Surat Sutera Putih: WATAK PUISI 1.
Apa-bagaimana watak puisi? Masalah inilah yang dibicarakan oleh Jean-Pierre Siméon dengan Claude Colombo-Lee dari Harian Katolik, La Croix, Paris, salah satu harian tertua Perancis, pada 9 Maret lalu. Jean-Pierre Siméon, lahir pada tahun 1950 di Paris adalah seorang penyair, penulis roman [romansier], dramartug dan juga kritikus sastra. lulusan Di samping itu, doktor lulusan sastra modern ini, sejak lam a mengajar di Institut Universitas Clermont Ferrand, kota di mana ia bertempat tinggal sampai sekarang. Pada tahun 1986, di Clermont Ferrand, Siméon yang berhasil meraih berbagai hadiah sastra, mengambil prakarsa untuk menyelenggarakan Pekan Puisi yang didukung oleh Jack Lang, Menteri Kebudayaan pemerintah Mitterrand. Untuk Pekan Puisi yang ke-XI ini, dan berakhir kemarin, 18 Maret 2007, Siméon menerbitkan antologi puisi berjudul "Lettera Amorosa" [L'Edition 2007 du Printemps]. Dalam Pekan Puisi Ke-IX ini, Siméon, berfungsi sebagai Direktur Artistik. Seperti diketahui Pekan Puisi dimaksudkan untuk memasyarakatkan puisi, mengembalikan puisi ke tempat semula: ke haribaan ibu kandungnya yaitu masyarakat. Saat ditanya oleh Claude Colombo-Lee dari Harian La Croix, Paris, tentang soal hubungan puisi dan masarakat, Siméon mengatakan bahwa "pertama-tama yang harus dilakukan tidak lain daripada melenyapkan kesalahpahaman dan prasangka publik besar [grand public] yang ditanamkan selama beberapa dasawarsa terakhir". Selanjutnya Siméon, yang menjadi Direktur Artistik "Printemps de Poètes" [Musim Semi Penyair], mengatakan bahwa "selama ini banyak orang mempunyai ide keliru tentang puisi disebabkan oleh ketidaktahuan mereka". Adanya pandangan keliru ini juga erat hubungannya dengan pendekatan pengajaran di sekolah-sekolah terhadap cabang sastra ini. Pendekatan yang dimaksudkan oleh Siméon adalah pengajaran puisi yang dilakukan di sekolah-sekolah berdasarkan repertoar terbatas serta pandangan-pandangan yang terlalu tekhnis. Tapi apakah yang tidak berkembang di dunia ini? "Semuanya mengalir", ujar Heraclitus filosof Yunani Kuno sebelum Masehi. Arus yang mengembarai sungai pun tidak pernah sama dengan yang mengalir kemarin atau beberapa saat lalu. Demikian pula halnya dengan materi pelajaran yang diberikan di sekolah-sekolah juga berkembang berkat jasa para kritikus dan debat untuk perbaikan [bukan debat asal debat dan cari menang sendiri] yang tidak kunjung henti. Sekali pun telah terjadi perkembangan, yang disesalkan oleh Siméon, seperti juga yang dikritik oleh Todorov, adalah kenyataan masalah dasar yaitu pendekatan terhadap puisi dan pengajarannya masih belum juga banyak berobah. Pendekatan sastra, termasuk puisi, masih menekankan pada masalah tekhnis. Keadaan beginilah yang menyebabkan TzvetanTodorov berkesimpulan dalam esai terbarunya "La Littérature En Péril" [Flammarion, Paris, 2007, 95 hlm.] menyebut sastra Perancis dipenuhi oleh "nihilisme dan otofiksi". Yang sungguh-sungguh sastrawan bisa dihitung dengan jari sebelah tangan sekali pun karya yang diterbitkan pada Januari 2007 lalu mencapai jumlah 300an novel dan roman. Apakah "nihilisme dan otofiksi" ini, tidak mengenai sastra kekinian kita? Ataukah yang namanya Indonesia, termasuk dunia sastranya, kekhasan yang tak mengindahkan nilai dan pendekatan layak bagi suatu sastra dengan takaran
