sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXVIII, Nomor 2, 2003 : 1-9
ISSN 0216-1877
SUMBERDAYA TERIPANG DAN PENGELOLAANNYA Oleh Prapto Darsono1) ABSTRACT HOLOTHURIANS RESOURCES AND ITS MANAGEMENT. Sea cucumber (holothurians) are widely distributed in marine environments throughout the world from intertidal zones to the deep sea. There are approximately 1200 species of sea cucumber described, devided into six orders. Some holothurians are targeted for beche-de-mer fisheries. There are about 20 species of sea cucumber from Indonesia that are traded internationally. Cucumber fisheries are primarily based on shallow water, up to 50 m depth, species belonging two families and five genera: Actinopyga, Bohadschia, Holothuria (Holothuriidae), and Stichopus, Thelenota (Stichopodidae). Sea cucumbers are threatened by overexploitation to supply international markets, as well as a sources of aquaria organism and specimen for biomedical research. A second threat contributing to their decline is habitat degradation and loss. Decline in population abundance may occur because of overexploitation of particular species. Population fail to recover once their density is reduced below a critical mass. The government has to establish management measure to various degrees, including collection areas, permitting systems, quotas, seasonal harvest, rotational harvest, and others in attempt to prevent overexploitation. Certain site may be closed to harvest, and the take of certain species is prohibited. mahal. Perburuan teripang terjadi diseluruh wilayah Indonesia, bahkan konon sampai keluar wilayah Indonesia antara lain Pulau Pasir (Ashmore reef, Australia). Tingkat perburuan teripang saat ini disamping ekstensif juga intensif, dalam arti perburuan tidak saja pada jenis-jenis yang berharga mahal, tapi juga jenis-jenis yang murah yang pada awalnya tidak menjadi perhatian. Hal
PENDAHULUAN
Teripang merupakan komoditi perikanan yang diperdagangkan secara internasional. Oleh karenanya jenis-jenis teripang tertentu menjadi target perburuan. Beberapa jenis teripang antara lain teripang pasir, Holothuria scabra, dan teripang susu, Holothuria nobilis, mempunyai harga relatif
Oseana, Volume XXVIII no. 2, 2003
1
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
demikian terjadi karena jenis-jenis teripang yang mahal makin jarang, sulit ditemukan, sedangkan jenis-jenis murah juga ditampung oleh pasar. Dalam sektor perikanan, komoditi teripang belum memperoleh perhatian yang proporsional. Kontribusi komoditi teripang terhadap pendapatan sektor perikanan secara nasional mungkin relatif kecil. Namun secara nyata komoditi ini memberikan penghasilan bagi para nelayan. Sejarah perburuan teripang sudah berlangsung sejak lama, ratusan tahun yang lalu. Kegiatan ini berlangsung secara tradisional, turun-temurun, dari generasi ke generasi berikutnya. Meskipun teripang mempunyai pasar internasional dan eksploitasinya telah berlangsung ratusan tahun, sumberdaya ini belum pernah dikelola sebagaimana mestinya. Perhatian perlu diberikan oleh masyarakat dan pihak-pihak yang berkompeten, terutama oleh pemerintah melalui instansi-instansi terkait. Perhatian berupa pengelolaan sumberdaya dan meningkatkan nilai tambah. Pengelolaan berkaitan dengan kelestarian sumberdaya sehingga kegiatan eksploitasi (perikanannya) akan berlangsung lestari. Peningkatan nilai tambah melalui penyuluhan tehnik pengolahan pasca panen, untuk menghasilkan produk dengan mutu standar dan kualitas baik, sehingga diterima pasar dengan harga sewajarnya. Teripang merupakan sumber pangan (protein hewani) yang mempuunyai pasar internasional, oleh karena itu marilah kita manfaatkan sumberdaya teripang sebagai anugerah alam secara bijak dan terjaga kelestariannya.
