Monsoons. J. Climatology, 20, 2397-2415 http://www3.interscience.wiley.com/journal/4735/home . dikunjungi pada 22 mei 2010
Luo. J.J, S. Masson, H., S. Behera, S. Shingu, T. Yamagata (Tanpa tahun). Seasonal Climate Predictability Using the SINTEX-F1 Coupled GCM.
[email protected]. dikunjungi 4 Maret 2010. Mei, Z dan Hendon, H. H. 2009. Representation and prediction of the Indian Ocean dipole in the POAMA seasonal forecast model. Quarterly Journal of the Royal Meteorological Society. Volume 135 PP; 337 - 352. http://www3.interscience.wiley.com/journal/4735/home. dikunjungi pada 22 Mei 2010 Moron, V. A. W. Robertson, R. Boer. 2009. Spasial Coherence and Predictabity of Monsoo Onset over Indonesia. J. Climatolgy, 22, 840 - 850. Murphy, B. F. 2007. A review of recent climate variability and climate change in southeastern Australia. International Journal of Climatology. Volume 28 Pages 859 - 879 http://www3.interscience.wiley.com/journal/4735/home. Naylor, R., W. Falcon, D. Rochberg, N. Wada. 2002. El Nino/Southern Oscilation Climate data Predict Rice Production in Indonesia. Center for Environmental Science and Policy, Institude for International Stadies, Stanford University, California. Nagura. M dan M. Konda. 2007. The Seasonal Development of an SST Anomaly in the Indian Ocean and Its Relationship to ENSO. J. Climatology, 20, 38 53. Institute of Observational Research for Global Change, Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology, Kanagawa, Japan Prabowo, M dan N. Nicholls. 2002. Osilasi selatan. Kapan Hujan Turun. Dampak Osilasi Selatan dan El Nino di Indonesia.Primary Industries Queensland. Sjamsudin, E. dan Karama, A. S. 1996. Budidaya Hemat Air dan Panen Hujan dalam Pertanian. Proseding Seminar Nasional Grakan Hemat Air. Kerjasama LEMHANAS, PERHIMPI, PERAGI, dan PERHEPI, Jakarta. Selvaraju. R. 2003. Impact of El Nino – Southern Oscilation on Indian Foodgrain Production. J. International of Climatology.23:187-206. Smith. N, P. McIntosh , T.J. Ansell , C.J.C. Reason dan K. McInnes. 2000. Southwest Western Australian winter rainfall and its association with Indian Ocean climate variability. International Journal of Climatology, 20, 1913 - 1930. http://www3.interscience.wiley.com/journal/4735/home. dikunjungi pada 10 Mei 2010. Sout African Weather Servis. 2006. El Nino and La Nina; The True Story. http://www.weathersa.co.za.jsp.htm. dikunjungi pada 10 Oktober 2006. Winarso, P. A. Dan J. Mc Bride. 2002. Iklim. Kapan Hujan Turun. Dampak Osilasi Selatan dan El Nino di Indonesia. Primary Industries Queensland. Wang. E, Qi. Yu, D. Wu, J. Xia. 2008. Climate, agricultural production and hydrological balance in the North China Plain J. International of Climatology, 28, 1959 - 1970.
http://www3.interscience.wiley.com/journal/4735/home. dikunjungi pada 20 Mei 2010.
Lampiran 5.7.a Peta korelasi spasial rata-rata indek Ch musiman MAM dengan anomali SST Pasifik dan India. Garis merah merupakan kawasan ekstrak nilai rata-rata SST.
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang MAM Dengan anomali SST Februari (Lag 1 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang MAM Dengan anomali SST Januari (Lag 2 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang MAM Dengan anomali SST Desember (Lag 3 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang MAM Dengan anomali SST November (Lag 4 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang MAM Dengan anomali SST Oktober (Lag 5 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang MAM Dengan anomali SST September (Lag 6 mont leaf)
Lampiran 5.7.b Peta korelasi spasial rata-rata indek Ch musiman AMJ dengan anomali SST Pasifik dan India. Garis merah merupakan kawasan ekstrak rata-rata SST.
