ZONASI PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DENGAN PENDEKATAN EKOWISATA
(Kasus Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto di Provinsi Gorontalo)
MARINI SUSANTI HAMIDUN
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Zonasi Pengelolaan Taman Nasional dengan Pendekatan Ekowisata (Kasus Calon Taman Nasional NantuBoliohuto di Provinsi Gorontalo) adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi dimanapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Februari 2012
Marini Susanti Hamidun P062030181
ABSTRACT MARINI SUSANTI HAMIDUN. National Park Management Zoning by Ecotourism Approach (Case of Nantu-Boliyohuto National Park Candidate in Gorontalo Province), under the supervisors of; Cecep Kusmana, Ernan Rustiadi, Soehartini Sekartjakrarini, Nelson Pomalingo. National Park is a nature conservation area which has a native ecosystem, managed by the zoning system and used for the purpose of research, science, education, culture, tourism, and recreation. Candidates for the National Park area covering 62,943 ha Nantu Boliyohuto located in Gorontalo Province, and has been proposed as a National Park under Proposal No. Letter.522.21/05/638/2003 April 8, 2003. In this regard, the main objective of this research is to produce a management zoning of CTN Nantu Boliyohuto by ecotourism based, with some of the operational objectives of the study, namely: 1) identification and analysis of ecological, social and cultural conditions in the CTN-Nantu Boliyohuto ; 2 ) review of the assessment area CTNNantu Boliyohuto as ecotourism area, and 3) the process of drafting zoning CTNNB region. Purposive sampling method used to select 6 villages and to select 45 respondents in each village. Techniques of data retrieval is done by observation and interviews (primary data), as well as by literature studies (secondary data). The analysis used are the analysis of vegetation, tourist attraction assessment, spatial analysis, and multicriteria analysis. The results of this study were: 1) in the region Nantu CTN-Boliyohuto much as 204 plant species were identified, of which there are 17 protected species, among others; Caryota mitis, Cycas rumphii, and Livistonia rotundifolia,; 32 species animals, some of which were endemic to Sulawesi and protected species, namely Babyrousa babyrussa, Bubalus depressicornis, Tarsius spectrum, and Macaca heckii; 49 species of birds and 24 species of which are endemic to Sulawesi; as well as the physical condition of the appeal of unique and beautiful, the salt-lick, scenery, waterfalls, harmonization of the township, fields, hills, mountains, and rivers; 2) community around the area generally consists of farmers with low education, interact with the region in the harvesting of timber and non timber, such as rattan, leaf woka, building materials, foodstuff, fruits, bamboo, honey and hunt, and use of land as a farm plantation / agriculture and residences; 3) the region has the potential of high tourist attraction, with a fairly smooth accessibility, supported by social conditions, interests and expectations of society towards the implementation of ecotourism activities, as well as support of Gorontalo Provincial Government through its superior programs in the fields of tourism, although tourism has not been supported by adequate facilities, and 4) establishment of zoning map initiated by combining elevation, slope maps, land cover map, and wildlife sensitivity map, which generates maps of ecological sensitivity. The consideration based on ecotourism criteria, namely conservation, economics, public participation, and control. The results of the ecological sensitivity map overlay of these criteria of ecotourism is CTN Nantu Boliyohuto Management Zone, which consists of a core zone covering an area of 48.380,3 Ha (76,99%), forest zone covering an area of 10.806,1 Ha (17,2%), use zone of 2.447,8 (3,9%), and traditional zone covering an area of 1.206,3 Ha (1,92%). Keywords: national parks, zoning, ecotourism
RINGKASAN MARINI SUSANTI HAMIDUN. Zonasi Pengelolaan Taman Nasional dengan Pendekatan Ekowisata (Kasus Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto di Provinsi Gorontalo), dibawah bimbingan: Cecep Kusmana, Ernan Rustiadi, Soehartini Sekartjakrarini, Nelson Pomalingo. Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Untuk mengelola kawasan ini diperlukan sistem zonasi yang berupa perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam (SDA) hayati dan ekosistemnya. Zonasi ditentukan sebagai hasil analisis spasial pengelompokan yang mempunyai kemampuan dan karakteristik yang sama, dengan tujuan memberikan arah pengelolaan dan perencanaan menyeluruh pada suatu wilayah. Pengelolaan taman nasional melalui sistem zonasi bukan hanya difokuskan pada potensi flora dan fauna khas yang dilindungi, namun juga pada kebutuhan sosial ekonomi masyarakat sekitar, baik secara langsung maupun tidak langsung. Paradigma baru pengelolaan taman nasional ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan dana pengelolaan dari pihak luar, sehingga mendorong kemandirian dalam mengelola atau membiayai sendiri. Konsep ekowisata merupakan konsep operasional dari pembangunan berkelanjutan yang dapat menjembatani kepentingan pemerintah dalam hal konservasi dan kepentingan masyarakat sekitar dalam hal pengembangan ekonomi. Kawasan Calon Taman Nasional Nantu Boliyohuto seluas 62.943 Ha yang terletak di Provinsi Gorontalo, merupakan gabungan dari Suaka Margasatwa Nantu (32.627 Ha), Hutan Produksi Terbatas (10.346 Ha) dan Hutan Lindung (19.970 Ha). Kawasan ini telah diajukan sebagai Taman Nasional berdasarkan Surat Usulan No. 522.21/05/638/2003 tanggal 8 April 2003. Berkenaan dengan hal tersebut, maka tujuan utama penelitian ini adalah menghasilkan zonasi pengelolaan CTN Nantu-Boliyohuto yang berbasis ekowisata, dengan beberapa tujuan operasional penelitian, yaitu: 1) identifikasi dan analisis kondisi ekologi dan kondisi sosial budaya masyarakat di kawasan CTN Nantu-Boliyohuto; 2) kajian penilaian kawasan CTN Nantu-Boliyohuto sebagai kawasan ekowisata; dan 3) proses penyusunan zonasi kawasan CTNNB. Untuk pengambilan data masyarakat, enam desa dipilih secara purposive sampling, yaitu desa-desa yang berinteraksi intensif dengan kawasan CTN Nantu-Boliyohuto, yaitu Desa Pangahu, Desa Mohiyolo, Desa Saritani, Desa Sidohardjo, Desa Kasia, dan Desa Potanga. Sedangkan data responden masyarakat, setiap desa dipilih 45 responden yang dipilih secara purposive sampling, yaitu masyarakat yang berumur diatas 20 tahun. Teknik pengambilan data dilakukan dengan cara pengamatan dan wawancara (data primer), serta dengan cara studi literatur (data sekunder) yang berasal dari hasil-hasil penelitian sebelumnya dan instansi terkait lainnya. Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis vegetasi, analisis penilaian daya tarik wisata, analisis spasial yang menggunakan sistem informasi geografis, dan analisis multikriteria. Hasil penelitian ini yaitu: Pertama, dalam kawasan CTN NantuBoliyohuto terdapat 204 jenis tumbuhan yang teridentifikasi, yang diantaranya
terdapat 17 jenis yang dilindungi, yaitu Caryota mitis, Cycas rumphii, Livistonia rotundifolia, Macaranga crassistipulosa, Elmerillia ovalis,, Terminalia celebica, Diospyros hebecarpa, Pterospermum celebicum, Manilkara celebica, Kjellbergiodendron celebicum, Shorea sp, Licualla flabelum, Cratoxylum celebicum, Dillenia serrata, Grammatophyllum speciosum, Diospyros celebica dan Dillenia sp.; 32 jenis satwa, yang diantaranya jenis endemik Sulawesi dan dilindungi, yaitu Babirusa (Babyrousa babyrussa), Anoa (Bubalus depressicornis), Tarsius (Tarsius spectrum), Kuskus Sulawesi (Strigocuscus celebensis) dan Monyet Hitam Sulawesi (Macaca heckii); 49 jenis burung dengan 24 jenis diantaranya merupakan endemik Sulawesi; serta daya tarik kondisi fisik yang unik dan indah, yaitu kubangan lumpur bergaram (salt-lick), panorama alam, air terjun, harmonisasi perkampungan, ladang, bukit, pegunungan, dan sungai. Kedua, masyarakat sekitar kawasan umumnya terdiri dari petani dengan pendidikan yang masih rendah, berinteraksi dengan kawasan dalam pengambilan hasil hutan berupa kayu dan non kayu, seperti rotan, daun woka, bahan bangunan, bahan makanan, buah-buahan, bamboo, madu dan berburu, serta pemanfaatan lahan sebagai ladang perkebunan/pertanian dan tempat tinggal. Ketiga, sebagai kawasan yang akan dijadikan destinasi pariwisata, kawasan ini memiliki potensi daya tarik wisata yang tinggi, dengan aksesibilitas yang cukup lancar, didukung oleh kondisi sosial masyarakat, minat dan harapan masyarakat terhadap penyelenggaraan kegiatan ekowisata, serta dukungan Pemerintah Provinsi Gorontalo melalui program unggulannya di bidang pariwisata, meskipun semuanya itu belum didukung fasilitas wisata yang memadai. Keempat, proses penetapan zonasi diawali dengan menggabungkan (overlay) beberapa peta dasar/tematik kawasan, yaitu peta ketinggian, peta kelerengan, peta tutupan lahan, dan peta sensitivitas satwa, yang menghasilkan peta sensitivitas ekologi. Zonasi peta sensitivitas ekologi terbagi atas kelas sangat sensitif yang direkomendasikan menjadi zona inti, kelas sensitif yang direkomendasikan menjadi zona rimba, dan kelas tidak sensitif direkomendasikan menjadi zona pemanfaatan/zona lainnya. Setelah itu dilakukan pertimbangan berdasarkan kriteria ekowisata, yaitu konservasi, ekonomi, partisipasi masyarakat, dan kendali. Hasil overlay dari peta sensivitas ekologi dengan kriteria-kriteria ekowisata adalah Zona Pengelolaan CTN Nantu Boliyohuto, terdiri dari zona inti seluas 48.380,3 Ha (76,99%), zona rimba seluas 10.806,1 Ha (17,2%), zona pemanfaatan seluas 2.447,8 Ha (3,9%), dan zona tradisional seluas 1.206,3 Ha (1,92%).
@Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumberdaya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ZONASI PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DENGAN PENDEKATAN EKOWISATA
(Kasus Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto di Provinsi Gorontalo)
Oleh MARINI SUSANTI HAMIDUN
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup :
1. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS 2. Dr. Omo Rusdiana, MS
Penguji pada Ujian Terbuka :
1. Dr. Ir. Bambang Supriyanto, MSc 2. Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS
HALAMAN PENGESAHAN Judul Disertasi
: Zonasi Pengelolaan Taman Nasional dengan Pendekatan Ekowisata (Kasus Calon Taman Nasional NantuBoliyohuto di Provinsi Gorontalo)
Nama Mahasiswa
: Marini Susanti Hamidun
NRP
: P062030181
Program Studi
: Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS (Ketua)
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr (Anggota)
Dr. Ir. Soehartini Sekartjakrarini, M.Sc (Anggota)
Prof. Dr. Ir. Nelson Pomalingo, M.Pd (Anggota)
Diketahui,
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam & Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS
Tanggal Ujian: 28 Januari 2012
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc, Agr
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan kepada ALLAH SWT atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian disertasi yang berjudul: ”Zonasi Pengelolaan Taman Nasional dengan Pendekatan Ekowisata (Studi Kasus di Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto Provinsi Gorontalo)”. Penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua orang tua, Alm. Husain Hamidun - Alm. Hadidjah Machmud; Alm. Rudy Rudolf Manese; Anakda Muzdalifah Manese; Ibunda Salmah Manese Monoarfa; saudarasaudaraku: Affandi, Dewi, Norman, atas keikhlasan, kesetiaan, motivasi dan doanya selama ini. Terimakasih yang sedalam-dalamnya penulis haturkan kepada Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS; Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr; Dr. Ir. Soehartini Sekartjakrarini, M.Sc; dan Prof. Dr. Ir. Nelson Pomalingo, M.Pd. yang selama ini telah mengikhlaskan waktu, tenaga, dan pikiran yang begitu besar membimbing penulis, dan tak henti-hentinya memberi semangat hingga penulis berada pada tahap akhir. Terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PS-PSL) selama masa studi saya, yaitu Alm. Prof. Dr. Ir. Sri Saeni, MS; Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS; dan Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS; Dr. Etty Riani, MS; Dr. Ir. Widiatmaka, DEA dan Dr. Ir. Lailan Syafina, MSc beserta seluruh staf PS-PSL. Terima kasih setinggi-tingginya kepada Rektor Universitas Negeri Gorontalo (UNG), rekan-rekan dosen UNG beserta seluruh staf, dan rekan-rekan dosen Universitas Gorontalo (UG) beserta mahasiswanya. Terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Bapak H. Mulyono Lahay, SE dan keluarga, Bapak Ir. Lukman Baga dan keluarga; rekan-rekan Ririungan Mahasiswa Gorontalo Bogor (RMGB); rekan-rekan mahasiswa IPB tahun 2003; dan rekan-rekan alumni SMANSA ‘88 Gorontalo yang senantiasa membantu, mendampingi, memberi kritikan dan semangat; serta seluruh keluarga, sahabat dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu, baik materi maupun non materi, langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian studi. Bogor, Februari 2012
RIWAYAT HIDUP Marini Susanti Hamidun dilahirkan di Gorontalo pada tanggal 4 Mei 1970, sebagai anak ke tiga dari empat bersaudara dari Ayah Drs. Husain Hamidun (Almarhum) dan Ibu Hadidjah Machmud (Almarhumah). Menikah dengan dr. Rudy Rudolf Manese (Almarhum) tahun 1994, dan dikaruniai seorang anak Muzdalifah Alya Amalia Manese. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) diselesaikan di Gorontalo. Pendidikan sarjana S-1 ditempuh di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin, lulus pada tahun 1994. Pada tahun 1998, penulis melanjutkan pendidikan Magister di Program Studi Pengelolaan Lingkungan Hidup, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin dan lulus pada tahun 2001. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke program doktor diperoleh pada tahun 2003 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor dengan bantuan beasiswa BPPS Ditjen Pendidikan Tinggi. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Biologi, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Gorontalo sejak tahun 2001.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................... DAFTAR GAMBAR ..................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ................................................................. I
II
III
IV
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1.2 Kerangka Pikir ........................................................................ 1.3 Perumusan Masalah ................................................................ 1.4 Tujuan Penelitian .................................................................... 1.5 Manfaat Penelitian .................................................................. 1.6 Kebaruan .................................................................................
1 8 13 14 14 15
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional ................................................................... 2.1.1. Sejarah Taman Nasional ......................................... 2.1.2. Kawasan Konservasi ............................................... 2.1.3. Jenis-Jenis Kawasan Konservasi ............................ 2.1.4. Pemanfaatan Kawasan Konservasi ......................... 2.1.5. Peran Serta Masyarakat Terhadap Konservasi ....... 2.1.6. Peranan dan Manfaat Taman Nasional ................... 2.1.7. Perubahan Kebijakan Taman Nasional ................... 2.2. Konsep Perwilayahan (Zonasi) ............................................. 2.2.1. Zoning Regulation .................................................. 2.2.2. Zonasi Taman Nasional .......................................... 2.3. Pariwisata .............................................................................. 2.3.1. Definisi Pariwisata .................................................. 2.3.2. Perkembangan Pariwisata Dunia ............................ 2.3.3. Perubahan pola Kepariwisataan .............................. 2.3.4. Destinasi Pariwisata ................................................ 2.3.5. Ekowisata ................................................................
17 17 18 21 23 25 26 28 29 33 34 42 42 43 47 48 50
METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................... 3.2. Desain Penelitian .................................................................. 3.3. Teknik Pengambilan Data ..................................................... 3.4. Analisis Data ......................................................................... 3.5. Analisis CTNNB sebagai Kawasan Ekowisata .................... 3.6. Menyusun Zonasi CTN Nantu-Boliyohuto ..........................
59 59 59 65 69 69
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak dan Luas ...................................................................... 4.2. Iklim ......................................................................................
73 74
4.3. 4.4. 4.5. 4.6.
Topografi, Kelerengan, dan Penggunaan Lahan ................... Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya ................................... Tinjauan Umum Kawasan CTN Nantu-Boliyohuto ............. Struktur Organisasi ...............................................................
74 76 77 79
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Eksisting ................................................................. 5.1.1. Kondisi Ekologi ...................................................... 5.1.2. Kondisi Sosial ekonomi dan Budaya ...................... 5.1.3. Ancaman Bagi Kawasan CTNNB .......................... 5.2. Kajian Ekowisata pada CTNNB ........................................... 5.2.1. Daya Tarik Wisata Alam ........................................ 5.2.2. Aksesibilitas ........................................................... 5.2.3. Fasilitas Wisata ....................................................... 5.2.4. Masyarakat dan Lingkungan .................................. 5.2.5. Potensi Pasar ........................................................... 5.3. Zonasi CTN Nantu-Boliyohuto ............................................ 5.3.1. Analisis Sensitivitas Ekologi .................................. 5.3.2. Pertimbangan Penentuan Zona ............................... 5.3.3. Pembagian Zona Pengelolaan CTNNB ..................
81 81 87 90 94 95 101 103 105 109 111 111 125 135
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ........................................................................... 6.2. Saran .....................................................................................
143 144
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... LAMPIRAN ..............................................................................................
147 157
V
VI
DAFTAR TABEL
.
No
Teks
2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. 2.8. 3.1. 3.2. 4.1. 4.2. 4.3. 4.4. 5.1. 5.2. 5.3. 5.4. 5.5. 5.6. 5.7. 5.8. 5.9. 5.10. 5.11. 5.12. 5.13.
Perubahan Paradigma Pengelolaan Kawasan Konservasi .............. Daftar Penelitian Penyusunan Zonasi di Kawasan Konservasi....... Batasan dan Kreiteria Tipe Zona pada Taman Nasional ................. Peruntukan dan Jenis Kegiatan pada Zona-Zona Taman Nasional. Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara ................................. Perkembangan Wisatawan Nusantara Tahun 2001-2009 ................ Bentuk Pariwisata Global ................................................................ Unsur-Unsur Penting dalam ekowisata........................................ Jenis Data dan Sumber Data....................................................... Variabel Kondisi Ekologis dan Sosial yang diamati di CTNNB.... Keadaan Iklim Kabupaten Gorontalo Tahun 2005........................ Sistem Lahan CTNNB............................................................... Data Kependudukan dan Kependidikan....................................... Data Sarana Kesehatan............................................................... Jenis Flora Endemik dan Dilindungi pada Kawasan CTNB.......... Hasil Analisis Keanekaragaman Satwa Lokasi Saltlick................ Data Kependudukan Desa Sekitar Kawasan CTNNB................... Penilaian Daya Tarik Wisata di CTN Nantu-Boliyohuto............... Penilaian Aksesibilitas CTN Nantu-Boliyohuto............................ Penilaian Fasilitas Wisata di CTN Nantu-Boliyohuto.................... Penilaian Lingkungan dan Masyarakat CTN Nantu-Boliyohuto..... Kelas Ketinggian CTN Nantu-Boliyohuto.................................... Klasifikasi Kelerengan di CTN Nantu-Boliyohuto ......................... Klasifikasi Penutupan Lahan di CTNNB..................................... Hasil Penilaian Potensi Zona Berdasarkan Sensitivitas Ekologi..... Penyebaran Daya Tarik Wisata Alam Pada Kawasan CTNNB...... Zona Pengelolaan CTN Nantu-Boliyohuto...................................
Halaman 24 38 39 40 44 45 48 53 60 65 74 75 77 77 82 84 87 96 102 105 108 112 114 116 123 133 140
DAFTAR GAMBAR No
Teks
1.1. 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 4.1. 5.1. 5.2. 5.3. 5.4. 5.5. 5.6 5.7. 5.8. 5.9. 5.10. 5.11. 5.12. 5.13. 5.14. 5.15. 5.16. 5.17. 5.18
Kerangka Pikir ........ ........................................................................ Alternatif Pengelompokan dan Arah Pengelolaan Taman Nasional Sistimatika Konsep Wilayah .... ...................................................... Flowchart Tahapan Penetapan Zonasi .......................................... Trend Kunjungan Wisatawan Dunia …………………………......... Diagram Kunjungan Wisatawan Provinsi Gorontalo ...................... Keterkaitan antar Unsur Pembangun Sistem Pariwisata ................. Kepentingan Pelaku Pariwisata Terhadap Sumberdaya .................. Lokasi Penelitian di CTN Nantu-Boliyohuto................................. Desain Metode Garis Berpetak ... .................................................... Skema Analisis Multikriteria Zonasi CTNNB . ............................... Kerangka Penilaian Zonasi CTNNB... ... ......................................... Peta Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto............................. Jenis Tumbuhan Endemik dan Dilindungi pada Kawasan CTNNB.. Jenis Satwa Endemik dan Dilindungi pada Kawasan CTNNB........ Pembalakan dan Pencurian Liar.................................................... Kegiatan PETI dalam Kawasan CTNNB....................................... Kegiatan Pengambilan Hasil Hutan Non-Kayu.............................. Pemandangan Selama Perjalanan Jalur Sungai............................... Kubangan Saltlick........................................................................ Air Terjun dalam Kawasan CTNNB............................................. Diagram Kunjungan Wisatawan ke Provinsi Gorontalo................. Peta Kelas Ketinggian.................................................................. Peta Kelas Lereng………………………………………………….. Peta Penutupan Lahan.................................................................. Jejak Kaki dan Kotoran Babirusa dan Anoa................................... Peta Sensivitas Satwa Endemik..................................................... Peta Sensitivitas Ekologi................................................................ Peta Penggunaan Lahan..................................................................... Peta Sebaran Daya Tarik Wisata........................................................ Peta Zona Pengelolaan CTNNB.........................................................
Halaman 12 27 30 41 43 46 49 50 59 61 68 72 73 83 85 91 92 94 96 98 99 102 113 115 117 120 122 124 130 134 141
1
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Dalam UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan
Ekosistemnya, taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam (KPA) yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Tujuan pengelolaan di atas dapat dikelompokkan ke dalam 4 (empat) aspek utama yaitu: konservasi, penelitian, pendidikan, dan kepariwisataan. Sistem zonasi merupakan cara atau metode pengelolaan taman nasional untuk mewujudkan fungsi KPA, yaitu: perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam (SDA) hayati dan ekosistem. Sistem zonasi memegang peran penting dalam mengatur peruntukan kawasan dan akses pemanfaatan. Dengan menerapkan sistem zonasi sebagai kebijakan pengelolaan, maka kawasan taman nasional akan dipilah-pilah ke dalam beberapa zona sesuai dengan fungsinya. Dalam hal ini akan diperlukan zona-zona yang mempunyai fungsi utama perlindungan/konservasi, fungsi utama pendidikan, fungsi utama rekreasi dan zona dengan fungsi utama meredam aktifitas masyarakat yang bersifat negatif di sekitar kawasan. Zonasi ditentukan sebagai hasil analisis spasial pengelompokan yang mempunyai kemampuan dan karakteristik yang sama, dengan tujuan memberikan arah pengelolaan dan perencanaan menyeluruh pada suatu wilayah, yang membagi wilayah tersebut ke dalam zona-zona yang sesuai dengan peruntukan dan kegiatan yang bersifat saling mendukung (compatible) serta memisahkannya dari kegiatan yang saling bertentangan (incompatible) (Rustiadi et al., 2004). Sistem zonasi pada taman nasional bukan berarti melarang penggunaannya dalam zona tertentu, tetapi menandakan adanya perbedaan tujuan pengelolaan pada bagian-bagian (zona) yang berbeda (Walter, 1986 dalam Bos, 1991). Zonasi juga merupakan penataan ruang pada setiap kawasan taman nasional dimana penerapan dan penegakan hukum dilaksanakan secara tegas dan pasti. Sebagai
2
konsekuensi dari sistem zonasi tersebut, maka setiap perlakuan atau kegiatan terhadap kawasan taman nasional, untuk kepentingan pengelolaan dan pemanfataan, harus bercermin pada aturan yang berlaku pada setiap zona dimana kegiatan tersebut dilakukan. Dengan demikian keberadaan zonasi dalam sistem pengelolaan taman nasional menjadi sangat penting, tidak saja sebagai acuan dalam menentukan gerak langkah pengelolaan dan pengembangan konservasi di taman nasional, tetapi sekaligus merupakan sistem perlindungan yang akan mengendalikan aktivitas di dalam dan di sekitarnya. Namun kenyataannya tidak ada taman nasional yang tidak mengalami tekanan, dan tidak ada yang tanpa keberadaan masyarakat. Berbagai kerusakan sumberdaya alam (SDA) dan pencemaran lingkungan terus meningkat. Akar masalahnya kompleks, berbagai macam bentuk tekanan yang mempengaruhi laju kerusakan antara lain lemahnya upaya penegakan hukum, rendahnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap lingkungan, belum adanya koordinasi yang terjalin secara sistematis antara pengelola taman nasional dengan pemerintah daerah, serta penunjukan taman nasional tanpa konsultasi dengan pihak lain dan tidak mempertimbangkan keberadaan masyarakat di kawasan tersebut. Selama dua dekade terakhir, kegiatan pembangunan yang ada telah mengakibatkan habitat alami dan keanekaragaman jenis mengalami penurunan akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Terlebih lagi sejak munculnya era reformasi yang dipersepsikan oleh masyarakat sebagai era yang boleh melakukan apa saja. Penjarahan kayu dan hasil hutan semakin meningkat, sehingga sumber daya hutan yang masih tersisa dan berada dalam kawasan konservasi terancam (Dephut, 2004). Selain itu, pertumbuhan penduduk juga menimbulkan beberapa masalah dalam hal penggunaan ruang dan lahan yang semakin sempit, yang mengakibatkan wilayah-wilayah dan sumberdayasumberdaya yang termasuk pada kawasan konservasi telah berubah fungsi dan peruntukannya, baik secara legal maupun ilegal. Semua kawasan konservasi yang dikelola
pemerintah
untuk
kepentingan
umum
mengalami
kerusakan,
pengurangan luas, atau diperebutkan berbagai pihak yang ingin memanfaatkan kawasan tersebut untuk kepentingan lain, seperti yang terjadi pada TN Rawa Aopa Watumohai yang mengalami kerusakan seluas 9000 Ha, TN Kerinci Seblat
3
mengalami kerusakan sebesar 41.303 Ha, atau TN Bukit Barisan yang mengalami total kerusakan seluas 50.000 Ha dengan laju kerusakan 4000 Ha pertahun. Menyikapi kenyataan kondisi taman nasional tersebut, maka penyusunan zonasi tidak lagi hanya berisi pada “pelarangan atau perijinan” akses manusia terhadap pemanfaatan SDA hayati dan ekosistemnya, tetapi lebih mengarah kepada
“keberlanjutan
menyebabkan
atau
ketidakberlanjutan”.
pendekatan-pendekatan
pengelolaan
Kesalahan taman
paradigma
nasional
selalu
menempatkan masyarakat sebagai bawahan yang harus mengikuti keinginan atasan (penguasa). Akibatnya sering terjadi konflik antara pemegang kekuasaan, pengelola, dengan masyarakat setempat. Berbagai kasus yang terjadi pada beberapa taman nasional selama ini antara lain: pada TN Kutai terdapat areal Hak Pengusahaan Hutan dan pertambangan milik Pertamina dan seluruh fasilitasi perusahaan termasuk kompleks karyawan (http://www. Hamline.edu); pada TN Bogani Nani Wartabone terdapat pemukiman masyarakat Desa Pinogu yang berada dalam kawasan zona inti; pada zona inti TN Lore Lindu terdapat wilayah upacara adat Suku Toro dan melarang masyarakat masuk ke zona tersebut sehingga menimbulkan konflik antara pengelola dan masyarakat adat Suku Toro; perladangan liar dan konversi menjadi perkebunan, pertanian dan pemukiman yang menyebabkan hancurnya jutaan hektar hutan tropis pada taman nasional; serta perdagangan satwa liar yang tidak bisa dikendalikan. Indonesia memiliki 50 taman nasional (TN) dengan kondisi status rencana pengelolaan (RP): 8% (4 TN) belum memiliki RP, 64% (32 TN) telah memiliki RP dan telah disahkan, dan 28% (14 TN) telah memiliki RP tapi belum disahkan. Sedangkan 50% (25 TN) belum memiliki zonasi, 44% (22 TN) sudah memiliki zonasi dan sudah disahkan, dan 6% (3 TN) sudah memiliki zonasi tapi belum disahkan (Dephut, 2008). Kenyataan ini menjelaskan bahwa pengelolaan suatu taman nasional tidak mudah dilakukan. Untuk menyempurnakan pengelolaan taman nasional, maka dibuatlah Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 56 tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional yang merupakan pengembangan dari pedoman zonasi taman nasional yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1968 tentang KSA dan KPA. Permenhut ini memberikan peluang cukup besar bagi akses masyarakat dan penyelesaian konflik
4
tenurial khususnya di kawasan taman nasional, juga memberi peluang yang lebih baik dan kemungkinan penerapannya jauh lebih mudah karena sudah ada zona pengelolaan yang disepakati oleh masyarakat, baik wilayahnya maupun regulasinya. Dalam Permenhut No 56/2006, zonasi pada taman nasional terdiri dari zona inti, yaitu bagian dari kawasan taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang
mutlak
dilindungi,
berfungsi
untuk
perlindungan
keterwakilan
keanekaragaman hayati yang asli dan khas; zona rimba yaitu bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan; zona pemanfaatan, yaitu bagian dari kawasan taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya; zona tradisional, yaitu bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan SDA; zona rehabilitasi, yaitu bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan; zona religi, budaya dan sejarah, yaitu bagian dari taman nasional yang didalamnya terdapat situs religi, peninggalam warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungna nilai-nilai budaya atau sejarah; dan zona khusus, yaitu bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional, antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik. Beberapa kawasan di Provinsi Gorontalo yaitu: Suaka Margasatwa (SM) Nantu seluas 33.891 Ha, Hutan Lindung (HL) Boliyohuto ( 19.641 Ha) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Boliyohuto ( 9.991 Ha) akan digabung menjadi satu unit pengelolaan taman nasional dengan luas 63.523 Ha berdasarkan Surat Usulan No. 522.21/05/638/2003 tanggal 8 April 2003. Usulan ini diajukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Gorontalo sebagai Taman Nasional ke Menteri
5
Kehutanan dengan nama Taman Nasional Nantu-Boliyohuto (BKSDA, 2002). Sebagai kawasan yang sedang diusulkan sebagai kawasan taman nasional, Calon Taman Nasional (CTN) Nantu-Boliyohuto membutuhkan rencana pengelolaan yang menjamin tercapainya tujuan perlindungan sistem-sistem ekologis dan sistem penyangga kehidupan, pengawetan sumber plasma nutfah dan pelestarian sumberdaya hayati, dan pemanfaatan secara lestari. Penelitian Clayton (1996) & Dunggio (2005) menemukan potensi keanekaragaman satwa yang umumnya merupakan jenis-jenis yang endemik, yaitu: babirusa (Babyrousa babyrussa), anoa (Bubalus depressicornis), monyet hitam sulawesi (Macaca heckii), tarsius (Tarsius spectrum), kuskus sulawesi (Strigocuscus celebensis), dan babi hutan sulawesi, serta 80 jenis burung (35 jenis diantaranya merupakan endemik Sulawesi). Selain itu, kawasan ini memiliki keanekaragaman tumbuhan, antara lain Caryota mitis, Cycas rumphii, dan Livistonia rotundifolia atau daun woka (termasuk dalam appendix II CITES), Macaranga crassistipulosa, Elmerillia ovalis,, Terminalia celebica, Diospyros hebecarpa, (endemik Sulawesi), pohon rao atau Dracontomelon dao dan Palaquium obovatum atau yang lebih dikenal dengan nama pohon Nantu yang diameter batangnya dapat mencapai 150 cm, serta Anggrek Raksasa atau Grammatophyllum speciosum(dilindungi berdasarkan PP
No 7 tahun 1999).
Keunikan anggrek ini adalah ukuran tubuhnya yang besar dimana panjang batangnya dapat mencapai 5 meter. Potensi lain yang dimiliki oleh CTN NantuBoliyohuto adalah panorama alam/karakteristik ekosistem (sungai, air terjun, perbukitan), dan kubangan air garam alami (salt-lick) sebagai tempat bermain dan berkumpulnya babirusa dan jenis-jenis mamalia lainnya. Pengelolaan taman nasional bukan hanya difokuskan pada potensi spesies flora dan fauna khas yang dilindungi, namun juga kebutuhan sosial ekonomi masyarakat sekitar, baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga selain kondisi di dalam kawasan, penentuan zona taman nasional juga harus mempertimbangkan kondisi lingkungan daerah penyangga (buffer area). Pembagian kawasan taman nasional ke dalam zona bersifat khas untuk masingmasing kawasan (site spesific) sesuai dengan kondisi lingkungan (biofisik) serta sosial ekonomi dan budaya lokal. Pengaturan zonasi dapat berperan melalui
6
pemberian akses pemanfaatan sumberdaya hayati dan ekosistem yang lestari dalam bentuk alokasi lahan atau zona tertentu kepada masyarakat daerah penyangga. Upaya ini diharapkan dapat membantu peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat, membangun kesadaran konservasi, dan mendorong partisipasi sosial untuk ikut mengamankan kawasan taman nasional. Paradigma baru pengelolaan kawasan
konservasi
bertujuan untuk
mengurangi ketergantungan dana pengelolaan dari pihak luar dan melakukan konservasi dengan biaya sendiri. Ini dapat dilakukan melalui pengembangan pemanfaatan berbagai potensi kawasan dan mampu mengarahkan pada orientasi bisnis yang dilakukan dalam koridor-koridor pemanfaatan yang menjamin kelestariannya. Pola kemitraan yang melibatkan masyarakat lokal dan pihak swasta tampaknya merupakan peluang yang bisa dimanfaatkan. Melibatkan dan memberdayakan masyarakat merupakan proses untuk memfasilitasi dan mendorong masyarakat agar mampu menempatkan diri secara proporsional dan menjadi pelaku utama dalam memanfaatkan lingkungan strategisnya untuk mencapai suatu keberlanjutan dalam jangka panjang. Pemberdayaan masyarakat memiliki
keterkaitan
erat
dengan
pembangunan
berkelanjutan
dimana
pemberdayaan masyarakat merupakan suatu prasyarat utama serta dapat diibaratkan sebagai gerbong yang akan membawa masyarakat menuju suatu keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi yang dinamis. Ekowisata merupakan konsep operasional dari konsep pembangunan berkelanjutan, yang merupakan kegiatan konservasi yang dapat menjembatani kepentingan pemerintah dalam hal konservasi dan kepentingan masyarakat lokal dalam
hal
pengembangan
ekonomi.
Pengembangan
ekowisata,
yang
pelaksanaanya berbasis pada masyarakat merupakan salah satu alternatif bisnis konservasi yang potensinya sangat besar untuk dikembangkan. Ekowisata merupakan suatu konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan pariwisata berbasis pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan, serta berintikan partisipasi aktif masyarakat, dan dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran, berdampak negatif minimal, memberikan konstribusi positif terhadap pembangunan ekonomi daerah, dan diberlakukan bagi kawasan lindung, kawasan terbuka, kawasan alam binaan, serta kawasan budaya. Ekowisata
7
diyakini mampu mempaduserasikan semua kepentingan dalam suatu hubungan timbal balik yang saling tergantung dan saling mempengaruhi dalam pengelolaan kawasan taman nasional yang berkelanjutan yang memperhatikan aspek ekologi, sosial budaya, dan ekonomi (Sekartjakarini, 2004). Pendekatan konsep ekowisata digunakan pada perencanaan pengembangan pengelolaan kawasan CTNNB karena implementasi konsep ekowisata ini adalah : 1) dapat menghasilkan uang untuk mengelola dan melindungi habitat dan spesies; 2) melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya; 3) memungkinkan masyarakat setempat memperoleh manfaat ekonomi dari kawasan; dan 4) memberikan sarana untuk meningkatkan kesadaran orang akan pentingnya pengetahuan dan pelestarian lingkungan. Beberapa contoh taman nasional yang menjadikan kegiatan ekowisata sebagai sumber ekonomi adalah Taman Nasional Virungan Rwanda, yang mempunyai kekayaan satwa jenis gorila. Tingginya arus wisatawan yang datang berkunjung pada tahun 1990 untuk melihat gorila telah menyumbangkan perolehan sejumlah 1 juta dollar AS. Pengelolaan ekowisata dapat juga dilakukan pada kawasan penyangga, contohnya pada Menjangan Jungle and Beach Resort yang terletak di zona penyangga Taman Nasional Bali Barat. Resort ini luasnya sekitar 300 Ha. Resort ini tidak menarik karcis masuk bagi wisatawan, tetapi setiap aktivitas yang ada dalam kawasan dikenakan tarif : 1) naik kuda untuk trekking US$ 45/jam, dan naik menjadi US$ 55/2 jam; 2) bersepeda bertualang dalam hutan US$ 50; 3) pengamatan burung US$ 40; dan menyelam US$ 45. Penghasilan dari perolehan belanja wisatawan ini sebagian dipergunakan untuk merehabilitasi kawasan. Contoh pengelolaan taman nasional yang melibatkan masyarakat adalah Taman Nasional Ayers Rock yang merupakan salah satu tempat yang sering di kunjungi di Australia. Sebagian besar pengelolaan dan manajemen taman nasional ini dilakukan oleh pendudukk asli (suku Aborigin), yang bekerja sama dengan pemerintah. Potensi sumber daya alam hayati dan ekosistem yang dimiliki kawasan CTNNB menunjukkan bahwa kawasam ini memiliki obyek dan daya tarik wisata alam. Atraksi satwa liar dan pengamatan burung yang endemik, keunikan dan keindahan bentang alam, serta budaya masyarakat yang ada pada kawasan CTN Nantu-Boliyohuto ini jika di rancang dan dikembangkan akan mampu menarik
8
minat wisatawan untuk berkunjung sehingga dapat mendatangkan dampak ekonomi yang berarti. Hal ini juga sejalan dengan program Pemerintah Provinsi Gorontalo yang tercantum dalam Strategi dan Pengembangan Kepariwisataan Gorontalo (2005), yang menyebutkan bahwa air terjun Adudu Nantu dan Kawasan SM Nantu merupakan obyek dan daerah tujuan wisata. 1.2.
Kerangka Pikir Tujuan suatu kawasan ditetapkan sebagai taman nasional untuk dapat
memberikan manfaat: 1) ekologis yang mampu melestarikan keanekagaraman hayati dan sekosistemnya; 2) ekonomi yang berarti mampu memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia; dan 3) sosial yang berarti mampu menciptakan kesempatan kerja dan berusaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun kenyataan menunjukkan bahwa tujuan tersebut belum terwujud. Keberadaan taman nasional justru sering dianggap sebagai sumber konflik antar berbagai pihak. Secara ekologi degradasi SDA hayati dan ekosistemnya terjadi hampir di seluruh taman nasional dan cenderung meningkat, baik yang disebabkan oleh illegal logging, perambahan kawasan, maupun karena desakan pembangunan sektor
non
kehutanan,
diantaranya
untuk
perkebunan,
pertambangan,
perindustrian, dan pemukiman. Secara sosial ekonomi sistem pengelolaan taman nasional belum mampu mendukung peningkatan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat di sekitar taman nasional secara optimal. Dari aspek persepsi dan partisipasi masyarakat tentang konservasi SDA dan ekosistem kawasan taman nasional masih rendah, yang ditunjukkan dengan masih maraknya illegal logging, penambangan emas tanpa ijin (PETI), perambahan kawasan, dan perburuan satwa. Penetapan suatu kawasan sebagai taman nasional sama dengan menutup akses masyarakat terhadap pemanfaatan SDA dalam kawasan, sementara masyarakat masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap SDA tersebut. Keadaan ini menimbulkan kesan bahwa taman nasional tidak memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar, sehingga timbullah dikotomi antara konservasi dan ekonomi. Konservasionis memandang kawasan konservasi sebagai ekosistem yang harus dijaga keutuhan fisik dan kelestarian SDA hayatinya, sehingga kegiatan-kegiatan ekonomi yang terkait langsung dengan kawasan dibatasi bahkan dilarang sama sekali, karena akan menyebabkan terdegradasinya
9
kualitas SDA hayati dan ekosistem kawasan. Sebaliknya ekonom memandang kawasan konservasi dengan segala potensinya sebagai aset ekonomi yang akan memberikan manfaat ekonomi atau kesejahteraan diseksploitasi dan dimanfaatkan secara langsung. Dikotomi ini pada akhirnya hanya akan memastikan degradasi tetap terus terjadi. Widada (2008) menjelaskan bahwa dikotomi tidak perlu terjadi jika memahami 5 prinsip esensi konservasi dan ekonomi, yaitu : 1) konservasi merupakan landasan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, tanpa adanya jaminan ketersediaan SDA hayati, maka pembangunan ekonomi akan terhenti; 2) ekonomi merupakan landasan pembangunan konservasi yang berkelanjutan, tanpa adanya manfaat ekonomi bagi masyarakat secara berkelanjutan, maka program konservasi akan terhenti karena masyarakat tidak peduli; 3) kegiatan konservasi dan ekonomi, keduanya bertujuan meningkatkan mutu kehidupan dan kesejahteraan masyarakat; 4) dengan pengetahuan konservasi manusia akan lebih mampu memahami kompleksitas ekosistem alami sehingga menyadari bahwa SDA perlu dikelola secara hati-hati agar tetap lestari meskipun SDA tersebut dimanfaatkan secara terus menerus; dan 5) dengan pengetahuan ekonomi manusia akan mampu menentukan pilihan-pilihan kegiatan ekonomi yang paling rasional dalam penggunaan SDA untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya secara berkelanjutan. Dengan memahami prinsip-prinsip di atas maka pengelolaan kawasan taman nasional seharusnya mampu mengembangkan program konservasi yang dapat mengkaitkan kegiatan ekonomi masyarakat, atau sebaliknya mengembangkan kegiatan ekonomi masyarakat yang dapat mengkaitkan program konservasi, yaitu suatu konsep pemberdayaan masyarakat yang dapat membuka alternatif peningkatan ekonomi bagi masyarakat sekitar taman nasional sekaligus berkontribusi pada konservasi dengan meningkatkan kepedulian dan dukungan perlindungan kawasan yang memiliki nilai biologis, ekologis, dan nilai sejarah yang tinggi. Ekowisata merupakan konsep operasional dari konsep pembangunan berkelanjutan, yang merupakan kegiatan konservasi yang dapat menjembatani kepentingan pemerintah dalam hal konservasi dan kepentingan masyarakat lokal dalam hal pengembangan ekonomi. Ekowisata adalah perpaduan antara
10
konservasi dan pariwisata dimana pendapatan yang diperoleh dari pariwisata seharusnya dikembalikan kepada kawasan untuk perlindungan dan pelestarian keanekaragaman hayati serta perbaikan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ekowisata harus mempertimbangkan daya dukung lingkungan, melibatkan secara aktif masyarakat lokal dan budayanya, mempromosikan pendidikan lingkungan, serta memberikan manfaat ekonomi bagi pengelolaan taman nasional dan masyarakat sekitarnya (Sekatjakrarini, 2004; Ceballos-Lascurain, 1996; Boo, 1990). Hal ini sejalan dengan tujuan ditetapkannya suatu kawasan menjadi taman nasional, yaitu: perlindungan sistemsistem ekologis dan sistem penyangga kehidupan, pengawetan sumber plasma nutfah, pelestarian sumberdaya hayati, dan pemanfaatan secara lestari. Merujuk pada definisi taman nasional, yaitu kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (UU No 5/1990, Permenhut No 56/2006, PP No 28/20911), maka sistem pengelolaan pada taman nasional dilakukan dengan sistem zonasi. Permenhut No.56/Menhut-II/2006 tentang pedoman zonasi taman nasional, membagi taman nasional ke dalam tujuh zona, yaitu: zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah, serta zona khusus. Proses penyusunan zona pengelolaan terbagi dalam beberapa tahapan. Tahapan pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi dan menganalisis kondisi eksisting dan potensi kawasan dari aspek ekologi, aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar, dan aspek ekonomi berupa potensi jasa lingkungan. Tahapan kedua adalah melakukan analisis pengelolaan kawasan berdasarkan konsep ekowisata. Analisis dilakukan berdasarkan pada beberapa unsur utama (Shelly et al., 2001), yaitu: 1) Kualitas dan keunikan sumber daya alam, peninggalan sejarah dan budaya sebagai obyek dan daya tarik wisata (ODTW). Kekayaan keanekaragaman hayati merupakan daya tarik utama bagi pangsa pasar ekowisata, sehingga kualitas, keberlanjutan dan pelestarian sumber daya alam,
11
peninggalan sejarah dan budaya menjadi sangat penting untuk ekowisata. Pengembangan ekowisata juga memberikan peluang yang sangat besar, untuk mempromosikan pelestarian keaneka-ragaman hayati Indonesia, khususnya kawasan CTNNB di tingkat internasional, nasional, regional dan lokal. 2) Pemberdayaan dan pelibatan masyarakat, mulai dari tingkat perencanaan hingga pada tingkat pengelolaan, dengan memanfaatkan pengetahuan tentang alam dan budaya serta kawasan daya tarik wisata, dimiliki oleh masyarakat setempat, 3) Pendidikan dan interpretasi untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. Ekowisata memberikan nilai tambah kepada pengunjung dan masyarakat setempat dalam bentuk pengetahuan dan pengalaman. Nilai tambah ini mempengaruhi perubahan perilaku dari pengunjung, masyarakat dan pengembang pariwisata agar sadar dan lebih menghargai alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. 4) Ekowisata sebagai sarana mewujudkan ekonomi berkelanjutan. Ekowisata memberikan peluang untuk mendapatkan keuntungan bagi penyelenggara, pemerintah dan masyarakat setempat, melalui kegiatan-kegiatan yang non-ekstraktif dan nonkonsumtif
sehingga
meningkatkan
perekonomian
daerah
setempat.
