REPRESENTASI CINTA DAN KASIH DALAM KUMPULAN PUISI DOA UNTUK ANAK CUCU KARYA W. S. RENDRA1 M. Rafiek Universitas Lambung Mangkurat
Abstrak Representasi cinta dan kasih dalam kumpulan puisi yang berjudul Doa untuk Anak Cucu terdapat dalam delapan buah puisi. Kedelapan buah puisi itu adalah (1) Gumamku, ya Allah, (2) Doa, (3) Syair Mata Bayi, (4) Tentang Mata, (5) Inilah Saatnya, (6) Rakyat adalah Sumber Ilmu, (7) Jangan Takut, Ibu!, dan (8) Tuhan, Aku Cinta pada-Mu. Representasi cinta dan kasih itu diwujudkan dalam (1) cinta kepada Tuhan, (2) cinta dan kasih kepada bayi atau anak, (3) cinta kepada kekasih, (4) cinta dan kasih kepada sesama manusia, (5) cinta dan kasih kepada rakyat, dan (6) cinta dan kasih kepada ibu. Secara umum, cinta kepada Tuhan termuat dalam 3 buah puisi, yaitu (1) Gumamku, ya Allah, (2) Doa, dan (3) Tuhan, Aku Cinta pada-Mu. Selebihnya representasi cinta dan kasih hanya terdapat dalam sebuah puisi. Hal ini menunjukkan kuatnya hubungan vertikal si aku lirik dengan Tuhannya dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu ini. Kata-kata kunci: representasi, cinta, kasih
PENDAHULUAN Eagleton (2006: 142-143) menulis bahwa kita bisa membuat metafor sebab kita memiliki serangkaian tanda yang „setara‟: „gairah‟, „api‟, „cinta‟, dan seterusnya. Lebih lanjut, Eagleton (2006: 143) menyatakan tetapi dalam puisi, kita memperhatikan „kesetaraan‟ dalam proses mengombinasikan sekaligus memilih kata-kata. Pernyataan Eagleton ini menunjukkan kepada kita bahwa aspek cinta ada dalam karya sastra. 1
Makalah disajikan dalam Seminar Internasional Linguistik, Sastra, dan Seni yang diselenggarakan oleh Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat pada hari Sabtu, 2 Mei 2015 bertempat di Aula Rektorat Lt.I Unlam Banjarmasin.
Pernyataan Eagleton juga memperlihatkan adanya kombinasi dan pilihan kata tertentu yang digunakan oleh pengarang (penyair) dalam membuat puisinya. Eagleton (2006: 146) menyatakan bahwa puisi dapat menghasilkan seperangkat pesan yang lebih kaya. Eagleton (2006: 146) juga menyatakan bahwa puisi dianggap buruk jika tidak membawa informasi yang cukup. Oleh karena itu, puisi menjadi semakin bermakna dan bernilai sastra jika di dalam terdapat pesan dan informasi yang cukup bagi pembaca. Eagleton (2006: 148) menyampaikan bahwa beberapa struktur puisi hanya dapat dirasakan secara kilas balik. Eagleton (2006: 148) menyatakan bahwa puisi mengaktifkan penanda secara penuh, memacu kata bekerja sekeras mungkin di bawah tekanan yang berat dari kata-kata di sekitarnya. Untuk bisa memahami sebuah puisi mau tidak mau kita harus membacanya secara berulang-ulang dan berupaya memahami penandanya dengan menggunakan teori sastra dan sejarah sastra yang kita kuasai. Rosidi (2013: 163-170) memasukkan W. S. Rendra sebagai penyair dalam periode 1953-1961. Rosidi (2013: 163) menyatakan bahwa W.S. Rendra adalah penyair Indonesia terpenting pada masa tersebut. Aveling (2002: 107) menyatakan bahwa menurut pendapat beberapa pengamat puisi, W.S. Rendra adalah penyair terbesar Indonesia setelah Chairil Anwar. Aveling (2002: 108) menyatakan bahwa dalam salah satu sajak masa muda Rendra yang berjudul Dengan Kasih Sayang terdapat filsafat belas kasih emosional terhadap