kekayaan alam (natural heritage) yang ada dari komoditi bersangkutan. Teripang (holothurians) adalah kelompok hewan invertebrata laut dari kelas Holothuroidea (Filum Echinodermata), dibedakan dalam enam bangsa (ordo) yaitu Dendrochirotida, Aspidochirotida, Dactylochirotida, Apodida, Molpadida, dan Elasipoda. Tidak kurang dari 1200 jenis teripang tersebar di perairan dangkal tropika (BAKUS, 1973), namun hanya sekitar 15-20 jenis yang komersial (CONAND & BYRNE, 1993; HOLLAND, 1994; ROWE& GATES, 1995). Semua jenis teripang komersial, khususnya dari daerah tropika, termasuk dalam bangsa Aspidochirotida dari suku (family) Holothuriidae dan Stichopodidae, yang meliputi marga (genus) Holothuria, Actinopyga, Bohadschia, Thelenota dan Stichopus. Teripang bangsa Aspidochirotida tersebar terutama di perairan dangkal daerah tropika. Marga Holothuria sendiri terdiri tidak kurang dari 114 jenis (species) (ROWE, 1969). Kekayaan jenis teripang di Indonesia belum diketahui secara pasti. Tidak kurang sekitar 25 jenis teripang potensial komersial diidentifikasikan berasal dari perairan Indonesia (DARSONO, 1995). Jenis teripang yang termasuk dalam katagori utama, relatif mahal, yaitu teripang pasir atau teripang putih, Holothuria scabra, teripang susuan, H. nobilis dan H fuscogilva, teripang nenas, Thelenota ananas. Jenis yang termasuk kedalam kategori sedang yaitu teripang dari marga Actinopyga, antara lain teripang lotong (A. miliaris), teripang batu (A. echinites), teripang bilalo (A. lecanora dan A. mauritiand). Jenis-jenis lainnya termasuk dalam kategori rendah/ murah (CONAND, 1990)
SUMBERDAYA TERIPANG Dalam pembicaraan tentang teripang (holothurians), aspek sumberdaya merupakan hulu yang akan mengalir pada aspek perikanan, dan bermuara pada aspek industri dan perdagangannya. Sumberdaya adalah
Oseana, Volume XXVIII no. 2, 2003
PEMANFAATAN DAN PERIKANAN TERIPANG
Teripang (sea cucumber) merupakan jenis bahan makanan tradisional di beberapa negara Asia, khususnya Cina. Teripang olahan
2
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
kering dalam perdagangan dikenal sebagai beche-de-mer atau trepang atau hai-sum (CONAND & SLOAN, 1989). Teripang disukai karena mengandung zat-zat obat (medicinal properties), makanan ini berkhasiat obat (curative), dan mempunyai daya aphrodisiac (PRESTON, 1993; AKAMINE, 2000). Dari hasil analisa proksimat daging teripang diperoleh komposisi protein 43 %, lemak 2 %, kadar air 17 %, mineral 21 % dan kadar abu 7% (JAMES, 1989). Kandungan lemak yang rendah menyebabkan teripang direkomendasikan untuk orang-orang yang bermasalah dengan kholesterol. Di Jepang, Korea dan beberapa negara Pasifik Selatan, daging dan organ dalam (viscera) teripang dimakan mentah (segar), dimasak, diasin dan atau dalam bentuk kering. Teripang juga digunakan sebagai pakan ternak, dan untuk dibuat tuba ikan maupun sebagai agen anti jamur (PRESTON, 1993). Sejak akhir 1990 pasar teripang bertambah dengan berkembangnya riset produk alam (natural products) dan penggunaannya sebagai biota akuarium. Sejarah perikanan (eksploitasi) teripang di Indonesia sudah berlangsung lebih dari tiga abad (CAMBELL & WILSON, 1993; STACEY, 2000). Perikanan teripang berlangsung diseluruh Indonesia, namun Indonesia Timur adalah daerah perikanan teripang yang utama (KONINGSBERGER, 1904; SURJODINOTO, 1954). Tidak banyak catatan tentang kegiatan perburuan teripang di Indonesia. Namun hal ini tidak berarti kegiatan perikanan teripang terhenti, kegiatan ini berlangsung terus bahkan cenderung meningkat aktifitasnya (AZIZ, 1987; CONAND & TUWO, 1996). Berdasarkan lamanya eksploitasi teripang berlangsung, bisa diduga bahwa populasi teripang mengalami tekanan yang cukup serius mengancam kelestariannya. Penurunan sumberdaya (depleting resources) teripang sudah "dirasakan" terjadi, karena laju pertambahan (recruitment) tidak sebanding