Penyelenggaraan yang memperhatikan kaidah-kaidah ekowisata, mewujudkan ekonomi berkelanjutan; dan 5) Pertumbuhan pasar ekowisata di tingkat internasional
dan
nasional.
Kenyataan
memperlihatkan
kecendrungan
meningkatnya permintaan terhadap produk ekowisata baik ditingkat internasional maupun nasional. Hal ini disebabkan meningkatnya promosi yang mendorong orang untuk berprilaku positif terhadap alam dan berkeinginan untuk mengunjungi kawasan-kawasan yang masih alami agar dapat meningkatkan kesadaran, penghargaan dan kepeduliannya terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya setempat. Tahapan ketiga adalah menyusun zonasi pengelolaan CTNNB berdasarkan pada kriteria dan indikator zonasi taman nasional, yang dianalisis sesuai dengan kondisi eksisting kawasan dari aspek ekologi, sosial budaya, dan potensi ekonomi. Beberapa parameter yang dipertimbangkan adalah: 1) kriteria ekologi: penyebaran satwa & tumbuhan, penutupan lahan, kelerengan, ketinggian,; 2) kriteria sosial: penggunaan lahan oleh masyarakat; dan 3) kriteria ekonomi: penyebaran
12
ODTWA. Pembobotan dan penilaian kriteria-kriteria di atas harus dilakukan dengan teliti, akurat dan saling bersinergi antara aspek ekologi, sosial, dan ekonomi, sehingga akan menghasilkan zonasi pengelolaan yang tepat. Skema kerangka pikir penyusunan zonasi taman nasional dengan pendekatan ekowisata pada CTN Nantu-Boliyohuto dapat dilihat pada Gambar 5.1. TAMAN NASIONAL Kelestarian SDAHE; Peluang kerja untuk kesejahteraan masy; Memenuhi kebutuhan hidup
(+) Kerusakan/ degradasi; Kehati menurun; konflik antar stakeholder;
MASYARAKAT (-)
Dikotomi Konservasi vs Ekonomi
konversi kawasan
Kondisi kawasan
masyarakat sekitar terabaikan
Ekologi; Sosial budaya; Ekonomi
(-)
Ekowisata Konservasi; Partisipasi; Edukasi, rekreasi; Ekonomi; Kendali
Kelestarian SDAHE; minat terhadap kegiatan WA meningkat; Pelibatan masyarakat bisa meningkatkan kesejahteraannya
Dikelola dengan Sistem Zonasi
Kriteria Penyusunan Zonasi
(+)
Zonasi Pengelolaan Taman Nasional Gambar 1.1. Kerangka pikir penyusunan zonasi CTNNB dengan pendekatan ekowisata Hasil akhir dari proses penyusunan ini adalah ditetapkannya zonasi pengelolaan. Dalam kawasan taman nasional sekurang-kurangnya terdiri dari zona inti, yang diperuntukkan pada perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya; zona rimba, kawasan penyangga antara zona inti dan zona pemanfaatan yang diperuntukan pada kegiatan pengawetan dan pemanfaatan
13
sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti; dan zona pemanfaatan, yang diperuntukkan pada pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengenmbangan yang menunjang pemanfaatan, kegiatan penunjang lainnya (Permenhut No 56/2006). 1.3. Perumusan Masalah Sebagai kawasan yang sedang diusulkan menjadi kawasan taman nasional, pemerintah daerah harus bisa mengantisipasi dan mencegah terjadinya kesalahan pengelolaan pada kawasan CTNNB. Pemerintah daerah harus mempunyai draft perencanaan bagaimana arah pengelolaan kawasan ini kedepan, yang nantinya digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan zonasi pengelolaan dan penyusunan rencana strategis pengelolaanya sesuai dengan kondisi kawasan dan fungsi peruntukannya. Penyusunan zonasi harus melalui proses check and recheck kondisi eksisting kawasan, baik dari aspek ekologi, sosial budaya masyarakat, dan aspek ekonomi. Salah satu kendala bagi penyusunan zonasi pada kawasan CTN Nantu-Boliyohuto adalah masih kurangnya data-data tentang kondisi eksisting kawasan, yang merupakan hal penting dalam penyusunan zonasi. Hasil survey pada beberapa instansi pemerintah (Dinas Kehutanan, Bappeda, BKSDA) maupun di lokasi kawasan CTN, tidak ditemukan data-data yang akurat dan relevan. Clayton (1996), Hiola (2004) dan Dunggio (2005) melakukan penelitian hanya pada bagian kawasan SM Nantu. Sedangkan pada kawasan bagian HL Boliyohuto dan HPT Boliyohuto tidak ditemukan data eksisting dan rencana pengelolaan yang sedang berlaku. Sebagai pendekatan yang digunakan pada penyusunan zonasi, perlu dilakukan kajian kelayakan penyelenggaraan kegiatan ekowisata pada kawasan CTNNB
sesuai
dengan
persyaratan-persyaratan
ekowisata.
Selanjutnya
menjabarkannya ke dalam proses penyusunan kriteria dan indikator penetapan zonasi. Berdasarkan kondisi kawasan CTN Nantu-Boliyohuto, maka dapat dirumuskan permasalahan yang berkaitan dengan proses penyusunan zonasinya, yaitu:
14
1.
Bagaimanakah kondisi eksisting ekologi dan kondisi sosial budaya masyarakat di kawasan CTN Nantu-Boliyohuto ?
2.
Bagaimanakah kajian CTN Nantu-Boliyohuto sebagai kawasan ekowisata ?
3.
Bagaimana proses penyusunan zonasi CTN Nantu-Boliyohuto ?
1.4.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan yang ada pada CTN Nantu-
Boliyohuto, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan zonasi pengelolaan CTN Nantu-Boliyohuto yang didasarkan pada keadaan kondisi ekologis (biofisik) kawasan, kondisi sosial budaya masyarakat, dan potensi ekonomi, yang menuju pada pengelolaan kawasan mandiri yang berbasis ekowisata. Untuk mencapai tujuan ini ditetapkan beberapa tujuan operasional penelitian, yaitu : 1.
Mengkaji kondisi ekologi dan kondisi sosial budaya masyarakat di kawasan CTN Nantu-Boliyohuto.
2.
Mengkaji penilaian kawasan CTN Nantu-Boliyohuto sebagai kawasan ekowisata.
3.
Menentukan zonasi kawasan CTNNB.
1.5.
Manfaat Penelitian Secara umum, penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi
pemikiran dan bahan kajian ilmu pengetahuan dan informasi kepada masyarakat, peneliti, wisatawan, pengusaha, pengelola, dan stakeholder lainnya. Secara khusus terhadap kebijakan pusat : 1. Memberikan informasi kepada pemerintah pusat tentang keberadaan CTN Nantu-Boliyohuto,
yang
diharapkan
bisa
ditindaklanjuti
dengan
menganggarkan dana bagi kegiatan pengembangan dan pengelolaan CTN. 2. Sebagai acuan untuk memberikan/menetapkan status hukum sebagai Taman Nasional Nantu-Boliyohuto. 3. Merupakan sumbangan kajian terhadap penyusunan Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) dan penyusunan zonasi ketika kawasan ini telah ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional Nantu-Boliyohuto.
15
Terhadap kebijakan daerah : 1. Menindaklanjuti
pengajuan
kepada
pemerintah
pusat
untuk
segera
menetapkan status kawasan menjadi Taman Nasional Nantu-Boliyohuto. 2. Bersama-sama dengan instansi terkait (para stakeholder) merancang peraturan daerah yang mengatur tentang pengembangan dan pengelolaan kawasan CTN Nantu-Boliyohuto. 1.6.
Kebaruan Kebaruan
(novelty)
dari
penelitian
ini
adalah:
Mengembangkan
proses/mekanisme penentuan kriteria penyusunan zonasi taman nasional dengan pendekatan yang dilakukan. Penelitian ini memadukan kriteria ekowisata sebagai pendekatannya dengan kriteria yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan yang tertuang dalam Permenhut No.56/Menhut-II/2006 tentang pedoman zonasi taman nasional.
Perpaduan ini menghasilkan metodologi penyusunan zonasi
taman nasional yang didasarkan pada kondisi ekologis kawasan, kondisi sosial budaya masyarakat setempat, dan potensi ekonomi kawasan, serta melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama bersama para pihak yang berkepentingan. Zonasi pengelolaan yang terbentuk akan menghasilkan program pengelolaan yang dalam pelaksanaannya dapat meminimalkan konflik antar kepentingan para stakeholder, tumpang tindihnya peruntukan dan pemanfatan kawasan, kerusakan kawasan, memberikan insentif ekonomi berupa PAD, serta mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dengan tetap menjaga kelestarian keberadaan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, yang pada akhirnya terwujudnya sustainable development.
17
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taman Nasional 2.1.1 Sejarah Taman Nasional Yellowstone National Park di Amerika Serikat yang di bangun pada tahun 1872 merupakan pelaksanaan dari konsepsi Taman Nasional yang pertama di dunia. Kemudian sejarah mencatat bahwa Yellowstone National Park ini merupakan unsur pendorong sebagai model pembentukan Taman-Taman Nasional di negara-negara lain. Namun bagi beberapa negara ada kecenderungan bervariasi didalam penerapannya, yang dikarenakan baik oleh pola pengelolaannya maupun karena keadaan geografi, kekayaan sumber daya alam, dan pandangan masyarakat terhadap lingkungan hidupnya. Pada Sidang Umum IUCN (The International Union for Conservation of Nature Resources) yang diadakan di New Delhi pada tahun 1969, menetapkan batasan Taman Nasional sebagai prinsip pokok yang harus dipunyai oleh setiap Taman Nasional, sehingga mempunyai keseragaman di tiap Negara. Dalam Protect Area Category IUCN, taman nasional termasuk dalam kategori II (1994) dan didefinisikan sebagai wilayah alamiah di daratan atau lautan yang ditunjuk untuk: 1) melindungi integritas ekologi satu atau lebih untuk kepentingan generasi kini dan yang akan datang; 2) melarang eksploitasi dan okupasi yang bertentanan dengan tujuan penunjukkannya; 3) memberikan landasan untuk penembangan spiritual, ilmu pengetahuan, rekreasi, dan kesempatan bagi pengunjung yang ramah secara ekologi dan budaya (Wiratno et al., 2004). Di Indonesia, sampai awal dekade tahun 1980-an, konsep taman nasional sebenarnya belum begitu dikenal dalam pengelolaan kawasan pelestarian alam. Undang-undang No.5 tahun 1967 menyebutkan bahwa kawasan pelestarian alam terdiri atas cagar alam, suaka margasatwa, serta hutan wisata yang terbagi lagi menjadi taman buru dan hutan wisata. Namun demikian, pemikiran kearah itu telah berkembang di jajaran Direktoret PPA, hingga pada tahun 1977 lembaga ini memunculkan kriteria taman nasional dengan definisi yang persis sama dengan kesepakatan IUCN tahun 1969, yaitu ‘kawasan pelestarian yang luas, baik di darat maupun di laut, yang didalamnya terdapat satu atau lebih ekosistem alam yang
18
utuh tidak terganggu; didalamnya terdapat jenis-jenis tumbuhan atau satwa beserta habitatnya, juga tempat-tempat yang secara geomorfologis bernilai untuk kepentingan ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan, pendidikan, budaya, rekreasi dan pariwisata, panorama alam yang menonjol; dimana masyarakat diperbolehkan masuk kedalam kawasan untuk berbagai kepentingan tersebut. Didalam Indonesian Conservation Plan, taman nasional didefinisikan sebagai kawasan luas dan relatif belum terganggu yang memiliki nilai alam tinggi, mudah dikunjungi dan bermanfaatn bagi daerah. Sedangkan dalam UU No.5/1990 taman nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (Wiratno et al., 2004). Kriteria penunjukan suatu kawasan menjadi taman nasional tertuang dalam UU No 5/1990, Permenhut No 56/2006, PP No 28/2011, yaitu : 1.
Kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami;
2.
Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami;
3.
Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;
4.
Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam;
5.
Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena pertimbangan kepentingan
rehabilitasi
kawasan,
ketergantungan
penduduk
sekitar
kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. 2.1.2. Kawasan Konservasi Istilah kawasan dalam Undang – Undang No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, diartikan sebagai wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya. Dalam Ensiklopedia Indonesia (Redaksi Ensiklopedia Indonesia 1983), konservasi masih diartikan sempit, yaitu perlindungan benda dan hasil produksi
19
dari kerusakan. Akibatnya banyak kalangan yang memandang pembangunan dan konservasi sebagai dua kutub yang bertentangan. Di satu sisi pembangunan menghendaki adanya perubahan dan di sisi lain konservasi tidak menghendaki adanya perubahan, karena perubahan dapat menimbulkan kerusakan. Pemahaman tersebut menimbulkan anggapan konservasi sebagai penghambat pembangunan. Padahal tujuan konservasi adalah menunjang pembangunan berkelanjutan. Undang – Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menggunakan istilah Kawasan Lindung, yaitu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Sedangkan dalam Undang-Undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya cenderung menggunakan istilah konservasi. Aoyoma (2000) mendefinisikan kawasan konservasi adalah kawasan yang ditetapkan untuk melindungi dan melestarikan
sumber
daya
kehidupan,
yang
pada
akhirnya
menjamin
kesejahteraan dan ketentraman masyarakat yang mempunyai kepentingan bersama (stakeholder) dengan pengelolaan secara berkelanjutan. Menurut Mac Kinnon et al. (1993), kawasan konservasi didefinisikan sebagai kawasan yang dilindungi karena memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu : 1) karakteristik atau keunikan ekosistem, misalnya hutan hujan tropik; 2) adanya spesies khusus yang terancam kepunahan, endemik, spesifik, dan/atau langka; 3) tempatnya memiliki keanekaragaman spesies (megabiodiversity); 4) landskap atau ciri geofisik yang bernilai estetik atau pengetahuan, misalnya glasier, air terjun; 5) fungsi perlindungan hidrologi untuk pengaturan air, erosi, dan kesuburan tanah; 6) fasilitas untuk rekreasi alam, misalnya danau, pantai, pemandangan pegunungan, satwa liar yang menarik, misalnya danau, pantai, sungai, pegunungan; dan 7) tempat peninggalan budaya, misalnya candi, kuil, atau galian purbakala. Pada tahun 1980, World Wild Fund for Nature (WWF) bekerja sama dengan International Union for the Conservation of Nature (IUCN) dan United Nations Environmental Programme (UNEP) menerbitkan dokumen Strategi Konservasi Dunia (BAPPENAS, 2003; MacKinnon et al, 1993). Dokumen yang sangat penting itu menekankan bahwa umat manusia, yang merupakan bagian dari
20
alam, mungkin sekali tidak mempunyai masa depan di planet bumi ini, kecuali bila alam dan sumber daya alaminya dilindungi dan dipelihara. Strategi Konservasi Dunia juga menekankan pentingnya pesan baru bahwa konservasi tidak bertentangan dengan pembangunan dimana konservasi mencakup baik perlindungan alam maupun penggunaan sumber daya alam secara rasional dan bijaksana. Karena itulah, Strategi Konservasi Dunia memberi tekanan pada tiga tujuan utama, yaitu : 1.
Perlindungan
proses-proses
ekologi
dan
sistem-sistem
penyangga
kehidupan. Kehidupan adalah merupakan suatu sistem yang terdiri dari proses berkait satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi, yang apabila terputus akan mempengaruhi kehidupan. Agar manusia tidak dihadapkan pada perubahan yang tidak diduga yang akan mempengaruhi kemampuan pemanfaatan sumber daya alam, maka proses ekologis yang mengandung kehidupan itu perlu dijaga dan dilindungi. Perlindungan sistem penyangga kehidupan ini meliputi usaha-usaha dan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan perlindungan mata air, tebing, tepian sungai, danau dan jurang, pengelolaan akiran sungai; perlindungan terhadap gejala keunikan dan keindahan alam, dan lain-lain. 2.
Pelestarian keanekaragaman hayati dan sumber-sumber plasma nutfah. Sumber daya alam terdiri dari unsur-unsur hayati dan nonhayati (fisik dan nonfisik). Semua unsur ini saling terkait dan saling mempengaruhi. Punahnya salah satu unsur
tidak dapat diganti dengan unsur lain.
pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dapat dilakukan secara in-situ ataupun ex-situ. 3.
Pemanfaatan sumber daya alam dan ekosistem secara lestari. Pada hakekatnya merupakan usaha pengendalian/pembatasan dalam pemanfaatan sumber daya alam sehingga pemanfaatan tersebut dapat dilakukan secara terus-menerus pada masa mendatang.
21
2.1.3. Jenis-Jenis Kawasan Konservasi Berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh IUCN-The World Conservation Union (MacKinnon et al.,1993), ada sepuluh jenis kawasan konservasi yang dikenal di dunia, yaitu : 1.
Cagar Alam, bertujuan untuk melindungi alam dan menjaga proses alami dalam kondisi yang tidak terganggu dengan maksud untuk memperoleh contoh-contoh ekologis yang mewakili lingkungan alami, yang dapat dimanfaatkan bagi keprluan studi ilmiah, pemantauan lingkungan, pendidikan, dan pemeliharaan sumberdaya plasma nutfah dalam suatu keadaan dinamis dan berevolusi;
2.
Taman Nasional, bertujuan untuk melindungi kawasan alami dan berpemandangan indah yang terpenting secara nasional atau internasional serta memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan, dan rekreasi;
3.
Monumen Alam/Landmark Alam, bertujuan untuk melindungi cirri-ciri alami yang bernilai secara nasional karena menarik perhatian atau mempunyai karakteristik yang unik;
4.
Suaka Margasatwa, bertujuan untuk menjamin kondisi alami yang perlu bagi spesies, kumpulan spesies, komunitas hayati, atau cirri-ciri lingkungan fisik yang penting secara nasional, mungkin diperlukan campur tangan manusia yang spesifik untuk menjaga kelestariannya;
5.
Bentang Alam, bertujuan untuk melindungi dan menjaga bentang alam yang penting secara nasional, yang memiliki karakteristik interaksi yang serasi antara manusia dan lingkungannya;
6.
Cagar Sumberdaya, bertujuan untuk melindungi sumberdaya alam kawasan tersebut bagi penggunaan di masa depan dan mencagah kegiatan pembangunan yang dapat mempengaruhi sumberdaya;
7.
Cagar Budaya, bertujuan untuk memungkinkan berlangsungnya cara hidup masyarakat yang serasi dengan lingkungannya;
8.
Kawasan Pengelolaan Sumberdaya Ganda, bertujuan untuk menyediakan produksi air, kayu, satwa, padang penggembalaan dan obyek wisata secara berkelanjutan,
dengan
pelestarian
mendukung kegiatan ekonomi;
alam
terutama
ditujukan
untuk
22
9.
Cagar Biosfir, bertujuan untuk melestarikan keanekaragaman dan keutuhan komunitas tumbuhan dan satwa dalam ekosistem alaminya bagi penggunaan masa sekarang dan masa depan, dan untuk menjaga keanekaragaman plasma nutfah dari spesies yang merupakan bahan baku bagi evolusinya; dan
10. Taman Warisan Dunia, bertujuan untuk melindungi bentang alam yang dianggap memiliki nilai universal yang menonjol dan merupakan daftar pilihan dari kawasan alami dan budaya yang unik di bumi. Di Indonesia, jenis-jenis kawasan konservasi disebutkan dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yaitu: 1.
Kawasan suaka alam yang memegang peranan penting dalam perlindungan
sistem penyangga kehidupan selain berfungsi sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, terdiri atas : 1). Cagar Alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami; dan 2) Suaka Margasatwa merupakan
kawasan
suaka
alam
yang
mempunyai
ciri
khas
berupa
keanekaragaman dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Fungsi pokok suaka margasatwa adalah sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan, satwa beserta ekosistemnya dan sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan. Di dalam suaka margasatwa dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya. 2.
Kawasan pelestarian alam yang terdiri atas : 1) Taman nasional, yaitu
kawasan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang digunakan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman nasional ditata dalam tiga zona, yaitu zona inti, zoba rimba, dan zona pemanfaatan. Zona inti dilindungi secara mutlak dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Zona rimba berfungsi sebagai penyangga zona inti dan zona pemanfaatan merupakan
23
bagian kawasan yang dapat dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata; 2). Taman Wisata Alam adalah kawasan yang tujuan utamanya untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam; dan 3) Taman Hutan Raya (Tahura) adalah kawasan untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli atau bukan asli (eksotik) yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Setiap kategori kawasan konservasi memiliki fungsi, karakteristik, dan manajemen yang berbeda karena memiliki tujuan penetapan dan pengelolaan yang berbeda. Akan tetapi semua kawasan konservasi mempunyai fungsi pokok yang sama yaitu : 1.
sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;
2.
sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya;
3.
untuk pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
2.1.4. Pemanfaatan Kawasan Konservasi Untuk mengakomodir adanya sejumlah masyarakat di dalam dan sekitar hutan dan kawasan konservasi yang masih menggantungkan hidupnya pada hutan dan hasil hutan, pemerintah mengeluarkan beberapa bentuk kebijakan antara lain: 1. Pada kawasan hutan produksi, masyarakat lokal diperbolehkan memungut hasil hutan (kayu, rotan, dan hasil hutan lainnya) untuk kepentingan hidup sehari-hari. 2. Pada kawasan konservasi (Taman Nasional) disediakan zona pemanfaatan tradisional. 3. Adanya program HPH Bina Desa Hutan sebagai upaya meningkatkan kehidupan masyarakat sekitar hutan Pemanfaatan
kawasan
konservasi
diluar
fungsinya
tidak
jarang
menimbulkan berbagai tekanan terhadap keutuhan kawasan dan potensinya. Tidak ada kawasan konservasi yang terbebas dari kegiatan illegal, baik berupa penebangan liar, perburuan liar, perambahan hutan untuk peladangan dan pemukiman, eksplorasi dan eksploitasi bahan tambang, maupun konflik
24
penggunaan lahan dan penggunaan lainnya. Tekanan terhadap kawasan konservasi semakin diperparah karena pihak yang berwenang mengelola kawasan konservasi berjalan di tengah kompleksnya konflik kepentingan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan juga antara pemerintah daerah dengan masyarakat. Masalah ekologis terjadi pula, terutama disebabkan kesalahpahaman dan ketidakpedulian terhadap ekologi didalam merencanakan alokasi dan pemanfaatan lahan. Konflik-konflik kepentingan antara pembangunan dan konservasi akhirnya menghasilkan kesan bahwa kawasan konservasi hanya merupakan kawasan sisa dari alokasi lahan kegiatan lain. Dari sudut pandang keefektifan pengelolaannya, keberadaan kawasan konservasi di Indonesia masih belum dikelola secara optimal. IUCN (2003) dalam Soekmadi (2003) telah menganalisis berbagai permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan konservasi, khususnya di negara berkembang dan menawarkan sebuah pergeseran paradigma yang mendasar, seperti yang dikemukakan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Perubahan paradigma pengelolaan kawasan konservasi Paradigma Lama
Paradigma Baru
Tujuan
Topik
1. Hanya untuk tujuan konservasi 2. Dibangun utamanya hanya untuk perlindungan hidupan liar yang istimewa 3. Dikelola khusus untuk pengunjung wisatawan 4. Nilai utamanya sifat liar 5. About protection
Pengelolaan Masyarakat lokal
Oleh pemerintah pusat 1. Perencanaan & pengelolaan ’memusuhi’ masyarakat 2. Pengelolaan tanpa memperdulikan opini pendapat masyarakat 1. Dikembangkan secara terpisah 2. Dikelola seperti ’pulau biologi’
1. Mencakup tujuan sosial dan ekonomi 2. Dikembangkan juga untuk alasan ilmiah, ekonomi, dan budaya 3. Dikelola bersama masyarakat lokal 4. Mencalkup nilai budaya dari sifat liar yang dilindungi 5. Also about restoration, rehabilitation, and social economic purposes Melibatkan para pihak yang berkepentingan 1. Dikelola bersama untuk dan dikelola oleh masyarakat setempat 2. Dikelola dengan mengakomodasikan kepentingan masyarakat setempat 1. Direncanakan & dikembangkan sebagai bagian dat sistem nasional, regional, & internasional 2. Dikembangkan dalam bentuk ’jaringan’ (PAN Protected Area Network) 1. Dipandang sebagai asset public 2. Dipandang sebagai kepentingan internasional
Cakupan pengelolaan
Persepsi
Teknik pengelolaan
Pendanaan
1. Dipandang utamanya sebagai asset nasional (milik pemerintah) 2. Dipandang hanya untuk kepentingan nasional 1. Pengelolaan dilakukan sebagai respon jangka pendek 2. Orientasi pengelolaan hanya difokuskan pada orientasi teknis Dibayarkan hanya dari pajak (taxpayer) oleh pemerintah Dikelola oleh ilmuan dan para ahli SDA
Kemampuan manajemen Sumber : IUCN, 2003 dalam Soekmadi, 2003
1. Pengelolaan diadaptasikan menurut perspekti jangka panjang 2. Orientasi pengelolaan juga mempertimbangkan aspek politik Dibiayai dari berbagai sumber keuangan yang memungkinkan 1. Dikelola oleh multi-skilled individuals 2. Dikembangkan dari kearifan lokal
25
2.1.5. Peran Serta Masyarakat Terhadap Konservasi Di beberapa kawasan konservasi, seperti pada TN Bukit Tigapuluh, TN Siberut, TN Kayan Mentarang, dan TN Lorentz, peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk yang berada dalam kawasan taman nasional, masih sangat dominan. Masyarakat ini umumnya memiliki kaitan sejarah dan hubungan sosal-ekonomi-religius yang erat dengan kawasan-kawasan taman nasional tersebut. Hubungan ini sudah terbangun selama puluhan tahun, bahkan ratusan tahun, jauh sebelum adanya penetapan kawasan tersebut menjad taman nasional, sehingga taman nasional telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat ini. Analisis historis terhadap peran beberapa sistem pengetahuan lokal dalam berbagai bentuk praktek penggunaan lahan oleh masyarakat tradisional menunjukkan bahwa telah terdapat cukup bukti pentingnya mengadopsi
dan
mengintegrasikan
sistem-sistem
tersebut
dalam
upaya
pengelolaan kawasan konservasi atau upaya-upaya yang dikembangkan dalam starategi nasional (Wiratno et al., 2004). Paradigma konservasi nasional saat ini harus diusahakan berpihak pada masyarakat lokal melalui berbagai instrumen kebijakan yang berorientasi pada pembagian keuntungan serta pembagian hak dan tanggung jawab yang adil dalam pengelolaan kawasan maupun produk-produk konservasi. Konsekuensinya, strategi konservasi harus diarahkan kepada upaya-upaya yang berproses bukan top-down, tetapi lebih mengutamakan dialog, penyelarasan visi dan persepsi yang semuanya memerlukan dukungan berbagai disiplin ilmu sosial. Dengan demikian konservasi bukan lagi menjad monopoli kaum konservasonis, rimbawan, atau pencinta lingkungan saja, karena isu dan masalah dalam pengelolaan kawasan konservasi sangat kompleks dan melebar pada aspek-aspek sosial-budaya dan ekonomi, psikologi, sejarah, hukum dan politik, yang masing-masing kasusnya sangat bervariasi. Pemberdayaan dan peran serta masyarakat terhadap pengelolaan kawasan konservasi telah telah diakomodir oleh pemerintah, seperti yang tercantum pada perundangan dan peraturan pemerintah, antara lain:
26
1.
Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam pada Pasal 49 (pemberdayaan masyarakat) dan pasal 50 (peran serta masyarakat).
2.
Peraturan Menteri Kehutanan No 56 Tahun 2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional pada Pasal 19 (peran serta masyarakat)
3.
Peraturan Menteri Kehutanan No P.19/Menhut-II/2004 Tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam pada Pasal 4 (Pelaksanaan kolaborasi pengelolaan).
4.
Undang-Undang No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan pada Pasal 34, pasal 37 (pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan), pasal 47, pasal 48 (perlindungan hutan dan konserasi alam), pasal 60, pasal 62, pasal 64 (pengawasan), pasal 67 (masyarakat hukum adat), pasal 68, pasal 69, pasal 70 (peran serta masyarakat), pasal 71, pasal 72 (gugatan perwakilan).
5.
Undang-Undang No 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada Pasal 37 (Peran serta masyarakat).
2.1.6. Peranan dan Manfaat Taman Nasional Taman nasional pada setiap negara memegang peranan yang berbeda, tergantung pada keadaan dan perkembangan sosoial ekonomi negara yang bersangkutan serta tergantung pada kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya. Di beberapa negara, pengelolaan taman nasional ditujukan langsung pada perlindungan dan pelestarian satwa dan habitatnya, dimana dengan satwa indah yang dapat berkembang biak menarik sejumlah wisatawan asing sehingga mendatangkan devisa bagi Negara. Negara-negara Afrika Timur (misalnya Kenya dan Tanzania) merupakan Negara yang kaya akan berbagai jenis satwa dengan padang rumputnya, sehingga peranan taman nasional di daerah itu diarahkan pada pemanfaatan satwanya. Negara lain menempatkan kegiatan pengelolaannya pada pelestarian dan perlindungan pemandangan alami yang indah dan menakjubkan dengan keunikan formasi geologi dan geomorfologinya, sehingga memberikan kesempatan kepada pengunjung untuk menikmati kehidupan spiritual dan menyaksikan kedasyatan alam sebagai warisan nasional negara itu. Amerika serikat mempunyai banyak taman nasional yang dikelola dengan tujuan demikian. Ada Negara yang karena kekurangan tempat-tempat berpemandangan indah dan
27
kering akan satwa yang unik dan khas, mengelola taman nasionalnya dengan menitikberatkan perlindungan dan pelestarian ekosistem yang masih murni dan asli, dimana masih terdapat keseimbangan alami antara flora, fauna dan mikro organisme untuk tujuan pendidikan, penelitian dan budaya (Wiratno et al., 2004). Bagi Indonesia yang kaya akan keanekaragaman dan keunikan jenis flora dan fauna serta melimpahnya sumber daya alam dan tersebarnya pemandangan alam yang indah mempunyai potensi yang baik dalam mengelola taman nasionalnya. Pada Taman Nasional Ujung Kulon, pengelolaannya terutama pada badak bercula satu yang sangat terkenal itu. Demikian pula pada Taman Nasional Komodo yang mempunyai biawak komodo yang hanya satu-satunya di dunia. Taman nasional Baluran ditujukan untuk wisata safari, yang mempunyai kondisi yang hampir sama dengan Kenya dan Tanzania. Taman nasional Bromo Tengger Semeru, dengan pemandangan alam serta sumber daya alam berupa kawah dan laut pasirnya, adat istiadat Tengger dan gunung berapi yang selalu mengepulkan asapnya, maka pengelolaannya ditujukan untuk rekreasi (wisata). Wiratno et al. (2004) menggambarkan alternatif kriteria pengelompokan dan arah pengelolaan Taman Nasional Indonesia seperti pada Gambar 2.1.
Taman Nasional
Kriteria Pengelompokan
Arah Pengelolaan
Bukit tigapuluh Kayan Mentarang Betung Kerihun Gunung Palung Lorentz Teluk Cendrawasih Wakatobi RAa Watumohai Sibert Takabonerate Bukit baka-Bukit Raya Lore Lindu
Tingkat ketergantungan masyarakat tradisional
Pengelolaan bersama masyarakat lokal
Karimunjawa BN Wartabone Gunung Leuser Kerinci Seblat Berbak Way Kambas Kutai Kepulauan Seribu G. Halimun-Salak Danau Sentarum Bukit Barisan Tanjung Putting Palung
Tingkat konflik antarsektor dengan masyarakat
Manajemen Kolaboratif
Bunaken Meru Betiri Komodo Bali Barat G. Gede-Pangrango Bromo Tengger Baluran Ujung Kulon Kelimutu Alas Purwo
Tingkat Pengelolaan
Kemandirian pengelolaan
Gambar 2.1. Alternatif pengelompokan & arah pengelolaan TN (Wiratno et al., 2004)
28
2.1.7. Perubahan Kebijakan Taman Nasional Sejak 90 yahun yang lalu, Indonesia telah memiliki pengelolaan kawasan konservasi, dan pada tahun 1990 taman nasional secara sah ditetapkan sebagai bagian dari sistem kawasan konservasi dilindungi (Rhee et al., 2004 dalam Supriyanto et al., 2010). Undang-undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan ekosistemnya dan Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan kerangka kerja dasar hukum yang sah bagi pengelolaan taman nasional di Indonesia. Substansi utama tentang pengelolaan dari kedua undang-undang tersebut yaitu: 1.
Tujuan utama dari pengelolaan taman nasional adalah pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, namun demikian pemanfaatan terbatas dapat dilakukan untuk pendidikan, penelitian, menunjang kegiatan budidaya, dan pariwisata alam.
2.
Pengelolaan taman nasional dikelola oleh Balai Taman Nasional di bawah Departemen Kehutanan.
3.
Sistem zonasi digunakan dalam pengelolaan taman nasional.
4.
Tidak ada zona yang diperuntukkan bagi pemukiman, sawah, pemanenan sumberdaya, atau penggunaan lahan produktif lainnya. Kedua undang-undang tersebut mempertimbangkan bahwa konservasi bebas
dari faktor manusia dan memastikan bahwa semua kegiatan pemanfaatan sumberdaya oleh masyarakat setempat dianggap ilegal. Hasil Konggres Taman Nasional di Durban Yordania tahun 2003 antara lain menyatakan bahwa setiap entitas kawasan konservasi harus memberikan manfaat riil bagi sosial ekonomi masyarakat dan para pihak, serta ekspektasi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan dapat memberikan alternatif mata pencaharian mereka. Setahun kemudian terbit Permenhut No P.19 Tahun 2004 tentang kolaboratif, yang mengakui semua pelaku terkait, termasuk masyarakat setempat sebagai pihak yang berkepentingan yang sah pada pengelolaan taman nasional. Tahun 2006 terbit Permenhut No. P.56 tentang pedoman zonasi taman nasional yang menjadi landasan terbentuknya zona khusus, dimana pemanfaatan lahan yang menyokong mata pencaharian masyarakat setempat dan telah ada sejak sebelum kawasan tersebut menjadi kawawsan taman nasional secara resmi diakui (Dephut, 2006).
29
2.2.
Konsep Perwilayahan (Zonasi) Berbagai istilah tentang kewilayahan seperti “zona”, “ruang”, “kawasan”,
“area”, “daerah”, “wilayah”, dan istilah-istilah sejenis, banyak digunakan dan saling dapat dipertukarkan pengertiannya walaupun masing-masing memiliki bobot penekanan pemahaman yang berbeda-beda
(Rustiadi et al., 2004).
Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang membedakan pengertian ruang, wilayah, dan kawasan. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat usaha manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional, jadi setidaknya wilayah harus memiliki unsur lokasi, bentuk, luas, dan fungsi. Sedangkan kawasan adalah dengan fungsi utama lindung atau budidaya. Sementara menurut Rustiadi et. al (2004), wilayah didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas yang spesifik (tertentu) dimana bagian-bagian dari wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Dari definisi tersebut, terlihat bahwa tidak ada batasan yang spesifik dari luasan suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat “meaningfull’, baik untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengendalian, maupun evaluasi. Dengan demikian, batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis (berubah-ubah).
Sementara itu, pengertian daerah
walaupun tidak disebutkan secara eksplisit namun umumnya dipahami sebagai unit wilayah berdasarkan aspek administratif. Konsep wilayah yang paling klasik (Richardson, 1969; Hagget, Cliff dan Frey,
1977
dalam
Rustiadi
et.al.,
2004)
mengenai
tipologi
wilayah,
mengklasifikasikan konsep wiayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform atau homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Namun cara klasifikasi konsep wilayah menurut Hagget et al. ini ternyata kurang mampu menjelaskan kompleksitas atau keragaman konsep-konsep wilayah yang ada. Menurut Rustiadi et. al. (2001) kerangka klasifikasi konsep wilayah yang lebih
30
mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah yang dikenal selama ini adalah : 1) wilayah homogen, 2) wilayah sistem/fungsional, dan 3) wilayah perencanaan. Dalam pendekatan klasifikasi konsep wilayah yang terakhir, wilayah nodal dipandang sebagai salah satu bentuk dari konsep wilayah sistem. Sedangkan dalam kelompok wilayah perencanaan, terdapat konsep wilayah administratifpolitis dan wilayah perencanaan fungsional. Pengembangan konsep wilayah dan penerapannya pada dunia nyata akan menghasilkan suatu perwilayahan (zonasi). Permukaan bumi akan terbagi-bagi atas berbagai wilayah sesuai dengan konsep wilayahnya. Perbedaan konsep wilayah yang diterapkan menghasilkan perbedaan unit-unit atau batas-batas wilayah yang dihasilkanSistematika pembagian dan keterkaitan berbagai konsep wilayah dapat dilihat dalam Gambar 2.2. Nodal (pusat - hinterland )
Homogen Sistem Sederhana
Desa - Kota Budidaya - Lindung
Wilayah
Sistem ekonomi: Agropolitan, kawasan produksi, kawasan industri
Sistem/ Fungsional Sistem Komplek
Sistem ekologi: DAS, hutan, pesisir Sistem Sosial - Politik: cagar budaya, wilayah etnik
Perencanaan/ Pengelolaan
Umumnya disusun/dikembangkan berdasarkan: Konsep homogen/fungsional: KSP, KATING, dan sebagainya Administrasi-politik: propinsi, kabupaten,kota
Gambar 2.2. Sistematika konsep-konsep wilayah Pada awalnya zonasi muncul pada saat adanya krisis urbanisasi dalam pengelolaan kota diawal era industrialisasi di kota-kota di Eropa dan Amerika Utara terutama yang berhubungan dengan kesehatan, sanitasi, dan masalah transportasi. Zonasi (zoning) adalah istilah dari Amerika Utara untuk sistem pengaturan penggunaan lahan. New York City adalah kota yang pertama mengadopsi pengaturan zoning pada tahun 1916 sebagai reaksi atas pembangunan
31
”The Equitable Building” yang terletak di Brodway 120. Tower bangunan tersebut telah melampaui dan menghalangi pemukiman di sekitarnya sehingga mengurangi kualitas hidup penduduk. Untuk menentukan standar minimum sinar dan udara untuk jalan yang makin gelap akibat makin tingginya bangunan dan memisahkan kegiatan yang dianggap tidak sesuai, dibuatlah pengaturan zoning (zoning regulation). Pengaturan ini ditulis oleh suatu komisi yang diketuai oleh Edward Basset dan ditandatangani oleh Walikota John Purroy Mitchel yang kemudian menjadi ”blueprint” untuk semua wilayah lainnya di negara tersebut. Edward Basset kemudian menulis tentang The Standart State Zoning Enabling Act yang diterima oleh hampir semua negara bagian tanpa perubahan. Diakhir era tahun 1920-an sebagian besar negara bagian telah mengembangkan satu set zoning regulation sesuai kebutuhan masing-masing. Tahun 1926 Mahkamah Agung menetapkan bahwa zoning sebagai hak dari Negara-negara bagian di USA untuk dikenakan pada pemilik lahan (http://en.wikipedia.org/wiki/Zoning). Beberapa pengertian zonasi dapat dilihat dari pernyataan-pernyatan para peneliti, yaitu: zonasi merupakan metode klasifikasi, alat yang ampuh untuk mendeskripsikan fenomena, termasuk didalam menggambarkan hubungan antara manusia dengan sumber daya alam yang dimanfaatkannya di atas permukaan bumi. Keragaman dan perbedaan karakteristik sumberdaya serta perilaku dan cara-cara manusia memanfaatkannya di atas bumi ini dapat dijelaskan dan disederhanakan dengan pengklasifikasian spasial (Rustiadi et. al, 2004). Sejalan dengan hal itu, McKinnon et al. (1993) menyatakan bahwa zonasi merupakan suatu kebijaksanaan untuk membagi kawasan sesuai dengan potensi dan karakteristik sumberdaya alam dan lingkungan untuk memenuhi prinsip-prinsip kelestarian dan pemenuhan kebutuhan manusia secara lestari. Walter (1986) dalam Bos (1993) menyatakan bahwa zonasi merupakan metode perencanaan struktur wilayah dengan cara mendesain unit area untuk tujuan khusus. Dalam pengelolaan taman nasional, zonasi bukan berarti melarang penggunaan kawasan dalam zona tertentu, tetapi zonasi menandakan ada perbedaan dalam hal tujuan pengelolaan pada bagian-bagian taman nasional (zona) yang berbeda. Selain itu zonasi memungkinkan pengawasan yang lebih jelas, spesifik dan efektif. Hal ini berhubungan dengan tujuan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik.
32
Tujuan dari zonasi yaitu: meminimalkan penggunaan lahan yang tidak sesuai, meningkatkan pelayanan terhadap fasilitas yang bersifat publik (umum), menjaga keseimbangan kehidupan masyarakat, dan mendukung peningkatan ekonomi. Zonasi memberikan certainty, legitimacy, dan accountability dalam penggunaan dan pemanfaatan lahan. Tetapi zonasi juga tidak dapat meramalkan keadaan dimasa depan secara rinci, sehingga harus dilakukan rezoning. Zonasi ditentukan sebagai hasil analisis spasial pengelompokkan yang mempunyai kemampuan dan karakteristik yang sama, dengan tujuan memberikan arah pengelolaan dan perencanaan menyeluruh pada suatu wilayah, yang membagi wilayah tersebut ke dalam zona-zona yang sesuai dengan peruntukan dan kegiatan yang bersifat saling mendukung (compatible) serta memisahkannya dari kegiatan yang saling bertentangan (incompatible) (Rustiadi et. al, 2004). Lebih lanjut dikatakan bahwa penentuan zona tersebut difokuskan berdasarkan kegiatan utama dan prioritas pemanfaatan sumberdaya guna mempermudah pengendalian dan pemanfaatan. Rencana zonasi menjelaskan fokus kegiatan dan nama zona yang dipilih berdasarkan kondisi dan kegiatan yang diizinkan atau dapat dilakukan dengan persyaratan tertentu. Kegiatan bersyarat tersebut tidak perlu ditujukan untuk suatu zona tetapi pada waktu yang bersamaan dapat dipertimbangkan berkesinambungan pada suatu zona khusus. Penetapan rencana zonasi dimaksudkan untuk memelihara keberlanjutan sumberdaya dalam jangka panjang serta mengeliminir berbagai faktor tekanan terhadap ekosistem akibat kegiatan yang tidak sesuai (incompatible). Penyusunan rencana zonasi dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu 1) penyusunan rencana zonasi mempertimbangkan kebijakan pembangunan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan daerah, kepentingan masyarakat dan hak-hak ulayat, serta kepentingan yang bersifat khusus; 2) pendekatan bioekoregion dimana ekosistem dibentuk oleh sub-ekosistem yang saling terkait satu sama lainnya, oleh sebab itu kombinasi penggunaan data biogeofisik yang menggambarkan kondisi bio-ekoregion merupakan persyaratan yang dibutuhkan (necessary condition) dalam menetapkan zona-zona yang akan dipilih; dan 3) dilakukan melalui pengumpulan data dan informasi yang dapat digali dari persepsi masyarakat yang hidup di sekitar ekosistem tersebut, terutama kontek historis
33
mengenai kejadian yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya dari masa lampau sampai saat ini, serta implikasinya terhadap keberlanjutan sumberdaya tersebut. Penetapan zona harus mencerminkan kenyataan yang ada di lapangan dengan mempertimbangkan serangkaian data sebagai berikut: bio-ekoregion wilayah, kesesuaian dan peruntukan sumberdaya, penggunaan masa lalu, sekarang dan mendatang, alokasi sumberdaya, kepekaan lingkungan, dan keterkaitan zonasi dengan pengembangan peruntukannya dan keterkaitannya dengan zona lainnya yang berdekatan. Zona pengelolaan merupakan alat bagi pengelola kawasan konservasi untuk memisahkan kawasan yang pemanfaatannya bertentangan serta untuk mengelola kawasan dengan manfaat ganda. 2.2.1. Zoning regulation Zoning regulation adalah ketentuan yang mengatur klasifikasi zona, pengaturan lebih lanjut mengenai pemanfaatan kawasan, dan prosedur pelaksanaannya, yang mencakup definisi hukum, standart, pernyataan kebijakan, dan prosedur untuk memandu aparat daerah dan pemilik lahan dalam pengembangan dan pembangunan. Materi zoning regulation bertujuan untuk mendeskripsikan zona penggunaan lahan yang berbeda-beda, menjelaskan ketentuan aturan yang diterapkan pada setiap zona, menata prosedur untuk mengadministrasikan dan mengubah peraturan zoning (zoning regulation). Fungsi utama zoning regulation adalah sebagai instrumen pengendalian pembangunan (peraturan yang memuat prosedur pelaksanaan pembangunan sampai pada tatacara pengawasannya), sebagai pedoman penyusunan rencana operasional (menjadi jembatan dalam penyusunan rencana tata runag yang bersifat operasional, memuat ketentuan-ketentuan tentang penjabaran rencana yang bersifat makro kedalam rencana yang bersifat submakro sampai pada rencana rinci), dan sebagai panduan teknis pengembangan dan pemanfaatan lahan (mencakup tataguna lahan, intensitas pembangunan, tata bangunan, prasarana minimum, dan standar perencanaan). Kelengkapan dari zoning regulation terdiri dari : 1. Zoning text/zoning statement/legal text: berisi aturan–aturan (regulation), dan menjelaskan tentang tata guna lahan dan kawasan, permitted and conditional
34
uses, minimum lot requirements, standart pengembangan, administrasi pengembangan zoning 2. Zoning map : berisi pembagian blok peruntukan (zona), dengan ketentuan aturan untuk tiap blok peruntukan tersebut, dan menggambarkan peta tata guna lahan dan lokasi tiap fungsi lahan dan kawasan Tujuan zoning regulation adalah: 1)menjamin bahwa pembangunan yang akan dilaksanakan dapat mencapai standart kualitas lokal minimum (health, safety and welfare); 2) tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia, perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi
dampak negatif terhadap lingkungan, dan
mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan. Di Indonesia, zoning regulation diatur dalam Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Untuk kawasan konservasi diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, dan khusus untuk taman nasional diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. 2.2.2. Zonasi Taman Nasional Pemilihan lokasi untuk dijadikan suatu zona dalam suatu taman nasional sangat tergantung pada kekhasan, situasi dan kondisi kawasan yang dikelola. Nikijuluw (2002) menyusun pemilihan lokasi didasarkan pada : 1.