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang AMJ Dengan anomali SST Maret (Lag 1 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang AMJ Dengan anomali SST Februari (Lag 2 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang AMJ Dengan anomali SST Januari (Lag 3 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang AMJ Dengan anomali SST Desember (Lag 4 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang AMJ Dengan anomali SST November (Lag 5 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang AMJ Dengan anomali SST Oktober (Lag 6 mont leaf)
Lampiran 5.7.c Peta korelasi spasial rata-rata indek Ch musiman MJJ dengan anomali SST Pasifik dan India. Garis merah merupakan kawasan ekstrak rata-rata SST.
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang MJJ Dengan anomali SST April (Lag 1 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang MJJ Dengan anomali SST Maret (Lag 2 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang MJJ Dengan anomali SST Februari (Lag 3 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang MJJ Dengan anomali SST Januari (Lag 4 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang MJJ Dengan anomali SST Desember (Lag 5 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang MJJ Dengan anomali SST November (Lag 6 mont leaf)
Lampiran 5.7.d Peta korelasi spasial rata-rata indek Ch musiman JJA dengan anomali SST Pasifik dan India. Garis merah merupakan kawasan ekstrak rata-rata SST.
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang JJA Dengan anomali SST Mai (Lag 1 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang JJA Dengan anomali SST April (Lag 2 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang JJA Dengan anomali SST Maret (Lag 3 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang JJA Dengan anomali SST Februari (Lag 4 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang JJA Dengan anomali SST Januari (Lag 5 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang JJA Dengan anomali SST Desember (Lag 6 mont leaf)
Lampiran 5.7.f Peta korelasi spasial rata-rata indek Ch musiman JAS dengan anomali SST Pasifik dan India. Garis merah merupakan kawasan ekstrak SST. Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang JAS Dengan anomali SST Juni (Lag 1 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang JAS Dengan anomali SST May (Lag 2 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang JAS Dengan anomali SST April (Lag 3 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang JAS Dengan anomali SST Maret (Lag 4 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang JAS Dengan anomali SST Februari (Lag 5 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang JAS Dengan anomali SST Januari (Lag 6 mont leaf)
Lampiran 5.4.g. Peta korelasi spasial rata-rata indek Ch musiman ASO dengan anomali SST Pasifik dan India. Garis merah merupakan kawasan ekstrak SST.
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang ASO Dengan anomali SST Juli (Lag 1 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang ASO Dengan anomali SST Juni (Lag 2 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang ASO Dengan anomali SST Mai (Lag 3 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang ASO Dengan anomali SST April (Lag 4 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang ASO Dengan anomali SST Maret (Lag 5 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang ASO Dengan anomali SST Februari (Lag 6 mont leaf)
Lampiran 5.7.h Peta korelasi spasial rata-rata indek Ch musiman SON dengan anomali SST Pasifik dan India. Garis merah merupakan kawasan ekstrak rata-rata SST. Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang SON Dengan anomali SST Agustus (Lag 1 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang SON Dengan anomali SST Juli (Lag 2 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang SON Dengan anomali SST Juni (Lag 3 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang SON Dengan anomali SST Mai (Lag 4 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang SON Dengan anomali SST April (Lag 5 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang SON Dengan anomali SST Maret (Lag 6 mont leaf)
Lampiran 5.7.i Peta korelasi spasial rata-rata indek Ch musiman OND dengan anomali SST Pasifik dan India. Garis merah merupakan kawasan ekstrak rata-rata SST.