Oseana, Volume XXVIII no. 2, 2003
dengan laju pemungutannya. Pengumpulan teripang berlangsung terus, meskipun terjadi secara sporadis, karena permintaan pasar makin meningkat (STACEY, 2000). Kegiatan eksploitasi teripang di Indonesia umumnya berskala kecil (artisanal), dilakukan oleh para nelayan dengan pengumpulan sedikit demi sedikit. Perhatian pihak pengelola (pemerintah) terhadap komoditi teripang diduga tidak serius, keadaan ini menyebabkan data yang ada sulit untuk dijadikan landasan pengelolaan sumberdaya tersebut. Data statistik perikanan beberapa tahun terakhir berfluktuasi tapi menunjukkan kecenderungan produksi meningkat dari 1450 ton (1989) menjadi 3058 ton (1998), sedikit menurun, menjadi 2617 ton pada tahun 1999. Kenaikan jumlah produksi ini kemungkinan terjadi karena pemungutan teripang pada dekade terakhir ini beralih pada sembarang jenis, dan teripang dari Indonesia dianggap berkualitas rendah (CONAND, 1998). Namun begitu Indonesia tercatat sebagai negara pemasok utama teripang ke negara-negara pengimpor seperti Singapura, HongKong dan Taiwan (Infofish Trade News II//96, 17/6/96).
POPULASI DAN KEPADATAN TERIPANG Teripang ditemukan pada habitat yang selalu berada dibawah garis surut terendah. Topograpi dan tingkat kekeringan dari rataan terumbu pada lokasi setempat sangat berpengaruh terhadap distribusi teripang yang ada pada lokasi tersebut. Habitat dengan dasar pasir karang yang sebagian ditumbuhi lamun (sea grass) merupakan tempat hidup teripang. Beberapa jenis teripang, ada yang hidup di daerah dengan habitat yang berbongkah karang (boulders), dan disekitar kelompok karang hidup. Teripang diberbagai wilayah Indonesia memperlihatkan kepadatan yang sangat rendah, bervariasi antara 0,002-1 individu/m2
3
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
(DARSONO et al, 1998). Angka ini merupakan densitas semua jenis teripang yang ada pada suatu tempat. Teripang keling, Holothuria atra, jenis teripang yang sangat umum ditemukan di daerah tropika mempunyai densitas 5-35 individu/ m2 (BAKUS, 1973), di Guam pernah dilaporkan mencapai kepadatan 22 individu/ 10 m2 (ROWE & DOTY, 1977). Namun jenis tersebut bernilai ekonomi rendah. Densitas delapan jenis teripang yang cukup besar, berkisar antara 12 - 546 individu/ m2, ditemukan di daerah rataan terumbu Enewetak Atoll, Marshal Island (LAWRENCE, 1980). Angka densitas bervariasi menurut jenis teripang, berkisar antara 7 - 500 individu/hektar, dilaporkan dari terumbu di selat Torres, Australia (LONG & SKEWES, 1997). Perolehan angka densitas ini mungkin masih bisa diperdebatkan, mengingat masih banyaknya kelemahan dalam tehnik sampling. Perbandingan densitas dari satu tempat dengan tempat lain juga sulit
dilakukan bila tehnik yang dikembangkan berbeda. Perhitungan stok sangat bervariasi dari setiap peneliti. Idealnya, untuk melakukan perbandingan, perlu adanya kesamaan tehnik, dan lebih akurat lagi bila dilakukan oleh peneliti yang sama. Di Pulau Pari, Kepulauan Seribu Jakarta, pada tahun 1973 dengan mudah mengumpulkan sebanyak 14000 spesimen teripang lotong, Actinopyga miliaris, dalam waktu dua pekan (ROMIMOHTARTO, 1977), namun sejak saat itu penurunan stok populasinya tak terelakkan lagi. Indikasi penurunan kepadatan teripang di Pulau Pari tercatat dari 0,36 - 0,78 individu/ m2 pada periode tahun 1976 - 1979, menurun menjadi 0,13-0,18 individu/ m2 sampai tahun 1994 (AZIZ & DARSONO, 1997). Tabel 1 menunjukkan hasil pengamatan kepadatan stok teripang di berbagai lokasi di Indonesia yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti.
