sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXV, Nomor 1, 2000 : 13 - 20
ISSN 0216- 1877
HUTAN MANGROVE DI INDONESIA: PERANAN PERMASALAHAN DAN PENGELOLAANNYA oleh Pramudji 1) ABSTRACT THE MANGROVE FOREST IN INDONESIA: THE ROLE OF MANGROVE, PROBLEMS AND MANAGEMENT. Mangrove forest is mostly used to support sosio-economic aspect of people living near the area. Looking at tree components, some parts of mangrove have been used to support local and industrial needs. For local people, mangrove forest is a useful source for food, medicine and others. In industry, mangrove is used as sources for tannin, pulp, chipwood and alcohol The exploitation of mangrove has been increasing, and there is a tendency to destroy or inbalance fell trees. The impact is the natural resources and organisms living in the area will be destroyed Large area scale conversion will cut the ecological food chain and reduce the production of ecosystem around mangrove forest. As the main important natural resources in Indonesia, mangrove should be conserved and there are some suggested actions to be considered in relation to the conservation of mangrove forest in Indonesia i. e. Protect and sustain the function and potential of mangrove forest so that their continued presence as source for development is guaranteed; Maintain only those uses which guarantee sustainability of the mangrove forest; Improve the legislative basis for the management of mangrove including implementation of enabling legislation and promote the sustainable use of mangrove forests. jangkauan air pasang tertinggi, sehingga ekosistem ini merupakan daerah transisi yang tentunya eksistensinya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor darat dan laut. Komponen flora hutan mangrove, sebagian besar berupa jenisjenis pohon yang keanekaragamannya lebih kecil dan mudah dikenali bila dibandingkan dengan hutan darat. Sedangkan komponen
PENDAHULUAN Hutan mangrove adalah hutan yang berkembang di daerah pantai yang berair tenang dan terlindung dari hempasan ombak, serta eksistensinya bergantung kepada adanya aliran air laut dan aliran sungai. Hutan mangrove tumbuh berbatasan dengan darat pada 1)
Balitbang Biologi, Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta.
13
Oseana, Volume XXV no. 1, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
faunanya, sebagian besar adalah kelompok avertebrata, dan hidup dalam ekosistem mangrove, namun sebagian kecil dari biota tersebut juga hidup di ekosistem sekitar perairan mangrove. Indonesia yang merupakan negara maritim, memiliki kurang lebih 17 ribu pulau yang terdiri dari pulau besar dan kecil yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas daratannya sekitar 1,93 juta km 2 (SUKARDJO 1996). Dari wilayah pantai tersebut dapat dijumpai hutan mangrove, tetapi tidak semua wilayah pesisir ditumbuhi mangrove, karena untuk pertumbuhannya ada persyaratan atau faktor lingkungan yang mengontrolnya. Hutan mangrove di Indonesia menurut catatan yang diungkapkan oleh DARSIDI (1987), luasnya adalah sekitar 4,25 juta hektar, namun estimasi ini masih tergolong tinggi bila dibandingkan dengan yang diungkapkan oleh GIESON (1993), yaitu sekitar 2.490.185 hektar. Perbedaan luas ini, kemungkinan disebabkan karena dalam jangka waktu lebih 6 tahun, telah terjadi konversi hutan mangrove untuk kegiatan tambak atau pembangunan lainnya, sehingga luas areal hutan mangrove berkurang drastis. Konsentrasi hutan mangrove tersebut terdapat pada kawasan estuari pulau-pulau besar, seperti di pantai timur Pulau Sumatera, Kalimantan, beberapa pantai Pulau Sulawesi dan Jawa, serta sepanjang pantai Irian Jaya. Di Pulau Irian, Kalimantan dan Pulau Sumatera memiliki banyak aliran sungai besar dan panjang dengan tipe delta yang beragam, sebagai akibat arus sungai yang membawa material ke muara maupun air pasang dari laut. Kondisi ini memberikan dukungan terhadap mangrove untuk tumbuh dan berkembang dengan subur pada pantai berlumpur lunak, delta, sungai besar, dan teluk yang terlindung. Sedangkan pada pulau-pulau kecil atau gugusan pulau karang, mangrove nampak seperti gerumbulan tipis dan strukturnya sederhana, dan bahkan sering hanya berupa