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang OND Dengan anomali SST September (Lag 1 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang OND Dengan anomali SST Agustus (Lag 2 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang OND Dengan anomali SST Juli (Lag 3 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang OND Dengan anomali SST Juni (Lag 4 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang OND Dengan anomali SST May (Lag 5 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang OND Dengan anomali SST April (Lag 6 mont leaf)
Lampiran 5.7.j Peta korelasi spasial rata-rata indek Ch musiman NDJ dengan anomali SST Pasifik dan India. Garis merah merupakan kawasan ekstrak rata-rata SST. Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang NDJ Dengan anomali SST Oktober (Lag 1 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang NDJ Dengan anomali SST September (Lag 2 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang NDJ Dengan anomali SST Agustus (Lag 3 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang NDJ Dengan anomali SST Juli (Lag 4 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang NDJ Dengan anomali SST Juni (Lag 5 mont leaf)
Corelasi Spasial Indek Rata-Rata Ch DI Rentang NDJ Dengan anomali SST May (Lag 6 mont leaf)
LAMPIRAN 5. 9 Zona korelasi spasial antara indek rata-rata Ch DI Rentang dengan anomali SST Pasifik dan India untuk masing-masing periode analisis lag 1 - 6. Zona Korelasi Spasial Seasen
MAM
Zona Lautan India (o)
Zona Samudera Indonesia/lautan Australia (o)
-
-
-
-
Lag (month Laed Time)
1 2 3 4 5 6 1- 6 month Laed Time AMJ 1 moont Laef 2 moont Laef 3 moont Laef 4 moont Laef 5 moont Laef 6 moont Laef 1- 6 month Laed Time MJJ 1 2 3 4 5 6 1- 6 month Laed Time JJA 1 2 3 4 5 6 1- 6 month Laed Time
Zona Lautan Pasifik (o) 5 S - 20 N 5 S - 20 N 5 S - 10 N 5 S - 15 N
; 155 E - 160 W ; 160 E - 140 W ; 160 E - 175 W ; 160 E - 170 W 5 S - 20 N ; 155 E - 140 W 10 S - 10 N; 160 E - 150 W 5 - 15 N; 175 - 145 W 5 - 15 N; 175 - 155 W 10 S - 20 N ; 155 E - 140 W 5 S - 15 N ; 170 E - 150 W 5 S - 15 N ; 155 E - 150 W 5 S - 15 N ; 160 W - 140 W 10 S - 15 N; 180 W - 140 W 10 S - 20 N; 155 E - 140 W 5 S - 5 N ; 175 E - 140 W 0 - 10 N ; 170 E - 160 W 10 - 15 S; 170 - 180 W
15 S - 20 N; 155 E - 140 W
15 - 30 S; 90 - 110 E 15 - 30 S; 90 - 110 E 0 - 10 S ; 110 - 130 E 20 - 30 S; 100 - 110 E
0 - 30 S ; 100 - 130 E
JAS
1 2 3 4 5 6 1- 6 month Laed Time ASO 1 2 3 4 5 6 1- 6 month Laed Time SON 1 2 3 4 5 6 1- 6 month Laed Time OND 1 2 3 4 5 6 1- 6 month Laed Time
10 S - 10 N; 180 - 160 W 0 - 10 S; 160 E- 170 W 15 S - 5 N; 170 E - 170 W 10 - 20 S; 170 E - 155 W 15 - 20 S; 160 - 175 W 10 - 15 S; 170 - 180 E 20 S - 10 N; 160 E - 155 W 10 S - 15 N ; 170 E - 90 W 10 S - 10 N ; 170 E - 120 W 5 S - 10 N ; 160 E - 160 W 0 S - 10 N ; 160 E - 150 W 10 S - 15 N ; 160 E - 90 W 10 S - 10 N ; 170 E - 120 W 5 S - 10 N ; 170 E - 130 W 5 S - 5 N ; 170 E - 130 W 5 S - 15 N ; 170 E - 160 W 5 S - 15 N ; 150 E - 150 W 0 - 10 N ; 170 E - 160 W 10 S - 15 N ; 150 E - 120 W 5 S - 10 N ; 180 - 120 W 5 S - 5 N ; 180 - 120 W 5 S - 10 N ; 170 E - 110 W 5 S - 5 N ; 160 - 170 E 5 S - 5 N ; 160 - 170 E 5 S - 10 N ; 160 E - 110 W
5 S - 5 N; 70 - 90 E 0 - 10 N; 80 - 90 E 0 - 10 S; 60 - 80 E 10 S - 10 N; 60 - 90 E 10 S - 15 N; 60 - 90 E 0 - 10 S ; 70 - 90 E 0 -5S ; 60 - 70 E 10 S - 15 N; 60 - 90 E -
0 - 15 S ; 100 - 140 E 0 - 15 S ; 100 - 140 E 5 - 10 S ; 110 - 120 E 15 - 15 S; 100 - 150 E 5 - 10 S ; 100 - 110 E 5 - 15 S ; 100 - 110 E 10 - 20 S; 100 - 110 E 5 - 20 S ; 100 - 150 E