V. PEMBAHASAN
5.1. Potensi dan Kondisi Sumberdaya Teripang 5.1.1. Potensi Sumberdaya Teripang Tingginya spesies Bohadschia marmorata karena penyebarannya cukup luas yaitu pada habitat karang, berpasir yang relatif kasar juga pada daerah berlamun. Menonjolnya spesies ini karena ditemukan setengah dari jumlah petak pengamatan. Hal ini diperkuat oleh pendapat dari Odum (1971), yang menyatakan bahwa suatu perairan biasanya terdapat banyak jenis organisme tetapi hanya ada beberapa jenis saja yang menonjol. Tingginya jenis Bohadschia marmorata juga disebabkan karena termasuk dalam kategori rendah dan relatif murah dan sulit dalam penangannya, sehingga intensitas penangkapan belum menjadi target utama, jika dibandingkan dengan jenis yang termasuk dalam kategori mahal dan sedang. Penyebab lain tingginya Bohadschia marmorata juga disebabkan karena jenis-jenis dengan kategori mahal (utama) seperti Holothuria scabra dan Thelenota ananas sudah sulit ditemukan, sehingga jenis-jenis kategori murah semakin mendominasi dalam komunitas teripang di negeri Porto. Secara keseluruhan kepadatan teripang di Negeri Porto yang terdiri dari 8 jenis yaitu 0,051 ind/m2. Rendahnya kepadatan teripang disebabkan karena pada tahun 2005, adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Negeri/Desa setempat untuk melakukan sistem lelang (kontrak) daerah pasang surut kepada nelayan teripang dari Madura. Dalam melakukan upaya penangkapan nelayannelayan tersebut menyelam dengan menggunakan kompresor sehingga dapat memudahkan
dalam
proses
pengambilan
teripang
pada
semua
daerah
penangkapan teripang dengan jumlah yang teripang yang tinggi dan berbagai ukuran untuk semua jenis. Dengan kebijakan yang dianggap merugikan masyarakat, maka selanjutnya masyarakat tidak menerapkan aturan sasi lagi, namun upaya penangkapan dilakukan secara terus menerus untuk mendapat hasil tangkapan teripang, hal ini juga didukung karena permintaan teripang semakin meningkat dengan harga yang semakin tinggi. Akibat tingginya upaya penangkapan tersebut, maka dari hasil penelitian terlihat bahwa jumlah teripang
dengan
kategori
tinggi
dan
mahal
hanya
ada
satu
jenis
yaitu
Holothuria fuscogilva, sedangkan ketujuh jenis lainnya termasuk kategori sedang dan rendah (murah). Penurunan jumlah jenis juga terjadi dari 15 jenis menjadi 8 jenis (Anonimous, 2005). Dari nilai frekuensi kehadiran tertinggi diwakili oleh Bohadschia marmorata, hal ini disebabkan karena Bohadschia marmorata mempunyai kemampuan beradaptasi yang tinggi baik terhadap faktor biologi dan fisik dari lingkungan habitat dimana spesies ini hidup. Dengan demikian terlihat bahwa jenis ini mempunyai penyebaran yang luas serta dapat beradaptasi dengan semua habitat, sehingga dalam pengelolaannya tidak memerlukan perlakuan yang khusus. Untuk keenam jenis teripang lainnya terlihat bahwa nilai frekuensi kehadiran relatifnya kurang dari 10 persen dan hal itu juga turut mempengaruhi nilai kepadatan dari spesies-spesies ini. Tingginya Holothuria scabra diduga karena dapat mendiami habitat karang mati/hidup serta perairan dengan substratnya pasir sampai pasir halus maupun yang ditumbuhi lamun. Holothuria scabra merupakan jenis teripang yang termasuk kategori utama, yang relatif mahal dan di lokasi yang lain sudah sulit ditemukan, sedangkan masih ditemukan pada lokasi ini. Selain itu masih ada juga jenis yang termasuk kategori utama dan relatif mahal yaitu Thelenota ananas, sehingga dapat dinilai bahwa pelaksanaan sasi masih berjalan dengan baik dan sangat mendukung upaya pelestarian. Hal itu juga diduga karena pelaksanaan sasi yang cukup lama 3-5 tahun, dimana dapat memberikan peluang untuk teripang melakukan beberapa kali pemijahan. Hal ini sesuai dengan pernyataan James et al (1994), bahwa Holothuria scabra mempunyai panjang maksimal 400 mm dan bobot dalam kondisi hidup 500 gram. Dalam 18 bulan, jenis ini mencapai kematangan gonad seksual dan mempunyai kemampuan hidup diperkirakan selama sepuluh tahun. Kepadatan 10 jenis teripang di Desa Warialau yaitu sebesar 1,539 ind/m2. Dari kedua nilai kepadatan ini terlihat bahwa nilai kepadatan sumberdaya teripang di desa Warialau sangat tinggi, karena adanya kemampuan bersaing dalam menempati habitat. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Kekenusa (1994), bahwa kecil atau rendahnya nilai kepadatan mungkin disebabkan oleh kurangnya
kemampuan bersaing dalam menempati habitat. Selain itu disebabkan pula oleh adanya pengelolaan berbasis sasi, yang didukung oleh peraturan-peraturan adat yang sangat ketat serta diawasi oleh seluruh masyarakat. Peraturan-peraturan sasi di Desa Warialau, sudah mencakup waktu pengambilan teripang 2 minggu (12 hari) setiap 3-5 tahun dan hanya dilakukan pada malam hari dan tidak boleh melakukan penyelaman, jumlah tangkapan yang diperbolehkan 1 bakul (± 1 kg kering) teripang per hari, ukuran yang diambil hanya yang berukuran besar dan alat yang diijinkan yang masih termasuk tradisional. Romimohtarto (1999) mengatakan bahwa suatu individu mempunyai nilai kepadatan yang tinggi, umumnya karena habitat yang cocok dengannya sehingga jumlah individu yang diperoleh pada saat pengambilan sampel akan besar. Sehubungan dengan hal di atas, jenis substrat dasar perairan juga mempengaruhi keberadaan dari suatu jenis biota laut untuk dapat hidup pada atau di dalam dasar laut. Namun demikian faktor habitat bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan tinggi atau rendahnya suatu nilai kepadatan dari suatu spesies, karena faktor lain juga turut pula mempengaruhi keberadaan spesies tersebut seperti ketersediaan makanan, interaksi antar spesies dan kehadiran predator (Nybakken, 1988). Kepadatan populasi teripang yang menurun dan akan berada dibawah “normal” akan berpengaruh terhadap kemungkinan gagalnya fertilisasi. Hal ini disebabkan karena teripang berkelamin terpisah, memijah dalam air (laut) dan fertilisasi terjadi dalam kolom air. Teripang mempunyai karakter mobilitas rendah dan kemungkinan ruang hidupnya sempit. Oleh karena itu untuk suksesnya fertilisasi, populasi teripang harus dalam jumlah tertentu. Nilai frekuensi kehadiran tertinggi diwakili oleh Holothuria scabra, hal ini disebabkan karena Holothuria scabra mempunyai kemampuan beradaptasi yang tinggi baik terhadap faktor biologi dan fisik dari lingkungan habitat dimana spesies ini hidup. Dengan demikian terlihat bahwa jenis ini mempunyai penyebaran yang luas serta dapat beradaptasi dengan semua habitat, sehingga dalam pengelolaannya tidak memerlukan perlakuan yang khusus. Dari kedua lokasi ini terlihat baik di Negeri Porto maupun Desa Warialau, meskipun jumlah jenis berbeda dimana Desa Warialau memiliki jenis yang lebih banyak, namun sumberdaya teripang yang ada di kedua lokasi ini tergolong dalam
satu ordo yaitu Aspidochirotida Hal ini sesuai dengan apa yang dipresentasikan oleh Bakus (1973) bahwa ordo Aspidochirotida adalah hewan yang merupakan karakteristik perairan tropis yang jernih dimana umumnya dijumpai pada daerah terumbu karang, pantai berbatu, pasir atau pasir campuran lumpur (Nontji,1987). Selanjutnya Hyman (1955) mengatakan bahwa di daerah Indo-Pasific Bagian barat merupakan daerah yang terkaya akan teripang dari genus Holothuria, Stichopus dan Actinopyga. Tingginya nilai frekuensi kehadiran yang ada di Negeri Porto yaitu Bohadschia marmorata dan Holothuria scabra di Desa Warialau karena mempunyai kemampuan beradaptasi yang luas. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Budiman dan Darnaedi (1982) bahwa spesies-spesies yang mampu bergerak dan mudah menyesuaikan diri dan memiliki kemampuan toleransi yang luas umumnya memiliki frekuensi kehadiran yang tinggi. Pendapat diatas juga didukung oleh Nybakken (1988) yang menyatakan bahwa kehadiran komunitas bentik sangat berkaitan dengan kemampuannya untuk beradaptasi terhadap perubahan kondisi lingkungan dimana dia hidup. Dari kelima variasi habitat yang ada, baik di Negeri Porto maupun Desa Warialau dapat dijelaskan bahwa zona tubir dan lereng terumbu diminati oleh banyak jenis teripang, kemudian diikuti oleh zona lamun dan algae. Hal ini disebabkan karena teripang membutuhkan habitat yang dapat memberikan perlindungan dari cahaya matahari. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Hyman (1955) yang mengemukakan bahwa teripang peka terhadap sinar matahari, sehingga teripang lebih banyak yang bersifat fototaksis negatif. Selain itu pada zonasi algae dan lamun, maka kebutuhan akan makanan bagi teripang tersedia. Untuk zonasi rataan pasir, jenis teripang yang ditemukan lebih sedikit jika dibandingkan dengan ketiga zona diatas, karena jenis-jenis teripang yang ada pada zonasi ini harus mempunyai kemampuan adaptasi yang khusus untuk menghindari cahaya matahari. Contohnya pada Holothuria scabra yang beradaptasi dengan cara membenamkan diri dalam pasir, sedangkan Bohadschia marmorata dan Holothuria atra dengan cara menempeli tubuhnya dengan butiran pasir halus. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Bakus (1973), bahwa butiran pasir yang
menempel pada tubuh Holothuria atra memantulkan cahaya matahari dan membuat suhu tubuhnya lebih rendah.
