j
Antologi Puisi
Potret Hitam Putih Darwin Badaruddin
j
Antologi Puisi POTRET HITAM – PUTIH Darwin Badaruddin Sadasiva, Yogyakarta Cetakan Pertama, Februari 2011 Copyright © 2011 by Darwin Badaruddin Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved Pengantar Yudhistira Sukatanya Desain Sampul & Layout Wahyudi Muslimin Penerbit Sadasiva, Yogyakarta Jl. Taman Siswa Gg. Permadi No. 1591 Nyutran MG II Yogyakarta 55151 Surat-e:
[email protected] Perpusataan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT) Badaruddin, Darwin Antologi Puisi Potret Hitam Putih, Cet. 1. Yogyakarta Sadasiva, 2011, 91 Hlm; 21 cm
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
v
Pengantar
Air Mata Air Telah Mengalir ke Muara
Tiga respons atas penerbitan buku puisi “ Potret Hitam Putih” Darwin Badarudin “Kupersembahkan kepada Ibu, Ayah, Istri, anak-anakku, tanah airku, sahabat-sahabatku, masa laluku, masa depanku, dan kepada diriku sendiri.”
SATU BICARA riwayat Puisi bisa juga dengan menghayati riwayat air. Lahir dari mata air, jernih, gurih, indah. Kemudian bulir-bulir air bertemu cahaya, warna, rasa. Lalu menyusur tanah, terus mengalir di batang dan reranting sungai, menyentuh benda-benda, riwayat, waktu, bercampur aroma, menyatu merekam ragam nuansa, merekam liat pengalaman, terus menuju muara, menemui riak-riak ombak yang bergelombang datang. Tapi perjalanan itu belum lagi akhir. Di muara air bertemu asinnya aneka kehidupan, jazad renik, karang, renang ikan, plankton, rumput laut. Kemudian air menyandang rasa baru. Mengecapnya pada sedikit takar bisa beroleh aneka rasa, irupan aroma. Jika meneguknya tergesa-gesa, terlebih dalam jumlah tak tertakar dapat mencekik kerongkongan. Menelannya pun memang perlu cara tersendiri. Proses. Sabar, | Darwin Badaruddin
vi
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
cermat, mereka-reka, menghayati segala unsur dikandungan air itu. Setelah menikmati rasa dan aroma, pada riak air siapa pun bisa berkaca, mematut-matut, mereguk nikmat telan apa yang disuka, atau segera memuntahkan sesuatu yang mengganggu kenikmatan pencernaannya. Perjalanan itu belum lagi akhir. Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata cipta dari benak penyair, kata jadi kalimat setelah bertaut. Kalimat bisa menyandang riwayat, kisah benda-benda, sapihan saripati rasa manusia, rumus golak pikir, matematika waktu. Kemudian bergelut, berpadu lagi, menyatu jadi larik langgam rangkai kalimat, potret aneka pengalaman, peristiwa, renungan yang mengalir lalui tatah jemari, menelusuri lorong-lorong penciptaan, menembus halang rintang berliku. Selanjutnya dirancang maujud di celahcelah kemungkinan. Adalah rangkaian bait, batang tubuh kuplet, menampilkan sosok jepret potret pilihan. Tapi itu pun tentu belum lagi akhir. Di muara penciptaan Puisi, kumpulannya akan terbit, bertemu ombak aneka apresiasi. Orang-orang awam, akademisi, praktisi sastra. Gelombang timbang para kritisi. Masing-masing mematutmatut dari berbagai sisi, membanding dengan cara dan sudut telaah sendiri. Adalah kesan, adalah rasa, adalah paham, adalah ukuran, adalah penghayatan dalam endapan kontemplasi di aneka kadar. Tapi juga belum lagi akhir. Akan selalu ada pengingkaran atas status berakhir yang berhakiki selesai. Selalu ada metamorfosa imajinasi, janin lain, kelahiran baru. Ada kehadiran berbeda dalam bentuk aneka cipta. Itulah rekayasa alami, impian, harapan. Selalu hadir lagi, bertunas lagi, berkembang lagi di ladang-ladang penciptaan yang maha multi dimensi.
| Darwin Badaruddin
vii
DUA Adalah antologi puisi “ Potret Hitam Putih” (PHP) karya Darwin Badarudin. Puisi-puisi hadir dan mengalir dari hulu ke hilir. Terbit dan menjelang muaranya di ranah gelombang sambutan pembaca. Antologi PHP menayang sejumlah puisi, ragam tema, disajikan dalam elegi, religi, soliloqui juga kritik sosial. Inilah sejumlah perasan dari pencermatan penyair atas situasi yang bergerak disekelilingnya dalam kurun waktu melewati beberapa dasa warsa 1978 - 2010. Rekam jejak itu menyematkan penanda bagi pembaca, tentang apaapa yang penyair anggap perlu berbagi. Menyimak judul kumpulan puisi “Potret Hitam Putih” sepertinya penyair telah dengan siaga, sengaja menggiring pembacanya untuk menyimak sejumlah potret masa ke masa. Memilih kata potret bukannya foto, tentu pilihan yang telah digodok dalam kawah intelektualitas penyairnya. Tentunya, Hitam putih juga adalah sedikit pilihan atas nilai juga makna yang dijajakan. Rekaman kesadaran atas peristiwa yang dilihat, dialami, direnungi, kemudian berkontemplasi di rahim penciptaan untuk kelahiran senarai puisi. Di segmen elegy, simaklah bagian ini: .......................................... Ke manakah denting kecapi yang mengiringi nyanyian anak-anak nelayan, ketika ombak masih setia memainkan buih, ketika tangan dan wajah kita masih terbasuh cinta kasih, ketika persatuan belum dibumihanguskan, ketika sajak-sajak masih punya aksara, ketika anak-anak kita belajar tentang budi pekerti, ketika mahasiswa sibuk di ruang praktikum, ketika wajah kita belum pucat pasi ; kita telah kehilangan.
| Darwin Badaruddin
viii
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Dengan apa harus menyembuhkan jiwa raga yang terkoyak, oleh perang saudara dan ledakan bom, sementara sukma kita dibubuhi racun dan benih-benih kematian.
dengan sandeq aku mengenalmu di antara cericit burung laut, dengan sandeq aku kirimkan mantra-mantra cinta, kutitip lewat syair badai teluk mandar, dan menyimpannya di setiap butir pasir. dengan sandeq aku melamarmu menjadi darah daging dan belahan jantungku, negeri kita kujadikan mahar tak ternilai hingga ke tepi zaman.
Satu saja yang tersisa hari ini ; Kita telah kehilangan. ( puisi ; Kita Telah Kehilangan ) Dalam puisi KITA TELAH KEHILANGAN ini, pembaca dimanjakan dengan lirik prosais. Penyairnya tidak genit menyembunyikan ungkapan dengan menggunakan metafora pelik. Hadirnya seperti pencerita lisan, langsung menjamu jantung persoalan. Suara anak bangsa yang meradang. Meski sederhana, bersahaja, kita tidak lalu jadi kehilangan matra keindahan dalam sastra. Demikian pula pada TOBATKU DI ATAS TOBA : Tabuhan taganing*) melengking mengiringi gerak gemulai patung kayu si Gale-gale**), lalu seutas tali mengikat kita dalam gerak tanpa kemudi, tanpa batas, karena maut dan kehidupan tengah bersanding dalam dingin Samosir Parapat, 2001 Seseorang dihadapan budaya Batak, coba membuka dialog budaya. Disisi lain sebenarnya penyair kita ini berasal dari lingkungan alam dan masyarakat yang maha kaya. Potensi budaya yang kuat. “Mandar”. Suku bangsa yang punya karakter khas putra laut. Orang-orang yang sejak kecil diajari mengenali tantangan laut, segala belai kemanjaan sekaligus garang keganasannya. Simaklah ungkapan lirik SKETSA SANDEQ
| Darwin Badaruddin
ix
dengan sandeq aku teteskan cinta ke dalam rahim sukmamu yang kelak akan melahirkan anak-anak laut yang candanya pecah di hempasan ombak dengan sandeq kelak aku akan mengajakmu pulang ke rumah tuhan Polewali, 2 Agustus 2010 *)
Sandeq adalah sejenis perahu tradisional masyarakat Mandar yang sangat tangguh mengarungi lautan dan menjadi andalan para pelaut.
Sebuah potret melankolia yang mendebarkan dari Tanah Mandar. Alas cinta sekaligus tantangan untuk anak-anak laut yang kuat, berani menyongsong hadang kehidupan....... dengan sandeq kelak aku akan mengajakmu pulang ke rumah tuhan sungguh suatu keteguhan dalam pernyataan yang giris tapi manis. Ditangan penyair kegarangan jadi melodi syair yang indah. Ungkapan senada terbaca pada DI MAMASA KUTEMUKAN SATU DETIK Dalam dingin yang menghujam, aku telah kehilangan sujud-sujudku, tengadah memandang langit-langit hampa, menembus detik, dan lagi aku kehilangan zikir
| Darwin Badaruddin
x
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
pertanyaan , mengapa hanya beberapa yang diusung dalam antologi puisi PHP ini.
Pagi, kueja salam, begitu hambar, dalam lafal yang beku, hanyut di antara batuan dan gemuruh, lalu, kucoba menangis, tapi di mataku ada kemarau, kering, meranggas.
Coba, geledah lagi puisi yang ini ATAS NAMA NYANYIAN tanpa menemukenali Mak Cammana, akan mempersulit menyelami kedalaman maknanya. Kesetiaan pada pilihan.
Mamasa 2004 *)
xi
Mamasa adalah suatu perkampungan di wilayah Mandar, bertempat di ketinggian pegunungan yang sulit diakses orang luar. Hawanya dingin menyengat dapat menyesakkan dada.
Penggambaran suasana religiusitas yang kental. Bentuk pengakuan kepapaan ini jangan disalah tafsir. Kehilangan sujudsujudku, kehilangan zikir dikebekuan suhu udara, tentu adalah peristiwa berat yang sangat mungkin terjadi, apalagi terhadap insan yang lemah iman. Tetapi bila mencoba mengatasinya sungguh upaya yang luar biasa. Tentu bukan semata sekedar penanda tentang insan yang kehilangan keimanan melainkan penegas kesadaran betapa papanya pun manusia ketika kekeringan iman mendera jiwa raganya, ia tetap harus bisa berusaha bangkit meski untuk melafal sepatah salam. Tanpa mengenali kegarangan alam Mamasa di wilayah ketinggian, kampung sulit dikunjungi, yang mesti ditaklukkan dengan kekuatan jiwa dan raga, tentulah sulit memahami kedalaman makna puisi ini. Tetapi dengan menemukenali Mamasa akan menjadi gambaran sempurna memahami lirik menyentuh ini. Sebuah pencapaian estetik panyairnya yang mempertautkan renungan dengan lingkungan sekitarnya. Potensi lingkungan seperti ini, sesungguhnya begitu mempesona, akhirnya mencuatkan
| Darwin Badaruddin
ATAS NAMA NYANYIAN atas nama nyanyian, ada yang datang berkali-kali membawa dukanya duka bulan yang kesepian bertahun-tahun melukis bayangnya sendiri di pasir sambil menunggu perahu yang telah membawa kekasihnya entah ke mana atas nama nyanyian, ada yang tak pernah datang tapi rindunya melekat di dinding-dinding waktu menghitung purnama di atas bukit dekat rumahmu. atas nama nyanyian, ada yang akan datang menemuimu membawa rebana tua yang bakal menemani tidurmu menyeruak dari belukar zaman yang terhampar luas membawa cahayanya yang menerangi hening di gunung, di hulu, di sungai, di batu, di muara, di laut, di ombak, di pohon, di daun, di sujud, di puncak hening, | Darwin Badaruddin
xii
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
xiii
lengking suaramu, getarkan rindu, berabad-abad. (kepada bunda Cammana*) *)
Bunda Cammanaq adalah penabuh rebana perempuan dari Limboro, Polewali Mandar yang pada tahun 2010 telah ditetapkan sebagai Maestero seni tradisional rebana oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia Polewali, 2010
Daftar Isi
TIGA Ungkapan-ungkapan bernuansa lokalitas sesungguhnya adalah potensi luar biasa yang masih terasa minim hadir dalam antologi puisi PHP ini. Patut disayangkan, sebab lirik-lirik yang bernuansa dan berjiwa lokal adalah suatu pembeda dengan lainnya. Kekhasan lokal yang hanya bisa disanding tak bisa dibanding dengan yang lain. Kekayaan lokal selalu menjadi ladang petualangan yang menantang bagi pembaca sastra untuk lebih mengenali kekayaan budaya suatu suku bangsa. Mengenali keragaman manusia. Eksplorasi ke khasan lokal ibaratnya mengasah berlian tinggal menunggu kilapnya. Akhirnya antologi puisi PHP ini sudah ada di muara, dimana pembaca akan bergelombang mengapresiasinya. Asam, garam, pahit manis, hitam, putih adalah citra yang ditawarkan dari balik bingkai hasil jepretan potret masa lalu sang penyair. Ia sudah berbagi, silahkan menerima sebagaimana adanya. *)
Yudhistira Sukatanya, lahir di Bandung, 17 Desember. Pendiri Sanggar Merah Putih Makassar, pernah jadi Sekretaris BKKNI Sulsel, Dewan Kesenian Sulsel, Dewan Kesenian Makassar, kini mengabdi di LPP RRI.
