sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXV, Nomor 2, 2000:13-20
ISSN 0216-1877
DAMPAK PERILAKU MANUSIA PADA EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI INDONESIA oleh Pramudji *) ABSTRACT IMPACTS OF HUMAN ACTIVITIES ON THE MANGROVE FOREST ECOSYSTEM IN INDONESIA. Overexploitation can happen as the result of commercial exploitation. It is true that the larger proportion of the population living along the coastal area are economically poor and very often that they are dependent on the mangrove forest product to supplement their meagre earning or to meet their energy need. Illegal cutting of the mangrove forest are common sight, leading to forest degradation and destruction. They have some idea that what they are doing can bring about undesired consequences, but may have no option, because survival seems to be their prime motivation. Presents in sufficient amount of petroleum hydrocarbon and other pollutants also can be detrimental to mangrove ecosystem. The effect was defoliation and eventual death of hundred hectares of mangrove forest.
Keberadaan hutan mangrove ini bergantung kepada adanya aliran air pasangsurut, aliran air tawar dan sungai dan sedimentasi dari darat termasuk didalamnya limbah akibat kegiatan manusia seperti pencemaran, perkebunan dan pertanian. Namun faktor yang paling berpengaruh adalah akumulasi tanah dan perluasan daratan yang diokontrol oleh angin, arus, relief bawah laut dan sejumlah materi yang terbawa oleh aliran sungai (PERCIVAL & WOMERSLEY 1975). Karena mangrove tumbubnya pada areal perbatasan antara laut dan darat yang selalu dipengaruhi pasang-surut, maka hutan
PENDAHULUAN
Hutan mangrove didefinisikan sebagai suatu kelompok tumbuhan yang terdiri atas berbagai macam jenis dari suku yang berbeda, tetapi mempunyai persamaan adaptasi morfologi dan fisiologi yang sama terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang surut (SUKARDJO 1999). Hutan mangrove juga dikenal sebagai sumberdaya alam yang sangat potensial, dan biasanya tumbuh dan berkembang dengan baik di daerah tropik, khususnya pada daerah pesisir yang relatif terlindung.
*)
Balai Litbang Biologi, Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta
13
Oseana, Volume XXV no. 2, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
mangrove dikenal sebagai ekosistem yang sangat unik dan mempunyai kaitan yang erat dengan ekosistem darat maupun ekosistem laut. Hutan mangrove juga dikenal sebagai hutan yang memiliki daya adaptasi morfologi yang tinggi terhadap lingkungan yang ada di sekitarnya dan mampu menahan sedimen yang terbawa oleh sungai akibat banjir, serta memperlihatkan adanya zonasi atau permintakatan yang sangat jelas, bila dibandingkan dengan hutan lainnya. Permintakatan pada hutan mangrove disebabkan oleh adanya beberapa faktor, antara lain frekuensi genangan, salinitas, dominasi tumbuhan, gerakan air pasang surut dan keterbukaan lokasi mangrove terhadap angin dan ombak serta jarak dari laut (WATSON 1928; KARTAWINATA & WALUYO 1977; STODDART 1980; TEE 1982). BUDIMAN & SUHARDJONO (1993) menambahkan, bahwa permintakatan pada tumbuhan mangrove dapat dilihat sebagai suatu proses suksesi dan hanya merupakan hasil reaksi ekosistem terhadap kekuatan yang datangnya dari luar. Hutan mangrove memiliki berbagai macam peran dan manfaat, baik itu ditinjau dari aspek ekologi, sosial maupun aspek ekonomi. Besarnya peranan hutan mangrove bagi kehidupan biota laut tersebut, dapat diketahui dari banyaknya jenis ikan, udang, kepiting bahkan manusia sekalipun yang tinggal di sekitar hutan mangrove dan hidupnya bergantung dari keberadaannya. Peranan mangrove yang cukup penting bagi ekologi perairan di sekitarnya adalah didasarkan kepada produksi bahan organik yang berupa serasah dan seterusnya dapat mendukung kelestarian berbagai macam kehidupan hewan aquatik (BOTTO & BUNT 1981; COULTER & ALLAWAY 1979; ODUM & HEALD 1972; SNEDAKER 1978). Ditinjau dari aspek energi, ekosistem mangrove merupakan tempat yang memiliki perputaran bahan-bahan yang sangat dibutuhkan oleh
organisme, yang pada gilirannya bermanfaat bagi kehidupan manusia. Untuk lebih mempermudah mengetahui tentang peranan hutan mangrove, pada gambar 1, dipertelakan gambaran secara skematis tentang peranan hutan mangrove dilihat dari aspek perikanan. Perputaran bahan-bahan dalam ekosistem mangrove, digerakkan oleh faktor fisik dan biologi yang mengendalikan besarnya impor dan ekspor senyawa-senyawa organik dan anorganik. Faktor fisik adalah meliputi pasang-surut, aliran arus permukaan serta adanya curah hujan. Sedangkan proses biologi yang sangat penting dalam perputaran bahan adalah gugur serasah, dekomposisi, mikroorganisme serta aktifitas beberapa biota laut yang hidup di sekitar perairan mangrove.
