Yustisia Kristiana, & Lintang Ayu Nugrahaning Tyas Peningkatan peran peemrintah pusat dalam kegiatan dekonsentrasi
PENINGKATAN PERAN PEMERINTAH PUSAT DALAM KEGIATAN DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN UNTUK PENGEMBANGAN DAYA TARIK WISATA DI TINGKAT PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA Yustisia Kristiana Lintang Ayu Nugrahaning Tyas Sekolah Tinggi Pariwisata Pelita Harapan E-mail:
[email protected] Abstract: In order to accelerate the development of national tourism, the government contributing to develop by setting the zoning division of tourism in Indonesia to categorize and simplify the development. To support regional development, all sectors experienced accelerated development including the tourism sector. To overcome problems encountered in the development of a tourist attraction, the Ministry of Tourism provides funding support deconcentration and co-administration. Implementation of the principles and deconcentration and co-administration tasks carried out to increase the competitiveness of tourism in Indonesia with the main goal is the creation of diversified tourism destination. Tourism development in 2014 is focused on the 16 National Strategic Tourism Area (KSPN). The method used is qualitative research with descriptive format. Type of data used in this research is secondary data. The results of this study indicate that there are still many obstacles in the provision of funds related to deconcentration and co-administration. Therefore created a matrix of physical and non-physical needs that can be developed based on the stage of tourism development that is pioneering, development, stabilization and revitalization. Keywords: tourist attraction, deconcentration, co-administration Abstrak: Dalam rangka percepatan pembangunan pariwisata nasional, pemerintah turut andil mengembangkan dengan menetapkan pembagian perwilayahan pariwisata di Indonesia untuk mengelompokkan dan mempermudah dalam pembangunannya. Untuk mendukung pembangunan daerah, semua sektor mengalami percepatan pembangunan termasuk sektor pariwisata. Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan daya tarik wisata, Kementerian Pariwisata memberikan dukungan pendanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pelaksanaan asas dan dana dekonsentrasi serta tugas pembantuan dilaksanakan untuk peningkatan daya saing kepariwisataan Indonesia dengan sasaran utama adalah terciptanya diversifikasi destinasi pariwisata. Untuk tahun 2014 difokuskan di 16 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan format desain yang digunakan adalah format deskriptif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih terdapat banyak kendala dalam pemberian dana terkait kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Oleh karena itu dibuat matriks kebutuhan fisik dan non fisik yang dapat dikembangkan berdasarkan tahapan pengembangan pariwisata yaitu perintisan, pembangunan, pemantapan dan revitalisasi. Kata kunci: daya tarik wisata, dekonsentrasi, tugas pembantuan
BARISTA, Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup serta pertahanan dan keamanan. Pembagian perwilayahan tersebut dibagi kembali kedalam 222 KPPN atau Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional. Pengembangan KPPN kemudian difokuskan pada pengembangan daya tarik yang dimiliki oleh KPPN tersebut yang memiliki nilai strategis baik secara potensi wisata, pasar, sosial, ekonomi, budaya dan terutama memberikan dampak pada perbaikan kualitas masyarakat di sekitar destinasi. Perencanaan yang matang dibutuhkan dalam pengembangan daya tarik wisata sehingga dapat berkembang secara berkelanjutan serta tetap merujuk pada banyak sektor diantaranya ekonomi, budaya, lingkungan.Dalam rangka pembangunan daerah, semua sektor mengalami percepatan pembangunan termasuk sektor pariwisata. Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada pasal 20 ayat (2) menyatakan perlunya peran pemerintah pusat dalam memberikan bantuan. Hal ini didukung dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang mana disebutkan pendanaan dalam rangka dekonsentrasi dialokasikan untuk kegiatan yang bersifat non fisik dan untuk tugas pembantuan dialokasikan untuk kegiatan yang bersifat fisik. Untuk sektor pariwisata, Kementerian Pariwisata memberikan dukungan terkait kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan untuk mempercepat pengembangan daya tarik wisata di daerah. Dalam implementasinya, kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak selalu berjalan dengan baik di daerah. Pemilihan lokasi hingga pada bentuk fasilitas yang akan dikembangkan perlu diidentifikasi lebih lanjut terlebih dahulu sebelum kegiatan dilaksanakan. Oleh
PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu destinasi di dunia yang memiliki daya tarik wisata baik alam, budaya maupun buatan manusia yang unik dan berbeda dari destinasi lainnya di dunia. Seiring dengan perkembangan pasar dan pariwisata global, menuntut banyak perubahan dan percepatan pembangunan pariwisata yang harus dilaksanakan oleh para pihak, baik itu pemerintah (pusat dan daerah), swasta dan juga terutama masyarakat setempat dimana destinasi berada. Berdasarkan amanat Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menuntut penyusunan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS) yang saat ini telah titetapkan oleh Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011. Dalam RIPPARNAS tersebut salah satunya menetapkan arah pembangunan kepariwisataan Indonesia yang dilakukan dengan pendekatan empat pilar pembangunan kepariwisataan Indonesia. Destinasi pariwisata nasional merupakan salah satu dari keempat pilar tersebut yang menjadi target capaian arah pembangunan kepariwisataan. Dalam rangka percepatan pembangunan pariwisata nasional tersebut, pemerintah turut andil mengembangkan dengan menetapkan pembagian perwilayahan pariwisata di Indonesia untuk mengelompokkan dan mempermudah dalam pembangunannya. Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) yang kemudian ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah tersebut sejumlah 50 DPN dengan kriteria dan indikator tertentu yang ditetapkan secara nasional. Kemudian dalam 50 DPN tersebut dibagi kembali menjadi 88 KSPN atau yang disebut Kawasan Strategis Pariwisata Nasional. Adapun menurut Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011, KSPN yang dimaksud adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata nasional yang mempunyai pengaruh penting dalam 217
Yustisia Kristiana, & Lintang Ayu Nugrahaning Tyas Peningkatan peran peemrintah pusat dalam kegiatan dekonsentrasi
karenanya diperlukan peran serta pemerintah untuk mendukung pengembangan daya tarik wisata, supaya pelaksanaan kegiatan terkait dekonsentrasi dan tugas pembantuan dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan kebutuhan di daerah dan selaras dengan strategi pembangunan pariwisata nasional. Tujuan dari penulisan ini adalah (1) memberikan arahan dan fasilitasi lebih lanjut kepada pemerintah daerah dalam menyusun usulan kegiatan terkait dekonsentrasi dan tugas pembantuan; (2) mengoptimalkan strategi komunikasi, koordinasi dan sinkronisasi antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam pelaksanaan kegiatan terkait dekonsentrasi dan tugas pembantuan dan (3) mendeskripsikan kegiatan yang dapat dilakukan dalam dalam rangka fasilitasi dukungan pengembangan daya tarik wisata. Pendekatan Kebijakan Kepariwisataan Goeldner dan Ritchie (2008) mendefinisikan kebijakan pariwisata sebagai regulasi, aturan, pedoman, arah, dan sasaran pembangunan atau promosi serta strategi yang memberikan kerangka dalam pengambilan keputusan individu maupun kolektif yang secara langsung memengaruhi pengembangan pariwisata dalam jangka panjang dan sekaligus kegiatan sehari-hari yang berlangsung di suatu destinasi. Biederman et al. (2007) menambahkan hal penting dalam definisi kebijakan kepariwisataan dengan mengemukakan bahwa prinsip dari kebijakan kepariwisataan adalah harus menjamin negara maupun daerah mendapatkan manfaat yang sebesarbesarnya dari kontribusi sosial dan ekonomi yang diberikan pariwisata. Sasaran akhir dari kebijakan pariwisata adalah peningkatan kemajuan negara atau daerah dan kehidupan warga negaranya. Definisi yang lebih luas dikemukakan oleh Edgell et al. (2011) bahwa kebijakan pariwisata merupakan kerangka etis yang terfokus pada isu-isu yang dihadapi dan
mempertemukan secara efektif keinginan atau kebutuhan masyarakat dengan rencana, pembangunan, produk, layanan, pemasaran, serta tujuan dan sasaran keberlanjutan bagi pertumbuhan pariwisata di masa yang akan datang, Kebijakan kepariwisataan terkait erat dengan perencanaan kepariwisataan. Menurut Edgell et al. (2011) perencanaan kepariwisataan memperkuat kedudukan kebijakan kepariwisataan dalam pembangunan. Edgell et al. (2011) mengemukakan bahwa model perencanaan pariwisata mencakup pernyataan visi dan misi yang diikuti oleh serangkaian tujuan, sasaran, strategi, dan taktik dalam pengembangan pariwisata. Kebijakan dan perencanaan kepariwisataan seharusnya dapat berfungsi secara efektif sebagai arah pembangunan kepariwisataan suatu destinasi. Perencanaan Pariwisata Dalam pengembangan pariwisata dibutuhkan perencanaan yang baik untuk dapat memberikan manfaat yang maksimal. Menurut Gunn dan Var (2002) perencanaan kawasan wisata merupakan proses pengintegrasian komponenkomponen kawasan yang meliputi daya tarik, layanan, informasi, transportasi dan promosi. Berdasarkan skala perencanaan kawasan wisata terbagi atas: 1. Skala tapak Dilakukan pada tapak dengan luasan tertentu seperti pada resort, marina, hotel, taman dan tapak wisata lainnya. 2. Skala tujuan Dimana atraksi wisata dikaitkan dengan keberadaan masyarakat sekitar, pemerintah daerah, dan sektor swasta. 3. Skala wilayah Dimana pengembangan lebih terarah pada kebijakan tata guna lahan yang terkait dengan jaringan transportasi, sumber daya yang harus dilindungi dan dikembangkan sebagai daerah yang sangat potensial.