| Darwin Badaruddin
Halaman Judul ...............................................................ii Halaman Persembahan ................................................iii
Pengantar Air Mata Air Telah Mengalir ke Muara ........................................... v Daftar Isi ................................................................... xiii Puisi-Puisi Darwin Badaruddin SUNYI ...........................................................................................17 RAHASIA .....................................................................................18 DI BAWAH BULAN ..................................................................19 DI DALAM BUS .........................................................................19 DI GETAR NAFAS ....................................................................19 TOBATKU DI ATAS TOBA ...................................................20 DI ATAS BUKIT GUNDALING ...........................................21 KITA TELAH KEHILANGAN .............................................22 DALAM DIAM STUPA BOROBUDUR .............................24 SKETSA PARANG TRITIS ...................................................25 ( Episode 1 ) | Darwin Badaruddin
xiv
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
xv
SKETSA PARANG TRITIS ...................................................26 ( Episode 2 ) JAKARTA .....................................................................................27 BIARKAN ZIKIRKU ................................................................28 PERJALANAN OMBAK ..........................................................29
DOSA .............................................................................................50 DOA PENYAIR KAMPUNG..................................................51 DOA SEORANG PELACUR...................................................52 ALIF ..............................................................................................54 PUISI CINTA .............................................................................55
SKETSA PARANG TRITIS ...................................................30 ( Episode 3 )
PESTA MALAM BERSAMA FIR’AUN ..........................56 ATAS NAMA NYANYIAN .....................................................57
MALIOBORO ..............................................................................31
(kepada bunda Cammana
MIMPI ...........................................................................................32 KAREBOSI ...................................................................................33
SAJAK PENDEK BUAT KIKIM KOMALASARI .............59 BULAN RINDU .........................................................................60
MAUT............................................................................................34 KIAMAT ......................................................................................35 ANTARA BUKIT SAFA DAN MARWAH .........................36 GURUKU BERNAMA WULAN ..........................................37 DI MAMASA KUTEMUKAN SATU DETIK ..................38 SAMUDERA ...............................................................................39 DI TERMINAL KEBERANGKATAN ................................40 32.000 KAKI DI ATAS MASALEMBO ..............................41 PRASASTI....................................................................................42 LANGIT ........................................................................................43 BOUGENVILLE.........................................................................44 BERI KAMI SEKOLAH ...........................................................45 PEREMPUAN ITU MENEMUI TUHANNYA ......................................................46 (Catatan harian seorang anak)
KUN FAYAKUUN .....................................................................61 BATU .............................................................................................63
Apresiasi Puisi Di antara Harapan dan Kecemasan ........................................66 Drs. Subriadi Bakri Sebuah Interpretasi .....................................................................76 Ety Sabaryati D. Palontjongi Sisi Lain Darwin Badaruddin ...................................................79 H. Mahyuddin Ibrahim Potret Hitam-Putih Kehidupan................................................81 Halimah Melawat ke Titik Singgah, Memasuki Ceruk Personal .....85 Muhammad Syariat Tajuddin
MI’RAJ .........................................................................................48 SKETSA SANDEQ ..................................................................49 | Darwin Badaruddin
| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
j Puisi-Puisi Darwin Badaruddin
j
SUNYI Duduk aku sendiri, Di bawah langit-Mu aku kembara , Menghitung dedaunan kering yang luruh di tiap rimbaraya, Menghitung bebatuan di padang pasir, menghitung nafas, tak berbatas.
Polewali, 1978
| Darwin Badaruddin
17
18
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
DI BAWAH BULAN DI DALAM BUS DI GETAR NAFAS RAHASIA
Cuma satu yang tersisa dari sebuah peristiwa, kehidupan, Cuma satu yang tersisa dari sebuah kehidupan, rahasia
Polewali, 1980
Dan terminal pun tertinggal jauh, bulan menapaki langit kelam, angin terbang dari keterasingan menebarkan gerimis, dan kita mereguknya. Di bawah bulan, di dalam bus, di getar nafas, aku menyelam ke dasar sukmamu, lalu engkau terbenam dalam mimpi-mimpi yang tak pernah dapat kueja.
Polewali, 1984
| Darwin Badaruddin
| Darwin Badaruddin
19
20
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
DI ATAS BUKIT GUNDALING*) TOBATKU DI ATAS TOBA
Parapat, 2001
Mimpi panjang baru saja aku gelar di atas permadani hijau sengaja kutangkap bayang-Mu ketika pepohonan karet merangkai ruku’ dan sujud dalam ruang tanpa jarak dalam detik tanpa waktu dalam lelah tanpa keluh dalam jerit tanpa suara dalam tangis tanpa isak dalam dingin tanpa getar dalam sujud tanpa tasbih aku biarkan angin berlalu
*) Sejenis alat musik perkusi tradisonal di Sumatera Utara **) Patung kayu di Samosir yang bisa menari dengan menggerakkan tali
Berastagi, 2001
Tabuhan taganing*) melengking mengiringi gerak gemulai patung kayu si Gale-gale**), lalu seutas tali mengikat kita dalam gerak tanpa kemudi, tanpa batas, karena maut dan kehidupan tengah bersanding dalam dingin Samosir
*)nama bukit di Berastagi, Sumatera Utara
| Darwin Badaruddin
| Darwin Badaruddin
21
22
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Dengan apa harus menyembuhkan jiwa raga yang terkoyak, oleh perang saudara dan ledakan bom, sementara sukma kita dibubuhi racun dan benih-benih kematian.
KITA TELAH KEHILANGAN
Satu saja yang tersisa hari ini ; Kita telah kehilangan.
Satu saja yang tersisa hari ini, kita telah kehilangan. Kezaliman telah mencabik cakrawala, bulan pecah di atas ubun-ubun sedang darah dan nanah menjadi begitu nikmat tereguk hingga tetes terakhir ; kita telah kehilangan.
Polewali, 2 Nopember 2002
Dengan apa membangunkan tulang-belulang para patriot, yang dengan gagah perkasa mengoyak tirani, bukan memangsa daging saudara sendiri ; kita telah kehilangan. Ke manakah denting kecapi yang mengiringi nyanyian anak-anak nelayan, ketika ombak masih setia memainkan buih, ketika tangan dan wajah kita masih terbasuh cinta kasih, ketika persatuan belum dibumihanguskan, ketika sajak-sajak masih punya aksara, ketika anak-anak kita belajar tentang budi pekerti, ketika mahasiswa sibuk di ruang praktikum, ketika wajah kita belum pucat pasi ; kita telah kehilangan. | Darwin Badaruddin
| Darwin Badaruddin
23
24
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
SKETSA PARANG TRITIS ( Episode 1 )
DALAM DIAM STUPA BOROBUDUR Dalam diam arca, kubaca kesetiaan abadi meski terpanggang matahari kupersembahkan sesaji pertanyaan ; “Siapakah yang menyimpanmu di sini?” Dalam diam stupa, kusentuh jemarimu bersama sukma angin yang telah membawaku ke sini.
Di atas kanvas biru Pantai laut selatan, kutarik garis putih tegak lurus menembus cakrawala, dan menghempas di dinding-dinding karang, menebar bersama butiran pasir, hilang, entah ke mana. Kucari engkau, Wahai, garis putih yang lahir dari rahim sukmaku yang papa, dalam deru ombak yang terus menjulurkan maut, dalam hiruk pikuk canda ria, dalam desah nafas birahi percintaan, dalam kembara panjang yang meletihkan. Lalu, kutemukan engkau, dalam tembang, dalam kanvas yang terkoyak, dalam kesendirian, sepi.
Borobudur, 10 Juni 2003
Parang Tritis, 12 Juni 2003
| Darwin Badaruddin
| Darwin Badaruddin
25
26
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
SKETSA PARANG TRITIS ( Episode 2 ) Gerimis itu telah meneteskan warna-warni di setiap jengkal langkah, tak ada lagi yang tersisa ketika mataku nanar memandang sepasang kekasih melukis harapan di atas pasir. Saksikanlah; air mataku telah menjadi samudera bagi sampan-sampanmu yang bakal karam karena ombakku adalah kerinduan yang hampa, nafasku telah menjadi badai bagi rumah-rumahmu yang bakal porak-poranda karena hembusanku adalah kerinduan bagi sajak-sajak tanpa aksara.
JAKARTA
Beri aku sepiring nasi, dan kuberi engkau bintang yang telah kugantung di setiap sudut kamarku dan membawamu terbang mengitari ladang-ladang berbunga; dosa Jakarta, 16 Juni 2003
Parang Tritis, 12 Juni 2003
| Darwin Badaruddin
| Darwin Badaruddin
27
28
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
BIARKAN ZIKIRKU
PERJALANAN OMBAK
Biarkan zikirku mengembara bersama angin, menuju negeri tanpa tirai, menusuki dinding-dinding waktu, perjalanan panjang adalah anggur yang memabukkan di atas laut terpagar batas pandang Biarkan zikirku, menembus laut kelam, yang telah memadamkan lampu-lampu diskotik, segala terangkai, dalam getar sujudku yang melahirkan embun, menetes, kering, lenyap.
KM. Ciremai, 17 Juni 2003
Dari mana ombak menempuh perjalanan, pecah di buritan, menjilati sampan pelaut gagah berani, menuai hidup tanpa batas. Dari mana angin menempuh perjalanan, bertualang, hingga ke kaki langit yang telah kubuat dalam garis tipis. Bersama ombak, aku berangkat menjemputmu, dalam hingar bingar dermaga.
Tanjung Priuk, 17 Juni 2003
| Darwin Badaruddin
| Darwin Badaruddin
29
30
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
SKETSA PARANG TRITIS ( Episode 3 )
MALIOBORO
Entah, kali ini aku begitu rindu pada kesendirian memandangmu menyusuri pantai dan deru angin menerbangkan harapan.