orang-orang yang dianggap oleh masyarakat sebagai “orang jahat”. Kumpulan puisi yang berjudul Doa untuk Anak Cucu diterbitkan setelah W. S. Rendra meninggal, yaitu April 2013. Anehnya, judul kumpulan puisi ini sama sekali tidak ada dan tidak diambil dari judul puisi-puisi di dalamnya melainkan dari sebuah puisinya yang pernah ditulis si Bojong Gede, 18 Juli 1992 berjudul Doa untuk Anak Cucuku. Kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya W. S. Rendra berisi 22 puisi. Ke-22 puisi tersebut berjudul (1) Gumamku, ya Allah, (2) Doa, (3) Syair Mata Bayi, (4) Tentang Mata, (5) Inilah Saatnya, (6) Hak Oposisi, (7) Kesaksian tentang Mastodon-Mastodon, (8) Rakyat adalah sumber ilmu, (9) Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia, (10) Ibu di Atas Debu, (11) Pertanyaan Penting, (12) Politisi itu Adalah, (13) He, Remco…, (14) Kesaksian Akhir Abad, (15) Sagu Ambon, (16) Jangan Takut Ibu!, (17) Perempuan yang Cemburu, (18) Pertemuan Malam, (19) Perempuan yang Tergusur, (20) Di mana kamu, De‟Na?, (21) Maskumambang, dan (22) Tuhan, Aku Cinta Pada-Mu. Ketika membaca puisi-puisi W. S. Rendra dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu memang terdapat tema yang beragam bila dikumpulkan dan diklasifikasikan.
Tema-tema yang bisa diangkat ke permukaan menjadi objek penelitian skripsi, tesis, dan disertasi serta penelitian puisi di perguruan tinggi antara lain tema religiusitas, cinta kasih, kondisi sosial politik, kritik sosial, keprihatinan, dan kesadaran diri. Aveling (2003: 16) menyebut Rendra sebagai penulis matang yang paling berani. Aveling (2003: 93) mengatakan bahwa Rendra adalah seorang sastrawan yang gigih menyuarakan kritik pada masa pemerintahan Orde Baru dan sering menantang bahaya sepanjang tahun 70-an. Aveling (2003: 94) juga mencatat bahwa puisi Rendra yang ditulis sepanjang tahun 70-an penuh berisi kritik tentang kondisi masyarakat Indonesia dan kalangan elitnya. Memang dalam kumpulan puisi yang berjudul Doa untuk Anak Cucu juga terdapat puisi yang berisi kritik seperti Hak Oposisi, Kesaksian tentang Mastodon-Mastodon, Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia, Ibu di Atas Debu, Pertanyaan Penting, Politisi Itu Adalah, He Remco, Kesaksian Akhir Abad, Perempuan yang Tergusur, dan Maskumambang. Mengapa peneliti justru tertarik untuk meneliti representasi cinta dan kasih? Inilah sebuah tantangan bagi peneliti untuk bisa menemukan representasi cinta dan kasih dalam kumpulan puisi Rendra ini.
REPRESENTASI Cavallaro (2004: 71) menyatakan bahwa representasi hanya mewakili lantaran ditafsirkan dan pada akhirnya mewakili apa pun yang sanggup memberi kesan. Representasi juga dihubungkan dengan konsep pengulangan (sejumlah hal yang mungkin diulang) (Cavallaro, 2004: 71). Cavallaro (2004: 81) juga menyatakan bahwa representasi telah dihubungkan secara tradisional dengan konsep-konsep mengenai kemiripan dan imitasi. Barker (2011: 9) menyatakan bahwa bagian terbesar cultural studies terfokus pada pertanyaan tentang representasi. Representasi dalam cultural studies terlihat pada bunyi, objek, dan citra (Barker, 2011: 9). Permainan bahasa adalah aktivitas yang terikat aturan yang konstitutif, yaitu aturan dalam praktik sosial (Barker, 2011: 95).