Budidaya ikan dll, produksi ikan tinggi
Gambar 1. Peranan hutan mangrove dilihat dari aspek perikanan. Serasah yang merupakan hasil tumbuhan mangrove merupakan sumber utama karbon dan nitrogen yang sangat diperlukan oleh ekosistem mangrove itu sendiri, maupun ekosistem perairan di sekitar hutan mangrove. 14
Oseana, Volume XXV no. 2, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Berkaitan dengan serasah mangrove adalah proses dekomposisi serasah, di mana kecepatan proses tersebut sangat bergantung kepada banyaknya oksigen yang tersedia, tipe lumpur dan peranan hawan serta detritus (mikro-organisme). Di samping berperan dalam dekomposisi, mikro-organisme (bakteri) dalam perairan mangrove juga berperan dalam rantai makanan. HEALD (1971) menyatakan, bahwa serasah yang mulai terurai (membusuk) mengandung 3,1% protein dan setelah satu tahun, kandungan ini meningkat menjadi 21%. Dengan demikian biota pemangsa partikel, seperti zooplankton, larva ikan, kerang dan udang memperolah makanan yang berprotein tinggi. Beberapa tahun terakhir ini, khususnya di Pulau Jawa hutan mangrove dijadikan sasaran manusia untuk dijadikan berbagai macam aktivitas, baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Berakaitan dengan kepentingan dan kelestarian daerah perairan pesisir, pengrusakan atau pengurangan areal hutan mangrove mempunyai dampak terhadap beberapa komponen yang pada akhimya semua biota yang hidup di perairan sekitar hutan mangrove tersebut akan punah.
yang sering terjadi adalah adanya ketergantungan kehidupan masyarakat pantai terhadap hutan mangrove, karena hutan mangrove dapat menyediakan kayu bangunan, kayu bakar, tempat mencari ikan, kepiting, udang maupun tempat usaha pertambakan sebagai sumber nafkah mereka. Terkait dengan uraian di atas, kegiatan masyarakat pantai pada akhirnya akan memanfaatkan hutan mangrove secara tidak ramah lingkungan, dan dampaknya hutan mangrove akan terdegradasi dan rusak, bahkan sumber daya alam tersebut akan punah. Sebenarnya, masyarakat pantai sudah mengetahui tentang peran dan manfaat hutan mangrove terhadap lingkungannya, tetapi mereka tidak ada pilihan lain karena untuk mempertahankan kehidupan mereka bersama keluarganya harus memanfaatkan hutan tersebut. Beberapa tahun terakhir ini, dampak dari pemanfaatan hutan mangrove dalam skala besar sudah banyak dilaporkan oleh SUNARYO (1982), NURKIN (1979) dan PRAMUDJI (1999), antara lain di daerah pantai utara Pulau Jawa, Cilacap, Madura, Indragiri hilir (Riau), Luwu (Sulawesi Selatan), pantai barat Pulau Lombok, Paso dan Tawiri (Ambon), Sidangoli (Halmahera). Biasanya, penebangan yang tidak memperdulikan lingkungan akan menyebabkan munculnya jenis terna yang tumbuh merayap, antara lain
EKPLOITASI HUTAN MANGROVE
Ekploitasi yang berlebihan terhadap hutan mangrove yang dilakukan untuk keperluan kayu, kayu bakar, kertas, kayu lapis, tatal, bubur kayu, arang maupun yang diperuntukkan sebagai lahan pertanian, pertambakan, penambangan dan pemukiman pada akhirnya mempunyai dampak negatif terhadap sumber daya alam tersebut. Semua aktivitas manusia dalam kaitannya dengan penggunaan areal mangrove dalam skala besar, adalah sangat berkaitan dengan tingginya populasi dan rendahnya tingkat perekonomian masyarakat setempat, misalnya di sepanjang pantai utara Pulau Jawa (Pantura). Kondisi