umum? Pertanyaan begini muncul di benakku, teringat akan pemahaman atau penafsiran bahwa Pancasila, dari segi demokrasi dan HAM merupakan demokrasi dan HAM unik, yang bisa bergandengan dengan diktaturialisme, otoritarianisme dan militerisme. Kata Indonesia nampak di mata pikirku sebagai suatu mantera pembenaran bagi ketidakmanusiawian dan penyimpangan dari nilai republiken dan keindonesiaan serta universalisme manusiawi. Masalah lain menarik yang diajukan oleh Siméon adalah pertanyaan: Apakah puisi merupakan suatu seni elitis terbatas pada kalangan-kalangan tertentu saja di mana ide yang kita miliki diungkapkan secara halus. Apakah puisi merupakan ornamen diperlukan bagi "keberadaan" [l'existence], suatu kegiatan yang menyenangkan dan indah-lembut? Pendekatan dominasi tekhnis terhadap puisi selama ini, membuat puisi sebagai wilayah asing dari kehidupan bermasyarakat dan anak manusia. Demikian Siméon. Padahal puisi pada galibnya, menurut Siméon, merupakan sarang pemikiran dan kepentingan masyarakat manusia. Aku tidak tahu, apakah pertanyaan-pertanyaan Jean-Pierre Siméon dan konstatasi Todorov di atas, merupakan pertanyaan yang bisa diketengahkan ke dunia perpuisian Indonesia kekinian, termasuk sastra cybernya yang dikhawatirkan oleh Ibnu Wahyudi dari Universitas Indonesia, gampang terjerumus sebagai ajang silahturahmi. Apakah puisi Indonesia merupakan wilayah bermain keisengan dan sekedar sejenis "ceremony of life"? Pertanyaan-pertanyaan Simeon ini, kukira, jika mungkin dan padan dikenakan pada sastra Indonesia sekarang akan menyangkut masalah apa-bagaimana watak wajah perpuisian Indonesia kekinian. Ataukah pertanyaan-pertanyaan ini tidak relevan untuk konteks Indonesia -- nama yang menjurus dari keunikan dan penyimpangan sehingga yang putih bisa berarti hitam, yang hitam bisa dimaknakan putih. Beginikah, adakah, gejala integritas sastra dominan kita di bawah label konsep bahwa "segalanya bisa diatur", "komplotisme" dan "kroyokisme" jika menggunakan istilah alm. Pramoedya A. Toer, ujud lain dari jalan pintas dan kemalasan berpikir?
Barangkali ada yang sewot dengan pertanyaan-pertanyaanku ini. Menganggap pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai hasil dari pendekatan "hitam-putih" dan tidak menetrapkan metode "positive thinking". Jika memang ada yang memandang pertanyaan-pertanyaan demikian kuajukan dengan pendekatan seperti itu, maka aku ingin menjelaskan bahwa pertanyaan pada galibnya mengandung hakekat ingin mendapatkan penjelasan didasarkan pada suatu hipotesa. Hipotesa tidak lain dari suatu keraguan dan bukan kesimpulan karena itu memerlukan penjelasan beserta pembuktian. Bukan ditanggap dengan tudingan memastikan. Menjawab hipotesa dengan tudingan memastikan tanpa keterangan dan apalagi tanpa pembuktian, kukira sama dengan tidak menjelaskan apa-apa yang tak jauh berbeda dengan metode berpikir jalan pintas, mie instan dan gampang-gampangan juga adanya. Ujud dari kemalasan berpikir. Apabila dasar pertanyaan hipotetis itu tidak benar, maka yang perlu dibuktikan bahwa dasar pertanyaan hipotetis itu tidak benar. Bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak relevan. Sedangkan metode pendekatan "positive thinking" itu sendiri, kukira berangkat dari hipotesa kemauan baik seseorang saat menghadapi interlokutornya. Bentuk dari toleransi, menyediakan ruang kebenaran pada pihak lain. Tapi tidak berarti sudah memastikan "harga" atau "nilai". Metode pendekatan "positive thinking", tidak juga bertujuan merenggut ruang bagi daya kritik. "Positive thinking" jadinya landasan dari suatu debat memburu hakekat. Sikap anti ini dan itu secara apriori, apalagi jika tidak dilandasi oleh pengetahuan yang layak, kukira, bertentangan dengan metode pendekatan "positive thinking". Apriori adalah bentuk lain dari jalan pintas
juga. Menyederhanakan masalah, yang jarang sederhana, menjadi dua warna "hitam putih". Mutlak-mutlakan yang menganggap diri sebagai pemilik tunggal kebenaran. Pertanyaan hipotetis, apakah menyederhanakan soal? Pertanyaan hipotetis berdermagakan kuriusitas, merupakan sarana melaut mencari pantai-pantai kebenaran yang seperti kalimat tak punya titik. Pertanyaan hipotetis begini merupakan salah satu ciri atau watak puisi. Penyair akan mati selagi hidup tanpa pertanyaan hipotetis apalagi jika memandang puisi sebagai lapangan bermain keisengan. Sedangkan curhat menggunakan puisi, tidak otomatis menjadi puisi, tergantung pada kadar curhat dan curhat itu.