Perencanaan pariwisata juga harus memperhatikan faktor lingkungan hidup.
BARISTA, Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 lingkungan alam, meliputi: a. Daya tarik wisata alam yang berbasis potensi keanekaragaman dan keunikan lingkungan alam di wilayah perairan laut, berupa: 1) Bentang pesisir pantai, contoh: Pantai Kuta, Pantai Pangandaran, Pantai Gerupuk – Aan, dan sebagainya. 2) Bentang laut, baik perairan di sekitar pesisir pantai maupun lepas pantai yang menjangkau jarak tertentu yang memiliki potensi bahari, contoh: perairan laut Kepulauan Seribu, perairan laut kepulauan Wakatobi, dan sebagainya. 3) Kolam air dan dasar laut, contoh: Taman Laut Bunaken, Taman Laut Wakatobi, taman laut dan gugusan pulau-pulau kecil Raja Ampat, Atol Pulau Kakaban, dan sebagainya. b. Daya tarik wisata alam yang berbasis potensi keanekaragaman dan keunikan lingkungan alam di wilayah daratan, berupa: 1) Pegunungan dan hutan alam/taman nasional/taman wisata alam/taman hutan raya, contoh: Taman Nasional Gunung Rinjani, Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Bromo – Tengger – Semeru, dan sebagainya. 2) Perairan sungai dan danau, contoh: Danau Toba, Danau Maninjau, Danau Sentani, Sungai Musi, Sungai Mahakam, Situ. 3) Perkebunan, contoh: agro wisata Gunung Mas, agro wisata Batu-Malang, dan sebagainya. 4) Pertanian, contoh: area persawahan Jatiluwih, area persawahan Ubud, dan sebagainya. 5) Bentang alam khusus, seperti gua, karst, padang pasir, dan sejenisnya, contoh: Gua Jatijajar, Gua Gong, Karst Gunung Kidul, Karst Maros,
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat menjadi acuan dalam perencanaan pariwisata, yang menyatakan bahwa pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan: 1. Keberlanjutan
proses dan fungsi lingkungan hidup. 2. Keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup. 3. Keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat.
Perencanaan pariwisata dipersiapkan pada berbagai tingkatan. Setiap tingkatan memfokuskan diri pada derajat kekhususan yang berbeda. Perencanaan tersebut hendaknya dipersiapkan dalam urutan dari yang umum ke yang spesifik, sebab tingkatan yang umum memberikan kerangka dan arahan untuk mempersiapkan rencana-rencana spesifik. Urutan tingkatan itu dimulai dari tingkat perencanaan internasional, perencanaan nasional, perencanaan regional, perencanaan subregional, perencanaan daerah wisata, perencanaan fasilitas pariwisata, dan desain fasilitas pariwisata. Daya Tarik Wisata Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Daya tarik wisata merupakan komponen utama yang dimiliki oleh destinasi pariwisata. Dalam Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 – 2025, pembangunan daya tarik wisata di Indonesia meliputi: 1. Daya Tarik Wisata Alam Daya tarik wisata alam berupa keanekaragaman dan keunikan
219
Yustisia Kristiana, & Lintang Ayu Nugrahaning Tyas Peningkatan peran peemrintah pusat dalam kegiatan dekonsentrasi gumuk pasir Barchan Parangkusumo, dan sebagainya. 2. Daya Tarik Wisata Budaya Daya tarik wisata budaya berupa hasil olah cipta, rasa dan karsa manusia sebagai makhluk budaya, meliputi: a. Daya tarik wisata budaya yang bersifat berwujud (tangible), antara lain: 1) Cagar budaya, yang meliputi: a) Benda cagar budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagianbagiannya, atau sisasisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia, contoh: angklung, keris, gamelan, dan sebagainya. b) Bangunan cagar budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap. c) Struktur cagar budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia. d) Situs cagar budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, dan/atau struktur cagar budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. e) Kawasan cagar budaya
adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas. 2) Perkampungan tradisional dengan adat dan tradisi budaya masyarakat yang khas, contoh: Kampung Naga, perkampungan Suku Badui, Desa Sade, Desa Penglipuran, dan sebagainya. 3) Museum, contoh: Museum Nasional, Museum Bahari, dan sebagainya. b. Daya Tarik Wisata bersifat tidak berwujud (intangible), berupa: 1) Kehidupan adat dan tradisi masyarakat dan aktivitas budaya masyarakat yang khas di suatu area/tempat, contoh: sekaten, karapan sapi, pasola, pemakaman Toraja, ngaben, pasar terapung, kuin, dan sebagainya. 2) Kesenian, contoh: angklung, sasando, reog, dan sebagainya. 3. Daya Tarik Wisata Hasil Buatan Manusia Daya tarik wisata hasil buatan manusia adalah daya tarik wisata khusus yang merupakan kreasi artifisial (artificially created) dan kegiatan-kegiatan manusia lainnya di luar ranah wisata alam dan wisata budaya, meliputi antara lain: a. Fasilitas rekreasi dan hiburan/taman bertema, yaitu fasilitas yang berhubungan dengan motivasi untuk rekreasi, hiburan (entertainment) maupun penyaluran hobi, contoh: taman bertema (theme park)/taman hiburan (kawasan Trans Studio, Taman Impian Jaya Ancol, Taman Mini Indonesia Indah). b. Fasilitas peristirahatan terpadu (integrated resort), yaitu kawasan peristirahatan dengan komponen pendukungnya yang membentuk kawasan terpadu, contoh: kawasan Nusa Dua resort, kawasan Tanjung Lesung, dan sebagainya.