seperti Acrostichum aureum, Achantus ilicifolius, Ipomoea prescapre, Deris heterophyla, Nypa fruticans, Pandanus tectorius. Sedangkan jenis khas yang lain adalah Cyperus stoloniferus, Spinifex littoreus, Thuarea involuta, Euphorbia atoto, Fimbrystylis sericea, Vigna marina, Canavalia obtusifolia dan C. marina. Komposisi komunitas ini dapat berbeda kombinasi jenis-jenisnya antara satu daerah dengan daerah lain, hal ini karena setiap jenis akan berkaitan erat dengan tipe substrat sebagai tempat tumbuhnya. 15
Oseana, Volume XXV no. 2, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Sedangkan dampak dari tebang habis (clearcutting) terhadap hutan mangrove akan menyebabkan terjadinya abrasi secara intensif di sepanjang pantai, dan permudaan alami umumnya tidak berjalan dengan baik, sehingga akan menimbulkan penurunan nilai hutan. Kondisi seperti ini dapat dilihat di sepanjang pesisir Indramayu (Jawa Barat), pesisir Pulau Lombok barat, pantai Tawiri (Ambon), pantai Waisiley (Halmahera) dan pantai Madura.
pemukiman, fasilitas umum dan dermaga (PRAMUDJI 1999). Kejadian yang hampir sama juga terjadi di daerah Waisiley, Teluk Kao (Pulau Halmahera). Hutan mangrove di daerah ini ditebang habis, kemudian digunakan sebagai pemukiman "transmigrasi ilegal" dan daerah Sanger Talaut, Sulawesi Utara. Kondisi seperti ini, akan menyebabkan nasib hutan mangrove di sekitar daerah Waisiley akan terganggu dan bahkan sumber daya tersebut kemungkinan akan hilang, apabila tanpa ada partisipasi atau larangan dan aparat pemerintah setempat. Hal yang sama juga diungkapkan oleh SOEMODIHARDJO (1984), bahwa hutan mangrove di daerah Muara Angke, Jakarta sudah ditebang habis dan dirubah menjadi perumahan real estate, kawasan industri, jalan tol, saluran drainase, fasilitas pelabuhan, tempat rekreasi dan Air-port SUKARNO-HATTA, Cengkareng. Bahkan di Purwakarta, Jawa Barat, kurang lebih sekitar 400 hektar lahan mangrove sudah digunakan untuk berbagai peruntukan kegiatan (WIRJODARMODJO & HAMZAH 1984).
KONVERSI HUTAN MANGROVE UNTUK BERBAGAI PERUNTUKKAN Konversi hutan mangrove yang dilakukan oleh masyarakat pantai atau siapapun yang digunakan untuk berbagai macam kegiatan pada prinsipnya akan merusak lingkungan. Di samping itu, tidak jarang bahwa kegiatan manusia untuk memanfaatkan lahan mangrove dimotivasi oleh pola pemikiran yang didasari karena kebutuhan ekonomi semata. Di negara kita, sejumlah kegiatan masyarakat pantai yang mengkonversi hutan mangrove digunakan antara lain untuk lahan pemukiman, pertanian atau perkebunan, pertambakan udang atau ikan, pembuatan garam, pertambangan dan kegiatan lainnya.
Konversi mangrove penambangan
kegiatan
Penambangan di kawasan pesisir khususnya daerah hutan mangrove, akan mengakibatkan kerusakan total, sedangkan penambangan di luar hutan mangrove dapat menimbulkan berbagai macam masalah. Dampak yang paling menyolok adalah pengendapan bahan-bahan yang dibawa aliran sungai ke dalam hutan mangrove, misalnya di daerah Portsite, Timika, Irian Jaya. Pengendapan yang berlebihan akan merusak atau bahkan menyebabkan kematian tumbuhan mangrove, karena akan terjadi penghambatan pertukaran air, udara dan hara dalam substrat, selanjutnya kondisi seperti ini akan menyebabkan kematian tumbuhan mangrove, terutama anakan mangrove.