tegakkan tunggal, seperti yang dijumpai di beberapa daerah di Pulau Ambon, Kepulauan Tanimbar dan Kepulauan Aru, Maluku Tenggara. Faktor yang mengontrol sebaran hutan mangrove adalah tersedianya habitat yang cocok untuk setiap jenis mangrove dan pasang surut. Pasang surut memiliki peranan, baik itu langsung (seperti gerakan air, tinggi dan frekuensi), maupun tidak lansung (antara lain salinitas, sedimentasi dan erosi) terhadap perkembangan hutan mangrove sendiri maupun perairan disekitarnya. Gerakan pasang surut diketahui berperan dalam penyebaran biji, daya tumbuh biji, namun kurang berperan terhadap kehidupan pohon yang sudah dewasa (BUDIMAN & SUHARDJONO 1992). Tinggi pasang-surut di kawasan pesisir yang berkaitan dengan topografi lantai hutan mangrove, akan sangat berpengaruh terhadap terjadinya permintakatan (zonase) tumbuhan mangrove (MACNAE 1966). SUKARDJO (1996) mengungkapkan bahwa, tumbuh dan berkembangnya setiap jenis mangrove secara konsisten berkaitan dengan tipe substrat, elevasi dan keterbukaan, sehingga spesifikasi tempat tumbuhnya berpengaruh dominan terhadap tipe komunitas dan sekutunya. Besarya toleransi jenis tumbuhan mangrove terhadap kisaran salinitas juga memberikan pemikiran terhadap adanya permintakatan pada hutan mangrove. Sebagai contoh adalah jenis Avicennia sp. merupakan marga yang memiliki kemampuan untuk bertoleransi terhadap kisaran salinitas yang luas, bahkan secara umum jenis ini sering kita jumpai tumbuh di daerah garis pantai yang memiliki salinitas tinggi. Jenis ini sering disebut sebagai "pioneer species", dan biasanya berassosiasi dengan jenis Sonneratia sp. dan Rhizophora stylosa. Sedangkan jenis Brugguiera sp., Rhizophora apiculata, Xylocarpus granatum dan Ceriops tagal umumnya tumbuh pada daerah dengan salinitas dibawah 25 permil, kemudian Aegiceras corniculatum yang
14
Oseana, Volume XXV no. 1, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
biasanya berassosiasi dengan Heritiera
grove sendiri maupun untuk perairan disekitarnya. Serasah daun hutan mangrove di Pulau Rambut mencapai dua kali lipat bila dibandingkan dengan hutan dataran tinggi Cibodas (BROTONEGORO & ABDULKADIR 1979). Telah diketahui bahwa perairan disekitar hutan mangrove memiliki produktivitas tinggi, hal ini terkait dengan serasah mangrove yang diekspor ke perairan sekitarnya baik yang berupa serasah maupun serasah yang terurai. Serasah mangrove akan dimanfaatkan oleh protozoa dan bakteri yang selanjutnya akan diuraikan sebagai bahan organik dan kemudian akan menjadi sumber energi bagi biota yang hidup diperairan. Makrofauna dan mikroorganisme dipandang sebagai komponen penting dalam proses dekomposisi. Disamping peranannya sebagai pengurai serasah, mikroorganisme yang di ekspor ke perairan sekitarnya juga akan berperan didalam rantai makanan. Kaitan positif antara kehadiran hutan mangrove dengan jumlah serta jenis biota akuatik nampaknya memang ada, dan hal ini telah diungkapkan oleh MARTOSUBROTO & NAAMIN (1977), yaitu adanya hubungan positip antara hutan mangrove dengan produksi perikanan udang disekitarnya. Interaksi hutan mangrove dengan lingkungannya mampu menciptakan kondisi yang sesuai bagi berlangsungnya proses biologi beberapa organisme akuatik, seperti pemijahan dan daerah asuhan. Daerah perairan sekitar hutan mangrove diduga memberikan tempat berlangsungnya proses biologi biota laut apabila lingkungannya relatif stabil dan tidak terlalu berfluktuatif, tergenang pada periode dan kedalaman tertentu, serta tersedia makanan bagi larva ikan dan udang. Gambar dibawah ini merupakan model skematik tentang ekosistem mangrove (WOODROFFE 1985).