Alternatif lokasi harus diterima mayoritas masyarakat secara, sosial, budaya dan politik.
2.
Diterapkan secara bertahap agar masyarakat secara perlahan dapat menyesuaikan kegiatan pemanfaatan dengan sesuatu yang baru serta memberikan ruang terhadap pengelola untuk melihat dan mengevaluasi dampak negatif yang terjadi.
3.
Pendekatan manajemen harus dapat disesuaikan dengan perubahan kondisi biologi dan ekonomi.
4.
Penerapannya berdasarkan efisiensi dan inovasi, masyarakat harus didorong dan dimotivasi untuk melakukan pendekatan manajemen yang baru, dengan
35
harapan bisa memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. 5.
Pengelola harus mempunyai dana yang cukup untuk menjalankan peraturan yang dibuatnya sehingga manajemen yang baru dapat diimplementasikan dengan baik.
6.
Ada implikasi terhadap tenaga kerja, pengangguran dan keadilan. Pendekatan manajemen yang baru harus lebih adil dan menguntungkan semua pihak, tidak hanya menguntungkan pihak tertentu. Menurut Philips (2002), pada dasarnya tidak ada suatu formula khusus
untuk menentukan zonasi. Perencana kawasan taman nasional harus memulainya dengan dasar tujuan pengelolaan yang telah ditetapkan. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan zonasi adalah sebagai berikut : 1. Perlindungan biodiversitas yang bernilai tinggi. 2. Batasan-batasan yang terkait dengan lanskap dan perbedaan ekologi, seperti kelerengan, jenis tanah, hidrologi, dan nilai lanskap. 3. Penyediaan ajang bagi pengunjung untuk mencari pengalaman yang bervariasi. 4. Eliminasi atau minimasi kegiatan dan pemanfaatan yang merusak sumber daya yang ada di dalam kawasan . 5. Kapabilitas
kawasan
untuk
mendukung
berbagai
macam
keinginan
pemanfaatan dan pembangunan. 6. Hasil proses partisipasi atau konsultasi publik. 7. Kebijakan pemerintah yang terkait dengan penggunaan lahan. 8. Pemanfaatan oleh masyarakat setempat yang telah ada. Salm dalam Bengen (2001) menjabarkan kriteria penentuan suatu lokasi zona berdasarkan kriteria : 1. Kriteria ekologi: nilai suatu ekosistem dan jenis biota dapat dilihat dari kriteria: a. Keanekaragaman hayati; didasarkan pada keragaman atau kekayaan ekosistem, habitat, komunitas dan jenis biota. Lokasi yang sangat beragam dan harus mempunyai nilai paling tinggi.
36
b. Alami; didasarkan pada tingkat degradasi. Lokasi yang terdegradasi mempunyai nilai yang rendah, dan sedikit berkontribusi dalam prosesproses biologis. c. Ketergantungan; didasarkan pada tingkat ketergantungan spesies pada lokasi, atau tingkat dimana ekosistem tergantung pada proses-proses ekologis yang berlangsung di lokasi. d. Keterwakilan; didasarkan pada tingkat dimana lokasi mewakili semua habitat, proses ekologis, komunitas biologi, ciri geologi atau karakteristik alam lainnya. e. Keunikan; didasarkan keberadaan suatu spesies endemik atau yang hampir punah. f. Integritas; didasarkan pada tingkat dimana lokasi merupakan suatu unit fungsional dari entitas ekologi. g. Produktivitas; didasarkan pada tingkat dimana proses-proses produktif di lokasi memberikan manfaat atau keuntungan bagi biota atau manusia. h. Kerentanan; didasarkan pada kepekaan. 2. Kriteria sosial: manfaat sosial dan budaya pesisir dapat dilihat dari kriteria: a. Penerimaan masyarakat; didasarkan pada tingkat dukungan masyarakat lokal. b. Kesehatan Masyarakat; didasarkan pada tingkat dimana penetapan kawasan konservasi dapat membantu mengurangi pencemaran lingkungan atau penyakit yang berpengaruh pada kesehatan masyarakat. c. Rekreasi; didasarkan pada tingkat dimana lokasi dapat digunakan untuk rekreasi bagi penduduk disekitar. d. Budaya; didasarkan pada nilai sejarah, agama, seni atau nilai budaya lain dari lokasi. e. Estetika; didasarkan pada nilai keindahan lokasi. f. Konflik kepentingan; didasarkan pada tingkat dimana kawasan konservasi dapat berpengaruh pada aktifitas masyarakat lokal. g. Keamanan; didasarkan pada tingkat bahaya dari lokasi bagi manusia karena adanya erosi dan hambatan lainnya. h. Aksesibilitas; didasarkan pada kemudahan mencapai lokasi.
37
i. Kepedulian masyarakat; didasarkan pada tingkat dimana monitoring, penelitian, pendidikan atau pelatihan di dalam lokasi dapat berkontribusi pada pengetahuan, apresiasi nilai-nilai lingkungan dan tujuan konservasi. j. Konflik dan kompatibilitas; didasarkan pada tingkat dimana lokasi dapat membantu menyelesaikan konflik antara kepentingan sumberdaya alam dan aktifitas manusia, atau tingkat dimana kompatibilitas antara sumberdaya alam dan manusia dapat dicapai. 3. Kriteria ekonomi: manfaat ekonomi pesisir dapat dilihat dari kriteria: a. Spesies penting; didasarkan pada tingkat dimana spesies penting komersial tergantung pada lokasi. b. Kepentingan; didasarkan pada jumlah masyarakat yang tergantung pada lokasi dan ukuran hasil sumberdaya alam. c. Bentuk ancaman; didasarkan pada luasnya perubahan pola pemanfaatan yang mengancam keseluruhan nilai lokasi bagi manusia. d. Manfaat ekonomi; didasarkan pada tingkat dimana perlindungan lokasi akan berpengaruh pada ekonomi lokal dalam jangka panjang. e. Pariwisata; didasarkan pada nilai keberadaan atau potensi lokasi untuk pengembangan pariwisata. Dalam pengelolaan kawasan taman nasional, zonasi digunakan untuk mendefinisikan tujuan spasial penggunaan ruang dan pembatasan, dalam pemanfaatan sumberdaya alam (Portman, 2007). Umumnya zonasi taman nasional terdiri dari zona inti, zona rimba sebagai buffer dari zona inti, dan zona pemanfaatan (Sabatini et al, 2007;. Day, 2002; Bohnsack, 1996). Zonasi dapat dilakukan dengan menggunakan analisis multikriteria (Keisler dan Sundell, 1997; Geneletti, 2001). Analisis multikriteria adalah perangkat pengambilan keputusan yang dikembangkan untuk masalah-masalah kompleks multikriteria yang mencakup aspek kualitatis dan atau kuantitatif dalam proses pengambilan keputusan. Pada penelitian/penyusunan zonasi dengan teknik analisis multikriteria, selalu menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam membagi wilayah suatu kawasan ke dalam zona-zona yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan karena zonasi selalu berhubungan dengan spasial yang bersifat distribusi geografiis (Villa et al. 2002). Beberapa penelitian yang menggunakan
38
analisis multi kriteria berbasis SIG antara lain dapat dilihat pada Tabel 2.2. Beberapa peneliti lainnya melakukan zoning dengan menggunakan metode Sistem Informasi Geografis dan pengindraan jauh (Zafar et al., 2011), dengan kriterianya adalah: ketinggian, jarak dari jalan, jarak dari sungai, jarak dari masyarakat, kelerengan, dan penggunaan lahan. Tabel 2.2. Daftar Penelitian Penyusunan Zonasi di Kawasan Konservasi No
Nama
1
Boteva, et al.
2
Genneletti
3
Ridgley & Heil
4
Hjortso, et al.
5
Villa, et al.
6
Portman
7
Crossman
8
Geneletti & Van Duren
9
Hermawan, et al.
Topik dan Lokasi Evaluasi & Pemetaan Habitat Konservasi dengan menggunakan SIG di Creta Yunani Pengambilan keputusan berbasis SIG untuk mengidentifikasi prioritas konservasi alami di lembah Alpen Perencanaan zona penyangga pada kawasan konservasi dengan menggunakan aplikasi multikriteria di TN Izta-Popo Mexico Aplikasi multikriteria untuk menyusun pengelolaan kawasan lindung dan kawasan penyangga Zonasi kawasan konservasi laut dengan menggunakan analisis multikriteria di taman nasional Laut Pulau Asinara Italia Rancangan zonasi tapal batas taman nasional laut Optimalisai zonasi taman nasional laut dengan menggunakan sistem pendukung keputusan Zonasi kawasan konservasi untuk perlindungan dan pemanfaatan, dengan menggunakan analisis multikriteria Pemanfaatan ruang dan lahan di TN Gunung Ciremai
Tahun 2004 2004
1998 2005 2002 2007 2005 2008 2005
Zonasi taman nasional di Indonesia diatur dalam Permenhut No. P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, yaitu suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft rancangan-rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas antar zona, dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Sedangkan Zona Taman Nasional adalah wilayah di dalam kawasan taman nasional yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat (Tabel 2.3. dan Tabel 2.4.). Adapun tahapan zonasi taman nasional digambarkan pada Gambar 2.3.
39
Tabel 2.3. Batasan dan kreiteria tipe zona pada taman nasional Tipe Zona
Batasan
Kriteria 1. 2.
Inti
Bagian dari kawasan taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas
3. 4.
5. 6. 7.
Rimba
Pemanfaatan
Tradisional
Rehabilitasi
Religi, budaya dan sejarah
Khusus
Bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan.
Bagian dari kawasan taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya.
Bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan SDA Bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan Bagian dari taman nasional yang didalamnya terdapat sirus religi, peninggalam warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungna nilainilai budaya atau sejarah Bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupanya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional , antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik
8. 1.
2. 3. 1.
2. 3.
4.
5. 1.
2.
1.
2. 3.
1. 2.
1.
2. 3.
Mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; Mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya yang merupakan ciri khas ekosistem dalam kawasan taman nasional yang kondisi fisiknya masih asli dan belum diganggu oleh manusia; Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan atau belum diganggu manusia; Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami; Mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi; Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah; Merupakan habitat satwa dan atau tumbuhan tertentu yang prioritas dan khas/endemik; Merupakan tempat aktivitas satwa migran. Kawasan yang merupakan habitat atau daerah jelajah untuk melindungi dan mendukung upaya perkembangbiakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi; Memiliki ekosistem dan atau keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan; Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa tertentu. Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik; Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam; Kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung pemanfaatan jasa lingkungan, pengembangan pariwisata alam, rekreasi, penelitian dan pendidikan; Merupakan wilayah yang memungkinkan dibangunnya sarana prasarana bagi kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan, pariwisata alam, rekreasi, penelitian dan pendidikan; Tidak berbatasan langsung dengan zona inti Adanya potensi dan kondisi SDA hayati non kayu tertentu yang telah dimanfaatkan secara tradisonal oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya; Di wilayah perairan terdapat potensi dan kondisi SDA hayati tertentu yang telah dimanfaatkan melalui kegiatan pengembangbiakan, perbanyakan dan pembesaran oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya Adanya perubahan fisik, sifat fisik dan hayati yang secara ekologi berpengaruh kepada kelestarian ekosistem yang pemulihannya diperlukan campur tangan manusia; adanya infasi spesies yang mengganggu jenis atau spesies asli kawasan pemulihan kawasan sekurang-kurangnya memerlukan waktu 5 (lima) tahun
Adanya lokasi untuk kegiatan religi yang masih dipelihara dan dipergunakan oleh masyarakat; Adanya situs budaya dan sejarah baik yang dilindungi undang-undang, maupun tidak dilindungi undang-undang
Telah terdapat sekelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional; Telah terdapat sarana prasarana antara lain telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik; Lokasi tidak berbatasan dengan zona inti
Sumber : Hasil olahan dari PerMenHut No. P.56/Menhut-II/2006
40
Tabel 2.4. Peruntukan dan jenis kegiatan pada zona-zona taman nasional Tipe Zona
Inti
Rimba
Peruntukan Perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya Kegiatan pengawetan dan pemanfaatan SDA dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan, konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migrant dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti
Kegiatan 1. 2. 3. 4.
1. 2. 3. 4.
1. 2.
Pemanfaatan
Pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan, kegiatan penunjang budidaya
3. 4. 5. 6. 7.
Tradisional
Pemanfaatan potensi tertentu oleh masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidpnya
Rehabilitasi
Mengembalikan ekosistem kawasan yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya
Religi, budaya dan sejarah
Memperlihatkan dan melindungi nilai-nilai hasil karya budaya, sejarah arkeolgi maupun keagamaan, sebagai wahana penelitian, pendidikan dan wisata alam sejarah, arkeologi dan religious
Khusus
Kepentingan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal diwilayah tersebut
1. 2. 3. 4. 5.
Perlindungan dan pengamanan; Inventarisasi dan monitoring SDA hayati dan ekosistemnya; Penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan,m pendidikan, dan atau penunjang budidaya; Dapat dibangun sarana dan prasarana tidak permanen dan terbatas untuk kegiatan penelitian dan pengelolaan Perlindungan dan pengamanan Inventarisasi & monitoring SDA hayati & Ekosistemnya Pengembangan penelitian, wisata terbatas & pengembangan Pembangunan sarana & prasarana tidak permanen untuk kegiatan penelitian & pengelolaan Perlindungan dan pengamanan; Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dengan ekosistemnya; Penelitian dan pengembangan pendidikan, dan penunjang budidaya; Pengembangan, potensi dan daya tarik wisata alam; Pembinaan habitat dan populasi; Pengusahaan pariwisata alam dan pemanfaatan kondisi/jasa lingkungan; Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian, pendidikan, wisata alam dan pemanfaatan kondisi/jasa lingkungan. Perlindungan dan pengamanan; Inventarisasi dan monitoring potensi jenis yang dimanfaatkan oleh masyarakat; Pembinaan habitat dan populasi; Penelitian dan pengembangan; Pemanfaatan potensi & kondisi SDA sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan yang berlaku
Perlindungan dan pengamanan 1. 2. 3. 4.
1. 2. 3. 4.
Perlindungan dan pengamanan; Pemanfaatan pariwisata alam, penelitian, pendidikan dan religi; Penyelenggaraan upacara adat; Pemeliharaan situs budaya dan sejarah, serta keberlangsungan upacara-upacara ritual keagamaan/adat yang ada Perlindungan dan pengamanan; Pemanfaatan untuk menunjang kehidupan masyarakat Rehabilitasi; Monitoring populasi dan aktivitas masyarakat serta daya dukung wilayah
Sumber : Hasil olahan dari PerMenHut No. P.56/Menhut-II/2006
41
Mulai
Pembentukan Tim Kerja Penyusunan rencana kerja
Pengesahan Ka BTN
iii
Nilai biodiversitas, arkeologi, DTW, potensi Jasling Data spatial: tanah, geologi, iklim, topografi, geomorfologi, land use Sosekbud masyarakat oceanografi
Survey & analisa
Penyusunan Draft Rancangan Zonasi
Pembahasan/penyempurnaan Berita acara dan peta hasil kesepakatan ditandatangani wakilwakil para pihak dan wakil Balai Bahan rekomendai Pemda
Rekomendasi Pemda
Konsultasi Publik
Pengiriman dokumen ke direktur teknis
Pemancangan patok batas Penyusunan BA pemancangan patok batas
Rekomendasi pemerintah daerah Buku data dan analisa
Ka BTN
Tata batas zonasi
Peta rancangan zonasi Uraian potensi global Batas geografi zona Kegiatan yang boleh / tidak boleh pada tiap zona
Persetujuan direktur teknis
Penetapan
Penandatanganan BA yang telah disetujui direktur penandatanganan BA tata batas zonasi
Instansi terkait
Diterima Penilaian Direktur teknis
Buku Penataan Zonasi
Ka BTN menetapkan draft final penataan zonasi
Pengesahan DirJen
Ditolak Buku Penataan Zonasi yang telah disahkan
Ka BTN
Distribusi: Eselon I Dephut Eselon II PHKA Gubernur/Bupati/Walikota Disseminasi kepada publik/para pihak
Sumber: Hasil olahan dari PerMenHut No. P.56/Menhut-II/2006
Gambar 2.3. Flowchart tahapan penetapan zonasi taman nasional
Selesai
42
2.3.
Pariwisata
2.3.1. Definisi Pariwisata Douglass (1982), mengemukakan bahwa aktifitas wisata adalah penggunaan waktu luang yang menyenangkan dan konstruktif yang memberikan tambahan pengetahuan dan pengalaman mental maupun fisik. Sedangkan Yoeti (1990) mendefinisikan wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain dengan suatu maksud tertentu dan dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Definisi lain dikemukakan oleh Gunn (1994), yaitu suatu pergerakan manusia yang bersifat sementara dari tempat tinggal atau pekerjaannya menuju satu tujuan tertentu, dimana aktfitas dilakukan di tempat tersebut serta disediakan fasilitas untuk mengakomodasi keinginan mereka. Sementara WTO (Fennel, 1999) mendefinisikan kegiatan wisata sebagai kegiatan perjalanan seseorang untuk kesenangan (pleasure), minimal satu hari dan tidak lebih dari satu tahun untuk wisatawan mancanegara dan enam bulan bagi wisatawan domestik. Istilah pariwisata terlahir dari bahasa Sansekerta, yaitu : pari yang artinya penuh, lengkap, atau berkeliling, dan wisata yang artinya pergi meningggalkan rumah terus-menerus, mengembara, sehingga jika dirangkai menjadi pariwisata yang artinya pergi secara lengkap meninggalkan rumah berkeliling terus menerus. Dalam operasionalnya, Pemerintah Indonesia mendefinisikan : mereka yang meninggalkan rumah untuk mrngadakan perjalanan tanpa mencari nafkah di tempat-tempat yang dikunjungi sambil menikmati kunjungan mereka (Pendit, 2002). Dalam Agenda 21 (2001) pariwisata didefinisikan sebagai ”Seluruh kegiatan orang melakukan perjalanan ke dan tinggal di suatu tempat diluar lingkungan kesehariannya untuk jangka waktu tidak lebih dari setahun untuk bersantai (leisure), bisnis dan berbagai maksud yang lain”. Dari definisi tersebut berkembang sifat pariwisata yng sangat dinamis sehingga pariwisata mendapatan julukan sebagai; multi billion business, factory without smoke,
gold mining
without ending, dream industry. Dalam UU Kepariwisataan No. 10 tahun 2009 dijelaskan bahwa wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagain dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tari
43
wisata; wisatawan adalah orang yang melakukan kegiatan wisatat; pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait dibidang tersebut. 2.3.2. Perkembangan Pariwisata Pariwisata Internasional Kecenderungan perkembangan pariwisata dunia menunjukkan bahwa pariwisata telah menjadi industri terbesar di dunia. World Travel and Tourism Council (http://www.unwto.org/facts/menu.html) menyebutkan bahwa kegiatan ini telah melibatkan sekitar 438 juta kunjungan wisata di tahun 1990 dengan US$ 264 Milyar penerimaan ke seluruh dunia, dan meningkat menjadi 919 juta kunjungan ditahun 2008 dengan US$ 941 Milyar (Gambar 2.4).
Sumber
: UNWTO Tourism Highlights 2010
Gambar 2.4. Trend Kunjungan Wisatawan Dunia Pertumbuhan yang cukup besar menunjukkan bahwa pariwisata dapat menjadi solusi bagi negara-negara berkembang untuk keluar dari situasi keterbelakangan. Pariwisata dipromosikan sebagai sektor yang bukan hanya dapat dikembangkan di berbagai tempat yang memiliki sumber daya untuk industri sekunder, tetapi juga dapat ditumbuhkan dari kekayaan keindahan sumber daya alam dan kekayaan budaya masyarakat lokal. Perkembangan industri pariwisata
44
tidak hanya terkait dengan bisnis perjalanan secara umum, tetapi juga pada tingkat kunjungan wisatawan secara nasional pada kawasan-kawasan yang dilindungi, seperti taman nasional dan cagar alam. Pariwisata Nasional Perkembangan kunjungan wisata internasional yang melibatkan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang pesat hingga tahun 2008 (Tabel 2.5.). Pada tahun 2001 tercatat 5,1 juta wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia, dan meningkat menjadi 6,2 juta pada tahun 2008. Dalam kurun waktu tujuh tahun, angka kunjungan wisata meningkat 21,5 %. Sementara itu, penerimaan devisa meningkat dari USD 5,4 miliar pada tahun 2001 menjadi USD 7,3 miliar pada tahun 2008, atau meningkat sebesar 35,89 persen. Dalam kurun waktu tahun 2001-2008 telah terjadi peningkatan kunjungan wisman rata-rata sebesar 4,4 persen per tahun, dan penerimaan devisa rata-rata sebesar 12,56 % per tahun. Tabel 2.5. Kunjungan Wisatawan Mancanegara, Rata-Rata Pengeluaran, Lama Tinggal Dan Penerimaan Devisa Tahun 2001-2008 Pengeluaran Per Orang (USD) Per Per kunjungan hari 1.053,36 100,42
Lama Tinggal (hari)
Penerimaan Devisa (juta USD)
Pertumbuhan (%)
10,49
5.428,62
-5,57
91,29
9,79
4.496,15
-17,18
903,74
93,27
9,69
4.037,02
-10,21
19,12
901,66
95,17
9,47
4.797,87
18,85
5.002.101
-6,00
904,00
99,86
9,05
4.521,90
-5,75
2006
4.871.351
-2,61
913,09
100,48
9,09
4.447,98
-1,63
2007
5.505.759
13,02
970,98
107,70
9,02
5.345,98
20,19
2008
6.429.027
16,77
1.178,54
137,38
8,58
7.377,39
38,00
Tahun
Kunjungan
Pertumbuhan (%)
2001
5.153.620
1,77
2002
5.033.400
-2,33
893,26
2003
4.467.021
-11,25
2004
5.321.165
2005
Sumber : Renstra KemBudPar Tahun 2010-2014
Sementara itu, dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 200 juta, wisatawan nusantara (wisnus) merupakan pasar yang sangat besar bagi pariwisata Indonesia. Keberhasilan kinerja kepariwisataan juga tercermin dari meningkatnya jumlah pergerakan wisatawan nusantara (wisnus) dari 195.770 juta perjalanan pada tahun 2001 menjadi 225,042 juta perjalanan pada tahun 2008. Peningkatan pergerakan wisatawan nusantara selama tahun 2001–2008 menghasilkan
45
peningkatan pengeluaran dari Rp 58,71 triliun di tahun 2001 menjadi Rp 123,17 triliun di tahun 2008 atau meningkat sebesar 109,79 persen. Pergerakan wisatawan nusantara dalam kurun waktu tahun 2001-2008 telah terjadi pertumbuhan yang berfluktuasi dengan rata-rata sebesar 2,08 persen per tahun (Tabel 2.6). Tabel 2.6. Perkembangan Wisatawan Nusantara Tahun 2001-2009 Tahun
Wisnus (ribuan orang)
Pertumbuhan (%)
Perjalanan (ribuan orang)
Pengeluaran (triliun Rp)
Pertumbuhan (%)
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
103.884 105.379 110.030 111.353 112.701 114.270 115.335 117.213
1,44 4,41 1,20 1,21 1,39 0,93 1,63
195.770 200.589 207.119 202.763 198.359 204.553 222.389 225.042
58,71 68,82 70,87 71,70 74,72 88,21 102,01 123,17
17,22 2,98 1,17 4,21 18,05 15,64 20,74
Sumber : Renstra Kembudpar Tahun 2010-2014
Pariwisata saat ini menjadi sektor yang cukup penting bagi perekonomian nasional. Tahun 2008 perolehan devisa dari sektor pariwisata ini berada di urutan ke 4 sebagai penyumbang devisa terbesar setelah minyak dan gas bumi, kelapa sawit, dan karet olahan. Dengan pertumbuhan pariwisata dunia yang terus meningkat, diharapkan jumlah kunjungan wisatawan di Indonesia akan semakin meningkat dan akan memberikan konstribusi ekonomi yang semakin besar pula. Selain konstribusi ekonomi, kegiatan pariwisata juga membuka kesempatan kerja baru di daerah tujuan wisata. Kegiatan pembangunan pariwisata di Indonesia juga membuka beberapa daerah yang kurang berkembang, dimana kegiatan ekonomi lainnya sukar dikembangkan, maka pariwisata seringkali menjadi kegiatan perintis yang diharapkan mampu menstimulasi timbulnya kegiatan ekonomi lainnya. Namun demikian, kebijakan pembangunan pariwisata yang telah dilakukan lebih mengutamakan manfaat
ekonomi
sehingga
mengakibatkan terabaikannya
pelestarian lingkungan dan terpinggirkannya penduduk lokal. Keadaan tersebut mendorong timbulnya kesadaran untuk mengembangkan pariwisata yang ramah terhadap lingkungan dan memperhatikan penduduk setempat.
46
Pariwisata Gorontalo Pemerintah Provinsi Gorontalo mempunyai program unggulan dalam mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan Ekonomi di Daerah. Tiga program unggulan pemerintah, yakni pengembangan sumber daya manusia (SDM), Agropolitan, dan Program Perikanan dan Kelautan. Selain tiga program unggulan itu, pemerintah juga mulai tahun 2011 ini telah menetapkan dua program unggulan lain yakni peningkatan pariwisata dan pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dalam memacu peningkatan ekonomi masyarakat
(http://www.gorontaloprov.go.id/berita-gorontalo/13-serba-serbi/
pembangunan.html) Visi
pengembangan
pariwisata
Gorontalo
dalam
Strategi
dan
Pengembangan Kepariwisataan Gorontalo (2007) adalah terwujudnya daerah tujuan wisata yang berwawasan lingkungan dan berdaya saing, dengan misinya mengembangkan dan melestarikan obyek wisata, meningkatkan peran serta masyarakat, serta arah kebijakannya menjadikan provinsi Gorontalo sebagai daerah tujuan wisata baru yang berbasis masyarakat dan potensi lokal. Kunjungan wisatawan ke Provinsi Gorontalo, baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara terus meningkat (Gambar 2.5.).
(Sumber: Dinas Perhubungan, Postel dan Pariwisata Provinsi Gorontalo, 2006)
Gambar 2.5. Diagram Kunjungan Wisatawan ke Provinsi Gorontalo Beberapa kawasan wisata yang telah dikembangkan antara lain yaitu: Kawasan Wisata Lombongo, Taman Laut Olele, Benteng Otanaha, Benteng Oranye, Danau Limboto, Pulau Saronde, Pulau Lampu. Selain daya tarik lokasi wisata, Gorontalo memiliki kerajinan khas yang sudah dikenalkan keluar daerah
47
dan keluar negeri sebagai cenderamata khas dari Gorontalo yaitu kerajinan kain Krawang. 2.3.3. Perubahan Pola Kepariwisataan Ditinjau dari sisi permintaan, saat ini tampak adanya pergeseran nilai dan preferensi dalam berwisata. Perjalanan berlibur tidak lagi terbatas hanya untuk memperoleh manfaat rekreasi yang terpuaskan dengan mengunjungi kawasankawasan dengan produk rekreasi
generik. Kepariwisataan global yang
berkembang hingga awal dekade 80-an sangat pesat didorong oleh adanya mass tourism. Namun pada dua dekade terakhir ini terjadi perubahan pola wisata dari mass tourism ke individual atau small group tourism. Mayoritas wisatawan saat ini menginginkan pariwisata yang bersifat “rekreasi plus”, dalam bentuk : 1) mendapatkan pengalaman berwisata dalam suasana lingkungan yang mereflesikan keunikan lingkungan setempat dan terpelihara secara lestari; dan 2) interaksi aktif dengan masyarakat untuk mengenal lebih jauh tentang budaya, tradisi, adat istiadat, dan nilai-nilai sosial masyarakat (Fandeli, 2005). Lebih lanjut dikatakan bahwa perubahan pola atau minat wisata ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya: 1.
Perubahan teknologi informasi yang sangat cepat dan akurasi teknologi yang menyebabkan promosi kawasan wisata menjadi sangat informatif dan memberikan penjelasan yang lebih rinci.
2.
Kemampuan materi atau finansial bagi wisatawan tidak lagi menjadi hal yang
penting, karena kemudahan finansial yang diberikan oleh sistem
keuangan dunia. 3.
Pendidikan bagi wisatawan juga semakin baik. Perubahan minat ini juga sangat dipengaruhi oleh trend dunia yang lebih mengedepankan masalah kelestarian alam dan upaya untuk dapat mempertahankan fungsi ekologis kawasan.
4.
Infrastruktur wisata yang dibenahi diberbagai negara, yang menyebabkan kemudahan aksesibilitas pada kawasan kawasan wisata.
5.
Diversifikasi obyek wisata pada sebuah kawasan menyebabkan wisatawan mempunyai kebebasan dalam memilih kegiatan wisata inginkan.
yang mereka
Hal inilah yang membuahkan sebuah konsep baru untuk
48
melakukan sebuah perjalanan wisata yang disebut dengan paradigma baru pariwisata
yang berujung pada
Sustainable
Tourism
Development
(Pembangunan Pariwisata yang berkelanjutan ). Penyelenggaraan seperti ini dimaksudkan untuk memenuhi keinginan memperoleh pengalaman berwisata yang khas dan tidak ditemui di tempat lain. Selain itu dimaksudkan sebagai pembelajaran untuk lebih memahami nilia-nilai lingkungan dari tempat yang dikunjungi. Kecenderungan ini melahirkan segmen wisatawan yang berpihak pada pelestarian lingkungan. Tabel 2.7. memperlihatkan dua bentuk penyelengaraan pariwisata, yaitu pariwisata lama (pariwisata masal) dan pariwisata baru (pariwisata kelompok kecil). Tabel 2.7. Bentuk Pariwisata Global Pariwisata lama
Pariwisata baru
Permintaan (produk wisata)
1. 2. 3.
Paket dalam grup Orientasi mendapat kesenangan Berjemur dan bersantai
1. 2. 3.
Penawaran (pasar wisata)
1. 2. 3. 4. 5.
Skala luas Gaya Eropa Pelayanan standar Jeringan internasional Obyek buatan
1. 2. 3. 4. 5.
Wisatawan bebas Orientasi pengalaman baru Mencari variasi obyek minat khusus Skala kecil Gaya setempat Pelayanan lokal Pemilihan fasilitas lokal Obyek alami, masyarakat, & lingkungan alam
Sumber : Faulkner, 1977 dalam Fandeli, 2005
2.3.4. Destinasi Pariwisata Destinasi pariwisata adalah area atau kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat unsur: daya tarik wisata, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, masyarakat, serta wisatawan yang saling terkait dan melengkapi untuk terwujudnya kegiatan kepariwisataan (Depbudpar, 2007). Lebih lanjut dijelaskan bahwa ada 3 hal dasar (basic fundamentals) untuk pengembangan suatu destinasi pariwisata, yaitu: 1.
Kesesuaian antara produk dan pasar. Unsur-unsur pembentuk pariwisata, seperti: aksesibilitas, akomodasi, lingkungan, masyarakat, kelembagaan selayaknya disesuaikan dengan permintaan pasar, yang dalam konteks pariwisata adalah mereka yang memiliki keinginan dan kemampuan untuk melakukan perjalanan wisata. Syarat kecukupan ini menuntut para pemilik, pengembang dan pengelola
49
kawasan memahami sifat-sifat pasar pariwisata, seperti: asal, minat, tujuan, dan kemampuan melakukan perjalanan, serta menemukenalinya untuk memudahkan merencanakan pengembangan suatu daerah untuk pariwisata. 2.
Keterkaitan antar unsur-unsur pembangun sistem pariwisata Sistem pariwisata dipengaruhi oleh faktor-faktor luar yang masing-masing faktor mempunyai pengaruh berbeda terhadap pengembangan pariwisata (Gambar 2.6.). Diantara faktor luar yang paling berpengaruh adalah sumberdaya alam dan budaya. Para pelaku usaha pariwisata yang lebih berorientasi pada ekonomi, seringkali mengabaikan bahwa landasan utama pengembangan pariwisata adalah sumberdaya tersebut. Keberadaan sumberdaya alam dan budaya merupakan pull factors yang menyebabkan wisatawan berkunjung ke suatu destinasi. Keadaan terpelihara atau terjaganya sumberdaya-sumberdaya tersebut akan menentukan pengunjung yang datang dan akan datang kembali.
Sumber: Depbudpar, 2007
Gambar 2.6. Keterkaitan antar unsur-unsur pembangun sistem pariwisata 3.
Keterlibatan pelaku-pelaku pariwisata Keberhasilan pengembangan pariwisata suatu daerah menuntut keterlibatan dan kerjasama yang baik antar pelaku semua sektor, yaitu: pemerintah, swasta, dan masyarakat, serta pemahaman terhadap unsur-unsur sistem, yaitu: atraksi, transportasi, akomodasi, fasilitas, kelembagaan dan promosi. Gambar 2.7. menunjukkan kepentingan terhadap sumber yang sama oleh sektor-sektor yang berbeda. Sumberdaya akan mengalami tekanan serius
50
apabila antar sektor tidak saling bekerja sama yang pada gilirannya akan mengancam keberlanjutan pariwisata itu sendiri. Pemahaman terhadap ketiga basic fundamentals pariwisata diharapkan akan mengurangi atau menekan konflik kepentingan dan sekaligus memastikan bahwa: 1) tidak terjadi pemanfaatan yang berlebihan terhadap sumberdaya pariwisata dengan menampung kepentingan masing-masing pelaku secara berimbang; 2) masyarakat diikutsertakan dan terangkat kehidupan sosialnya;
3)
pemanfaatan sumberdaya pariwisata memberikan efek yang optimal terhadap perlindungan lingkungan dan ekonomi; dan 4) penyelenggaraan usaha pemanfaatan memiliki kelayakan finansial.
Sumber: Depbudpar, 2007
Gambar 2.7. Kepentingan pelaku pariwisata terhadap sumberdaya 2.3.5. Ekowisata Konsep ekowisata bermula dari para konservasionis sebagai suatu strategi konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Konsep ini kemudian berkembang begitu cepat ke berbagai belahan dunia sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat
dunia
akan pentingnya pelestarian
sumberdaya alam dan ekosistemnya. Pola hidup back to nature telah menjadi gaya hidup dan kebanggaan masyarakat modern saat ini. Istilah ekowisata pertama kali diperkenalkan oleh Hector CeballosLascurain pada tahun 1988 (Mitchel, 1998; Furze et al., 1987; Wall et al., 1998) yang kemudian mendefinisikannya sebagai suatu perjalanan bertanggung jawab
51
ke
lingkungan
alami
yang
mendukung
konservasi
dan
meningkatkan
kesejahteraan penduduk setempat. Sedangkan definisi ekowisata yang pertama diperkenalkan oleh organisasi The Ecotourism Society pada tahun 1990, yaitu suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat (Fandeli, 2000). Boo (1992) kemudian menuliskannya sebagai wisata-eko (eco-tourism) yang berarti wisata ekologis. Hal ini sangat dimungkinkan karena konsep ini dilahirkan atas kegiatan wisata yang dilakukan dengan memanfaatkan kondisi ekologis kawasan atau merupakan sebuah hubungan timbal balik antara kegiatan wisata dengan lingkungan alamiah. Selanjutnya, beberapa terminologi mengenai ekowisata yang banyak digunakan oleh berbagai pihak yang cenderung membingungkan seperti halnya: green tourism, low impact tourism, smale scale tourism, low density tourism, soft tourism dan lain sebagainya akan menimbulkan kerancuan dalam mencari bentuk pengembangan konsep tersebut dilapangan (Avenzora, 2003). Konsep ini kemudian berkembang sangat pesat, dan mulai dikaitkan dengan tujuan konservasi dan presevasi. Tujuan konservasi merupakan upaya pelestarian terhadap berbagai potensi sumber daya tarik wisata dan lingkungan sekitarnya, sedangkan preservasi sebagai upaya untuk dapat mempertahankan segala sesuatu yang berkaitan dengan kelestarian nilai daya tarik dan lingkungan. dengan demikian
ekowisata
dinyatakan
sebagai
sebuah
konsep
wisata
yang
mendayagunakan dan mempertahankan kelestarian ekosistem dari lingkungan yang masih alami. Goodwin (1996) mendefinisikan ekowisata sebagai sebuah bentuk perjalanan wisata ke kawasan yang masih alami yang dilakukan dengan tujuan konservasi lingkungan hidup dan melestarikan kehidupan serta kesejahteraan masyarakat lokal . Hal yang sama juga dinyatakan oleh Williams (1999) yang menyatakan ekowisata sebagai sebuah bentuk baru berwisata yang dilakukan secara bertanggung jawab kekawasan alami yang menciptakan industri wisata baru. Australian Department of Tourism (Fandeli, 2000) memasukkan unsur pendidikan kedalam bentuk ekowisata ini dengan mendefinisikan ekowisata
52
adalah wisata yang berbasis pada alam dengan mengikutkan aspek pendidikan dan interpretasi terhadap lingkungan alami dan budaya masyarakat dengan pengelolaan kelestarian ekologis. Hal yang sapa dikemukakan oleh Keisler (1997) dan Weaver (2005), yaitu konsep ekowisata memiliki sifat pendidikan (edukasi) dimana kegiatannya mengajak penduduk setempat, pengunjung, wisatawan dan seluruh komponen yang terkait dengan penyelenggaraan dan atau pengelolaan agar lebih peka terhadap lingkungan, kelestarian sumber daya alan dan daya tarik wisata lainnya serta dapat memberikan kenangan dan kepuasaan wisatawan. Dari definisi ini terlihat bahwa usaha tersebut tidak hanya berorientasi pada kegiatan bisnis semata akan tetapi juga ikut berperan dalam upaya pelestarian sumber daya alam, lingkungan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Dilain pihak, Supriatna (1995) melihat bahwa keterkaitan antara wisata alam merupakan berbagai jenis kegiatan wisata seperti: wisata massal, wisata petualangan, wisata berdampak ringan, dan kegiatan wisata yang memanfaatkan alam sebagai kawasan yang dituju oleh wisatawan, sehingga ekowisata juga merupakan bagian dari wisata alam yang definisi awalnya merupakan sebuah kegiatan wisata yang dilakukan di alam. Hal ini tentunya akan menimbulkan berbagai kerancuan mengenai konsep ekowisata, karena pada dasarnya ekowisata dilakukan sebagai sebuah kegiatan yang dikaitkan dengan lingkungan fisik, lingkungan sosial, dan masyarakat sekitarnya (Kodhyat, 1998). Selain itu ekowisata bertujuan menterpadukan pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan, membuka lapangan kerja baru bagi penduduk setempat, serta memberikan pendidikan kepada pengunjung tentang arti dan manfaat lingkungan (Wunder, 2000). Ecotourism
Research Group (1996), sebuah
organisasi masyarakat yang bergerak dalam bidang kepariwisataan di Amerika, memberikan pengertian yang lebih proaktif dengan menyatakan bahwa keutamaan ekowisata adalah untuk upaya pelestarian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal tanpa adanya intervensi dari pihak luar dalam perkembangan kawasan wisata. Penelitian yang dilakukan oleh Fennel (2001) menunjukkan variasi pengertian mengenai ekowisata, tetapi terdapat beberapa unsur utama yang paling dominan dari penelitian tersebut yaitu usaha konservasi (41,2%) dan pada
53
kawasan alami (44,7%). Hal ini membuktikan bahwa pengertian dasar yang telah dibangun oleh Lascurain (1997) masih menjadi fokus utama dari konsep tersebut. Indikator yang dapat digunakan dalam konsep tersebut dilapangan dikembangkan oleh Fennels (2001), dapat dilihat pada Tabel 2.8. Tabel 2.8. Unsur unsur penting dalam ekowisata Unsur Konservasi Landasan
Sub unsur
Jumah batasan
%
33 29 28 21 6 1 38 3 2 2 9 6 4 4 3 7 6 19 8 1 38 3 1 1 9 13 2 7 2 21 1
41,2 34,1 32,9 24,7 7,1 1,2 44,7 3,5 2,4 2,4 10,6 7,1 4,7 4,7 3,5 8,2 7,1 22,4 9,4 1,2 44,7 3,5 1,2 1,2 10,6 15,3 2,4 8,2 2,4 24,7 1,2
Ekologi Ekologi,budaya, ekonomi Ekologi dan budaya Ekologi dan ekonomi Ekonomi Tempat pelaksanaan Kawasan alami Kawasan konservasi/lindung Kawasan pedesaan Kawasan belum dikembangkan Pendidikan Pendidikan Pemahaman Interpretasi Pembelajaran Penelitian Etika Penghormatan Tanggungjawab Manfaat setempat Ekonomi Kesejahteraan Pengembangan Masyarakat Budaya Umum Adat istiadat Masyarakat Asli Situs Purbakala Misi usaha Bisnis/Pemasaran Dampak Minimal/ rendah Non consumptive Pengelolaan Umum Sumberdaya Keberlanjutan Pembangunan berkelanjutan Tujuan konservasi dan keberlanjutan Sumber : dimodifikasi dari Fennels (2001) dalam Sekartjakrarini (2004)
Pengertian yang disepakati bersama diakui penting ketika pertemuan puncak ekowisata di Quebec, Canada, tahun 2002. Pertemuan ekowisata pertama terbesar di dunia tersebut dihadiri oleh ketiga kelompok pelakunya, yaitu: pemerintah, swasta, dan masyarakat. Pertemuan ini menyepakati bahwa ekowisata bukanlah tujuan, namun suatu alat untuk konservasi dan pembangunan berkelanjutan. Dalam kaitan ini, ekowisata seharusnya dipahami sebagai konsep operasional untuk menuju pembangunan pariwisata berkelanjutan, yang dicirikan bahwa ekowisata: 1) terkait dengan pemanfaatan lingkungan secara lestari; 2) berpihak
54
pada pembentukan masyarakat madani dan peka terhadap tata nilai budaya dan sosial masyarakat adat maupun masyarakat lokal; 3) mampu menjawab pergeseran nilai, minat, preferensi yang berkembang di sisi pasar; dan 4) mampu memberikan konstribusi terhadap pembangunan ekonomi daerah dan nasional. Sehingga lahirlah pengertian ekowisata, yaitu : suatu konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan pariwisata berbasis pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan, serta berintikan partisipasi aktif masyarakat, dan dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran, berdampak negatif minimal, memberikan konstribusi positif terhadap pembangunan ekonomi daerah, dan diberlakukan bagi kawasan lindung, kawasan terbuka, kawasan alam binaan, serta kawasan budaya (Sekartjakarini & N.K Legoh, 2004; Sekartjakrarini, 2009). Penerapan konsep ekowisata
yang diberlakukan bagi
kawasan-kawasan
sebagaimana disebutkan dalam batasan tersebut, mengartikan bahwa konsep ini berlaku bagi pengembangan dan penyelenggaraan pariwisata yang mengambil tempat di antara lain : kawasan konservasi hutan dan laut, kawasan budaya, kawasan pulau-pulau kecil dan pesisir, kawasan rural binaan dan pedesaan serta kawasan-kawasan lain yang memiliki kerentanan ekologis yang tinggi seperti misalnya kawasan karst dan kawasan esensial. Lebih lanjut Sekartjakrarini (2009) mengartikan
bahwa
ekowisata
sebagai
konsep
pengembangan
dan
penyelenggaraan pariwisata berbasis lingkungan alam dan budaya masyarakat setempat dengan azas pemanfaatan dan operasional yang berfokus pada : 1. perlindungan sumber-sumber untuk mempertahankan kelangsungan ekologi lingkungan kawasan (ecologically sustainable) dan kelestarian budaya masyarakat setempat; 2. pengelolaan operasional kegiatan dengan dampak lingkungan minimal/sekecil mungkin (enviro-management); 3. partisipasi dan pemberdayaan masyarakat setempat sebagai bagian dari upaya menyadarkan, memampukan, memartabatkan dan memandirikan rakyat menuju peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup, dengan bertumpu pada kegiatan usaha masyarakat itu sendiri, dan peningkatan keahlian profesi; dan 4. pengembangan dan penyajian atraksi wisata dalam bentuk program interpretasi.