5.1.2. Sebaran Frekuensi Panjang dan Hasil Tangkapan Teripang Sebaran Frekuensi Panjang Dari hasil sebaran panjang pada Gambar 10, terlihat bahwa Bohadschia marmorata yang merupakan jenis dengan kepadatan tertinggi memiliki sebaran panjang dengan jumlah yang semakin meningkat dari ukuran 51-200 mm dan kemudian mengalami penurunan sampai pada ukuran 450 mm dengan frekuensi 1 individu. Hal ini terlihat bahwa jumlah individu yang ada merupakan jumlah dengan ukuran yang masih muda dan yang patut disesali bahwa meskipun jenis ini termasuk kategori murah dan sulit dalam penangannya namun ukuran yang besar (351-450 mm) mulai sulit ditemukan. Hal ini tentu saja menunjukan bahwa jenis ini mulai ditangkap oleh nelayan teripang untuk dijual kepada pedagang pengumpul. Jika dibandingkan ukuran panjang tubuh maksimum, maka Bohadschia marmorata memiliki kesamaan dengan Holothuria fuscogilva, Actinopyga miliaris dengan demikian dapat dikatakan keduanya memiliki kecepatan tumbuh yang sama sehingga tingkat kematangan gonad juga akan sama yaitu 320 mm. Dari ukuran panjang yang ada maka terlihat bahwa penangkapan dilakukan sebelum masa memijah. Dengan demikian perlu dilakukan pembatasan dalam hal jumlah tangkapan, ukuran yang diperbolehkan, dan waktu tangkapan. Selanjutnya pada Tabel 16, Holothuria fuscogilva, jenis Holothuria fuscogilva, dan Holothuria atra terlihat memiliki sebaran frekuensi panjang yang berbeda. Holothuria fuscogilva yang termasuk kategori mahal, terlihat bahwa ukuran sebaran panjang dengan frekuensi tertinggi ditemukan pada ukuran 166-248 mm, kemudian ditemukan satu individu ukuran 404 mm. Tentunya hal ini masuk akal karena jenis ini merupakan jenis dengan kategori mahal, sehingga upaya tangkap untuk ukuran besar sangat tinggi. Namun, permasalahannya bahwa ukuran tingkat kematangan gonad pertama dari Holothuria fuscogilva yaitu pada ukuran 320 mm. Hal tersebut tentu saja dapat memberikan gambaran bahwa kedepan jenis ini akan musnah, jika waktu sasi tidak diperpanjang dan penerapan sanksi bagi nelayan teripang harus dilaksanakan, sehingga teripang ukuran
panjang 166-248 mm dibiarkan tumbuh dan memijah dan ketersediaan stok dapat terlaksana akibat adanya rekruitmen. Untuk jenis Actinopyga miliaris, frekuensi tertinggi yaitu pada sebaran panjang 74-90 mm, kemudian ditemukan pada ukuran 264-383 mm. Dengan demikian terlihat bahwa karena jenis ini termasuk dalam nilai jual dengan kategori sedang, maka diambil segala ukuran yang laku dijual dan kemungkinan tangkapan terbesar pada ukuran 91-383 mm. Untuk Actinopyga miliaris belum ada kajian mendalam tentang tingkat kematangan gonad dari jenis ini, namun diketahui bahwa laju pertumbuhan jenis ini yaitu 1 cm dan 5 gram per bulan. Dengan demikian diharapkan agar adanya penutupan waktu sasi yang lebih lama sehingga ukuran yang masih ada dapat mencapai ukuran individu yang sudah sulit bahkan tidak ada lagi yang mungkin saja merupakan ukuran matang dan gonad serta memberikan peluang bertambahnya individu jenis ini dalam populasi teripang. Hal yang tidak berbeda jauh terlihat juga pada jenis Holothuria atra dimana pada ukuran panjang 183-205 mm, kemudian muncul lagi pada ukuran 246-270 mm. Dengan demikian terlihat bahwa meskipun termasuk kategori murah, namun jenis ini juga mulai ditangkap. Dari keempat jenis yang terwakili dari jenis dengan kepadatan tertinggi, dan yang termasuk kategori mahal, sedang, murah (rendah) terlihat bahwa telah dilakukan upaya tangkap dengan berbagai ukuran. Hal ini dapat dikatakan demikian karena meskipun dalam pengambilan contoh semua jenis dengan sebaran panjang yang bervariasi ditemukan, namun semua jenis juga dijual ke pedagang pengumpul setelah melalui proses pengolahan untuk mendapatkan teripang yang dijual kering sesuai standar pedagang pengumpul. Dengan demikian untuk negeri Porto dengan kepadatan teripang yang semakin menurun perlu merevisi aturan sasi kembali dengan penutupan waktu penangkapan (tutup sasi) yang diperpanjang, pengaturan ukuran teripang yang boleh ditangkap, serta jumlah yang dapat diambil, sehingga dapat menyebabkan adanya pertumbuhan dan rekruitmen serta menghindari hilangnya suatu plasma nuftah. Selain itu sistem lelang (kontrak) perlu dihindari sehingga tidak menyebabkan terjadinya
penurunan sumberdaya serta kegiatan yang bersifat destruktif akibat kekecewaan dan ketidakpuasan masyarakat. Gambar 11, menunjukan Sebaran ukuran panjang Holothuria scabra begitu merata mulai dari ukuran 51-250 mm dan memuncak pada ukuran 151-200 mm. Tingkat kematangan gonad pertama untuk jenis ini yaitu ukuran 160 mm, dengan demikian dapat dikemukakan bahwa ketersediaan stok dari jenis ini sudah cukup tinggi dan memberikan peluang adanya pertumbuhan dan rekruitmen. Untuk ukuran panjang 251-350 mm terjadinya penurunan jumlah individu, hal ini mungkin berkaitan dengan adanya waktu buka sasi pada tahun 2006, dimana jenis-jenis dengan ukuran besar sudah diijinkan untuk ditangkap, sehingga dalam selang waktu 2 tahun, ukuran panjang yang dewasa masih dalam jumlah yang agak menurun. Tabel 17 memperlihatkan sebaran frekuensi panjang dari Actinopyga echinities, Actinopyga miliaris dan Thelenota ananas. Actinopyga echinities ditemukan dua jenis dalam penelitian, hal ini mungkin disebabkan karena daerah sebaran dari jenis ini terbanyak pada habitat algae dan terumbu karang, sedangkan pada saat penelitian tidak diijinkan untuk melakukan penyelaman di daerah karang. Jenis ini meskipun termasuk dalam kategori sedang, namun terlihat bahwa sebaran panjang cukup baik karena memiliki frekuensi yang sama pada ukuran 98-173 mm. Tingkat kematangan gonad dari jenis ini yaitu pada ukuran panjang 120 mm dan tentu saja dapat terlihat bahwa dengan adanya individu pada ukuran tersebut maka memberikan peluang adanya penambahan individu baru dan hal ini cukup didukung dengan pelaksanaan sasi yang sampai saat ini masih dalam status waktu “tutup sasi.” Actinopyga miliaris merupakan jenis dengan kategori murah, namun sebaran panjangnya cukup merata yaitu pada ukuran 105-275 mm. Dari segi ukuran terlihat bahwa di Negeri Porto ukurannya berkisar dari 74-383 mm. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di Desa Warialau Actinopyga miliaris dengan ukuran kurang dari 105 mm dan lebih dari 275 mm tidak ditemukan, hal ini mungkin disebabkan karena belum adanya rekruitmen untuk ukuran muda dan dewasa. Untuk tingkat kematangan gonad dari jenis ini belum ada kajian ilmiah, jadi diharapkan agar penentuan waktu tutup sasi tetap dipertahankan oleh
pemerintah negeri setempat, sehingga memberikan peluang adanya rekruitmen pada kedua ukuran yang belum ditemukan di Desa Warialau. Thelenota ananas merupakan jenis kedua kategori mahal yang ditemukan di Desa Warialau. Dari frekuensi sebaran panjang terlihat bahwa ukuran 97-332 mm. Tingkat kematangan gonad pertama yaitu ukuran 300 mm dan telah terjadi upaya tangkap pada ukuran tersebut. Dengan demikian perlu dilakukan perlindungan dengan pengaturan ukuran yang bisa ditangkap. Dari frekuensi sebaran panjang terlihat bahwa jumlah teripang dengan sebaran ukuran panjang
yang ada menggambarkan bahwa ketersediaan stok
teripang masih sangat baik karena teripang dengan kategori belum matang bahkan matang untuk memijah masih ditemukan dan tidak ada upaya tangkap karena masih ada dalam status “tutup sasi.” Ketersediaan stok yang ada tentu saja didukung oleh penerapan aturan sasi di lokasi ini sangat baik dari segi penentuan waktu tangkap, ukuran yang dapat diambil serta jumlah tangkapan yang diperbolehkan, selain itu adanya dukungan masyarakat yang tinggi untuk upaya pengelolaan dengan ketersediaan teripang yang terus menerus yang dapat memberikan manfaat bagi perairan maupun masyarakat.