BARISTA, Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 c. Fasilitas rekreasi dan olahraga, contoh: kawasan rekreasi dan olahraga Senayan, kawasan padang golf, dan area sirkuit olahraga.
Kebijakan pembangunan pariwisata berkelanjutan terarah pada penggunaan sumber daya alam dan penggunaan sumber daya manusia untuk jangka waktu panjang (Sharpley, 2000). Berkaitan dengan upaya menemukan keterkaitan antara aktivitas pariwisata dan konsep pembangunan berkelanjutan Cronin (1990) dalam Sharpley (2000), menkonsepkan pembangunan pariwisata berkelanjutan sebagai pembanguan yang terfokus pada dua hal, (1) keberlanjutan pariwisata sebagai aktivitas ekonomi di satu sisi dan (2) mempertimbangkan pariwisata sebagai elemen kebijakan pembangunan berkelanjutan yang lebih luas. Stabler dan Goodall (1996) dalam Sharpley (2000), menyatakan pembangunan pariwisata berkelanjutan harus konsisten atau sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Lane (2004) dalam Sharpley (2000) menyatakan bahwa pariwisata berkelanjutan adalah hubungan triangulasi yang seimbang antara daerah tujuan wisata (host areas) dengan habitat dan manusianya, pembuatan paket liburan (wisata), dan industri pariwisata, dimana tidak ada satupun stakehorder dapat merusak keseimbangan. Sedangkan indikator yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia tentang pembangunan pariwisata berkelanjutan (Gunawan et al., 2000) adalah: 1. Kesadaran tentang tanggung jawab
Sedangkan arah kebijakan pembangunan daya tarik wisata di Indonesia meliputi: 1. Perintisan pengembangan daya tarik wisata dalam rangka mendorong pertumbuhan destinasi pariwisata nasional dan pengembangan daerah. 2. Pembangunan daya tarik wisata untuk meningkatkan kualitas dan daya saing produk dalam menarik minat dan loyalitas segmen pasar yang ada. 3. Pemantapan daya tarik wisata untuk meningkatkan daya asing produk dalam menarik kunjungan ulang wisatawan dan segmen pasar yang lebih luas. 4. Revitalisasi daya tarik wisata dalam upaya peningkatan kualitas, keberlanjutan dan daya saing produk dan destinasi pariwisata nasional. Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan World Tourim Organization (2007) mendefinisikan pembangunan pariwisata berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan wisatawan saat ini, sambil melindungi dan mendorong kesempatan untuk waktu yang akan datang. Mengarah pada pengelolaan seluruh sumber daya sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika dapat terpenuhi sambil memelihara integritas kultural, proses ekologi esensial, keanakeragaman hayati dan sistem pendukung kehidupan. Produk pariwisata berkelanjutan dioperasikan secara harmonis dengan lingkungan lokal, masyarakat dan budaya, sehingga mereka menjadi penerima keuntungan yang permanen dan bukan korban pembangunan pariwisata (Gunawan et al., 2000).
terhadap lingkungan, bahwa strategi pembangunan pariwisata berkelanjutan harus menempatkan pariwisata sebagai green industry (industri yang ramah lingkungan), yang menjadi tanggung jawab pemerintah, industri pariwisata, masyarakat dan wisatawan; 2. Peningkatan peran pemerintah daerah dalam pembangunan pariwisata; 3. Kemantapan/keberdayaan industri pariwisata yaitu mampu menciptakan produk pariwisata yang mampu bersaing secara internasional, dan mensejahterakan masyarakat di daerah
221
Yustisia Kristiana, & Lintang Ayu Nugrahaning Tyas Peningkatan peran peemrintah pusat dalam kegiatan dekonsentrasi tujuan wisata; 4. Kemitraan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata yang bertujuan menghapus serta meminimalisir perbedaan tingkat kesejahteraan wisatawan dan masyarakat di daerah tujuan wisata untuk menghindari konflik dan dominasi satu sama lain. Hal ini juga didukung dengan memberi perhatian dan pengembangan usaha skala kecil oleh masyarakat lokal.
METODE Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yaitu suatu penelitian ilmiah, yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dengan fenomena yang diteliti (Moleong, 2010). Format desain penelitian kualitatif yang digunakan adalah format deskriptif. Format deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi obyek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu (Bungin, 2011). Jenis data yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah data sekunder. Menurut Sekaran dan Bougie (2013), data sekunder adalah data sudah ada dan dapat dikumpulkan oleh peneliti, dapat berasal dari berbagai sumber. Dalam penelitian ini data sekunder yang akan digunakan berasal dari studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan (Nazir, 2009). Data yang diperoleh nantinya akan dianalisis, dengan melakukan analisis data deskriptif-kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Prinsip Pengembangan Destinasi Pariwisata Berkelanjutan di Indonesia Peningkatan dan penataan kualitas daya tarik wisata alam dan budaya di Indonesia memperhatikan prinsip-prinsip pengembangan destinasi pariwisata berkelanjutan yaitu : 1. Keberlangsungan lingkungan (Environmentally Sustainable) Pengembangan destinasi pariwisatanasional yang ramah lingkungan dan mampu menjaga, melindungi dan melestarikan kekayaan alam (konservasi dan proteksi lingkungan). 2. Keberlangsungan sosial budaya (Socially Culture Sustainable) Pengembangan destinasi pariwisata yang mampu menjaga dan meningkatkan kualitas dari nilainilai sosial dan budaya setempat. Termasuk di dalamnya upaya mitigasi terhadap dampak negatif yang memengaruhi kehidupan sosial dan budaya. 3. Keberlangsungan ekonomi (Economically Sustainable) Pengembangan destinasi pariwisata nasional harus mampu menjaga kelangsungan dan pertumbuhan ekonomi dengan mengembangkan dan menyediakan peluang usaha dan lapangan kerja. 4. Keberlangsungan kelembagaan (Institutionally Sustainable) Pengembangan destinasi pariwisata nasional harus mampu mengembangkan kerja sama institusi, kemitraan yang kreatif, produktif dan saling menguntungkan antara pemerintah, masyarakat dan sektor swasta. Perkembangan Pembangunan Daya Tarik Wisata di Indonesia Dalam Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional
BARISTA, Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
(RIPPARNAS) ditetapkan 50 Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) dan 88 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). KSPN adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata nasional yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup serta pertahanan dan keamanan. Pembagian perwilayahan tersebut dibagi kembali kedalam 222 Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN). Pengembangan KPPN kemudian difokuskan pada pengembangan daya tarik yang dimiliki oleh KPPN tersebut yang memiliki nilai strategis baik secara potensi wisata, pasar, sosial, ekonomi, budaya dan terutama memberikan dampak pada perbaikan kualitas masyarakat di sekitar destinasi. Terdapat 16 Kawasan Strategi Pariwisata Nasional (Flagship 2012-2014) yang menjadi fokus dari Kementerian Pariwisata, 16 kawasan tersebut berada dalam kawasan prioritas yang terbagi dalam beberapa wilayah di Indonesia, yakni Sumatera, Jawa, Kalimantan, BaliNusa Tenggara, Sulawesi dan PapuaKepulauan Maluku. Fokus pengembangan 16 KSPN adalah: 1. KSPN Toba dan sekitarnya 2. KSPN Kepulauan Seribu dan sekitarnya 3. KSPN Kota Tua-Sunda Kelapa dan sekitarnya 4. KSPN Borobudur dan sekitarnya 5. KSPN Bromo-Tengger-Semeru dan sekitarnya 6. KSPN Kintamani-Danau Batur dan sekitarnya 7. KSPN Menjangan-Pemuteran dan sekitarnya 8. KSPN Kuta-Sanur-Nusa Dua dan sekitarnya 9. KSPN Rinjani dan sekitarnya 10. KSPN Komodo dan sekitarnya 11. KSPN Ende-Kelimutu dan