Konversi mangrove diperuntukkan sebagai tempat pemukiman Seirama dengan meningkatnya populasi beberapa tahun terakhir ini, serta pesatnya pembangunan di berbagai propinsi, maka kebutuhan akan tempat tinggal juga bertambah. Namun dengan terbatasnya tanah untuk pemukiman khususnya di wilayah yang berpenduduk padat, maka masyarakat cenderung untuk melirik hutan mangrove dan kemudian terpaksa digunakan untuk mendirikan rumah. Misalnya di daerah pantai Paso, Batu Koneng dan Galala (Ambon), daerah Sidangoli (Halmahera) sudah disulap menjadi daerah 16
Oseana, Volume XXV no. 2, 2000
untuk
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Kegiatan penambangan di daerah hutan mangrove sering pula dikaitkan dengan proses pengilangan hasil tambang. Resikonya adalah hutan mangrove akan tercemar, karena limbah dan proses untuk memperoleh hasil penambangan, misalnya pencucian, pemisahan kimiawi dan penapisan tersebut kemudian dibuang di daerah hutan mangrove. Pengeboran minyak terjadi pula di daerah mangrove, misalnya di daerah Handili dua, Muara Mahakam, Kalimantan Timur (ANONIM 1984). Dari proses pengeboran penambangan minyak tersebut, tentunya berkaitan dengan proses pengapalan, pembuatan pipa dan bahkan sering terjadi pula kebocoran minyak yang tentunya akan menimbulkan pencemaran terhadap ekosistem hutan mangrove.
yang masih digunakan untuk pembuatan garam. Sebetulnya sudah banyak diketahui bahwa dibukanya (clear cutting) hutan mangrove menyebabkan lahan tersebut menimbulkan berbagai masalah, antara lain lingkungan yang masin, kandungan pirit (FeS2) yang tinggi, kondisi yang anaerob dan akibatnya lahan ini tidak cocok untuk pertanian maupun pertambakan. Terbukanya lahan mangrove juga akan menyebabkan proses oksidasi mengeluarkan asam sulfat, sehingga tanah menjadi sangat asam dan mengandung banyak garam terlarut. Kondisi seperti yang diuraikan di atas, dampaknya adalah menyebabkan lahan tersebut tidak cocok untuk pertambakan dan pertanian (misalnya padi) tidak tumbuh atau produktivitasnya sangat rendah. Tingginya kandungan pirit dalam substrat juga akan menjadi masalah dalam perikanan tambak, namun karena kebutuhan lahan pertanian dan pertambakan yang semakin meningkat, maka hutan mangrove dianggap sebagai lahan altematif.
Konversi mangrove menjadi lahan pertanian dan pertambakan Konversi lahan mangrove yang diperuntukan sebagai lahan pertanian dan pertambakan dapat dijumpai di beberapa daerah, misalnya di pantai utara Jawa, pantai selatan Pulau Bali, pantai barat Pulau Lombok, pantai Ujung Pandang (Sulawesi), Banjarmasin (Kalimantan) dan Palembang (Sumatera). Menurut WIRJODARMODJO & HAMZAH (1984), bahwa sekitar 5.000 hektar hutan mangrove di Cilacap sudah diperuntukkan sebagai lahan perkebunan kelapa dan tanaman. Demikian juga di wilayah kerja PT Bina Lestari, Riau, yakni sekitar 400 hektar lahan mangrove sudah dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa (SOEMODIHARDJO & SOERIANEGARA 1989). Sedangkan konversi hutan mangrove di daerah Batu Kumbung, Lombok Barat, adalah diperuntukkan untuk pertambakan bandeng (PRAMUDJI & HERMANTO 1989). Usaha pertambakan masyarakat di daerah tersebut sekarang sudah ditinggalkan dan menjadi lahan yang terbengkelai, namun ada beberapa daerah
MASALAH PENCEMARAN Hidrokarbon dan penambangan minyak di areal hutan mangrove adalah salah satu polutan yang telah mendapatkan perhatian berbagai kalangan dunia pengetahuan. Pencemaran dan minyak tersebut adalah berupa tumpahan minyak atau bocoran minyak yang akhirnya akan membentuk lapisan minyak dipermukaan perairan maupun pada lantai hutan (substrat) mangrove serta gumpalan belangkin (teer). Karena tumbuhan mangrove mempunyai perakaran yang khas (misalnya jenis Rhizophora sp., Avicennia sp., Sonneratia sp.) yang berperan untuk menangkap segala material yang berasal dari laut maupun daratan, maka tumpahan minyak (polutan hydrocarbon) tersebut akhirnya juga akan terperangkap di areal hutan mangrove. 17