litoralis, Nypa futicans, Acrostihum aureum dan achantus ilicifolius tumbuh pada daerah yang salinitasnya rendah atau mendekati air tawar. Permintakatan jenis tumbuhan pada hutan mangrove dapat dilihat sebagai suatu proses suksesi dan merupakan hasil reaksi ekosistem terhadap kekuatan yang datangnya dari luar, yaitu dipengaruhi oleh tipe tanah dan tingginya ketergenangan air pasang surut. PERANAN HUTAN MANGROVE Hutan mangrove merupakan daerah yang sangat penting bagi masyarakat yang hidup disekitarnya, karena secara langsung mangrove dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan hidup mereka, misalnya untuk kayu bakar, kayu bangunan, arang bahkan dapat juga dimafaatkan sebagai obat-obatan dan khusus dari jenis Nypa fruticans dapat dimanfaatkan sebagai sumber gula, alkohol maupun cuka (RAHMAN & SUDARTO 1991). Secara tidak lansung, hutan mangrove juga bermanfaat bagi kehidupan mereka, karena daerah ini dapat berperan sebagai habitat beberapa jenis ikan, udang dan kepiting yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Secara ekologis, hutan mangrove mempunyai berbagai macam peranan yang cukup besar antara lain adalah sebagai berikut: Hutan mangrove berperan sebagai sumber nutrisi. Dibandingkan dengan hutan hujan tropik, biomas hutan mangrove jauh lebih kecil, namun apabila dilihat dari produktivitasnya, hutan mangrove mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekosistem lainnya (BUDIMAN & SUHARDJONO 1992). Serasah yang dihasilkan oleh hutan mangrove merupakan sumber karbon dan nitrogen bagi hutan man-
15
Oseana, Volume XXV no. 1, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Keterangan
: Prod = productivity; Pho. = Photosynthesis; Det. =detritus BID = Birds. Insects. Vertebrates
berperan sebagai filter dari pengaruh laut maupun dari darat serta dapat mencegah terjadinya intrusi air laut ke darat. Kemampuan hutan mangrove juga diduga dapat berperan sebagai penghambat intrusi air laut ke daratan.
Hutan mangrove berperan sebagai pelindung pantai Hutan mangrove dapat berfungsi untuk sebagai stabilator garis pantai, dapat mencegah erosi sebagai akibat pukulan ombak dan juga berperan dalam penambahan lahan pantai. Tipe perakaran dari jenis Rhizophora sp., Avicennia sp. dan Sonneratia sp. dapat meredam hantaman gelombang dan sekaligus berperan sebagai penghimpun atau pengikat lumpur yang dibawa oleh aliran sungai, sehinga akan terbentuk pulau-pulau delta kecil yang ditumbuhi mangrove, dan selanjutnya masingmasing pulau akan bergabung dan akhirnya akan terbentuk hutan mangrove yang arealnya cukup luas. Hutan mangrove juga dapat
Hutan mangrove berperan sebagai penyedia kebutuhan manusia. Hutan mangrove sudah lama dimanfaatkan dan digunakan oleh masyarakat yang tinggal sekitar hutan mangrove, baik itu untuk keperluan lokal maupun sebagai bahan industri. Secara lokal, manusia menggunakan mangrove sebagai bahan bangunan, kontruksi, atap, kayu bakar, sebagai sumber makanan, obat dan bahan untuk keperluan rumah tangga lainnya. Sedangkan dari segi industri, hutan
16
Oseana, Volume XXV no. 1, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
mangrove sebagai penghasil kayu lapis, bahan industri pulp, bahan arang dan penghasil tanin. Khusus untuk jenis Nypa fruticans dikenal sebagai penghasil alkohol. Areal hutan mangrove juga digunakan sebagai lahan untuk berbagai kegiatan manusia antara lain, untuk tempat pemukiman, tempat rekreasi, lahan pertanian, lahan tambak ikan dan udang dan bahkan yang sangat mencemaskan adalah untuk tempat pembuangan sampah. Areal hutan mangrove juga digunakan sebagai tempat pencaharian untuk menangkap kepiting bakau, udang dan berbagai macam jenis moluska.