Metode berpikir jalan pintas, kukira, sangat dominan di negeri ini. Apalagi "budaya takut", kebiasaan hanya mengucapkan "ya" dan tak berani mengucapkan "tidak" yang dominan selama Orba, tidak akan begitu saja hilang tanda-tanda dan pengaruhnya, sekali pun ketika Soeharto sudah tidak lagi menjadi "Presiden", banyak orang berlomba-lomba menyebut diri sebagai anti Orba. Sementara kenyataan dan matahari tidak bisa ditutup dengan telapak tangan. Apakah keadaan begini, bukan bentuk dari suatu mentalitas juga? Apakah ini bukan sikap terhadap diri sendiri? Kerusakan pola pikir dan mentalitas, sebatas penglihatanku, merupakan kerusakan terbesar tinggalan Orba Soeharto. Pelarangan 13 buku sejarah oleh Kejagung, apakah tidak merupakan petunjuk paling aktual?!
Kesewotan bisa punya macam -macam makna. Pertama, ia memang punya dasar, dan jika ia tidak bia diberikan penjelasan berbukti, sewot memperlihatkan bahwa kebenaran dan kenyataan itu menyakitkan. Untuk sakit dan melihat buruknya muka jiwa yang bopeng, bukan hal yang gampang. Kesulitan tatapan dengan kebenaran sering membuat orang menafsi rkan kritik atau pendapat yang berseberangan sebagai cacian, sebagai pendekatan "hitam -putih". Demikian juga halnya di dunia sastra. Dalam soal ini, aku pribadi, banyak belajar dari debat dan sikap berdebat di Perancis yang sudah mengabad, terungkap pada kata-kata "oui, mais..." [ya, tapi....] sebagai sikap dan tak mau menerima begitu saja suatu pernyataan. Menempatkan suatu pernyataan sebagai hipotesa. Debat bermula dari pendirian bahwa selain wahyu ada sumber kebenaran lain sehingga akhirnya terjelma dalam bentuk pemisahan Negara dan agama serta jabaran nilai "liberté, égalité et fraternité" sebagai hak-wajib dasar, yang secara singkat disebut nilai-nilai republiken. Istilah "warga negara" [citoyen/nne], sebenarnya tidak lepas dari rangkaian nilai ini juga. Apakah ini suatu "language game", "permainan kata"? Apabila ada yang memandangnya demikian, maka pertanyaan ini bisa dijawab dengan pertanyaan: Apa gerangan sebenarnya hakekat bahasa, cq, kata? Berabad lalu, Confucius sudah mengajarkan bahwa "para penyelenggara kekuasaan perlu memahami makna kata". Sastra, termasuk puisi, apakah bisa dibebaskan dari kata dan bahasa? Benar juga. Karena sastra menggunakan bahasa dan kata sebagai sarananya maka ia mengandung unsur "permaian kata" dan "bahasa". Jika masing-masing bangsa mempunyai sastra sendiri, artinya "permainan kata" dan "permaian bahasa" atau seni bahasa itu bukan monopoli Perancis saja. Sastrawan akan memberikan sumbangan kepada kesempurnaan bahasa yang ia gunakan, jika ia sadar bahwa ia bekerja dengan bahasa dan kata. Bisakah penyempurnaan bahasa diharapkan dari sastrawan jika ia sendiri meremehkan dan merusak bahasanya? Makin sempurna suatu bahasa makin tinggi daya ungkapnya. "Bahasa merupakan kunci dari kemajuan", ujar Maurice Druon dari l'Académie française, sebuah lembaga berprestasi yang menangani masalah perkembangan bahasa Perancis.