Duduklah di sini, mengurai bayang kusut masa silam, menyimak nyanyian anak jalanan, dan izinkan kulukis danau bening di matamu.
Entah, berapa lama lagi aku menikmati kesendirian, ketika engkau berlalu, meninggalkan jejak di jantungku.
Duduklah di sini, kekasih para penyair, dan jangan pergi sebelum kutulis lagi satu puisi.
Yogyakarta, 8 Juli 2003
Parang Tritis, 7 Juli 2003
| Darwin Badaruddin
| Darwin Badaruddin
31
32
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
KAREBOSI
MIMPI
Menyaksikan kaki-kaki berdebu menerjang waktu, menembus kegelapan, meneteskan amarah di sudut jalan, sumpah serapah, lalu tertidur pulas, menikmati khianat dari sepotong pizza.
Gaun merahmu kusingkap, dan aku mengembara di atas padang pasir menebar kesenyapan dalam gelora badai, mengejar fatamorgana.
Jakarta, 12 Juli 2003 Makassar, 7 September 2003
| Darwin Badaruddin
| Darwin Badaruddin
33
34
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
KIAMAT Seorang kiyai memainkan tasbih menunggu iqomat ashar, air matanya jatuh di atas ubin putih, dingin. Air mata itu kemudian berubah menjadi danau yang menenggelamkan istri, anak, cucu dan buyutnya. Air mata itu jatuh lagi, dan membentuk danau, semakin banyak, semakin dalam.
MAUT Kepada siapa biduk kita tambatkan Karena malam telah membenamkan sajak para penyair Jalan panjang, Berliku, Luka, Tak juga sembuh.
Tak terhitung lagi berapa banyak danau yang menenggelamkan orang-orang yang dicintainya. Menjelang magrib ia kembali dan memandangi langit-langit masjid yang kusam, di depan mihrab ia duduk bersimpuh menghembuskan nafas, dan nafas itu berubah menjadi topan, meremukkan tulang orang-orang di sekelilingnya. Nafas itu berhembus lagi, menjadi topan, semakin kencang, semakin garang.
Polewali, 14 Oktober 2003
ketika ia berbalik, masjid tetap sepi.
Polewali, 28 Nopember 2003
| Darwin Badaruddin
| Darwin Badaruddin
35
36
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
GURUKU BERNAMA WULAN ANTARA BUKIT SAFA DAN MARWAH
Dalam ihram langit bening, ternyata aku tak lagi perkasa, oleh cinta Antara Bukit Safa dan Marwah, aku berlari mencari bayang-bayang di antara pilar, semakin dekat semakin lekat semakin pekat dekat tak berjarak.
Dalam temaram lampu dan hingar bingar nyanyian, engkau mengajarkan bagaimana mensyukuri pemberian meski sebesar zarrah dan aku tengadah, menatap arasy, mencari wajahku, yang sekian lama terbenam dalam keangkuhan. Lalu, engkau mendesah, ada danau bening di matamu, syahdu. kugenggam jemarimu, dan kau sebut namamu ; Wulan, lalu mengajariku tentang bagaimana melahirkan tawa meski dalam tangis lirih
Antara bukit Safa dan Marwah terjerat aku dalam nikmat jaring putih
Makkah, 2004
Mamuju, 2004
| Darwin Badaruddin
| Darwin Badaruddin
37
38
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
DI MAMASA KUTEMUKAN SATU DETIK Dalam dingin yang menghujam, aku telah kehilangan sujud-sujudku, tengadah memandang langit-langit hampa, menembus detik, dan lagi aku kehilangan zikir
39
SAMUDERA Di sini telah kuteteskan air mata membentang samudera menggenang rinduku biarkan lelah jadi aroma bagi dosa-dosaku, dan aku bermain dalam badai batu hitam dalam semerbak cinta, berikan aku samudera yang akan kualirkan ke muara tak bertepi tak pernah sepi karena sepi telah dilumat api dan terkubur dalam terik.
Pagi, kueja salam, begitu hambar, dalam lafal yang beku, hanyut di antara batuan dan gemuruh, lalu, kucoba menangis, tapi di mataku ada kemarau, kering, meranggas.
Samudra itu membawaku dalam badai puisi tak bertepi tiada henti hanyut dalam tawaf
Mamasa 2004
Makkah, 2004
| Darwin Badaruddin
| Darwin Badaruddin
40
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
32.000 KAKI DI ATAS MASALEMBO DI TERMINAL KEBERANGKATAN yang lalu lalang berlari mengejar harapan entah sampai dimana yang duduk termenung menunggu berita entah sampai kapan yang tengadah memandang langit yang tertunduk menatap tanah lalu lalang memandang langit duduk termenung memandang tanah menghitung jarak menghitung waktu tak terbilang dalam kuasa tuhan
ada gelegar panas dalam dingin malam, menjulurkan sepi di antara hiruk pikuk, langit pucat pasi, semua terkulai, gumpalan awan membenamkan nyali dalam gelap malam, pecah dalam gelegar halilintar, sendiri kita melintasi hidup di seberang maut, tak ada lagi aroma parfum dari perempuan yang berseliweran, alangkah malangnya kita yang kerap terpasung fatamorgana, segalanya lenyap dalam degup jantung
32.000 kaki di atas masalembo, kita pun berbalik arah, memilih hidup yang semu, ketimbang maut yang abadi.
Cengkareng, 16 September 2004 Surabaya-Makasar, 23 Desember 2004
| Darwin Badaruddin
| Darwin Badaruddin
41
42
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
PRASASTI
43
LANGIT
Entah siapa, datang menembus kabut pagi dalam nyanyian sayup-sayup air sungai mengalir, tiada henti, karena hidup memang harus patahkan ranting-ranting yang menghalangi setiap langkah, menuliskan makna, bahwa maut tak pernah tinggalkan hidup. entah siapa, menoreh prasasti lalu bersembunyi dalam gelap malam, dan malu-malu memetik cinta dari mimpi yang tersisa.
teramat jauh tangan menggapai bayang-bayang biru, tempat kita pernah menyimpan bara api dan buah khuldi, menuangnya dalam cawan bersama anggur dan aku mencarimu hingga ke arsy tak bertepi. esok mungkin engkau akan pulang dan mencari mata air yang pernah kita gali, membenamkan cinta kasih di dasar danau, lalu diam, sejak itu aku tahu matamu sembab dalam bait-bait sajak, kenangan telah kita kuburkan di sini, di langit tak bertepi.
Polewali, 28 Januari 2006 Polewali 20 januari 2005
| Darwin Badaruddin
| Darwin Badaruddin
44
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
45
BERI KAMI SEKOLAH BOUGENVILLE Pernah kusimpan setangkai bogenville di belakang rumahmu dan berharap suatu saat kelak kita akan memetik bunganya, menaburkan di setiap jengkal tanah yang kita lalui, menyanyikan lagu asmara dari mimpi-mimpi panjang. Kini bogenville itu telah menjadi belukar, menebar aroma menyesakkan dada, tak ada nyanyian, juga warna-warni, dan kita pun sepakat mengakhiri mimpi.
Beri kami sekolah meski tanpa dinding dan bangku karena kami telah mengenal angin dari segenap penjuru ketika duduk disela bebatuan, Beri kami sekolah meski tanpa guru berhitung karena kemiskinan telah mengajarkan kami bagaimana mengenal angka dan menghitungnya dari hari ke hari Beri kami sekolah agar kami dapat belajar tentang ketiadaan yang menyesakkan dada, agar di lereng ini kami bisa memilih: menanam padi ladang atau menganyam harapan. Beri kami sekolah, agar kami bisa menyeruak kegelapan, meski dengan obor yang kian redup.
Polewali, 5 Pebruari 2006 Polewali, 2006
| Darwin Badaruddin
| Darwin Badaruddin
46
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
47
malam dan pagi, ia menangis dalam taubatnya, ia terus mencari benih-benih kehidupan yang halalan thoyyiban bagi anakanaknya. Kini, Perempuan perkasa itu tiada lagi. Ia berangkat menemui Tuhannya, ketika anak-anaknya tertidur lelap.
PEREMPUAN ITU MENEMUI TUHANNYA (Catatan harian seorang anak) Perempuan itu melahirkan tujuh orang anak, berangkat menemui Tuhan-Nya di pagi buta. Sesaat sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, perempuan Perkasa itu menuntaskan sujud Tahajjud terakhirnya. Wajah damainya mengulum senyum, meninggalkan waktu dan kehidupan duniawi yang semu.
(Ibu.....maafkan...aku tak sanggup menulis banyak untukmu, jujur...aku tak seperkasa kamu)
Polewali, 29 April 2009
Ia “PERKASA”, bukan karena semasa hidupnya ia memanggul senjata, atau berdiri tegap menghadang sang Penjajah ketika umurnya masih belia. Tidak...dan Bukan itu. Tapi...ia perkasa karena telah berhasil menuntaskan baktinya sebagai Ibu bagi anak-anaknya. Betapa tidak....ketika cintanya tumbuh merona bersama suami yang dicintainya, tiba-tiba ia harus berhadapan dengan kenyataan untuk ditinggalkan oleh seorang suami sebagai kepala rumah tangga. Awalnya....ia bagai tersungkur menemui kenyataan getir itu, tapi anak-anaknya sedang berlari mengejar cita-cita mereka. Ia pun kemudian tengadah, memandang ke langit masa depan. Hidup tak sampai disini, ujarnya di tengah matanya yang sembab. Dirajutnya satu demi satu benang-benang kusut yang membelenggu diri dan anan-anaknya, dia merawat anak-anak titipan suami dan Tuhannya. ia merangkai doa-doa dalam sujud | Darwin Badaruddin
| Darwin Badaruddin
48
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
MI’RAJ
SKETSA SANDEQ
malam itu tak ada kata yang bisa terangkai dan cahaya gemintang merangkulnya dalam senyap, lelaki itu menjadi tamu agung para nabi di gerbang langit merajut rindu, dan ia pun bergegas menapak waktu, tak terhitung.
dengan sandeq aku mengenalmu di antara cericit burung laut, dengan sandeq aku kirimkan mantra-mantra cinta, kutitip lewat syair badai teluk mandar, dan menyimpannya di setiap butir pasir.
malam itu tak ada yang sanggup menebar wangi langit, merebak mengiring cahaya di atas cahaya, wahai….lelaki itu bersimpuh, mengeja takbir dalam sujud, ruku’ dan tuma’nina, dalam cinta tiada tara.
dengan sandeq aku melamarmu menjadi darah daging dan belahan jantungku, negeri kita kujadikan mahar tak ternilai hingga ke tepi zaman. dengan sandeq aku teteskan cinta ke dalam rahim sukmamu yang kelak akan melahirkan anak-anak laut yang candanya pecah di hempasan ombak
dan ketika jubah fajar tersingkap, lelaki itu kembali ke biliknya yang sepi, mengulang takbir, sujud, ruku’ tuma’nina, dan menitipnya pada zaman.
dengan sandeq kelak aku akan mengajakmu pulang ke rumah tuhan
Polewali, 20 Juli 2009
Polewali, 2 Agustus 2010
| Darwin Badaruddin
| Darwin Badaruddin
49
50
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
DOA PENYAIR KAMPUNG
DOSA susah payah kuseka darah yang menetes di sajadahku entah darah siapa atau mungkin darahku sendiri yang nadinya pecah karena tak kuasa mengurai dosa tapi aku ingin sujud Tuhanku, ajarkan aku makna kesunyian langit yang akan kulafadzkan dalam tasbih berkali-kali meski tak pernah lalai aku melupakan-Mu
Polewali, 2 Nopember 2010
Surau ini masih seperti dulu dindingnya kusam di sini aku pernah meminangmu pada Tuhan maharnya hanya selembar sajadah kusam tapi langit terus meneteskan hujan dan menyimpannya di danau di sisi surau. Aku hanya bisa melahirkan anak-anak kita dari kata-kata mengasuhnya menjadi puisi karena impianku menjadi penyair tak pernah pupus meski tak bisa membedakan do’a dan puisi karena doaku untuk langit karena puisiku untuk langit karena langit selalu ada untuk kita.