pemanfaatan lahan mangrove. Pemanfaatan lahan ini tentunya akan mengakibatkan kerusakan dan akan menimbulkan berbagai efek yang merusak ekosistem mangrove dan ekosistem perairan sekitarnya. Efek yang paling menyolok adalah pengendapan bahanbahan atau material yang mengandung logam berat dan terbawa arus air sungai ke areal hutan mangrove. Pengendapan yang berlebihan akan merusak mangrove, karena terjadinya penghambatan pertukaran air, hara dan udara dalam substrat dan air di atasnya. Aktivitas penambangan sering pula dikaitkan dengan pengilangan minyak hasil galian, yang mana dalam proses tersebut akan terjadi penahapan, misalnya adalah pelumatan, pencucian, pemisahan kimiawi dan penapisan. Limbah dari proses ini biasanya langsung dibuang ke daerah pantai yang kemudian tersebar ke areal hutan mangrove dan sekitamya, kemudian mengendap. Hal yang sama juga terjadi pada proses pengeboran minyak di daerah hutan mangrove, seperti di daerah Muara Mahakam, Kalimantan Timur. Dampak dari semua kegiatan dengan cara memanfaatkan hutan mangrove ini umumnya akan menimbulkan permasalahan yang cukup pelik, yakni akan merusak dan pada akhirnya dapat menyebabkan hilangnya sumberdaya tersebut. Kerusakan hutan mangrove di beberapa wilayah pesisir pantai Indonesia sudah cukup serius, misalnya pantai utara Pulau Jawa, daerah Cilacap, pantai barat Pulau Lombok, pesisir Lampung, daerah Riau dan daerah Aceh. Permasalahan ekologis yang muncul dari pemanfaatan areal hutan mangrove yang tidak memperhatikan aspek pelestararian, antara lain adalah pencemaran. Perlu diketahui bahwa hutan mangrove mempunyai peranan sebagai filter terhadap bahan bahan polutan yang berupa limbah rumah tangga, limbah industri maupun tumpahan minyak. SUMATRA (1980) mengatakan bahwa kawasan mangrove di delta Cimanuk telah
PEMANFAATAN LAHAN DAN PERMASALAHAN Indonesia yang merupakan negara yang memiliki hutan mangrove yang terluas didunia, beberapa tahun terakhir ini mengalami berbagai tekanan. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat disekitar hutan mangrove dan semaraknya pembangunan yang memanfaatkan areal hutan, mengakibatkan terjadinya perubahan hutan mangrove bahkan ada kemungkinan hilangnya ekosistem tersebut. Pemanfaatan hutan mangrove, baik itu dalam bentuk ekplorasi hasil hutan maupun konversi lahan untuk keperluan lain, sebetulnya sudah sejak ratusan tahun lalu, dan keadaan ini masih terus berlangsung hingga saat ini (BUDIMAN & KARTAWINATA 1986). Bahkan PRAMUDJI (1997, 1999) menyebutkan bahwa pemanfaatan hutan mangrove beberapa tahun terakhir ini semakin meningkat, terutama subsektor perikanan yang memanfaatkan hutan tersebut untuk kegiatan budidaya tambak, penambangan atau kegiatan pembangunan lainnya yang kurang memperhitungkan akibat sampingannya. Kegiatan penambangan mineral yang telah dilakukan, baik itu yang dibangun di daerah hutan mangrove maupun didaerah sekitamya adalah merupakan contoh salah satu
17
Oseana, Volume XXV no. 1, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
tercemar oleh pestisida thiodan, diazinon. DDE, o.p.-DDT dan p.p. DDT. Dari hasil penelitian yang dilakukan terlihat bahwa daun dari jenis Avicennia alba dan Rhizophora apiculata di daerah delta Cimanuk telah mengandung insektisida thiodan dan DDT seperti yang terdapat dalam sedimen. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa hutan mangrove memiliki peranan terhadap ekosistem perairan disekitar hutan mangrove, karena mangrove merupakan penghasil bahan organik yang diperlukan oleh berbagai larva ikan, kepiting, udang dan berbagai biota laut lainnya. Dari kenyataan yang diungkapkan oleh MARTOSUBROTO & NAAMIN (1977) terlihat bahwa konversi hutan mangrove dalam skala besar akan menimbulkan masalah, yaitu menyebabkan menurunnya produksi udang. Permasalahan ini muncul karena konversi hutan mangrove menjadi tambak udang akan merusak sumberdaya tersebut, yang pada akhirnya akan terjadi pemutusan rangkaian