Tabel 1. Stok teripang di berbagai lokasi pengamatan (DARSONO et al., 1998)
Oseana, Volume XXVIII no. 2, 2003
4
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
PELESTARIAN DAN PENGELOLAAN TERIPANG
penumpukan busukan benda organik dan sangat mungkin membantu mengontrol populasi hama dan organisma patogen termasuk bakteri tertentu maupun cyanobacteria mats. Tangkap lebih bisa mengakibatkan terjadinya pengerasan dasar laut tempat populasi teripang berada, dan berakibat ketidak cocokan habitat bagi bentos lain dan organisma meliang (infaunal organism). Observasi visual di lapangan diperoleh indikasi terjadinya penurunan populasi (depleting resources) teripang. Indikasi tersebut antara lain adalah sulitnya menemukan jenisjenis teripang komersial, baik yang mahal, sedang maupun murah harganya, di habitat alaminya. Karena sulitnya menemukan, beberapa jenis mahal terkesan "langka". Ditinjau dari segi kelestarian sumberdaya, maka perlu segera diambil langkah perlindungan bagi teripang dari upaya perburuannya. Perlu pengaturan dan pengelolaan perburuan teripang, dan pengawasan terhadap perdagangan teripang (CONAND, 1997). Perdagangan teripang harus lewat "pintu" formal agar tercatat secara resmi jumlah tangkapan, jenis-jenisnya dan lokasinya. Data statistik perikanan teripang yang lugas dan riel sangat diperlukan untuk pengambilan kebijaksanaan pengelolaan yang benar. Ancaman utama terhadap keberadaan teripang adalah terjadinya tangkap lebih
Teripang mempunyai fungsi ekologi disamping fungsi ekonomi yaitu sebagai komoditi perikanan/ perdagangan. Secara ekologis teripang berfungsi membantu proses dekomposisi zat organik yang ada dalam sedimen, dan melepaskan/ menghasilkan nutrisi kedalam rantai makanan. Kepunahan teripang di habitat alaminya akan merubah "sistem" alami yang ada. Setiap perubahan akan membawa dampak, yang cenderung negatif, dan sering tidak terduga oleh pemikiran manusia. Oleh karenanya "kelestarian" merupakan kata kunci bagi pengelolaan sumberdaya ini. Kelestarian sumberdaya teripang mempunyai dua aspek, yaitu melindungi keberadaan sumberdaya itu sendiri, dan menjaga keberlanjutan kegiatan perikanannya atau produksi teripang. Teripang (holothurians) adalah hewan bentik yang lambat geraknya, hidup pada dasar/ substrat pasir, lumpur maupun dalam lingkungan terumbu. Teripang merupakan komponen penting dalam rantai makanan (food chain) di daerah terumbu karang dengan asosiasi ekosistemnya pada berbagai tingkat trofik (trophic levels), berperan penting sebagai pemakan deposit (deposit feeder) dan
pemakan suspensi (suspensi feeder). Penurunan populasi teripang secara cepat menimbulkan konsekwensi serius bagi kehidupan jenis-jenis lain yang merupakan bagian lingkar pangan (food web) yang sama. Telur-telur, larva dan juwana teripang merupakan sumber pangan yang penting bagi beberapa jenis biota laut yaitu udang-udangan (crustaceans), ikan, dan moluska. Teripang mencerna sejumlah besar sedimen, sehingga terjadi pengadukan lapisan atas sedimen ditempat teripang itu berada, yang memungkinkan terjadinya oksigenisasi, mirip seperti yang dilakukan cacing tanah di darat. Proses ini mencegah terjadinya