REPRESENTASI CINTA DAN KASIH Teori representasi cinta kasih dalam penelitian ini menggunakan teori Fromm (1983). Fromm (1983: 54) dalam bukunya yang berjudul Seni Mencintai menyatakan bahwa yang disebut cinta adalah sikap, suatu orientasi watak yang menentukan hubungan pribadi dengan dunia keseluruhan, bukan menuju satu “objek” cinta. Fromm
(dalam Widyosiswoyo, 1996: 57) menyebut adanya cinta persaudaraan, cinta keibuan, cinta erotis, cinta diri sendiri) dan cinta kepada Allah. Ibn Hazm Al-Andalusi (2009: 27) menyatakan bahwa cinta adalah urusan hati, sementara hati adalah urusan Ilahi. Pernyataan Ibn Hazm Al-Andalusi ini terkait dengan representasi cinta kepada kekasih. Representasi cinta kepada kekasih digambarkan oleh Ibn Hazm Al-Andalusi (2009: 31) di bawah ini. … segenap perhatian, cinta, dan kasih sayangnya akan tercurah kepada sang pujaan tercinta. Ia curahkan segalanya dengan kesadaran penuh akan adanya “sesuatu” yang menyatukan jiwanya dengan jiwa sang pujaan tercinta. Kala terpisah, ia akan mencarinya, mendatanginya, dan merindukan pertemuan dengannya. Kalau bisa, tak perlu ada perpisahan. Ia ingin senantiasa berada di sisi sang pujaan tercinta, laiknya magnet yang terus menempel pada besi. Lebih lanjut, terkait dengan representasi cinta kasih kepada kekasih, Ibn Hazm Al-Andalusi (2009: 35) menyatakan bahwa orang yang terkena panah cinta tak akan mau melepaskan panah itu. Menurut Ibn Hazm Al-Andalusi (2009: 37-), tanda-tanda (jatuh) cinta itu adalah (1) tatapan mata, (2) mengiyakan dan mengikuti perkataan, (3) gerak tubuh, (4) berdebar-debar dan penuh kegembiraan, (5) melakukan segala perbuatan yang biasa dilakukan sang pujaan, (6) selalu ingin mendengar nama pujaan hatinya, dan (7) suka dalam kesendirian. Widyosiswoyo (1996: 50) menyatakan bahwa cinta lebih mengandung pengertian tentang rasa yang mendalam, sedangkan kasih merupakan pengungkapan untuk mengeluarkan rasa, mengarah kepada orang atau yang dicintai. Oleh karena itu, menurut Widyosiswoyo (1996: 50), bersumber dari cinta yang mendalam itu yang menyebabkan kasih dapat diwujudkan secara nyata.
REPRESENTASI CINTA DALAM BEBERAPA PUISI RENDRA DI KUMPULAN PUISI DOA UNTUK ANAK CUCU REPRESENTASI CINTA KEPADA TUHAN DALAM PUISI GUMAMKU, YA ALLAH Membaca puisi Gumamku, ya Allah karya W. S. Rendra mengingatkan kita tentang kehadiran Tuhan dalam hadirnya gelap dan terang di alam raya dan ketentuan arah dan kiblat. Begitu juga melalui angin dan langit yang diciptakan Tuhan. Kecintaan si aku lirik dalam puisi Gumamku, ya Allah terlihat dalam kutipan Api rindu pada-Mu
menyala di puncak yang sepi (Rendra, 2013: 3). Kutipan ini memperlihatkan kepada kita tentang rindunya si aku lirik kepada yang Maha Pencipta di waktu yang sepi. Rasa kecintaan si aku lirik kepada Tuhannya diperlihatkan lagi dalam kutipan Semua manusia sama tidak tahu dan sama rindu (Rendra, 2013: 3). Sama rindu inilah yang menunjukkan cintanya si aku lirik kepada Tuhannya sekalipun dengan menyebut semua manusia dalam puisinya.
REPRESENTASI CINTA KEPADA TUHAN DALAM PUISI DOA Dalam puisi yang berjudul Doa, si aku lirik menunjukkan cintanya kepada Tuhan dengan menyatakan Hamba bersujud kepada-Mu, ya Allah! Karena hidupku, karena matiku (Rendra, 2013: 5). Kecintaan si aku lirik ia wujudkan dengan sujud kepada Tuhan. Si aku lirik menyampaikan doanya melalui kutipan di bawah ini.
