LBPPR UMUM
BABAK PENYISIHAN
W.S. Rendra Lagu Seorang Gerilya (untuk putraku: Isaias Sadewa) Engkau, melayang jauh, kekasihku. Engkau mandi cahaya matahari. Aku di sini memandangmu, Menyandang senapan, berbendera pusaka. Di antara pohon-pohon di kampung kita yang berdebu, engkau terkudung selendang katun di kepalamu. Engkau menjadi suatu keindahan, sementara dari jauh resimen tank penindas terdengar menderu. Malam bermandi cahaya matahari, Kehijauan meliputi medan perang yang membara. Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku, Engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu Peluruku habis Dan darah memuncrat dari dadaku Maka di saat seperti itu Kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan Bersama kakek-kakekku yang telah gugur. Di dalam berjuang membela rakyat jelata. Jakarta, 2 September 1997 (WS Rendra. 2013. POTRET PEMBANGUNAN DALAM PUISI. Bandung: PT Pustaka Jaya)
W.S. Rendra Ya, Bapa Malam begini ia datang: itu, dosa itu, merasuki dada, Pecah semua. Pecah semua. Wajah Bapa di pigura, jantung dengan mahkota duri, lambung yang terbedah, darah kasih yang merah. Pecah semua. Pecah semua. Bapa! Cium keningku hitam, tumpangkan satu tangan kerna aku harus bangun lagi, sendiri dan tatapkan mata. Atau beri aku peti mati, mahakurban, baptis darah. Biar sudah tuntas semua. Tapi seandai Kau beri juga burung pagi di jendela Kukata juga: mau Bapa, punya Bapa. Lalu kupaksa tautkan urat-urat daging pada tulang. Lalu cium keningku hitam, tumpangkan satu tangan. Bapa. Kerna besok harus bangun lagi, sendiri dan buka mata. (WS Rendra. 2013. Sajak-sajak Sepatu Tua. Bandung: PT Pustaka Jaya)
W.S Rendra Kesaksian Tahun 1967 Dunia yang akan kita bina adalah dunia baja kaca dan tambang-tambang yang menderu. Bumi bakal tidak lagi perawan, tergarap dan terbuka sebagai lonte yang merdeka. Mimpi yang kita kejar, mimpi platina berkilatan. Dunia yang kita injak, dunia kemelaratan. Keadaan yang menyekap kita, rahang serigala yang menganga. Nasib kita melayang seperti awan, Menantang dan menertawakan kita, menjadi kabut dalam tidur malam, menjadi surya dalam kerja siangnya. Kita akan mati dalam teka-teki nasib ini dengan tangan-tangan yang angkuh dan terkepal Tangan-tangan yang memberontak dan bekerja. Tangan-tangan yang mengoyak sampul keramat Dan membuka lipatan surat suci yang tulisannya ruwet tak bisa dibaca. (W.S. Rendra. 2013. BLUES UNTUK BONNIE. Bandung: PT Pustaka Jaya)
W.S. Rendra Syair Mata Bayi Aku merindukan mata bayi setelah aku dikhianati mata durjana. Aku merindukan matahari karena aku dikerumuni mata gelap. Aku merindukan mata angin Karena aku disekap oleh mata merah saga. Wahai, mata pisau! Mata pisau di mana-mana. Mata batin! Mata batin! Hadirlah kamu! Hadirlah kamu di saat yang rawan ini. Wahai, mata batin! Kedalaman yang tak terkira. Keluasan yang tak terduga. Harapan di tengah gebalau ancaman. Cipayung Jaya, 6 November 1998 (W.S. Rendra. 2013. Doa Untuk Anak Cucu. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka)