sekitarnya 12. KSPN Tanjung Puting dan sekitarnya 13. KSPN Toraja dan sekitarnya 14. KSPN Bunaken dan sekitarnya 15. KSPN Wakatobi dan sekitarnya 16. KSPN Raja Ampat dan sekitarnya Fokus pengembangan 16 KSPN tersebut adalah wisata minat khusus. Wisata minat khusus yang dikembangkan adalah: 1. Wisata budaya dan sejarah 2. Wisata alam dan ekowisata 3. Wisata olahraga rekreasi (menyelam, selancar, kapal layar, trekking dan mendaki, golf, bersepeda, maraton, hash) 4. Wisata kapal pesiar 5. Wisata kuliner dan belanja 6. Wisata kesehatan dan kebugaran 7. Wisata konvensi, insentif, pameran dan event Kondisi 16 KSPN sampai pada akhir tahun 2014 terdapat 3 KSPN berada pada tahapan perintisan yaitu KSPN Menjangan-Pemuteran dsk, KSPN EndeKelimutu dsk dan KSPN Tanjung Puting dsk. KSPN yang berada pada tahapan pembangunan sebanyak 4 KSPN yaitu KSPN Kintamani-Danau Batur dsk, KSPN Rinjani dsk, KSPN Komodo dsk dan KSPN Raja Ampat dsk. Sebanyak 3 KSPN berada pada tahapan pemantapan yaitu KSPN Kepulauan Seribu dsk, KSPN Bromo-Tengger-Semeru dsk dan KSPN Wakatobi dsk. Untuk tahapan revitalisasi terdapat 6 KSPN yaitu KSPN Toba dsk, KSPN Kota Tua-Sunda Kelapa dsk, KSPN Bromo-Tengger-Semeru dsk, KSPN KutaSanur-Nusa Dua dsk KSPN Toraja dsk dan KSPN Bunaken dsk. Sedangkan fokus pengembangan KSPN pada tahun 20152019 bertambah menjadi 25 KSPN, 9 KSPN yang termasuk sebagai tambahan dalam fokus pengembangan tahun 20152019: 1. KSPN Muaro Jambi dan sekitarnya 2. KSPN Palembang Kota dan sekitarnya 3. KSPN Derawan - Sangalaki dan sekitarnya 223
Yustisia Kristiana, & Lintang Ayu Nugrahaning Tyas Peningkatan peran peemrintah pusat dalam kegiatan dekonsentrasi
4. KSPN Sentarum dan sekitarnya 5. KSPN Tanjung Kelayang dan sekitarnya 6. KSPN Weh dan sekitarnya 7. KSPN Pangandaran dan sekitarnya 8. KSPN Teluk Dalam-Nias dan sekitarnya 9. KSPN Morotai dan sekitarnya Pada tahun 2015-2019, pengembangan KSPN mencapai 20 provinsi dan 45 kabupaten/kota. Pengembangan Daya Tarik Wisata di Indonesia Terkait Bantuan Pemerintah Pusat Daya tarik wisata adalah faktor penarik (pull factor) yang mendorong wisatawan untuk berkunjung ke sebuah destinasi bila dikelola dengan baik. Sebaliknya daya tarik wisata dapat menjadi faktor yang dapat menyebabkan wisatawan untuk tidak berkunjung bahkan bagi penduduk lokalnya (push factor) bila tidak dikelola dengan baik. Beberapa permasalahan yang dihadapi saat ini dalam pengembangan daya tarik wisata di Indonesia antara lain adalah: 1. Lemahnya perintisan untuk membuka dan membangun daya tarik wisata baru di destinasi pariwisata sesuai dengan kecenderungan minat pasar. 2. Lemahnya manajemen potensi daya tarik wisata di destinasi pariwisata dalam bersaing dengan destinasi lain untuk menarik minat dan loyalitas segmen pasar wisatawan yang ada. 3. Belum berkembangnya inovasi manajemen produk dan kapasitas daya tarik wisata terutama yang berorientasi pada upaya konservasi lingkungan. 4. Kurangnya keragaman nilai daya tarik wisata dalam berbagai tema dengan memanfaatkan dan mengangkat keunikan serta kekhasan lokal wilayah di Indonesia.
5. Belum adanya upaya terpadu untuk menangani revitalisasi daya tarik wisata di destinasi yang mengalami degradasi, baik degradasi lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. 6. Lemahnya kualitas sumber daya manusia dan dukungan prasarana umum dan fasilitas pariwisata. Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan daya tarik wisata, Kementerian Pariwisata memberikan dukungan pendanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Arah kebijakan dan strategi yang terkait dengan pengembangan daya tarik wisata melalui dekonsentrasi dan tugas pengembangan (dekon dan TP) ke daerah adalah pengembangan daya tarik wisata dengan melakukan peningkatan kualitas dan kuantitas penataan daya tarik pariwisata melalui revitalisasi daya tarik wisata, qpemeliharaan daya tarik wisata, perintisan daya tarik wisata, pembangunan daya tarik wisata, dan fasilitasi/pendukungan koordinasi pengembangan daya tarik wisata yang dapat berupa fasilitasi/pendukungan amenitas/fasilitas pariwisata serta bimbingan teknis pengembangan daya tarik wisata. Berdasarkan atas asas dan pendanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, Kementerian Pariwisata c.q. Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata pada tahun 2014 melaksanakan dekonsentrasi dan tugas pembantuan dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan kepariwisataan nasional seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tentang Rencana Strategis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Tahun 2012-2014. Pelaksanaan asas dan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dilaksanakan untuk peningkatan daya saing kepariwisataan Indonesia dengan sasaran utama adalah terciptanya diversifikasi destinasi pariwisata dengan indikator adalah jumlah
BARISTA, Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
lokasi daya tarik wisata di DPN yang dikembangkan menjadi destinasi pariwisata. Fokus pengembangan untuk tahun 2014 adalah di 16 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Dalam rangka mengembangkan daya tarik wisata di KSPN maka pada tahun 2014 dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan program pengembangan destinasi pariwisata dilaksanakan dalam empat wilayah yang terdiri dari: 1. Wilayah I: a. Sabang b. Samosir c. Bukitinggi d. Rokan Hulu e. Pagar Alam f. Lampung Barat g. Pangandaran h. Bandung i. Gunung Kidul j. Sleman k. Magelang l. Pacitan m. Probolinggo n. Pasuruan o. Tulung Agung 2. Wilayah II a. Bangli b. Denpasar c. Buleleng d. Lombok Utara e. Lombok Timur f. Lombok Barat g. Lombok Tengah h. Mataram i. Bima j. Dompu k. Alor l. Lembata m. Manggarai Barat n. Ende o. Sumba Barat Daya 3. Wilayah III a. Berau b. Kotawaringin Barat c. Hulu Sungai Selatan d. Manado e. Tojo Una-Una f. Sulawesi Tenggara
g. Kendari h. Buton i. Wakatobi j. Tana Toraja k. Toraja Utara l. Pangkep 4. Wilayah IV a. Buru Selatan b. Maluku Tenggara Barat c. Jayapura d. Raja Ampat e. Sorong Bentuk tugas pembantuan yang dilakukan pada tahun 2014 dalam upaya pengembangan daya tarik wisata antara lain: 1. Pembuatan ruang ganti/toilet di lokasi daya tarik wisata; 2. Pembuatan gazebo/rumah panggung kecil di ruang terbuka; 3. Pembangunan menara pandang; 4. Pembuatan jalur pejalan kaki/jalan setapak dan pedestrian di kawasan pariwisata; 5. Pembuatan rambu-rambu petunjuk arah; 6. Penataan taman (pembuatan pergola, pemasangan lampu taman, pembuatan pagar pembatas, panggung kesenian, panggung terbuka); 7. Pembangunan pusat informasi wisata/Tourism Information Center (TIC); 8. Pembuatan tempat penonton (tribun), tempat pertunjukan dan amphitheater; 9. Pembangunan dan penataan kawasan pariwisata, pelataran, kios cindera mata, kios kaki lima, pendopo, rest area, plasa, pusat jajanan/kuliner, dan tempat ibadah; 10. Pembangunan dive center dan pengadaan peralatan selam; 11. Pembangunan jembatan dan broadwalk di kawasan pariwisata; 12. Pembangunan gapura/gerbang masuk/pintu masuk/entrance; dan
225
Yustisia Kristiana, & Lintang Ayu Nugrahaning Tyas Peningkatan peran peemrintah pusat dalam kegiatan dekonsentrasi