55
Menurut Hafield (1995), suatu kegiatan wisata dapat dikatakan sebagai ekowisata jika telah memenuhi empat dimensi, yaitu : 1) dimensi konservasi, yaitu kegiatan wisata tersebut membantu usaha pelestarian alam setempat dengan dampak negatif seminimal mungkin; 2) dimensi pendidikan, yaitu wisatawan mendapatkan ilmu pengetahuan mengenai ekosistem, keunikan biologi, dan kehidupan sosial di tempat yang dikunjungi; 3) dimensi sosial/kemasyarakatan, yaitu masyarakat setempat yang menjadi aktor utama dalam penyelenggaraan kegiatan wisata tersebut; dan 4) dimensi ekonomi, yaitu menumbuhkan kegiatan perekonomian yang berbasis kemasyarakatan. Sekartjakrarini
(2009)
merumuskan
prinsip
ekowisata,
yaitu:
1)
konservasi: melindungi melindungi dan melestarikan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (SDAHE); 2) edukasi dan rekreasi: penyajian produk-produk layak pasar yang bermuatan pendidikan, pembelajaran, dan rekreasi dari nilai-nilai karakteristik (alam dan budaya) setempat; 3) partisipasi dan interaksi masyarakat: melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan,
pengelolaan kawasan,
termasuk kondisi sosial budaya masyarakat setempat yang berpotensi konflik, seperti penggunaan lahan oleh masyarakat (ladang, perkebunan, pertanian, pemukiman, dan lokasi pemanfaatan/ pengambilan hasil hutan non kayu); 4) ekonomi: pemanfaatan kawasan yang memberikan insentif ekonomi bagi masyarakat seperti kegiatan pariwisata yang bisa membuka berbagai peluang lapangan kerja, dan memberikan PAD kepada pemerintah daerah; dan 5) kendali: menekan dampak negatif dari rangkaian kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan kawasan dengan berpedoman pada aturan dan perundangundangan yang berlaku. Beberapa contoh penerapan konsep ekowisata: Pengembangan ekowisata di Belize Pengembangan ekowisata di Belize berawal dari berkembangnya minat dan selera masyarakat terhadap kegiatan wisata yang berbasis pada sumber daya alam, lingkungan, dan nilai masyarakat lokal yang masih asli dan belum tercemar antara lain : bentang alam, cagar alam, kawasan sungai, atraksi budaya termasuk didalamnya upacara adat. Dalam pengembangan kawasan wisata di Cagar Biosfer Community Babon dan Cook Wildlife Sanctuary bertumpu pada:
56
1.
Lingkungan yang masih asli
2.
Pola perencanaan pengembangan kawasan yng dapat meningkatkan daya tarik wisata yang dapat menjamin kelestarian kawasan
3.
Peningkatan pendapatan masyarakat lokal
4.
Kerjasama antar sektor terkait dalam pengembangan kawasan
5.
Partisipasi aktif dari masyarakat setempat Manfaat
yang dihasilkan dalam pengembangan kawasan dengan
menggunakan konsep ekowisata dirasakan langsung oleh para stakeholdernya antara lain: 1.
Terciptanya perlindungan dan pengendalian serta peningkatan mutu lingkungan
2.
Sarana penciptaan iklim ramah lingkungan
3.
Upaya pelestarian sumber daya alam dan penghargan terhadap gaya hidup pedesaan serta peningkatan nilai budaya lokal
4.
Sumber pendapatan desa dan penciptaan lahan kerja baru.
Pengembangan ekowisata di Equador Pengembangan
ekowisata
di
Equador
merupakan
sebuah
model
pengembangan kawasan wisata yang memanfaatkan taman nasional perlindungan hutan Amazon (Rain Forest Amazon), kawasan hidupan satwa liar (Catopaxi National Park) dan kawasan DAS Arkansas serta berbagai ODTW lainnya yang mempunyai keunikan bentang alam dan daya tarik ekosistem hutan tropis cagar budaya (Cultural Heritage) dan budaya khas masyarakat Indian yang sangat terkenal dan telah terpelihara sejak 800 tahun yang lalu. Dalam kawasan ini terdapat lebih dari 800 jenis pohon endemis, 600 jenis reptil dan berbagai keunikan lainnya . Sistem pengembangan kawasan wisata tersebut lebih ditekankan pada : 1. Upaya pelestarian dan pengendalian Sumber Daya alam
khususnya
lingkungan sekitar sungai serta perlindungan spesies liar. 2. Pembangunan sumber daya manusia berupa peningkatan kualitas pengelolaan obyek wisata, pemandu wisata dan pendidikan ekologi (Eko-EsqualaEkology).
57
3. Pemberdayaan potensi masyarkat dalam penciptaan usaha kecil berupa kerajinan tangan, pengembangan hasil hutan non kayu, toko dan lain-lain. 4. Pengembangan infrstruktur wisata yang sangat khas ekologis (eko-lodge) dan pengembangan jasa jasa angkutan. 5. Peningkatan kerjasama antr lembaga terkait, usaha swasta dan partisipasi amsyarakat yang dikembangkan dalam pola kegiatan lintas alam, sepeda gunung, bird watching dan wisata sungai (arung jeram, dayung dan kayaking). Tujuan utama pengembangan ekowisata adalah sebagai kawasan pelestarian alam, sumber daya hayati dan nilai nilai tradisional; meningkatkan kegiatan pertanian dan peternakan; sebagai upaya untuk menghindari illegal logging; dan memberdayakan potensi masyarakat hutan dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Dari tujuan tersebut dihasilkan lebih dari $250 juta pertahun dengan jumlah visitasi sebesar 10000 wisatwan per tahun, pemberdayakan potensi masyarakat sekitar dengan pemanfaatan kawasan multiguna, peluang kerja dan peluang berusaha dan menciptkan kawasan wisata yang menarik yang berdampak lingkungan rendah (Ecotourism Research Group 1996; 180). Pengembangan Ekowisata di South East Quensland Pengembangan wisata pada kawasan ini berorientasi pada citra lingkungan fisik yang ada dan menjadi daya tarik khas yang ditunjang oleh minat dan kemampuan ekonomi masyarakat serta aksesibilitas yang sangat tinggi. Potensi daya tarik yang merupakan obyek wisata antara lain : bentang alam yang sangat indah, keindahan pantai pasir emas yang dilatari oleh kaki gunung yang hijau (Green behind Gold), potensi sungai, budi daya pertanian dan hidupan liar. Pengembangan ekowisata tersebut mencakup beberapa hal yaitu: 1.
Prakarsa dan kegiatan ekowisata didasarkan oleh National Ecotourism Strategy yang dikeluarkan oleh Environment Australia (EA), yang bertujuan untuk mengenali berbagai isu yang berkaitan dengan strategi pengembangan wisata nasional
2.
Metodologi yang tepat mengenai daya dukung, kemampuan untuk dapat menampung kegiatan wisata pada kawasan tersebut
58
3.
Proses perencanaan yang mantap yang memudahkan untuk pengembang untuk menetapkan berbagai pilihan untuk berbagai kegiatan wisata
4.
Identifikasi jalur jalur terkait, lokal dan regional termasuk kawasan kawasan yang dipergunakan oleh penduduk lokal
5.
Kemitraan dan kooperatif untuk pengutan antar lembaga yang bertanggung jawab terhadap manajemen , perencanaan antar sektor publik dan swasta
6.
Peran serta masyarakat yang bertumu pada perencanaanprinsip prisip penting yang menguntungkan masyarkat lokal . Sistem pengembangan kawasan tersebut bertumpu pada : lingkungan alam
yang masih asli dan belum tercemar, manfaat sosial ekonomi masyarakat sebagai tuan rumah (host), peningkatan pemahaman akan pentingnya pelestarian lingkungan , nilai budaya serta pengalaman , keberlanjutan ekologis dan tidak menurunkan
mutu
lingkungan,
dan
pola
manajemen
yang
menjamin
keberlangsungan pengelolaan. Dari sistem dan pengembangan kawasan maka diperoleh manfaat sebagai berikut (Project Quensland state Goverment 1993 : 89): 1.
Terciptanya strategi pengembangan yang mantap
2.
Terciptanya mekanisme kerja antar lembaga yang bertanggung jawab serta manajemen antar sektor publik dan swasta
3.
Terciptanya
sumber
data
lingkungan
yang
memadai
dengan
mengidentifikasi berbagai aspek, dampak serta kegiatan pembangunan yang dilakukan pada kawasan tersebut 4.
Adanya pendekatan terkoordinasi untuk mencegah duplikasi dan tumpang tindih antar lembaga
5.
Adanya peran serta antara berbagai pihak serta
6.
Tersedianya sarana dan prasarana penunjang kegiatan ekowisata
59
III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Suaka Margasatwa Nantu, Kawasan Hutan Lindung Boliyohuto, dan Kawasan Hutan Produksi Terbatas Boliyohuto, yang sedang dalam pengajuan sebagai Taman Nasional Nantu-Boliyohuto di Kabupaten Gorontalo Propinsi Gorontalo (Gambar 3.1.). Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dari bulan Januari 2007 – Juli 2009.
Gambar 3.1. Lokasi Penelitian di CTN Nantu-Boliyohuto 3.2.
Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif yang menganalisa dan
menjabarkan kriteria-kriteria penyusunan zonasi yang mengacu pada Permenhut No. P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional denga kriteria ekowisata sebagai pendekatannya. 3.3
Teknik Pengambilan Data
3.3.1. Jenis Data dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder, baik data kuantitatif maupun data kualitatif. Data primer diperoleh dari hasil
60
pengamatan di lapangan, hasil wawancara tertulis/kuisioner dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terstruktur kepada responden, dan wawancara tidak tertulis dengan para pakar, dan stakeholder yang terkait dan berkompeten (Tabel 3.1). Sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai sumber, yaitu: berbagai instansi pemerintah yang terkait dengan penelitian ini, organisasi non pemerintah, dan jasa internet. Tabel 3.1. Jenis data dan sumber data Jenis Data Data primer
Data sekunder
Nama Data Jenis-jenis flora/vegetasi, satwa, kondisi bentang alam Kondisi sosial budaya masyarakat Persepsi masyarakat Potensi daya tarik wisata Peta Rupa Bumi Kabupaten Gorontalo Skala 1 : 50.000
Sumber Data Hasil pengamatan & analisis data Hasil pengamatan, wawancara, kuisioner, & analisis data Hasil pengamatan & analisis data BAKOSURTANAL-Cibinong
Peta Tata Batas CTN NantuBoliyohuto Skala 1: 50.000
Dinas Kehutanan Propinsi Gorontalo
Citra Landsat tahun 2003, 2004, 2005
BAKOSURTANAL-Cibinong, Dinas Kehutanan Prov. Gorontalo
Peta Land Systems and Land Suitability Provinsi Gorontalo Skala BAKOSURTANAL– Cibinong 1 : 250.000 Potensi Desa sekitar kawasan CTN Nantu-Boliyohuto
Kantor Desa dan Kantor Kecamatan
Data kependudukan, sosial, pertanian, perindustrian, perdagangan, perhubungan dan pariwisata
Bappeda, BPS
Data Curah Hujan dan Kelembaban Gorontalo
Stasiun Pengamatan Cuaca (BMG) Bandara Jalaludin gorontalo
Data penunjang lainnya
Instansi pemerintah terkait, Perguruan Tinggi, ORNOP, dan publikasi ilmiah
3.3.2. Pengumpulan Data Tumbuhan/vegetasi. Dalam pengambilan data, ada suatu aturan umum dalam menentukan jumlah unit sampling, yaitu ”semakin banyak semakin bagus”. Aturan ini bisa diterima kalau biaya, waktu, dan tenaga bukan merupakan faktor pembatas dalam
61
penelitian. Karena keterbatasan yang dimiliki dalam penelitian ini, maka harus ditentukan jumlah dan ukuran unit sampling yang cukup mewakili keadaan populasi. Berdasarkan pengalaman para peneliti senior, jumlah kuadrat minimal yang harus diambil adalah sekitar 30 buah dengan asumsi pada jumlah ≥ 30 kuadrat nilai keragamannya relatif stabil, tetapi bagaimanapun tidak ada jumlah kuadrat yang mutlak direkomendasikan, karena kisaran heterogen dilapangan bervariasi (Kusmana, 1997). Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode Systematic sampling with random start, yaitu satuan-satuan contoh diletakkan pada interval jarak yang sama pada areal populasi, dimana unit contoh pertama dipilih secara acak. Sedangkan teknik analisis vegetasi menggunakan metode garis berpetak. Metode ini dapat dianggap sebagai modifikasi petak ganda atau metode jalur, yakni dengan cara melompati satu atau lebih petak dalam jalur sehingga sepanjang garis rintis terdapat petak-petak pada jarak tertentu yang sama. Metode ini efektif untuk mempelajari perubahan vegetasi menurut kondisi tanah, topografi dan elevasi, karena jalur-jalur contoh ini dibuat memotong garis-garis topografi, memotong sungai dan menaik atau menurun lereng (Kusmana, 1997). Gambar 3.2. memperlihatkan pelaksanaan metode garis berpetak di lapangan. Arah Rintisan C A 5m
10 m
100 m
100 m
B 20 m Keterangan : A: Unit contoh risalah pancang (5m x 5m) B: Unit contoh risalah tiang (10m x 10m) C: Unit contoh risalah pohon (20m x 20m)
Gambar 3.2. Desain metode garis berpetak pengambilan unit contoh vegetasi
62
Pada penelitian ini, pengambilan data vegetasi dibagi atas 3 (tiga) lokasi yang di anggap mewakili kawasan, yaitu lokasi SM Nantu (data sekunder), lokasi HPT Boliyohuto, dan HL Boliyohuto. Pada setiap lokasi dibuat 5 jalur masingmasing sepanjang 3 km dan jarak antar jalur 300m. Untuk memudahkan perisalahan vegetasi dan pengukuran parameternya, petak contoh dibagi-bagi ke dalam kuadrat-kuadrat. Ukuran kuadrat-kuadrat tersebut disesuaikan dengan bentuk morfologis jenis sebagai berikut: Pohon
: Pohon dewasa berdiameter ≥ 30 cm (petak ukuran 20x20 m)
Tiang
: Pohon muda berdiameter 10 - 29 cm (petak ukuran 10x10 m)
Pancang
: Anakan pohon tinggi ≥ 1.5 m, diameter < 10 cm (petak 5x5m)
Satwa Pengamatan satwa dilakukan dengan menggunakan metode perjumpaan, yaitu dengan mengamati dan mencatat jenis satwa yang dijumpai di sepanjang jalur pengamatan vegetasi. Pengamatan dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Cara langsung apabila satwa tersebut dapat diamati secara okuler, sedangkan pengamatan tidak langsung dilakukan berdasarkan suaranya, jejak, sarang, bekas makan, kotoran, goresan, dan indikasi lainnya. Data-data tersebut dilengkapi dengan data sekunder yang berasal dari data penelitian-penelitian sebelumnya pada lokasi yang sama dalam kurun waktu lima tahun terakhir, berupa data keanekaragaman dan penyebaran satwa. Kondisi Fisik Data kondisi fisik yang diamati yaitu: 1) ketinggian/topografi kawasan yang dinyatakan dengan kisaran (selang) dimulai dari ketinggian yang terendah sampai pada ketinggian yang tertinggi dalam satuan meter di atas permukaan air laut (dpal); 2) kemiringan/kelerengan kawasan yang dinyatakan dengan derajat; 3) penutupan lahan; dan 4) bentang alam yang memiliki keindahan dan keunikan yang menjadi daya tarik wisata, baik yang berada dalam kawasan CTN NantuBoliyohuto, maupun yang berada di luar kawasan. Data primer diperoleh melalui pengamatan dan hasil wawancara tak tertulis dengan tokoh masyarakat dan pengelola/petugas kawasan, sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil interpretasi peta rupa bumi Indonesia (RBI), hasil
63
penelitian sebelumnya, baik yang melalui media cetak (karya ilmiah, tulisan populer, internet), maupun media visual (tayangan televisi). Ancaman Kawasan Data ancaman kawasan berupa kegiatan-kegiatan yang merupakan ancaman terhadap keberadaan satwa dan tumbuhan, kerusakan habitat dan ekosistem, yang sangat berpotensi merusak sumber daya alam hayati dan ekosistem kawasan CTN nantu-Boliyohuto. Data diperoleh melalui pengamatan,wawancara tak tertulis (data primer) dan dari hasil-hasil penelitian sebelumnya (data sekunder) Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan: 1.
Metode Pengamatan, yaitu mengumpulkan data-data yang dilakukan dengan pengamatan dan pencatatan terhadap fenomena-fenomena yang dijadikan obyek pengamatan. Pengamatan dilakukan terhadap kegiatan masyarakat sekitar CTNNB, baik berupa sikap, interaksi, maupun sosial budayanya (perilaku, adat dan kebiasaan/tradisi).
2.
Metode wawancara, yaitu pengumpulan data yang dilakukan melalui interaksi verbal secara langsung dengan arah tujuan yang telah ditentukan. Wawancara dilakukan dengan dua cara, yaitu: Wawancara terstruktur dengan menggunakan instrumen kuisioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan secara rinci. Wawancara dilakukan dengan melibatkan enam desa yang dipilih secara purposive sampling karena lokasinya berada paling dekat dengan kawasan, yaitu: Desa Mohiyolo, Desa Pangahu, Desa Sidoharjo (Kecamatan Tolangohula), Desa Potanga (Kecamatan Tolinggula), Desa Kasia (Kecamatan Sumalata), dan Desa Saritani (Kecamatan Wonosari). Masing-masing desa dipilih 45 orang masyarakat sebagai responden yang dipilih secara purposive sampling, yaitu anggota masyarakat yang memiliki akses terdekat menuju kawasan dan berusia 20 tahun ke atas. Wawancara dilakukan untuk memperoleh data tentang: 1) karakteristik masyarakat, terdiri atas tingkat pendidikan, mata pencaharian masyarakat, dan pendapatan masyarakat; dan 2) interaksi
64
masyarakat, yang menunjukkan tindakan/keterlibatan seseorang sebagai bentuk nyata dari sikap. Daftar kuisioner dapat dilihat pada Lampiran 1. Wawancara tidak terstruktur yang bersifat lebih fleksibel dan terbuka, dilakukan terhadap tokoh masyarakat sekitar kawasan CTNNB yang mahir berbahasa Indonesia dan bahasa daerah Gorontalo dan pengelola kawasan yang secara intensif berinteraksi dengan masyarakat dan kawasan CTNNB. wawancara ini dimaksudkan untuk memperoleh data kearifan lokal dan adat istiadat yang merupakan budaya masyarakat lokal, dikaitkan dengan pengembangan pola pengelolaan taman nasional yang partisipatif, aspiratif dan akomodatif terhadap masyarakat lokal, sekaligus sebagai bentuk pengakuan awal terhadap hak-hak mereka dalam mengelola sumber daya alam. Wawancara ini juga digunakan untuk memperoleh data yang lebih akurat dari tokoh masyarakat yang paham tentang sosial budaya masyarakat sekitar kawasan CTNNB. 3.
Foccus Group Discussion (FGD) dan Pemetaan Partisipatif. FGD dilakukan bersamaan dengan pengambilan data wawancara terstruktur,
yang
dimaksudkan untuk memperoleh informasi yang akurat dari masyarakat sekitar tentang pola hubungan yang terjadi antara unsur fisik dan sosial dalam pengelolaan sumberdaya alam kawasan CTNNB. Masyarakat sebagai pelaku utama mengidentifikasi dan menganalisa situasi pola penggunaan lahan oleh masyarakat di dalam kawasan, kegiatan-kegiatan ekonomi, serta wilayah adat/religi serta, baik potensi maupun permasalahannya. Hasilnya dituangkan dalam bentuk pemetaan dan akan menjadi penentu perencanaan pengelolaan kawasan CTNNB yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat, serta rencana-rencana masyarakat terhadap kawasan CTNNB. Pemetaan dilakukan secara sederhana, yaitu dengan mengunakan peta dasar/tematik yang telah disediakan. Masyarakat menentukan lokasi-lokasi yang selama ini mereka gunakan sebagai lokasi pemanfaatan, yaitu penggunaan lahan sebagai lahan perkebunan dan pertanian, pengambilan hasil hutan non kayu, lokasi Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI), dan lokasi pemukiman beberapa keluarga Suku Polahi. Penentuan titik lokasi dilakukan dengan 2 cara, yaitu 1) berdasarkan
65
koordinat lokasi pelaksanaan FGD, dapat diperkirakan lokasi-lokasi penggunaan lahan tersebut di atas lembaran peta dasar/tematik; dan 2) penunjukkan lokasi secara langsung di lapangan (dalam kawasan CTNNB) yang dilakukan pada saat pengambilan data ekologi, kemudian lokasi tersebut ditentukan koordinatnya dengan menggunakan alat GPS. Tabel 3.2. Variabel kondisi ekologi dan sosial yang diamati di CTNNB Aspek Kajian
Kriteria Sebaran tumbuhan
Ekologi (biofisik)
Sebaran satwa Bentang alam
Sosial Ekonomi
Interaksi masyarakat & Penggunaan lahan masyarakat
Fasilitas
Indikator 1. 2. 1. 2. 1. 2. 3. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2.
Metode pendekatan
Ada Inventarisasi & Tidak ada Indentifikasi Ada spesies Tidak ada Keindahan Observasi, Keunikan wawancara, Semak, Belukar FGD Pemanfaatan hasil hutan kayu Pemanfaatan hasil hutan Kuisioner, FGD non kayu & pemetaan Ladang/kebun partisipatif Adat/religi pemukiman Ada Survey & data Tidak ada sekunder
Kondisi Daya Tarik Wisata Data yang dikumpulkan berupa unsur-unsur daya tarik wisata, yaitu: 1) daya tarik; 2) aksesibilitas; 3) fasilitas wisata; 4) lingkungan dan masyarakat; dan 5) potensi pasar. Kriteria dan indikator tersebut ditunjukkan pada Lampiran 2. Data primer diperoleh melalui observasi/survey dan wawancara dengan masyarakat. Sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya. Data yang dikumpulkan berupa data aktual (yang sudah dimanfaatkan) dan data potensial (yang belum dimanfaatkan). 3.4. Analisis Data Metode analisis data adalah metode analisis deskriptif, yang digunakan untuk mengkaji dan menjelaskan kondisi obyek kajian menurut kriteria tertentu sehingga bisa memberikan gambaran yang sesungguhnya untuk kemudian dibuat generalisasi. Jenis analisis data yang digunakan yaitu:
66
Analisis Vegetasi Analisis ini digunakan untuk menganalisis data-data flora yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan dengan menggunakan rumus-rumus sebagai berikut: (Kusmana, 1997). Kerapatan (K)
=
Jumlah Individu (pohon) Luas Petak Contoh (ha)
Frekuensi (F)
=
Jumlah petak ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh petak contoh
Dominansi (D)
=
Luas bidang dasar suatu jenis (m2) Luas seluruh petak contoh (ha)
Kerapatan relatif (KR)
=
Kerapatan suatu jenis
x 100 %
Kerapatan total seluruh jenis Frekuensi relatif (FR)
=
Frekuensi suatu jenis
x 100%
Frekuensi seluruh jenis Dominansi relatif (DR)
=
Dominansi suatu jenis
x 100%
Dominansi seluruh jenis Indeks Nilai Penting (INP) dihitung dengan menggunakan rumus: INP
=
KR + FR + DR
Analisis Spasial dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG) Analisis spasial merupakan prosedur kuantitatif yang dilakukan pada analisis lokasi, yang mengarah pada banyak macam operasi dan konsep termasuk perhitungan sederhana, klasifikasi, penataan, tumpangsusun geometris, dan pemodelan kartografis. Analisis spasial dipilah dalam dua bentuk yaitu analsis spasial berbasis sistem informasi geografis sederhana (Simple GIS-based spatial analysis) dan analsis spasial berbasis sistem informasi geografis lanjut (Advanced GIS-based spatial analysis) (De Mers, 1997; Johnston,1994; Fotheringham, 2005 dalam Budiyanto, http://geografionline.com/).
67
Sistem informasi Geografis (SIG) adalah sistem informasi berbasis komputer yang
digunakan
untuk
mengumpulkan,
menyimpan,
menampilkan,
dan
mengkorelasikan data keruanagan (spasial) atau geografis dari sebagian fenomena ruang muka bumi untuk di analisis dan hasilnya dikomunikasikan kepada pemakai informasi terutama untuk pengambilan keputusan (Aronoff, 1990; Supriatna, 2001). Keuntungan menggunakan SIG adalah kemampuannya untuk menyajikan informasi spasial maupun non spasial secara bersama-sama dalam bentuk vektor, raster, ataupun data tabular. Hasil analisis data-data ekologi, data sosial budaya masyarakat, dan data potensi ekonomi disintesis sehingga menghasilkan peta-peta dasar/tematik (peta flora fauna, peta bentang alam, peta sosial budaya, dan peta potensi ekonomi). Peta-peta ini digunakan untuk merancang zona pengelolaan CTN NantuBoliyohuto. Data-data spasial (peta), data atribut (tabel) dan data lapangan (koordinat) dianalisis dengan menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografis). Semua data spasial berupa peta-peta dasar didigit dengan menggunakan alat digitizer. Hasil input data tersebut dikoreksi melalui proses pengeditan untuk melihat error yang ada. Setelah semua error dikoreksi dilakukan proses transformasi titik koordinat menjadi koordinat UTM (Universal Transverse Mercator). Proses penggabungan dua atau lebih coverage menjadi 1 coverage dilakukan dengan proses MAPJOIN, setelah menjadi satu coverage, setiap poligon yang ada diberikan label untuk pemberian atribut (info). Gabungan data spasial dan data atribut yang telah diberikan didapatkan hasil berupa pangkalan data untuk masing-masing jenis peta. Semua data yang diubah ke dalam bentuk peta digital (komputer) beserta pangkalan datanya, dianalisis secara spasial dengan menggunakan metode penampalan (overlay) di antara peta-peta digital tersebut sehingga terbentuk peta baru berupa zonasi pengelolaan CTN Nantu-Boliyohuto yang terbagi atas zona inti, zona rimba, dan zona pemanfaatan. Peta-peta yang dihasilkan berupa: 1) peta ekologi, meliputi peta penutupan lahan, peta penyebaran satwa dan penyebaran tumbuhan langka dan endemik, peta kelerengan, peta topografi, peta hidrologi; 2) peta sosial, meliputi peta penggunaan lahan oleh masyarakat; dan 3) peta sosial ekonomi, meliputi peta obyek dan daya tarik wisata, dan peta aksesibilitas.
68
Analisis Multikriteria Analisis multikriteria adalah perangkat pengambilan keputusan yang dikembangkan untuk masalah-masalah kompleks multikriteria yang mencakup aspek kualitatis dan atau kuantitatisf dalam proses pengambilan keputusan. Pada penelitian ini analisis ini digunakan untuk menentukan pembagian zona pengelolaan taman nasional. EKOLOGI
Tinggi Sedang Rendah
Sens. satwa & tumbuhan
Penutupan lahan
Kelerengan
H. Primer + Sekunder Perkebunan, Pertanian Semak, Belukar >25% 15% - 25% <15%
ZONASI Ketinggian
>1400m 700 m – 1400 m <700 m
SOSIAL
Penggunaan lahan
Adat/religi Ladang/pemukiman Pengambilan Hsl Hutan
EKONOMI
ODTWA
Tidak ada ada
Gambar 3.3. Skema Analisis Multikriteria Zonasi CTNNB Penilaian zonasi taman nasional dimulai dengan melakukan telaah mendalam terhadap standar pengelolaan. Standar tersebut bisanya disusun berdasarkan hirarki : Prinsip, Kriteria, Indikator dan Parameter. Kemudian dibangun kerangka kerja yang akan digunakan untuk melakukan penilaian. Prinsip merupakan suatu kebenaran atau hukum pokok sebagai dasar pertimbangan atau tindakan, yang memberikan landasan pemikiran bagi kriteria, indikator, dan parameter. Kriteria merupakan suatu pedoman untuk menilai suatu hal, yang menambah arti dan cara kerja suatu prinsip tanpa membuatnya sebagai pengukur kinerja langsung. Indikator merupakan suatu variabel atau komponen ekosistem yang digunakan untuk memperkirakan suatu status kriteria tertentu yang membawa suatu ‘pesan tunggal yang berarti’. Parameter merupakan data atau informasi yang meningkatkan kemudahan penilaian suatu indikator, memberikan
69
perincian khusus yang menunjukan suatu kondisi yang diinginkan dari suatu indikator yang memberikan tambahan arti dan ketelitian pada suatu indikator. Kerangka kerja merupakan acuan logika yang digunakan untuk melakukan penilaian (gambar 3.3). 3.5. Analisis CTN Nantu-Boliyohuto Sebagai Kawasan Ekowisata Untuk dapat mengukur suatu kondisi daerah/lokasi suatu destinasi daya tarik pariwisata, dilakukan penilaian dengan menggunakan instrumen Pedoman Penilaian Daya Tarik Wisata yang dikeluarkan oleh Direktorat Produk Pariwisata Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Tahun 2007 (Lampiran 22). Tujuan instrumen ini untuk: 1) memberikan informasi potensi daya tarik wisata alam yang akan dikembangkan dengan tetap menjamin kelestarian obyek dan linghkungannya; 2) menyelaraskan keterpaduan pengembangan masing-masing daya tarik wisata alam dengan unsurunsur penunjangnya; dan 3) memberikan informasi kemungkinan peluang usaha kepada pihak yang berminat/investor dalam pengembangan dan pemanfaatan daya tarik wisata alam. Penilaian dilakukan terhadap aspek: 1) daya tarik; 2) aksesibilitas; 3) fasilitas wisata; 4) lingkungan dan masyarakat; dan 5) potensi pasar. Masingmasing aspek memiliki bobot, yang ikalikan dengan nilai yang diperoleh pada setiap unsur. 3.6. Menyusun Zonasi CTN Nantu-Boliyohuto Penyusunan zonasi taman nasional di Indonesia diatur dalam Permenhut No. P.65/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, tetapi petunjuk teknis pelaksanaannya sampai dengan saat ini belum ada, sehingga masingmasing taman nasional memiliki kriteria dan cara penilaian yang berbeda sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan taman nasional tersebut. Penilaian zonasi pada kawasan CTNNB ini mengacu pada penilaian kriteria zonasi yang dilakukan pada TN Ujung Kulon (DepHut, 2010) yang dipadu dengan pertimbangan kriteria konsep ekowisata. Gambar 3.3. menunjukkan Kerangka Penilaian Zonasi CTNNB.
70
Prosedur penilaian zonasi adalah: 1.
Penentuan kriteria peta-peta dasar/tematik, yaitu: peta ketinggian, peta kelerengan, peta penutupan lahan, penyebaran satwa dan tumbuhan, peta penggunaan lahan oleh masyarakat, dan peta daya tarik wisata. Penentuan kriteria-kriteria ini menggunakan analisis multi kriteria, yaitu: a.
Kriteria peta ketinggian adalah < 700m (rendah), 700-1400m (sedang), dan <1400m (tinggi). Kategori tinggi diasumsikan sebagai daerah tangkapan air sehingga diberi skor tertinggi sebagai daerah lindung.
b.
Kriteria peta kelas lereng adalah adalah kelerangan <15% (datar-miring), 15-25% (miring-curam), dan
>25% (curam-sangat curam). Kategori
curam-sangat curam diasumsikan sebagai daerah yang rawan erosi dan longsor sehingga diberi skor tertinggi sebagai wilayah lindung. c.
Kriteria peta penutupan lahan adalah hutan primer, hutan sekunder, pertanian, perkebunan, dan semak/belukar. Hutan primer dan sekunder diasumsikan memiliki nilai biodiversitas tinggi sehingga diberi skor tertinggi.
d.
Kriteria peta penyebaran satwa dan tumbuhan dilakukan dengan pendekatan satwa endemik, dan untuk menentukan sabaran spasialnya dilakukan dengan pendekatan habitatnya termasuk daerah jelajahnya. Lokasi yang merupakan habitat dan daerah jelajahnya mempunyai skor tertinggi.
e.
Kriteria peta penggunaan lahan oleh masyarakat adalah daerah adat/religi,
ladang/kebun/pemukiman,
dan
sumberdaya hutan (kayu dan non kayu).
lokasi
pengambilan
Kategori
adat/religi
dipertimbangkan menjadi zona religi/adat, kategori ladang/pemukiman dipertimbangkan menjadi zona khusus, dan kategori lokasi pengambilan hasil hutan dipertimbangkan menjadi zona tradisional. f.
Kriteria peta daya tarik wisata tergantung pada ada atau tidak adanya keberadaan daya tarik wisata (air terjun, gua, keunikan bentang alam, keunikan satwa/tumbuhan, keunikan gejala alam, keindahan panorama, situs budaya). Keberadaan daya tarik wisata dipertimbangkan menjadi zona rimba sebagai wisata terbatas atau zona pemanfaatan.
71
2.
Penilaian terhadap tingkat sensitivitas ekologi yang didasarkan pada kriteriakriteria ekologi baik dari unsur fisik maupun biologi, yaitu ketinggian tempat, kelerengan, penutupan lahan, dan sensitivitas satwa dan tumbuhan. Pada masing-masing kriteria diberi bobot peubah yang nilainya ditentukan dari prioritas perlindungan suatu kawasan taman nasional. Dari kriteria tersebut ditetapkan indikator dan parameternya
yang dikemudian dilakukan
pemberian skor terhadap parameter. Peta-peta yang telah diberi nilai selanjutnya digabungkan (overlay) dan nilai-nilai dari peta-peta tersebut dijumlahkan. 3.
Penilaian terhadap tingkat sensitivitas ekologi akan menghasilkan satu nilai yang dinamakan tingkat sensitivitas ekologi. Nilai tersebut akan menentukan daerah tidak sensitif (nilai rendah) yang berpotensial sebagai zona pemanfaatan/lainnya; daerah sensitif (nilai sedang) yang berpotensial sebagai zona rimba; dan sangat sensitif (nilai tinggi)yang berpotensial sebagai zona inti, dengan syarat tutupan lahan merupakan hutan primer/sekunder.
4. Selain mengacu pada hasil penilaian sensitivitas ekologis, untuk menentukan zonasi akhir kawasan CTNNB, juga dilakukan pertimbangan-pertimbangan lain, yaitu: 1) pertimbangan potensi daya tarik wisata, yang menghasilkan peta daya tarik wisata; 2) pertimbangan sosial, yang menghasilkan peta penggunaan lahan oleh masyarakat; dan 3) pertimbangan efektivitas manajemen, yang merupakan aturan-aturan penentuan zonasi sesuai dengan Permenhut No. P.65/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. 5. Selanjutnya hasil pertimbangan-pertimbangan tersebut digabungkan peta sensitivitas ekologi, yang menghasilkan nilai akhir yang digunakan untuk menentukan Peta Zonasi Akhir Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto. 6. Peta akhir zonasi CTN Nantu-Boliyohuto menghasilkan: 1) zona inti: kelerengan >30%, ketinggian >500 mdpal, merupakan daerah jelajah satwa dilindungi, tutupan lahan hutan primer/sekunder;
2) zona pemanfaatan:
kelerengan <30%, ketinggian <500 mdpal, bukan daerah jelajah satwa dilindungi, tutupan lahan berupa tanah kosong, semak/belukar;
3) zona
tradisional: kelerengan <30%, ketinggian <500 mdpal, bukan merupakan
72
daerah jelajah satwa dilindungi, tutupan lahan berupa perkebunan, ladang, pertanian, atau lokasi pemanfaatan hasil hutan bukan kayu; dan 4) zona rimba: merupakan daerah jelajah satwa endemik, tutupan lahan hutan primer/sekunder, merupakan zona penyangga antara zona inti dan zona lainnya atau zona inti dan batas kawasan CTN Nantu-Boliyohuto.
Peta Sensitivitas Satwa (bobot 4) Skor 3 : Dalam Poligon Skor 2 : Radius 200m dari titik terluar poligon Skor 1 : Di luar 200 m dari titik terluar poligon
Peta Penutupan Lahan (bobot 3) Skor 3 : H.Primer, H.Sekunder Skor 2 : Semak/Belukar Skor 1 : Perkebunan, Pertanian
Peta Kelerengan (bobot 2) Skor 3 : >45% Skor 2 : 31-45% Skor 1 : <31
Peta SensivitasEkologi
Peta Ketinggian (bobot 1) Skor 3 : >1400mdpl Skor 2 : 700-1400mdpl Skor 1 : <700mdpl
Potensial Penentuan Zona
Skor 23-30 : Sangat Sensitif Skor 16-22 : Sensitif Skor 10-15 : Tidak Sensitif
Sangat Sensitif : Zona Inti (syarat: tutupan lahan h. primer/sekunder Sensitif : Zona Rimba Tidak Sensitif : Zona Lain
KONSEP EKOWISATA
Prinsip Ekonomi
Prinsip Konservasi
Potensi DTW; peluang kegiatan ekonomi
Pelestarian Babirusa & Anoa
Zona Pemanfaatan Wisata Alam
Zona Rimba
Zona Tradisional
Zona Inti
Prinsip Edukasi & Rekreasi Interpretasi daya tarik wisata alam, budaya
Zona Rimba Zona Inti Zona Pemanfaatan
Prinsip Partisipasi
Prinsip Kendali
Penggunaan Lahan Masyarakat
Efektivitas Manajemen
Zona Rehabilitasi Zona Tradisional
PETA ZONASI CTN NANTU-BOLIYOHUTO
Gambar 3.4. Kerangka Penilaian Zonasi CTNNB
Zona Rimba Membatasi: Zona inti – Batas kawasan Zona inti – Zona Pemanfaatan Zona inti – Zona lainnya
73
IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak dan Luas Secara administratif CTN Nantu-Boliyohuto berada dalam lima wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Tolinggula, Kecamatan Sumalata, Kecamatan Anggrek (Kabupaten Gorontalo Utara), Kecamatan Mootilango, Kecamatan Wonosari (Kabupaten Boalemo), dan Kecamatan Tolangohula (Kabupaten Gorontalo) Provinsi Gorontalo. Secara geografis CTN Nantu-Boliyohuto terletak diantara koordinat 122º08’00” – 122º37’00” Bujur Timur dan 00º47’00” – 00º56/00” Lintang Utara (Gambar 4.1), dengan batas wilayahnya adalah : a. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Gorontalo Utara b. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Boalemo c. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Gorontalo Kawasan ini mempunyai luas 62.943 Ha, gabungan dari SM Nantu (32.627 Ha), Hutan Produksi Terbatas (10.346 Ha) dan Hutan Lindung (19.970 Ha) yang diajukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Gorontalo sebagai taman nasional berdasarkan Surat Usulan No. 522.21/05/638/2003 tanggal 8 April 2003.
Gambar 4.1 Peta Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto
74
4.2. Iklim Iklim kawasan CTNNB dipengaruhi oleh 2 musim yaitu musim hujan dengan rata-rata curah hujan > 100 mm/bulan dan musim kemarau dengan ratarata curah hujan < 100 mm/bulan. Hampir sepanjang tahun 2005 terjadi musim hujan kecuali terjadi pada bulan Januari, Agustus, September, dan Oktober. Suhu udara berkisar antara 22.50C – 33.80C, dengan kelembaban rata-rata 80.50C (Tabel 4.1.). Tabel 4.1. Keadaan iklim Kabupaten Gorontalo Tahun 2005 Bulan
Jumlah hari hujan (mm)
Curah hujan
Januari Feburuari Maret April Mei Juni Juli Agustus Sepetember Oktober November Desember
11 11 10 23 18 16 13 5 6 22 15 19
30 103 117 105 231 84 210 17 20 223 85 132
Rata-rata
14.08
113.08
Suhu udara (0C) Max Min 31.17 23.4 31.14 23.1 32.9 23.7 32.0 23.9 32.2 23.1 32.0 23.3 30.6 23.0 32.5 22.5 33.8 23.7 33.5 23.9 32.4 23.7 31.9 23.8
Kelembaba n 0 ( C) 79 81 79 83 84 83 83 75 71 80 84 84 80.5
Sumber : BPS Kab. Gorontalo Dalam Angka 2005
4.3. Topografi, Kelerengan, dan Penggunaan Lahan Topografi
CTN
Nantu-Boliyohuto
terdiri
dari
dataran
rendah,
bergelombang, berbukit hingga bergunung-gunung dengan tebing-tebingnya yang curam dan berada pada ketinggian antara 205 mppl – 2065 mdpl. Sebagian besar kawasan ini berada pada ketinggian <1200 mdpl. Kawasan di bagian utara terdapat deretan wilayah pegunungan dengan ketinggian bervariasi mulai dari 1000 – 2065 mdpl. Di sebelah selatan merupakan dataran rendah dan membentuk daratan utama yang relatif datar ini, memanjang dari sebelah timur ke arah barat. Kelerengan CTNNB mulai dari landai (0-8%), bergelombang (8-25%), curam (25%-40%), dan sangat curam (>40%). Daerah yang relatif landai terdapat pada bagian selatan.