Polewali, 2010
| Darwin Badaruddin
| Darwin Badaruddin
51
52
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
DOA SEORANG PELACUR Hari ini aku ingin sholat magrib meski dari menara masjid dekat lokalisasi tempatku mengais hidup sudah terdengar adzan isya, mukenaku masih putih bersih hadiah dari ibu ketika mengantarku ke gerbang pesantren. Biarlah kucukupkan sujudku karena malam ini aku takkan meminta apapun dari lelaki yang berseliweran hingga pagi.
Tuhanku....!, Jika kelak Engkau masukkan aku ke syurga-Mu, akan kucari telaga airmata ibuku yang tak pernah kering, yang terus menyimpan bayang bulan purnama, sedetik saja, meski sesudah itu Engkau bakar tubuhku, karena kutahu : cinta ibuku, adalah serpihan cinta-Mu.
Polewali, 2010
Malam ini, Aku ingin berdoa, tapi tak persis sama dengan doa yang diajarkan oleh guru-guruku, karena aku telah belajar pada guru terakhirku yang tak pernah kuberi nama. Tuhanku.....!, Jika kelak aku tak cantik lagi untuk jadi pelengkap birahi, tolong beri aku kesempatan duduk di pinggir kali yang membelah kota ini, karena aku tahu di atas sampah yang mengapung ada semut yang pernah mendengar desah nafasku dan tawa manjaku berharap mendapat bayaran lebih dari biasanya. Tuhanku....!, Jika kelak Engkau masukkan aku ke dalam neraka-Mu, tolong jangan sumpal mulutku dengan bara amarah-Mu, karena betapa aku ingin mencintai-Mu, tapi jazadku berlumur nanah. | Darwin Badaruddin
| Darwin Badaruddin
53
54
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
ALIF I? I? I? kutanya apa pada siapa alif menghadap langit alif menghujam bumi alif di langit alif di bumi alif di bulan alif di awan alif di laut alif di ombak alif di daun alif di semut alif di bara alif di salju alif di tawa alif di tangis alif di makkah alif di mandar alif di mana saja tapi alif masih juga satu tidak beranak tidak diperanakkan bahkan oleh alif sendiri karena alif segala sebab.
PUISI CINTA Dulu perempuan itu menyematkan kembang di rambutnya tergerai hingga ke bahunya yang lancip menebar aroma cinta, dan malam ini, ketika rambut perempuan itu kubelai, beberapa helai rambutnya mulai memutih, kuhitung bersama waktu aroma cinta itu masih lekat, tapi waktu semakin renta : (kekasih... biarkan lampu pijar itu terus menyala menemani kita ke batas fajar).
Polewali, 13 Oktober 2010
Polewali, 10 Nopember 2010
| Darwin Badaruddin
| Darwin Badaruddin
55
56
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
PESTA MALAM BERSAMA FIR’AUN
berapa banyak fir’aun yang membangun singgasananya di sini singgasana bagi pesta anggur di malam pengantin yang bakal menyisakan mimpi di kelopak bunga mimpinya sendiri berapa lama fir’aun akan duduk di sini menghitung pelangi pucat pasi yang warnanya tak perawan lagi karena telah direnggut oleh malam malamnya sendiri berapa lagi fir’aun yang bakal lahir dari rahim tanpa tali pusar yang menyambung ikrar : qolu bala syahidna karena tuhan-tuhan mereka telah datang menuang anggur anggurnya sendiri.
Polewali, 2010
ATAS NAMA NYANYIAN (kepada bunda Cammana*) atas nama nyanyian, ada yang datang berkali-kali membawa dukanya duka bulan yang kesepian bertahun-tahun melukis bayangnya sendiri di pasir sambil menunggu perahu yang telah membawa kekasihnya entah ke mana atas nama nyanyian, ada yang tak pernah datang tapi rindunya melekat di dinding-dinding waktu menghitung purnama di atas bukit dekat rumahmu. atas nama nyanyian, ada yang akan datang menemuimu membawa rebana tua yang bakal menemani tidurmu menyeruak dari belukar zaman yang terhampar luas membawa cahayanya yang menerangi hening
| Darwin Badaruddin
| Darwin Badaruddin
57
58
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
di gunung, di hulu, di sungai, di batu, di muara, di laut, di ombak, di pohon, di daun, di sujud, di puncak hening, lengking suaramu, getarkan rindu, berabad-abad.
SAJAK PENDEK BUAT KIKIM KOMALASARI pahlawan itu mati di medan perang melawan sumpah serapah menemui Tuhannya di tong sampah.
Polewali, 2010 *)
Bunda Cammanaq adalah penabuh rebana perempuan dari Limboro, Polewali Mandar yang pada tahun 2010 telah ditetapkan sebagai Maestero seni tradisional rebana oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia
| Darwin Badaruddin
Polewali, 19 Nopember 2010
| Darwin Badaruddin
59
60
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
BULAN RINDU bulan rindu menghias malam-malam yang bopeng luka lama bertahun-tahun sengaja kusimpan karena aku lebih pintar dari pada pikiranku sendiri bulan rindu nyanyian madu sayup-sayup mengitari langit ketujuh menghitung berapa banyak goresan kuku iblis gurat luka bertahun-tahun bulan rindu bulan para nabi yang menitip lapar di kampung-kampung para penyair duka lama duka lara tanpa puisi bulan rindu bulan cinta : dua orang lelaki menghunus badik membunuh dendam dengan tikaman yang sama di malam yang sama
KUN FAYAKUUN jadilah mata air dari kun karena fayakuun maka jadilah air mata jadilah hulu dari kun karena fayakuun maka jadilah muara jadilah asal dari kun karena fayakuun maka jadilah akhir jadilah fira’aun dari kun karena fayakuun maka jadilah musa jadilah maryam dari kun karena fayakuun maka jadilah isa jadilah hati dari kun karena fayakuun maka jadilah cinta jadilah tanah dari kun karena fayakuun maka jadilah tubuh
Polewali, Desember 2010 | Darwin Badaruddin
| Darwin Badaruddin
61
62
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
jadilah angin dari kun karena fayakuun maka jadilah ruh jadilah api dari kun karena fayakuun maka jadilah nafsu jadilah air dari kun karena fayakuun maka jadilah darah
BATU
jadilah sepi dari kun karena fayakuun maka jadilah waktu
ada batu seperti hati ada hati seperti batu batu seperti hati tempatnya di etalase hati seperti batu tempatnya di comberan
jadilah nur dari kun karena fayakun maka jadilah muhammad
batu di kuburan nisan namanya batu di kali batu kali namanya batu di laut batu karang namanya batu di palestina intifada namanya batu di ka’bah hajar ashwad namanya batu di etalase permata namanya batu di ginjal batu ginjal namanya batu dibakar batu bata namanya
jadilah muhammad dari kun karena fayakuun maka jadilah semua
Polewali, 24 Nopember 2010
| Darwin Badaruddin
| Darwin Badaruddin
63
64
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
batu di mina untuk melontar jamarat melontar nafsu melontar dosa batu di kampus untuk melempar polisi batu menerkam polisi polisi menerkam demonstan batu membatu batu membuta batu buta karena batu tak punya mata tak punya hati karena hati yang batu tak punya mata buta hati buta hati buta batu
j APRESIASI
j
Polewali, 2010
| Darwin Badaruddin
| Darwin Badaruddin
65
66
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
67
dapat berbahaya jika “Intuisi” pribadi mengarah pada “apresiasi” yang bersifat emosional hingga hasil akhir berujung pada subyektivitas total. Penekanan pada individualitas dan keunikan karya sastra – walaupun merupakan reaksi sehat terhadap kecenderungan main generalisasi – dapat membuat orang lupa bahwa tak ada satu karya sastra pun yang seratus persen “unik”.