W.S Rendra Kangen Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku menghadapi kemerdekaan tanpa cinta kau tak akan mengerti segala lukaku kerna luka telah sembunyikan pisaunya. Membayangkan wajahmu adalah siksa. Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan. Engkau telah menjadi racun bagi darahku. Apabila aku dalam kangen dan sepi itulah berarti aku tungku tanpa api. (W.S Rendra. 2003. EMPAT KUMPULAN SAJAK. Bandung: PT Pustaka Jaya)
Beni R. Budiman Guernica *) Runtuhan puing itu selalu bercerita di matamu Juga bercak hitam sisa kobaran api yang geram Bertahun air mata pun tak kuasa memupus jejak Dan hujan malah membekukan luka yang mengerak Dan bekas sayatan pisau di lengan seperti potret Perang saudara di tenggara. Dan nikotin di kukumu Yang coklat menyiratkan gumpal asap yang mengerat Dari tanganmu dunia mendendangkan pesona keranda Dan lengking nyanyianmu mengingatkan pada ringkik Kuda yang tertembak. Jerit huru-hara di pusat kota Lalu teriakanmu ibarat bunyi serak gerobak ditabrak Irama dari hari-hari yang terus mematri rasa nyeri Dan wajahmu menggambarkan warna desa yang merana Menuliskan rintihan lapar yang tak putus menampar Semua melangkah tanpa penunjuk jalan pada alismu Di bibir merahmu gelisah itu redam dan bunuh diri 1998-1998 *) Diambil dari judul lukisan Pablo Picasso (Tangan Besi, Forum Sastra Bandung: 2005)
Kriapur Bumi Murung Segenap juang memiskinkan belantara bangsa, katamu di tengah palu mimpi pecah dan rasa membuat jalan dari tanah airku burung –burung pindahan menyerbu sunyi gereja tapi pasar membakar gaduh di pucuk kemenangan lumpuh aku memaksa kegembiraan bertarung melawan malam yang panjang bulan memacu jerit gerimis memulas fajar yang lain kini kutahu sepotong roti terapung-apung di sungai darah pengabdian tebing telah hapus, begitu juga suara jarak yang lampau tinggal sajak yang banyak membuat salju kerangka negeriku perkampungan kelabu
Solo, 1987 (Tiang Hitam Belukar Malam, Forum Sastra Bandung: 1996)
Goenawan Mohamad Permintaan Seorang yang Tersekap di Nanking, Selama Lima Tahun Itu Buat Agam Wispi
Tuhanku, komandanku, Engkau, siapapun Engkau, pergilah dari Nanking
di luar kamar malam hanya menghafal lolong langit anjing –
pergilah dari kamp, dari kamp, pergilah dari harap yang tersisa seperti sekam,
berangkatlah dari kawat duri yang sabar, dari Revolusi, dari percobaan sebesar ini
Tuhanku, siapapun Engkau, pergilah dari Nanking,
tinggalkan setasiun ke salju dan danau, cantumkan cahaya Baikal di malam yang sebentar, dan sematkan sekilas bulan yang runcing Seperti leontin
Sampai pada lanskap ini tak ada lagi yang baka, tak ada yang beku sebeku titahMu, mungkin sebeku namaMu.