Oseana, Volume XXV no. 2, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Apabila bahan pencemar yang terperangkap pada perakaran tumbuhan mangrove cukup banyak, maka polutan hidrokarbon tersebut akan menyebabkan kematian dan bahkan musnahnya sumberdaya mangrove. Limbah minyak juga akan menyebabkan kematian terhadap biota yang hidup pada perakaran mangrove maupun pada substratnya. Peristiwa ini pernah terjadi akibat tumpahan minyak dari kapal tanker SHOWA MARU di Teluk Malaka, pada tahun 1975 (SOEMODIHARDJO 1984). Kejadian yang sama juga terjadi tumpahan minyak dari kapal tanker yang menabrak batu karang di perairan dekat wilayah Cilacap, Jawa Tengah pada tahun 2000. Di samping itu, kegiatan bongkarmuat minyak dari kapal tanker maupun aktivitas kapal-kapal pada lokasi yang dekat hutan mangrove, juga akan berdampak negatif terhadap eksistensi hutan mangrove. Kegiatan pembuangan limbah pertanian, agro-industri dan limbah rumah tangga baik itu yang langsung ke hutan mangrove maupun lewat sungai, juga akan menimbulkan berbagai masalah terhadap eksistensi hutan mangrove. Berbagai limbah yang dibuang ke areal hutan mangrove tersebut, akan menurunkan kualitas lingkungan perairan, sehingga pada akhimya kehidupan biota akuatik akan terganggu. Limbah dan industri yang menggunakan senyawa-senyawa organik dan anorganik yang dibuang di sekitar perairan hutan mangrove, juga menyebabkan tumbuhan mangrove akan menggugurkan daunnya dan kemudian mati.
fungsi sosial-ekonomi. Pengelolaan hutan mangrove di beberapa daerah, telah menimbulkan pengaruh yang cukup berarti terhadap ekosistem tersebut, misalnya di daerah Benoa (Pulau Bali), daerah Gili Petagan (Lombok Timur), daerah Sinjai (Sulawesi Selatan), Taman Nasional Alas Purwo (Jawa Timur), TamanNasional Baluran (Jawa Timur) dan beberapa daerah lainnya. Oleh karena itu, kawasan hutan mangrove harus diteliti secara rinci, mendalam dan secepat mungkin, karena telah kita ketahui bersama bahwa berbagai kegiatan pembangunan yang dilakukan di kawasan hutan mangrove telah banyak menimbulkan berbagai masalah yang cukup pelik dan mengkhawatirkan. Kegiatan dalam rangka untuk mengelola sumber daya hutan mangrove alam dan ekosistemnya, menurut Undang-Undang No. 5/1990 harus dilaksanakan atas dasar kebijaksanaan yang dituangkan dalam strategi konservasi alam Indonesia yang berdasarkan atas tiga prinsip, yakni:
UPAYA KONSERVASI HUTAN MANGROVE
1. Perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan dengan menjamin terpeliharanya proses ekologi bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. 2. Pengawetan keanekaragaman sumberdaya plasma nuftah dengan menjamin terpeliharanya sumber genetik dan ekosistemnya bagi kepentingan umat manusia. 3. Pelestarian pemanfaatan baik jenis maupun ekosistemnya dengan mengatur dan mengendalikan cara-cara pemanfaatan yang lebih bijaksana, sehingga diperoleh manfaat yang optimal dan kesinambungan.
Upaya konservasi terhadap hutan mangrove memiliki arti yang penting berkaitan dengan fungsi dan peran mangrove, karena merupakan suatu kesatuan yang mencakup antara fungsi fisik, biologis, ekologis dan
Di samping tiga prinsip tersebut di atas, perlu adanya upaya pemerintah untuk meningkatkan partisipasi dengan melibatkan masyarakat secara langsung dalam merancang, merencanakan, melaksanakan dan 18
Oseana, Volume XXV no. 2, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
mengevaluasi perbaikan dan pemanfaatan areal hutan mangrove. Pengembangan partisipasi masyarakat dalam rangka mengelola sumberdaya mangrove ini, diharapkan dapat meningkatkan ekonomi masyarakat secara baik dan berwawasan lingkungan.
