sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXV, Nomor 3, 2000 : 1-8
ISSN 0216-1877
UPAYA PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DILIHAT DARI ASPEK PERLINDUNGAN LINGKUNGAN oleh Pramudji 1) ABSTRACT THE EFFORT OF MANGROVE FOREST MANAGEMENT VIEWED FROM THE ENVIRONMENT PROTECTION ASPECT. Among the coastal resources is known that mangrove forest which form a very complex ecosystem. From the ecological point of view, this ecosystem plays an important role for the survival of marine organisms. Recently, the extent of mangrove forest in Indonesia is decreasing especially due to the conversion of mangrove forest into human settlement, agriculture, industry and uncontrolled mangrove exploitation. Therefore, the mangrove forest in Indonesia should be protected from damage through good management comprising of protection, preservation and rational utilization so that the ecological function can be optimal and continuous.
phore, batang mangrove, lumpur dan juga di perairan sekitar mangrove (BUJANG et al. 1994). Komponen flora tersebut biasanya tumbuh dan berkembang pada kawasan pesisir yang landai dan terlindung dan hempasan gelombang serta didukung oleh aliran sungai. Di samping itu, komponen hutan tersebut selalu dipengaruhi oleh air genangan pasangsurut, dan sangat dinamis apabila didukung oleh sedimentasi yang memadai (JIMENNEZ et al. 1985). Keberadaan ekosistem hutan mangrove di wilayah pesisir biasanya tumbuh dan berkembang bukanlah sendirian, namun berkaitan erat dengan ekosistem lainnya, seperti ekosistem padang-lamun, algae dan
PENDAHULUAN
Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki garis pantai yang cukup panjang yaitu sekitar 81,000 km, di mana pada kawasan tersebut terdapat berbagai macam tipe vegetasi dan salah satu di antaranya adalah hutan mangrove. Hutan mangrove didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang terdiri dari gabungan komponen daratan dan komponen laut, di mana termasuk di dalamnya adalah flora dan fauna yang hidup saling bergantung satu dengan lainnya. Komponen flora hidup dikawasan berlumpur, berpasir dan berair, sedangkan komponen faunanya hidup menempel pada akar mangrove, pneumato-
1)
Balitbang Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta
1
Oseana, Volume XXV no. 3, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
terumbu karang, sehingga membentuk suatu ekosistem yang lebih luas dan sangat komplek. Kondisi seperti di atas juga ditemukan di pesisir Teluk Kotania, Seram Barat, Maluku Tengah (PRAMUDJI et al. 1994). Terkait dengan ekosistem yang ada di wilayah pesisir tersebut, maka seandainya terjadi kerusakan salah satu di antara dari ekosistem tersebut, akan mempengaruhi eksistensi ekosistem lainnya. Sebagai contoh apabila kawasan perairan pesisir yang memiliki ekosistem terumbu karang yang ada di depan ekosistem padang-lamun dan hutan mangrove, maka terumbu karang tersebut akan berperan sebagai peredam energi ombak dan arus. Begitu juga sebaliknya, ekosistem hutan mangrove akan berperan dalam pengendapan sedimen melalui perakaran mangrove yang khas, dan meredam banjir yang berasal dari darat, sehingga ekosistem padang-lamun dan terumbu karang akan terhindar dari pelumpuran. Perhatian dunia pengetahuan saat ini sudah banyak menyoroti ekosistem hutan mangrove, hal ini karena mangrove merupakan ekosistem yang memiliki multifungsi yang cukup penting baik itu ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi maupun aspek sosial. Nilai
penting ekosistem hutan mangrove dalam kaitannya dengan fungsi ekologi, adalah peranannya dalam pengendalian banjir dan erosi pantai, stabilitas sedimen, perlindungan terhadap terumbu karang dari pengaruh banjir dan daratan, suplai bahan organik dan hara, penyediaan nutrien, serta sebagai tempat hidup dan berlindung, bertelor, tempat asuh dan berkembangnya larva ikan dan udang yang memiliki nilai ekonomi tinggi. SRIVASTANA et al. (1980) menambahkan bahwa mangrove berperan penting dalam mengatur keseimbangan lingkungan, sebagai benteng pertahanan pantai dan mampu menyediakan makanan bagi biota laut. Besarnya peranan hutan mangrove terhadap ekologi perairan di sekitarnya didasarkan kepada produksi bahan organik berupa serasah mangrove yang mengalami dekomposisi, yang diilustrasikan pada Gambar 1 (PULLONIN 1986 dalam HARTOKO 1992). Serasah tersebut kemudian membentuk suatu rantai makanan yang selanjutnya dapat mendukung keseimbangan serta kehidupan berbagai macam biota laut (ODUM & HEALD 1972; COULTER & ALLAWAY 1979; SNEDAKER 1978).