Oseana, Volume XXVIII no. 2, 2003
(overexploitation) akibat peningkatan permintaan pasar, juga penggunaan teripang sebagai biota akuarium maupun sebagai bahan riset biomedis. Hal lain yang juga mengancam populasi teripang adalah degradasi habitat tempat hidupnya. Habitat adalah tempat hidup sekaligus tempat mendapatkan pakannya. Kerusakan habitat berarti hilangnya "rumah" dan tempat mencari pakannya. Teripang berkelamin terpisah, memijah di dalam air (laut) dan fertilisasi terjadi dalam
5
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
kolom air. Teripang mempunyai karakter mobilitas rendah dan kemungkinan ruang hidupnya sempit (small home range). Oleh karena itu untuk suksesnya fertilisasi, populasi teripang harus dalam jumlah tertentu. Jarak keberadaan antara jantan dan betina yang terlalu jauh sangat mungkin gagalnya fertilisasi. Sekali kepadatan populasi teripang turun dibawah jumlah kritis, maka sangat sulit populasi akan pulih kembali (recover). Belum ada pengelolaan teripang yang dilakukan di Indonesia. Berapapun nilai kontribusi teripang bagi pendapatan sektor perikanan, perlu dikembangkan pola pengelolaan (management) yang melindungi sumberdaya dan usaha perikanannya. Pengelolaan tersebut meliputi antara lain daerah perburuan, kuota, sistem perijinan, musim panen, ukuran, jumlah panenan dan lain-lain, yang kesemuanya bertujuan untuk mencegah terjadinya tangkap lebih (ADAMS, 1993). Salah satu cara untuk melestarikan sumberdaya teripang adalah dengan
Terumbu karang sebagai habitat, harus dijaga dari kerusakan terutama akibat kegiatan manusia (anthropogenic). Kemudian perlu dihindarkan pungut lebih (over exploitation) terhadap sumberdaya biologi yang komersil. Sumberdaya bentik yang terdapat dalam terumbu karang karena densitasnya rendah, rentan terhadap eksploitasi berlebihan. Salah satu sumberdaya bentik pada daerah terumbu karang adalah hewan ekhinoderm, khususnya teripang yang merupakan komoditi perikanan. Kehadiran teripang mempunyai pengaruh terhadap struktur dan fungsi komunitas terumbu karang melalui berbagai tingkat trofik. Padahal sumberdaya teripang mengalami tekanan eksploitasi berat, karena laku sebagai komoditas perdagangan. Penurunan (depleting) stok populasi teripang telah dirasakan diberbagai lokasi di Indonesia. Pengayaan stok (stock enhancement) perlu diprogramkan untuk jenis-jenis target (YANAGISAWA, 1996). Pengayaan stok adalah usaha yang sistematik untuk melestarikan sumberdaya teripang, dan memungkinkan kelangsungan kegiatan perikanannya (BATTAGLENE & BELL, 1998). Untuk tujuan ini diperlukan stok "benih" teripang hasil rekayasa di panti benih (hatchery). Dalam hal ini maka usaha pembenihan teripang perlu diwujudkan.
pengayaan stok (stock enhancement) terhadap jenis-jenis target, dan produksi teripang yang berbasis budidaya (BATTAGLENE, 1999).