Baris-baris di atas tidak lain merupakan jawabanku atas beberapa tanggapan prinsipil, baik dari segi metode pendekatan mau pun dari segi isi [substansi] atas bagian pertama "surat sutera putih" tentang "watak puisi" ini. Sekarang aku kembali ke soal pendapat Jean-Pierre Siméon, yang juga seorang penyair, tentang puisi dan arti Printemps des Poètes [Musim Semi Penyair] , suatu kegiatan perpuisian yang diorganisasi oleh Perancis dan lembaga-lembaga kebudayaannya melampaui batas wilayah Republik Perancis, bahkan sampai di Indonesia, seperti Jakarta dan Bandung. Terlebih dahulu, aku ingin menuturkan pendapat Siméon sebagai direktur artistik kegiatan "Printemps des Poètes", tentang kegiatan "Musim Semi Penyair" ini.
"Printemps des Poètes", yang diselenggarakan saban tahun, oleh Siméon, dipandang sebagai "salah satu sarana atau cara melakukan perlawanan terhadap anggapan-anggapan salah terhadap puisi". Kegiatan "Printemps des Poètes" ingin mengatakan serta menunjukkan kepada masyarakat, dengan cara membaca dan membiarkan mereka membaca sendiri, teks-teks kekinian. Dengan cara ini, mereka bisa menyadari bahwa sesungguhnya puisi itu tidaklah seperti yang mereka perkirakan atau anggap. Apabila kita membaca dan memperhatikan "puisi-puisi riil" Perancis yang diciptakan dewasa ini, kita akan menyadari bahwa puisi Perancis sekarang, sangat-sangat beraneka-warna dan sebagian terbesar karya-karya tersebut makin besar dan membesar penggemarnya. [Kenyataan begini, membantah dugaan sementara orang di Indonesia yang menganggap bahwa dunia perpuisian Perancis sangat njelimet dan ketat sehingga tidak memberikan peluang bagi pembaruan-pembaruan. Aku tidak tahu dari mana asal-muasal dan bagaimana anggapan begini bisa muncul. Apakah dugaan dan anggapan begini berdasarkan pengenalan ataukah suatu kira-kira tak berdasar atau a priorisme?]. Selanjutnya, melalui kegiatan "Printemps des Poètes", diharapkan oleh Siméon, bisa ditunjukkan bagaimana memahami teks, berbeda dengan cara-cara yang dilakukan di sekolah-sekolah. Menurut Siméon, di sinilah justru terletak nilai penting "Printemps des Poètes". Dengan cara ini diharapkan orang-orang memasuki dunia puisi, seperti halnya mereka memasuki genre sastra yang lain, secara spontan, naif, tapi dengan penuh kecintaan. Karena merasakan puisi sebagai ucapan eksistensi diri, lepas dari segala a priori. Berhadapan dengan puisi sebagaimana laiknya kita melakukan sesuatu yang seniscayanya kita lakukan. Menimbang puisi sebagaimana adanya puisi itu sendiri sebagaimana kita berbuat saat berhadapan suatu panorma, menghadapi tamasya indah itu sebagaimana adanya yang merentang di hadapan kita.