Hasil Tangkapan Teripang Hasil tangkapan teripang di Negeri Porto, hal ini menunjukan bahwa laju penangkapan
telah melebihi laju pertumbuhan sumberdaya itu sendiri. Batas
pertumbuhan ini ditentukan oleh ukuran populasi saat ini dan lingkungan tempat stok itu berada. Dalam mempertahankan suatu stok pada tingkat produktif diperlukan suatu jumlah yang cukup dari pemijah yaitu hewan dewasa yang matang reproduktif, dan lingkungan yang sangat cocok agar setiap tahap dalam daur hidupnya dapat dilewati dengan baik. Akan tetapi, akibat dari variabilitas lingkungan, pertumbuhan suatu stok dari tahun ke tahun biasanya sangat bervariasi. Dari data sebaran panjang di negeri Porto juga terlihat bahwa upaya tangkapan dilakukan tanpa memperhatikan ukuran matang gonad, sehingga individu dewasa yang siap memijah juga ikut tertangkap, hal ini tentu saja akan berdampak terhadap ketersediaan stok teripang. Ketidakpedulian terhadap hal ini
akan berakibat stok sumberdaya tersebut akan menipis dengan berjalannya waktu dan menjurus ke hasil tangkapan yang lebih rendah dibandingkan hasil tangkapan dan keuntungan ekonomi rata-rata yang optimal. Jika tidak segera diambil langkah perbaikan, risiko kehancuran biologi dan pemborosan ekonomi akan meningkat hingga ke suatu tingkat yang dapat mengakibatkan berakhirnya
aktivitas
perikanan di wilayah tersebut, mulai dari aktivitas penangkapan sampai pemasaran dan perdagangan. Dengan demikian akan berdampak terhadap ketersediaan
sumberdaya
teripang
secara
terus-menerus,
peningkatan
kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan, dan peluang kerja yang semakin berkurang. Dalam upaya menjaga ketersediaan stok teripang, maka diatur mortalitas akibat penangkapan yaitu 25-50% dari potensi yang ada. Untuk Negeri Porto potensi teripang sebesar 12.240 individu. Dengan demikian hasil tangkapan yang diijinkan yaitu ± 3060-6120 individu per tahun. Dari hasil tangkapan nelayan teripang yang masih bersifat tradisonal terlihat bahwa hasil tangkapan masih ada dalam batas yang diijinkan yaitu ± 3870 ekor/tahun (10-20 kg kering). Hasil tangkapan teripang di Desa Warialau, tidak tercatat karena hal ini disebabkan karena pelaksanaan waktu tutup dan buka sasi, tidak secara teratur, namun bisa mencapai 3-5 tahun, namun cenderung tidak terjadi penurunan hasil tangkapan karena dibatasi dengan aturan-aturan sasi yang jelas seperti waktu tangkapan selama 12 minggu (12 hari) hanya pada siang hari setiap 3-5 tahun, jumlah tangkapan yang diperbolehkan 1 bakul (± 1 kg kering) per hari, serta alat yang digunakan khusus untuk yang masih bersifat tradisional serta dilarang menyelam. Dengan demikian jika pengelolaan teripang dilakukan dengan tepat maka akan memiliki manfaat yang terus-menerus karena ketersediaan teripang yang terus menerus pula.
5.2. Faktor-Faktor Lingkungan bagi Pertumbuhan Teripang 5.2.1. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan Dalam upaya pelestarian teripang melalui upaya budidaya maupun pengayaan stok di Negeri Porto maupun Desa Warialau, maka faktor-faktor lingkungan cukup berperan yaitu suhu, pH, salinitas, DO, Kecerahan dan Arus.
Dari hasil pengukuran di lapangan terlihat bahwa kedua lokasi ini memenuhi kriteria budidaya Menurut Martoyo, et al 2002 dan Wibowo, et al, 1997.
a. Suhu Dari data hasil pengukuran suhu (Lampiran 2), terlihat bahwa suhu tertinggi pada saat pukul 12.00, dimana intensitas penyinaran matahari sangat tinggi, sedangkan untuk pengukuran malam hari pukul 24.00, suhu yang ada masih memenuhi standar untuk budidaya yaitu 27-29oC. Suhu merupakan parameter fisika yang memegang peranan penting di dalam pertumbuhan dan kelangsungan hidup sumberdaya
akuatik, hal ini disebabkan karena suhu
berpengaruh langsung terhadap proses fotosintesa tumbuhan akuatik, proses metabolisme dan siklus reproduksi. Kenaikan suhu air sebesar 10oC akan menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen hewan akuatik menjadi dua kali lipat (Wardojo, 1975). Selain itu peningkatan suhu juga akan menyebabkan kadar oksigen terlarut rendah dan selanjutnya akan mempengaruhi metabolisme, seperti laju pernapasan dan meningkatkan konsentrasi karbon dioksida.
b. Derajat Keasaman (pH) Air laut memiliki nilai pH yang relatif stabil dan biasanya berkisar 7,5-8,4. Nilai pH dipengaruhi oleh laju fotosintesa, suhu air serta buangan industri dan rumah tangga. pH rendah atau tinggi sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup hewan akuatik. Perairan yang bersifat asam (pH<5) atau bersifat alkali (pH>11) dapat menyebabkan kematian dan tidak terjadi reproduksi. c. Kadar Garam (Salinitas) Perairan laut mempunyai kestabilan salinitas yang relatif tinggi bila dibandingkan dengan air payau. Perubahan salinitas lebih sering terjadi pada perairan dekat pantai, hal ini disebabkan banyaknya air tawar yang masuk baik melalui sungai maupun run off terutama pada musim penghujan. Untuk kedua lokasi ini sungai tidak ditemukan, sehingga peluang terbesar yaitu pada saat musim penghujan. Peningkatan salinitas selain berpengaruh pada daya hantar listrik juga dapat meningkatkan tekanan osmotik yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap metabolisme terutama dalam proses osmoregulasi.
d. Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut merupakan parameter kimia yang paling kritis dalam budidaya, karena oksigen dalam air berasal dari udara melalui difusi dan hasil sampingan fotosintesa tumbuhan akuatik terutama dari fitoplankton. Kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu air, ketinggian lokasi, salinitas dan tekanan udara. Peningkatan suhu air dan salinitas menyebabkan kelarutan oksigen rendah dan begitu sebaliknya. e. Kecerahan Kecerahan perairan menunjukan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Menurut Birowo dan Uktolseja (1976), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecerahan adalah kandungan lumpur, plankton, zat organik, dan bahan-bahan lain yang terlarut atau tersuspensi dalam air. Perairan yang memiliki nilai kecerahan renah pada cuaca normal (cerah) memberikan suatu indikasi banyaknya partikel-partikel yang terlarut dan tersuspensi didalamnya. Keadaan tersebut dapat mengurangi laju fotosintesa. f. Arus Arus adalah massa air baik horisontal maupun vertikal yang disebabkan oleh angin dan gaya. Arus sangat berperan dalam sirkulasi air, pembawa bahan terlarut dan tersuspensi, kelarutan oksigen serta dapat mengurangi organisme penempel. Arus akan mempengaruhi kehidupan organisme dan faktor-faktor lingkungan lainnya. Pergerakan teripang sangat terbatas, sehingga arus yang kuat akan berperan dalam pengadaan nutrien, sehingga mengakibatkan perairan tidak subur dan merugikan teripang (Nuraini dan Said, 1995).
5.2.2. Kondisi Substrat yang sesuai bagi Pertumbuhan Teripang Dengan nilai persentase sedimen pada hasil penelitian, bisa dikatakan bahwa dominasi pasir kasar hingga sedang sangat tinggi dan ini sangat mempengaruhi karakter substrat secara menyeluruh. Kedua lokasi ini memiliki karakter yang mirip dan merupakan habitat yang baik dari teripang sesuai sifat membenamkan diri dari teripang tersebut, karena dengan ukuran pasir kasar yang ditambah dengan pasir sedang, maka teripang dengan mudah membenamkan diri untuk menghindarkan diri dari tekanan predator (Hyman, 1955). Dari dominasi
ukuran sedimen substrat bisa dikatakan bahwa tekanan dasar cukup kuat. Kondisi ini dapat dipahami dengan memperhatikan areal penelitian yang merupakan bagian dari daerah intertidal yang selalu mendapat tekanan dari pergerakan massa air saat terjadi pasang surut. Kondisi sedimen sebagai habitat dari teripang baik di Negeri Porto maupun Desa Warialau dapat mendukung pertumbuhan teripang sekitar 3-5 jenis, khususnya yang mempunyai daerah sebaran di pasir hingga zona algae.