KARTAWINATA, K. and E. B. WALUYO 1977. A preliminary study of the mangroves forest on Pulau Rambut, Jakarta Bay. Mr. Res. Indonesia. 18: 119-129 NURK1N, B. 1979. Beberapa catatan tentang aspek pengusahaan hutan mangrove di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove MABLIPI. 158-160.
DAFTAR PUSTAKA ANONIM 1984. Laporan telaah tata guna ekosistem mangrove pantai utara Jawa Barat. Tim Ekosistem Mangrove MABLIPI dan PERUM PERHUTANI 69 hal.
ODUM, W. E. and E. J. HEALD 1972. Tropic analysis of an estuarine mangrove community. Bull. Mar. 22: 671-738.
BOTTO, K. G. and J. S. BUNT 1981. Tidal export to participate organic matter from a Northern Australia mangrove system. Estuarine, Coast. Shelf 13: 247-255.
PERCIVAL, M. and J. S.WOMERSLEY 1975. Floristic and ecology of the mangrove vegetation of Papua New Guinea. Bot. Bull. 8: 1-95. PRAMUDJI dan HERMANTO 1989. Kerusakan dan langkah-langkah penyelamatan hutan mangrove di wilayah Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Perairan Maluku dan Sekitarnya. Balai Litbang Sumberdaya Laut, Puslitbang Oseanologi LIPI, Ambon. 89-92.
BUDIMAN, A. dan S. PRAWIROATMODJO 1993. Penelitian hutan mangrove di Indonesia: Pendayagunaan dan konservasi. Lokakarya Nasional Penyususnan Program Penelitian Biologi Kelautan dan Proses dinamika Pesisir. LIPI dan Universitas Diponegoro, Semarang. 32 hal.
PRAMUDJI 1999. Hutan mangrove di wilayah Propinsi Maluku dan upaya pelestariannya. Pros. Sem. Tentang Oseanologi dan Ilmu Lingkungan Laut dalam rangka penghargaan kepada Prof Dr. A. Sugiarta. 165-172.
COULTER, D. E. and W. G. ALLAWAY 1979. Litter fall and decomposition in mangrove stand Avicennia marine (Forsh) Vierh in Middle Harbor, Sydney. Aust. J. Mar. Freshwater Res. 30: 54 1-546. HARTOKO, A. 1992. The main fluxes of organic matter in mangrove ecosystem: Importance and complexity. Media Ed IV. Th. XVII: 5-11.
SOEMODIHARDJO, S. 1984. Impacts of human activities on mangrove ecosystem in Indonesia: An overview. Proc. MAB/ COMAR regional Seminar, in Tokyo 15-19.
HEALD, E. 1971. The production of organic detritus in the South Florida estuary. University of Miami Sea Grani Technical Bulletin. 6: 1-110.
SNEDAKER, S. C. 1978. Mangrove, their values and perpetuation. National Research. 14: 6-13.
19
Oseana, Volume XXV no. 2, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
SUKARDJO, S. 1996. Gambaran umum ekologi mangrove di Indonesia. Lokakarya Strategi Nasional Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia. Departemen Kehutanan. 76 hal.
environmental factors and the floral distribution and their correlationship. Malay. Nat. J. 35: 13-28. WATSON, J. G. 1928. Mangrove forest of the Malay Peninsula. Mai For. Res. 6:22-33.
STODDART, D. R. 1980. Mangrove as succesional stages inner reefs of Northern Great Barrier Reef. J. Biogeogr. 269-284.
W1IRJODARMODJO, H. dan Z. HAMZAH 1984. Beberapa pengalaman Perum Perhutani dalam pengelolaan hutan mangrove. Prosiding Seminar II Ekosistem Hutan Mangrove. 29-40.
TEE, G. A. C. 1982. Some aspects of the ecology of the mangrove forest at Sungai Buloh, selangor. I. Analysis of
20
Oseana, Volume XXV no. 2, 2000