PENGAYAAN STOK (STOCK ENHANCEMENT) TERIPANG BUDIDAYA TERIPANG
Terumbu karang (coral reef) dapat dianalogikan dengan hutan tropika dalam berbagai hal. Keduanya, terumbu karang dan hutan, adalah kaya dengan berbagai biota dibanding dengan berbagai ekosistem lain. Terumbu karang merupakan habitat tempat hidup berbagai biota laut yang sebagian adalah sumber protein bagi kehidupan rumah tangga (subsisten), dan menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat disekitarnya melalui eksploitasi sumberdaya dan turisme. Disamping itu terumbu karang juga berfungsi sebagai pelindung pantai.
Oseana, Volume XXVIII no. 2, 2003
Beberapa jenis teripang menjadi target perburuan sebagai produk perikanan yang menjadi komoditi perdagangan. Sebagian besar produk teripang untuk ekspor, mempunyai prospek ekonomi yang baik. Produk teripang masih menggantungkan ketersediaan stok populasi alami yang makin menurun secara drastis. Untuk memenuhi pasar, eksploitasi teripang cenderung berlebihan. Pemulihan populasi alami (recruitment) teripang relatif lambat dan tidak mengejar laju eksploitasinya. Keprihatinan
6
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
akan kelestarian sumberdayanya dan kelangsungan produksi teripang, mendesak upaya untuk menghasilkan produk teripang yang berbasis budidaya. Budidaya teripang telah dilakukan di Cina, Jepang, India, Vietnam, Solomon, dan Fiji, dengan benih teripang hasil rekayasa di panti benih (hatchery). Rekayasa pembenihan, dalam upaya menyediakan stok benih, merupakan langkah awal bagi terselenggaranya kegiatan budidaya. Ketersediaan stok benih teripang, selain untuk dipelihara dalam pembesaran (growing out), juga bisa dimanfaatkan untuk pengayaan stok (stock enhancement) di habitat alaminya. Keberhasilan upaya pembenihan teripang menjadi penting untuk mendorong kegiatan budidayanya. Upaya pembenihan teripang sudah dilakukan di Indonesia, dan secara teknis sudah bisa dihasilkan benih teripang di panti benih (DARSONO, 1999). Saat ini upaya untuk memproduksi benih teripang secara massal masih sedang berlangsung. Kalau upaya ini bisa berlangsung terus dan berhasil dengan baik, maka dalam beberapa tahun kedepan kegiatan budidaya teripang akan mendapatkan sumber benih teripang dari hasil rekayasa di panti benih.
Kerusakan habitat (seperti terumbu karang) juga berpengaruh terhadap populasi teripang. Habitat adalah tempat hidup, tempat mencari pakan, dan tempat berkembang biak. Kerusakan habitat akan berakibat pindahnya "penghuni" disitu ke tempat lain yang masih "nyaman", akibat terburuk adalah terjadinya kematian biota karena tidak menemukan pakannya lagi, dan sudah hampir pasti berpengaruh terhadap proses perkembang biakan Pengelolaan teripang perlu dilakukan berkaitan dengan waktu kapan eksploitasi bisa dilakukan, berapa besarnya jumlah yang boleh dipungut, ukuran berapa individu teripang yang boleh diambil. Pengaturan waktu berkaitan musim reproduksi alaminya. Pengaturan jumlah berkaitan dengan potensi stok populasi teripang yang ada pada suatu lokasi. Pengaturan ukuran berkaitan dengan mutu dan kualitas produk teripang yang akan dihasilkan, disamping tentunya ukuran teripang yang besar diharapkan sudah memberikan kontribusi rekruitmen populasinya (sudah berkesempatan memijah). Kedepan, untuk menjaga kelestarian populasi teripang target, perlu dilakukan pengayaan stok teripang di habitat alaminya. Disamping itu perlu dikembangkan usaha budidaya teripang sebagai basis produksi teripang untuk perdagangannya. Kedua hal ini perlu "benih" teripang hasil dari rekayasa pembenihan di panti benih (hatchery). Dalam hal ini pembenihan teripang menjadi kunci berlangsungnya kegiatan ini.