proses ekologis maupun biologis yang akan menyebabkan menurunnya produktivitas perairan. Konversi areal hutan mangrove merupakan penyebab utama terhadap rusak dan berkurangnya areal hutan mangrove. PARRY (1996) menyebutkan bahwa konversi hutan mangrove di Indonesia untuk tambak pada tahun 1977 adalah sekitar 175.606 ha, kemudian sampai dengan tahun 1993 diperkirakan meningkat menjadi 268.743 ha, atau meningkat sebesar 47%. Meningkatnya pemanfaatan lahan mangrove ini, karena dipacu tingginya harga udang dipasaran internasional. Dengan meningkatnya penyakit udang tambak, sebagian besar lahan tambak terbengkelai dan ditinggal oleh petani, sehingga dampaknya adalah rusaknya ekosistem mangrove dan perairan sekitarnya. Disamping itu, pembukaan areal hutan mangrove ternyata dapat menimbulkan masalah kesehatan, hal ini telah dibuktikan bahwa populasi nyamuk meningkat sebagai akibat ditebangnya hutan mangrove, bahkan akan menimbulkan kerawanan terhadap wabah malaria.
PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE Seperti telah diuraikan di atas, bahwa kerusakan hutan mangrove di Indonesia sangat berkaitan erat dengan meningkatnya jumlah penduduk, khususnya yang menempati areal disekitar hutan mangrove yang mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan dan pemanfaatan sumberdaya mangrove secara berlebihan dan tanpa memperhatikan unsur pelestarian. Terkait dengan pemanfaatan sumberdaya mangrove, mustinya keseimbangan kepentingan perlu dijaga untuk mencapai peningkatan pengembangan ekonomi dan usaha perlindungan ekosistem hutan mangrove, serta konsekuensi kerusakan hutan mangrove merupakan sesuatu kegiatan yang perlu dipertimbangkan dalam pengelolaan sumberdaya mangrove secara terpadu untuk konservasi dan pelestarian. Mengingat adanya berbagai fungsi dan peranan hutan mangrove serta banyaknya permasalahan yang timbul sebagai akibat pemanfatan lahan mangrove, maka dalam pengelolaan mangrove perlu ada pemikiran sebagai berikut: • Demi mempertahankan fungsi dan peranan hutan mangrove terhadap ekosistem perairan disekitarnya, maka konversi areal hutan mangrove yang diperuntukkan sebagai usaha budidaya, hendaknya dipertimbangkan atau dilakukan studi kelayakan secara seksama, untuk memperoleh kepastian bahwa areal hutan mangrove tersebut cocok untuk budidaya. • Untuk menjaga kelangsungan dinamika kehidupan biota laut yang bersasosiasi dengan hutan mangrove dan sebagai perwujudan strategi konservasi ekosistem hutan mangrove, maka areal mangrove yang sudah mengalami kerusakan seyogyanya dijadikan daerah suaka alam. • Dalam rangka menjaga berlangsungnya
18
Oseana, Volume XXV no. 1, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
suksesi alami, tanah-tanah timbul seperti delta didaerah muara sungai yang ditumbuhi tumbuhan mangrove, hendakny a dibiarkan berkembang menjadi hutan mangrove. • Hutan mangrove hendaknya diberi status peruntukan berdasarkan urutan prioritas, misalnya hutan lidung, hutan produksi atau hutan wisata sesuai dengan potensi ekosistem setempat. • Seluruh kebijaksanaan yang menyangkut pemanfaatan areal hutan mangrove untuk kegiatan budidaya yang telah disepakati, harus didukung dan dengan perundangundangan yang memadai dan sejalan dengan sektor yang terkait. • Perlu dilakukan reboisasi terhadap kawasan hutan mangrove yang sudah rusak, sekaligus memberikan lapangan kepada para nelayan. • Perlu meningkatkan pengetahuan dan kesadaran kepada masyarakat akan nilai ekologis, ekonomis dan sosial serta manfaat dan fungsi dari hutan mangrove. • Mengelola hutan mangrove secara ekologis dan berkelanjutan. Dengan demikian sudah jelaslah bahwa untuk lebih meningkatkan efektivitas dalam rangka upaya pengelolaan hutan mangrove agar tidak rusak atau bahkan punah dari daerah pesisir Indonesia, maka langkah-langkah atau pemikiran harus segera dirumuskan untuk mencakup berbagai aspek, antara lain aspek hukum, sosial-ekonomi, institusi dan juga aspek ekologis.