Dan benar, ujar Siméon, bahwa puisi sesungguhnya mempermasalahkan hal-hal yang sangat hakiki: metafisik, sosial, dan politik. Tapi justru karena itu, menurut Siméon, dari puisi dituntut untuk sederhana [Pandangan tentang kesederhanaan begini juga pernah diucapkan oleh penyair Agam Wispi alm. dengan tambahan bahwa "untuk sederhana itu tidak mudah"]. Karena itu jika ada anggapan negatif tentang puisi, atau sulitnya orang-orang dalam membaca puisi, hendaknya pertama-tama jangan orang-orang ini yang disalahkan. Bahwa jika terjadi ada pemahaman dan ketidakpahaman terhadap puisi, menurut Siméon, hal demikian merupakan kenyataan tak terelakkan. Termasuk misteri dan teka-teki yang muncul saat membaca karya puisi atau keinginan untuk memberikannya makna. Karena itu
Octavio Pas [sastrawan Meksiko] dan Francis Ponge [penyair Perancis], berpendapat bahwa pada akhirnya yang menjadi penyair dengan membaca puisi, dan yang menyusun puisi, sebenarnya adalah para pembaca itu sendiri. Membaca pun jadinya merupakan suatu kegiatan kreatif. Melalui kegiatan membaca teks, maka terbentuk kelompok perempuan, lelaki dan orang-orang yang bergiat di dalam teks. Anehnya, jika ini dianggap keganjilan, walau pun ada ketidakpahaman terhadap puisi, terdapat kesulitan-kesulitan memahami puisi, kita saksikan bahwa orang-orang masih saja menaruh minat pada puisi. Gejala ini mengusik tanya: Gerangan apakah yang menyebabkannya? Apakah karena puisi memang mengandung "arti" [sens] bagi kehidupan dan orang-orang mencari makna baru di luar adanya ideologi-ideologi besar? Jawaban pertanyaan ini, dilihat oleh Siméon, pertama-tama terletak pada kepentingan orang akan bahasa. Bahasa puisi di telinga orang-orang terdengar merdu, mempunyai gaunggema tersendiri. Pada saat orang-orang terlibat dalam percakapan, berada di tengah-tengah limpahan kata-kata sehingga pengertian kita terapung olehnya, tiba-tiba kita merasakan puisi tampil dengan kepadatannya yang mewakili. Ketika mendengar sebuah puisi, kita rasakan puisi memberikan kita makna dengan kepadatan dan kesederhanaannya. Puisi jadi tampil dengan prestisenya. Mendengar puisi, orang-orang merasakan seakan ada orang lain sedang berucap. Mengatakan sesuatu. Di sinilah lalu, puisi dengan alur jalannya yang bertolakbelakang dengan banjuir kata-kata menghadirkan suatu kepentingan.
Selain itu, apakah puisi memang menawarkan suatu makna sebagai makna yang diharapkan kehidupan? Jika memang demikian, apakah makna yang diberikan oleh puisi? Pertanyaan ini barangkali juga akhirnya menyangkut tanggungjawab penyair, bagaimana berpuisi dan posisi puisi dalam masyarakat. Tentu saja, jawaban seorang penyair satu dan yang lain, akan wajar jika berbeda-beda, sesuai dengan konsep bersyair dan pandangan hidup pilihan masing-masing. Berikut ini adalah pandangan Siméon. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas ini, Jean-Pierre Siméon, pertama-tama, melengkapi pertanyaan dengan bertanya: "Kapan puisi itu berarti dan tidak punya arti?" Lengkapan pertanyaan ini, ia jawab sendiri dengan pernyataan bahwa "puisi mengakhiri maknanya ketika ia menjadi jurubicara [porte parole] suatu dogma". Dogma berbeda dengan theologi atau isme dan ideologi yang merosot jadi dogma. Dogma menghentikan tanya. Dasar alasan pernyataan Siméon ini adalah anggapannya bahwa "puisi berfungsi mempertanyakan sesuatu". "Puisi" di mata Siméon, "tanpa henti mempertanyakan dunia". Fungsi ini oleh tak sedikit penyair dan seniman dilambangkan sebagai "pengembara", "perjalanan tak punya sampai", "pinisi", "kuda jalang" yang "tidak ditambatkan pada siang dan malam", dan lain-lain. Di Perancis disebut sebagai "libre d'esprit" dan di tahun ini, lebih-lebih pada saat pertarungan ide di masa pemilu presidensial yang akan berlangsung bulan Mei 2007 nanti, aku melihat perkembangan baru, dimaknakan juga sebagai arti kata "warganegara" [citoyen/nne] dan "anak manusia" itu sendiri. Dogma menjadikan orang jadi budak. Seperti kuda penarik pedati atau andong. Dalam sejarah pepuisian Indonesia, baik yang berbahasa Indonesia mau pun yang berbahasa lokal, konsep Siméon ini sebenarnya bukanlah barang baru. Sehingga
bukan merupakan sesuatu yang mewah dan asing, apalagi jika kita mencermati sejarah puisi baik yang tulisan mau pun yang lisan [Ajaibnya di negeri kita, orang lebih suka menggunakan istilah "oral" daripada "lisan". "Keajaiban" yang secara tersirat mencerminkan "rasa rendah diri", tidak mampu menghargai diri dan bahasa sendiri. Keadaan yang disebut oleh Mao Zedong, "lebih mengenal Yunani Kuno daripada Tiongkok". Mau berbicara tentang dongen pun yang diusulkan pertama bicara tentang Cinderlla, bukan kisah kancil, Yuyu-Kangkang, Sangkuriang, dan lain-lain... Lu Sin, pengarang Tiongok, abad ke-20 menamakan keadaan begini sebagai keadaan "sakit jiwa". Karena itu Lu Sin membatalkan niatnya j adi dokter medikal, dan memilih menjadi penulis]. Selanjutnya, Siméon mengatakan puisi itu berperan "menanyakan arti". "Puisi merumuskan pertanyaan yang dinanti-nantikan zamannya, pertanyaan-pertanyaan yang terpendam di nurani warga sebagai individu dan masyarakat". Benar, bahwa "ketika merumuskan pertanyaan-pertanyaan-pertanyaan, tidak jarang sang penyair menuangkannya secara brutal, menyengat, dan tidak memperhitungkan dampak-dampaknya". Terutama bagi dirinya sendiri. Barangkali pernyataan Cak Durasim, pemain ludruk dari Jawa Timur yang dibunuh militerisme Jepang, bisa diambil sebagai salah satu contoh: "pagupon omahe doro melu nippon tambah sengsoro" atau baris alm.Wiji Thukul: "hanya ada satu kata lawan!" kata-kata yang membuatnya hilang tak tentu rimba, tenggelam tak tentu lautnya. Karena Wiji sebagai anak zaman merumuskan permasalahan zamannya tanpa menghitung dampak-dampak pada diri pribadinya. Tapi tidak jarang perumusan "brutal, menyengat dan tidak mengperhitungkan dampak-dampak" pada diri-sendiri ini, oleh kritikus "aristokrat", "anak pangeran" , menggunakan istilah penyair Perancis, Paul Eluard, dinilai tidak sebagai puisi. Tapi menjadi puisi ketika mereka sendiri melakukannya. Dari keadaan begini, aku hanya bisa membacanya bahwa puisi pun sesungguhnya merupakan suatu arena pertarungan pikiran dan kepentingan. Dan penyair barangkali pada dasarnya, melalui kalimat-kalimat pertanyaan tak punya titik, selalu ada di koma, pada galibnya adalah seorang pemberontak dan yang tak segan berenang melawan arus. Eros yang dikutuksumpahi Ahaseros, merangkaki dinding-dinding kota sampai akhir khyayatnya. Ketika merumuskan pertanyaan-pertanyaan atau permasalahan, "sang penyair yang berwawasan, akan senantiasa menjadi bagian dari nilai universalitas". Tanahair, bangsa, etnik, Tionghoa Totok dan peranakan hanyalah bagian dan warna pelangi langit bumi tanahairnya bernama kemanusiaan yang dalam kata-kata Paul Ricoeur alm. disebut sebagai "kemanusiaan itu tunggal". Oleh manusia dahulu [bukan sekarang!] dijabarkan dalam kata-kata: "rengan tingang nyanak jata" [anak enggang, putera-puteri naga].