Di antara Harapan dan Kecemasan Darwin Badaruddin dalam Antologi Puisi Potret Hitam-Putih Oleh : Drs. Subriadi Bakri*)
I BAGAIMANAKAH menelaah karya sastra secara ilmiah? Apakah bisa? Kalau bisa, bagaimana caranya? Salah satu jawaban yang pernah diberikan adalah dengan menerapkan metode yang dikembangkan oleh ilmu-ilmu alam pada studi sastra. Misalnya, sikap-sikap ilmiah seperti objektifitas, kepastian, dan sikap tidak terlibat, yang biasanya hanya terbatas pada pengumpulan fakta-fakta yang netral saja. Usaha lain adalah meniru metode genetik melalui studi sumber, dan kausalitasnya. Dalam prakteknya memperbolehkan penelusuran hubungan apa saja, asalkan bersifat kronologis. Kausalitas ilmiah semacam ini digunakan untuk menjelaskan fenomena sastra dengan mengacu pada kondisi ekonomi, sosial, dan politik. Pada dasarnya, secara ekstrim ada dua cara yang bisa ditempuh untuk menelaah karya sastra. Pertama, mengikuti pola ilmiah dengan sekedar mengumpulkan fakta-fakta yang berkaitan dengan karya sastra itu. Kedua, adalah menekankan subyektivitas dan individualitas, serta keunikan karya sastra itu. Cara yang kedua ini | Darwin Badaruddin
Perlu diingat bahwa setiap karya sastra pada dasarnya bersifat indiviual dan sekaligus bersifat umum. Individual yang dimaksudkan tidak sama dengan unik atau khusus. Seperti setiap manusia – yang memiliki kesamaan dengan umat manusia lainnya, dengan sesama jenisnya, dengan bangsanya, dengan kelasnya, dengan rekan-rekan seprofesinya. Sastra tidak memakai sistem tanda tunggal untuk menyampaikan secara konsisten suatu sistem abstraksi. Tapi obyek dan tanda dalam puisi dipakai dengan cara yang tidak dapat diduga oleh sistem di luar puisi. Begitu pula halnya dengan Darwin Badaruddin dalam Antologi Puisi “Potret Hitam Putih”. II Cara dan atau Pencitraan yang bisa diartikan sebagai reproduksi mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat indrawi dan berdasarkan persepsi. Pencitraan tidak selalu bersifat visual. Pencitraan ada yang berkaitan dengan cita rasa pencicipan, penciuman, serta suhu dan tekanan (gerak, sentuhan, dan rasa empati). Pada sisi lain pencitraan juga bisa sebagai analogi dan perbandingan. Ezra Pound menjabarkan citra bukan sebagai gambaran fisik, melainkan sebagai “sesuatu yang dalam waktu sekejap dalam menampilkan kaitan pikiran dan emosi yang rumit”. Suatu penggabungan ide-ide yang berlainan. Aku-lirik dalam “Potret Hitam Putih” dengan jeli memanfaatkan pencitraan sebagai perwujudan dari kehalusan cita rasa penciuman
| Darwin Badaruddin
68
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
sebagaimana yang tergambar dalam puisi yang berjudul “32.000 kaki di atas Masalembo”; .......................... gumpalan awan membenamkan nyali dalam gelap malam, pecah dalam gelegar halilintar, sendiri kita melintasi hidup di seberang maut, tak ada lagi aroma Parfum dari perempuan yang berseliweran, alangkah malangnya kita yang kerap terpasung fatamorgana, segalanya lenyap dalam degup jantung, .......................... Dalam puisi yang berjudul “Prasasti”, dengan sangat apik, Aku-lirik, mengemas imaji penglihatan dan pendengaran dalam konstruksi daya ungkap yang padu; Entah siapa, datang menembus kabut pagi dalam nyanyian sayup-sayup air sungai mengalir, tiada henti, karena hidup memang harus patahkan ranting-ranting yang menghalangi setiap langkah, menuliskan makna, bahwa maut tak pernah tinggalkan hidup. Entah siapa, menoreh prasasti lalu bersembunyi dalam gelap malam, dan malu-malu memetik cinta dari mimpi yang tersisa Barangkali Aku-lirik beranjak dari pemikiran tentang ketidakjelasan prinsip dasar matra dan masih bayaknya terminalogi yang kacau sehingga dalam antologi puisi “Potret Hitam Putih”, Aku-lirik sepertinya mengabaikan eksistensi matra sebagai salah satu elemen penting susunan puisi sebagaimana yang diungkapkan oleh Coleridge dalam “Biographia Literaria” bahwa ada dua prinsip yang mendasari susunan sebuah puisi, yaitu matra dan metafora. Di sisi lain, puisi kontemporer kerap menisbikan eksistensi penyusunan baris sajak yang berkaitan dengan ukuran jumlah, panjang, atau | Darwin Badaruddin
69
tekanan suku kata seperti pada puisi-puisi lama yang kerap diajarkan di bangku-bangku sekolah. Antologi puisi “Potret Hitam Putih” yang ditulis oleh Darwin Badaruddin meskipun sangat akrab dengan pemakaian personifikasi, hiporbola, eufimisme, serta metonimia, ia tak melupakan unsur metafora sebagai sebuah perlambang yang bertujuan membandingkan atau menyamakan sesuatu hal dengan hal lainnya yang berbeda karakter dan bentuk – dengan stylishnya yang estetis ia munculkan dalam puisinya yang berjudul “Sketsa Parang Tritis (episoe I)”: di atas kanvas biru pantai laut selatan, kutarik garis putih tegak lurus menembus cakrawala, dan menghempas di dinding-dinding karang, menebar bersama butiran pasir, hilang, entah ke mana. Seperti citra atau imaji, simbol muncul dalam konteks yang sangat beragam dan digunakan untuk berbagai tujuan. Simbol adalah suatu istilah dalam logika, matematika, semantik, semiotika, dan epistomologi. Dalam teori kesusastraan, simbol digunakan sebagai obyek yang mengacu kepada obyek lain, tetapi juga menuntut pada dirinya sendiri sebagai sebuah perwujudan. Untuk antologi puisi “Potret Hitam Putih” agak sulit menemukan simbol yang jelas terebab memang ada kecenderungan jika citra dipertajam melalui metafora dan metonimia maka perwujudannya akan hampir sama dengan simbol. Aku-lirik menggunakan “simbolis pribadi” sebagaiman halnya yang dilakukan oleh penyair modern lainnya. Berikut beberapa puisinya menggambarkan hal itu. 1. Biarkan Dzikirku Biarkan dzikirku mengembara bersama angin, Menuju negeri tanpa tirai, menusuki dinding-dinding waktu, Perjalanan panjang adalah anggur yang memabukkan Di atas laut terpagar batas pandang ....................................................................... | Darwin Badaruddin
70
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
2. Dalam Diam Stupa Borobudur Dalam diam arca, Kubaca kesetiaan abadi meski terpanggang matahari Kupersembahkan sesaji pertanyaan ; Siapakah yang menyimpanmu di sini? Dalam diam stupa, Kusentuh jemarimu bersama sukma angin Yang telah membawaku ke sini. 3. Langit Teramat jauh tangan menggapai bayang-bayang biru, Tempat kita pernah menyimpan bara api dan khuldi, Menuangnya dalam cawan anggur Dan aku mencarimu hingga ke arasy tak bertepi. ......................................................................... Aku-lirik dengan jeli memilah dan memilah diksi alam, budaya, dan lingkungan secara cermat sebagai perwujudan cita rasa yang estetis. Meskipun demikian, dalam konteks diksi sebagai pilihan kata yang berkolerasi dengan semantik dan semiotika, Aku-lirik mungkin terdorong oleh keinginan menuntaskan informasi, membuat beberapa larik dari beberapa puisinya jadi kehilangan daya sugesti dan imajinatif. Pada puisi yang berjudul Antara Bukit Safa dan Marwah, bait ketiga Antara Bukit Safa dan Marwah / terjerat aku dalam nikmat jaring putih. Bukankah Aku-lirik berpakaian serba putih ketika berlari-lari kecil di antara bukit Safa dan Marwah? Dan ketika “Sang Terdamba” telah begitu dekat, bukankah ada nuansa kenikmatan yang menggeliat? Begitu pula halnya pada puisi yang berjudul Jakarta. Larik ketiga serasa mengganggu tersebab idiom-idiom yang seyogyanya melahirkan keluasan interpretasi dan apresiasi justru jadi terbatas pada keberadaan ruang dan waktu. Jika idiom alam berupa bintang telah memberi keluasan nilai, mengapa harus mengekangnya dengan sudut kamar? | Darwin Badaruddin
71
III Jika ditilik dari cara bertutur puisi-puisi Darwin Badaruddin dalam antologi puisi “Potret Hitam Putih” maka terlihat kecenderungan bersifat lirik-naratif. Dalam puisi liris, kita seringkali hanya berhadapan dengan citra-citraan, bayang-bayang, gambar imajinatif yang tidak jelas acuan maknanya, tetpi suasana tertentu bisa kita rasakan. Suasana itulah yang seringkali memberikan kesegaran pada setiap kali membacanya, yakni sesuatu yang tak terkatakan namun amat terasakan. Bukankah kita seringkali merasakan sesuatu yang tak bisa terkatakan? Misalnya, puisi Darwin Badaruddin yang berjudul “Karebosi” berikut ini (Antologi Puisi “Potret Hitam Putih”, 2010:1); Menyaksikan kaki-kaki berdebu menerjang waktu, menembus kegelepan, meneteskan amarah di sudut jalan, sumpah serapah, lalu tertidur pulas, menikmati khianat sepotong pizza. Terhadap puisi liris sejenis ini, yakni puisi yang sulit ditangkap pesan atau amanatnya, Subagio Sastrowardoyo mengajukan pertanyaan (“Subagio Sastrowardoyo”, 1982:218); ...apakah itu sajak-sajak yang dengan sengaja tidak memerlukan tafsiran dan cukup dinikmati saja perbauran bayang dan anganangannya, ataukah itu sajak-sajak yang gagal membawa makna, dan tinggal puas dengan teka-teki dan rahasia alam surrealisme, seperti mimpi yang tidak mampu memberi makna? Masalah kualitas atau kematangan puisi memang tidak bergantung pada masa penulisan, juga kemampuan mengaplikasikan segala fenomena sekitar. Puisi adalah puisi, ia bertutur – bertindak – bersikap melampaui segala yang bernama indikator, bahkan linguistik yang menjadi mediumnya tak dapat memenjarakannya | Darwin Badaruddin
72
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
dalam kaidah kebahasan. Itulah sebabnya, dengan enjoynya puisi memanfaatkan semiotika dalam wujudnya tanpa peduli apakah bentuk idiom dalam metafora, eufimisme, simbolisme, alegori, dan berbagai bentuk majas lainnya yang digunakan telah klop dengan pemahaman dasar sebagaimana yang berlaku secara umum. Pada awalnya saya berpikir akan bertemu dengan sejumlah puisi yang banyak menyuarakan denotatif maupun konotatif soal keganasan laut, desiran ombak, keperkasaan nelayan, kegigihan perempuan-perempuan marginal, bahkan keindahan panorama bahari sebagaimana letak geografis yang menjadi tempat kelahiran sang penulis. Aku-lirik dalam antologi puisi “Potret Hitam Putih” meskipun di hampir seluruh puisi-puisinya meneriakkan lagu tentang cinta dan kerinduan bahkan nyeletuk tentang religi tetapi terasa Aku-lirik seolah terjebak di antara harapan dan kecemasan. Harapan pada suatu kondisi yang dapat menenggelamkan jiwa pada kedamaian. Damai bagi diri, damai bagi lingkungan, dan damai bagi negeriku. Harapan aku-lirik secara tersirat dikemas oleh penyair dalam puisi berjudul “Samudera” : SAMUDERA di sini telah kuteteskan air mata membentang samudera menggenang rinduku biarkan lelah jadi aroma bagi dosa-dosaku, dan aku bermain dalam badai batu hitam dalam semerbak cinta, berikan aku samudera yang akan kualirkan ke muara tak bertepi tak pernah sepi karena sepi telah dilumat api | Darwin Badaruddin
73
dan terkubur dalam terik. Samudera itu membawaku dalam badai puisi tak bertepihkan tiada henti hanyut dalam tawaf Pada sisi yang lain, ada kecemasan pada realitas kekinian di mana hampir tak ada lagi belahan lain dari bumi ini yang tidak terkoyak oleh ketidakadilan, ketidakbenaran, ketidakjujuran, ketidaklainnya yang masuk di ranah nilai kebaikan dan keagungan yang seharusnya menjadi acuan makhluk Tuhan yang diberi amanah sebagai khalifah mulia yang bernama manusia. Hampir tak ada lagi tempat berpijak yang tak tersentuh oleh kemaksiatan. Kecemasan Aku-lirik pada segala hal yang kini mengoyak nurani kemanusiaan membuat penyair mencari tahu bahkan berupaya mencari solusi alternatif, kendati pada akhirnya Aku-lirik menyadari bahwa kita telah kehilangan segala-galanya. Marilah kita nikmati harapan dan kecemasan penyair dalam puisinya yang berjudul; “Kita Telah Kehilangan” berikut ini : KITA TELAH KEHILANGAN Satu saja yang tersisa hari ini, kita telah kehilangan. Kezaliman telah mencabik cakrawala, bulan pecah di atas ubun-ubun sedang darah dan nanah menjadi begitu nikmat tereguk hingga tetes terakhir ; kita telah kehilangan. Dengan apa membangunkan tulang-belulang para patriot, yang dengan gagah perkasa mengoyak tirani, bukan memangsa daging saudara sendiri ; kita telah kehilangan. | Darwin Badaruddin
74
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
75
MIMPI
Ke manakah denting kecapi yang mengiringi nyanyian anak-anak nelayan, ketika ombak masih setia memainkan buih, ketika tangan dan wajah kita masih terbasuh cinta kasih, ketika persatuan belum dibumihanguskan, ketika sajak-sajak masih punya aksara, ketika anak-anak kita belajar tentang budi pekerti, ketika mahasiswa sibuk di ruang praktikum, ketika wajah kita belum pucat pasi ; kita telah kehilangan.