5.3. Sosial Ekonomi dan Kelembagaan (Sasi) 5.3.1. Sosial Ekonomi Penduduk Negeri Porto mempunyai kisaran pendapatan kurang dari Rp.500.000 sebesar 58.57%, sedangkan besar pendapatan lebih dari sama dengan Rp.500.000 yaitu sebesar 41.43%. Untuk nelayan teripang di negeri Porto pendapatan bisa mencapai Rp. 300.000 per bulan, sehingga dapat membantu perekonomian keluarga. Hal ini juga didukung oleh adanya pekerjaan sampingan dari nelayan yaitu sebagai petani pemilik kebun. Masih rendahnya pendapatan nelayan teripang disebabkan karena jenis yang ditemukan merupakan kategori yang sedang bahkan murah. Untuk penduduk desa Warialau kisaran pendapatan kurang dari Rp.500.000 sebesar 86.92%, sedang, sedangkan besar pendapatan lebih dari sama dengan Rp.500.000 yaitu sebesar 13.08%. Pendapatan penduduk desa warialau pada saat “buka sasi” mencapai Rp.750.000/bulan. Dalam kenyataannya pendapatan yang ada, tidak menjadi sumber pendapatan utama, karena tidak setiap tahun dilakukan penangkapan (tutup sasi). Tingginya pendapatan penduduk pada saat “buka sasi” karena jenis yang ditemukan termasuk kategori mahal maupun sedang serta dalam jumlah dan ukuran yang besar. Dimensi sosial ekonomi mempertimbangkan pengaruh penduduk terhadap sumberdaya teripang dan manfaat bagi penduduk, sehingga perlu upaya bagaimana mengoptimalkan manfaat ketersediaan sumberdaya teripang untuk pihak atau kelompok yang berkepentingan dan masyarakat secara umum. Yang termasuk ke dalam kelompok yang berkepentingan adalah penduduk yang memanfaatkan sumberdaya teripang: menangkap mengolahnya dengan berbagai
cara; dan memasarkannya atau mendapatkan mata pencaharian dari sumberdaya teripang, termasuk para konsumen dan kelompok lain yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh keputusan pengelolaan. Jika melihat dimensi sosial ekonomi maka perlu dilakukan pengelolaan teripang sehingga ketersediaan stok secara terus menerus dan dijual bukan dalam bentuk bahan baku, namun dalam bentuk bahan olahan, sehingga akan memberi manfaat bagi penduduk setempat karena rendahnya pendapatan. Dengan demikian diharapkan ketersediaan stok secara terus menurus karena adanya aturan sasi yang mengatur waktu tangkap, jumlah dan ukuran teripang yang boleh ditangkap, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk khususnya nelayan.
5.3.2. Proses dan Aturan-Aturan Sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau a). Proses Sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau Pengelolaan sumberdaya laut di Negeri Porto berbasis sasi, hal ini telah ada sejak dahulu kala dan memiliki aturan-aturan yang jelas (Tabel 20). Untuk Desa Warialau, sasi dilakukan secara turun-temurun berdasarkan cerita orang tua dan tidak mempunyai peraturan tertulis. Namun proses pelaksanaan sasi di Desa Warialau masih memegang prinsip adat-istiadat yang berlaku, sehingga prosesnya terlihat lebih rumit (Tabel 21). Untuk desa Warialau ini, meskipun peraturannya secara lisan namun ketaatan masyarakat terhadap peraturan ini lebih tinggi, karena penegakan aturannya cukup tegas. Dengan demikian membuat masyarakat takut untuk melakukan pelanggaran, serta timbul juga kesadaran tentang pentingnya sasi untuk pelestarian sumberdaya bagi generasi mendatang. Tabel 20. Peraturan Pengelolaan Sumberdaya Laut Berbasis Sasi di Negeri Porto No. 1.
Variabel Aturan Pengelolaan Proses Pelaksanaan Sasi Sejarah Sasi Sasi telah ada sejak jaman dahulu, berdasarkan cerita orang tua antar generasi. Adanya peraturan tentang kewang (Kewang Reglement Van Negorij Porto) yang telah ada sejak tahun 1870, pada zaman penjajahan Belanda Tujuan sasi
Melindungi sumberdaya baik darat maupun laut agar tetap lestari dan mencegah pemanfaatan oleh orang luar desa.
No.
Variabel
Aturan Pengelolaan Meningkatkan pendapatan desa/ negeri.
Jenis Sasi
Sasi negeri, artinya bahwa pemerintah negeri dan lembaga adat yang bertanggung jawab secara langsung terhadap pelaksanaan sasi.
Komoditas Sasi
Teripang, lola, batu laga, bakau, karang, kawanan ikan, ikan hias, batu kerikil, dan pasir.
Waktu pelaksanaan sasi Buka sasi, dalam setahun hanya dilaksanakan pada bulan Oktober, yaitu selama 2 minggu, sedangkan 11 bulan merupakan waktu tutup sasi. Buka sasi akan dilaksanakan selain bulan Oktober, apabila ada kebutuhan dalam masyarakat yang mendesak baik untuk urusan desa maupun keagamaan. Proses Sasi
Tanda Sasi Sistem pelaksanaan Sasi
Waktu buka sasi didahului dengan adanya laporan dari masyarakat tentang keberadaan sumberdaya yang sedang disasi, kemudian dilakukan rapat bersama oleh kewang dan diketahui oleh Raja. Kemudian diputuskan waktu buka sasi. Setelah ditentukan waktu buka sasi, dan didahului dengan pengumuman sekaligus doa di gereja oleh Pendeta.Setelah itu diberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mengambil sumberdaya yang disasi sesuai dengan aturan yang berlaku. Setelah waktu buka sasi selesai, maka dilakukan penutupan sasi, yang ditandai dengan pemberian tanda pada area-area yang disasi. Panen pada hari pertama dan kedua dilakukan oleh kewan dan hasilnya diserahkan untuk kas kewan dan negeri serta diberikan bagi raja dan pendeta. Tanda sasi berupa 3 buah kelapa kecil dan 4 buah kelapa besar yang diikat dengan daun kelapa dari kiri ke kanan pada tiang atau disebut satu belo dan ditanam pada area-area sasi sesuai dengan kebiasaan adat.Pada zaman dahulu, sistem sasi menggunakan sistem panen bersama baik pemerintah negeri, lembaga adat, tokoh agama dan masyarakat. Hasil yang dipanen sesuai kemampuan setiap orang dan diberikan kebebasan baik dalam jumlah maupun cara pengambilan. Saat ini adanya kebijakan pemerintah negeri (raja) yang tidak disetujui oleh masyarakat yaitu sistem lelang. Dalam sistem ini pengontrak mempunyai hak yang lebih besar daripada masyarakat, khususnya dalam proses pengambilan hasil (panen) Pada saat panen (buka sasi), masyarakat dapat bebas mengambil teripang sesuai dengan
No.
2.
Variabel
Kelembagaan Sasi
Aturan Pengelolaan kemampuan serta dapat menggunakan semua alat. Kemampuan masyarakat yang menggunakan penyelaman dengan alat sederhana (snorkel) hanya mampu sampai kedalaman lima (5) meter, sedangkan masyarakat luar (orang dagang/penyewa) yang menggunakan kompresor (tabung selam) dapat mencapai 40 meter Kewang sebagai penanggung jawab pelaksanaan sasi Kepala Kewang diangkat melalui rapat bersama di hadapan masyarakat, sesuai dengan pilihan rakyat dari masing-masing soa. Syarat-syarat menjadi kepala kewang : baik, jujur, tenang, teratur, tahu baca dan tulis, rajin. Dalam menjalankan tugasnya kewang harus lemah lembut, jujur dan dapat memberikan petunjuk kepada anak buah (anggota) dengan baik. Kewan melakukan pengawasan (amese
hutan) satu kali seminggu, yaitu pada setiap hari rabu. Jumlah anggota kewan sebanyak 48 orang dan pengawasan dilakukan untuk sasi darat dan laut. Dalam kenyataannya tugas pengawasan semakin melemah dimana tidak lagi dilakukan pengawasan setiap minggu. Dalam peraturan ini terlihat fungsi kewan dijelaskan sebagai berikut: 1. Menjaga petuanan negeri agar tidak dimasuki orang lain secara tidak sah. Tugas ini dilaksanakan melalui Posita Hutan. 2. Menjaga hutan agar tetap lestari dan 3. memberikan hasil yang maksimal. Tugas ini dilaksanakan melalui tindakan Sasi untuk jangka waktu tertentu, baik untuk daratan maupun lautan. 4. Mengatur penggunaan hutan agar tidak sampai menjadi sengketa antar anak negeri. Kewan dapat diikut sertakan dalam penyelasaian pada pengadilan negeri pada forum Mahkemet Negeri. 5. Mengusahakan pemasukan keuangan bagi kas negeri melalui denda-denda pelanggaran, pembayaran tanda masuk, serta ijin pengambilan hasil-hasil tertentu dalam hutan atau laut. 6. Selain fungsi diatas terdapat juga tugas-tugas lainnya, seperti:Menjaga anak-anak untuk harus masuk sekolah minggu dan tidak boleh ada dihutan pada hari minggu. 7. Mengawasi masyarakat untuk beribadah yang
No.
Variabel
3.
Aturan Sasi (Larangan)
4.