75
Penggunaan lahan di kawasan CTNNB masih didominasi oleh hutan lebat. Hanya sebagian kecil wilayah kawasan yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan perkebunan dan perladangan. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, ada beberapa titik pada kawasan yang merupakan wilayah PETI (Pengambilan Emas Tanpa Izin) oleh masyarakat. Berdasarkan Peta Land System yang dibuat oleh BAKOSURTANAL Bogor (1988), jenis sistem lahan pada kawasan CTTNB terdiri dari sistem lahan Bakunan (BKN) yang memiliki bentuk lahan dengan kemiringan sedang tanpa perbukitan, Tebingtinggi (TTG) merupakan daratan berbukit dari bentukan gunung berapi, Telawi (TWI) berupa barisan bukit yang letaknya sangat curan berbatu granit, Bukitbalang (BBG)merupakan barisan gunung yang tidak rata dan ditutupi oleh batuan dasar vulkanik, Pendreh (PDH) yaitu barisan bukit yang luas dan tidak simetris berasal dari endapan, dan Bukitbaringin (BBR) merupakan bukit curam yang ditutupi batuan gunung berapi. Jenis batuan dan mineral yang dominan adalah aluvium, bentukan sungai, granite, rhyolite, granodiorite, andesit, batuan vulkanis, batu pasir, lumpur batu, dan batuan gamping koral (Tabel 4.2.) Tabel 4.2. Sistem Lahan CTNNB Sistem Lahan
Bentuk lahan Deskripsi
Kemiring
Lithology
an Bakunan (BKN)
Kemiringan sedang tanpa perbukitan
Tebingtinggi (TTG) Telawi (TWI)
Daratan berbukit dari bentukan Gn. berapi Barisan bukit yang sangat curam Barisan gunung yang tidak rata, ditutupi oleh batuan dasar vulkanik
Bukitbalang (BBG) Pendreh (PDH)
Barisan bukit yang luas dan tidak simetris berasal dari endapan
Bukit baringin (BBR)
Bukit curam yang ditutupi batuan gunung berapi
Kesesuaian Lahan Lahan kering, lahan basah, hasil hutan pohon, karet, kelapa, sagu Lahan reboisasi
<2
Aluvium, bentukan sungai
41 - 60
Granite, ryolite
> 60
Granite, ryolite, granodiorite
-
41 - 60
Andesite, batuan vulkanis
Lahan reboisasi
> 60
Batu pasir, batu endapan, lumpur batu, batuan gamping koral
-
41 - 60
Granite, ryolite, granodiorite
Lahan reboisasi, rotan
Sumber : Hasil olahan dari Peta Land System (BAKOSURTANAL Bogor, 1988)
76
Pada Peta Tanah Tinjau Kabupaten Gorontalo yang dibuat berdasarkan hasil survey Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor (1992) menunjukkan bahwa jenis tanah pada CTNNB kurang bervariasi disebabkan pada areal tersebut hanya terdapat beberapa satuan peta tanah sebagai refleksi geomorfologi yang kurang bervariasi. CTNNB umumnya memiliki tanah hutan coklat serta jenis ordo tanah yang umumnya dijumpai adalah Ordo Ineeptisol dan Alfisol. Sedangkan berdasarkan data citra Landsat 7 ETM+ tahun 2004, sebagian besar kawasan CTNNB sebagian besar tutupan lahan berupa hutan lahan kering primer, diikuti dengan hutan lahan kering sekunder, perkebunan, semak belukar, ladang, dan tanah kosong. 4.4. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Diantara kelima kecamatan tersebut, Kecamatan Tolangohula dengan luas 211 Km2 memiliki jumlah penduduk yang paling banyak yaitu sekitar 30.677 jiwa. Keadaan ini menunjukkan bahwa Kecamatan Tolangohula merupakan daerah konsentrasi penduduk yang berada di sekitar kawasan CTNNB. Kecamatan ini merupakan daerah transmigrasi pertama di Provinsi Gorontalo. Tampaknya hal ini berkaitan dengan peluang kesempatan kerja yang lebih terbuka yang ada di kecamatan ini dibanding kecamatan lainnya. Namun pada awal tahun 2007 terbentuk kabupaten baru yang merupakan pemekaran wilayah Kabupaten Gorontalo yaitu Kabupaten Gorontalo Utara. Kecamatan Tolinggula, Kecamatan Sumalata, dan Kecamatan Anggrek termasuk kedalam wilayah kabupaten baru tersebut, dan menempatkan pusat pemerintahannya (ibukota) pada Kecamatan Anggrek. Berdasarkan keadaan ini dapat diprediksi akan terjadi peningkatan jumlah penduduk pada wilayah-wilayah yang masuk pada kabupaten baru tersebut. Tingkat pendidikan masyarakat di lokasi penelitian, sebagian besar hanya sampai Sekolah Dasar (SD), bahkan ada yang tidak sekolah/tidak tamat SD. Keberadaan sarana pendidikan dalam upaya pengembangan sumberdaya manusia relatif masih kurang. Sarana pendidikan relatif masih kurang, terutama setingkat SLTA yang belum tersedia pada beberapa kecamatan. Bagi penduduk yang ingin melanjutkan sekolah harus keluar desa menuju ibukota kecamatan ataupun ibukota kabupaten.
77
Tabel 4.3. Data kependudukan dan kependidikan Kecamatan Tolinggula Sumalata Mootilango Tolangohula Anggrek Jumlah
SD 15 15 12 17 11
Jumlah Sekolah SLTP SLTA 3 2 1 3 6 1 3 -
SD 2160 2017 2665 5024 2609
Jumlah Murid SLTP SLTA 338 401 139 482 893 36 295 -
Sumber : BPS, Kab. Gorontalo Dalam Angka 2005
Fasilitas atau sarana kesehatan yang terdapat di lima kecamatan sekitar CTNNB adalah masing-masing mempunyai satu puskesmas dengan beberapa buah puskesmas pembantu, puskesmas keliling, pos persalinan desa (Polindes) dan pos pelayanan terpadu (Posyandu). Bagi penduduk yang memerlukan perawatan lebih lanjut (perawatan rumah sakit) harus keluar ke ibukota kabupaten. Tabel 4.4. Data sarana Kesehatan Kecamatan Tolinggula Sumalata Mootilango Tolangohula Anggrek Jumlah
Puskesmas
PusTu
1 1 1 1 1
5 5 5 6 4
Sarana Kesehatan PusKel Polindes 1 1 1 1 1
3 6 5 3 5
Posyandu 30 29 23 22 30
Sumber : BPS, Kabupaten Dalam Angka Tahun 2005
4.5. Tinjauan Umum Kawasan CTN Nantu-Boliyohuto Sejarah kawasan ini untuk ditetapkan menjadi kawasan konservasi dimulai dengan kedatangan Lyn Clayton, seorang mahasiswa S2 dari Oxford University, pada tahun 1988 yang melakukan studi penelitian pada kawasan Hutan Paguyaman. Lynn Clayton menemukan beberapa jenis satwa endemik seperti Babirusa, Anoa, Tarsius, Monyet Hitam Sulawesi dan 80 jenis burung. Salah satu satwa endemik yang menarik perhatiannya adalah Babirusa yang telah mengantarkannya mendapatkan gelar doktor dari Oxford University, UK (Mustari et al. 2003). Tahun 1991 Lynn Clayton dan kawan-kawan kembali secara intensif melakukan survey tentang keanekaragaman hayati di Kawasan Hutan Nantu. Pada tahun 1993 tim gabungan yang terdiri dari unsur-unsur Departemen Kehutanan,
78
Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI); Institut Pertanian Bogor (IPB); Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam (SBKSDA) Sulawesi Utara dan Lynn Clayton, melakukan survey khusus tentang kehidupan jenis satwa Babirusa di kawasan hutan Nantu. Tim gabungan ini mengusulkan kepada Menteri Kehutanan/Direktur Jenderal Perlindungan dan Pelestarian Alam, agar kawasan hutan Nantu dan sekitarnya ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Pada tahun 1999 Kawasan ini ditetapkan sebagai Kawasan Suaka Margasatwa Nantu berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No: 573/Kpts-II/1999 tanggal 22 Juli 1999, yang merupakan gabungan dari beberapa kelompok hutan, yaitu hutan lindung (seluas ± 13.500 ha), hutan produksi terbatas (± 14.830), hutan produksi (± 1.695 ha), dan hutan produksi yang dapat dikonversi (1.190 ha) (Mustari
et
al.
2003;
Anonim
2002;
Dunggio,
2005).
Untuk
dapat
mengakomodasikan fungsi cagar alam (yang sangat ketat terhadap berbagai bentuk pemanfaatan) ke dalam zona inti dan fungsi-fungsi pemanfaatan suaka margasatwa, taman wisata alam dan taman hutan raya ke dalam zona pemanfataan, maka Pemerintah Daerah mengusulkan agar SM Nantu bersama 2 kawasan hutan disekitarnya yang berfungsi sebagai pengatur tata air, habitat beberapa jenis satwa langka dan endemik Sulawesi dan juga merupakan daerah pengungsian satwa, yaitu HPT Boliyohuto, dan HL Boliyohuto (yang ditunjuk berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 250/Kpts-II/1984 tanggal 20 desember 1984) digabung ke dalam satu pengelolaan menjadi taman nasional. Perubahan status kawasan menjadi taman nasional, karena sistem yang diterapkan pada taman nasional merupakan sistem yang luwes dan fleksibel. Beberapa Penelitian yang telah dilakukan di kawasan CTN NantuBoliyohuto, selain Lynn Clayton yang meneliti tentang ekologi babirusa, peneliti dan dosen IPB Abdul Haris Mustari, yang juga salah satu anggota tim gabungan penelitian Nantu, telah melakukan riset tentang ekologi Anoa sebagai salah satu materi disertasinya. Pada tahun 2005, Iswan Dunggio, mahasiswa S2 IPB melakukan penelitian tentang zonasi wisata berdasarkan potensi flora dan fauna, kemiringan lereng, jenis tanah, kondisi penutupan lahan, kondisi aksesibilitas, dan kondisi fenomena alam pada kawasan SM Nantu. Peneliti ini telah mengidentifikasikan potensi-potensi yang menjadi atraksi wisata kawasan.
79
Kawasan ini memiliki potensi sumberdaya alam dan lingkungan yang tinggi berupa keunikan alam dan kekayaan flora fauna, sehingga sangat potensial untuk dikembangkan sebagai lokasi wisata. Keunikan alam yang bisa ditemui di kawasan ini berupa visualisasi pemandangan hutan dataran rendah dan hutan pegunungan, ladang, air terjun, panorama alam pedesaan yang asli dan kubangan air panas bergaram. Adapun kekayaan flora faunanya terdiri dari berbagai mamalia baik key spesies maupun dilindungi seperti babirusa, anoa, monyet hitam sulawesi dan tarsius. Suaka Margasatwa Nantu juga bisa dikategorikan sebagai wilayah Endemic Birds Area (EBA) karena memiliki tingkat endemisme burung yang tinggi, seperti merpati hitam sulawesi, raja udang merah, rangkong, elang sulawesi dan masih banyak lagi. Kegiatan wisata yang bisa dilakukan meliputi; wisata birdwatching atau pengamatan burung, wisata pengamatan satwa liar dan vegatasi, wisata sungai dan wisata panorama alam. Disamping untuk wisata maka pendidikan lingkungan dan penelitian bisa dilakukan di kawasan ini. St Fatmah Hiola (2005) melakukan analisis penawaran wisata dan permintaan. Berdasarkan analisis penawaran wisata kawasan SM Nantu memiliki potensi sumberdaya wisata alam, yaitu berupa flora dan fauna yang langka dan endemik dan budaya masyarakat sekitarnya yang potensial untuk dikembangkan. Namun ketersediaan berbagai sarana dan prasarana penunjang pengembangan wisata alam be!um memadai. Tingginya minat masyarakat sekitarnya untuk berpartisipasi merupakan salah satu faktor penunjang bagi pengembangan wisata alam tersebut di masa mendatang. Berdasarkan analisis permintaan wisata, perbaikan dan pengadaan sarana dan prasarana aksesibilitas (jalan menuju ke lokasi) dan peningkatan fasilitas pelayanan merupakan faktor utama permintaan wisatawan terhadap pengembangan wisata. 4.6.
Struktur Organisasi Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto merupakan gabungan dari SM
Nantu, HL Boliyohuto, dan HPT Boliyohuta yang sementara dalam pengajuan menjadi Taman asional Nantu-Boliyohuto. Saat ini struktur organisasi SM Nantu masih berada dibawah Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara yang berkedudukan di Manado, dan secara hierarki berada dibawah pengelolaan Seksi KSDA Wilayah Gorontalo yang berkedudukan di Limboto,
80
ibukota Kabupaten Gorontalo. Untuk lebih mengintensifkan pengelolaan SM Nantu maka pengelolaan dilakukan dengan melibatkan mitra kerja, yaitu Yayasan Adudu Nantu Internasional (YANI), yang berkedudukan di Limboto Kabupaten Gorontalo. Dengan demikian pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dari Balai KSDA Sulawesi Utara dalam mengelola SM Nantu diserahkan kepada YANI dengan sepengetahuan BKSDA Manado. HL Boliyohuto dan HPT Boliyohuto berada dalam pengelolaan Dinas Kehutanan Kabupaten Gorontalo.
81
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Eksisting Kawasan Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto 5.1.1. Kondisi Ekologi Vegetasi Kawasan CTN Nantu-Boliyohuto merupakan gabungan dari Kawasan SM Nantu, HPT Boliyohuto, dan HL Boliyohuto. Keanekaragaman jenis tumbuhan Sulawesi masih kurang bila dibandingkan dengan pulau-pulau besar tetangganya seperti Kalimantan dan Sumatera. Keadaan ini dicirikan dengan sedikitnya terdapat 6 jenis pohon meranti (Dipterocarpaceae) dibanding dengan 276 jenis di Kalimantan. Keadaan ini ditambah kenyataan bahwa Sulawesi memiliki spesimen botani paling sedikit dalam koleksi ilmiah dibandingkan dengan pulau/daerah lain di Indonesia (Lee et al., 2001) Berdasarkan inventarisasi yang dilakukan di tiga lokasi yang mewakili kawasan CTNNB, yaitu pada kawasan SM Nantu, HL Boliyohuto, dan HPT Boliyohuto tercatat 204 jenis flora (Lampiran 3.). Vegetasi hutannya banyak didominasi oleh tegakan pohon-pohon yang tinggi dengan tajuk mahkota yang sangat rapat. Umumnya tegakan tersebut berasal dari suku Flacourtiaceae,
Guttiferae,
Datiscaceae,
Annonnaceae,
Anacardiaceae, Ebenaceae,
Myristicaceae, Apocynaceae, Moraceae, Ebenacea, Sapotaceae, dan sebagian kecil dari suku Dipterocarpaceae. Terdapat berbagai pohon berukuran raksasa dan tersebar di berbagai tempat. Ukuran pohon terbesar yang dijumpai mempunyai diameter 400 cm, yaitu pohon beringin (Ficus sp). Jenis pohon berukuran raksasa lainnya yang banyak dijumpai adalah pohon nantu (Palaqium obovatum Engl.) yang menjadikan kawasan ini juga dinamakan Hutan Nantu. Umumnya pohon-pohon yang berukuran besar juga merupakan pohon yang mempunyai nilai INP tinggi, yang artinya jenis pohon yang dominan di kawasan tersebut. Diantara jenis-jenis flora endemik yang dijumpai terdapat spesies yang dilindungi menurut PP No 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, bahkan sudah tercantum dalam CITES untuk kategori Appendix II yaitu suatu jenis yang pada saat ini tidak termasuk dalam kategori terancam punah, namun memiliki kemungkinan untuk terancam punah jika perdagangannya tidak
82
diatur (Tabel 5.1). Jenis-jenis itu adalah Caryota mitis, Cycas rumphii, Livistonia rotundifolia, Macaranga crassistipulosa, Elmerillia ovalis,, Terminalia celebica, Diospyros hebecarpa, Pterospermum celebicum, Manilkara celebica, Cratoxylum celebicum, Dillenia serrata dan Dillenia sp (Gambar 5.1.). Salah satu jenis flora yang menarik adalah Anggrek Raksasa atau Grammatophyllum speciosum. Keunikan anggrek ini adalah ukuran tumbuhnya yang besar dimana panjang batangnya dapat mencapai 5 meter. Anggrek ini merupakan jenis anggrek yang dilindungi berdasarkan PP No 7 tahun 1999 Tabel 5.1. Jenis-jenis flora endemik dan dilindungi di kawasan CTNNB Nama Lokal Boyuhu Walongo Duito Kayu Jambu Dengilo Makakata Maranti Oloitoma Palem kipas Woka Sarai Patuhu Buluhungo Timbuolo Heade Sempur Anggrek
Nama Ilmiah Pterospermum celebicum Elmerillia ovalis Cratoxylum celebicum Kjellbergiodendron celebicum Dillenia serrata Terminalia celebica Shorea sp Diospyros hebecarpa Licualla flabelum Livistonia rotundifolia Caryota mitis Cycas rumphii Macaranga crassistipulosa Manilkara celebica Diospyros celebica Dillenia sp Grammatophyllum speciosum JUMLAH
CITES II II II 3
Status StP + + + + + + 5
E + + + + + + + + + + + + + + + 15
Keterangan: CITES= Konvensi International tentang Perlindungan Hidupan Liar, StP= Status Perlindungan (tanda “+” berdasarkan PP No 7 Tahun 1999), E: Endemik Sulawesi (tanda ”+”) Sumber : Data Primer & Dunggio, 2005
Saat ini, terutama untuk jenis Livistonia rotundifolia keberadaannya di hutan alam sudah sangat terganggu karena daun ini sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai bahan atap rumah. Jenis Cycas rumphii merupakan jenis yang tumbuh di sekitar kawasan hutan dataran rendah, sering ditemukan di pinggir sungai, batangnya dapat mencapai tinggi 6 meter. Keunikan dari tumbuhan ini merupakan contoh peralihan dari jenis tumbuhan paku-pakuan ke tumbuhan berbunga. Populasinya sangat terancam karena banyak diambil orang sebagai tanaman hias pot tumbuhan anggrek, media tumbuh anggrek disamping
83
sebagai obat sakit perut dan muntah darah, sedangkan empulurnya mengandung sagu (Dunggio, 2005).
Gambar 5.1. Jenis tumbuhan endemik dan dilindungi di Kawasan CTNNB Walaupun pengidentifikasian jenis flora hanya berdasarkan nama daerah setempat. Tingginya tingkat keanekaragaman hayati (biodiversity) di hutan tropis merupakan kekayaan tersendiri yang tidak ternilai harganya, yang merupakan sumber keanekaragaman genetik (genetic resource). Tingkat keanekaragaman hayati juga menunjukkan tingkat kestabilan suatu komunitas hutan. Semakin tinggi tingkat keanekaragaman tersebut, maka semakin tinggi pula tingkat kestabilan suatu komunitas. Satwa Pada umumnya kawasan CTNNB merupakan kawasan yang masih terjaga keutuhannya dan kaya akan keragaman jenis mamalia khas Sulawesi. Terdapat habitat satwa yang unik dan penting yaitu salt-lick atau kubangan air panas yang mengandung garam mineral yang sangat dibutuhkan untuk proses metabolisme di dalam tubuh mereka (Clayton, 1996). Tempat ini merupakan salah satu tempat berkumpulnya berbagai satwa, baik satwa endemik, dilindungi dan terancam
84
punah maupun yang tidak termasuk kategori tersebut. Berdasarkan hal tersebut lokasi ini dipilih sebagai tempat untuk melakukan pengamatan satwa. Potensi keanekaragaman satwa di salt-lick dapat dilihat pada Tabel 5.2. Tabel 5.2. Analisis Keanekaragaman Jenis (H1) Satwa di Lokasi Salt-Lick Nama Indonesia Ayam Hutan Babi Hutan
Nama Ilmiah Gallus gallus Sus celebensis
Babi Rusa
Babyrousa babyrussa
Biawak
Varanus indicus
Burung Bubut Sulawesi
Centropus celebensis
Burung Gagak Hutan
Corvus enca
Burung Layang Api
Hirundo rustica
Burung Pelatuk Burung Perkutut
Mulleripicus fulvus Streptopelia chinensis
Total
H1
Status StP -
E
0.058
IUCN -
0.006
-
-
+
362
0.359
EN
+
+
3
0.014
-
-
-
0.039
-
-
+
116
0.220
-
-
-
2
0.010
-
-
-
0.108
-
-
+
0.063
-
-
-
+
+
17 1
10
39 19
-
Burung Rangkong
Rhyticeros cassidix
120
0.225
-
Burung Walik Raja
Ptilinopus superbus
10
0.039
-
-
-
0.006
-
-
+
-
-
Cikrak Sulawesi
Phylloscopus sarasinorum
1
Decu Belang
Saxicola caprata
16
0.056
-
Dederuk Merah
Streptopelia tranquebarica
28
0.085
-
-
+
Delimukan sulawesi
Gallicolumba tristigmata
2
0.010
-
-
+
-
-
Delimukan Timur
Calcophaps stephani
82
0.178
-
Kangkareng Sulawesi
Penelpopides exarhatus
1
0.006
-
+
+
Kepudang Sungu Belang Kepudang Sungu Sulawesi
Coracina bicolor
4
0.018
NT
-
+
-
-
0.042
-
-
-
Kipasan Sulawesi
Coracina morio Rhipidura teysmanni
3 11
0.014
+ +
Kura-Kura Sulawesi
Geomyda yuwonoi
2
0.010
DD
Mandar Dengkur
Aramidopsis plateni
10
0.039
VU
+
+
Mandar Padi Zebra
Gallirallus torquatus
31
0.091
-
-
-
134
0.239
-
-
+
9
0.035
-
-
-
0.173
NT
++
+
0.006
-
+
+
+
+
Merpati Hitam Sulawesi
Turocoena manadensis
Merpati Hutan
Columba vitiensis
Monyet Hitam Sulawesi Paok Mopo
Macaca heckii Pitta erythrogaster
78 1
Perkici Dora/Nuri
Trichoglossus ornatus
21
0.068
-
Pergam Hijau
Ducula aenea
26
0.080
-
-
-
0.010
-
+
-
-
+
-
-
Rusa
Carvus timorensis
2
Tupai
Prociurillus murinus
15
0.053
-
Uncal Ambon
Macropygia amboinensis
80
0.176
-
H’
2.536
Keterangan: INP= indeks nilai penting, CITES= Konvensi International tentang Perlindungan Hidupan Liar, StP= Status Perlindungan (tanda “+” berdasarkan PP No 7 Tahun 1999), E: Endemik Sulawesi (tanda ”+”); E: Endemik Gorontalo (tanda ++) Sumber : Dunggio, 2005
85
Berdasarkan hasil analisa data yang didapatkan terlihat ada 5 jenis yang termasuk dilindungi dan merupakan jenis endemik, yaitu Babirusa (Babyrousa babyrussa), Anoa (Bubalus depressicornis), Tarsius (Tarsiusspectrum), Kuskus Sulawesi (Strigocuscus celebensis) dan Monyet Hitam Sulawesi (Macaca heckii) (Gambar 5.2). Penelitian Hiola (2004) menyatakan bahwa jumlah anoa yang tercatat hingga saat ini memiliki rasio 1 : 30, artinya dalam radius 30 km tercatat jumlah yang ditemukan 1 ekor Anoa. Hal ini menunjukkan bahwa Anoa tergolong jenis yang langka dan hampir punah. Khusus untuk Monyet Hitam Sulawesi keberadaannya cukup banyak dijumpai di sekitar lokasi pondok jaga, dan memiliki rasio 1 : 15, artinya dalam radius 1 km dapat dijumpai 15 ekor. Jumlah ini menunjukkan bahwa jumlah Monyet Hitam Sulawesi masih banyak. Biasanya mereka berjalan secara berkelompok dengan jumlah 10-15 ekor.
Gambar 5.2. Jenis satwa endemik dan dilindungi di Kawasan CTNNB Babirusa, anoa, monyet hitam Sulawesi, yang terdapat di kawasan CTNNB dapat dikategorikan satwa liar yang mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia ditinjau dari segi ekonomi, penelitian, pendidikan dan rekreasi atau wisata. Spesies satwa liar merupakan spesies refleksi kondisi ekologi dan
86
perubahan-perubahannya sepanjang waktu. Spesies satwa liar bisa menjadi sebuah barometer kualitas hidupan satwa liar. Sebagai parameter kawasan CTNNB, keberadaan babirusa, anoa, monyet hitam Sulawesi, maupun satwa lain yang masih hidup di sebuah kawasan konservasi merupakan “nyawa” atau “jiwa” kehidupan liar yang ada di kawasan tersebut. Selain nilai eksistensi tersebut, satwaliar memiliki nilai ekologi yang secara biologis sangat penting peranannya dalam proses pemeliharaan permukaan tanah, penyebaran dan pertumbuhan tanaman, penyerbukan dan pematangan biji, penyuburan tanah, penguraian organisme mati menjadi zat organik. Satwa liar juga mempunyai nilai ekonomi yang menghasilkan produk makanan (daging), gading, cula, dan kulitnya sebagai bahan pembuatan tas, pakaian, dan hiasan, serta nilai estetika sebagai atraksi untuk wisatawan yang harus membayar untuk melihat, meneliti, atau memotret. Selain itu, pada kawasan CTNNB terdapat berbagai jenis burung. Potensi burung Sulawesi merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Daftar burung di Sulawesi dan pulau-pulau kecil di sekitarnya terdiri dari 380 jenis, mungkin bukan merupakan jumlah yang terlalu tinggi, tetapi tidak kurang dari 96 jenis diantaranya adalah endemik. Ornitologiwan dari segala penjuru dunia memberikan prioritas tertinggi untuk pulau ini (Holmes & Philips 1999). Hasil penelitian Dunggio (2005) menunjukkan bahwa pada kawasan CTNNB ini ditemukan beberapa jenis burung endemik Sulawesi. Berdasarkan hasil pengamatan di tipe vegetasi hutan dataran rendah terdapat 49 jenis burung yang bisa di amati dan 24 jenis atau 49% adalah endemik Sulawesi (Lampiran 4.). Populasi ini akan bertambah jika termasuk di dalamnya burung-burung yang mendiami tipe vegetasi hutan pegunungan. Dari 24 jenis burung enedemik, 12 diantaranya telah dilindungi undang-undang yang tercantum dalam PP No 7 tahun 1999. Bahkan terdapat 3 jenis burung yang terancam punah keberadaannya, seperti serindit paruh merah (Loriculus exilis), raja udang merah (Ceyx fallax) dan kepudang sungu belang (Coracina bicolor). Salah satu jenis burung yang paling menonjol dan sangat mudah dijumpai di semua tingkatan habitat di kawasan ini adalah burung rangkong atau alo (Rhyticeros cassidix). Rangkong termasuk jenis burung yang mempunyai variasi bunyi bermacam-macam dan terdengar dari jarak 300 meter. Tingginya keanekaragaman burung di CTNNB
87
disebabkan oleh tingginya keanekaragaman habitat karena habitat merupakan tempat untuk mencari makan, minum, istirahat dan berkembang biak. Selain itu adanya sumber makanan berupa buah-buahan yang tersedia sepanjang tahun di kawasan CTNNB seperti buah ara yang merupakan sumber makanan utama bagi jenis burung. 5.1.2.
Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya
Karakteristik Masyarakat Masyarakat desa pada penelitian ini adalah penduduk desa yang bertempat tinggal di sekitar kawasan dan penduduk yang memiliki akses terdekat menuju kawasan, meliputi penduduk Desa Mohiyolo, Desa Pangahu, Desa Sidoharjo (Kecamatan Tolangohula), Desa Potanga (Kecamatan Tolinggula), Desa Kasia (Kecamatan Sumalata), dan Desa Saritani (Kecamatan Wonosari). Masyarakat yang mendiami sekitar kawasan CTNNB rata-rata berpendidikan rendah. Hal ini tercermin dari tingkat pendidikan responden yakni sebanyak 21,54% tidak sekolah, sebagian besar hanya sampai tingkat SD (66,81%), SLTP (1,67%), SLTA (2,04%), dan yang mencapai perguruan tinggi hanya sebanyak 0,1%. Umumnya mereka berhenti sekolah dan bekerja sebagai pemungut rotan, pencari kayu, dan/atau sebagai pendulang emas di dalam kawasan. Tabel 5.3. menunjukkan data kependudukan desa-desa sekitar kawasan CTNNB. Tabel 5.3. Data Kependudukan Desa Sekitar Kawasan CTNNB Pekerjaan
Desa
Luas
Jlh Pend.
1
Mohiyolo
3922,6
4.244
1505
46
823
125
Pangahu
2100
1222
748
6
203
54
Potanga
607.75
851
281
10
8
14
2
3
4
Pendidikan 5
6
7
8
9
10
11
12
95
1650
1317
153
2633
10
125
6
113
98
74
98
982
40
28
0
71
467
83
112
628
19
9
0
Kasia
2804
833
165
7
50
38
50
523
209
98
489
25
6
6
Saritani
5190
2326
1338
5
245
55
263
420
401
381
1449
58
37
0
Sidoharjo
1327
JUMLAH Persentase (%)
2030
825
6
15
16
134
1034
394
60
1506
40
30
0
11.506
4862
80
1344
302
726
4192
2478
902
7687
192
235
12
100
42,25
0,70
11,69
2,62
6,31
36,43
21,54
7,84
66,81
1,67
2.04
0,10
Keterangan: 1: Petani; 2: PNS; 3: Peternak; 4: Swasta/Pedagang; 5: Dll; 6: Tidak ada 7: Tidak sekolah; 8: Belum sekolah; 9: SD; 10: SMP; 11: SMA; 12: PT Sumber : Data Potensi Desa (2007)
Dilihat dari mata pencahariannya, umumnya masyarakat sekitar kawasan memiliki pekerjaan pokok sebagai petani dan/atau buruh tani (42,25%). Jenis
88
pekerjaan pada sektor pertanian ini sebagian besar adalah bergantung dari hasil hutan, yaitu mengambil rotan dan atau mengambil kayu, dan berladang/sawah, baik di luar kawasan maupun di dalam kawasan, berburu, dan mencari tambang. Dari hasil wawancara tak tertulis dengan responden, umumnya masyarakat yang mempunyai lahan pertanian mengakui bahwa bertani merupakan pekerjaan sampingan dari pekerjaan utama memungut hasil hutan. Mereka turun ke sawah/ladang hanya pada saat menyiapkan lahan sampai menanam bibit, kemudian kembali lagi pada saat panen. Waktu diantara musim tanam dan musim panen digunakan untuk memungut hasil hutan, terutama rotan. Lahan-lahan kering di pinggiran luar kawasan yang hanya ditumbuhi semak belukar atau pohon-pohon muda, umumnya merupakan lahan bekas yang digunakan petani ladang berpindah. Selanjutnya berturut-turut masyarakat bekerja sebagai peternak (11,69%), pedagang/swasta (2,64%), PNS (0,7%) dan lainnya sebesar 6,31%. Jenis pekerjaan lainnya tersebut meliputi pemungut rotan, pengambil kayu, dan berburu di dalam kawasan CTNNB, nelayan, supir, tukang perahu, tukang ojek, dan lainnya. Sedangkan yang tidak bekerja (36,42%) umumnya terdiri dari anak-anak, orang lanjut usia, dan wanita. Yang cukup meresahkan adalah masyarakat berusia produktif namun tidak bekerja. Mereka menjadikan kawasan CTNNB sebagai lapangan kerja alternatif. Hal ini merupakan ancaman bagi kelestarian kawasan jika keadaan ini tidak diakomodir oleh pengelola kawasan. Interaksi Masyarakat Ketergantungan masyarakat sekitar CTNNB pada sumber daya alam di kawasan itu masih sangat tinggi. Pada umumnya mereka melakukan interaksi dengan kawasan melalui aktivitas-aktivitas sehari-hari mereka. Interaksi yang terjadi antara masyarakat dan kawasan disebabkan karena beberapa faktor yaitu pertama, kawasan CTNNB merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat di sekitarnya, baik secara ekonomi maupun sosial, dan kedua karena masyarakat tinggal berdampingan dengan kawasan. Sebagian besar (65,56%) responden melakukan pemanfaatan SDA yang berada dalam kawasan. Masyarakat yang masuk ke kawasan CTNNB umumnya mempunyai lebih dari satu tujuan (98,15%). Tinggi rendahnya interaksi antara masyarakat dan kawasan tentunya
89
dipengaruhi oleh banyak faktor dan salah satunya adalah tingkat kesejahteraan masyarakat.
Semakin
tinggi
tingkat
kesejahteraan
masyarakat,
maka
ketergantungan terhadap kawasan semakin rendah dan sebaliknya. Bentuk-bentuk interaksi masyarakat dengan kawasan CTNNB : 1.
Pemungutan Hasil Hutan Non Kayu Mengambil rotan (74%) merupakan alasan utama masyarakat masuk ke dalam kawasan CTNNB. Hasil hutan non kayu yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan CTNNB selain rotan adalah daun woka, tanaman obat, kayu bakar, bahan bangunan, dan bahan makanan, buahbuahan, bambu, madu dan lain-lain. Selain itu berburu (10,37%) juga merupakan aktivitas masyarakat dalam kawasan. Umumnya babirusa dan anoa merupakan satwa yang paling banyak diburu.
2.
Pemanfaatan Lahan Sebanyak 41% responden yang memanfaatkan kawasan CTNNB dengan berladang. Dengan alasan kurangnya lahan pertanian untuk produksi pangan, masyarakat kemudian membuka lahan pada bagian HPT Boliyohuto untuk digunakan sebagai lahan pertanian kering dan perkebunan. Bentuk pemanfaatan lahan ini sampai dengan sekarang masih berlangsung tanpa hambatan. Hal ini tentunya berdampak negatif bagi kelestarian kawasan taman nasional.
3.
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Tidak dapat dipungkiri bahwa kayu masih dipandang sebagai produk utama hutan. Hutan dipandang oleh masyarakat sebagai sumber kayu. Hal ini menyebabkan masih banyak masyarakat (40%) mengambil hasil hutan kayu dalam kawasan CTNNB. mereka mengambil untuk keperluan kayu bakar, perkakas dan bangunan.
Kearifan lokal, adat istiadat, dan budaya masyarakat Masyarakat sekitar kawasan sebagian besar dari etnis Gorontalo, sedangkan masyarakat lainnya merupakan masyarakat pendatang dari Jawa dan Bali yang merupakan masyarakat transmigrasi dan pekerja HPH serta perkebunan. Adat istiadat masyarakat Gorontalo yang dimiliki beragam, seperti khitanan anak lakilaki, mandi lemon buat anak perempuan, pernikahan, hingga tata cara orang
90
meninggal, sampai tradisi yang hanya di lakukan pada waktu-waktu tertentu. Tradisi tersebut antara lain tradisi “Walima” untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, tradisi “tumbilotohe” yaitu malam pasang lampu pada tanggal 27 Ramadhan selama 3 hari menyambut Hari Raya Idul Fitri. 5.1.3. Ancaman Bagi Kawasan CTNNB Saat ini kawasan-kawasan konservasi sedang menghadapi tekanan yang semakin
besar.
Tekanan-tekanan
ini
merupakan
ancaman
terhadap
keanekaragaman hayati beserta habitatnya. Tekanan yang terjadi pada CTNNB bukan saja berasal dari masyarakat sekitar kawasan, tetapi juga berasal dari luar Provinsi Gorontalo, terutama berkaitan dengan perburuan satwa liar yang merupakan konsumsi masyarakat. Beberapa tekanan yang terjadi pada kawasan CTNNB antara lain adalah : 1.
Pertumbuhan penduduk Tuntutan pemenuhan kebutuhan manusia terhadap sumberdaya yang terus
bertumbuh merupakan penyebab dasar dari berbagai masalah konservasi yang terjadi. Populasi penduduk Kabupaten Gorontalo terus meningkat dari 715.508 jiwa pada tahun 1990 menjadi 960.335 jiwa pada tahun 2007 (BPS, 2008). Kenaikan jumlah penduduk yang pada umumnya petani menyebabkan jumlah kawasan pertanian telah meningkat, dan telah terjadi pengurangan luas tutupan hutan (Dishut, 2005). Hal ini terjadi karena adanya program transmigrasi yang menempatkan banyak petani dari Jawa dan Bali di daerah-daerah yang populasinya masih jarang. Terjadinya pemekaran wilayah di beberapa daerah di Provinsi Gorontalo turut meningkatkan populasi penduduk yang berakibat makin bertambahnya kawasan pemukiman. Hasil penelitian WCS (2001) menunjukkan bahwa populasi kehidupan liar dan kawasan lindung di Sulawesi bagian utara berada dibawah tekanan yang luar biasa dari masyarakat pedesaan. Kegiatan manusia yang sangat berpengaruh terhadap habitat alami dan populasi antara lain perburuan satwa liar untuk kebutuhan pasar, konversi untuk lahan pertanian, pengambilan tumbuh-tumbuhan hutan (rotan, daun palem woka, kayu bahan bangunan, kayu bakar), serta
91
pertambangan emas. Populasi babirusa telah menyusut sampai 95% dalam tahuntahun terakhir. 2.
Penebangan kayu Sampai saat ini belum ada data pasti mengenai berapa banyak kayu yang
diangkut keluar dari hutan-hutan di kawasan CTN Nantu-Boliyohuto. Tetapi kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa hampir semua jalan masuk ke kawasan ditemukan jalur-jalur perjalanan kayu baik yang melalui jalur sungai maupun jalan darat (Gambar 5.3.).
Gambar 5.3. Pembalakan dan pencurian liar (Foto : Hamidun, 2006) 3.
Pertambangan Pertambangan emas liar saat ini merupakan salah satu ancaman serius
terhadap lingkungan, karena bahan pemisah yang digunakan menambah kerusakan ekologi jangka panjang yang ditimbulkannya. Penambang liar menggunakan tromol, suatu mesin penghancur batu untk diproses, dan merkuri untuk memisahkan emasnya (Gambar 5.4). Penggunaan tromol menimbulkan keprihatinan ekologi yang besar. Penggunaan mesin ini menyebabkan sungaisungai tercemar oleh merkuri dan zat-zat lain yang digunakan untuk memisahkan emas dari batuan yang dihancurkan. Pertambangan emas merupakan ancaman besar bagi kesehatan manusia dan hewan. Kegiatan ini menyebabkan sungai-sungai tercemar oleh merkuri dan zatzat lain yang digunakan. Zat ini akan meresap kedalam tanah hingga mencapai permukaan air tanah. Sungai merupakan sumber utama air minum bagi masyarakat pedesaan serta hewan-hewan (ternak dan satwa liar), serta sumber air
92
bagi proyek irigasi. Selain itu, para penambang menetap dan membangun kamp disekitar areal penambangan dengan menggunakan bahan-bahan dari hutan, seperti kayu, kayu bakar, rotan, dan satwa liar. Untuk mengangkut hasil-tambang tersebut, mereka membuka jalan dalam hutan.
Gambar 5.4. Kegiatan PETI dalam kawasan CTNNB (Foto : Hamidun, 2006) 4.
Perburuan Perburuan merupakan ancaman utama bagi populasi banyak spesies satwa
liar, khususnya satwa besar. Populasi satwa semakin menurun seiring dengan semakin meningkatnya intensitas perburuan. Di Sulawesi bagian utara, populasi beberapa mamalia besar seperti babirusa dan anoa telah menyusut sampai 95% dalam tahun-tahun terakhir (Lee, et.al., 2001). Penurunan populasi satwa yang semakin meningkat juga berkaitan erat dengan meningkatnya permintaan pasar, sebagai akibat makin meningkatnya jumlah konsumsi daging. Sulawesi bagian utara mempunyai pengaruh paling besar terhadap populasi satwa liar. Hal ini disebabkan karena lebih dari 90% penduduknya menganut agama tertentu yang tidak ada larangan untuk mengkonsumsi daging satwa liar tertentu. Untuk memenuhi permintaan pasar daging tersebut, perburuan dilakukan ke kawasan-kawasan lindung di Gorontalo sampai ke daerah Sulawesi Tengah. Masyarakat Gorontalo dan Bolaang Mongondow yang tidak mengkonsumsi
93
daging satwa tertentu, melakukan perburuan besar-basaran terhadap satwa anoa dan rusa. Di TN Bogani Nani Wartabone dilaporkan sekurang-kurangnya 100 karkas anoa diperjual di pasar-pasar desa setiap tahunnya dan sekelompok pemburu gelap mengambil sekitar 700ekor
babirusa dan 1.500 babi hutan
sulawesi dalam waktu kurang dari setahun (Lee, et.al., 2001).
Diperkirakan
monyet yaki akan punah dalam waktu 25 tahun, sedangkan babirusa diramalkan akan punah dalam waktu 5-10 tahun mendatang kalau perburuannya terus berlangsung. Sampai saat ini belum ada data berapa jumlah populasi satwa-satwa liar yang ada di kawasan CTNNB, sehingga agak sulit diperkirakan berapa persen tingkat penurunan populasinya. 5.
Pengambilan Hasil Hutan Non Kayu Akibat pemanenan hasil hutan non kayu, walaupun tidak sedramatis
penebangan kayu, mempunyai konsekuensi yang serius bagi fungsi ekosistem hutan. Rotan dan daun woka tergolong dua jenis hasil hutan non-kayu yang paling umum diambil. Rute dan jarak pengambilan rotan di kawasan ini merupakan rute yang sulit ditempuh oleh para pengambil rotan karena umumnya curam. Mereka harus berjalan kaki sekitar 2-3 hari ke dalam hutan dan menghabiskan waktu sampai sepuluh hari untuk mengumpulkan batang-batang rotan. Pada beberapa lokasi pengamatan, semua pintu lokasi tersebut ditemukan tumpukan-tumpukan rotan yang siap diangkut. Daun woka (Livistona rotundifolia) juga merupakan hasil hutan yang biasa digunakan oleh masyarakat. Daun ini digunakan umtuk membungkus makanan, bahan atap rumah dan juga untuk keperluan lain. Pengambilan daun woka yang terlalu banyak, yaitu dengan memotong daun muda maupun daun tua akan menghambat regenerasi dan kemungkinan bisa menyebabkan kematian pohon, sehingga dikhawatirkan jika keadaan ini terus berlangsung pohon woka ini tidak akan lestari
94
Gambar 5.5. Kegiatan pengambilan hasil hutan non-kayu (Foto: Hamidun, 2006) 5.2. Kajian Ekowisata Pada CTN Nantu-Boliyohuto Taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Tujuan pengelolaan di atas dapat dikelompokkan ke dalam 4 (empat) aspek utama yaitu: konservasi, penelitian, pendidikan, dan kepariwisataan. Menurut pengkategorian yang dilakukan oleh IUCN (Mac kinnon, 1993), taman nasional termasuk dalam kategori II yaitu suatu kawasan yang dikelola terutama untuk keseimbangan antara ekosistem dan rekreasi. Meskipun pariwisata tidak menjadi sasaran utama pengelolaan kawasan, tetapi pariwisata dapat menunjang sasaran pelestarian ekosistem kawasan. Konsep ekowisata menawarkan konsep low invest-high value bagi sumberdaya dan lingkungan sekaligus menjadikannya sarana cukup ampuh bagi partisipasi masyarakat, karena seluruh aset produksi menggunakan dan merupakan milik masyarakat lokal. Ekowisata merupakan pola pengelolaan pariwisata yang mendukung keterlibatan penuh masyarakat setempat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan usaha wisata. Ekowisata juga harus
95
meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya setempat, serta mampu meningkatkan pendapatan ekonomi bagi masyarakat setempat dan nilai konservasi kawasan.dapat menciptakan nilai ekonomis bagi kawasan konservasi. Berdasarkan Pedoman Penilaian Daya Tarik Wisata yang dikeluarkan oleh Direktorat Produk Pariwisata Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Tahun 2007 (Lampiran 2), penilaian kriteria daya tarik suatu lokasi terbagi atas beberapa unsur, yaitu: daya tarik wisata, aksesibilitas, fasilitas wisata, lingkungan dan masyarakat, dan potensi pasar. Unsur-unsur tersebut secara rinci diuraikan sebagai berikut: 5.2.1. Daya Tarik Wisata Alam Berdasarkan PP No. 50 tahun 2011, Daya Tarik Wisata dijelaskan sebagai segala sesuatu yang memiliki keunikan, kemudahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau kunjungan wisatawan. Salah satu bagian yang penting dalam pengembangan konsep ekowisata adalah obyek dan daya tarik wisata. Kemampuan dari ODTWA merupakan faktor yang sangat penting untuk memotivasi wisatawan. Wisatawan tertentu akan menyukai sebuah atraksi dari obyek tertentu yang menyebabkan mereka kembali untuk melakukan sebuah perjalanan wisata. Sebagai salah satu negara yang dijuluki negara megabiodiversity, Indonesia memiliki potensi obyek dan daya tarik wisata alam. Dalam buku Rencana Pengembangan Pariwisata Alam Nasional di Kawasan Hutan, Ditjen PHKA (2001), disebutkan bahwa potensi hutan Indonesia antara lain 27.000 tumbuhan berbunga (10%) dari jumlah spesies di dunia, 515 jenis dari kelas mamalia (12%) dari jumlah spesies di dunia, 1.539 jenis Aves (17%) dari jumlah spesies di dunia, 511 jenis dari kelas Reptilia (16%) dari jumlah spesies di dunia dan 8.270 jenis dari kelas Amphibia (16%) dari jumlah spesies di dunia. Selain itu, Indonesia juga mempunyai 128 gunung berapi, fenomena alam seperti air terjun, sumber air panas, kawah, sungai, gua, danau, perairan karang, hutan mangrove, padang laut dan rumput laut. Kekayaan alam tersebut merupakan potensi obyek dan daya tarik wisata alam (ODTWA) yang dalam pengembangan pariwisata alam perlu penanganan yang serius agar tetap terjaga kelestarian dan keberadaannya.