Gaun merahmu kusingkap Dan aku mengembara di atas padang pasir Menebar kesenyapan dalam gelora badai Mengejar fatamorgana (Jakarta, 12 Juli 2003) Sekian....tabeq diii.... Campalagian, 13 Nopember 2010
Dengan apa harus menyembuhkan jiwa raga yang terkoyak, oleh perang saudara dan ledakan bom, sementara sukma kita dibubuhi racun dan benih-benih kematian. Satu saja yang tersisa hari ini ; Kita telah kehilangan. Polewali, 2 Nopember 2002
*)
Drs. Subriadi Bakri, lahir tanggal 17 April 1963 di Polmas, Alumni IKIP Ujung Pandang pada Fakultas Bahasa dan Seni. Dengan nama samaran Asriadhy JH-JR, pernah aktif menulis diberbagai media cetak seperti; Pedoman Rakyat, Harian Fajar, Horison Sastra, Sarinah dalam bentuk artikel, esai, cerpen dan puisi. Bersama Sri Musdikawati dan teman-teman alumni SMA Negeri 1 Polewali menerbitkan tabloid “Banniq”. Kini bertugas sebagai penanggungjawab kolektif pada SMA Negeri 1 Alu Kabupaten Polewali Mandar
Saya ingin menutup uraian ini dengan mengutip satu puisi Darwin Badaruddin yang lain, yang pada hemat saya menunjukkan kecemasan penyair membangun suasana, citraan, pergumulan perasaan dengan realitas kekinian, dan khususnya kecemasan dalam mengontrol dan memilih diksi yang tepat. Dengan kecemasan itulah puisi senantiansa memberikan kesegaran bahasa. Tugas puisi dengan demikian tampaknya bukan terutama untuk menyampaikan makna, pesan, atau amanat. Kalau lukisan dan musik tidak bertugas menyampaikan pesan dan amanah, kenapa puisi harus memikulnya?
| Darwin Badaruddin
| Darwin Badaruddin
76
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
77
Kutemukan satu detik”. Setidaknya Inilah rahasia karakter seorang DeBe yang dapat saya tukil dari perjalanan singkat membedah karya ini.
Potret Hitam Putih Darwin Badaruddin
Sebuah Interpretasi
Oleh: Ety Sabaryati D. Palontjongi*) LELAKI kekar paruh baya itu lahir di tengah lingkungan yang butatuli ilmu kesastraan, miskin spirit, papah motivasi. Ia membesarkan diri di lingkungan yang tak pernah melazimkan penghargaan untuk sebuah karya sastra dalam bentuk apapun. Tapi, apapun itu, Antologi puisi Potret Hitam Putih karya Darwin Badaruddin (DeBe) seakan tak terbendung untuk lahir dari perkawinan sukma religius dan balada romantik. Sungguh renyah untuk konsumsi nurani yang haus akan perenungan dalam. Puisi datang pertama kali kepada kita lewat nadanya. Setidaknya inilah kesan awal yang saya temui pada sosok penciptaan kinarya DeBe. Sajak-sajak Debe adalah sajak nada rendah nan sarat makna tersirat yang dibaptis dari tuturan sehari-hari yang dipadatkan. Sehingga menjadi sebuah idiom yang sangat menarik lagi sarat makna. Semua dironceh dan disajikan dalam bahasa yang sederhana dan tidak berbelit belit. Cetusan-cetusan emosi kalbunya seakan mengalir lebih deras lagi tatkala raganya tanpa sadar berada di suatu tempat, ruang dan waktu tertentu, sebagai bukti mari kita simak judul karyanya yang bertajuk “Karebosi”, “32.000 kaki di atas Masalembo”, “Tobatku di atas Toba”, Antara Bukit Safa & Marwah”, “Dalam Diam Stupa Borobudur”, “Di Mamasa | Darwin Badaruddin
Persoalan sastra adalah persoalan manusia di dalam menghadapi kehidupan ini, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Inilah yang terkadang dapat menyebabkan kita lupa apa yang sedang terjadi. Pengalaman dalam menghadapi kehidupan ini sangat menarik, demikian juga yang terjadi dalam diri DeBe, terkesan seakan mengalami goncangan-goncangan hebat dalam mengarungi kehidupan. Puisinya seolah lahir dari rentetan gumam yang ditulis tanpa memberi aksentuasi pada gerak, pada suara keras atau kesibukan di luar dirinya. Ia justru lebih mewakili penggambaran suatu perlawanan terhadap gerak, suara keras atau kesibukan di luar. DeBe memilih diam dan memenangkan diam sehingga lebih nampak sebagai sebuah misteri atau rahasia kehidupan pribadinya. Seperti yang tersaji dan sangat terasa dalam puisinya yang berjudul “Guruku Bernama Wulan”, “Di Mamasa Kutemukan Satu Detik”, “Mimpi”, dan “Jakarta”. Puisi dan pengalaman DeBe seakan menyadarkan dan menggiring kita mengarungi aspek aspek kehidupan yang mungkin belum pernah kita rasakan atau alami ataupun jika pernah kita rasakan, hal itu tidak sedalam apa yang disampaikannya, penuh kias dan pengandaian tingkat tinggi. Perhelatan potret hitam putih dalam kehidupan DeBe pun melahirkan puisi-puisi religi, gambaran-gambaran yang memberi kesan gerak terasa mempunyai arti imajinal tentang ketidakpastian dan kefanaan seperti yang terasa ketika mencoba menggerayangi rentetan puisinya yang berjudul ”Terminal”, “Maut”, “Sunyi”, “Rahasia”, dan “Dosa”. Makna yang sangat mendalam, dalam kebeningan intuitif menangkap hidup dalam helaannya..
| Darwin Badaruddin
78
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Secara umum, Antologi ini terbilang sukses mewakili rasa pengarangnya, sehingga hampir tak terdapat cela. Sebagai masukan untuk kinarya DeBe selanjutnya mungkin tak ada salahnya jika dalam menyusun halaman demi halamannya kiranya berpedoman pada proses kejadian atau waktu lahirnya puisi per puisi sehingga aliran lava kreatifitas bersastra penulis dapat lebih berkesan teratur dan sistematik hingga sanggup makin menghayutkan pembacanya ke ruang-renung masing-masing.**)
79
Potret Hitam-Putih;
Akhirnya, Selamat datang untuk sebuah karya baru, ini adalah salah sebuah bentuk sumbangsih bagi geliat dunia sastra khususnya di Sulawesi Barat. Diharapkan karya ini mampu menjadi perangsang bagi tumbuhnya karya-karya baru demi meramaikan kancah dunia susastra. Untuk kemudian dikemas lebih apik dan lux lalu diterbit-edarkan sebagai suplemen kurikulum alternatif bagi dunia pendidikan dan konsumsi umum.
Sisi Lain Darwin Badaruddin
*)
Mencengangkan bagi diri saya, karena jujur saya katakan sosok Darwin Badaruddin belum lama saya kenal, sehingga pemahaman saya terhadap beliau dan segala yang terpendam dalam dirinya masih sangat terbatas. Kesan yang mendalam selama saya mengenal beliau sosok Darwin Badaruddin memeiliki banyak kelebihan, supel dan gampang bergaul, pribadi yang humoris serta enak diajak bicara dan diskusi. Tapi ternyata di balik kelebihan-kelebihan yang beliau miliki masih tersimpan kelebihan lain seperti potensi seni yang luar biasa khususnya seni sastra yang langka dilahirkan di jazirah Mandar.
Ety Sabaryati D. Palontjongi, salah satu tenaga edukatif SMA Negeri 1 Polewali,Jadi PNS sejak thn 1999. Lahir di Polewali tanggal 26 April 1975, SD (1987), SMP (1990). SMA (1993), IKIP Ujung Pandang sekarang Univesitas Negeri Makassar (UNM) Fakultas Bahasa dan Seni Jurusan, Bahasa dan Sastra Indonesia tamat 1997, pernah mengikuti lomba menulis cerpen, cerita rakyat yang diselenggarakan Balai Pusat Bahasa, sebagai salah satu tim Balai bahasa Ujung Pandang pada program pemetaan bahasa daerah dan gerakan cinta bahasa Indonesia untuk wilayah Sulbar. Karya : Jerigen Tak Bertutup (cerpen) Untuk apa Aku Menutup Aurat (cerpen). Jelagah (cerpen) Perempuan (antologi Puisi) nyanyian Jiwa (antologi Puisi). Dialek Pattaeq (penelitian bahasa) Dialek Pannei (penelitian bahasa) Dialek Dakka (penelitian bahasa), dialek Jawa Trans (penelitian bahasa). **) usulan telah diakomodir | Darwin Badaruddin
H. Mahyuddin Ibrahim*)
MENCENGANGKAN....!! sepenggal kata itu terucap tanpa saya sadari pada saat memulai membuka dan menyimak satu demi satu rangkaian puisi yang tertulis dalam Antologi Puisi “Potret HitamPutih” karya Darwin Badaruddin.
Saya tidak dalam kapasitas untuk menilai puisi-puisi beliau di mana kelebihan dan kekurangannya termasuk membandingkan dengan karya orang lain, tapi yang pasti sosok Darwin Badaruddin memiliki naluri seni yang tinggi, mengalir dari kekagumannya terhadap keindahan dan fenomena alam semesta di manapun ia | Darwin Badaruddin
80
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
81
berada, kecintaannya terhadap sesama, keyakinannya terhadap hukum sebab-akibat, serta ketaatannya terhadap agama dan Tuhannya, semua terangkai menjadi penyejuk bagi dunia sastra yang telah lama gersang di Jazirah ini, karena dalam kurun waktu yang begitu lama tidak pernah lagi melahirkan seorang sastrawan. Menjadi sastrawan membutuhkan jalan yang panjang, tapi bukan mustahil seorang sastrawan lahir kembali di Jazirah Mandar lewat sosok Darwin Badaruddin dan bila hal itu menjadi kenyataan saya berharap jangan lahir hanya sebatas menjadi kebanggaan saja tapi jadilah kebanggaan yang terbungkus rasa memiliki lewat interaksi sosial dan karya yang sarat dengan suasana ke-Mandar-an.