Sanksi dan Hukuman
Aturan Pengelolaan dilaksanakan selain hari minggu yang dinamai kebaktian utusan injil, dan tidak boleh berada dihutan saat ada kebaktian Utusan Injil di negeri (desa). 8. Menertibkan masyarakat dari “Sumpahsumpah, maki – maki, dan ucapan kata – kata kotor. 9. Mengawasi kegiatan kebersihan halaman, perapihan pagar dan lain-lain Dilarang menangkap ikan hias di laut dan daerah intertidal. Dilarang menangkap ikan dengan bom, obat bore dan yang dapat merusakan biota. Setiap anak negeri (penduduk setempat) dapat mengambil hasil sasi untuk kebutuhan hidupnya, jika telah mendapat ijin dari raja dan kewang. Dilarang mengambil lola dan teripang, pada ukuran yang dianggap masih muda. Dilarang mengambil pasir, karang dan bakau tanpa seijin kewang dan Raja.
Jika dilakukan oleh kewan dan anggotanya maka akan diberikan denda maupun hukuman tiga (3) kali lipat. Bagi masyarakat, jika kedapatan melakukan pelanggaran, namun dianggap hanya untuk memenuhi keperluan keluarga, maka kewan akan memberikan nota sebagai ijin tertulis yang menyatakan bahwa yang bersangkutan bisa mengambil seperlunya. Jika melakukan pelanggaran dan ditemukan secara langsung oleh kewan, maka alat yang digunakan akan disita, kemudian kewan melakukan Jamulou (rapat kewan) dan pelanggar disuruh menghadap dan diputuskan besarnya denda atau hukuman yang harus dijalani. Namun jika pelanggar jujur dan mengakui kesalahannya, maka denda atau hukumannya bisa diturunkan atau malah bisa diampuni. Denda bisa berupa hukuman dengan dirotani. Contohnya : Rp.100.000 = 5x dirotani. Besarnya denda setiap sumberdaya berbeda, contohnya untuk teripang, Rp.25.000/bh, Mangrove, Rp. 75.000/phn, sedangkan untuk bore (meracuni ikan) Rp.250.000.
Tabel 21. Peraturan Pengelolaan Sumberdaya Laut Berbasis Sasi di Desa Warialau No. 1.
Variabel Aturan Pengelolaan Proses Pelaksanaan Sasi Sejarah Sasi Sasi telah ada sejak jaman dahulu, berdasarkan cerita orang tua antar generasi. Tidak memiliki aturan tertulis Tujuan sasi
Melindungi sumberdaya baik darat maupun laut agar tetap lestari dan mencegah pemanfaatan oleh orang luar desa. Meningkatkan pendapatan desa/ negeri.
Jenis Sasi
Sasi negeri, artinya bahwa pemerintah negeri dan lembaga adat yang bertanggung jawab secara langsung terhadap pelaksanaan sasi.
Komoditas Sasi
Teripang (utama), lola dan batu laga
Waktu pelaksanaan sasi Waktu buka sasi tidak pasti (3-5 tahun). Penentuan waktu buka sasi berdasarkan banyaknya teripang (jumlah) dan ukuran yang besar. Buka sasi juga dapat dilaksanakan apabila ada kebutuhan mendesak dalam masyarakat seperti pembangunan gereja atau kebutuhan dalam desa. Proses Sasi
Persiapan sasi diawali dengan pertemuan dengan seluruh masyarakat untuk meminta persetujuan pelaksanaan sasi. Persiapan bahan seperti siri pinang, uang logam (koin), tembakau jawa, telur, cincin mas satu diletakan dalam piring. Kemudian pada malam hari dibuat tiang sasi dan lambangnya berupa anyaman daun kelapa, selanjutnya semua masyarakat berkumpul di tenda yang dibuat secara gotong-royong dan dilakukan tambah roro (nyanyian adat).
Bahan-Bahan untuk Pelaksanaan sasi
Selanjutnya piring yang telah ditaruh bahan-bahan tersebut, dipegang oleh keluarga Imloan dan dibawa ke tenda, sedangkan tiangnya diletakan diatas tempat penjemuran (para-para) yang berbentuk segitiga yang sudah dikelilingi oleh daun kelapa. Posisi tempat penjemuran yaitu dekat tenda yang dibuat untuk pelaksanaan nyanyian adat (tamba roro). Persiapan bahan seperti siri pinang, uang logam (koin), tembakau jawa, telur, cincin mas satu
No.
Variabel Sistem pelaksanaan Sasi
2.
Kelembagaan Sasi
3.
Aturan Sasi (Larangan) dan Sanksi
Aturan Pengelolaan Persiapan bahan seperti siri pinang, uang logam (koin), tembakau jawa, telur, cincin mas satu diletakan dalam piring. Kemudian pada malam hari dibuat tiang sasi dan lambangnya berupa anyaman daun kelapa. Sistem sasi menggunakan sistem panen bersama baik pemerintah negeri, lembaga adat, tokoh agama dan masyarakat, namun disesuaikan dengan aturan-aturan yang berlaku. Tokoh-tokoh adat merupakan penanggung jawab pelaksanaan sasi.Tokoh-tokoh adat ini berasal dari marga tertentu, yang dianggap sebagai penduduk asli Desa Warialau. Tokoh-tokoh adapt ini terus berlanjut secara garis keturunan, dimana marga-marga ini juga cukup disegani dalam masyarakat. Waktu panen dilarang balik batu karena merusakan bibit yang ada dibawah batu. Dilarang menyelam malam, karena menurut masyarakat, kehidupan dilaut itu berbeda dengan manusia sehingga dianggap bahwa malam merupakan siang bagi organisme laut.
5.3.3. Kinerja Sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau Untuk menganalisa kinerja sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau, digunakan empat indikator yaitu efisiensi, keberlanjutan sosial, keberlanjutan sumberdaya dan pemerataan.
a. Indikator Efisiensi Efisiensi disebut juga produktifitas, sehingga semakin tinggi produktifitas semakin baik suatu rezim. Untuk itu dalam proses penilaian efisiensi sasi teripang di Negeri Porto dilihat dari 4 indikator kinerja efisiensi yaitu : pengambilan keputusan secara bersama, kemudahan dalam menjangkau sumberdaya, pengawasan terhadap sasi sekarang ini, kepatuhan terhadap peraturan. Untuk indikator pertama yaitu keterlibatan pemerintah desa, kelembagaan adat dan masyarakat dalam pengambilan keputusan tentang sasi, terlihat bahwa untuk Negeri Porto, termasuk dalam kategori sedang, karena masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, hal ini terlihat dengan adanya kekecewaan masyarakat ketika diterapkan sistem lelang/kontrak daerah pasang surut untuk
pemodal yang berasal dari luar desa/negeri Porto, sehingga masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada dengan baik. Sebaliknya untuk Desa Warialau, termasuk dalam kategori tinggi, karena segala keputusan tentang sasi, masyarakat dilibatkan sejak awal yaitu dalam pertemuan antara pemerintah desa, lembaga adat dan masyarakat. Berbedanya indikator pertama ini didasarkan juga karena dengan adanya perubahan sistem pemerintahan, sehingga adanya pengurangan kewenangan lembaga adat pada saat sistem sentralisasi dan Negeri Porto merupakan desa /negeri yang mengalami sedikit perubahan tersebut, berbeda dengan Desa Warialau yang tetap mempertahankan pranata adatnya yaitu sasi dengan baik, meskipun terjadi perubahan sistem pemerintahan desa. Beberapa penyebab utama masyrakat Desa Warialau masih mempertahankan sistem adatnya karena adanya anggapan bahwa sasi merupakan amanat nenek moyang yang harus terus dijaga, dan sistem pemerintah desa yang masih mengadopsi sistem pada saat rezim adat, dimana marga-marga tertentu yang masih tetap dihormati dalam masyarakat yang memegang pemerintahan di desa. Selain itu juga mobilitas dan pembangunan desa masih rendah, sehingga pengaruh terhadap sistem adat ini masih rendah. Untuk indikator efisiensi kedua yaitu kemudahan dalam menjangkau sumberdaya, Negeri Porto termasuk dalam kategori rendah karena untuk menjangkau sumberdaya dibutuhkan waktu lebih dari 20 menit dan sarana yang dipakai yaitu motor tempel
dan perahu sampan, sedangkan Desa Warialau
termasuk kategori sedang karena hanya ditempuh waktu kurang dari 20 menit, sumberdaya teripang terdekat sudah dapat terjangkau (khususnya lokasi penelitian). Sasi teripang di Desa Warialau merupakan sasi satu pulau, namun untuk lokasi penelitian hanya berada di depan pemukiman penduduk, sehingga tidak membutuhkan waktu yang relatif lama. Indikator efisiensi ketiga yaitu pengawasan terhadap sasi sekarang ini di Negeri Porto rendah, karena lebih dari satu minggu baru dilakukan pengawasan, meskipun berdasarkan aturan kewan, bahwa satu minggu sekali, dilakukan pengawasan , namun dalam kenyataannya tidaklah demikian. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor yaitu, luasnya area pengawasan sedangkan sarana yang dimiliki sangat minim serta kurang didukung oleh partisipasi masyarakat, selain
itu dengan meningkatnya kebutuhan ekonomi dalam keluarga maka tanggung jawab untuk menambah penghasilan keluarga sehingga menyebabkan kepala keluarga yang kadang berprofesi sebagai kewan dan keanggotaannya harus lebih mengutamakan kepentingan keluarga daripada melakukan pengawasan dan lainnya. Hal ini cukup berbeda dengan Desa Warialau karena pengawasan secara tidak langsung juga dilakukan oleh masyarakat setempat, sehingga masih tetap ada kontrol masyarakat, hal ini cukup membantu lembaga adat dalam melaksanakan tugas pengawasan. Umumnya lembaga adat di Desa Warialau masih tetap merasa tugas ini sebagai amanat dari nenek moyang, serta untuk kelestarian sumberdaya sehingga ketaatan pelaksanaan pengawasan masih tinggi yang dilakukan satu-tiga hari bersamaan dengan aktifitas yang dilakukan sebagai nelayan. Yang menjadi kendala pengawasan yaitu luas area pengawasan, sehingga tidak dapat mengontrol nelayan ilegal dari Sulawesi yang melakukan pencurian dengan menggunakan peralatan yang modern. Untuk indikator efisiensi keempat yaitu kepatuhan terhadap peraturan, bagi Negeri Porto rendah, karena seluruh nelayan dan masyarakat dapat mencapai daerah sasi atau dapat dikatakan bahwa aktifitas masyarakat tidak dibatasi meskipun masih ada sasi. Hal ini disebabkan karena perubahan sistem pemerintahan dari adat menjadi sentralisasi, sehingga peran kewan dan lembaga adat hilang sehingga menyebabkan sanksi yang mengikat tidak berlaku dan kemudian diaktifkan kembali setelah adanya rezim otonomi daerah. Selain itu adanya kekecewaan masyarakat terhadap sistem kontrak atau lelang yang merupakan kebijakan pemerintah negeri dan terjadinya pembauran dan perubahan sosial ekonomi karena masuknya pendatang dengan berbagai profesi serta keluarnya anak-anak muda ke kota untuk melanjutkan pendidikan yang didukung oleh kondisi dimana rendahnya sosialisasi/informasi tentang sasi kepada generasi muda. Sebaliknya di Desa Warialau kepatuhan terhadap peraturan tinggi karena pengawasan sangat ketat baik oleh lembaga adat, pemerintah negeri dan masyarakat, sehingga tidak ada orang yang dapat mengakses daerah sasi. Semakin tinggi derajat kepatuhan masyarakat, berarti rezim itu semakin efisien salah satu unsur pokok dalam ketaatan atau kepatuhan terhadap aturan tradisional di dasari oleh kepercayaan dan ini penting dalam kelangsungan suatu tradisi.