PENUTUP
Teripang sebagai komoditi perdagangan menjadikannya sebagai target perburuan, karena mengandung zat-zat obat, daya aphrodisiac dan rendah lemak. Perburuan atau eksploitasi teripang cenderung
berlebihan (over exploitation), dan mengancam kelestarian sumberdayanya. Kelestarian terancam bila laju eksploitasi lebih cepat dari laju pertambahan (recruitment), yang berkibat juga kemungkinan gagalnya fertilisasi bila kepadatan populasi teripang sudah jauh dibawah "normal".
Oseana, Volume XXVIII no. 2, 2003
DAFTAR PUSTAKA ADAMS, T. 1993. Management of Beche-demer (sea cucumber) fisheries. Bechede-mer, Info. Bull. 5 : 13 - 16.
7
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
AKAMINE, J. 2000. Sea cucumbers from the coral reef to the world market. In Bisayan knowledge, movement and identity. VMAS III 1996-1999 (I. Ushijima & C. N. Zayas eds.). Quezon city, University of the Philippines, : 223-244. AZIZ, A. 1987. Beberapa catatan tentang perikanan teripang di Indonesia dan kawasan Indo-Pasifik Barat. Oseana 12 (2): 68-78. AZIZ, A. dan P. DARSONO 1997. Beberapa catatan mengenai fauna ekhinodermata di daerah rataan terumbu bagian selatan gugus Pulau Pari, Pulau-pulau Seribu. Dalam : Inventarisasi dan Evaluasi Potensi Laut-Pesisir II, Geologi, Kimia, Biologi dan Ekologi (D.P. Praseno; W.S. Atmadja; I. Supangat; Ruyitno, B.S. Sudibjo, eds.). Puslitbang Oseanologi - LIPI, Jakarta : 72 - 77. BAKUS, G.J. 1973. The biology and ecology of tropical holothurians. In : Biology and Geology of Coral Reef (O. A. Jones & R. Endean, eds.), vol. 2 (Biol. 1). Academic Press, New York: 325 - 367. BATTAGLENE, S.C. 1999. Culture of tropical sea cucumbers for stock restoration and enhancement. Naga, the ICLARM Quarterly 22 (4) : 4 - 11. BATTAGLENE, S.C. and J.D. BELL 1998. Potential of the tropical Indo-Pacific sea cucumber, Holothuria scabra, for stock enhancement. In : Stock Enhancement and Sea Ranching, (B.R. Howell; E. Moksness; and T. Svasand, Eds.). Fishing News Books. : 478 -490. CAMPBELL, B.C. and BU V.E. WILSON, 1993. The politic of exclusion: Indonesian fishing in the Australian Fishing Zone. Indian Ocean Centre for Peace Studies, Curtin Univ. : 221 pp.