Allah Yang Maha Benar. Hamba mohon karunia dari kebenaran yang telah paduka sebarkan. Jauhkanlah hamba dari hal-hal buruk menurut paduka dan dengan begitu akan buruk pula bagi hamba. Dekatkanlah hamba kepada hal-hal baik menurut paduka dan dengan begitu akan baik pula bagi hamba.
Ya, Allah, ampunilah dosa-dosa hamba supaya bersih jiwa hamba. Sehingga dengan begitu mata hamba bisa melihat cahaya-Mu. Telinga hamba bisa mendengar bisikan-Mu.
Dan nafas-Mu membimbing kelakuanku.
Amin, ya robbal alamin. (Rendra, 2013: 5) Doa yang disampaikan si aku lirik berisi permohonan karunia kebenaran kepada Tuhan. Si aku lirik meminta kepada Tuhan agar dijauhkan dari hal-hal buruk dan didekatkan dengan hal-hal baik. Si aku lirik juga meminta kepada Tuhan agar diampuni dosanya agar bisa melihat cahaya-Mu, bisa mendengar bisikan-Mu, dan nafas-Mu yang bisa membimbing kelakuannya.
REPRESENTASI CINTA DAN KASIH KEPADA BAYI DALAM PUISI SYAIR MATA BAYI Dalam puisi yang berjudul Syair Mata Bayi, si aku lirik menyatakan rasa cintanya pada bayi dalam baris pertamanya. Si aku lirik menyatakan Aku merindukan mata bayi/ setelah aku dikhianati mata durjana// (Rendra, 2013: 6). Mata bayi yang bersih menunjukkan kesucian dan kebersihan. Dalam mata bayi tercermin kesucian atau keputihbersihan jiwanya.
REPRESENTASI CINTA KEPADA KEKASIH DALAM PUISI TENTANG MATA Dalam puisi yang berjudul Tentang Mata terdapat representasi cinta kasih yang terlihat dalam kutipan Mata kejora!Mata kejora!/Mata kekasih dalam dekapan malam// (Rendra, 2013: 7). Dua kali kutipan tersebut muncul dalam puisi Tentang Mata. Si aku lirik pun kemudian mengakhiri puisinya dengan kutipan Tetapi, kekasihku/ di dalam kalbuku yang murung ini/ engkaulah mata air pengharapanku! (Rendra, 2013: 7). Kutipan engkaulah mata air pengharapanku! menunjukkan representasi cinta kasih kepada seorang kekasih yang sangat ia harapkan.
REPRESENTASI CINTA DAN KASIH KEPADA SESAMA MANUSIA DALAM PUISI INILAH SAATNYA
Dalam puisi yang berjudul Inilah Saatnya terdapat representasi cinta kasih kepada sesama manusia. Dalam bait pertama puisi ini terdapat rasa cinta kasih yang diwujudkan dengan ajakan inilah saatnya melepaskan masalah, mengusir rasa gerah, dan menenangkan jiwa yang gelisah.
INILAH SAATNYA Inilah saatnya melepas sepatu yang penuh kisah meletakkan ransel yang penuh masalah dan mandi mengusir rasa gerah menenangkan jiwa yang gelisah. (Rendra, 2013: 8)
Dalam bait ketiga, lagi si aku lirik mengingatkan inilah saatnya meletakkan kelewang dan senapan. Pada bait keempat, si aku lirik kembali mengingatkan bahwa segala macam salah ucap bisa diperbaiki akan tetapi bila senjata salah ditembakkan akan menimbulkan korban jiwa dan bagaimana cara memperbaikinya?. Hal itu bisa dibaca dalam kutipan di bawah ini.
Inilah saatnya meletakkan kelewang dan senapan, makan sayur urap mengolah pencernaan, minum teh poci, menatap pohon-pohon dari jendela yang terbuka.