Polewali, 12 Nopember 2010
*)
H. Mahyuddin Ibrahim, Inspektur Inspketorat Kab. Polewali Mandar
| Darwin Badaruddin
Potret Hitam-Putih Kehidupan Halimah*) BERBAGAI macam rasa bisa muncrat dalam puisi. Sedih, kecewa, marah, gelisah, getir, gembira, bahagia, cinta, dan sejenisnya sudah biasa kita temukan dalam puisi. Tidak berlebihan rasanya bila sejarah puisi, karya sastra umumnya, adalah sejarah kesedihan, kekecewaan, kemarahan, kegelisahan, kegetiran, kebahagiaan umat manusia ketika bersentuhan dengan dunia di dalam dirinya maupun dunia sekelilingnya. Puisi adalah suara penyair, suara zaman yang memantulkan berbagai potret suatu zaman, mungkin potret itu terang benderang, remang-remang, sedikit mencong, zig-zag, tumpang tindih, terbalik, bahkan jungkir-balik berhadapan dengan realitas di sekitarnya. Pada titik ini, selain menikmati kreativitas bahasa, ruang dalam diri penyair, membaca puisi bisa jadi merupakan kegiatan membaca kondisi masyarakat dan perjalanan sejarah suatu tempat. Sekurang-kurangnya Antologi Puisi “Potret Hitam-Putih” karya Darwin Badaruddin (selanjutnya disebut penyair) memperlihatkan gambaran suatu masyarakat dan karena kita sesungguhnya tengah membaca masyarakat itu sendiri. Penyair dalam antologi puisinya menyebut suatu tempat yang cukup dikenal, penyair menyebutnya “Karebosi”, kemarahan dikatakannya begini /Menyaksikan kaki-kaki berdebu menerjang waktu/ menembus kegelapan/ meneteskan amarah | Darwin Badaruddin
82
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
di sudut jalan/ sumpah serapah/. Seperti masyarakat kita sekarang penuh kemarahan. Sedikit saja pemicu yang menimbulkan rasa kecewa dalam dirinya, maka akan menumpahkan rasa kecewa itu dengan kemarahan yang tiada tara, sumpah serapah. Tak siang, tak malam, penuh pekik dan teriak, penuh kepal dan kata-kata yang sebal dan kecewa, berkelahi dan berperang dengan saudara sendiri telah menjadi kebiasaan. Kondisi tersebut diperjelas lagi dalam puisi “Kita telah Kehilangan”. Penyair mengungkapkan begini /kezaliman telah mencabik cakrawala/ bulan pecah di ubun-ubun/ sedang darah dan nanah menjadi begitu nikmat tereguk/ hingga tetes terakhir/. Sungguh suatu gambaran masyarakat yang tidak diinginkan tentunya. Kita telah kehilangan rasa persaudaraan, kekeluargaan, tolong-menolong, dan cinta sesama yang telah diwariskan nenek moyang kita. Kehidupan yang indah telah sirna. Semua itu kini berganti dengan rasa kecewa, marah, sedih, dan getir tumpah ruah. Namun, kondisi tersebut ternyata belum berakhir. Penyair masih menulis tentang “Maut”. Itulah sebabnya penyair mengatakan /kepada siapa biduk kita tambatkan/ karena malam telah membenamkan sajak para penyair/ jalan panjang/ berliku/ luka/ tak juga sembuh/. Semua yang terjadi tampaknya belum kunjung usai, kacaubalaunya kondisi ternyata bak kiamat. Tak dapat lagi dilukiskan dengan kata-kata manusia. Sehingga penyair mengungkapkannya dengan “Qiamat”. /Air mata itu kemudian berubah menjadi danau yang/ menenggelamkan istri, anak, cucu, dan buyutnya/. Sungguh memilukan dan memiriskan hati. Rasanya tak ada nestapa yang lebih pedih dari perbuatan yang mengorbankan keluarga sendiri. Akankah kondisi itu akan berlangsung lama dan terus menerus? Atau tak ada lagikah ikhtiar yang dapat kita lakukan untuk membalik keadaan? Atau siapakah yang dapat melakukan perubahan dan mampu menerobos gelapnya malam hingga menemukan siang? | Darwin Badaruddin
83
Suasana dan rasa kecewa serta marah yang mencekam tentu tidak diinginkan untuk berlangsung selamanya, sehingga penyair mengungkapkan perlu adanya pengakuan terhadap dosa-dosa yang telah dilakukan. Seperti dalam puisi “Dosa” dan mengatakan /tapi aku ingin sujud Tuhanku/ ajarkan ku makna kesunyian langit/. Keinginan agar semua elemen masyarakat segera menyadari semua kesalahan dan kekeliruan yang terjadi. Semua harus meninggalkan kemarahan dan kegetiran berlarut-larut yang selama ini telah dirasakan. Oleh karena itu, kita semua perlu “Mi’raj”. Sebagaimana makna umum kata mi’raj adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW. untuk menerima shalat lima waktu. Mampu untuk menciptakan kedamaian dalam diri dan lingkungan sekitar, kita harus kembali memaknai kata mi’raj tersebut. Penyair mengungkapkan /mengeja takbir dalam sujud, ruku’, dan tuma’nina/ dalam cinta tiada tara/. Sungguh imbauan yang menyejukkan hati. Segala masalah tak perlu diselesaikan dengan menumpahkan darah atau mereguk nanah dari luka saudara sendiri. Hanya dengan kembali bersujud kepada Sang Pencipta siang dan malam, kita dapat menghilangkan kekecewaan serta kemarahan, dan selanjutnya akan menemukan cinta abadi dan indah. Ajakan penyair untuk bertobat juga terungkap dalam “Tobatku di Atas Toba”. Penyair menyadari bahwa dalam hidup ada dua hal yang memang tidak dapat dipisahkan, maut dan kehidupan, sedih dan gembira, silih berganti. Selain ungkapan kecewa, sedih, marah, getir, dan berbagai ungkapan duka yang lain, dalam antologi puisi “Potret Hitam-Putih” penyair juga masih mengungkapkan tentang sisi indahnya negeri ini. Dengan menyebut beberapa tempat indah seperti Borobudur, Parang Tritis, Malioboro, dan bunga indah bernama bougenville. Bahkan dengan “Sketsa Sandeq”, penyair bercerita tentang keindahan Teluk Mandar, keriangan anak-anak nelayan. Sungguh negeri yang indah. | Darwin Badaruddin
84
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
85
Dan terakhir, antologi puisi ditutup dengan kenangan terindah kepada “Ibu” yang telah menghadap Sang Khalik. Dengan demikian, menurut hemat penulis, segala yang diungkapkan oleh penyair dalam antologi puisi “Potret HitamPutih” lebih menggambarkan kondisi pada kehidupan masyarakat yang lebih luas, meskipun puisi-puisi yang ada seakan-akan menjadi potret perjalanan hidup pribadi penyair. Pemberian judul “Potret Hitam-Putih” pun dinilai tepat karena telah menggambarkan sisi hitam dan sisi putihnya kehidupan manusia dalam mengarungi samudera hidupnya sampai menghadap kembali ke Penguasa Alam.
Polewali, 30 November 2010 *)
Halimah, S.Pd., M.Pd. Lahir di Soppeng, 31 Desember 1970, Pendidikan formal SD, SMP, SPG diSoppeng, S1 Bahasa Indonesia IKIP Ujung Pandang (1998), S2 Pendidikan Indonesia UNM Makassar (2006). Tahun 2000 mengajar di SMPN 4 Campalagian. Tahun 2008 mengajar di SMA Negeri 1 Polewali. Tahun 2009 menjadi Finalis Lomba Menulis Cerpen, yang diselenggarakan oleh Depdiknas.
Melawat ke Titik Singgah, Memasuki Ceruk Personal Oleh : Muhammad Syariat Tajuddin*)
DISEPAKATI atau tidak, setiap karya sastra yang terlahirkan membutuhkan respon pembacaan untuk menangkap kelahirannya tidak hanya sebagai sebuah kesia-siaan, sekaligus untuk memahami kehadirannya sebagai sebuah momentum kelahiran yang padanya bisa diurai rangkai prosesnya. Selain itu, melalui respon pembacaan kita akan bisa memahami deret jarak panjang ketelatenan dan beban keringat yang serba melelahkan dalam mengawalnya menuju muara dan menemukan nasibnya sebagai sejatinya karya. Dan sebagai amsal muara, kelahiran karya adalah etape akhir sekaligus awal. Terlebih, jika upaya menyatukan karya sastra yang terserak dalam sebuah buku kumpulan puisi dapat disebut sebagai kegiatan “pengawetan” karya. Sampai disini, sebagai momentum kelahiran dan kehadiran, setiap penerbitan buku karya sastra juga seyogyanya diamati sebagai perayaan proses lepas pisah dari cangkang imajinasi pekaryanya untuk segera menjadi milik publik. Disini perjalanan baru saja diakhiri, tetapi sekaligus juga dimulai.
| Darwin Badaruddin
| Darwin Badaruddin
86
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Sebagaimana karya sastra selalunya dipahami memiliki tugas sejati untuk menjadi penyampai dan pelontar idea dan atau gagasan kepada khalayak pembacanya. Ia merdeka untuk mengungkapkan apa saja yang lahir sebagai ilham dan imajinasi, atau sebagai respon nyata atas setiap fenomena dan gejala yang ditangkap oleh penyairnya. Sehingga ia menjadi tak “terkekang” untuk diberikan tafsiran pula arsiran oleh pembacanya. Keduanya sama merdekanya. Tentu saja dengan satu catatan bahwa, untuk menangkap dan menyalami kandungan keindahan dalam setiap puisi yang merupakan hasil kerja keras penyairnya, akan menjadi fungsional jika pembacanya sungguh-sungguh menyelam masuk ke dalam diri puisi dengan mata dan hati yang terbuka lebar. Nah, khusus di Buku Kumpulan Puisi Hitam Putih karya Darwin Badaruddin yang ada ditangan pembaca ini, secara nyata dan tegas tengah menyuarakan, minimal dua hal, yakni sebuah upaya merefleksikan kenyataan alam luar sekaligus menarasikan secara sufistik alam dalam. Yang tentu saja berangkat dari setiap gejala yang kemudian ditelan bulat dan diendapkan lalu menjadi karya sastra yang bernama puisi. Melongok Ruang, Mendedah Diri Tesis diatas tentu saja tidak lalu seluruhnya benar, namun untuk kedua ihwal yang ada itu, kentara sekali betapa Darwin Badaruddin begitu piawai “menyulap” tempat ia berada sebagai pijakan, untuk “menggorengnya” lalu menyajikannya sebagai karya imajinatif. Walau dalam waktu yang bersamaam dirinya juga tengah berbicara dengan dirinya sendiri.
| Darwin Badaruddin
87
Pada puisi Jakarta, misalnya : beri aku sepiring nasi, dan kuberi engkau bintang yang telah kugantung di setiap sudut kamarku dan membawamu terbang mengitari ladang-ladang berbunga dosa Tampak nyata betapa penyairnya tengah menemukan dirinya remuk redam tanpa daya dan mencoba membangun pemberontakan dan menyuarakan ketidaksetujuannya melalui capaian leterer. Sebagaimana Mathew Arnold mengatakan, bahwa puisi selalu membuka kemungkinan untuk tampil sebagai kritik atas kehidupan. Hal yang sama dari bentuk ini, juga dapat ditemu kenali pada puisi berjudul Malioboro : duduklah disini, mengurai banyak kusut masa silam, menyimak nyanyian anak jalanan, dan izinkan kulukis danau bening di matamu duduklah disini kekasih penyair, dan jangan bergi sebelum kutulis lagi satu puisi
Puisi ini mengisyaratkan, bahwa kota dan tempat atawa ruang seakan menjadi kenyataan yang memaksakan dan seakan selalu “mencubitnya” untuk menulis puisi. Hanya saja, capaiannya acapkali tak terlalu memperhitungkan secara matang kedalaman penyelaman atas ruang tempat dimana ia melahirkan karya. Sehingga jadilah kemudian karya-karya itu murni dan secara sungguh-sungguh sebagai dialog personal penyairnya. Dan meninggalkan kesan, bahwa penyairnya tidaklah begitu menerima kenyataan ruang yang ditandanginya, kendati ia telah berusaha untuk “mengais” gagasan
| Darwin Badaruddin
88
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
dari ruang itu, namun hanya sebagai titik singgah belaka, bukan titik pijak bagi penciptaan karya. Kendati demikian, penyair cukup diuntungkan dan diselamatkan ketajamannya untuk mengolah dunia dalam, sebagai mata pisau untuk mengiris-iris setiap kedatangannya pada setiap tempat sebagai perangkat puitiknya. Artinya penyair kita yang satu ini, telah berhasil untuk setia menelan bulat-bulat setiap kunjungannya tanpa berupaya untuk menyisakan sedikit ruang bagi kemungkinan pencapaian daya ungkap yang baru berdasarkan kekhasan ruang yang didatanginya itu. Kenyataan ini kian menguat, tatkala kita melongok ke dalam puisi Biarkan Dzikirku : Biarkan dzikirku mengembara bersama angin, Menuju negeri tanpa tirai, Menusuk dinding waktu, Perjalanan panjang adalah anggur yang memabukkan Di atas laut terpagar batas pandang Bairkan dzikirku Menembus laut kelam, Yang telah memadamkan lampu-lampu diskotik, Segala terangkai, Dalam getar sujudku yang melahirkan embun, Menetes, Kering, Lenyap.