Semakin tinggi derajat kepatuhan masyarakat, berarti rezim itu semakin efisien salah satu unsur pokok dalam ketaatan atau kepatuhan terhadap aturan tradisional di dasari oleh kepercayaan dan ini penting dalam kelangsungan suatu tradisi. Dengan berkurangnya kepercayaan akan mempengaruhi ketaatan terhadap aturan yang berlaku. Secara keseluruhan rata-rata indikator efisiensi untuk Negeri Porto termasuk kategori sedang, sedangkan Desa Warialau termasuk kategori tinggi.
b. Indikator Keberlanjutan Sosial Indikator keberlanjutan sosial terdiri dari lima indikator, yaitu pendapatan setelah adanya sasi, kesejahteraan keluarga, keharmonisan masyarakat, tradisi aksi bersama, dan pembahasan tentang masalah-masalah desa. Untuk indikator keberlanjutan yang pertama yaitu pendapatan setelah adanya sasi, keduanya berada pada nilai sedang yaitu antara Rp.200.000-Rp.500.000/bulan. Untuk penduduk desa Warialau meskipun pendapatannya pada tahun 2006, saat buka sasi bisa mencapai Rp.750.000/bulan, namun bukan merupakan pendapatan tetap, karena waktu buka sasi 3-5 tahun. Selain itu pendapatan penduduk negeri Porto dan desa Warialai tidak seluruhnya berasal dari laut, artinya bahwa meskipun termasuk masyarakat pesisir, namun belum semuanya melihat laut sebagai potensi yang dapat dikelola untuk menambah pendapatan keluarga. Hal ini tergambarkan dari jumlah nelayan di Porto sebesar 2,86% serta 15,42% untuk Desa Warialau. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Novaczek et al (2001) bahwa keberlanjutan ekonomi khususnya tingkat pendapatan masyarakat
didesa-desa sasi tidaklah
lebih baik dari desa yang tidak disasi. Indikator keberlanjutan yang kedua yaitu kesejahteraan keluarga berkaitan dengan adanya sasi yaitu dilihat dari rumah yang dimiliki, sehingga dapat dijelaskan bahwa Negeri Porto memiliki tingkat kesejahteraan tinggi karena sebagian besar penduduk telah memiliki rumah permanen, hal ini juga didukung dengan mata pencaharian yang bervariasi dengan pendapatan yang juga bervariasi,
sebaliknya di Desa Warialau masuk dalam nilai sedang karena
sebagian besar penduduk memiliki rumah semi permanen. Tingkat keharmonisan masyarakat, merupakan indikator keberlanjutan yang ketiga dimana untuk Negeri Porto termasuk dalam penilaian sedang, artinya
bahwa kadang-kadang terjadi perselisihan, sedangkan Desa Warialau penilaian tinggi karena sangat sulit didapati perselisihan dalam masyarakat. Di Negeri Porto, kadang terjadi perselisihan antar nelayan karena akibat persaingan mendapatkan lokasi melaut karena dirasa semakin sempit dan adanya perbedaan peralatan melaut yang dimiliki. Selain itu juga didukung dengan kebiasaan masyarakat yang suka mengkonsumsi minuman keras sebelum melaut serta lemahnya penegakan aturan oleh aparat desa akibat terjadi perubahan sistem pemerintahan. Sebaliknya di Desa Warialau, sulit terjadinya perselisihan karena masih luasnya daerah penangkapan yang didukung dengan melimpahnya hasil laut dan belum adanya perbedaan peralatan melaut yang menyolok, serta penegakan aturan yang tegas karena lembaga adat tetap melaksanakan fungsinya meskipun terjadi perubahan sistem pemerintahan desa. Selanjutnya yaitu tradisi aksi bersama, dimana pada Negeri Porto memiliki nilai sedang, sedangkan Desa Warialau nilai tinggi. Perbedaannya terletak pada keterlibatan masyarakat dimana pada Negeri Porto masyarakat tidak dilibatkan sedangkan di Desa Warialau baik masyarakat, lembaga adat maupun pemerintah merupakan satu kesatuan yang selalu dilibatkan bersama dalam semua pengambilan keputusan seperti suatu tradisi atau adat istiadat. Tradisi aksi bersama bisa terlihat dalam kegiatan perikanan seperti bameti (pemungutan kerang), membuat perahu, menjahit jaring, menaikan dan menurunkan perahu setelah melaut. Tradisi aksi bersama ini masih
terlihat di Desa Warialau
sedangkan di Negeri Porto, setiap kegiatan sudah bersifat individu. Hal yang sama juga terlihat untuk tradisi masohi (bekerja gotong royong) dalam membangun baileo, tempat peribadatan, dan rumah. Kebersamaan pemerintah, tokoh adat, tokoh agama dan masyarakat juga terlihat selama penelitian, dimana pada awal diperkenalkan, diberi penjelasan tentang tujuan kedatangan, serta meminta keputusan untuk mendapatkan ijin pelaksanaan penelitian dan akhir saat akan meninggalkan lokasi, sebaliknya untuk Negeri Porto sulit untuk mengumpulkan ketiga komponen ini secara bersama-sama, sehingga lebih sering dilakukan pendekatan secara individu. Nilai yang sama yaitu sedang untuk Negeri Porto dan tinggi untuk Desa Warialau juga terlihat dari indikator keberlanjutan sosial yang kelima yaitu
pembahasan bersama masalah-masalah desa. Dalam melakukan pembahasan masalah desa di Negeri Porto yaitu sekali sebulan dan yang terlibat lebih dominan yaitu pemerintah dan lembaga adat, sedangkan untuk Desa Warialau pertemuan diadakan sedikitnya sekali seminggu dan semua komponen masyarakat dilibatkan. Secara keseluruhan rata-rata indikator keberlanjutan sosial untuk Negeri Porto termasuk kategori sedang, sedangkan Desa Warialau termasuk kategori tinggi.
c. Indikator Keberlanjutan Biologi Indikator keberlanjutan biologi pertama yaitu ukuran teripang, untuk Negeri Porto ukuran teripang cenderung menurun, dimana sebelum tahun 2005, ukuran yang didapatkan biasanya ukuran dengan nilai jual termasuk dalam kategori besar, namun setelah tahun 2005, yang ukurannya menjadi ukuran dengan kategori nilai jual sedang. Untuk Desa Warialau, ukuran relatif stabil. Perbedaan ukuran teripang di kedua lokasi cukup berbeda, hal ini disebabkan karena upaya tangkap di negeri Porto sangat tinggi dan semua ukuran teripang bisa diambil dengan bebas. Sebaliknua di desa Warialau upaya tangkap sangat rendah, karena dibatasi oleh waktu buka sasi, serta hanya ukuran tertentu saja yang dapat diambil. Indikator keberlanjutan biologi yang kedua yaitu hasil tangkapan sumberdaya. Hasi tangkapan teripang di negeri Porto mengalami penurunan sekitar 33.34-50% setiap tahun serta sulit mendapatkan jenis-jenis yang termasuk kategori tinggi atau relatif mahal. Untuk Desa Warialau ada terjadi sedikit penurunan teripang karena penangkapan ilegal oleh nelayan luar daerah yang menggunakan peralatan modern.