96
Hasil penilaian menunjukkan bahwa kawasan CTN Nantu-Boliyohuto memiliki potensi daya tarik wisata yang tinggi (Tabel 5.4). Tabel 5.4. Penilaian Daya Tarik Wisata CTN Nantu-Boliyohuto No
1
2 3 4 5 6 7 8
Sub Unsur Keindahan Alam : 1. Pandangan lepas dalam obyek/variasi pandangan dalam obyek 2. Pandangan lepas menuju obyek 3. Keserasian & komposisi daya tarik dalam obyek 4. Suasana yang dihadirkan dalam obyek wisata 5. Pandangan/kondisi lingkungan obyek wisata Keunikan SDA : Sumber air panas, Air terjun, Flora fauna, Adat istiadat Banyaknya potensi SDA yang menonjol: Flora, Fauna, Air, Gejala alam Keutuhan SDA: Geologi, Flora, Fauna, Lingkungan (ekosistem) Kepekaan SDA : Batuan, Flora, Fauna, Erosi, Ekosistem Pilihan kegiatan/aktivitas wisata (jumlah aktivitsa): Trekking, Mendaki, Rafting, Camping, Pendidikan, Religius, Hiking, Canoeing, Memancing Kebersihan udara & lokasi,tidak ada pengaruh dari: Alam, Industri, Jalan, ramai, motor/mobil; Pemukiman penduduk; Sampah; Binatang; Corat-coret (vandalisme) Ruang gerak wisatawan (luas intensif) (dalam hektar)
Nilai
30
25 30 25 25 25 25 15
Nilai Dasar = Jumlah Nilai
195
Nilai Bobot = (Nilai Dasar X Bobot 6)
1170
Gambar 5.6. Pemandangan selama perjalanan melalui jalur sungai menuju ke CTN Nantu-Boliyohuto (Foto: Hamidun, 2006)
97
Pandangan lepas menuju obyek dapat disaksikan di sepanjang perjalanan (melalui jalur sungai) menuju kawasan CTNNB bagian SM Nantu (Gambar 5.6.). Obyek yang dapat dilihat di sepanjang perjalanan melalui jalur sungai tersebut bervariasi, seperti pemandangan pegunungan, perbukitan, hamparan pepohonan, hutan dan perkebunan rakyat (jagung dan kelapa disepanjang jalur sungai) serta panorama alam. Selain Pemandangan ini menjadi lebih indah terlihat dengan kehadiran burung-burung yang terbang kesana kemari disepanjang sungai dan di tepian sungai serta kehadiran beberapa satwa lainnya seperti biawak dan monyet. Sementara itu pandangan dalam obyek (dalam kawasan) dapat diamati pada jalur tracking yang dilalui dalam melakukan penjelajahan hutan. Terlihat beragam jenis tmbuhan yang juga merupakan suatu pemandangan yang mempunyai daya tarik tersendiri bagi para petualangan/penjelajah. Daya tarik ini ditunjang dengan keberadaan beberapa jenis flora yang merupakan endemik Sulawesi. Demikian pula perjumpaan dengan beberapa satwa yang tergolong endemik Sulawesi seperti yaki, rangkong dan beberapa jenis burung lainnya dapat terjadi. Selain itu, pada lokasi air terjun kedua yang letaknya tidak jauh dari Desa Pangahu (masih berada di dalam lokasi), jika dilakukan pendakian lebih ke atas (±1 jam perjalanan) akan dijumpai pemandangan lepas menuju perkampungan Desa Pangahu dan rumah Polahi yang merupakan suku terasing masyarakat Gorontalo. Deskripsi ini menggambarkan bahwa kawasan SM Nantu memiliki semua sub unsur dari keindahan alam. Keunikan sumber daya alam (SDA) dapat dilihat terdapatnya kubangan air panas yang merupakan sumber mata air panas asin yang mengandung belerang (salt-lick) (Gambar 5.7.). Hasil analisis tanah pada salt-lick tersebut terdapat kandungan mineral seperti Sulfur-Sulphate (SO4S), Besi (Fe), Natrium (Na), Mangan (Mn), dan Kalsium (Ca). Kandungan mineral tersebut (terutama garam dan belerang) berbeda nyata dengan kandungan kedua zat itu di luar kubangan tersebut. Mineral ini sangat penting untuk satwa karena dapat membantu proses metabolisme di dalam tubuh satwa. Kubangan ini dikelilingi oleh berbagai jenis tumbuhan hutan primer. Salt-lick merupakan salah satu habitat satwa yang terkenal dan terpenting karena merupakan tempat berkumpulnya beberapa jenis satwa endemik dan unik. Tempat ini merupakan habitat terbaik mamalia endemik
98
dan langka seperti babirusa, anoa dan monyet hitam khas Gorontalo serta beberapa jenis burung untuk berendam, bermain, makan ataupun minum. Kejadian seperti ini dapat disaksikan sekitar jam 06.00 atau jam 16.30-18.00. Satwa liar ini setiap hari mengunjugi tempat ini dari jarak yang cukup jauh, yaitu sekitar 8-12 Km (Clayton, 1996; Mustari et al, 2003). Akses ke wilayah ini sangat mudah karena hanya membutuhkan waktu 10 menit berjalan kaki dari Pos Jaga Adudu di kawasan SM Nantu. Atraksi yang ditampilkan pemandangan alami satwa-satwa yang endemik dan langka, berupa perilaku makan, minum, kawin, dan bermain. Atraksi ini sangat menarik dan sangat jarang ditemukan di tempat lain di belahan dunia manapun. Keberadaan salt-lick beserta kehadiran satwa langka dan endemik di dalamnya menjadi daya tarik utama kegiatan wisata alam di SM Nantu.
Gambar 5.7. Babirusa sedang berada di kubangan saltlick (Foto: Hamidun, 2006) Pada kawasan CTNNB ini banyak dijumpai air terjun, antara lain berada pada lokasi yang dekat dari jalur masuk SM Nantu, yaitu air terjun sungai Adudu dan air terjun Desa Pangahu (Gambar 5.8.). Air terjun di sungai Adudu terletak di sebelah utara Pos Jaga Adudu mempunyai ketinggian ± 10 m. Perjalanan memakan waktu sekitar 20 menit dapat ditempuh dengan jalan kaki menyusuri
99
sungai Adudu yang dangkal dan jernih serta sejuk. Sepanjang perjalanan ke lokasi air terjun dapat disaksikan pemandangan khas hutan hujan tropik dataran rendah seperti pohon berdiameter besar yang tumbuh menjulang tinggi serta tajuk yang sangat rapat. Sedangkan air terjun di Desa Pangahu dapat ditempuh dengan jalan kaki melewati perkampungan penduduk, kebun dan areal persawahan dan dilanjutkan dengan memasuki kawasan. Perjalanan menuju air terjun ini memakan waktu sekitar 30 menit dari Desa Pangahu. Keunikan dari air terjun di Desa Pangahu adalah memiliki 3 curahan air sekaligus dengan jarak antar curahan air sekitar 2 meter. Tinggi air terjun ini bervariasi mulai dari 5 meter sampai dengan 10 meter. Lokasi air terjun ketiga terdapat pada kawasan bagian HPT Boliyohuto. Perjalanan ke lokasi ini ditempuh dari jalur masuk Desa Sidoharjo selama sekitar 2 jam.
Gambar 5.8. Air terjun di kawasan CTNNB (Foto: Hamidun, 2006) Vegetasi hutannya banyak didominasi oleh tegakan pohon-pohon yang tinggi dengan tajuk mahkota yang sangat rapat. Umumnya tegakan tersebut berasal dari suku
Anacardiaceae, Flacourtiaceae, Guttiferae, Datiscaceae,
Annonnaceae, Ebenaceae, Myristicaceae, Apocynaceae, Moraceae, Ebenaceae dan Sapotaceae
dan sebagian kecil dari suku Dipterocarpaceae. Terdapat
berbagai pohon berukuran raksasa dan tersebar di berbagai tempat. Ukuran pohon
100
terbesar yang dijumpai mempunyai diameter 400 cm, yaitu pohon beringin (Ficus sp). Jenis pohon berukuran raksasa lainnya yang banyak dijumpai adalah pohon nantu (Palaqium obovatum Engl.) sehingga kawasan ini juga dinamakan Hutan Nantu. Umumnya pohon-pohon yang berukuran besar juga merupakan pohon yang mempunyai nilai INP tinggi, yang artinya jenis pohon yang banyak dijumpai. Potensi fauna yang terdapat di Taman Nasional Nantu terdiri atas jenis mamalia dan jenis burung, yang bisa ditawarkan karena adanya kemudahan untuk melihat di habitat aslinya. Kawasan ini mempunyai potensi satwa yang sangat unik untuk dikembangkan sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia Bagian Timur. Berdasarkan hasil analisa data yang didapatkan terlihat ada 5 jenis yang termasuk dilindungi dan merupakan jenis endemik. Mamalia dari jenis Babirusa atau Babyrousa babyrussa sangat mendominasi. Babirusa merupakan binatang paling aneh yang terdapat di pulau Sulawesi. Ciri khas dari babirusa yang memiliki tubuh pendek dan agak membulat ini adalah adanya dua taring atas yang tumbuh ke atas menembus pipi dan melengkung ke belakang ke arah mata. Menurut Mardiastuti dan Soehartono (2003), barirusa Sulawesi ini berada dalam status perlindungan berdasarkan PP No 7 tahun 1999 dan sudah terdaftar dalam CITES untuk kategori Appendix 1 yaitu jenis yang jumlahnya di alam sudah sangat sedikit dan dikhawatirkan akan punah. Jenis lain yang tidak kalah menariknya dari daya tarik fauna di salt-lick adalah keberdaan monyet hitam khas Gorontalo atau yang lebih dikenal dengan yaki (Macaca heckii). Menurut Kinnaird (1997), dibandingkan dengan tempat manapun di seluruh dunia Sulawesi mempunyai paling banyak jenis monyet makaka. Tujuh jenis monyet dan tiga jenis tangkasi, yang hanya terdapat di Sulawesi. Selain keberadaan jenis-jenis satwa liar tersebut, kawasan SM Nantu juga memiliki beberapa jenis burung endemik Sulawesi. Pengamatan yang dilakukan Dunggio (2005) pada tipe vegetasi hutan dataran rendah menemukan 49 jenis burung yang bisa diamati dan 24 jenis atau 49% adalah endemik Sulawesi. Kekayaan jenis burung Sulawesi merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Dari 24 jenis burung endemik, 12 jenis diantaranya telah dilindungi undang-undang yang tercantum dalam PP No 7 tahun 1999. Bahkan terdapat 3 jenis burung yang
101
terancam punah keberadaannya, seperti serindit paruh merah (Loriculus exilis), raja udang merah (Ceyx fallax) dan kepudang sungu belang (Coracina bicolor). Salah satu jenis burung yang paling menonjol dan sangat mudah dijumpai di semua tingkatan habitat di kawasan ini adalah burung rangkong atau alo (Rhyticeros cassidix). Rangkong termasuk jenis burung yang mempunyai variasi bunyi bermacam-macam dan terdengar dari jarak 300 meter. Tingginya keanekaragaman jenis burung di kawasan ini disebabkan oleh tingginya keanekaragaman habitat karena habitat merupakan tempat untuk mencari makan, minum, istirahat dan berkembang biak. Selain itu ditunjang oleh adanya sumber makanan berupa buah-buahan yang tersedia sepanjang tahun seperti buah ara yang merupakan sumber makanan utama bagi jenis burung. Keutuhan sumberdaya alam dan ekosistem kawasan CTNNB merupakan satu kesatuan yang menjadikan kawasan ini memiliki nilai daya tarik yang tinggi. Potensi keanekaragaman hayati ini didukung oleh keadaan ekosistem yang stabil. Sungai Nantu yang mengalir di sepanjang kawasan SM Nantu berfungsi sangat vital karena merupakan sarana transportasi yang menghubungkan antar desa yang ada di sekitar kawasan. Air sungai Nantu juga sering digunakan untuk keperluan air minum, mencuci dan pengairan lahan-lahan pertanian. Potensi fisik yang dimiliki oleh sungai ini adalah adanya view atau pemandangan hutan pegunungan dan puncak Gunung Boliyohuto yang merupakan gunung tertinggi di Provinsi Gorontalo yang bisa dinikmati selama perjalanan menuju kawasan SM Nantu. Di samping pemandangan berupa hutan pegunungan bawah, kita juga akan disuguhkan dengan alam pedesaan yang terdapat di sepanjang sungai Nantu. Potensi daya tarik wisata kawasan ini memungkinkan pengelola untuk merancang dan mengembangkan kegiatan-kegiatan wisata alam seperti : agrowisata, photo hunting, mendaki dan berkemah, menyusuri hutan (tracking), wisata pendidikan, pengamatan burung (birdwatching), pengamatan satwa liar, wisata panorama alam, wisata sungai, bersampan, dan arung jeram, pemandian di air terjun, dan wisata budaya. 5.2.2. Aksesibilitas Perjalanan dari Jakarta menuju Gorontalo dapat ditempuh menggunakan pesawat udara dengan waktu terbang sekitar 4 jam, atau menggunakan kapal laut
102
dengan 3 hari perjalanan. Perjalanan dari ibukota provinsi ke desa yang berbatasan dengan kawasan SM Nantu (pintu Desa Mohiyolo atau Desa Pangahu) dapat ditempuh dalam waktu 2-3 jam dengan menggunakan kendaraan umum (angkutan kota), dengan kondisi jalannya beraspal baik, kecuali setelah masuk ke desa-desa yang berbatasan dengan kawasan, yang kondisi jalannya merupakan jalan pengerasan. Jika perjalanan langsung dilanjutkan dari Bandar Udara Jalaludin Gorontalo, perjalanan dapat ditempuh sekitar 1 jam. Dari jalur selatan dan jalur barat perjalanan relatif mudah dan lancar. Dari Desa Pangahu yang berbatasan langsung dengan kawasan CTNNB dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama sekitar 20 menit. Dari Desa Mohiyolo perjalanan dapat ditempuh dengan menggunakan 2 jalur, yaitu : dengan menggunakan perahu tempel menyusuri DAS Paguyaman - Sub DAS Nantu ± 3 jam hingga sampai pada pintu masuk kawasan SM Nantu, serta dengan berjalan kaki selama ± 1 jam jika masuk melalui Dusun Daenaa, ± 2 jam jika masuk melalui Desa Sidoharjo hingga masuk ke kawasan HPT Boliyohuto dan HL Boliyohuto. Kawasan CTNNB bagian utara hampir semuanya berbatasan dengan gunung dan hutan, sehingga jalan masuk dari wilayah bagian ini agak sulit. Dari Desa Potanga dan Desa Kasia, perjalanan dapat dilakukan dengan berjalan kaki selama ± 2-4 jam dengan medan yang mendaki. Hasil penilaian aksesibilitas ke kawasan CTN Nantu-Boliyohuto dapat dilihat pada Tabel 5.5. Tabel 5.5. Penilaian Aksesibilitas CTN Nantu-Boliyohuto No
Sub Unsur yang Dinilai
Nilai
Kondisi Jalan Darat, Laut, Sungai, Danau, dari Pusat, Penyebaran Wisata 1 2 3 4
Kondisi & jarak jalan darat : 76 – 150 Km Kondisi & jarak jalan Sungai: < 75 Akses dari pintu gerbang terminal / bandara / pelabuhan / stasiun : 2-4 jam Frekuensi kenderaan umum dari pusat penyebaran (buah/hari): Cukup / 17 - 24 Jumlah tempat duduk transportasi umum menuju penyeberangan wisata terdekat / minggu, atau setiap 200 : <2000
40 80 40 25 10
Nilai dasar = Jumlah nilai
195
Nilai Bobot = Nilai Dasar X Bobot
975
103
Frekuensi kendaraan umum ke Desa Mohiyolo umumnya relatif lancar, terutama pada hari-hari pasar, meskipun waktu operasionalnya hanya dari pagi sampai sore, baik itu angkutan darat maupun angkutan sungai. Untuk mengantisipasi keterlambatan perjalanan, sebagaimana biasanya kendaraan umum yang menunggu hingga penumpang penuh baru jalan, para wisatawan dianjurkan untuk menggunakan mobil pribadi atau mobil sewaan supaya perjalanan lancar. 5.2.3. Fasilitas Wisata Hasil penilaian unsur fasilitas wisata pada kawasan CTN Nantu-Boliyohuto disajikan pada Tabel 5.6. Fasilitas wisata yang berada di desa-desa sekitar kawasan masih sangat minim. Penginapan atau hotel di sekitar kawasan sampai radius 20 km belum ada. Keberadaan hotel sampai penginapan (kelas melati) dapat ditemukan di kota kabupaten atau kota provinsi.Untuk keperluan tempat tinggal, pengunjung dapat menginap di rumah penduduk. Sedangkan di dalam kawasan CTTNB bagian SM Nantu terdapat dua pondok yang berada pada daerah pintu masuk kawasan, yaitu pondok penelitian dan pos jaga, yang berupa rumah kayu semi permanen yang dilengkapi bilik mandi, WC dan dapur, sumur yang terletak di belakang pondok untuk keperluan air bersih, serta dilengkapi dengan generator untuk penerangan di malam hari. Bagi pengunjung yang ingin bermalam di dalam kawasan hutan dapat menggunakan pondok tersebut bersamasama dengan petugas dan tidak dikenakan biaya. Untuk ketersediaan sumber air bersih pada desa-desa sekitar kawasan, khususnya pada desa-desa yang menjadi lokasi penelitian juga mengandalkan sumber air tanah (sumur) dan aliran sungai di DAS Paguyaman serta Sub DAS Nantu. Fasilitas penerangan Iistrik melalui jaringan PLN saat ini telah menjangkau sampai ke daerah kecamatan dan beberapa desa, namun penerangan untuk desadesa yang menjadi lokasi penelitian belum semuanya terjangkau oleh penerangan listrik, hanya Desa Mohiyolo yang saat ini telah memperoleh penerangan listrik dan selebihnya (Desa Pangahu dan Desa Saritani) belum terjangkau jaringan PLN. Sedangkan penerangan listrik dalam kawasan CTNNB saat ini baru dapat dinikmati dengan menggunakan generator, yang dinyalakan dua kali sehari yakni pada pagi dan malam hari. Penerangan pada pagi hari dilakukan pada pukul 07.00 pagi untuk melakukan komunikasi dengan pihak BKSDA Manado dan Yayasan
104
Adudu Nantu Internasional (YANI), sedangkan pada malam hari berlangsung sampai pukul 22.00 dan setelah itu penerangan dilakukan menggunakan lampu minyak. Fasilitas dan pelayanan kesehatan sampai saat ini belum tersedia. Fasilitas terdekat hanya berada di Desa Mohiyolo. Fasilitas atau sarana kesehatan yang terdapat di Desa Mohiyolo adalah sebuah puskesmas pembantu dengan tenaga medis berjumlah 2 orang. Sedangkan pada desa lainnya (Desa Pangahu dan Saritani) belum terdapat adanya sarana maupun fasilitas kesehatan lainnya. Bagi penduduk maupun wisatawan yang memerlukan perawatan (sakit) harus ke Desa Mohiyolo atau ke ibukota kecamatan/kabupaten. Fasilitas dan pelayanan perbelanjaan (makanan dan minuman) belum tersedia di dalam kawasan. Saat ini keberadaan kios (warung) terdekat dengan pintu masuk kawasan terletak di Desa Saritani. Sedangkan pasar yang menjadi pusat perbelanjaan masyarakat di ketiga desa yang menjadi lokasi penelitian terletak di Desa Mohiyolo. Masyarakat di kedua desa lainnya memasarkan hasilhasil pertanian di pasar Desa Mohiyolo, karena merupakan satu-satunya pasar terdekat. Selain pasar tersebut, juga terdapat pasar di desa lain yang waktu hari pasarnya berbeda, dan biasanya hari pasar tersebut berlangsung sekali seminggu untuk setiap desa. Fasilitas pelayanan pos dan telekomunikasi (telepon) belum tersedia di sekitar kawasan. Khusus untuk fasilitas komunikasi antara petugas lapangan dengan pihak BKSDA Manado dan YANI dilakukan melalui radio panggil. Fasilitas pelayanan pos masih berpusat di ibukota kabupaten, sedangkan pada ibukota kecamatan masih berupa pos pembantu atau pos keliling, dan untuk sarana telekomunikasi, telepon rumah maupun sambungan telepon seluler sudah dapat terjangkau sampai saat ini. Pelayanan informasi (pusat informasi) di dalam kawasan sampai saat ini belum ada. Informasi mengenai kondisi lokasi dan daya tarik yang dimiliki dapat diperoleh dari para petugas yang berjaga saat berkunjung. Sedangkan informasi secara umum dapat diperoleh pada piilak pengelola yaitu BKSDA Manado dan YANI selaku pengelola saat ini.
105
Pelayanan keamanan wisatawan dapat dikatakan terjamin, karena pihak YANI selaku mitra kerja BKSDA Manado yang menjadi pengelola kawasan mempekerjakan 4 orang Brimob yang bertugas sebagai patroli keamanan kawasan. Pergantian petugas keamanan ini dilakukan sekali sebulan. Tabel 5.6. Penilaian Fasilitas Wisata di CTN Nantu-Boliyohuto No
Sub Unsur yang Dinilai
Nilai
1.
Fasilitas wisata : Akomodasi, Rumah makan / restoran / kafe
20
2.
Fasilitas pendukung: balai kesehatan, pos polisi,
20
3.
Fasilitas khusus: tidak ada
10
4.
Prasarana pariwisata : Jalan raya, Jaringan telepon, Jaringan listrik, Ketersediaan air bersih
40
Nilai Dasar = Jumlah Nilai
90
Nilai Bobot (Nilai Dasar X Bobot)
450
5.2.4. Masyarakat dan Lingkungan Modernisasi dan dinamika pembangunan di daerah terus berlangsung, namun peran hutan belum tergantikan bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga masyarakat sekitar hutan. Sebagian besar sumber penghasilan keluarga berasal dari hutan, baik untuk konsumsi maupun sebagai sumber penghasil uang tunai. Di luar Jawa, kebanyakan masyarakat pedesaan tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan negara. Sekitar 48,8 juta orang tinggal pada lahan hutan negara dan sekitar 10,2 juta di antaranya dianggap miskin. Selain itu ada 20 juta orang yang tinggal di desa-desa dekat hutan dan enam juta orang di antaranya memperoleh sebagian besar penghidupannya dari hutan (Wollenberg dkk, 2004). Salah satu karakteristik ekowisata adalah menempatkan masyarakat lokal sebagai aktor utama dalam penyelenggaraan ekowisata tersebut. Partisipasi dan pemberdayaan masyarakat lokal sebagai bagian dari upaya menyadarkan, memampukan, memartabatkan dan memandirikan rakyat menuju peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup, dengan bertumpu pada kegiatan usaha masyarakat itu sendiri, dan peningkatan keahlian profesi. Masyarakat
yang
mendiami
sekitar
kawasan
CTNNB
rata-rata
berpendidikan rendah. Umumnya mereka pernah bersekolah sampai tingkat SD,
106
tetapi banyak yang berhenti dan bekerja sebagai pemungut rotan, pencari kayu, dan/atau sebagai pendulang emas di dalam kawasan. Dilihat dari mata pencahariannya, umumnya masyarakat sekitar kawasan memiliki pekerjaan pokok sebagai petani dan/atau buruh tani. Jenis pekerjaan di sektor pertanian sebagian besar adalah berladang/sawah, baik di luar kawasan maupun di dalam kawasan CTNNB. Selanjutnya berturut-turut bekerja sebagai peternak, pedagang (swasta), dan lainnya. Jenis pekerjaan lainnya meliputi pemungut rotan, pengambil kayu, dan berburu di dalam kawasan CTNNB, nelayan, supir, tukang perahu, tukang ojek, dan lainnya. Namun sebenarnya, masyarakat masih bergantung hidupnya dari hasil kawasan. Dari hasil wawancara tidak tertulis dengan responden, umumnya masyarakat yang mempunyai lahan pertanian mengakui bahwa bertani merupakan pekerjaan sampingan dari pekerjaan utamanya sebagian pemungut hasil hutan. Mereka turun ke sawah/ladang hanya pada saat menyiapkan lahan sampai menanam bibit, kemudian kembali lagi pada saat panen. Waktu diantara musim tanam dan musim panen digunakan untuk memungut hasil hutan, terutama rotan. Sedangkan yang tidak bekerja umumnya terdiri dari anak-anak, orang lanjut usia, dan wanita. Yang cukup meresahkan adalah lapisan masyarakat berusia produktif namun tidak bekerja. Mereka menjadikan kawasan CTNNB sebagai lapangan kerja alternatif. Hal ini merupakan ancaman bagi kelestarian kawasan jika keadaan ini tidak diakomodir oleh pengelola kawasan. Golongan yang tidak bekerja ini justru merupakan potensi tenaga kerja untuk menciptakan lapangan kerja pada kegiatan ekowisata. Bagi masyarakat yang berpendidikan rendah diperlukan usaha dan kegiatan yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dasar agar proses pemberdayaan dan pelibatan masyarakat sebagai aktor pengelolaan ekowisata dapat terwujud. Kegiatan tersebut dapat berupa pelatihan dan kursus yang berkaitan dengan profesi dan potensi sumberdaya lokal, serta pendampingan dan pembimbingan oleh fasilitator. Sedangkan masyarakat yang berpendidikan lebih tinggi dapat dibina dan dilatih dengan pengetahuan teknis sehingga mereka bisa menjadi motivator, fasilitator, dan pelaku utama dalam pengelolaan ekowisata. Peningkatan kualitas masyarakat telah dimulai beberapa tahun lalu. Pengelola Yayasan Adudu Nantu Internasional (YANI) yaitu yayasan yang
107
dibiayai oleh Darwin Initiative (UK Government, Department of Environment) yang
menjadi
mitra
pemerintah
dalam
mengelola
kawasan
CTNNB,
melaksanakan program beasiswa bagi anak-anak untuk bersekolah ke ibukota Provinsi Gorontalo. Mereka juga telah memfasilitasi program Bahasa Inggris dan pendidikan lingkungan bagi anak-anak SD di Desa Pangahu, desa yang pemukiman penduduknya langsung berbatasan dengan kawasan CTNNB. Yayasan ini juga membantu infrastruktur sekolah dengan menyediakan meja dan bangku, membuat perpustakaan buku-buku ekologi. Namun hingga saat ini kegiatan-kegiatan tersebut tidak ada kelanjutannya lagi. Diketahui
bahwa
masyarakat
merupakan
unsur
penting
dalam
pengembangan konsep ekowisata, dimana pengelolaan kegiatan wisata yang mendukung keterlibatan penuh masyarakat setempat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan usaha ekowisata dan segala keuntungan yang diperoleh. Ekowisata menitikberatkan peran aktif komunitas. Hal tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata, sehingga pelibatan masyarakat menjadi mutlak. Ekowisata mengakui hak masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang mereka miliki secara adat ataupun sebagai pengelola, yang dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, dan mengurangi kemiskinan, di mana penghasilan ekowisata adalah dari jasa-jasa wisata untuk turis: fee pemandu; ongkos transportasi; homestay; menjual kerajinan, dan lain-lain. Keberhasilan penerapan konsep ekowisata harus sejalan dengan kesejahteraan masyarakat dimana konsep ekowisata tersebut dilakukan. Ekowisata membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antar penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan ekowisata. Dengan adanya penerapan ekowisata yang berbasis pada masyarakat bukan berarti bahwa masyarakat akan menjalankan usaha ekowisata itu sendiri. Tataran implementasi ekowisata perlu dipandang sebagai bagian dari perencanaan pembangunan terpadu yang dilakukan di suatu daerah. Untuk itu, pelibatan para pihak terkait mulai dari level komunitas, masyarakat, pemerintah, dunia usaha dan
108
organisasi non pemerintah diharapkan membangun suatu jaringan dan menjalankan suatu kemitraan yang baik sesuai peran dan keahlian masing-masing. Persepsi masyarakat tentang konsep ekowisata masih sangat kurang. Istilah ekowisata adalah istilah yang baru bagi mereka. Mereka belum memahami istilah ekowisata, bahkan masyarakat yang tinggal di desa Potanga dan Desa Sidoharjo masih asing dengan istilah wisata, meskipun kemudian mereka paham ketika makna istilah wisata dijelaskan. Ketika konsep ekowisata dijelaskan beserta manfaat, kriteria, dan prinsip-prinsipnya, hampir semua mendukung rencana pengembangan ekowisata di kawasan CTNNB. Hal ini disebabkan karena selama ini mereka dilarang masuk ke dalam kawasan (bagian SM Nantu), sehingga mereka berharap bahwa ekowisata benar-benar akan memberikan mereka insentif ekonomi. Selain itu dengan adanya kegiatan ekowisata, mereka berharap aksesibilitas menuju kawasan akan mendapatkan perhatian dari pihak-pihak terkait menjadi lebih baik, sehingga merekapun dapat segera memasarkan hasilhasil pertanian, peternakan, dan home industri mereka. Selain itu, mereka juga dapat melakukan usaha yang lain guna mendukung wisata alam tersebut, misalnya dengan membuka usaha penginapan, jasa pemandu wisata dan lainnya. Dengan adanya pemasaran hasil pertanian yang cepat dan usaha lain tersebut, maka taraf hidup mereka
juga
diharapkan
dapat
ikut
meningkat
sehingga
dapat
menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hasil penilaian unsur lingkungan dan masyarakat pada Kawasan CTN Nantu-Boliyohuto dapat dilihat pada Tabel 5.7. Tabel 5.7. Penilaian Lingkungan dan Masyarakat CTN Nantu-Boliyohuto No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sub Unsur yang Dinilai Tata guna tanah / Perencanaan Status kepemilikan tanah Kepadatan penduduk Sikap masyarakat terhadap pariwisata Tingkat pengangguran Mata pencaharian penduduk Tingkat pendidikan masyarakat Media yang masuk Dampak sumber daya biologi Sumber daya alam fisik Nilai Dasar = Jumlah Nilai Nilai Bobot (Nilai Dasar X Bobot)
Parameter
Nilai
Rencana mendukung 50% tanah negara 71-100
20 20 20
Mendukung
30
30% 50% buruh tani & pengrajin 50% lulus SD TV, radio, media cetak, internet Sangat subur Ada bahan bangunan & mineral 160 800
20 20 10 10 5 5
109
5.2.5. Potensi Pasar Industri pariwisata kini merupakan industri penting sebagai penyumbang Gross Domestic Product (GDP) suatu negara, dan bagi daerah sebagai penyokong dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Industri ini mampu memberikan 10% dari PAD.
Hal
inilah
yang
menyebabkan
daerah
berlomba-lomba
untuk
memperkenalkan potensi pariwisata yang dimilikinya sehingga dapat menarik kunjungan wisata, baik lokal maupun mancanegara. Industri pariwisata adalah industri yang diperkirakan akan terus berkembang, dan nuansa alam dalam industri ini akan semakin jauh meningkat. Menurut UNWTO, pertumbuhan kunjungan wisatawan internasional diprediksi akan mencapai 1,6 miliar wisatawan pada tahun 2020. Sedangkan peningkatan kunjungan dan perjalanan wisatawan mancanegara ke Indonesia ditargetkan mencapai 8.600.000 orang pada tahun 2014, dan peningkatan kunjungan dan perjalanan wisatawan nusantara mencapai 276 juta orang pada tahun 2014. Pertumbuhan ini memberikan peluang cerahnya industri pariwisata sekaligus ketatnya persaingan pemasaran pariwisata oleh banyak negara di dunia (KemBudPar, 2010). Ekowisata telah berkembang sebagai salah satu industri pariwisata yang potensial untuk meningkatkan penerimaan devisa negara, terutama pada dasawarsa terakhir ini. Hampir 10% jumlah pekerja di dunia, bekerja di sektor pariwisata dan tidak kurang dari 11% Gross Domestic Product (GDP) seluruh dunia berasal dari sektor ini. Di Indonesia, ekowisata telah menyumbangkan devisa sebesar Rp. 80 triliun pada tahun 2008 dengan jumlah wisatawan mancanegara sebanyak 6,5 juta orang. Penerimaan tersebut meningkat 33% dari tahun 2007 (Rp.60 triliun), dimana jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke indonesia sebesar 5 juta orang. Berdasarkan laporanWorld Travel Tourism Council (WTTC) tahun 2000, pertumbuhan rata-rata ekowisata sebesar 10% per tahun. Angka tersebut lebih tinggi dibanding pertumbuhan rata-rata per tahun untuk
pariwisata
pada
umumnya
yaitu
sebesar
4,6%
per
tahun.
(http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/5887). Provinsi Gorontalo adalah salah satu dari 33 provinsi di wilayah Republik Indonesia yang yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi daerah tujuan
110
wisata. Terletak memanjang dari timur ke Barat di bagian Utara Pulau Sulawesi, provinsi ini juga merupakan daerah strategis bila dipandang secara ekonomis, karena berada pada poros tengah wilayah pertumbuhan ekonomi, yaitu antara 2 (dua) Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET) Batui Provinsi Sulawesi Tengah dan Manado – Bitung Provinsi Sulawesi Utara. Letaknya yang strategis ini dapat dijadikan sebagai transit seluruh komoditi dari dan menuju kedua KAPET tadi, selain itu juga dapat meningkatkan kunjungan pariwisata. Gorontalo memiliki banyak aset-aset pariwisata yang sangat potensial untuk dikembangkan yang nantinya akan berdampak positif terhadap aktivitas ekonomi daerah. Pengembangan aset-aset pariwisata secara optimal diharapkan akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah harus mampu mengembangkan pariwisata secara holistik termasuk menyiapkan sarana dan prasarana yang nantinya akan memiliki nilai strategis terhadap perkembangan pariwisata di Gorontalo, yaitu: 1.
Pembangungan
infrastruktur,
seperti
perkembangan
jalan
raya
(aksesibilitas), perbaikan fasilitas sanitasi dan peningkatan akses penduduk terhadap fasilitas lainnya dari kedatangan turis domestik maupun mancanegara.
Kedatangan
meraka
diharapkan
akan
memberikan
kesejahteraan pada penduduk daerah destinasi. 2.
Kemajuan teknologi, seperti perkembangan infrastruktur dan teknologi modern yang ditunjukkan dengan meluasnya penggunaan internet, mobile telephone dan ekspor-ekspor produk berteknologi tinggi. Faktor ini memberi implikasi bahwa kedatangan turis akan meningkatkan penggunaan produkproduk berteknologi tinggi di daerah destinasi. Diasumsikan bahwa turisturis terutama dari mancanegara akan membawa perubahan teknologi kepada daerah destinasi.
3.
Keterbukaan
destinasi
termasuk
pola
pikir
masyarakat
terhadap
perdagangan internasional dan turis internasional. Hal ini memberikan implikasi bahwa dengan kedatangan turis mancanegara atau internasional menyebabkan terjadinya perdagangan antara kedua negara yaitu negara asal turis dan negara destinasi tujuan wisata. Perlu disadari bahwa tujuan kedatangan turis ke suatu daerah destinasi adalah berlibur, melakukan
111
perdagangan dan tujuan lainnya seperti seminar, pendidikan dan kesehatan. Dengan beragamnya turis dari berbagai negara yang datang ke daerah destinasi menyebabkan perdagangan terutama produk-produk lokal dapat dipasarkan di pasar internasional. 5.3. Zonasi CTN Nantu-Boliyohuto Dalam Permenhut No. 56/Menhut-II/2006 disebutkan bahwa Zonasi Taman Nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Sebagai konsekuensi dari fungsi dan peruntukan kawasan taman nasional sebagai kawasan pelestarian alam, maka pusat perhatian penilaian ini terlebih dahulu difokuskan pada penilaian ekologis. Keistimewaan ekologis menjadi faktor terpenting dalam proses zonasi yang biasanya dilakukan dengan pendekatan jenis, keanekaragaman, dan keterwakilan (DepHut, 2010). Pada pendekatan jenis, unsur-unsur pertimbangannya adalah endemisitas, kelangkaan, status konservasi suatu jenis, fungsinya dalam ekosistem, dan simbolisme atau jenis flagship. Sementara pada pendekatan keanekaragaman atau komunitas unsur-unsur yang dipertimbangkan adalah kekayaan jenis, keterancaman komunitas dan fragmentasi habitat. Kemudian pada pendekatan keterwakilan unsur yang dipertimbangkannya adalah tipe vegetasi dan hidrologi. Proses zonasi juga mempertimbangkan faktor ketinggian dan kemiringan. Analisa zonasi pada CTN Nantu-Boliyohuto didasarkan pada hasil analisis sensitivitas ekologi dan pertimbangan ekowisata. 5.3.1. Analisis Sensitivitas ekologi Sensitivitas ekologi dimaknai sebagai wilayah habitat yang sesuai untuk satu jenis atau banyak jenis satwa dan atau jenis tumbuhan. Dalam kajian ini sensitivitas ekologi dipengaruhi oleh faktor-faktor biofisik, antara lain jenis ketinggian tempat, kelerengan, tutupan lahan, dan sensitivitas satwa. Faktor-faktor tersebut secara rinci sebagai berikut: Analisis Ketinggian Tempat Kawasan CTNNB merupakan wilayah dataran rendah hingga pegunungan dengan variasi nilai ketinggian antara 124 – 2065 m dpl. Nilai paling tinggi
112
terletak di Pegunungan Boliyohuto. Sepanjang kawasan bagian utara dari arah barat hingga ke timur merupakan daerah pegunungan ketinggian yang berkisar antara 1200 – 2065 mdpl, yang terdiri dari G. Boluo (1357 mdpl), G. Manatimu (1367 mdpl), G. Ponasana (1317 mdpl), G. Olibiahi (1204 mdpl), G. Sumalata (1403 mdpl), G. Botutombaha (1363 mdpl), G. Pomonto (1510 mdpl), G. Tombulato (1421 mdpl), G. Polalodupoto (1552 mdpl), G. Abapi (1371), G. Lamu (1530), G. Boliyohuto (2065 mdpl), G. Dulukapa (1746 mdpl), dan G. Tohulite (1416 mdpl). Ketinggian tempat diklasifikasikan menjadi 3 kelas, seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 5.8. Daerah ketinggian <700 m dpal seluas 34.898,65 Ha mendominasi kawasan ini. Tersebar pada wilayah bagian tengah hingga bagian selatan, sepanjang kawasan dari bagian barat hingga bagian timur. Daerah ketinggian antara 700–1400 m dpal seluas 26,282.23 Ha tersebar pada kawasan bagian tengah ke bagian utara sepanjang kawasan dari bagian barat hingga bagian timur. Kawasan CTNNB bagian HL Boliyohuto sebagian besar berada pada ketinggian kelas ini. Sedangkan wilayah ketinggian >1400 m dpal tersebar pada kawasan CTNNB bagian HL Boliyohuto dengan luasa 2.315,21 Ha. Peta sebaran ketinggian tempat disajikan pada Gambar 5.10. Tabel 5.8. Kelas Ketinggian CTN Nantu-Boliyohuto Kelas Ketinggian (mdpl)
Luas (Ha)
< 700 700 – 1400 >1400
34.898,65 26.282,23 2.315,21
Gambar 5.10. Peta Kelas Ketinggian di CTNNB
113
114
Analisis Kelerengan CTN Nantu-Boliyohuto mempunyai kelerengan bervariasi dari datar/landai sampai dengan sangat curam (Tabel 5.9). Daerah datar/landai–miring (<15%) mempunyai luasan 20.660,39 Ha, tersebar di seluruh bagian kawasan CTNNB. Kawasan CTNNB bagain HPT Boliyohuto umumnya berada pada kategori ini. Daerah miring-curam (15%-26%) mempunyai luasan terbesar yaitu 23.446,89 Ha, tersebar di seluruh bagian kawasan CTNNB. Daerah curam – sangat curam (>25%) mempunyai luasan 19.388,11 Ha, tersebar di seluruh bagian kawasan CTNNB. Kawasan bagian HL Boliyohuto umumnya merupakan daerah dengan kelerengan kategori ini. Gambaran kondisi penyebaran kelerengan di CTNNB dapat dilihat pada Gambar 5.11. Tabel 5.9. Klasifikasi Kemiringan lereng di CTNNB Klasifikasi Landai-Miring Miring-Curam Curam-Sangat Curam
Kemiringan Lereng <15 % 15% – 25% >25%
Luas (Ha) 20.660,39 23.446,89 19.388,11
Gambar 5.11. Peta Kelas Lereng di CTNNB
115
116
Analisis Tutupan Lahan Kategori tutupan lahan pada kawasan CTN Nantu-Boliyohuto ditampilkan pada Tabel 5.10. dan petanya pada Gambar 5.12. Hutan primer dengan luasan 40.181,87 mendominasi tutupan lahan di CTNNB, tersebar pada kawasan bagian tengah ke utara, dari barat sampai ke timur. Pada umumnya hutan primer berisi pohon-pohon besar berumur panjang, berseling dengan batang-batang pohon mati yang masih tegak, tunggal, serta kayu-kayu rebah. Robohnya kayukayu tersebut biasa membentuk celah atau rumpang tegakan, yang memungkinkan masuknya cahaya matahari ke lantai hutan, dan merangsang pertumbuhan vegetasi lapisan bawah. Hutan ini ditandai dengan adanya pohon-pohon berakar tunjang besar dan tajuk datar yang mencapai ketinggian 45 m. Hutan ini sangat lebat dengan pepohonan paling beragam diantara semua habitat. Ada banyak pandan, palem dan rotan serta perambat lainnya. Spesies palma yang paling umum dijumpai adalah Arenga sp, Caryota mitis, Livistonia rotundifolia. Spesies pohon meliputi Cananga odorata, Palaquium spp, Ficus spp, Eugenia, dan Pterospermum. Hutan primer seringkali merupakan rumah bagi spesies-spesies tumbuhan dan hewan yang langka, rentan atau terancam kepunahan, yang menjadikan hutan ini penting secara ekologi. Kawasan CTNNB bagian SM Nantu dan HL Boliyohuto sebagian besar merupakan hutan primer. Hutan sekunder mempunyai luasan 19.654,04 Ha muncul setelah dibukanya hutan alam untuk kegiatan peternakan dan pertanian. Kawasan CTNNB bagian HPT Boliyohuto sebagian besar merupakan hutan sekunder. Jenis pohon di tipe habitat ini lebih kecil, tajuknya lebih kecil dan terbuka, tumbuhan bawahnya lebih banyak, tumbuhan epifit lebih banyak dan keanekaragaman pohonnya berkurang. Disamping hutan primer dan hutan sekunder, tutupan lahan di CTNNB terdiri dari perkebunan seluas 378,96 Ha, pertanian lahan kering seluas 668,38 Ha, semak dan belukar seluas 2.536,83 Ha, dan badan air seluas 76,02 Ha. Tabel 5.10. Klasifikasi Penutupan Lahan di CTN Nantu-Boliyohuto Klasifikasi Hutan Primer Hutan Sekunder Perkebunan Pertanian Lahan Kering Semak & Belukar Badan Air
Luas (Ha) 40.181,87 19.654,04 378,96 668,38 2.536,83 76,02
Gambar 5.12 Peta Penutupan Lahan di CTNNB
117
118
Analisis Sensitivitas Satwa dan Tumbuhan Kawasan CTN Nantu-Boliyohuto memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, dengan tumbuhan sebanyak 204 jenis, 49 jenis burung (24 jenis diantaranya merupakan endemik Sulawesi), dan mamalia yang mendiami hampir seluruh tipe habitat kawasan hutan hujan tropis CTNNB. Penelitian Dunggio (2005) pada kawasan SM Nantu menghasilkan peta penyebaran satwa dan tumbuhan endemik dan dilindungi, yang dilakukan dengan pendekatan tipe habitat sebagai tempat hidup dan berkembangbiak, serta daerah jelajahnya. Habitat adalah suatu lingkungan dengan kondisi tertentu dimana suatu spesies atau komunitas hidup, sedangkan daerah jelajah (home range) adalah luas areal yang digunakan suatu kelompok satwa dari suatu spesies dalam melakukan aktivitasnya pada kurun waktu tertentu (Rowe, 1996). Daerah jelajah terbentuk berdasarkan jelajah harian suatu kelompok yang merupakan rata-rata jarak tempuh suatu kelompok dalam melakukan aktivitas hariannya. Sesuai dengan tujuan penunjukan saat ini, SM Nantu yang merupakan bagian CTNNB, merupakan kawasan perlindungan satwa endemik antara lain babirusa dan anoa, sehingga dalam kajian ini parameter sensivitas satwa dihasilkan dari analisa daerah jelajah babirusa dan anoa. Daerah jelajah babirusa dan anoa dianalisa berdasarkan penampakan, jejak, korotan, spot pakan, dan kubangan. Penelitian Clayton (1996) tentang habitat dan perilaku babirusa di SM Nantu seluas 32.000 ha, memperkirakan terdapat 500 ekor babirusa, namun jumlah ini terus menurun karena tingginya tingkat kerusakan hutan dan perburuan.