Selanjutnya Siméon mengatakan: "Karena itu ketika kita membaca sebuah puisi sering kita merasakan bahwa kita disambungkan dengan dunia kemanusiaan yang tunggal yang terdapat di luar batas geografis". Misalnya:" Saat kita membaca puisi-puisi Tiongkok abad ke 12, kita tiba-tiba merasakan bertemu dengan kemanusiaan yang dalam bahasa yang sangat ekonomis". Mungkinkah perasaan begini diungkapkan oleh seorang dogmatis, nama lain dari budak secara mentalitas? Mungkinkah pesan, suasana dan perasaan begini diundang oleh puisi-puisi tingkat curhat hampa wawasan? Puisi curhat, kukira tidak lebih dari puisi tingkat instingtif.
Sekali pun puisi sering jadi pulau terkucil di tengah laut pemahaman tapi ia senantiasa ditunggu dan diharapkan. Ini pun dinyatakan oleh Siméon: "Saya sangat optimis akan hari esok puisi dan kehidupan puisi, karena sejak beberapa tahun, saya saksikan sendiri publik pembacaan puisi dan pembaca puisi dari tahun ke tahun bertambah tanpa jeda. Ke mana pun saya berkunjung dan tampil, saya selalu berhadapan dengan banyak pengunjung". Sekali lagi, barangkali kesimpulan Siméon ini sama dengan sikap menghadapi seorang anak yang sulit dimengerti tapi dirindukan dan diperlukan. Mungkinkah ia diperlukan jika ia tidak memberikan makna? Kalau karena penyair sering disebut "nyentrik" atau "liberal" dan lain-lain sebutan, tapi sebutan-sebutan ini, bagiku sendiri, tidak sama dengan bebas dan hampa nilai. Dari segi republik, penyelenggara Negara, politik, "nyentrik" dan "liberal" menunjukkan penyair diperlukan sebagai salahs atu pengawas sosial dan politik. Barangkali "nyentrik" dan "liberal" bisa diartikan "libre d'esprit", penolakan jadi budak dan hanya bisa mengatakan "ya". Apakah bangsa kita dan kemanusiaan memang memerlukan budakisme yang terkurung di penjara dogma, fanatisme dan pemujaan mitik untuk menjadi warga negara dan anak manusia ? Dalam pengertian inilah kukira tersirat makna kata-kata Chairil Anwar : "yang bukan penyair, minggir!" Puisi sebagai bayi kandungan "libre d'esprit", hasil pergulatan pencarian "free thinker" dan "humanism great lover", lahir dan muncul ke tengah-tengah kehidupan masyarakat sebagai "anak nakal yang cerdik", tak obah bagaikan seorang anak yang mengacungkan tinju kecilnya menjawab tantangan langit atau seperti Sun Wu Kung, si raja kera putih, yang jujur dan setia pada mimpi manusiawinya, tak segan menyerbu dan mengobrak-abrik kerajaan sorga. Puisi pun tak obah bagai tokoh legenda Dayak Katingan: Panimba Tasik dan Panetek Gunung turunan Utus Panarung, perujudan dari "Sanaman Lampang" [Besi Timbul], wajah mental dari "rengan tingang nyanak jata" [anak enggang putera-puteri naga]. Puisi adalah mandau penuh isi di tangan tokoh-tokoh legendaris yang menyimbolkan wajah mental rakyat berbagai negeri. Karena itu, sekali pun puisi sering tidak dipahami bahkan dibenci tapi ia dirindukan dan dicintai. Tak dihalau dari rumah hati manusia. Hati manusia tidak pernah menjadi pintu terpalang bagi puisi. Seperti para penunggu penguasa kerajaan sorga mencintai Sun Wu Kung. Oleh serbuan Sun Wu Kung, penguasa kerajaan sorga terkesiap dan mengoreksi olahnya yang melanggar prinsip sorgawi. Sun Wu Kung, sang raja kera putih adalah puisi itu sendiri. Kesetiaannya pada prinsip manusiawi dan kesanggupan total membela prinsip ini , menyebabkan puisi dicintai dan dirindukan walau pun terkadang menjengkelkan oleh ungkapan "brutal dan menyengat"nya.