d. Indikator Pemerataan Indikator pemerataan
terdiri dari 3 indikator yaitu kesempatan
memanfaatkan sumberdaya, pemerataan hasil, dan kesempatan bagi nelayan lokal. Dari indikator pemerataan yang pertama, terlihat bahwa Negeri Porto dan Desa Warialau memiliki nilai yang tinggi, hal ini disebabkan karena seluruh masyarakat dapat memanfatkan sumberdaya. Selanjutnya untuk indikator yang kedua yaitu pemerataan hasil, Negeri Porto memiliki nilai sedang karena hasil sasi hanya
dibagi untuk pemerintah negeri dan lembaga adat, sedangkan Desa Warialau dibagi untuk pemerintah negeri, lembaga adat dan gereja. Sedangkan indikator pemerataan yang terakhir yaitu kesempatan bagi nelayan lokal kedua lokasi mempunyai nilai yang sama yaitu tinggi, karena nelayan lokal bebas mengakses area sasi, namun disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku, seperti untuk area penangkapan ikan yaitu di laut dalam, hanya untuk memancing yang dapat dilakukan di area pasang surut. Dari keseluruhan indikator pemerataan terlihat bahwa kedua lokasi ini mempunyai nilai rata-rata dengan kategori tinggi. Dari keempat indikator kinerja pelaksanaan sasi teripang di Negeri Porto dan Desa Warialau menunjukan nilai yang berbeda, yaitu nilai sedang untuk Negeri Porto dan tinggi untuk Desa Warialau ( Tabel 22). Dari Tabel 22 ini terlihat bahwa nilai terendah untuk Negeri Porto yaitu kemudahan dalam menjangkau sumberdaya dan pengawasan terhadap sasi sekarang ini. Kedua hal ini mempunyai hubungan dimana salah satu penyebab lemahnya pengawasan juga karena wilayah yang luas, sehingga sulit dipantau.
Tabel 22. Indikator Kinerja Pelaksanaan Sasi Teripang di Negeri Porto dan Desa Warialau Indikator-Indikator I. Indikator Efisiensi 1. Pengambilan Keputusan secara bersama 2. Kemudahan dalam menjangkau sumberdaya 3. Pengawasan terhadap sasi sekarang ini 4. Kepatuhan terhadap peraturan II. Indikator Keberlanjutan Sosial 1. Pendapatan setelah adanya sasi 2. Kesejahteraan keluarga berkaitan dengan sasi 3. Keharmonisan masyarakat setelah adanya sasi 4. Tradisi aksi bersama 5. Pembahasan tentang masalah-masalah desa III.Indikator Keberlanjutan Sumberdaya 1. Ukuran teripang 2. Hasil tangkapan teripang IV. Indikator Pemerataan 1. Kesempatan memanfaatkan sumberdaya 2. Pemerataan Hasil 3. Kesempatan Bagi Nelayan Lokal Jumlah Rata-Rata Sumber : Data Lapangan, 2008 Keterangani : 1= rendah, 2= sedang, 3= tinggi
Negeri Porto
Desa Warialau
2 1 1 2
3 2 3 3
2 3 2 2 2
2 2 3 3 3
Ukuran mengecil
Menurun
3 2 3 25 2
Relatif stabil Sedikit menurun
3 3 3 33 3
5.4. Tujuan Pengelolaan dan Pengkajian Resiko Tujuan pengelolaan yang ditetapkan oleh Pemerintah Negeri (Kepala Desa) di Negeri Porto dan Desa Warialau yaitu untuk menjamin kelestarian sumberdaya laut dan teripang termasuk di dalamnya. Untuk tujuan tersebut maka pengelolaan yang dilakukan yaitu berupa “sasi” dengan penerapan aturan-aturan yang telah ditentukan sejak jaman dahulu kala dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Dengan adanya tujuan pengelolaan ini, maka terlihat adanya pembatasan upaya tangkap, karena waktu tangkap yang diijinkan hanya sekali setahun untuk Negeri Porto dan sekali untuk tiga sampai lima tahun di Desa Warialau, sehingga diharapkan ketersediaan sumberdaya teripang akan terus menerus. Jika diamati tujuan pengelolaan ini, maka keterlibatan tenaga kerja (nelayan) tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan aktifitas perikanan lainnya yang mempunyai tujuan untuk mendorong kesempatan dan peluang kerja. Rendahnya jumlah tenaga kerja (nelayan) diakibatkan karena tujuan pengelolaan yang
lebih
mementingkan
aspek
kelestarian
sumberdaya
teripang dan
diimplementasikan dengan aturan-aturan sasi, sehingga upaya tangkap juga dibatasi dengan adanya waktu tangkap yang dikenal sebagai waktu buka dan tutup sasi. Penerapan tujuan pengelolaan dari kedua lokasi ini agak berbeda, hal ini diakibatkan karena aturan sasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Negeri (Kepala Desa) dan tokoh adat setempat. Perbedaan itu dapat terlihat pada beberapa hal yaitu untuk negeri Porto, hanya mengatur waktu buka sasi setahun sekali, sedangkan ukuran dan jumlah teripang yang diperbolehkan untuk diambil serta peralatan yang digunakan tidak diatur secara spesifik, padahal kenyataannya negeri Porto memiliki aturan tertulis. Sebaliknya untuk Desa Warialau, tidak ada aturan tertulis, namun dalam pengelolaan teripang berbasis sasi sudah diatur waktu pengambilan teripang 2 minggu (12 hari) setiap 3-5 tahun dan hanya dilakukan pada malam hari dan tidak boleh melakukan penyelaman, jumlah tangkapan yang diperbolehkan 1 bakul (± 1 kg kering) teripang per hari, ukuran yang diambil hanya yang berukuran besar dan alat yang diijinkan yang masih termasuk tradisional. Dengan penerapan pengelolaan yang berbeda, maka akan
terlihat pula dari hasil tangkapan teripang yang akan mengalami penurunan ataupun cenderung stabil. Hasil tangkapan teripang di Negeri Porto, Kota Ambon bahkan Provinsi Maluku mengalami penurunan setiap tahun. Hal ini menunjukan bahwa laju penangkapan
telah melebihi laju pertumbuhan sumberdaya itu sendiri. Batas
pertumbuhan ini ditentukan oleh ukuran populasi saat ini dan lingkungan tempat stok itu berada. Dalam mempertahankan suatu stok pada tingkat produktif diperlukan suatu jumlah yang cukup dari pemijah yaitu hewan dewasa yang matang reproduktif, dan lingkungan yang sangat cocok agar setiap tahap dalam daur hidupnya dapat dilewati dengan baik. Akan tetapi, akibat dari variabilitas lingkungan, pertumbuhan suatu stok dari tahun ke tahun biasanya sangat bervariasi. Jika upaya tangkap terus melebihi laju pertumbuhan, maka jika dilihat dari pertimbangan bioekologi, maka akan terjadi kepunahan teripang di habitat alaminya dan akan merubah sistem alami yang ada. Hal ini disebabkan karena teripang merupakan komponen penting dalam rantai makanan di daerah terumbu karang dengan asosiasi ekosistemnya pada berbagai tingkat trofik, berperan penting sebagai pemakan deposit dan pemakan suspensi. Penurunan populasi teripang secara cepat akan menimbulkan konsekuensi serius bagi kehidupan jenisjenis lain yang merupakan bagian lingkat pangan yang sama. Telur-telur, larva dan juwana teripang merupakan sumber pangan yang penting bagi beberapa jenis biota laut yaitu ikan dan moluska. Teripang mencerna sejumlah besar sedimen, sehingga terjadi pengadukan lapisan atas sedimen di tempat teripang itu berada, yang memungkinkan terjadinya oksigenisasi, mirip seperti cacing tanah di darat. Proses ini mencegah terjadinya penumpukan busukan benda organik dan sangat mungkin mengontrol hama dan organisma patogen termasuk bakteri tertentu. Tangkap lebih bisa mengakibatkan terjadinya pengerasan dasar laut tempat populasi teripang berada dan berakibat ketidakcocokan habitat bagi bentos lain dan organisma meliang. Pertimbangan dari segi sosial ekonomi, jika terjadi penurunan sumberdaya teripang maka akan berdampak secara langsung dengan berakhirnya aktivitas perikanan di wilayah tersebut, mulai dari aktivitas penangkapan sampai
pemasaran dan perdagangan dan bukan saja pada sumberdaya teripang, namun juga berdampak terhadap ketersediaan sumberdaya lainnya, seperti ikan dan moluska, telah terjadi perubahan sistem alami yang ada. Hal ini tentu saja akan merugikan baik nelayan dan pedagang pengumpul karena salah satu sumber pendapatannya akan hilang dan tentu saja berpengaruh secara langsung terhadap kesejahteraan keluarga, selain itu tidak tersedia lagi salah satu sumber pendapatan negeri (desa) bahkan sampai ke daerah dan akan sangat merugikan daerah secara umum, apalagi di tengah sistem otonomisasi dimana setiap daerah harus semakin meningkatkan pendapatan asli daerah untuk kesejahteraan penduduk setempat. Dengan kondisi yang demikian maka akan berdampak juga terhadap masalah sosial yang akan ditimbulkan seperti semakin meningkatnya pengangguran dan lain sebagainya yang akan menambah beban pemerintah daerah.