13. Pembangunan dermaga/jetty pariwisata.
dan di
perbaikan kawasan
Alokasi anggaran dan cakupan wilayah pelaksanaan kegiatan tugas pembantuan pada tahun 2013 dan 2014 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1. Alokasi Anggaran dan Cakupan Wilayah TP Tahun 2013-2014 Tahun
Alokasi Cakupan wilayah anggaran (Rp.) 2013 50.772.579.000 29 provinsi dan 43 provinsi/kabupaten/kota 2014 112.452.299.000 24 provinsi dan 50 provinsi/kabupaten/kota Sumber: Direktorat Perancangan Destinasi dan Investasi Pariwisata (2013 dan 2014)
Bila dilihat pada tabel di atas terlihat terjadi peningkatan pada alokasi anggaran sebesar 121,48%. Untuk cakupan wilayah provinsi pada tahun 2014 tidak sebanyak pada tahun 2013, terdapat lima provinsi yang terdapat di tahun 2014 yaitu Provinsi Banten, Provinsi Bengkulu, Provinsi Jambi, Provinsi Bangka Belitung dan Provinsi Gorontalo. Provinsi Kalimantan Barat terdapat di data pelaksanaan TP pada tahun 2013 tetapi pada tahun 2014 digantikan oleh Provinsi Kalimantan Timur. Tetapi bila dilihat dari jumlah provinsi/kabupaten/kota, tahun 2014 mengalami peningkatan sebanyak tujuh cakupan wilayah provinsi/kabupaten/kota. Pelaksanaan kegiatan tugas pembantuan di tahun 2014 sesuai dengan target indikator kinerja kegiatan yang telah ditentukan. Indikator kinerja kegiatan adalah jumlah lokasi daya tarik wisata di DPN yang dikembangkan menjadi destinasi pariwisata melalui pendukungan pembangunan daya tarik wisata dengan kegiatan dekon pemantauan dan evaluasi dana tugas pembantuan di lokasi-lokasi daya tarik wisata yang dilaksanakan oleh kabupaten/kota. Untuk tahun 2014, indikator di atas memiliki target 24 dengan satuan provinsi yang mendapat dekon monev TP dengan jumlah lokasi daya tarik yang mendapat tugas pembantuan ada di 50 provinsi/kabupaten/kota.
Kendala Implementasi Bantuan Pemerintah Pusat Merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, dalam penyelenggaraan dekonsentrasi maupun tugas pembantuan dari pemerintah kepada pemerintah daerah, hendaknya kepala daerah melakukan: 1. Sinkronisasi dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. 2. Penyiapan perangkat daerah yang akan melaksanakan program dan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. 3. Koordinasi, pengendalian, pembinaan, pengawasan, dan pelaporan. Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah: 1. Pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi. 2. Pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas pemerintah daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada wilayah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administratif untuk melaksanakan kewenangan pemerintah yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi. Gubernur sebagai
BARISTA, Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
kepala daerah provinsi berlaku pula selaku wakil pemerintah di daerah, dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah kabupaten dan kota. Penyelenggaraan asas tugas pembantuan adalah cerminan dari sistem dan prosedur penugasan pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dan pembangunan yang disertai dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang memberi penugasan. Tugas pembantuan diselenggarakan karena tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi. Pemberian tugas pembantuan dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan, dan layanan umum. Tujuan pemberian tugas pembantuan adalah memperlancar pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan, serta membantu penyelenggaraan pemerintahan, dan pengembangan pembangunan bagi daerah dan desa. Terkait dengan penyelenggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan, Kementerian Pariwisata sebagai institusi yang memberikan bantuan untuk pengembangan daya tarik wisata belum memiliki konsep daya tarik wisata (DTW) yang baku, sehingga masih banyak kendala dalam penyaluran dana. Selain itu pemerintah provinsi sebagai wakil dari pemerintah pusat belum memiliki data yang akurat mengenai potensi daya tarik wisata yang berada di kawasannya. Ini disebabkan karena pemerintah
kabupaten/kota tidak melaporkan potensi yang dimiliki ke pemerintah provinsi. Masalah koordinasi antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota masih menjadi isu dalam implementasi bantuan. Kurangnya koordinasi ini mengakibatkan ketidaksesuaian antara dana yang diberikan untuk pembangunan fisik tugas pembantuan oleh pemerintah pusat dengan yang dibangun oleh pemerintah daerah. Selain itu, ketidaksiapan materi sebagaimana disebabkan oleh kurangnya data dasar potensi dan daya tarik wisata di beberapa daerah menyebabkan lemahnya atau terhambatnya implementasi penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan di daerah. Idealnya daerah memiliki rencana pengembangan pariwisata yang tertuang dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPARDA) atau lebih diturunkan lagi dalam Rancangan Induk Pengembangan Obyek Wisata (RIPOW) atau siteplan daya tarik wisata yang ada di daerah, akan tetapi belum semua daerah memiliki kebijakan pembangunan pariwisata dan belum semua daya tarik yang ada dipetakan secara lebih terperinci. Kriteria pengajuan dekonsentrasi dan tugas pembantuan salah satunya adalah asas prioritas pembangunan, dimana pengajuan dekonsentrasi dan tugas pembantuan dialamatkan kepada fasilitas atau dukungan pengembangan daya tarik yang sudah memiliki desain situs berikut kebutuhan fasilitas penunjang yang daerah tidak mampu untuk membangunnya dalam posisi prioritas pembangunan tertentu, sehingga membutuhkan dukungan pemerintah pusat. Hal yang kemudian ditemui dalam kegiatan koordinasi regional yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dalam upaya menampung dan menginventarisasi kebutuhan pengajuan dekonsentrasi dan tugas pembantuan dari daerah dirasakan kurang efektif. Hal ini dikarenakan mekanisme yang tidak berjalan beriringan antara perencanaan yang dipersiapkan oleh pemerintah daerah 227
Yustisia Kristiana, & Lintang Ayu Nugrahaning Tyas Peningkatan peran peemrintah pusat dalam kegiatan dekonsentrasi
dengan target dari pemerintah pusat. Akibatnya kedatangan pemerintah daerah yang diwakili oleh pemerintah provinsi dalam menuangkan kebutuhan dari hanya satu daya tarik yang kemudian dapat diajukan menjadi kegiatan yang spontan, dimana banyak daerah yang tidak atau belum memegang dokumen prioritas pembangunan di deaerahnya. Hal ini kemudian berpotensi mengakibatkan ketidaktepatan sasaran dari dekonsentrasi dan tugas pembantuan dari pusat tersebut. Prosedur sebagaimana diatur dalam pengajuan dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak sepenuhnya terikuti dengan prosedur spontanitas yang dihadapi. Kendala lain yang kemudian dihadapi adalah tumpang tindih kewenangan dan program atas pembangunan fasilitas sebagaimana diajukan dalam dekonsetrasi dan tugas pembantuan. Hal ini dikarenakan ego sektoral yang tidak mengkoordinasikan secara holistik terkait pembangunan sebuah daerah dari setiap sektor yang terlibat. Akibatnya terdapat