Tuhanku, siapapun Engkau, pergilah dari Nanking. (tujuh puluh puisi, TEMPO dan PT GRAFITI: 2011)
Yopi Setia Umbara Seperti Kesunyian : El Gabo
seperti kesunyian menjelma macondo yang malang roh jahat dan bayang ketakutan menyerupai ujung bedil mengarah pada kepala kerdil
bumi adalah anak yatim terus diserbu pengungsi dengan perut lapar tanpa harapan tank-tank pembunuh bagai badai mengintai bangsa manusia
bocah yang tak mengerti kenapa dunia diciptakan dari jutaan selongsong peluru tak pernah bisa bertanya selain mengisap ingusnya sendiri (2014)
(Mengukur Jalan Mengulur Waktu,Gambang Buku Budaya, 2015)
Chairil Anwar Cintaku Jauh di Pulau Cintaku jauh di pulau, gadis manis, sekarang iseng sendiri. Perahu melancar, bulan memancar, di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar. angin membantu, laut terang, tapi terasa aku tidak ‘kan sampai padanya. Di air tenang, di angin mendayu, di perasaan penghabisan segala melaju Ajal bertakhta, sambil berkata: “Tunjukan perahu ke pangkuanku saja.” Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh! Perahu yang bersama ‘kan merapuh! Mengapa Ajal memanggil dulu Sebelun sempat berpeluk dengan cintaku?! Manisku jauh di pulau, kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
1946 (Aku Ini Binatang Jalang,PT Gramedia Pustaka Utama,2011)
Dorothea Rosa Herliany Cincin Kawin telah terlanjur kupenggal sebagian gambar kepalamu. wajahmu tetap berlumut. tak bisa kujilat sajaksajak yang menetes dari lelehan darah itu. dan ketika tumbuh bunga yang aneh, seperti ada yang memijarkan sejarah kemanusiaan kita yang tak pernah utuh. siapa yang membiarkan bungabunga itu tumbuh? tangan gelap telah menyebarkan racun yang menyuburkannya. dan matahari, tak selalu bijak menatapnya. jadi, biarlah kita merimbun bagai taman dengan recunracun itu. aku hanya rumput yang tak bakal dipetik, menunggu sendiri waktu menua.
1987 (Para Pembunuh Waktu,Bentang Budaya, 2002)
Sapardi Djoko Damono Atas Kemerdekaan
Kita berkata: jadilah Dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut Di atasnya: langit dan badai tak henti-henti Di tepinya: cakrawala
Terjerat juga akhirnya Kita. Kemudian adalah sibuk Mengusut rahasia angka-angka Sebelum hari yang ketujuh tiba
Sebelum kita ciptakan pula Firdaus Dari segenap mimpi kita Sementara seekor ular melilit pohon itu: Inilah kemerdekaan itu, nikmatilah
(DukaMu Abadi,Editum:2012)
Frans Nadjira Sajak Cinta Malam Paskah
…sarungkanlah pedangmu kembali karena semua orang yang main pedang akan mati dengan pedang. Ini saja cinta pengantinMu. Sentuh tanganku Bimbing aku ke sumsum matahari biar jelas beda warna langit dan warna tanah darah perpisahan. Terjaga aku menyaksikan ciuman dingin itu. MelihatMu melintas di kamar berbau damar dan amis kuningan. Setengah ciuman lidah pahit menelan ludah api menelan ranting berduri Menyaksikan gelombang hawa panas menyeretMu kemudian meninggalkanMu dengan langit menganga di atasMu dengan jubah bersulam angin dan bunga-bunga cuka yang terluka punggungnya. Jemput sukmaku kita ke sumsum matahari biar jelas nyeri gurun pembuangan kita. ……………………………………………………………. (Jendela Jadikan Sajak,Padma:2003)
Acep Zamzam Noor CIPASUNG
Di lengkung alis matamu sawah-sawah menguning Seperti rambutku padi-padi semakin merundukan diri Dengan ketam kupanen terus kesabaran hatimu Cangkulku iman dan sajadahku lumpur yang kental Langit yang menguji ibadahku meneteskan cahaya redup Dan surauku terbakar kesunyian yang dinyalakan rindu Aku semakin mendekat pada kepunahan yang disimpan bumi Pada lahan-lahan kepedihan masih kutanam bijian hari Segala tumbuhan dan pohonan membuahkan pahala segar Bagi pagar-pagar bambu yang dibangun keimananku Mendekatlah padaku dan dengarkan kasidah ikan-ikan Kini hatiku kolam yang menyimpan kemurnianmu Hari esok adalah perjalananku sebagai petani Membuka ladang-ladang amal dalam belantara yang pekat Pahamilah jalan ketiadaan yang semakin ada ini Dunia telah lama kutimbang dan berulang kuhancurkan Tanpa ketam masih ingin kupanen kesabaranmu yang lain Atas sajadah lumpur aku tersungkur dan terkubur 1989 (Jalan Menuju Rumahmu, Grasindo: 2004)
Asrul Sani Pengungsi
Tuhan: aku telah lihat bagaimana kebesaran lari dari lidah api. Sebagai suatu cahaya tenggelam. dalam ngangaan malam. Pacukanlah lebih lekas ini angin musim kemarau, Supaya pengungsiku tiada lagi menderita. Pengungsi dari kasih dan kebenaran.