BUDIMAN, A. dan K. KARTAWINATA1986. Pattern of setlement and uses in mangrove with special reference to Indonesia. Workshop in humana induced stresses on mangrove ecosystem. UNESCO-UNDP: 23-36.
DAFTAR PUSTAKA
PARRY, D. E. 1996. National strategy for mangrove project management in Indonesia. Lokakarya Strategi Nasional Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia. Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Reabilitasi Lahan. Jakarta, Juni 1996.
BUDIMAN. A. dan S. PRAWIROATMODJO 1992. Penelitian hutan mangrove di Indonesia: Pendayagunaan dan konservasi. Lokakarya Nasional Penyusunan Program Penelitian Biologi Kelautan dan Proses Dinamika Pesisir. Semarang, 24-28 November 1992. DARSIDI, A. 1987. Perkembangan pemanfaatan hutan mangrove di Indonesia Proseding Seminar III Ekosistem Mangrove MAB-LIPI. 27-37. GIESON, W. 1993. Indonesian mangroves: An update on remaining area and main management issues. Presented at International Seminar on Coastal zone Management of Small Island Ecosystem. Ambon, 7-10 April 1993. MACNAE, W. 1966. Mangroves in Eastern and Southern Australia. Aust. J. Bot. 14: 67- 107. MARTOSUBROTO, P. dan N. NAAMIN 1977. Relationship between tidak forest (mangrove) and comercial shrimp production in Indonesia. Mar. Res. Indonesia 18: 81-86.
BROTONEGORO, S. dan S. ABDULKADIR 1979. Penelitian pendahuluan tentang kecepatan gugur dan penguraiannya dalam hutan bakau Pulau Rambut. Seminar Ekosistem Hutan Mangrove MAB-LIPI: 81-85.
19
Oseana, Volume XXV no. 1, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
PRAMUDJI. 1997. Mangrove forest in Maluku Province Eastern part of Indonesia and effort to conserve the area. Paper presented on the SIMCOAST Managed Ecosystem Workshop in the Philippines. Phillipinnes, August 1997
Pengelolaan Hutan Mangove di Indonesia. Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Jakarta 26-27 Juni 1996. SUMATRA. 1980. Insecticide residue monitoring in Sediments, water fishes and mangrove at the Cimanuk Delta. Paper for LIPI-UN University Seminar on coastal resources of Cimanuk Delta, West Java. Jakarta, August 1980: 20 pp.
PRAMUDJI. 1999. Hutan mangrove di wilayah Propinsi Maluku dan upaya pelestariannya. Proseding Seminar Tentang Oseanologi dan Lingkungan Laut, Dalam Rangka Penghargaan Kepada Prof. Dr. Aprilani Sugiarto. 165-172.
WOODROFFE, C. D. 1985. Studies of a mangrove basin, Tuff Crater, New Zealand: I. Mangrove biomass and production of detritus. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 20: 265-280.
RAHMAN, A. K. dan Y. SUDARTO 1991. Nipah sumber pemanis haru. Percetakan Kanisius Yogyakarta: 44 hal. SUKARDJO, S. 1996. Gambaran umum ekologi mangrove di Indonesia. Lokakarya Strategi Nasional
---------*******---------
20
Oseana, Volume XXV no. 1, 2000