pendanaan yang ganda dan berujung pada ketidaktepatan sasaran pembangunan. Berdasarkan hal tersebut, dukungan yang kemudian dibutuhkan dalam rangka mengefektifkan dekonsentrasi dan tugas pembantuan adalah terletak pada mekanisme komunikasi, koordinasi, sinkronisasi terkait program pembangunan daerah dan kaitannya dengan semua sektor. Untuk memaksimalkan pengembangan daya tarik wisata dapat dilakukan inventarisasi kebutuhan fisik dan non fisik yang dapat dikembangkan berdasarkan tahapan pengembangan pariwisata yaitu perintisan, pembangunan, pemantapan dan revitalisasi. Pendanaan dalam rangka dekonsentrasi pemantauan dan evaluasi tugas pembantuan bidang pengembangan destinasi pariwisata dialokasikan untuk kegiatan bersifat non fisik, yaitu kegiatan yang menghasilkan luaran yang tidak menambah aset tetap. Berikut ini adalah tabel matriks kebutuhan non fisik yang dapat dikembangkan berdasarkan tahapan pengembangan:
Tabel 2. Matriks Kebutuhan Bantuan Non Fisik Tahapan Pengembangan Perintisan
Strategi
Kebutuhan Bantuan Non Fisik
Mengembangkan DTW baru
a. Fasilitasi perintisan pengembangan DTW b. Fasilitasi perencanaan dan perintisan pengembangan sarana dan prasarana dasar c. Fasilitasi pengembangan jejaring manajemen kunjungan terpadu dengan DTW yang telah berkembang d. Fasilitasi pemberian arahan bagi masyarakat setempat mengenai pengelolaan dan pemeliharaan untuk mewujudkan pariwisata berbasis masyarakat di kawasan yang belum berkembang e. Fasilitasi para pelaku usaha untuk pengembangan kawasan pariwisata f. Fasilitasi pengembangan kawasan pesisir dan pulaupulau kecil debagai DTW bahari dan alam yang berbasis budaya serta konservasi a. Penguatan upaya pengelolaan pariwisata berkelanjutan b. Pengembangan kawasan sebagai DTW dengan mempertahankan wujud asli bangunan dan kawasan cagar budaya a. Penguatan interpretasi dan inovasi produk dalam upaya meningkatkan kualitas daya tarik, keunggulan kompetitif dan komparatif serta daya saing DTW
Memperkuat upaya pengelolaan DTW
Pembangunan
Mengembangkan inovasi manajemen produk dan kapasitas DTW untuk
BARISTA, Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 Tahapan Pengembangan
Strategi mendorong akselerasi perkembangan kawasan pariwisata daerah
Memperkuat upaya konservasi DTW
Pemantapan
Mengembangkan diversifikasi DTW
Memperkuat upaya penataan ruang wilayah dan konservasi DTW dalam mendukung diversifikasi DTW
Revitaliasi
Revitalisasi struktur, elemen dan aktivitas yang menjadi penggerak kegiatan pariwisata
Memperkuat upaya penataan ruang wilayah dan konservasi DTW dengan memperhatikan daya dukung lingkungan
Memperkuat pengembangan DTW berbasis budaya dan sejarah
Kebutuhan Bantuan Non Fisik (alam, budaya dan buatan) yang sedang berkembang b. Pengembangan jejaring manajemen kunjungan terpadu dengan DTW terkait di sekitar lokasi dalam konteks regional maupun nasional c. Peningkatan kualitas dan kapasitas sarana dan prasarana dasar untuk meningkatkan kualitas kegiatan pariwisata di sekitar lokasi DTW a. Pengawasan pembangunan dengan mengutamakan prinsip konservasi sumber daya pariwisata, khususnya alam dan budaya, di sekitar lokasi DTW b. Pengawasan pengembangan kawasan sebagai DTW dengan mempertahankan wujud asli bangunan dan kawasan cagar budaya a. Pengembangan rentang aktivitas wisata dalam berbagai skala (hard – soft attraction) pada manajemen atraksi DTW b. Pengembangan jenis atraksi lain dengan berbagai tema di sekitar lokasi DTW utama serta jejaringnya dalam manajemen kunjungan terpadu c. Peningkatan kualitas dan kapasitas sarana dan prasarana dasar untuk meningkatkan kualitas kegiatan pariwisata di sekitar lokasi DTW a. Peningkatan pengawasan pembangunan, pengendalian pemanfaaatan dan konservasi sumber daya pariwisata untuk mendukung keberlanjutan kegiatan pariwisata di lokasi DTW b. Penguatan pengembangan kawasan sebagai DTW dengan mempertahankan wujud asli bangunan dan kawasan cagar budaya DTW c. Pengembangan program promosi untuk menarik wisatawan a. Inovasi manajemen daya tarik dengan pengembangan tema dan event khusus (soft attraction) yang menjadi kekuatan utama penggerak kunjungan b. Pengembangan program interpretasi termasuk yang berbasis teknologi c. Pengembangan jejaring manajemen kunjungan terpadu dengan DTW pendukung di sekitar lokasi dalam konteks regional, nasional dan internasional d. Peningkatan kualitas dan kapasitas sarana prasarana dasar untuk meningkatkan kualitas kegiatan pariwisata di sekitar lokasi DTW a. Peningkatan pengawasan pembangunan, pengendalian pemanfaatan dan konservasi sumber daya pariwisata untuk mendukung keberlanjutan kegiatan pariwisata di lokasi DTW b. Penguatan penataan DTW dengan mempertahankan wujud asli bangunan dan kawasan cagar budaya DTW a. Inovasi manajemen DTW berbasis budaya dengan memanfaatkan teknologi audio visual yang aktraktif dan inovatif b. Fasilitasi pengembangan wisata edukasi
Sumber: Hasil olahan data (2014)
229
Yustisia Kristiana, & Lintang Ayu Nugrahaning Tyas Peningkatan peran peemrintah pusat dalam kegiatan dekonsentrasi
Pengembangan daya tarik wisata yang berkaitan dengan bantuan non fisik dapat mencakup: 1. Pembinaan good governance Pembinaan kepada pemerintah daerah dalam rangka peningkatan kapasitas dengan menyelenggarakan pemerintahan yang baik/good governance dimaksudkan untuk memberikan bimbingan dan arahan dari pusat maupun masukan dari pemerintah deaerah dalam upaya sinkronisasi dan harmonisasi program yang ada. Pelaksanaan sinkronisasi dan harmonisasi hanya akan tercapai apabila dilakukan dengan kualitas kerja pemerintah baik pusat maupun daerah yang lebih baik dan terkoordinasi baik secara struktur maupun teknis pekerjaan, lintas sektor sehingga menghasilkan lompatan hasil pekerjaan yang optimal. Pelaksanaan sistem pemerintahan yang baik termasuk pada bagaimana merancang dan mengembangkan sebuah program yang dapat memberikan efek pembangunan yang optimal dengan mengerahkan semua kemampuan yang dimiliki, salah satunya kemampuan untuk dapat memanfaatkan bantuan yang disediakan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sebagai wujud asas dekonsentrasi dalam pemerintahan Indonesia. 2. Pembinaan produk wisata Merupakan usaha meningkatkan kualitas layanan dan sebagai unsur produk wisata adalah jasa akomodasi, transportasi, hiburan, biro perjalanan wisata serta layanan di obyek wisata. Pembinaan tersebut dilakukan dengan berbagai kombinasi usaha seperti pendidikan dan pelatihan, pengaturan dan pengarahan pemerintah dan pemberian rangsangan agar tercipta iklim
persaingan yang sehat mendorong peningkatan produk dan layanan.