Habitat babirusa berupa hutan hujan dataran rendah, menyukai
kawasan hutan dimana terdapat aliran sungai, sumber air, rawa, dan cerukancerukan air yang memungkinkannya mendapatkan air minum dan berkubang. Satwa ini mengunjungi tempat-tempat air dan tempat mengasin (salt-lick) secara teratur
untuk
mendapatkan
garam-garam
mineral
untuk
membantu
pencernaannya. Sebagai herbivora babirusa menyukai makanan berupa dedaunan dari jenis pohon kayu kuning, gondal dan daun meranti yang jatuh. Selain itu babirusa juga menyukai jenis umbi-umbian seperti kilo, tunas globa dan rebung, juga jamur dan buah-buahan seperti mangga. Kadangkala babirusa terlihat suka
119
mengais pohon-pohon tumbang yang telah membusuk, kemungkinan untuk mendapatkan sumber protein hewani berupa ulat atau cacing. Makanan utama babirusa adalah berbagai jenis buah, namun satwa ini juga mengkonsumsi buah, daun, rumput, dan bahan-bahan dari satwa (diantaranya daging, ikan, burung dan serangga) dalam jumlah yang kecil. Wilayah jelajah babirusa menggunakan minimum convex polygon berkisar 0,8-12,8 km2 (Clayton 1996). Secara umum, karakteristik habitat anoa yaitu hutan rapat yang terdiri dari beberapa strata tajuk, kombinasi dari pohon tinggi, perdu, semak belukar, tegakan bambu. Komposisi jenis tumbuhan yang ada merupakan jenis-jenis yang dapat dimakan oleh anoa baik daun, pucuk, terubusan, bungan bahkan buahnya. Pada habitat itu, terdapat sumber air baik berupa air yang mengalir seperti sungai, danau dan rawa atau berupa cerukan-cerukan air. Secara umum anoa dataran rendah ditemukan mulai dari hutan pantai sampai hutan pada ketinggian sekitar 1000 m dpl, dengan kisaran suhu udara harian 22-27 0C, Anoa dataran rendah menyukai hutan di sepanjang aliran sungai yang disebut hutan riparian. Anoa membutuhkan air setiap hari baik untuk minum maupun untuk berendam ketika terik matahari menyengat. Karena itu aktivitas anoa tidak jauh dari sumber sumber air berupa sungai, mata air, rawa dan danau, terlebih dalam musim kemarau dimana persediaan air di dalam hutan terbatas. Meskipun anoa dapat dijumpai pada radial yang agak jauh dari sumber air namun anoa akan selalu mempertimbangkan bahwa wilayah jelajah hariannya tetap ada air. Anoa membutuhkan
air
setiap
hari,
baik
berkubang.Demikian pula hutan bambu
untuk sangat
minum disukai
maupun anoa
untuk
(Mustari,
http://www.scribd.com/doc/22143969/Kharakteristik-Habitat-Anoa) Selain melalui perjumpaan langsung, kehadiran anoa dalam Kawasan CTNNB dapat diketahui dari jejak yang ditinggalkannya baik berupa jejak kaki maupun kotorannya serta tempat anoa berkubang dan berendam (Gambar 5.13.). Pada beberapa batang pohon, sering terdapat lumpur gesekan badan anoa setelah berkubang. Selain itu anoa memiliki kebiasaan mengasah tanduknya dengan cara menggosokkannya pada batang pohon tertentu. Bekas renggutan makan anoa pada tumbuhan bawah juga dapat menjadi petunjuk keberadaannya. Jejak anoa juga dapat berupa tulang belulang yang ditinggalkan oleh anoa yang mati secara alami
120
pun menjadi bukti bahwa ada anoa di kawasan ini. Akan tetapi dari sekian banyak tanda atau jejak yang ditinggalkan satwa ini, jejak kaki dan kotoranlah yang paling mudah dikenali. Kotoran anoa serupa dengan kotoran sapi atau kerbau yaitu berupa compokan, menyatu, berbeda dengan kotoran rusa atau kambing yang berupa butiran. Jejak kaki dan kotoran banyak ditemukan di sekitar sumber air (sungai). Secara teratur anoa mengunjungi tempat berkubang salt-lick untuk untuk mendapatkan garam mineral yang sangat diperlukan dalam proses metabolisme pencernaan makanannya.
Gambar 5.13. Jejak kaki dan kotoran Babirusa dan Anoa Berdasarkan pola tipe habitat dan daerah jelajah satwa endemik babirusa dan anoa, maka habitat salt-lick Adudu merupakan habitat terbaik bagi jenis-jenis satwa dan tumbuhan yang berada dalam Kawasan CTNNB. Pada lokasi ini sangat mudah ditemukan berbagai jenis satwa dan tumbuhan (Tabel 5.3). Selain itu hutan dataran rendah, hutan pegunungan bawah dan sungai juga merupakan habitat terbaik satwa dan tumbuhan. Pada tipe hutan dataran rendah kondisi vegetasinya sangat rapat sehingga sangat ideal bagi berbagai jenis fauna untuk melakukan aktifitas mulai dari makan, bermain dan berisitirahat. Habitat lain yang tak kalah penting adalah sungai yang merupakan sumber makanan dan minuman bagi berbagai macam jenis satwa. Berbagai macam jenis burung seperti raja udang (Ceyfallax) yang merupakan jenis yang sangat dilindungi dapat ditemukan di sekitar sungai Nantu.
121
Berdasarkan analisis sistem informasi geografi maka wilayah yang mempunyai tingkat endemisme tinggi dan status keberadaannya dilindungi diberi buffering selebar 1 Km (masing-masing 500 m dari batas terluar sungai). Wilayah yang diberikan buffering adalah sungai yang terdapat di dalam kawasan CTNNB. Sungai sangat berperan penting bagi kelangsungan berbagai jenis satwa dan flora karena sungai sebagai sumber makanan dan minuman utama. Buffering ini dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan hidup dari satwa liar tersebut. Menurut Gunn (1994), flora fauna yang mempunyai tingkat endemisme tinggi dan statusnya dilindungi undang-undang harus di buffer maksimal seluas 1 mil. Gambaran daerah sensitivitas satwa endemik di CTNNB dapat dilihat pada Gambar 5.14.
Gambar 5.14. Peta sensitivitas satwa endemik di CTNNB
122
123
Analisis Sensitivitas Ekologi Penilaian selanjutnya ditujukan untuk melihat tingkat sensitivitas ekologi yang hasilnya menjadi dasar penentuan potensi zona pengelolaan. Penilaian sensitivitas ekologi didasarkan pada kriteria-kriteria ekologi baik dari unsur fisik maupun biologi, yaitu kelerengan, ketinggian tempat, tipe penutupan lahan, dan sensitivitas satwa dan tumbuhan. Dengan menggunakan kerangka penilaian seperti yang ditunjukan dalam Gambar 3.3 diperoleh tingkat sensitivitas ekologis kawasan CTNNB sebagaimana ditunjukan Tabel 5.11 dan Gambar 5.15. Klasifikasi sensitivitas ekologi terbagi menjadi tiga kelas yaitu sangat sensitif, sensitif, dan tidak sensitif. Kelas sangat sensitif seluas 27.276,18 Ha sangat dipengaruhi oleh faktor daerah jelajah satwa endemik babirusa dan anoa, dalam hal ini merupakan daerah aliran sungai sebagai habitatnya. Daerah sangat sensitif mempunyai kondisi umum merupakan hutan primer, hutan sekunder, dengan
ketinggian
dan
kelerangan
bervariasi.
Daerah
sangat
sensitif
direkomendasikan untuk menjadi zona inti. Kelas sensitif seluas 32.451,09 Ha merupakan wilayah terbesar pada kawasan CTNNB yang menyangga daerah sangat sensitif. Kondisi umum daerah ini adalah hutan primer dan hutan sekunder dengan
kelas
ketinggian
dan
kelerengan
yang
bervariasi.
Kelas
ini
direkomendasikan sebagai zona rimba. Kelas tidak sensitif seluas 3.769,60 Ha tersebar pada daerah ekologi berada pada ketinggian <700 m dpal. Daerah ini kondisi umumnya merupakan ladang, perkebunan masyarakat, pemukiman, dan lokasi pengambilan hasil hutan non kayu (HHNK). Kelas tidak sensitif berpeluang untuk dijadikan zona pemanfaatan atau zona budidaya terbatas. Tabel 5.11. Hasil penilaian potensi zona berdasarkan sensitivitas ekologi Skor
Predikat
Luas (ha)
23 – 30
Sangat sensitif
27.276,18
16 – 22
Sensitif
32.451,09
10 - 15
Tidak sensitif
3.769,87
Kondisi Umum Daerah jelajah babirusa dan anoa; h.primer, h.sekunder; kelerengan landai – sangat terjal; ketinggian bervariasi Buffer dari zona sangat sensitif (buffer daerah jelajah); h. primer; h. sekunder; kelerengan dan ketinggian bervariasi; Ladang, perkebunan rakyat, pemukiman, lokasi pengambilan HHNK oleh masyarakat; kelerengan bervariasi; ketinggian <700 m dpal; berada pada pinggiran kawasan (dekat)
Potensi zona Inti
Rimba
Lainnya
Gambar. 5.15. Peta Sensitivitas Ekologi di CTNNB
124
125
5.3.2. Pertimbangan Penentuan Zona dengan Pedekatan Ekowisata Proses penyusunan zonasi CTN Nantu-Boliyohuto dilakukan dengan pendekatan ekowisata, sehingga selain mengacu pada hasil penilaian sensitivitas ekologis, proses zonasi taman nasional juga dipengaruhi oleh pertimbangan kriteria-kriteria ekowisata yang merupakan faktor penentu hasil akhir zonasi CTNNB. Kriteria-kriteria ini perlu diintegrasikan dalam penentuan zona secara proporsional karena proses zonasi ini bukan saja untuk menetapkan daerah-daerah perlindungan tetapi juga harus mendapat dukungan dari masyarakat dan unsurunsur lain di daerah. Kriteria-kriteria ekowisata menurut Sekartjakrarini (2009) yang digunakan masing-masing dijelaskan sebagai berikut: Kriteria Konservasi Kawasan
CTN
Nantu-boliyohuto
merupakan
kawasan
alam
yang
didedikasikan untuk konservasi spesies Babirusa dan Anoa. Kawasan ini merupakan tempat terakhir bagi habitat Babirusa dan Anoa yang sebelumnya diyakini oleh beberapa peneliti tersebar di hampir seluruh Pulau Sulawesi. Kondisi terakhir populasi Babirusa diperkirakan sekitar 500 individu (Clayton, 1996). Merujuk pada penjelasan-penjelasan diatas, maka salah satu pertimbangan yang sangat penting dalam melakukan pemantapan zonasi kawasan CTNNB adalah menetapkan wilayah-wilayah yang diduga perlu mendapat pembinaan habitat Babirusa dan Anoa sebagai zona perlindungan yang dapat dilakukan perlakuan. Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Permenhut No. 56/MenhutII/2004 tentang Zonasi Taman Nasional, zona perlindungan yang dapat dilakukan perlakuan pembinaan habitat adalah zona rimba. Sementara jika berdasarkan kriteria masing-masing zona yang diatur dalam peraturan tersebut, dengan mengacu pada status konservasi dari spesies Babirusa dan Anoa yang merupakan satwa prioritas dan tergolong langka, endemik serta terancam punah maka terhadap habitatnya dapat ditetapkan sebagai Zona Inti. Pilihan-pilihan penentuan zona pada habitat babirusa dan Anoa ini memiliki konsekuensi yang berbeda. Pertama, jika habitat Babirusa dan Anoa ditetapkan sebagai Zona Rimba agar dapat dilakukan perlakuan pembinaan habitat maka perlu ditegaskan bahwa tujuan perlakuan semata-mata hanya untuk melakukan pembinaan habitat meningkatkan populasi. Metoda yang dipergunakan dalam
126
pembinaan habitat harus betul-betul matang dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah yang disertai dengan kemungkinan adanya dampak ikutan (positif dan negatif) yang dapat terjadi dari misalnya pengaruhnya terhadap kesatuan ekosistem dan kelangsungan hidup spesies-spesies lain. Aspek lain yang perlu dijelaskan berkaitan dengan kecenderungan Zona Rimba yang relatif berbatasan dengan zona-zana lain yang frekuensi interaksinya dengan manusia cukup tinggi, baik penduduk sekitar kawasan maupun pengunjung dari luar, sehingga selain intensifikasi
pembinaan
habitat,
diperlukan
juga
intensifikasi
kegiatan
pengendalian terhadap frekuensi interaksi manusia terhadap zona rimba melalui kegiatan pengamanan. Kedua, Habitat babirusa dan Anoa ditetapkan sebagai Zona Inti mengingat status konservasi spesies babirusa dan Anoa sebagai satwa langka dan terancam punah serta merupakan prioritas dalam pengelolaan sebagaimana ditetapkan dalam alasan penunjukan kawasan sebagai taman nasional maupun sebagai kawasan warisan dunia. Kemudian, dengan merujuk pada kondisi populasi babirusa dan Anoa maka diusulkan untuk dapat dilakukan perlakuan pembinaan habitat di Zona Inti dalam rangka menyediakan habitat yang lebih mendukung terhadap peningkatan populasi babirusa dan anoa. Sementara ketidakselarasan usulan ini dengan ketentuan dalam peraturan dapat diposisikan sebagai kejadian luar biasa (extraordinary case) yang belum terakomodasi dalam peraturan tersebut. Kedua pilihan tersebut memiliki satu kebutuhan yang sama, yaitu perlu dibuat kajian mendalam yang dilakukan oleh tim yang berkompeten dengan mandat yang jelas untuk menghasilkan rekomendasi yang utuh mengenai tindakan pelestarian terhadap Babirusa dan Anoa tersebut yang paling baik. Kriteria Edukasi dan Rekreasi Ekowisata memberikan nilai tambah kepada masyarakat dan pengunjung dalam bentuk pengetahuan dan pengalaman. Nilai tambah ini mempengaruhi perubahan perilaku dari pengunjung, masyarakat dan pengembang pariwisata agar sadar dan lebih menghargai alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. Keanekaragaman
lingkungan
(alam,
sosial,
budaya)
dapat
menampung
pengembangan minat (sense of interst) wisatawan. Segala sesuatu yang ada di alam dapat langsung diamati (sense of reality), diselidiki (sense of inquiry), dan ditemukan (sense of discovery). Oleh karena itu, pendidikan sifatnya inheren
127
(melekat) dalam ekowisata. Lebih lanjut Sander (2010) menyatakan bahwa salah satu unsur utama orang melakukan ekowisata adalah pengalaman untuk menyatu dengan alam dan masyarakat lokal, serta menikmati rutinitas mereka. Pengunjung akhirnya akan memperoleh kesadaran dan pengetahuan tentang lingkungan alam (natural environment), bersama dengan aspek-aspek budayanya, yang akan mengubah paradigma mereka menjadi seseorang yang menghargai lingkungan dan budaya masyarakat setempat. Dengan adanya interaksi antara pengunjung dan objek, kegiatan ekowisata telah berhasil menyampaikan pesan-pesan pendidikan sehingga mereka mengalami perubahan sikap dan pandangannya terhadap lingkungan ke arah positif. Pengunjung ekowisata menyadari akan filosofi perjalanannya, bahwa obyek bukanlah tujuan utama perjalanannya, melainkan apa yang bisa ditemukan untuk dipelajari dan dipahami untuk kemudian dihargainya. Kawasan CTNNB menyimpan segudang ilmu untuk ditemukan dan dipahami oleh pengunjung ekowisata. Kekayaan keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya merupakan ilmu yang tidak akan habis-habisnya untuk dipelajari. Habitat dan perilaku satwa dan keanekaragaman tumbuhannya. Di masyarakat, pengunjung bisa mengetahui bagaimana cara para wanita membuat kerajinan kain “kerawang”, cara membuat minyak goreng kampung yang berasal dari santan kelapa yang dimasak, cara membuat gula merah, cara membuat kue khas gorontalo, pengalaman ikut para lelaki membajak sawah, pemahaman alasan dan filosofi mereka saat memulai pembibitan yang memiliki waktu-waktu tertentu, interaksi di pasar tradisional, dan lain sebagainya kehidupan masyarakat. Demikian juga dengan adat dan tradisi masyarakat beserta maknanya. Dari yang umum dilaksanakan, seperti khitanan anak laki-laki, mandi lemon buat anak perempuan, pernikahan, hingga tata cara orang meninggal, sampai tradisi yang hanya di lakukan pada waktu-waktu tertentu. Tradisi tersebut antara lain tradisi “Walima” untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, tradisi “tumbilotohe” yaitu malam pasang lampu pada tanggal 27 Ramadhan selama 3 hari menyambut Hari Raya Idul Fitri. Semua hal tersebut merupakan sumber ilmu yang mungkin tidak akan didapatkan secara formal di bangku pendidikan. Pada konsep ekowisata, semua informasi dan pengetahuan tersebut akan sampai kepada pengunjung melalui seorang interpreter. Seorang interpreter adalah
128
seorang yang menyampaikan interpretasi dari obyek-obyek yang dikunjungi kepada pengunjung ekowisata. “Interpretasi dalam produk pariwisata adalah suatu kemasan produk dengan muatan penafsiran nilai-nilai substantif sumber-sumber (alam dan/atau budaya), untuk memenuhi harapan pengunjung mendapatkan pengetahuan dan pembelajaran tentang lingkungan setempat (Sekartjakrarini, 2004). Tujuan interpretasi: sebagai produk untuk memenuhi kebutuhan pengunjung akan pengetahuan, pembelajaran dan pengalaman baru, dan sebagai proses
untuk
menumbuhkan
pengertian,
pemahaman
dan
penghargaan
pengunjung terhadap nilai-nilai substantif sumber-sumber suatu kawasan tujuan wisata dan pada gilirannya ikut melindungi dan melestarikan kawasan tersebut. Seorang interpreter pada kawasan CTNNB haruslah seorang yang sangat mengetahui dan memahami keberadaan obyek-obyek wisata yang ada di kawasan tersebut, dan tidak ada yang lebih memahami hal tersebut selain masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan. Tingkat pendidikan yang dimiliki seorang interpreter turut mempengaruhi kualitasnya. Pemberdayaan masyarakat yang belum memiliki pekerjaan tetap namun mempunyai pendidikan setingkat SLTA atau PT merupakan potensi untuk menjadi seorang interpreter yang baik. Pelatihan dan pendidikan tentunya sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas dan skill mereka Kriteria Partisipasi dan Interaksi Masyarakat Dalam proses penentuan zonasi taman nasional, faktor keberadaan masyarakat sekitar kawasan merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan. Interaksi masyarakat di kawasan CTN Nantu-Boliyohuto terkait dengan kondisi fisik seperti penggunaan lahan untuk pertanian, penebangan liar, perburuan, penambangan tanpa izin, dan kegiatan pemungutan hasil hutan non kayu, dan pemukiman. Sedangkan pada pengelolaannya, keterlibatan/partisipasi masyarakat sudah harus dimulai sejak awal tahapan perencanaan, penyusunan, pengelolaan, hingga pada tahapan monitoring. Berdasarkan interpretasi tutupan lahan tahun 2006, penggunaan lahan pada kawasan CTNNB terdiri areal hutan dan ladang. Tegakan hutan meliputi hampir keseluruhan kawasan, dan hanya beberapa titik areal ladang pada bagian selatan kawasan. Sementara itu berdasarkan hasil survey lapangan, ditemukan areal
129
pemukiman Suku Polahi, yaitu suku terasing masyarakat Gorontalo pada bagian SM Nantu dan HL Boliyohuto. Setiap perkampungan hanya terdiri dari dua kepala keluarga dengan beberapa anggota keluarganya. Mereka hidup dari bercocok tanam alakadarnya dan berburu babi hutan, rusa, serta ular sanca. Pada perbatasan wilayah SM Nantu dan HL Boliyohuto (Gunung Abapi) ditemukan pertambangan rakyat (PETI). Pada kawasan bagian HPT Boliyohuto, Desa Bondulalayahu dan bagian SM Nantu Desa Pangahu ditemukan ladang/tegalan masyarakat. Melalui pemetaan partisipatif dengan masyarakat sekitar saat kegiatan Focus Group Discussion (FGD), dihasilkan titik-titik lokasi yang menjadi areal pengambilan hasil hutan non kayu (HHNK), seperti rotan, daun woka, tanaman obat, kayu bakar, bahan bangunan, dan bahan makanan. Gambar 5.16. menunjukkan peta penggunaan lahan oleh masyarakat. Beberapa bentuk penerapan pertimbangan kondisi fisik dan sosial di kawasan taman nasional dapat dilakukan dalam beberapa tipologi: 1) pada kawasan yang mengalami degradasi tetapi dalam keadaan tidak memiliki tekanan sosial, maka daerah ini merupakan potensial zona rehabilitasi; 2) pada kawasan yang mengalami degradasi tetapi dalam keadaan tingkat kepentingan sosial yang sangat tinggi dengan kesejarahan yang tidak kuat, maka kawasan ini merupakan potensial zona rehabilitasi; dan 3) pada kawasan yang mengalami degradasi tetapi dalam keadaan tingkat kepentingan sosial yang sangat tinggi dengan kesejarahan yang kuat, maka kawasan ini merupakan potensial zona khusus.
Gambar 5.16. Peta penggunaan lahan di CTNNB
130
131
Kriteria Ekonomi Salah
satu
tujuan
dibentuknya
kawasan
pelestarian
alam
adalah
pemanfaatan secara lestari, dan pariwisata dan rekreasi merupakan salah satu tujuan dari pengelolaan taman nasional. Kegiatan pariwisata pada kawasan diharapkan dapat berdampak pada aspek ekonomi masyarakat secara positif. Oleh karena itu, taman nasional perlu mengembangkan kegiatan pariwisata berdasarkan potensi daya tarik yang dimilikinya. Alokasi ruang untuk wisata alam adalah pada zona pemanfaatan dan secara terbatas dapat dilakukan di zona rimba dengan memperhatikan konsep daya dukung dan daya tampung, serta pada zona penyangga (luar kawasan CTNNB). Unsur utama yang dapat menarik pengunjung adalah keadaan alam atau pemandangan alam yang masih asli sebagai bentukan alam tanpa campur tangan manusia.
Aspek
tersebut
sangat
dominan
di
CTN
Nantu-Boliyohuto.
Pemandangan alam tersebut selain dapat dinikmati dari kejauhan, juga bisa dikunjungi. Aspek pemandangan alam di CTNNB berupa gunung-gunung, lembah, sungai dan tebing dapat dinikmati hampir disetiap sudut kawasan. Bagi wisatawan maka hal-hal tersebut merupakan aspek utama yang dipertimbangkan dalam memutuskan suatu kunjungan wisata. Daya tarik yang dimiliki oleh CTNNB sangat beraneka ragam dan dapat dikelompokkan sebagai atraksi alam (non hayati) dan atraksi hayati (flora fauna). Di CTNNB dapat dijumpai atraksi alam non hayati yang menjadi sumber daya tarik utama. Atraksi tersebut berupa kubangan air panas bergaram yang menjadi tempat berkumpulnya satwa liar khas Sulawesi seperti babirusa, anoa, monyet hitam endemik gorontalo, tupai dan puluhan jenis burung baik yang merupakan burung endemik maupun burung dilindungi. Berdasarkan hasil penelitian Clayton (1996) sumber air mineral tersebut banyak mengandung mineral terutama Sulfur-Sulphate (SO4S), Besi (Fe), Natrium (Na), Mangan (Mn), Kalsium (Ca). Kandungan mineral tersebut dapat membantu metabolisme dan menetralisir zat-zat beracun yang masuk ke dalam tubuh. Kubangan air panas bergaram ini berbentuk persegi panjang, sedikit lonjong, agak terbuka, namun dikelilingi oleh beberapa jenis tumbuhan khas hutan primer. Kubangan air panas ini dulunya ada tiga yaitu Nooti (400 m2), Lantolo (20
132
m2) dan Adudu (1200 m2), namun karena tingginya tingkat pencurian kayu dan pembukaan hutan di era awal tahun 90-an menyebabkan kubangan air panas tersebut tinggal satu saja yaitu Adudu dengan luas 1200 m2. Akses menuju kubangan air panas ini sangat mudah karena hanya membutuhkan waktu 10 menit dari pos jaga Adudu dengan berjalan kaki. Di kubangan air panas tersebut tersedia fasilitas gubuk pengintaian untuk keperluan pengamatan dan penelitian mengenai perilaku satwa liar. Berdasarkan data hasil penelitian, setiap hari mulai dari terbitnya matahari sampai dengan terbenamnya matahari terdapat 30 ekor babirusa melakukan berbagai aktivitas seperti minum, bermain dan berkubang di tempat ini. Menurut penelitian Clayton (1996) babirusa merupakan satwa yang paling sering mengunjungi tempat ini disamping monyet hitam gorontalo, anoa dan babi hutan. Selanjutnya Clayton (1996) menjelaskan bahwa setiap jam terdapat 15 – 56 ekor babirusa yang berkunjung ke kubangan ini. Atraksi ini sesungguhnya bisa dijadikan sebagai salah satu obyek wisata. Di samping kubangan air panas di kawasan CTNNB bisa juga ditemui daya tarik air terjun. Berdasarkan hasil komunikasi dengan petugas jaga Adudu, kawasan CTNNB sedikitnya mempunyai 7 buah air terjun. Tetapi karena sulitnya medan maka untuk melihat air terjun di 7 lokasi belum bisa dimungkinkan. Jumlah air terjun yang bisa ditemui hanya terdapat di 4 lokasi. Lokasi pertama adalah air terjun adudu. Tempat ini terdapat di sebelah utara pos jaga dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 20 menit. Air terjun adudu mempunyai ketinggian kurang lebih 10 meter. Lokasi kedua adalah air terjun Pangahu. Tempat ini terdapat di perbatasan antara SM Nantu dengan Dusun Diyanga. Perjalanan menuju lokasi ini memerlukan waktu selama 30 menit berjalan kaki dari Desa Pangahu. Air terjun di lokasi ini mempunyai ketinggian 5 – 10 meter. Selain itu juga ditemukanair terjun Limu, dan air terjun Ulelita. Penyebaran ODTWA dalam Kawasan CTNNB ditunjukkan pada Tabel 5.12. Sedangkan lokasi penyebaran ODTW dapat dilihat pada Gambar 5.17.
133
Tabel 5.12. Penyebaran ODTWA pada kawasan CTNNB Atraksi/Jenis kegiatan
X X X
X X X X X X X X X X
X X
Wisata Pedesaan
X X X X
Wisata budaya
X X X X X X X X X
Pengamatan flora & fauna
Berenang
X X
X X X X X X X X X X
Pemandian
X X X X X
X X X X X X X X X X
Pemandangan
X X
Bersampan terbatas
X X X X X
X X X X X X X X X X
Bird Watching
X X
Camping
X X X X X X X X X X
Photo Hunting
Salt-lick Air terjun Adudu Air terjun Pangahu Sungai Nantu Sungai Paguyaman Desa Pangahu Desa Mohiyolo Air Terjun Hutadelita Air terjun Limu Air terjun Ulelita
Hiking
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Wisata Alam
Nama obyek
X X
Lokasi (Dalam kawasan dan/atau Luar kawasan)
Dalam Dalam Dalam Dalam &Luar Dalam & Luar Luar Luar Dalam Dalam Dalam
Menurut Gunn (1994) flora dan fauna yang berada di daerah penutupan hutan memiliki peluang untuk dikembangkan sebagai atraksi wisata, baik untuk wisata maupun untuk wisata pendidikan. Keanekaragaman hayati tersebut menurut akan sangat berbeda maknanya bagi pengunjung, tergantung pada latar belakang pendidikan dan pengetahuannya. Pengembangan atraksi wisata berdasarkan sumberdaya flora dan fauna harus memperhatikan pengalaman apa yang diharapkan pengunjung dan apa yang diperoleh. Rencana kegiatan wisata yang berhubungan dengan flora fauna perlu memperhatikan pengadaan sarana dan pra sarana untuk mengakomodasi pengunjung agar tidak terjadi gangguan pada flora fauna tersebut.
Gambar 5.17. Peta sebaran daya tarik wisata di CTNNB
134
135
Kriteria Kendali Untuk Meminimalkan Dampak Pertimbangan efektivitas pengelolaan kawasan pada proses zonasi memiliki fokus pada rekayasa ruang yang ditujukan untuk memperlancar kegiatan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. Rekayasa dilakukan terhadap batasbatas daerah sangat sensitif yang potensial menjadi zona inti yang berbatasan dengan daerah tidak sensitif atau daerah potensial zona pemanfaatan dan zona lainnya. Bentuk rekayasanya adalah dengan membuat buffer selebar 200 meter dari batas zona inti yang kemudian dialoksikan sebagai zona rimba sehingga tidak ada tekanan langsung terhadap daerah-daerah yang sangat sensitif tersebut. Pertimbangan ini tetap mengacu kepada hasil penilaian sensitivitas ekologis. Beberapa bentuk penerapan dari pertimbangan ini adalah sebagai berikut : 1.
Bentuk dan lokasi zona inti diupayakan tidak sporadis tetapi merupakan satu kesatuan atau dapat terpisah dengan dihubungkan oleh suatu koridor.
2.
Terdapat buffer berupa zona rimba diseluruh batas zona inti sehingga tidak ada zona inti yang berbatasan langsung dengan zona lainnya atau lokasilokasi yang rentan terhadap gangguan.
5.3.3. Pembagian Zona Pengelolaan CTN Nantu-Boliyohuto Berdasarkan
hasil
overlay peta
sensitivitas
ekologi
dengan
peta
pertimbangan potensi daya tarik wisata, peta penggunaan lahan oleh masyarakat, pertimbangan kelestarian satwa endemik babirusa dan anoa, serta pertimbangan efektivitas manajemen, maka diusulkan pembagian zona kawasan CTNNB sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 5.13. dan Gambar 5.18. Zona Inti Zona Inti yaitu bagian dari kawasan taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan, keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas. Zona inti yang ditetapkan pada kawasan CTN Nantu-Boliyohuto mempunyai luasan 48.380,3 Ha (76,99%). Berdasarkan ciri fisik dari zona inti di wilayah SM Nantu maka fungsi utama dari zona tersebut adalah untuk perlindungan habitat satwa babirusa dan anoa. Fungsi peruntukkan zona inti adalah untuk pelestarian dan pengawetan fauna dan flora,
136
sumber plasma nutfah dan perlindungan dan pengawetan tata air. Zona inti merupakan wilayah yang mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa liar beserta ekosistemnya yang langka yang keberadaanya terancam punah, seperti babirusa, anoa, monyet hitam sulawesi, tarsius, serta tumbuhan endemik seperti: Caryota mitis, Cycas rumphii, Livistonia rotundifolia, Macaranga crassistipulosa, Elmerillia ovalis,, Terminalia celebica, Diospyros hebecarpa, Pterospermum celebicum, Manilkara celebica, Cratoxylum celebicum, Dillenia serrata dan Dillenia sp. Zona ini juga mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya yang merupakan ciri khas ekosistem dalam kawasan taman nasional yang kondisi fisiknya masih asli dan belum diganggu oleh manusia. Zona ini umunya dicirikan dengan kondisi fisik kelerengan > 30%, ketinggian tempat > 500 mdpal, tutupan lahan berupa hutan primer dan hutan sekunder, dan merupakan daerah jelajah satwa endemik babirusa dan anoa. Di dalam zona ini tidak boleh dilakukan kegiatan kegiatan pengelolaan atau kegiatan penunjang, kecuali kegiatan penelitian dengan ijin khusus. Sedangkan jenis kegiatan yang diperbolehkan yaitu: 1.
Perlindungan dan pengamanan;
2.
Inventarisasi dan monitoring SDA hayati dan ekosistemnya;
3.
Penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan/atau penunjang budidaya;
4.
Dapat dibangun sarana dan prasarana tidak permanen dan terbatas untuk kegiatan penelitian dan pengelolaan
Zona Rimba Zona Rimba yang ditetapkan pada kawasan CTN Nantu-Boliyohuto mempunyai luasan 10.806,1 Ha (17,2%). Tujuan penetapan zona ini untuk pemanfaatan secara terbatas atas potensi jasa lingkungan berupa kegiatan wisata alam, dan kegiatan penelitian, pelatihan, demplot tanaman obat, tanaman keras dan tanaman budidaya. Pada zona ini dilakukan pula pembinaan habitat babirusa dan anoa untuk meningkatkan populasinya. Jenis kegiatan yang diperbolehkan yaitu: 1.
Inventarisasi ekosistemnya.
dan
monitoring
sumberdaya
alam,
hayati
dengan
137
2.
Pengembangan penelitian, pendidikan, wisata alam terbatas, pemanfaatan jasa lingkungan dan kegiatan penunjang budidaya.
3.
Pembinaan habitat dan populasi.
4.
Pembangunan sarana dan prasarana sepanjang untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan wisata alam terbatas.
Zona Pemanfaatan Zona Pemanfaatan yang ditetapkan pada kawasan CTN Nantu-Boliyohuto mempunyai luasan seluas 2.447,8 Ha (3,9%), yang terbagi pada 3 lokasi, yaitu: 1) Desa Pangahu, sebagai lokasi dengan prioritas pertama karena berada pada pintu gerbang kawasan CTN Nantu-Boliyohuto, dan dekat dengan lokasi daya tarik wisata salt-lick, air terjun, dan wisata sungai; 2) Desa Bondulalayu, sebagai lokasi dengan priorotas kedua karena berada pada kawasan eks Hutan Produksi Terbatas, dimana aksesibilitas berupa jalan perintis telah terbuka; dan 3) Desa Monano, sebagai lokasi dengan prioritas ketiga, berada pada kawasan Hutan Lindung, dimana akses ke lokasi ini masih sulit. Fungsi peruntukkan zona pemanfaatan ini adalah: 1.
Pengembangan pariwisata alam dan pusat rekreasi;
2.
Penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan konservasi;
3.
Menunjang kepentingan budidaya. Jenis kegiatan yang diperbolehkan yaitu:
1.
Perlindungan dan pengamanan;
2.
Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dengan ekosistemnya;
3.
Penelitian dan pengembangan pendidikan, dan penunjang budidaya;
4.
Pengembangan, potensi dan daya tarik wisata alam;
5.
Pembinaan habitat dan populasi;
6.
Pengusahaan pariwisata alam dan pemanfaatan kondisi/jasa lingkungan;
7.
Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian, pendidikan, wisata alam dan pemanfaatan kondisi/jasa lingkungan. Tujuan penetapan zona ini untuk pemanfaatan sumber daya alam dan
ekosistem CTN Nantu-Boliyohuto dalam bentuk jasa lingkungan (pariwisata
138
alam, pendidikan konservasi alam/lingkungan). Penetapan zona ini didasarkan pada kriteria kebutuhan pengusahaan pariwisata alam, yaitu: 1.
Kelerengan ≤30%
2.
Ketinggian ≤500 mdpal
3.
Tutupan lahan merupakan daerah terbuka dan/atau semak & belukar
4.
Bukan merupakan daerah jelejah satwa yang dilindungi/endemik
5.
Bukan
merupakan
daerah
pemanfaatan
tradisional
masyarakat
(perkebunan/pertanian/pemukiman) Jenis usaha pariwisata alam menurut Permenhut No. P.48/Menhut-II/2010 dan Perdirjen PHKA No. P.3/IV-SET/2011 yang diperbolehkan adalah: 1.
Penyediaan jasa wisata alam, meliputi: 1) informasi pariwisata, berupa usaha penyediaan data, berita, feature, foto, video, dan hasil penelitian mengenai kepariwisataan yang disebarkan dalam bentuk bahan cetak dan/atau elektronik;
2) pramuwisata, berupa usaha penyediaan tenaga
pemandu/interpreter untuk memenuhi kebutuhan wisatawan dan biro perjalanan wisata; 3) transportasi, berupa penyediaan kuda, porter, perahu bermesin, kenderaan darat bermesin maksimal 3000cc khusus untuk lokasi dengan kelerengan sampai 30%;
4) perjalanan wisata, berupa usaha
penyediaan jasa perencanaan perjalanan wisata atau penyelenggaraan pariwisata, termasuk jasa pelayanan yang menggunakan sarana yang dibangun atas dasar kerjasama antara pengelola dan pihak ketiga; cinderamata
dan
makanan/minuman,
berupa
usaha
5)
penyediaan
cinderamata/souvenir dan makanan/minuman untuk keperluan wisatawan yang didukung dengan perlengkapan berupa kios atau kedai usaha. 2.
Penyediaan sarana wisata alam, meliputi: 1) wisata tirta, berupa pemandian alam, tempat pertemuan, darmaga tambat, gudang penyimpanan alat kegiatan wisata tirta; 2) akomodasi, berupa ruang yang relatif datar dan dihubungkan dengan jalan wisata alam, dibangun semi permanen dengan memperhatikan arsitektur budaya setempat yang meliputi: penginapan (dengan fasilitas ruang pertemuan, restoran, fasilitas bermain anak, spa, dan gudang), pondok wisata, pondok apung, rumah pohon, bumi perkemahan, tempat singgah karavan, fasilitas kantor dan pelayanan umum (pelayanan
139
informasi, telekomunikasi, administrasi, angkutan, penukaran uang, cucian, ibadah, kesehatan, keamanan, menara pandang, pemadam kebakaran, kebersihan, dan mess karyawan); 3) transportasi, berupa bangunan stasiun yang ramah lingkungan untuk kenderaan darat, dan bangunan darmaga untuk kenderaan air; dan 4) wisata petualangan, berupa outbond, jembatan antar tajuk pohon (canopy trail), kabel luncur (flying fox), paralayang, balon udara, dan petualangan hutan (jungle track). 3.
Penyediaan fasilitas penunjang sarana kepariwisataan, yaitu: 1) jalan wisata, dengan lebar badan maksimal 5m ditambah bahu jalan 1m kiri dan kanan, dengan sistem pengerasan menggunakan batu dan lapisan permukaan aspal; 2) papan petunjuk: papan nama, papan informasi, papan petunjuk arah, papan peringatan, papan rambu lalu lintas, dan papan bina cinta alam; 3) jembatan, dermaga, dan landasan helikopter (helipad) dibangun dengan berpedoman pada ketentuan teknis yang menyangkut keselamatan dan keamanan; 4) areal parkir dibangun dengan ketentuan: tidak menebang/ merusak pohon, di areal terluar lokasi izin usaha pariwisata alam, pengerasan areal harus dengan konstruksi tidak mengganggu peyerapan air dalam tanah; 5) jaringan listrik, jaringan air bersih, jaringan telepon, dan jaringan
internet
diupayakan
dibangun
dalam
tanah;
6)
jaringan
drainase/saluran dibangun cara terbuka dan menggunakan pengerasan atau tertutup; dan 7) toilet, sistem pembuangan dan pengolahan limbah. Zona Tradisional Zona tradisional yang ditetapkan pada kawasan CTN Nantu-Boliyohuto mempunyai luasan 1.206,3 Ha (1,92%), yaitu bagian kawasan berupa lahan pertanian dan perkebunan yang digarap oleh masyarakat yang telah ada sebelum penetapan
kawasan
sebagai
taman
nasional.
Selain
itu
lokasi
pemanfaatan/pengambilan hasil hutan bukan kayu juga ditetapkan sebagai zona tradisional. Tujuan penetapan zona ini untuk mempertahankan hubungan tradisional secara turun temurun dengan adanya ketergantungan masyarakat terhdap potensi sumberdaya alam seperti padi, palawija, tanaman buah-buahan, lebah madu, bamboo, tanaman obat-obatan, kayu bakar dan daun untuk atap rumah. Fungsi peruntukkan zona ini untuk pemanfatan sumber daya alam secara
140
terbatas dan terkendali dengan cara-cara tradisional dan memperhatikan asas pelestarian. Tabel 5.13. Zona Pengelolaan CTN Nantu-Boliyohuto Zona
Inti
Rimba
Pemanfaatan
Tradisional
Diskripsi Bagian dari taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota atau fisiknya masih asli dan atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi,berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas Bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan Bagian dari kawasan taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya. Bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejahteraan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam
Luas(Ha)
Persentasi (%)
48.380,3
76,99
10.806,1
17,2
2.447,8
3,9
1.206,3
1,92
Gambar 5.18. Peta Zonasi Akhir Pengelolaan CTNNB
141
142
143
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. KESIMPULAN Beberapa kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Kondisi ekologi dan sosial budaya masyarakat: a. Berdasarkan inventarisasi yang dilakukan pada tiga lokasi yang mewakili kawasan CTNNB, yaitu pada kawasan SM Nantu, HL Boliyohuto, dan HPT Boliyohuto tercatat 204 jenis tumbuhan, diantaranya terinventarisasi 17 jenis tumbuhan yang dilindungi, yaitu Caryota mitis, Cycas rumphii, Livistonia rotundifolia, Macaranga crassistipulosa, Elmerillia ovalis,, Terminalia celebica, Diospyros hebecarpa, Pterospermum celebicum, Manilkara celebica, Kjellbergiodendron celebicum, Shorea sp, Licualla flabelum, Cratoxylum celebicum, Dillenia serrata, Grammatophyllum speciosum, Diospyros celebica dan Dillenia sp. b. Potensi satwa yang ditemukan memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi. Pengamatan yang dilakukan di salt-lick terinventarisasi sekitar 32 jenis satwa. Dalam lokasi tersebut terdapat jenis-jenis endemik Sulawesi dan dilindungi, antara lain Babirusa (Babyrousa babyrussa), Anoa (Bubalus depressicornis), Tarsius (Tarsiusspectrum), Kuskus Sulawesi (Strigocuscus celebensis) dan Monyet Hitam Sulawesi (Macaca heckii). Selain itu ditemukan 49 jenis burung dimana 24 jenis diantaranya merupakan endemik Sulawesi. c. Kondisi fisik kawasan ini memiliki keunikan dan keindahan. Kubangan lumpur bergaram (salt-lick) merupakan suatu keunikan habitat dari berbagai macam satwa dan tumbuhan. Selain itu dijumpai keindahan panorama alam, air terjun, harmonisasi perkampungan, ladang, bukit, pegunungan, dan sungai. d. Kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan CTN NantuBoliyohuto umumnya masih rendah, baik dari segi pendidikan, keterampilan, penyediaan sarana kesehatan, dan cakupan pekerjaan.
2.
Sebagai daerah yang dijadikan tujuan ekowisata, kawasan ini memiliki potensi daya tarik wisata yang tinggi, dengan aksesibilitas yang cukup
144
lancar, dan didukung oleh kondisi sosial masyarakat yang menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama dalam kegiatan ekowisata, serta dukungan masyarakat terhadap penyelenggaraan kegiatan ekowisata. Akan tetapi semuanya itu belum didukung fasilitas wisata yang memadai. 3.
Proses penyusunan zonasi CTNNB didasarkan pada hasil analisis sensitivitas ekologi dan pertimbangan pendekatan ekowisata. Sensitivitas ekologi dipengaruhi oleh faktor-faktor biofisik, yaitu: tutupan lahan, ketinggian tempat, kelerengan, dan sensitivitas satwa; sedangkan pendekatan ekowisata menggunakan kriteria
konservasi,
ekonomi, edukasi
dan
rekreasi,
partisipasi, dan kendali. Hasil overlay dari sensivitas ekologi dan pertimbangan-pertimbangan tersebut menghasilkan Zona Pengelolaan CTN Nantu Boliyohuto, yang terdiri dari zona inti seluas 48.380,3 Ha (76,99%), zona rimba seluas 10.806,1 Ha (17,2%), zona pemanfaatan seluas 2.447,8 Ha (3,9%), dan zona tradisional seluas 1.206,3 Ha (1,92%). 6.2. SARAN 1.
Kondisi ekologi kawasan CTN Nantu-Boliyohuto yang masih baik harus dijaga kelestariannya dari ancaman kegiatan manusia yang bersifat merusak. Pemerintah Provinsi Gorontalo bekerja sama dengan Dinas Kehutanan (Kementerian Kehutanan Republik Indonesia) segera merealisasikan SK Penetapan kawasan CTNNB menjadi kawasan Taman Nasional NantuBoliyohuto dan segera menyusun Rencana Pengelolaan Taman Nasional Nantu-Boliyohuto.
2.
Sebagai kawasan yang berpotensi menjadi tujuan wisata, dipandang perlu untuk meningkatkan kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat sekitar kawasan. Program wajib belajar 9 tahun untuk anak usia sekolah harus lebih disosialisasikan dengan menambah pembangunan sarana belajar (sekolah negeri atau sekolah swasta), serta memasukkan muatan kurikulum yang bisa meningkatkan keterampilan yang mendukung penyelenggaraan usaha pariwisata di kawasan CTN Nantu-Boliyohuto.
3.
Unsur-unsur utama dan penunjang suatu destinasi penyelenggaraan pariwisata perlu dikembangkan, yaitu: keadaan obyek dan daya tarik wisata, kemudahan
aksesibilitas,
ketersediaan
fasilitas
wisata
(penyediaan
145
informasi, pemandu/interpreter, cinderamata/makanan/minuman, homestay), kondisi masyarakat dan lingkungan, dan potensi pasar dengan membuat promosi (leaflet/poster, internet), serta bekerja sama dengan biro perjalanan untuk membuat paket-paket perjalanan wisata ke kawasan CTN NantuBoliyohuto. 4.