Dengan
demikian untuk mengantisipasi semakin banyak masalah yang akan ditimbulkan, maka perlu dilakukan upaya pengelolaan sumberdaya teripang dengan sebaikbaiknya, sehingga ketersediaannya terus menerus dan akan memberikan banyak manfaat dari berbagai aspek baik bioekologi, sosial dan ekonomi.
5.5. Diskusi Umum 5.5.1. Faktor-Faktor Penyebab Menurunnya Sumberdaya Teripang Penurunan sumberdaya teripang di Negeri Porto, baik dari segi ukuran maupun hasil tangkapan, disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : 1. Belum adanya aturan sasi yang lebih spesifik berkaitan dengan banyaknya tangkapan yang diperbolehkan, ukuran yang dapat diambil, peralatan yang digunakan serta penetapan waktu tangkap (buka sasi) yang disesuikan dengan keberadaan teripang dewasa yang telah mencapai waktu matang gonad (reproduktif) untuk memijah. Hal tersebut menyebabkan terjadi tangkapan lebih serta pengambilan teripang tanpa memperhatikan waktu matang gonad, hal tersebut berpengaruh terhadap ketersediaan stok teripang karena tidak memberikan peluang adanya rekruitmen individu baru ke dalam populasi dan pertumbuhan dari individu yang ada. 2. Adanya sistem lelang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Negeri Porto, yang kurang disetujui oleh masyarakat karena tidak ada keterlibatan masyarakat.
Sebelum ada sistem lelang, pada waktu lampau masyarakat dibiarkan mengambil hasil laut dengan batasan waktu tertentu (± 2 minggu) kemudian ditutup lagi. Selain itu setiap keputusan penentuan buka sasi, masyarakat dilibatkan dengan prosedur bahwa informasi yang didapat oleh kewan tentang kondisi sumberdaya yang sudah dapat dipanen berasal dari masyarakat khususnya nelayan dan kemudian pemerintah negeri dan kewan menentukan waktu buka sasi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan negeri. Namun dengan adanya sistem lelang, maka pemenang lelang akan memberikan sejumlah uang sesuai kesepakatan kepada pemerintah Negeri serta dapat mengambil semua sumberdaya yang ada sesuai dengan luasan area yang diberikan. Dampak yang ditimbulkan dari sistem ini yaitu bahwa: 1).tidak ada keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan serta rendahnya peluang masyarakat untuk menikmati sumberdaya yang ada; 2) adanya kecenderungan penggunaan alat modern oleh pemenang lelang, sehingga sumberdaya tersebut dapat diambil tanpa memberikan kesempatan bagi masyarakat dan untuk kelestarian lingkungan.3) kondisi area yang agak jauh dari wilayah perkampungan, sehingga menyulitkan pemerintah dan lembaga adat untuk memantau aktifitas dari pemenang lelang tersebut. Dengan demikian sistem lelang ini juga menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat setempat, baik dilihat dari aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Hal ini juga sesuai dengan pendapat dari Bandjar (1998) yang menyatakan bahwa dengan perubahan aturan sasi yakni pemanfaatan oleh masyarakat kepada pemanfaatan oleh pengontrak mengakibatkan terputusnya akses masyarakat terhadap sumberdaya yang disasikan. Dinamika sasi menunjukan bahwa lembaga-lembaga setempat dengan mudah dipengaruhi oleh pemilik modal perseorangan/kelompok sehingga merubah peraturanperaturan
sasi yang mengakibatkan tersingkirnya hak dan manfaat dari
penduduk setempat. Hal ini berdampak negatif terhadap masyarakat setempat, baik dilihat dari aspek sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan. 3. Lemahnya pengawasan dan penegakan sanksi atau hukuman dari lembaga adat khususnya kewan yang menyebabkan terjadinya penangkapan teripang sebelum waktu “buka sasi” baik oleh masyarakat setempat maupun oleh
penduduk luar desa/negeri setempat. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan sistem pemerintahan desa. Hal ini sesuai dengan pendapat Pical (2007), bahwa perubahan sistem pemerintahan desa memberikan pengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat pedesaan Maluku. Oleh karena itu maka sistem pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat adalah lebih baik dibandingkan dengan rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Selain itu terlihat bahwa kurangnya perhatian Pemerintah Negeri dalam memberikan penghargaan terhadap masyarakat pendukung pelaksanaan sasi. 4. Kurangnya informasi ilmiah tentang kondisi sumberdaya teripang, serta pengelolaannya. Hal tersebut menyebabkan timbulnya persepsi yang salah tentang kondisi teripang yang masih dianggap melimpah, meskipun pada kenyataannya terjadi penurunan sumberdaya. Untuk desa Warialau, sumberdaya teripang dari segi jumlah dan ukurannya relatif stabil, namun permasalahan utama yang dihadapi yaitu, terjadinya pencurian teripang oleh nelayan dari Madura dan Bugis yang menggunakan peralatan modern. Hal ini dapat terjadi karena letak pulau yang rentan terhadap pencurian, serta hanya didiami oleh penduduk dengan jumlah yang kecil serta tidak menyebar pada seluruh pulau, selain itu juga peralatan transportasi yang dimiliki sangat minim, sehingga sulit dalam proses pengawasan.
5.5.2. Alternatif Strategi Pengelolaan Sumberdaya Teripang Sumberdaya teripang mempunyai fungsi baik secara ekologis maupun ekonomi, sehingga dalam menjamin kelangsungan produktivitasnnya dan kesinambungan kegiatan perikanan maka diperlukan strategi pengelolaan yang tepat. Dengan demikian dirumuskan strategi pengelolaan yang merupakan hasil kajian dari berbagai pertimbangan yaitu bioekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan, tujuan pengelolaan dan kajian resiko. Strategi pengelolaan diterapkan dalam bentuk aturan-aturan, diantaranya sasi baik di Negeri Porto maupun Desa Warialau.
Strategi pengeloaan teripang di Negeri Porto yaitu: a. Waktu “tutup” sasi diperpanjang menjadi setahun sekali, namun tetap memperhatikan ukuran panjang sebagai penentuan tingkat kematangan gonad pertama untuk memijah, sehingga dapat meningkatkan ketersediaan stok karena adanya rekruitmen individu baru, maupun karena pertumbuhan. Penentuan ukuran panjang teripang, dapat dilihat dari hasil kajian beberapa teripang, yaitu Holothuria fuscogilva dan Bohadschia marmorata 320 mm, Holothuria sacbra 160 mm, Actinopyga echinities 120 mm dan Thelenota ananas 300 mm. b. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan selama “buka sasi” 25-50% dari potensi yaitu 3060-6120 individu(10-20 kg kering) Hal ini dimaksudkan agar dapat mengurangi mortalitas penangkapan pada tahap kehidupan yang dianggap memerlukan perlindungan khusus. Dari hasil tangkapan terjadi penurunan setiap tahun, sehingga dapat berdampak/ menimbulkan resiko terjadinya kepunahan, berakhirnya aktivitas perikanan dan berdampak terhadap penurunan pendapatan nelayan, pedagang, bahkan daerah serta munculnya berbagai masalah sosial lainnya. Dengan demikian jumlah tangkapan yang diperbolehkan perlu dibatasi, sehingga tujuan pengelolaan yang ditetapkan oleh pemerintah negeri dapat terwujud yaitu untuk ketersediaan sumberdaya teripang secara terus menerus. c. Pembatasan waktu tangkap pada saat musim memijah yang diperkirakan pada bulan Juni dan Juli. d. Perlindungan habitat teripang dari kegiatan manusia yang bersifat merusak, seperti penggunaan bom ikan dan lain sebagainya. e. Pengayaan stok teripang di habitat alaminya dan dikembangkan upaya budidaya teripang serta perlindungan area tertentu untuk pemeliharaan individu teripang sebagai penyuplai benih. Selain itu dilakukan penelitian cara pengolahan teripang sebagai bahan baku untuk obat-obatan, sehingga harga jual semakin tinggi dan berdampak terhadap peningkatan pendapatan nelayan, pedagang dan pemasukan pendapatan asli daerah.
Untuk Desa Warialau, strategi pengelolaan yang diterapkan dalam aturan seperti sasi cukup baik, namun ada beberapa tambahan yaitu: a. Pengayaan stok teripang di habitat alaminya dan perlindungan area tertentu untuk pemeliharaan individu teripang sebagai penyuplai benih. b. Penelitian cara pengolahan teripang sebagai bahan baku untuk obat-obatan, sehingga harga jual semakin tinggi dan berdampak terhadap peningkatan pendapatan nelayan, pedagang dan pemasukan pendapatan asli daerah. c. Kerjasama dengan instansi terkait seperti TNI-AL dan Polisi Air, dalam upaya mengatasi terjadinya penangkapan sumberdaya laut termasuk teripang secara ilegal. d. Perlu adanya pertimbangan PEMDA untuk penetapan desa Warialau sebagai salah satu kawasan konservasi teripang di Maluku.