guna mutu
3. Pembinaan masyarakat pariwisata Tujuan pembinaan masyarakat pariwisata adalah untuk menggalakkan pemeliharaan segi positif dari masyarakat yang bermanfaat bagi pengembangan pariwisata, mengurangi pengaruh buruk sebagai dampak dari pengembangan pariwisata dan pembinaan kerja sama baik berupa pembinaan produk wisata, pemasaraan serta pembinaan masyarakat. 4. Pemasaran terpadu Dalam pemasaran pariwisata digunakan prinsip paduan pemasaran terpadu yang meliputi: a. Paduan produk yaitu menggabungkan semua unsur produk wisata. b. Paduan penyebaran yaitu pendistribusian wisatawan pada produk wisata yang melibatkan biro perjalanan wisata, tour operator dan moda transportasi. c. Paduan komunikasi yaitu penyampaian komunikasi yang baik sehingga dapat memberikan informasi tentang tersedianya produk wisata yang menarik. d. Paduan layanan yaitu pemberian layanan kepada wisatawan secara baik sehingga produk wisata yang ditawarkan akan dinilai baik pula. Sedangkan pelaksanaan tugas pembantuan pengembangan destinasi pariwisata berupa kegiatan yang menghasilkan luaran yang menambah aset tetap atau bersifat fisik, antara lain berupa bangunan, peralatan, dan jalan. Berikut ini adalah tabel matriks kebutuhan fisik yang dapat dikembangkan berdasarkan tahapan pengembangan:
BARISTA, Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
Tabel 3. Matriks Kebutuhan Bantuan Fisik Tahapan Pengembangan Perintisan
Pembangunan
Pemantapan
Revitalisasi
Kebutuhan Bantuan Fisik a. Pembuatan ruang ganti/toilet di lokasi daya tarik wisata b. Pembangunan kawasan pariwisata, pelataran, kios cindera mata, kios kaki lima, pendopo, rest area, plasa, pusat jajanan/kuliner, dan tempat ibadah c. Pembuatan rambu-rambu petunjuk arah d. Pembuatan jalur pejalan kaki/jalan setapak dan pedestrian di kawasan pariwisata a. Pembuatan gazebo/rumah panggung kecil di ruang terbuka b. Pembangunan menara pandang c. Pembangunan pusat informasi wisata/Tourism Information Center (TIC) d. Pembuatan tempat penonton (tribun), tempat pertunjukan dan amphitheater e. Pembangunan dive center dan pengadaan peralatan selam f. Pembangunan jembatan dan broadwalk di kawasan pariwisata g. Pembangunan gapura/gerbang masuk/pintu masuk/entrance h. Pembangunan dermaga/jetty di kawasan pariwisata a. Penataan taman (pembuatan pergola, pemasangan lampu taman, pembuatan pagar pembatas, panggung kesenian, panggung terbuka) b. Penataan kawasan pariwisata, pelataran, kios cindera mata, kios kaki lima, pendopo, rest area, plasa, pusat jajanan/kuliner, dan tempat ibadah a. Perbaikan jaringan jalan b. Perbaikan dermaga/jetty di kawasan pariwisata c. Perbaikan fasilitas wisata di kawasan pariwisata
Sumber: Hasil olahan data (2014)
Dalam pengembangan daya tarik wisata dibutuhkan perencanaan pariwisata yang baik dan terpadu sehingga dapat memberikan manfaat. Perencanaan pariwisata di tingkat provinsi dan kabupaten/kota hendaknya berfokus pada: 1. Kebijakan pengembangan pariwisata provinsi dan kabupaten kota yang disesuaikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang di wilayah provinsi serta kabupaten/kota. 2. Rencana Struktur Tata Ruang Pariwisata provinsi dan kabupaten/kota yang mencakup jaringan transportasi antar dan intra provinsi serta kabupaten/kota sampai ke obyek wisata utama. 3. Penentuan kota-kota dan kawasan pintu gerbang menuju ke obyek wisata utama dan kebutuhan akan
fasilitas pendukung (jumlah, jenis, kelas dan lokasi). 4. Rencana jaringan utilitas, pendukung kawasan dan lokasi obyek wisata menarik lainnya. Adapun beberapa dukungan yang harus dilakukan dalam upaya optimalisasi asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan pada pembangunan kepariwisataan antara lain: 1. Komunikasi, koordinasi dan sinkronisasi program Mekanisme komunikasi dan koordinasi dalam rangka penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan dalam lingkup Kementerian Pariwisata membutuhkan beberapa metode untuk optimalisasi implementasi program. Mekanisme komunikasi dan koordinasi ini harus dapat berjalan mulai dari usulan awal 231
Yustisia Kristiana, & Lintang Ayu Nugrahaning Tyas Peningkatan peran peemrintah pusat dalam kegiatan dekonsentrasi
dalam perencanaan pengembangan pariwisata daerah hingga pada eksekusi dan monitoring serta evaluasi yang nantinya akan dilaksanakan oleh pihak kementerian. Kebutuhan komunikasi dan koordinasi ini dirasakan penting dikarenakan: a. Menghindari ketidaksinkronan antara kebutuhan, perencanaan dengan implementasi program yang diusulkan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. b. Untuk terpenuhinya tahapan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. c. Kebutuhan untuk terbangunnya fasilitas di destinasi maupun daya tarik wisata sesuai dengan prioritas pengembangan kawasan sebagaimana yang direncanakan oleh pemerintah daerah. d. Perlu adanya pemantauan dengan baik kesesuaian program yang dijalankan dengan indikator yang dimiliki. Oleh karenanya dibutuhkan beberapa metode komunikasi dan koordinasi seperti: a. Workshop sosialisasi terkait dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat untuk seluruh Dinas Pariwisata Kabupaten/Kota dan Provinsi di Indonesia. Sosialiasi ini sebaiknya diadakan dua kali untuk memantapkan persiapan pengajuan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. b. Penentuan prioritas usulan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten/Kota dengan melihat pada kesesuaian dengan Rencana Induk
c.
d.
e.
f.