Segala macam salah ucap bisa dibetulkan dan diterangkan. Tetapi kalau senjata salah bicara luka yang timbul panjang buntutnya. Dan bila akibatnya hilang nyawa bagaimana akan membetulkannya? (Rendra, 2013: 8) Dalam kutipan bait kelima di bawah ini si aku lirik mengingatkan agar manusia menyelesaikan segala persoalan dengan musyawarah dan kepala dingin, menghargai nyawa manusia dan ingat hari akhirat. Perhatikanlah kutipannya di bawah ini.
Inilah saatnya duduk bersama dan bicara. Saling menghargai nyawa manusia. Sadar akan rekaman perbuatan di dalam buku kalbu dan ingatan alam akhirat. Ahimsa2, tanpa kekerasan menjaga martabat bersama. Anekanta3, memahami dan menghayati
2
Ahimsa dalam bahasa Sanskerta bermakna tidak membunuh atau tanpa kekerasan (Zoetmulder dan Robson, 2006: 15) 3 Anekanta diperkirakan berasal dari anekanti (anekanti teka gatinya lara ni anen-anenya (Zoetmulder dan Robson, 2006: 39). Maknanya hampir sama dengan ahimsa di atas.
keanekaan dalam kehidupan bagaikan keanekaan di dalam alam. (Rendra, 2013: 9)
Dalam bait keenam, si aku lirik menyarankan agar manusia dapat hidup berdampingan dengan golongan yang berbeda, menyelesaikan masalah dengan berunding untuk membuat agenda bersama. Pada bait ketujuh, si aku lirik menyatakan aparigraha, masing-masing pihak agar menanggalkan jabatan dan kedudukan untuk duduk bersama dan berpihak kepada kebenaran.
Aparigraha, masing-masing pihak menanggalkan pakaian menanggalkan lencana golongan lalu duduk bersama. Masing-masing pihak hanya memihak kepada kebenaran. (Rendra, 2013: 9) Si aku lirik mengingatkan lagi inilah saatnya menyadari keindahan kupu-kupu beterbangan//Bunga-bunga di padang belantara//Lembutnya daging susu ibu//Dan para cucu masa depan/membaca buku sejarah/mencari ilham// (Rendra, 2013: 9). Inilah representasi cinta kasih kepada sesama manusia agar hidup rukun dan damai menikmati hidup dan keindahan alam dan fauna. Dua kali si aku lirik mengingatkan di akhir puisinya, Inilah saatnya/inilah saatnya// Ya saudara saudariku//Inilah saatnya bagi kita//Di antara tiga gunung/memeluk rembulan (Rendra, 2013: 10). Si aku lirik mengingatkan agar kita manusia selalu hidup rukun dan damai di bumi.
REPRESENTASI CINTA DAN KASIH KEPADA RAKYAT DALAM PUISI RAKYAT ADALAH SUMBER ILMU Dalam puisi yang berjudul Rakyat adalah Sumber Ilmu, si aku lirik menyatakan Tanpa mengolah cinta kasih/tidak mungkin akan sampai/ kepada kalbu rakyat (Rendra, 2013: 19). Pemimpin atau pemerintah harus kasih sayang kepada rakyatnya. Oleh karena itu, si aku lirik berpesan Mengolah cinta kasih/haruslah meninggalkan pamrih tentang diri kita/ berarti: menjadi ning// (Rendra, 2013: 19).
REPRESENTASI CINTA DAN KASIH KEPADA IBU DALAM PUISI JANGAN TAKUT, IBU! Dalam puisi yang berjudul Jangan Takut, Ibu!, si aku lirik menyatakan di bait terakhir Aku cium tanganmu, ibu!// Rahim dan susumu adalah persemaian harapan// Kekuatan ajaib insan/dari zaman ke zaman// (Rendra, 2013: 42). Kutipan ini menunjukkan kepada kita agar menyayangi ibu yang melahirkan kita. Betapa besar jasa seorang ibu, si aku lirik ingin menegaskan sekalipun banyak ibu yang anaknya meninggal karena peperangan, kebakaran, ledakan bom, ibu harus tetap dilindungi dan disayangi.