Perlu penelitian lanjutan tentang pengembangan daya dukung di kawasan penyangga
CTN
Nantu-Boliyohuto
penyelenggaraan pariwisata.
sebagai
bagian
dari
kegiatan
147
DAFTAR PUSTAKA Alikodra, H.S. 2001. Konservasi Keaneragaman Hayati dalam Pembangunan Nasional Berkelanjutan (Makalah). MENKLH, Jakarta. _____________. 2002. Pengelolaan Satwa Liar. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan !PB, Bogor. American Corporation. 1980. The Encyclopedia Americana. International Edition Vol. 7. International Headquaters. Danbury. Aoyoma, G. 2000. Studi Awal Pengembangan Eco-Tourism di Kawasan Konservasi di Indonesia. Laporan Kerjasama JICA dengan Direktorat Jendral PKA Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan RAKATA, Jakarta. Aronoffs. 1991. Geographic Information System: A Management Perspective. Ottawa: WDL Publication. Avenzora, R. 2003. Ecotourism- evaluasi tentang konsep. Makalah dalam Pertemuan Ekowisata Hotel Salak, Bogor. BAPPENAS. 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020 (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan). Jakarta. Bengen, D.G. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Sinopsis. PKSPL IPB. Bogor.Biro Pusat Statistik. 2004. Kabupaten Gorontalo dalam Angka. Biro Pusat Statistik. Gorontalo. BKSDA. 2002. Rencana Pengelolaan Suaka Margasatwa Nantu Kabupaten Gorontalo, Propinsi Gorontalo. Manado: Balai Konservasi Sumberdaya Alam Sulawesi Utara Boo, E. 1992. The Ecotourism Boom . WHN Technical papaer. 2 , Washington DC, WWF Bohnsack, J. A. 1996. Marine reserves, zoning and the future of fishery management. Fisheries 21 (9),14–16. Boo, E. 1992. The Ecotourism Boom. WHN Technical paper. 2. World Wild Fauna (WWF). Washington DC.
Bos, J. 1993. Zoning in Forest Management : a Quadratic Assignment Problem Solved by Simulated Annealing. Journal of Environmentl Management 37 : 127-145.
148
Boteva, D., G. Griffiths, P. Dimopoulos. 2004. Evaluation and mapping of the conservation significance of habitats using GIS: an example from Crete, Greece. Journal for Nature Conservation 12, 237-250. Brazile Nature , 1998. Definition of Ecotourism. Brazile Nature http://www.brazilenature.com/ingles/ecotourismo.html, (12-9-2003) Buletin Konservasi Alam. 2002. Deklarasi Quebec Tentang Eco-tourism. Buletin Konservasi Alam Vol. 4/2002. Bogor. Butler, R.W. 1990. Alternative tourism: Pious hope or Trojan horse?”. Journal of Travel Research, Vol. 28 (3) , 40-45. Cater, E. 1996. Ecotoursm : a sustaineble option. John Wiley & Sons. New York. Ceballos-Lascuarin, H. 1996. Tourism, Ecotourism and Protected Areas. IUCNWorld Chamberlain, R. 1993. A Village Tourism . Alternative Type of Cultural Tourism dalam Ave. J (ed) Universal Tourism Eniching of Degrading Cultures. Penerbit Gajah Mada Press. Yogyakarta. Clayton, L. M. 1996. Conservation Biology of The Babirusa (Babyrousa babyrussa) in Sulawesi Indonesia. [Disertasi]. United Kingdom. Wolfson College University of Oxford. Crossman, N. D., B. Ostendorf, B. A. Bryan, A. Nefiodovas, A. Wright. 2005. OSS: A spatial decision support system for optimal zoning of marine protected areas. In: Zerger, A., Argent, R.M. (Eds.) MODSIM 2005 International Congress on Modelling and Simulation. Modelling and Simulation Society of Australia and New Zealand, pp. 1525-1531. Day, J. C. 2002. Zoning—lessons from the Great Barrier Reef Marine Park. Ocean and Coastal Management 45,139–156. Departemen Kehutanan. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta ___________________. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jakarta ___________________. 2001. Rencana Pengembangan Pariwisata Alam Nasional di Kawasan Hutan. Jakarta
149
______________________. 2004. Laporan Akhir Analisa Standar Minimal Pengeloaan Kawasan Konservasi. Jakarta ______________________. 2004. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.19/Menhut-II/2004 Tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Jakarta ______________________. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No P.56/Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Jakarta. ______________________. 2010. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No P.48/Menhut-II/2010 Tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam. Jakarta ______________________. 2010. Pemantapan Zonasi Taman Nasional ujung Kulon. Balai Taman Nasional Ujung Kulon. Pandeglang ______________________. 2011. Peraturan Pemerintah RI No. 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Jakarta ______________________. 2011. Pearturan Direktur Jenderal PHKA No. P.3/IVSET/2011 Tentang Pedoman Penyusunan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Nasional. Jakarta Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2007. Pedoman Penilaian Daya Tarik Wisata. Jakarta ______________________. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan. Jakarta ______________________. 2011. Peraturan Pemerintah RI No. 50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional. Jakarta Departemen Pekerjaan Umum. 2007. Undang-undang RI No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Jakarta. Ditjen PHKA dan JICA. 2000. Studi Awal; Pengembangan Eco-tourism di Kawasan Konservasi di Indonesia, JICA, RAKATA dan Direktorat Jendral PKA. Jakarta. Douglas, R. W. 1982. Forest Recreation. Oxford: Pergamon Press.
150
Dunggio, I. 2005. Zonasi Pengembangan Wisata di SM Nantu Propinsi Gorontalo. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press. Bogor. Ervin, J. 2003. WWF: Rapid Assessment and Prioritization of Protected Areas Management (RAPPAM) Methodology. Gland: WWF Fandeli, C., Mukhlison (editor). 2000. Pengusahaan Ekowisata. Kerjasama Fakultas Kehutanan UGM – Unit Konservasi SDA Daerah Istimewa Yogyakarta. Fandeli, C., M. Nurdin. 2005. Pengembangan Ekowisata Berbasis Konservasi di Taman Nasional. Kerjasama Fakultas Kehutanan UGM – Pusat Studi Pariwisata UGM – Kantor Kementrian Lingkungan Hidup. Yogyakarta. Fennel, D. 2001. A Content Analysis of Ecotourism Definitions. Website : http://www.commerce.otago.ac.nz/tourism/current-issues/homepage.htm Fleishman, E. , D. D. Murphy, P. F. Brussard. 2000. A new method for selection of umbrella species for conservation planning. Ecological Application 10:569-579 Geneletti, D. 2001. Spatial Multiobjective Decision Analysis for Land Allocation in a Natural Park. Proceedings of the International Workshop on Geo-spatial Knowledge Processing for Natural Resource Management, June 28-29, University of Insubria, Varese (Italy), pp. 249-253. ___________________. 2004. A GIS-based decision support system to identify nature conservation priorities in an alpine valley. Land Use Policy 21, 149-160. Hafild, E. 1995. Dimensi Konservasi, Pendidikan dan Kerakyatan dalam Ekoturisme. Majalah Suaka edisi Juli-September 1995 No.4. Jakarta. Geneletti, D., I. Van Duren. 2008. Protected area zoning for conservation and use: A combination of spatial multicriteria and multiobjective evaluation. Landscape and Urban Planning 85 97-110 Goodwin, H. 1996. In Pursuit of Ecotourism. Biodiversity and Conservation 5:277– 291. Gunn, C. A. 1994. Tourism Planning : Basics, Concepts and Cases. Taylor and Francis. Washington. Hafild, E. 1995. Dimensi Konservasi, Pendidikan dan Kerakyatan dalam Ekoturisme. Vol 4: 6-9. Jakarta: Majalah Suaka.
151
Hannon, S. J., C. MacCallum. Using the Focal Species Approach for Conserving Biodiversity in Landscape Management. Sustainable Forest Management Network Synthesis Paper. University Alberta. (http://www.FOSonline.org) Hardjosoemantri, K. 1993. Hukum perlindungan Lingkungan, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Hasley, W. D. (Ed). 1979. Merit Students Encyclopedia. MacMillan Educational Corporation New York, P.F Collier, Inc. London and New York. Henning, D. H., A. Pakpahan. 1991. Pendidikan Lingkungan dan Taman Nasional. Media Konservasi Vol.III. Hal. 1-9. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Hidayati, D., Mujiyani, L., Rakhmawaty, A., Zaelani. 2003. Ekowisata : Pembelajaran dari Kalimantan Timur. Kerjasama Pustaka Sinar Harapan – Pusat Penelitian Kependudukan LIP. Jakarta. Hiola, St. F. 2004. Prospek Pengembangan Wisata Alam pada Kawasan SM Nantu Provinsi Gorontalo. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hjortso, C. N., S. Straede, F. Helles. 2006. Applying multi criteria decision making to protected areas and buffer zone management. Journal of Forest Economics 12 (2) 91-108. Justiano, M. 2008. Learning trough travel ; A guide to teaching ecotourism about wild life Conservation .web-site. http://www.brazilenature.com/ingles/guido.html, [12 September 2008]. Keisler, J. M., R. C. Sundell. 1997. Combining Multi-Attribute Utility and Geographic Information for Boundary Decisions: An Application to Park Planning”. Journal of Geographic Information and Decision Analysis 1(2), 101-118. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 2003. Standar Kompetensi Sumber Daya Manusia Ekowisata. Jakarta. ______________________. 2010. Review Rencana Strategis Kebudayaan dan Pariwisata Tahun 2010-2014. Jakarta
Kementerian
Kerjasama Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan UNDP. 2002. Agenda 21 Sektoral: Agenda Pariwisata untuk Pengembangan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan. Kerjasama Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan UNDP. Jakarta.
152
Kinnaird, M. F. 1997. Sulawesi Utara Sebuah Panduan Sejarah Alam. Jakarta: Yayasan Pengembangan Wallacea – GEF Biodiversity Project. Kodhyat, SH. 1998. Sejarah Lahirnya Ekowisata di Indonesia: Beda Antara Konsep Ekowisata dan Pariwisata, Yayasan KEHATI . Seminyak Bali Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. IPB Press. Bogor. Kwartina, R.T., A.S. Mukhtar. 2006. Kajian Kriteria dan Indikator Zonasi Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam III(5):585-606. Pusat Penelitian dan Pengembangan Alam. Bogor. Lambeck, R. J. 1999. Landscape Planning for Biodiversity Conservation in Agricultural Regions. Biodiversity Technical paper No. 2. CSIRO. http://www.deh.gov.au/biodiversity/publication/technical/landscape.html. ___________________. 1997. Focal species: a multi-species umbrella for nature conservation. Conservation Biology 11: 849-856. Lee. R. J., J. Riley, R. Merril. 2001. Keanekaragaman Hayati & Konservasi di Sulawesi Bagian Utara. Jakarta: Wildlife Conservation Society dan Natural Resources Management. Liu, X., J. Li. 2008. Scientific solutions for the functional zoning of natural reserves in China. Ecological Modeling 215 : 237-246 Mac Kinnon, J. K., G.C. Mac Kinnon, J. Thorsell. 1993. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Masyarakat Ekowisata Indonesia. 2003. Ekowisata. http://www.ekowisata.com/ind/ Merk, M. 1999. Defining Ecotourism . see http://www.untamedpath.com/ Marduastuti, A., T. Soehartono. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. Jakarta: Japan International Cooperation Agency Marpaung, H. 2002. Pengetahuan Kepariwisataan. Penerbit Alfabeta. Bandung. Mukhtar, A.S. 2002. Usulan Penelitian (UKO) Model Pengelolaan Taman Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Tidak diterbitkan. Mustari, A. H., L. Clayton. 2003. Hutan Nantu, Penyelamat Gorontalo. Harian Gorontalo.
153
Nikijuluw, V. P. H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R) bekerjasama dengan P.T Pustaka Cidesindo. Jakarta. Pendit, N. S. 2002. Ilmu Pariwisata : Sebuah Pengantar Perdana. Penerbit : PT Pradnya Paramita. Jakarta. Philips, A. 1998. Guidelines foe Management Planning of Protect Areas. WCPA IUCN-Cardiff University. Cardiff. Portman, M. E. 2007. Zoning design for cross-border marine protected areas: The Red Sea Marine Peace Park case study. Ocean & Coastal Management 50, 499– 522. Prihantoro, T. 2005. Penandatanganan Pengelolaan Bersama TNGM Tinggalkan Peran Publik. http://www.suaramerdeka.com Primarck, R. B., J. Supriatna, M. Indrawan, P. Kramadibrata. 1997. Biologi Konservasi. Yayasan Obor. Jakarta Redaksi Ensiklopedia Indonesia. 1983. Ensiklopedia Indonesia (Buku 4 KOMOZO). Buku Ichtiar Baru – Van Hoeve. Jakarta. Ridgley, M. A., G. W. Heil. 1998. Multicriterion planning of protected-area buffer zones: an application to Mexico’s Izta-Popo national park. In: Beinat, E. Neijkamp, P. (Eds.) Multicriteria evaluation in land-use management: methodologies and case studies. Kluwer Academic Publishers, pp. 293-309. Roberge, J., P. Angelstam. 2004. Usefulness of the Umbrella Species Concept as a Conservation Tool. Conservation Biology 18 (1), 76-85 Ross, G. F. 1998. Psikologi Pariwisata. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Rowe, N. 1996. The Pictorial Guide to the Living Primates. New York: Pogonian Press Rustiadi, E., S. Saefulhakim, D. R. Panuju. 2003. Perencanaan Pengambangan Wilayah (Konsep Dasar dan Teori). Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sabatini, M. C., A. Verdiell, R. Iglesias, M. Vidal. 2007. A quantitative method for zoning of protected areas and its spatial ecological implications. Journal of Environmental Management 83 (2), 198-206. Sander, B. 2010. The Importence of Education in Ecotourism Ventures. American University
154
Sekartjakrarini, S., N. K. Legoh. 2004. Rencana Strategis Ekowisata Nasional. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Jakarta Sekartjakrarini, S. 2004. Ekowisata; Konsep Pengembangan dan Penyelenggaraan Pariwisata Ramah Lingkungan. Dalam Seri Ekowisata. IdeA. Jakarta.
_______________. 2009. Kriteria dan Indikator Ekowisata Indonesia. Penerbit IdeA – Innovative development for eco Awareness. Bogor Shelly, R., G. Wall. 2001. Evaluating Ecotourism; the Case North Sulawesi. Annual Tourism Research 23 [1]: 122-132. Soekmadi, R. 2003. Pergeseran Paradigma Pengelolaan Kawasan Konservasi : Sebuah Wacana Baru Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi. Media Konservasi Vol. VIII No. 3. 2003. Hal. 87-93. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Solihin, D., P. Marhayudi. 2002. Panduan Lengkap Otonomi Daerah. Penerbit ISMEE. Jakarta. Sriyono, S. Sekartjakrarini, A. Priatna. 2000. Prosedur dan Proses Perijinan Pengusahaan Hutan Untuk Pariwisata Alam. Buku Materi Kursus Pengusahaan Ekowisata Dalam Kawasab Hutan Angkatan II. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Sudarto, G. 1999. Ekowisata : Wahana Pelestarian Alam, Pengembangan Ekonomi Berkelanjutan, dan Pemberdayaan Masyarakat. Kerjasama Yayasan Kalpataru Bahagia – Yayasan KEHATI. Jakarta Supriatna, J. 1995. Ekowisata dan Prospeknya di Indonesia: Sudut Pandang dari Biologi Konservasi. Pusat Studi Biodiversitas dan Konservasi Universitas Indonesia dan Conservation International Indonesia Program. Jakarta. Suwantoro, G. 2002. Dasar-Dasar Pariwisata. Penerbit Andi. Yogyakarta. Suyitno. 2001. Perencanaan Wisata. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Two Way Track. Biodiversity Conservation and Ecotourism: an investigation of lingkage , mutual benefits, and future opportunities. Villa, F., L. Tunesi, T. Agardy. 2002. Zoning marine protected areas through spatial multiple-criteria analysis: the case of the Asinara island national marine reserve of Italy. Conservation Biology 16 (2), 515-526. Weaver, David B. 2005. Comprehensive and Minimalist Dimensions of Ecotourism. Annual of Tourism Reseacrh 32 [2] : 439-455.
155
Weaver, D. 2005 Comprehensive and Minimalist Dimensions of Ecotourism. Annals of Tourism Research 32:439–455. Whiten, A. J., M. Mustafa, G. S. Henderson. 1987. Ekologi Sulawesi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Widada. 2008. Mendukung Pengelolaan Taman Nasional yang Efekti melalui Pengembangan Masyarakat Sadar Konservasi yang Sejahtera.. Direjen Perlindungan hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Japan International Cooperation Agency., Jakarta.
Williams. 1999. Conservation of Whitewater in Kenya, Kenya Wiratno, D., Indriyo, A. Syarifudin, A. Kartikasari. 2004. Berkaca di Cermin Retak : Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelola Taman Nasional. The Gibbon Foundation Indonesia, PILI-NGO Movement, Departemen Kehutanan, Forrest Press. Jakarta. Wollenberg, E., B. Belcher, D. Sheil, S. Dewi, M. Moeliono. 2004. Mengapa Kawasan Hutan Penting Bagi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. Penerbit CIFOR. Bogor Wright, K. 1993. Tapping into Market Potential for Ecotourism. Annual Tourism Research ELSEVIER SCIENCE 45 (2) : 56-67 Wunder, S. 2000. Ecotourism and Economic Incentives - an Empirical Approach. Ecological Economics 32 [2000] : 465-479 Yoeti, AOK. 1997. Pemasaran Pariwisata. Penerbit Angkasa. Bandung Yusran. 2001. Ekoturisme di Indonesia : Prospek, Tantangan, dan Strategi Pengembangannya. E-mail :
[email protected] Zafar, S. M., M. A. Baiq, M. Irfan. 2011. Aplication of GIS/RS for Management Zoning of Margallah Hills National Park, Islamabad. IPCBE 6 [2011] : V2-7-9 Ziffer. 1989. Ecotourism : the Uneasy Alliance , Conservation International, Ernst and Young (http://www.gorontaloprov.go.id/berita-gorontalo/13-serba-serbi/566-gusnarkomitmen-lanjutkan-pembangunan.html) (http://expressyourworld.blogspot.com/2011/05/pengembangan-pariwisatasebagai.html)
Lampiran 1. Kuisioner Karakteristik dan Interaksi Masyarakat KUESIONER PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KAWASAN CTN NANTU-BOLIYOHUTO Lokasi : Dusun ............................. Desa ................................ Kecamatan ............................... A.
B.
Data Pribadi Masyarakat 1. N a m a : 2. Jenis Kelamin : 3. U m u r : 4. Agama : 5. Pendidikan : a. SD 6. Pekerjaan : a. PNS/Guru
c. SMA d. PT (Strata) .............. c. Pedagang d. Lain-lain .................
Sikap dan Interaksi Masyarakat Terhadap Kawasan 1.
2. 3.
4.
5.
6. 7.
C.
b. SMP b. Petani
Menurut saudara, apa tujuan orang masuk ke kawasan CTN Nantu-Boliyohuto (SM Nantu, HL Boliyohuto, dan HPT Boliyohuto) ? (boleh pilih lebih dari satu) - Penelitian - Jalan-jalan di hutan/tracking - Mendaki gunung/berkemah - Berburu .............. - Berladang/berkebun - Mengambil hasil hutan ............... - Lain-lain ......................... Apakah saudara mengetahui bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan konservasi? - Ya - Tidak Apakah di tempat saudara sudah dilakukan sosialisasi dan penyuluhan mengenai kawasan konservasi ? - Sudah dilakukan - Belum dilakukan - Tidak tahu Sebagai masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi, apakah saudara dilibatkan dalam kegiatan upaya perlindungan kawasan ? - Ya, yaitu ............................. - Tidak pernah Sebagai masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan, apakah saudara sering masuk ke dalam kawasan untuk mengambil hasil hutan ? - Tidak pernah - Kadang-kadang - Seringkali Apakah saudara memiliki/menggarap lahan dalam kawasan ? - Ya - Ya, berapa waktu lalu - Tidak Apakah sering terjadi konflik baik antara masyarakat dengan pihak pengelola kawasan maupun konflik antar masyarakat? - Tidak pernah - Kadang-kadang - Pernah ...........................
Persepsi Masyarakat Terhadap Kawasan 8. Menurut saudara, bolehkah orang berburu di dalam kawasan konservasi ? - Tidak - Boleh, tapi terbatas - Ya 9. Menurut Saudara, bolehkah orang mengambil hasil hutan (kayu, rotan, dan tumbuhan lainnya) di dalam kawasan konservasi ? - Tidak - Boleh, tapi terbatas - Ya 10. Menurut saudara, bolehkah orang melakukan kegiatan tambang hasil bumi di dalam kawasan konservasi ? - Tidak - Boleh, tapi terbatas - Ya 11. Menurut saudara, sebagai masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan dan sangat bergantung pada hasil hutan, bolehkan saudara melakukan kegiatan-kegiatan mengambil hasil hutan (satwa, tumbuhan, tambang) di dalam kawasan ? - Tidak - Boleh, tapi terbatas - Ya 12. Apa yang saudara ketahui tentang kawasan konservasi ? - Kawasan yang harus dilindungi, dilestarikan, dan dimanfaatkan secara lestari - Tidak tahu - Kawasan yang menghalangi masyarakat masuk kedalam kawasan dan mengambil hasil hutan
158 13.
14.
15.
D
Di dalam kawasan CTN Nantu-Boliyohuto terdapat keunikan bentang alam, jenis-jenis flora dan satwa langka dan endemik. Bagaimanakah menurut saudara tentang kawasan ini? - Harus dilindungi dan dilestarikan - Dibiarkan saja - Bebas dimanfaatkan dan dieksploitasi Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Menurut saudara, apakah kawasan CTN NantuBoliyohuto tersebut harus dijadikan kawasan Taman Nasional ? - Ya - Terserah Pemerintah - Tidak Selama ini pada kawasan konservasi sering terjadi kegiatan-kegiatan perambahan hutan, illegal logging, perburuan satwa liar, peladangan berpindah, penambangan. Bagaimanakah hal ini menurut saudara ? - Dapat merusak kawasan dan ekosistemnya - Dapat merusak kawasan dan ekosistemnya, tetapi hanya sedikit saja - Tidak merusak kawasan
Persepsi Masyarakat Terhadap Kegiatan Ekowisata 16.
17.
18.
19.
20.
21.
Ada beberapa bentuk pemanfaatan pada taman nasional. Menurut saudara, yang manakah bentuk pemanfaatan yang secara langsung dapat memberikan konstribusi ekonomi kepada masyarakat setempat? - Pariwisata dan rekreasi - Penunjang budidaya - Penelitian, ilmu pengetahuan, dan pendidikan Ekowisata adalah suatu konsep yang diyakini mampu mempaduserasikan semua kepentingan dalam suatu hubungan timbal balik yang saling tergantung dan saling mempengaruhi dalam pengelolaan kawasan taman nasional yang berkelanjutan yang memperhatikan aspek ekologi, sosial budaya, dan ekonomi. Bagaimanakah hal ini menurut saudara ? - Paham dan mendukung pelaksanaannya - Belum memahami konsep tersebut - Biasa-biasa saja Menurut saudara, dapatkah kegiatan ekowisata turut menjaga kelestarian dan keseimbangan ekosistem CTN Nantu-Boliyohuto ? - Dapat melestarikan ekosistem - Dapat melestarikan, tetapi dapat juga merusak ekosistem - Dapat merusak ekosistem Selain dapat melestarikan ekosistem kawasan, kegiatan ekowisata juga sangat menghargai adat istiadat masyarakat setempat dengan mengembangkan budaya lokal. Bagaimana menurut saudara ? - Bisa berfungsi sebagai wahana melestarikan budaya - Biasa-biasa saja - Bisa saja menyimpang dari budaya semula Jika ada pengunjung yang datang ke kawasan bermaksud memperoleh pengetahuan tentang kawasan dan masyarakatnya. Bagaimanakah hal ini menurut saudara ? - Dapat meningkatkan pengetahuan dan penghargaan kami terhadap budaya dan lingkungannya - Biasa-biasa saja - Dapat mengganggu aktivitas kami sehari-hari Menurut saudara, apakah manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan ekowisata di kawasan CTN Nantu-Boliyohuto? - Mengembangkan potensi wisata kawasan sekaligus menjaga kelestariannya - Mengembangkan potensi pariwisata - Dapat merusak ekosistem kawasan
159
Lampiran 2. Tabel Kriteria Penilaian Daya Tarik Wisata Alam (Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2007) Daya Tarik Wisata Kawasan Hutan (DT = Bobot 6) No
1
2
3
4
5
6
7
8
SUB UNSUR YANG DINILAI Keindahan Alam : 1. pandangan lepas dalam obyek/variasi pandangan dalam obyek 2. Pandangan lepas menuju obyek 3. Keserasian & komposisi daya tarik dalam obyek 4. Suasana yang dihadirkan dalam obyek wisata 5. Pandangan/kondisi lingkungan obyek wisata Keunikan SDA : 1. Sumber air panas 2. Gua 3. Air terjun 4. Flora fauna 5. Adat istiadat Banyaknya potensi SDA yang menonjol : 1. Geologi 2. Flora 3. Fauna 4. Air 5. Gejala alam Keutuhan SDA : 1. Geologi 2. Flora 3. Fauna 4. Lingkungan (ekosistem) Kepekaan SDA : 1. Batuan 2. Flora 3. Fauna 4. Erosi 5. Ekosistem Pilihan kegiatan/aktivitas wisata (jumlah aktivitsa): 1. Trekking 2. Mendaki 3. Rafting 4. Camping 5. Pendidikan 6. Religius 7. Hiking 8. Canoeing 9. Memancing Kebersihan udara & lokasi,tidak ada pengaruh dari: 1. Alam 2. Industri 3. Jalan ramai motor/mobil 4. Pemukiman penduduk 5. Sampah 6. Binatang 7. Corat-coret (vandalisme) Ruang gerak wisatawan (luas intensif) dalam hektar JUMLAH
NILAI Ada 5
Ada 4
Ada 3
Ada 2
Ada 1
30
25
20
15
10
Ada 5
Ada 4
Ada 3
Ada 2
Ada 1
30
25
20
15
10
Ada 5
Ada 4
Ada 3
Ada 2
Ada 1
25
20
15
10
5
Ada 4
Ada 3
Ada 2
Ada 1
Tidak Ada
30
25
20
15
10
Ada 4
Ada 3
Ada 2
Ada 1
Tidak Ada
25
20
15
10
5
Lebih 7
Ada 5-6
Ada 3-4
Ada 1-2
Ada 1
25
20
15
10
5
Tidak Ada
Ada 1-2
Ada 3-4
Ada 5-6
Ada 7
25
20
15
10
2
41-50
31-40
<30
-
15
10
5
-
>50 20
195
160
. Fasilitas Wisata (FW = Bobot 5) No
1
2
3
4
SUB UNSUR YANG DINILAI Fasilitas wisata : 1. Akomodasi 2. Rumah makan / restoran / kafe 3. Biro perjalanan wisata / travel agent 4. Pusat informasi wisata 5. Fasilitas belanja / toserba / pusat perbelanjaan 6. Fasilitas hiburan 7. Toko cinderamata / souvenir Fasilitas pendukung: 1. Kantor pos 2. Bank / money changer / ATM 3. Rumah sakit / balai kesehatan 4. Kantor polisi / pos polisi 5. Warung internet Fasilitas khusus: 1. Untuk anak-anak 2. Untuk lansia 3. Untuk orang cacat Prasarana pariwisata : 1. Jalan raya 2. Jaringan telepon 3. Jaringan listrik 4. Ketersediaan air bersih 5. Jaringan drainase 6. Sistem pembuangan limbah
NILAI >5
Ada 4
Ada 3
Ada 2
Ada 1
50
40
30
20
10
Ada 5
Ada 4
Ada 3
Ada 2
Ada 1
50
40
30
20
5
Ada 3
Ada 2
Ada 1
40
30
20
Tidak ada 10
>5
Ada 4
Ada 3
Ada 2
Ada 1
50
40
30
20
10
JUMLAH NILAI
80
3. Aksesibilitas (AB = Bobot 5) No
SUB UNSUR YANG DINILAI
1
Kondisi Jalan Darat, Laut, Sungai, Danau, dari Pusat, Penyebaran Wisata Kondisi & jarak jalan darat < 75 76 – 150 Km 151 – 225 Km > 225 Km Kondisi & jarak jalan Sungai < 75 76 – 150 Km 151 – 225 Km > 225 Km
2
Akses dari pintu gerbang terminal / bandara / pelabuhan / stasiun
3
4
Frekuensi kenderaan umum dari pusat penyebaran (buah/hari) Jumlah tempat duduk transportasi umum menuju penyeberangan wisata terdekat / minggu, atau setiap 200 seat = 1 JUMLAH NILAI
NILAI
Baik 80 60 40 20 Baik 80 60 40 20
Cukup Sedang 60 40 40 25 20 15 10 5 Cukup Sedang 60 40 40 25 20 15 10 5 Waktu Tempuh (dalam jam)
Buruk 20 15 5 1 Buruk 20 15 5 1
< 1 jam
2-4 jam
4-6 jam
>6 jam
50
40
30
20
Mudah/ >25 kali
Cukup/ 17-24
Sedang/ 916
Sulit/ <8
30
25
20
10
40016000 25
20014000 20
>6000 30
195
<2000 10
161
4. Masyarakat dan Lingkungan (ML = Bobot 5) No
1
2
3
4
5
6
7
8
SUB UNSUR YANG DINILAI
NILAI
Tata guna tanah / Perencanaan
Rencana mendukung
Tata guna tanah mendukung
Status kepemilikan tanah
20 50% tanah negara
15 50% tanah desa
Belum ada tata guna tanah / tata lingkngan tidak sesuai 10 50% tanah adat
20
15
10
5
71-100
101-150
151-200
>200
20
15
10
5
Mendukung
Netral
Menentang
-
30
20
5
-
30%
21-30%
9-20%
9%
20
15 50% pedagang kecil, industri kecil
10
5 50% petani/ pemilik/ pegawai negeri
Tata guna tanah tidak sesuai 5 50% tanah pribadi
Kepadatan penduduk
Sikap masyarakat terhadap pariwisata
Tingkat pengangguran
Mata pencaharian penduduk
Tingkat pendidikan masyarakat
Media yang masuk
9
Dampak sumber daya biologi
10
Sumber daya alam fisik
JUMLAH NILAI
50% buruh tani & pengrajin
50% buruh jasa
20
15
10
5
50% lulus SLTA
50% lulus SLTP
50% lulus SD
50% tidak sekolah
20
15
10
5
Radio
Tidak ada
-
TV, radio, media cetak, internet 10
7
5
-
Kritis
Sedang
Subur
Sangat subur
15 Tidak ada bahan bangunan 15
10 Ada sumber bahan bangunan 10
7
5 Ada bahan bangunan & mineral 5
Ada mineral berharga 7 159
162
5. Potensi Pasar (PPr = Bobot 4) SUB UNSUR YANG DINILAI
NILAI
Jumlah penduduk radius 75KM dari daya tarik X 1000 Kepadatan penduduk/KM2 <100 101-200 201-300 301-400 401-500 501-600 >600 Pintu gerbang internasional / regional
>3000
25003000
20002500
15002000
10001500
5001000
<500
90 100 110 120 130 140 160
72 84 96 102 114 120 132
48 56 64 68 76 80 88
36 42 48 51 57 60 66
24 28 32 34 38 40 44
12 14 16 17 19 20 22
Langsun g
Terhubun g langsung
60 70 80 86 95 100 110 Tidak terhubun g langsung
15
10
5
20
15
10
25
20
15
30
25
20
Adi Sumarno Surakarta Tabing Padang Hasanuddin Makassar Selaparang NTB Sam Ratulangi Manado Entikong Kalimantan Barat Polonia Medan Juanda Surabaya Ngurah Rai Bali Soekarno Hata Jakarta Batam
Langsung : apabila daya tarik wisata yang dinilai berada dalam satu provinsi / lokasi Terhubung: apabila daya tarik yang dinilai dapat secara langsung terhubung dengan moda transportasi <4 jam Tidak Terhubung Langsung: apabila daya tarik yang dinilai tidak terhubung langsung, perlu > 1 hari untuk melanjutkan perjalanan
KRITERIA
BOBOT
NILAI
Daya tarik wisata Fasilitas wisata Aksesibilitas Masyarakat & Lingkungan Potensi Pasar
6 5 5 5 4
195 80 195 159 100
Nilai X Bobot 1170 400 975 795 400
NBT
NBR
HASIL
1230 950 1350 950 760
282 175 210 250 68
Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Sedang
K = NBT – NBR ; Rendah : Nilai terendah sampai (Nilai terendah + K) 3 Sedang : (Nilai terendah + K) + 1 sampai Nilai terendah + 2K Tinggi : (Nilai terendah + 2K) + 1 sampai Nilai tertinggi Kriteria : DT : K = 316; FW : K = 258; AB : K = 380; ML : K = 233; PP : K = 231;
Rendah : 282 – 598; Rendah : 175 – 433; Rendah : 210 – 590; Rendah : 250 – 483; Rendah : 68 – 299;
Sedang : 599 – 914; Sedang : 434 – 691; Sedang : 591 – 970; Sedang : 484 – 716; Sedang : 300 – 530;
Tinggi : 915 - 1230 Tinggi : 692 - 950 Tinggi : 971 - 1350 Tinggi : 717 – 950 Tinggi : 531 – 760
163
Lampiran 3. Jenis-jenis tumbuhan yang tercatat di Kawasan CTN Nantu-Boliyohuto No
Nama Lokal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
Anggur Hutan Ayungalaa Beringin Biabo Bilihua Biluango Binggele Bintalahe Bintangur Bita Bitaula Bitaula Lalahu Bitunggale Biyabo Boluo Boyuhu Bua Bualo Bubualo Buhu Buluhungo Bulahengo Bulahu/talihutan Bulangita Bulohu Bunga Bungale Binggele Butonga Butongale Cemara Gunung Cempaka Damar Dengilo Diabo Dihito Dudepo Duhito Duhu-Duhua Duito Dulamayo Dulipohe Dungopoli Enau Gaharu Gaharu Buaya
Nama Ilmiah
SM INP (%)
Castonopsis acuminatussima A.P.C Ficus nervosa Heyne
+
Ortomeles sumtrana Riq
+
Kleinhovia hospita Calophyllum sp Calophyllum saulatri Callophyillum inophyllum Callophyillum sp. Chisocheton divergens Bl.
+ + + +
HL INP (%) + + + + + + +
HPT INP (%)
Status CTES
StP
E
-
-
-
-
-
-
+
-
-
+ +
+
-
-
+ +
+ -
-
-
+ -
+ +
+ + + + +
-
-
+ + + +
+ + + + +
+ + +
+ Pterosfermum celebicum Miq
+
Aglaia elaengnaidae
+
Garuga floribunda Decne Macaranga crassistipulosa Macaranga sp.
+ +
Tetrameles nudiflora
+ + +
+ + +
Duabanga moluccana
+
Aglaila unifoliata Kds
+
+ + + + + + + + + + + +
Terminalis sp.
+
+
Pometia pinnata Forst Casuarina junghuhniana Elmerrillia ovalis Dandy Agathis Dillenia serrata Thumb
+ +
+ + +
+ + +
+ + +
+ + + + + + +
164
No
Nama Lokal 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58
Heade/kayu hitam Huabanga Huhito/kayubugis Hulupahu Humua Hulu Hutia Hutonga I'ito Inengo Jambu Jati
59
Jati Hutan
60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93
Kana Kayu Besi Kayu bugis Kayu bunga Kayu Cina Kayu Inggris Kayu Jambu Kayu Kelinci Kayu Lawang Kayu Merah Kenanga Kolokoa Kuma Purupu Labanu Laluta Lamumu Lamuta Langsat Langsat hutan Landolo Landolohuta Laoto Lebongo Leda Lomuli Longiti Loto'o Loyo Lumulo Lungulo Luobuhulia/kudara Luponu Mahoni
Nama Ilmiah Diospyros celebica
SM INP (%) +
HL INP (%) + +
Koordersiodenron pinnatum Merr
HPT INP (%)
Status CTES
StP
E
-
-
-
-
-
-
+ +
-
-
+ +
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+ -
+ -
+ + + +
+
+ +
Phoebe sp. Eugenia sp. Tectona grandis Palaquium obovatum EngL Varoriantale H.J.L Mitroxideros vera Roxb Koordesiodendron pinnatum Madhuca phillippinensis Merr Podorcarpus nerifolius D. Don Kjellbergiodendron celebicum
Cananga odorata
+
+ + + + + + +
+ + + +
+ + + +
+
+ + + + + + +
+ + +
Neonauclea speciosa Polyathia sp. Madhuca betis Maniltoa sp. Aglaia unifoliata Aglaia sp. Eugenia sp. Eugenia sp.
+ + + + + + +
+ + +
+ +
+
+
+ +
+
+ + Eucalyptus deglupta
+
Legerstroemia speciosa Heritiana littoralis Dryand Dracontomelon mangiferum Bl.
+ + +
+
Heritiera litxolaris Dryand
Swietenia mahagoni
+ + + + + + +
+
+
165
No
Nama Lokal 94 95 96 97
98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139
Nama Ilmiah
Makata Molomelu Mantulangi Mata Putih Matoa Hutan /butongale Mebongo Meme Meranti Malahengo Moleitihu Molipohe Molipota Molokopi Molondaluhu Molondulingo Molombiata Molomiama Molonggaile Molonggota Molopolapoi Molotembe Molotingo Molowahu Momali Mombingo Monggaile Moobi Mumu Nahe Namu-namu Nantu Nibong Olobua Olohua Oloitoma Owoti Paalangi Pagoba Pakis Haji
Terminalia celebica
Palapi Palem Palem kipas Pandan Hutan Pangi Patuhu Pilohibuta
Kalappia celebica Kostern
Mallotus floribundus
Shorea sp. Eugenia sp. Planchonella Oxyedra Dub
SM INP (%) +
+
+ +
Albizzia lebbeck Benth
Radermachera sp. Taxotrophis macrophilla
+ +
HPT INP (%) + +
Status CTES
StP
E
+
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+ +
-
+ -
+
+
+
+ +
+
+
+
+ + + + + + + +
+ +
+ + +
+
+ + + +
Spondias pinnata Kurz Homalium foetidum Sindora kaledupa Frain
HL INP (%)
+ + +
Xylopia sp.
+
+ + +
Planchonia valida Palaquium obovatum EngL
Diospyros hebecarpa
Grewia sp. Cycas sp.
Licualla flabelum Pandanus sp. Pangium edule Reinw Cycas rumphii Eugenia sp.
+ +
+
+ + + + + + +
+ + + + + + +
+ +
166
No 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184
Nama Lokal Pinang Pinang Merah Polapu Polobua Poluo Pongoli Pongopahu Poobo Poobuhu Rao Rambutan Rotan Sarai Seho = aren Sempur Sengon Sirih Hutan Sosoro = tahiputih Tagalolo Tahi Talanggilala Talipouta Tappalu Tapulotola Tayapu Tilihua Timbuolo Tindibotu Tindilo Tinggalahe Toa = matoa Tohetutu Tohupo Tolitohia Tolotio Tolotohia Tolutu Tombito Tomboti Tombulilato Tongale Tulawoto Tuluponu Topalu Uhiti
Nama Ilmiah
SM INP (%)
Arenga pinata Arenga sp.
Ailantus Diospyros malabarica Eugenia sp.
+ +
Dracontomelon dao
+
Caryota mitis Arenga sp. Dillenia sp. Albizia falcataria Aristolochia s.p Planchonela nitida Palaqium obtusifolium Alstonia scholaris N. Br Terminalia belerica Bishcoffia javanica Bl
HL INP (%) + + + + + +
HPT INP (%)
+ + + + + + + + +
Manilkara celebica Eugenia polyantha
+ +
+ +
+
+
+
+ +
+
+
Rauwolfia amsoniifolia
+
+
+
+ +
Artocarpus elasticus Reinw
+
Drypetes globosa Pax at Hoffm
+
Vitex quinata F N Vill Ficus minahasae Miq
StP
E
-
+ + -
+ -
+ -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+ +
Trema orientalis
Eucalyptus deglupta Bl.
CTES
+ +
+
Pterocymbium tinstorium Merr
Status
+ + + + + + + + + + + + +
+ + + + +
+ +
167
No 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 197 198 199 200 202 203 204
Nama Lokal Uhito Ulipohe Ulopulohu Umbalango Upo Utonga Walango Walongo Wambu Pale Woka Wolato Wondami Wondipo Wonggolo Wowoti Wubudu Wulu = cempaka Wumbalango
Nama Ilmiah
SM INP (%)
Elmerillia celebica Dandy
HL INP (%) + + + + + +
HPT INP (%) +
+ + + + +
+ + + + +
+ +
+ + +
Elmerrillia ovalis Dandy Baringstonia acutangolata Caenth JUMLAH
73
155
CTES
StP
E
-
+ -
+ -
+ + + +
+ +
Elmerillia ovalis Glonchidion Livistonia rotundifolia Vitex cofassus Reinw Diospyros pilasanthera Blanco
Status
77
168
Lampiran 4. Hasil Analisis Potensi Keanekaragaman Jenis Burung Pagi Hari – Sore Hari (Jam 06.00-17.30) di Sekitar Pos Jaga Adudu Suaka Margasatwa Nantu, Prop. Gorontalo Nama Indonesia Gagak Hitam Hutan
Nama Ilmiah Corvus enca
Jumlah
-pi.ln pi 56
0.268
IUCN
Status StP
E
-
-
-
5
0.053
-
-
Bubulcus ibis
14
0.113
-
+
-
Egretta picata
3
0.035
-
+
+
Layang Api
Hirundo rustica
Kuntul Kerbau Kuntul Belang Rangkong
Rhyticeros cassidix
20
0.145
-
+
Bangau Sandang Lawe
Ciconia episcopus
7
0.068
-
+
-
Belibis Kembang
Dendrocygna arcuata
10
0.089
-
-
+
Pelatuk Sulawesi
Mulleripicus fulvus
6
0.060
-
-
Perkutut
Streptopelia chinensis
8
0.075
-
-
-
Kepudang Sungu Biru
Coracina temminckiie
6
0.060
-
-
+
Elang Sulawesi
Pernis celebensis
8
0.075
-
-
+ +
8
0.075
-
-
Dicrurus hottentotus
28
0.180
-
-
-
Trichoglassus ornatus
17
0.129
-
+
+ +
Tuwur Sulawesi
Eudynamis melanorhinca
Srigunting Perkici Dora Anis Sulawesi
Catanopera turtuides
Kekep Sulawesi
Artamus monachus
Serindit Paruh Merah
Loriculus exilis
Raja Udang Merah
Ceyx fallax
Cabai Panggul Kelabu
Dicaeum celebicum
Blibong Pendeta
Streptocitta albicollis
3
0.035
-
-
20
0.145
-
-
+
2
0.025
NT
+
+ +
14
0.113
NT
+
9
0.082
-
-
+
20
0.145
-
-
+ -
15
0.119
-
-
Haliastur indus
8
0.075
-
-
-
Delimukan Timur
Calcophaps stephani
2
0.025
-
-
-
Betet Kelapa
Tanygnathus sumatranus
6
0.060
-
+
+ +
Kepudang kuduk hitam
Oriolus chinensis
Elang Bondol
Pergam Putih
Ducula luctuosa
3
0.035
-
-
Walik Kembang
Ptilinopus melanospila
2
0.025
-
-
-
Walik Raja
Ptilinopus superbus
1
0.014
-
-
-
-
-
+
-
-
+ +
Merpati Hitam Sulawesi
Turocoena manadensis
10
0.089
Pecuk Ular Asia
Anhinga melanogaster
2
0.025
Dederuk Merah
Streptopelia tranquebarica
1
0.014
Kipasan Sulawesi
Rhipidura teysmanni
1
0.014
-
-
Decu Belang
Saxicola caprata
7
0.068
-
-
-
Bubut Sulawesi
Centropus celebensis
1
0.014
-
-
+ -
Uncal Ambon
Macropygia amboinensis
2
0.025
-
-
Mandar Dengkur
Aramidopsis plateni
2
0.025
VU
+
+
Raja Udang Erasia
Alcedo atthis
1
0.014
-
+
+ -
Mandar Padi Zebra
Gallirallus torquatus
5
0.053
-
-
Raja Perling Sulawesi
Basilornis celebensis
2
0.025
-
-
+
Gagak Sulawesi
Corvus typicus
5
0.053
-
-
+
Walet Polos
Aerodramus vanikorensis
38
0.217
-
-
-
169
Nama Indonesia
Nama Ilmiah
Pelanduk Sulawesi
IUCN
Stp
E
0.044
-
-
+
5
0.053
-
-
-
10
0.089
-
-
-
Jumlah
-pi.ln pi
Trichastoma celebense
4
Kicuit Kerbau
Motacilla flava
Layang - Layang Batu
Hirundo tahitica
Madu Hitam
Nectarinia aspasia
3
0.035
-
+
Kapasan Sulawesi
Lalage leucopygialis
3
0.035
-
-
+
Kangkareng Sulawesi
Penelopides exarhatus
2
0.025
-
+
+ + +
Kepudang Sungu Belang
Coracina bicolor
2
0.025
NT
-
Kapinis Jarum Ungu
Hirundapus celebensis
5
0.053
-
-
Pergam Laut
Ducula bicolor
10
0.089
-
-
H’
3.410
Keterangan: INP= indeks nilai penting, CITES= Konvensi International tentang Perlindungan Hidupan Liar, StP= Status Perlindungan (tanda “+” berdasarkan PP No 7 Tahun 1999), E: Endemik Sulawesi (tanda ”+”) Sumber : Dunggio, 2005