Janganlah kenang, mereka hanya bisa angkat takbir, berdoa dan puasa bulan Ramadhan. Karena mereka manusia lengang, Siapa lengang, Akan berdoa karena lengang.
Biarlah aku cintai mereka sebagai kenangan kenangan tangis kenangan melur Kami telah pilih bencana sebagai kerja, dan ini hanya berakhir dengan rana, Tutuplah segala rana, berlupalah segala rana, Dan selamatkan pengungsiku pulang ke istana Pebruari ‘49 (Mantera, Budjaja Djaja: 1975)
BABAK FINAL
W.S Rendra Doa Orang Lapar Kelaparan adalah burung gagak yang licik dan hitam. Jutaan burung-burung gagak bagai awan yang hitam. O Allah! Burung gagak menakutkan. Dan kelaparan adalah burung gagak. Selalu menakutkan. Kelaparan adalah pemberontakan. Adalah penggerak gaib dari pisau-pisau pembunuhan yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin. Kelaparan adalah batu-batu karang di bawah wajah laut yang tidur. Adalah mata air penipuan. Adalah pengkhianat kehormatan. Seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu. melihat bagaimana tangannya sendiri meletakkan kehormatannya di tanah karena kelaparan. Kelaparan adalah iblis. Kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran. O Allah! Kelaparan adalah tangan-tangan hitam yang memasukkan segenggam tawas ke dalam perut para miskin. O Allah! Kami berlutut. Mata kami adalah mata-Mu. Ini juga mulut-Mu. Ini juga hati-Mu. Dan ini juga perut-Mu. Perut-Mu lapar, ya Allah.
Perut-Mu menggenggam tawas dan pecahan-pecahan gelas kaca. O Allah! Betapa indahnya sepiring nasi panas, semangkuk sop dan segelas kopi hitam. O Allah! Kelaparan adalah burung gagak. Jutaan burung gagak bagai awan yang hitam menghalang pandangku ke sorga-Mu! (W.S. Rendra. 2013. Sajak-sajak Sepatu Tua. Bandung: PT Pustaka Jaya)
W.S Rendra Tangis Ke mana larinya anak tercinta yang diburu segenap penduduk kota? Paman Doblang! Paman Doblang! Ia lari membawa dosa tangannya dilumuri cemar noda tangisnya menyusupi belukar di rimba. Sejak semalam orang kota menembaki dengan dendam tuntutan mati dan ia lari membawa diri. Seluruh subuh, seluruh pagi. Paman Doblang! Paman Doblang! Ke mana larinya anak tercinta di padang lalang mana di bukit kapur mana mengapa tak lari di rimba bunda? Paman Doblang! Paman Doblang! Pesankan padanya dengan angin kemarau ibunya yang tua menunggu di dangau. Kalau lebar nganga lukanya mulut bunda ‘kan mengucupnya. Kalau kotor warna jiwanya ibu cuci di lubuk hati. Cuma ibu yang bisa mengerti ia membunuh tak dengan hati. Kalau memang hauskan darah manusia suruhlah minum darah ibunya.
Paman Doblang! Paman Doblang! Katakan, ibunya selalu berdoa. Kalau ia ’kan mati jauh di rimba suruh ingat marhum bapanya yang di sorga, di imannya. Dan di dangau ini ibunya menanti dengan rambut putih dan debar hati. Paman Doblang! Paman Doblang! Kalau di rimba rembulan pudar duka katakan, itulah wajah ibunya. (W.S. Rendra. 1983. Balada Orang-orang Tercinta. Jakarta: Gramedia)