Pengembangan Pariwisata Kabupaten/Kota dan juga Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Provinsi. Melakukan rapat koordinasi dengan lintas sektor untuk menyandingkan program yang akan diusulkan dengan program pembangunan keseluruhan yang dimiliki oleh pemerintah kabupaten/kota dan provinsi, sehingga tercapai satu keputusan usulan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pengusulan dilanjutkan dengan tahap koordinasi dan pembuatan dokumen pendukung untuk pengajuan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang akan diusulkan, di antaranya surat pengusulan dari kabupaten/kota yang ditandatangani oleh kepala daerah, gambar desain tapak, rencana pengembangan tapak/daya tarik wisata. Melakukan koordinasi regional sebagai tahapan dalam penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam koordinasi regional ini seyogyanya dilakukan dua tahap, yaitu koordinasi regional yang dilakukan oleh pemerintah provinsi dalam rangka melengkapi pengajuan dari kabupaten/kota, dan yang kedua adalah koordinasi regional yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata yang mengundang provinsi, dimana pemerintah provinsi sudah memiliki data dari tingkat kabupaten/kota untuk pengajuan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Sinkronisasi lintas sektoruntuk melakukan pengecekan dan penyesuaian dengan progam dari dinas maupun
BARISTA, Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
kementerian/lembaga lain yang memiliki program yang sama meskipun peruntukannya dapat berbeda namun bisa digabungkan. Hal ini penting dilakukan untuk meminimalisasi ketumpangtindihan program. 2. Penyusunan indikator bersama Penyusunan indikator bersama antara dinas provinsi/kabupaten/kota dengan Kementerian Pariwisata untuk dapat menyusun dan memantapkan indikator yang diperlukan. 3. Monitoring dan evaluasi berjangka Monitoring dan evaluasi berjangka harus dilakukan tidak hanya dalam akhir program namun harus diletakkan juga dalam pertengahan program untuk melihat perkembangan yang ada sehingga jika terjadi kendala dapat diselesaikan segera. Hal ini dilakukan untuk mengoptimalisasikan program.
wisata yang dapat berupa fasilitasi/pendukungan amenitas/fasilitas pariwisata serta bimbingan teknis pengembangan daya tarik wisata. Berdasarkan atas asas dan pendanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, Kementerian Pariwisata c.q. Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata pada tahun 2014 melaksanakan dekonsentrasi dan tugas pembantuan dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan kepariwisataan nasional seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tentang Rencana Strategis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Tahun 2012-2014. Pelaksanaan asas dan dana dekonsentrasi serta tugas pembantuan dilaksanakan untuk peningkatan daya saing kepariwisataan Indonesia dengan sasaran utama adalah terciptanya diversifikasi destinasi pariwisata dengan indikator adalah jumlah lokasi daya tarik wisata di DPN yang dikembangkan menjadi destinasi pariwisata dimana fokus pengembangan untuk tahun 2014 difokuskan di 16 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Kegiatan ini dilakukan untuk meningkatkan peran serta pemerintah dalam rangka fasilitasi dukungan pengembangan daya tarik wisata melalui dukungan kegiatan pengembangan daya tarik wisata yang bersifat fisik dan non fisik. Hasil analisis menunjukkan bahwa Kementerian Pariwisata sebagai institusi yang memberikan bantuan untuk pengembangan daya tarik wisata belum memiliki konsep daya tarik wisata (DTW) yang baku, sehingga masih banyak kendala dalam pemberian dana. Selain itu pemerintah provinsi sebagai wakil dari pemerintah pusat belum memiliki data yang akurat mengenai potensi daya tarik wisata yang berada di kawasannya. Ini disebabkan karena pemerintah kabupaten/kota tidak melaporkan potensi yang dimiliki ke pemerintah provinsi. Masalah koordinasi antara pemerintah
SIMPULAN Dalam rangka pembangunan daerah, semua sektor mengalami percepatan pembangunan termasuk sektor pariwisata. Sebagaimana diamanatkan oleh UndangUndang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada pasal 20 ayat (2) menyatakan perlunya peran pemerintah pusat dalam memberikan bantuan. Untuk mengatasi pemasalahan yang dihadapi dalam pengembangan daya tarik wisata, Kementerian Pariwisata memberikan dukungan pendanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Arah kebijakan dan strategi yang terkait dengan pengembangan daya tarik wisata melalui dekonsentrasi dan tugas pengembangan (dekon dan TP) ke daerah adalah pengembangan daya tarik wisata dengan melakukan peningkatan kualitas dan kuantitas penataan daya tarik pariwisata melalui revitalisasi daya tarik wisata, pemeliharaan daya tarik wisata, perintisan daya tarik wisata, pembangunan daya tarik wisata, dan fasilitasi/pendukungan koordinasi pengembangan daya tarik 233
Yustisia Kristiana, & Lintang Ayu Nugrahaning Tyas Peningkatan peran peemrintah pusat dalam kegiatan dekonsentrasi
pusat, provinsi dan kabupaten/kota masih menjadi isu dalam implementasi bantuan. Kurangnya koordinasi ini mengakibatkan ketidaksesuaian antara dana yang diberikan untuk pembangunan fisik tugas pembantuan oleh pemerintah pusat dengan yang dibangun oleh pemerintah daerah. DAFTAR PUSTAKA Biederman, P. S., Lai, J., Laitamaki, J. M., Messerli, H. R., Nyheim, P. D., & Plog, S. C. (2007). Travel and Tourism: An Industry Primer. Pearson Education, Inc.Upper Saddle River, NJ. Bungin, B.(2011). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Kencana. Edgell, D. L., Allen, M. D., Smith, G & Swanson, J. R. (2011). Tourism Policy and Planning: Yesterday, Today and Tomorrow. New York: Routledge. Goeldner, C. R., & Ritchie, J. R. (2008). Tourism: Principles, Practices, Philosophies. (11th Edition). New Jersey: John Wiley. Gunawan, M., & Lubis, S. (2010). Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Proyek Agenda 21 Sektoral dan UNDP. Agenda 21 Sektoral: Agenda Pariwisata untuk Pengembangan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan. Proyek Agenda 21 Sektoral, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP. Jakarta: Tanpa penerbit. Gunn, C.A., & Var, T.(2002). Tourism Planning: Basics, Concepts, Case. 4th ed. New York: Routledge. Holloway, C., & Taylor, N. (1998). The Business of Tourism. 7th ed. England: Prentice Hall. Lane, B. (1994). Sustainable Rural Tourism Strategies: A Tool for Development and Conservation. In Rural Tourism and Sustainable
Rural Development, B. Bramwell and B. Lane, eds., pp. 102–111. Clevedon.:Channel View. Moleong, L.J. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Bandung:Rosdakarya. Nazir, M. (2009). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 – 2025. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 Tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Renstra Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia 2010-2014. Sekaran, U. & Bougie, R. (2010). Research Methods for Business: A skill-Building Approach. 5th ed. UK.: John Wiley and Sons. Sharpley, R. (2000). Tourism and Sustainable Development: Exploring the Theoretical Divide. Journal of Sustainable Tourism, VIII (1), pp. 1-19. Spillane, J.J.(1994). Pariwisata Indonesia, Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Yogyakarta:Kanisius. Stabler, M., & Goodal, B. (1996). Environmental Auditing in Planning for Sustainable Island Tourism. In L. Briguglio et al. (eds) Sustainable Tourism in Islands and Small States: Issues and Policies, pp. 170–196. London: Pinter. Undang-Undang Republik Indonesia 2009, No. 10 Tentang Kepariwisataan. Undang-Undang Republik Indonesia 2009, No. 32Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Republik Indonesia 2004, No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. World Tourism Organization. (2007). A Practical Guide to Tourism Destination Management.
BARISTA, Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
kesempatan kepada kami untuk melakukan penelitian. Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada redaksi Jurnal Barista yang telah mereviu dan memublikasikan artikel ini.
UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Pariwisata, Sekolah Tinggi Pariwisata Pelita Harapandan Universitas Pelita Harapan karena telah memberikan
235