Pada puisi ini, yang tampak kemudian adalah ketidak berhasilan penyair untuk mewakilkan ruang yang didatanginya. Tentu saja tanpa ia harus terjebak untuk melahirkan karya yang terkesan hanya sebagai reportase. Bila kecenderungan ini terpelihara, kelak akan beresiko untuk terjebak pada formalitas yang cenderung kaku. Dimana setiap karya yang terlahirkan pada ruang yang berbeda | Darwin Badaruddin
89
melulu hanya akan menjadi semacam imajinasi yang menyalak dari ruang personal penyairnya. Namun mengembara jauh dan lepas bahkan tercerabut dari ruang pijak penciptaan karya itu sendiri. Padahal disisi lain, jelas terbaca bahwa sang penyair kita ini, juga tidak mau begitu saja melewatkan setiap kedatangan dan perjumpaannya dengan setiap ruang. Itu terbaca pada kalimat puitiknya pada puisi Malioboro diatas tadi, “dan jangan pergi sebelum kutulis lagi satu puisi”. Pun demikian pada karya berjudul "Mimpi" berikut ini : Gaun merahmu kusingkap Dan aku mengembara di atas padang pasir Menebar kesenyapan dalam gelora badai Mengejar fatamorgana Pada puisi inipun sekali lagi kita bertemu dengan kenyataan itu, kita seakan menemukan otentisitas keterwakilan ruang yang didatanginya meraib, tertutupi oleh kekuatan bacaan dari dunia dalam yang jauh sebelumnya telah terpatron sebelum kedatangan penyairnya ke tempat itu. Bukan penjelasan tandas dunia luar atau titik pijak yang ditandanginya. Perjalanan Ombak dan Aroma Sublim Namun kesan ini, amat berbeda pula kontras dengan puisipuisinya tentang laut. Yang jelas seakan tengah menyatakan kepada kita betapa fasihnya penyair ini untuk merentangkan “pukat” dan “jalanya” dalam pencapaian sublimitasnya pada laut pula pantai. Hal ini lalu kemudian menjadi semacam “gamitan” kepada kita bahwa sungguh Darwin Badaruddin adalah anak yang lahir, “ditimangtimang” dan dibesarkan oleh atmosfere pantai dan laut. Sehingga jadilah puisi-puisi yang beraroma laut itu serasa menjadi semacam “Perjalanan Ombak,” sebagaimana judul salah satu puisi yang ada dalam kumpulan ini.
| Darwin Badaruddin
90
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Artinya kita seakan diperhadapkan pada bacaan “suara anak laut” yang memang tidak asing dan tidak tengah mengada-ada. Pada karya, selain Perjalanan Ombak itu sendiri, Sketsa Parang Tritis yang dibuat dalam tiga episode dan Samudera serta pada puisi yang berjudul Sketsa Sandeq hal yang samapun kita temukan. Khusus, pada puisi Samudera misalnya, kita menemukan capaian Darwin yang unik sekaligus menarik, “samudera itu membawaku dalam badai/ puisi tak bertepi/ tiada henti/ hanyut dalam tawaf”. Puisi ini meyakinkan kita bahwa menemui Tuhan sekaligus suasana transendental itu amat memungkinkan dilakukan pada laut. Dan ini nyata sekali pada pilihan-pilihan diksi yang ia gunakan, semisal, dalam badai, ke muara tak bertepi dan kesemua itu terwakilkan pada “dari mana ombak / menempuh perjalanan / pecah di buritan / menjilati sampan pelaut gagah berani / menuai hidup tanpa batas / dari mana angin / menempuh perjalanan / bertualang / hingga ke kaki langit / yang kubuat dalam garis tipis”. Pesan perjalanan yang berpiling kelindan dalam ruang terdalam yang serba personal. Dan karenanya ia menjadi transendental. Suasana sublim yang cenderung sufistik kemudian kian menguat, tatkala kita melongok pada puisi-puisi Darwin Badaruddin yang lahir di kampung pijakan atau tanah ibu yang menjadi sejatinya ruang tempat penyair banyak menandaskan waktunya di Polewali yang dalam peta merupakan wilayah pesisir. Tampak telah jauh membawanya untuk sungguh-sungguh masuk ke relung puisi dengan menggunakan perangkat diksi puitik. Bahkan sesekali menukik begitu tajam dan menohok ke ceruk terdalam, dan itu terbaca pada penggunaan diksi yang acap kali menjadi pilihan memberikan warna khusus, walau untuk urusan yang satu ini, tak melulu bisa digeneralisir secara serampangan. Taruh misal dalam karya "Sunyi" berikut ini:
| Darwin Badaruddin
91
duduk sendiri di bawah langit-Mu aku kembara, menghitung dedaunan kering yang luruh di tiap rimbaraya, menghitung bebatuan di padang pasir, menghitung nafas, tak terbatas. atau pada puisi rahasia : cuma satu yang tersisa dari sebuah peristiwa, kehidupan, cuma satu yang tersisa dari sebuah kehidupan, rahasia
Penyairnya sungguh telah bermain-main dengan perangkat literernya namun begitu tajam mengiris hingga ke suasana yang tak lagi sekedar jelaga pula absurd, tetapi disini aroma otentisitas keIlahia-an menemui dirinya dalam puisi. Selain itu, kesan romantikpun tak pelak menjadi wilayah garapan yang coba dimainkan oleh penyair kita ini, seperti dalam karya, Bougenville : Pernah kusimpan setengah bougenville di belakang rumahmu dan berharap suatu saat kelak kita akan memetik bunganya, menaburkan di setiap jengkal tanah yang kita lalui, menyanyikan lagu asmara dari mimpi-mimpi panjanag. Kini bougenville itu telah menjadi belukar, menebar aroma menyesakkan dada, tak ada nyanyian, juga warna-warni dan kita pun sepakat mengakhiri mimpi Kesan bermain-main pada ihwal yang serius inipun sesungguhnya menyisakan rasa simpatik kita pada laku kata untuk menyiasati sebuah kenyataan dengan jalan yang amat piawai. Artinya, kendati | Darwin Badaruddin
92
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
romantis dan sejatinya serius, namun di tangan Darwin Badaruddin, kesan kenes tidak kita temui. Sungguh sebuah pencapaian yang membutuhkan proses kreatif yang panjang dan tak instan. Pada puisi Doa Seorang Pelacur-pun Darwin Badaruddin menyatakan kesungguhannya sebagai penyair yang banyak menggunakan perangkat spiritual-sufistik kendati judul dan gagasan yang diangkat cukup menggoda untuk di ekplorasi dengan jalan menelusurinya secara detail setiap lekukan. Artinya kesan pertama begitu membaca judulnya, boleh jadi, pembaca akan menengarai bahkan menunggu kemunculan perangkat simbolik seorang pelacur, minimal pada penggunaan diksinya. Namun bagi Darwin Badaruddin hal itu ternyata tidak kita temui, selain aroma sublim. Berikut Puisi Doa Seorang Pelacur : Hari ini aku ingin sholat magrib meski dari menara masjid dekat lokalisasi tempatku mengais hidup sudah terdengar adzan isya, mukenaku masih putih bersih hadiah dari ibu ketika mengantarku ke gerbang pesantren. Biarlah kucukupkan sujudku karena malam ini aku takkan meminta apapun dari lelaki yang berseliweran hingga pagi. Malam ini, Aku ingin berdoa, tapi tak persis sama dengan doa yang diajarkan oleh guru-guruku, karena aku telah belajar pada guru terakhirku yang tak pernah kuberi nama. Tuhanku.....!, Jika kelak aku tak cantik lagi untuk jadi pelengkap birahi, tolong beri aku kesempatan duduk di pinggir kali yang membelah kota ini, karena aku tahu di atas sampah yang mengapung ada semut yang pernah mendengar desah nafasku dan tawa manjaku berharap mendapat bayaran lebih dari biasanya.
| Darwin Badaruddin
93
Tuhanku....!, Jika kelak Engkau masukkan aku ke dalam neraka-Mu, tolong jangan sumpal mulutku dengan bara amarah-Mu, karena betapa aku ingin mencintai-Mu, tapi jazadku berlumur nanah. Tuhanku....!, Jika kelak Engkau masukkan aku ke syurga-Mu, akan kucari telaga airmata ibuku yang tak pernah kering, yang terus menyimpan bayang bulan purnama, sedetik saja, meski sesudah itu Engkau bakar tubuhku, karena kutahu : cinta ibuku, adalah serpihan cinta-Mu.
Tidak itu saja, dalam beberapa puisi, kita juga menemukan kemampuannya untuk meniadakan hal-hal yang cengeng pada hal ihwal yang semestinya menguras air mata. Kenyataan ini bisa kita temukan pada puisi Perempuan itu Menemui Tuhannya. Puisi naratif ini nyata sekali tengah mencoba membangun kesan sekaligus kesadaran lain pada sebuah kematian yang biasanya dirayakan dengan tumpahan tangis dan lelehan duka. Namun di tangan Darwin Badaruddin, kita justru diminta untuk “mengejanya” seraya menangkap pesan dan nilai lain. Yakni aroma patriotik dan humanis yang syarat dengan suasana religiusitas dalam teksnya. Sebagaimana Julia Kristeva pernah menyetir bahwa, teks sastra adalah juga mosaik dan kutipan-kutipan yang merupakan penyerapan serta transformasi dari teks-teks lain. Khusus, suasana religiusitas yang magis inipun kian menegas dengan gaya teriakan yang parau pada puisi Alif berikut ini :
| Darwin Badaruddin
94
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
95
boleh jadi akan menjadi berbeda. Sebagaimana yang kita baca dalam buku kumpulan puisi ini.
I? I? I? kutanya apa pada siapa alif menghadap langit alif menghujam bumi alif di langit alif di bumi alif di bulan alif di awan alif di laut alif di ombak alif di daun alif di semut alif di bara alif di salju alif di tawa alif di tangis alif di makkah alif di mandar alif di mana saja tapi alif masih juga satu tidak beranak tidak diperanakkan bahkan oleh alif sendiri karena alif segala sebab.
Selebihnya catatan ini kiranya tidak tengah dimandatkan dirinya untuk menjadi “guide” bagi pembaca, sebab biarlah kemerdekaan penciptaan pada karya-karya yang ada dalam buku ini juga berbanding sebangun dengan kemerdekaan pembaca untuk memilih gaya merespon, membaca, mentafsir dus mengapresiasinya. Dan tak usalah catatan ini terlalu panjang dan merepek begitu liar, menyita ruang serta waktu kita semua. Kepada para pembaca, bersegeralah membaca karya ini, sebab hanya dengan begitu kita akan segera menangkap suasana kebatinan dan imaji yang sebelumnya telah dibaca pikirkan oleh penyairnya. Selamat merayakan perjumpaan itu, tidak hanya sebagai terminal persinggahan belaka. Tetapi sebagai upaya untuk masuk dan berdiam dalam wilayah yang sungguh personal sebagaimana yang telah dilakukan oleh penyairnya, sekaligus diharapkan mampu menyulut persepsi kita sebagai pembaca. Sebagaimana sejatinya kita membaca sastra untuk membangun persepsi dan mencecap nilai kemuliaan kemanusiaan. Dan begitulah puisi yang sejatinya adalah ruang meditatif. Semoga katarsis ! *)
Akhirnya apapun yang ada pada buku Kumpulan Puisi Hitam Putih ini seakan tengah meminta kita untuk tidak sekedar melihat segenap persoalan hidup dengan frame berfikir hitam putih atau “kaca mata kuda” belaka. Sebab di tangan seorang penyair yang telah mematang rentangkan garis hidupnya dalam dunia kepenyairan,
| Darwin Badaruddin
Muhammad Syariat Tajuddin, Sastrawan Muda Mandar, Kini tinggal di Mandar dan ikut mengelolah media online www.suaramandar.com
| Darwin Badaruddin