Oseana, Volume XXVIII no. 2, 2003
CONAND, C. 1990. The fishery resources of Pacific Island countries. Part 2, Holothurians. FAO Fishery Technical paper 272.2. 7-10, 27-41, 95 - 100. CONAND, C. 1997. Are holothurian fisheries for export sustainable?. Proc.Eight Int. Coral Reef Symp., Panama 1996, 2 : 2021 - 2026. CONAND, C. 1998. Over exploitation in the present world sea cucumber fisheries and perspectives in Mariculture. Echinoderm (Mooi & Tellord eds.), Balkema, Rotterdam : 449 - 454. CONAND, C. and BYRNE, M. 1993. A review of recent developments in the world sea cucumber fisheries. Mar. Fish. Rev. 55: 1 - 1 3 . CONAND, C. and SLOAN, N. 1989. World fisheries for echinoderms. In : Marine Invertebrate Fisheries (J. Caddy, ed.), Wiley & Sons, New York: 647 - 663. CONAND, C. and A. TUWO 1996. Commercial holothurians in South Sulawesi, Indonesia: fisheries and mariculture. SPC Beche-de-mer, Information Bulletin, 8: 17-21. DARSONO, P. 1995. Sumberdaya teripang komersil di Indonesia. Prosid. Sem. Kelautan Nas., (B.M. Ganie, B. Herunadi, A. Alkitri, A. Sudaryanto, N. Hendiarti, eds.) Jakarta 1 5 - 1 6 Nopember 1995. Bab II. 7 : 1 - 10. DARSONO, P. 1999. Perkembangan pembenihan teripang pasir, Holothuria scabra Jaeger, di Indonesia. Oseana XXIV (3): 35-45. DARSONO, P.; A. AZIZ dan A. DJAMALI 1998. Kepadatan stok teripang pada beberapa lokasi di Indonesia. TORANI, (eds. Khusus), Juni 1998 : 264 - 272.
8
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
HOLLAND, A. 1994. The status of global beche-de-mer fisheries with special reference to the Solomon Islands and the potensials of holothurians culture. M.Sc. Thesis, Departement of Marine Sciences and Coastal Management, University of Newcastle upon Tyne. 103 pp.
ROMIMOHTARTO, K. 1977. Sumberdaya bentik dari Pulau Pari dan masalahmasalahnya. Oseana 3 (4 & 5) : 33 42. ROWE, F.W.E. 1969. A review of the family Holothuriidae (Holothurioidea, Aspidochirotida). Bull Brit. Mus. (Nat. His.), (Zoology) 18 : 119 - 170.
JAMES, D.B. 1989. Beche-de-mer : Its Resources, Fishery and Industry. Marine Fisheries Information Service, Indian Council of Agricultural Reseach, special issue no. 92 : 30 pp
ROWE, F.W.E. and J.E. DOTY 1977. The shallo-water holothurians of Guam. Micronesica 13 (2) : 217 - 250. ROWE, F.W.E. and GATES, J. 1995. Echinodermata. In : Zoological Catalogue of Australia (A. Wells, ed.), Vol. 33. CSIRO Australia, Melbourne : 1157 1190
KONINGSBERGER, J.C. 1904. Tripangen tripangvissecherij en Netherlandsch Indie. Medeel Slands Plantentuin 71 : 72 pp.
STACEY, N.E. 2000. Boats to burn: Bajo fishing activity in die Australian Fishing Zone.Ph.D Thesis, Faculty of Law, Bussiness and Arts, Northern Territory University, Australia, 361 pp.
LAWRENCE, J.M. 1980. Numbers and biomass of the common holothurids on the windward reef flat at Eniwetak atoll, Marshall Islands. In : Echinoderm Past and Present (M. Jangoux, ed.). Balkema, Rotterdam: 201-204.
SURJODINOTO, R. 1954. Teripang dan kedudukannya dalam perikanan laut. Berita Perikanan 6 (7) : 100 - 106.
LONG, B. and T. SKEWES 1997. Distribution and abundance of beche-de-mer on Torres Strait reefs. Beche-de-mer Inform. Bull 9: 17-22.
YANAGISAWA, T. 1996. Sea-cucumber ranching in Japan and some suggestions for the South Pacific. In : Present and Future of Aquaculture Research and Development in the Pacific Island Countries. Proceed. Int. Workshop, (T. Yanagisawa, I. Yasumasu, C. Oguro, N. Suzuki, T. Motokawa, eds.).: 387 411.
PRESTON, G.L. 1993. Beche-de-mer. In: Nearshore Marine Resources of the South Pacific : Information for Fisheries Development and Management (A. Wright & L. Hill, eds.), Forum Fisheries Agency, Honiara, Solomon Islands. : 371-407.
Oseana, Volume XXVIII no. 2, 2003
9