Posisi puisi yang begini, oleh Siméon, dinilainya sebagai "kekuatan puisi". Kongkretnya sebagai "kesanggupan berlawan". "Kekuatan puisi terletak pada daya lawannya". Demikian Jean-Pierre Siméon dalam wawancaranya dengan wartawan budaya Harian La Croix , Paris, berkenaan dengan kegiatan "Printemps des Poètes". Melawan apa? Apakah melawan asal melawan? Siméon mengatakan bahwa yang dilawan oleh penyair melalui puisi-puisinya adalah "pseudo-valeurs dominantes de notre société" [nilai-nilai semua dominan dalam masyarakat kita]. "Pseudo-valeurs dominantes" inilah yang diberontaki puisi dan menjadi salah satu watak puisi. Yang memberikan kekuatan pada puisi sehingga ia cepat atau lambat diindahkan. Membuat pembaca atau pendengarnya tercengang ketika berhadapan dengan puisi karena merasa seperti melihat suatu cakrawala lain. Selain itu, puisi juga mempunyai watak "menolak immediatitas"[l'immediateté], "menolak kesegeraan [la vitesse], "menolak permukaan" [la surface]. Apakah puisi curhat sampai pada tingkat ini? Apakah puisi ratap tangis putus cinta yang sering dimegatruhkan berada pada taraf yang disebut oleh Siméon sebagai watak puisi itu? Barangkali, dengan mengacu pada watak puisi yang diajukan oleh Siméon ini, kita bisa melihat ulang puisi-puisi yang ditulis oleh penyair-penyair Lekra [Lembaga Kebudayaan Rakyat] dulu yang sering terjebak pada "immediatitas", "kesegeraan" dan "permukaan". Puisi-puisi curhat, kukira bagian dari puisi jenis ini. Termasuk puisi-puisi "terpenjara" dogma. Menurut Siméon, puisi-puisi "immediatitas", "kesegeraan", dan "permukaan" "menempatkan puisi pada ruang kosong, di dalam vertikalitas". "Puisi jenis ini puas dengan "kelambanan, puas dengan kepasrahan, lega dengan berleha-leha. Padahal arti sebuah puisi", menurut Siméon, sebenarnya berwatak "mengatasi waktu" [se conquiert dans le temps]. Makna yang diungkapkan oleh puisi, akan diraup setelah berkali-kali membacanya. Puisi membangunkan kualitas manusiawi yang sering terkantuk-kantuk dalam jiwa kita sebagaimana dikatakan oleh Malbranche sebagai "doa jiwa" [la prière de l'ame]. Kecuali itu, Siméon juga melihat bahwa puisi itu berwatak atau bercirikan usaha mengajak kita menyelami dan mengeksplorasi hal terdalam di nurani anak manusia lain karena kenyataan, menurut Siméon, tersembunyi di balik pepohonan dan doa. Kedalaman manusiawi dan kasihsayang manusia, sebenarnya berada di hadapan kita sebagai penyair untuk dieksplorasi serta dijelajahi. Demikian Jean-Pierre Siméon. Penyair saja yang sering tidak mengacuhkannya karena keasyikan dengan diri sendiri, dengan "nihilisme dan otofiksi", jika menggunakan istilah esais Perancis, Todorov. Apakah watak atau ciri puisi yang dikemukakan oleh Siméon di atas, hanya mempunyai arti sebatas dunia perpuisian Perancis saja? Penyair, seperti halnya dengan semua anak manusia, tanpa memerlukan perdebatan atau silang kata, akhirnya menentukan dan memilih nilai dirinya sendiri. Termasuk kadar puisi-puisi mereka sendiri, penyair itu sendirilah yang menentukannya. ****
Paris, Maret 2007 ----------------------JJ. Kusni