REPRESENTASI CINTA KEPADA TUHAN DALAM PUISI TUHAN, AKU CINTA PADA-MU Dalam puisi yang berjudul Tuhan, Aku Cinta pada-Mu, si aku lirik dalam keadaan lemah tetap ingin meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan. Bacalah puisi Tuhan, Aku Cinta pada-Mu di bawah ini.
Tuhan, Aku Cinta pada-Mu W.S. Rendra Aku lemas tapi berdaya Aku tak sambat rasa sakit atau gatal.
Aku pengin makan tajin4 Aku tidak pernah sesak napas tapi tubuhku tidak memuaskan untuk punya posisi yang ideal dan wajar.
Aku pengin membersihkan tubuhku dari racun kimiawi.
Aku ingin kembali ke jalan alam Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah.
Tuhan, aku cinta pada-Mu. (Rendra, 2013: 61) (31 Juli 2009, Mitra Keluarga, Kelapa Gading, Jakarta) Dalam puisi Tuhan, Aku Cinta pada-Mu, si aku lirik menggambar kehidupan yang sedang sakit atau masih sakit tapi ia tetap ingin mengabdi kepada Allah. Walaupun dalam keadaan tubuh yang lemah, si aku lirik ingin tetap membersihkan tubuhnya dari zat-zat kimia dan ingin mendekatkan diri dengan Tuhan. Puisi ini ditutup dengan pernyataan si aku lirik Tuhan, aku cinta pada-Mu.
KESIMPULAN Representasi cinta kasih dalam antologi puisi yang berjudul Doa untuk Anak Cucu karya W.S. Rendra terdapat dalam delapan puisi. Kedelapan puisi yang memuat representasi itu adalah (1) Gumamku, ya Allah, (2) Doa, (3) Syair Mata Bayi, (4) Tentang 4
Tajin adalah air nasi (Mangunsuwito, 2009: 535).
Mata, (5) Inilah Saatnya, (6) Rakyat adalah Sumber Ilmu, (7) Jangan Takut, Ibu!, dan (8) Tuhan, Aku Cinta pada-Mu. Representasi cinta kepada Allah terdapat dalam Gumamku, ya Allah, (2) Doa, dan (3) Tuhan, Aku Cinta pada-Mu. Secara garis besar, representasi cinta dan kasih yang ingin disampaikan Rendra melalui puisinya adalah cinta kepada Tuhan dan cinta dan kasih kepada manusia. Cinta dan kasih kepada manusia direpresentasikan dengan cinta dan kasih kepada bayi, kekasih, sesama manusia, rakyat, dan ibu.
DAFTAR RUJUKAN Aveling, Harry. (2002). Rumah Sastra Indonesia. Magelang: Indonesiatera. Aveling, Harry. (2003). Rahasia Membutuhkan Kata (Puisi Indonesia 1966-1998). Diterjemahkan oleh Wikan Satriati. Magelang: Indonesiatera. Barker, Chris. (2011). Cultural Studies, Teori dan Praktik. Diterjemahkan oleh Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Cavallaro, Dani. (2004). Critical and Cultural Theory, Teori Kritis dan Teori Budaya. Diterjemahkan Laily Rahmawati. Yogyakarta: Niagara. Eagleton, Terry. (2006). Teori Sastra, Sebuah Pengantar Komprehensif (Edisi Terbaru). Diterjemahkan oleh Harfiah Widyawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra. Fromm, Erich. (1983). Seni Mencintai. Jakarta: Sinar Harapan. Ibn Hazm Al-Andalusi. (2009). Risalah Cinta. Diterjemahkan oleh Ahmad Rofi „Usmani. Bandung: Mizan. Mangunsuwito. (2009). Kamus Lengkap Bahasa Jawa. Bandung: Yrama Widya. Rendra, W.S. (2013). Doa untuk Anak Cucu. Yogyakarta: Bentang. Rosidi, Ajip. (2013). Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya. Widyosiswoyo, Supartono. (1996). Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Ghalia Indonesia. Zoetmulder, P.J. dan Robson, S.O. (2006). Kamus Jawa Kuna Indonesia. Diterjemahkan oleh Darusuprapta dan Sumarti Suprayitna. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.