Gambar 1. Alur bahan oranik dari serasah hutan mangrove.
2
Oseana, Volume XXV no. 3, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Sedangkan nilai penting yang terkait dengan aspek sosial dari hutan mangrove adalah sangat erat kaitannya dengan pola kehidupan sebagian besar masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar hutan mangrove, serta menggantungkan kehidupannya pada hutan mangrove. Masyarakat tersebut tumbuh dan berkembang membentuk suatu sistem sosial-budaya yang berkaitan erat dengan hutan mangrove, dan memanfaatkan hutan mangrove untuk memenuhi kehidupannya sehari-hari. Pemanfaatan mangrove tersebut antara lain adalah digunakan sebagai kayu bakar, kayu bangunan, arang dan tambak tradisional sejak puluhan atau ratusan tahun yang lalu. Akhir-akhir ini perhatian terhadap masalah pelestarian sumberdaya mangrove dan lingkungan semakin meningkat, hal ini karena mangrove mempunyai peran yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Namun di sisi lain, beberapa daerah nasib lahan hutan mangrove cukup mengkhawatirkan dengan adanya pembukaan hutan yang sangat cepat dan dalam skala besar. Mengingat akan fungsi dan peranan hutan mangrove yang unik dan sangat kompleks, begitu pula dalam kaitannya dengan ekosistem lain di sekitarnya terutama ekosistem lepas pantai, maka dalam tulisan ini dipaparkan upaya pengelolaan hutan mangrove dilihat dari aspek proteksi lingkungan dalam upaya untuk menjaga keseimbangan wilayah pantai dan mempertahankan peran, fungsi dan manfaat ganda mangrove serta mengupayakan pelestariannya.
Sulawesi, Pulau Kalimantan, Kepulauan Riau dan Pulau Sumatera. Luas hutan mangrove di Indonesia menurut berbagai sumber sampai saat ini masih menunjukkan angka yang berbeda. Misalnya menurut BIPRAN (1982 dalam PERRY 1996) adalah sekitar 4.251.000 hektar, DARSIDI (1984) mengungkapkan luasnya sekitar 4.250.000 hektar dan tersebar di sebagian besar pulau-pulau di Indonesia mulai dari Pulau Sumatera sampai dengan Pulau Irian. Sedangkan menurut PHPA/AWB (1992 dalam PERRY 1996) luas hutan mangrove adalah sekitar 3.235.700 hektar dan GLESEN (1993 dalam PERRY 1996) memperkirakan sekitar 2.490.000 hektar. Data lengkap tentang luas dan sebaran hutan mangrove di Indonesia disajikan pada Tabel 1 (PARRY 1996). Dengan adanya data tentang gambaran perbandingan luasan hutan mangrove di Indonesia dari tahun 1982 hingga 1993 yang diambil dari berbagai sumber yang kemudian dirangkum dan dipaparkan oleh PARRY (1996), dapat diketahui perubahan penurunan luasan areal hutan mangrove di Indonesia yang makin lama semakin tinggi dan kondisinya semakin mengkhawatirkan. Penurunan luasan hutan mangrove di Indonesia akhir-akhir ini, sebagian besar disebabkan oleh perilaku manusia yang mengkonversi hutan tersebut menjadi daerah pertambakan, bangunan pelabuhan, pertanian, perkebunan dan daerah pemukiman. Dan luasan hutan mangrove yang masih ada di Indonesia tersebut, Ditjen RRL (1996) dalam ALIKODRA (1998) membagi daerah kawasan hutan mangrove sesuai dengan status dan fungsinya, yaitu hutan alam (520.070 hektar); hutan lindung (614.120 hektar); hutan produksi terbatas (508.490 hektar); hutan produksi tetap (847.970 hektar); hutan produksi yang dapat dikonservasi (799.230 hektar) dan areal penggunaan lain seluas 445.460 hektar. Terkait dengan pembagian kawasan peruntukan hutan man-
LUAS DAN SEBARAN HUTAN MANGROVE DI INDONESIA Hutan mangrove dapat ditemukan tumbuh hampir di seluruh pulau di Indonesia yang terbentang mulai dan Sabang hingga Merauke, namun hutan tersebut sebagian besar terkonsentrasi di Pulau Irian, Pulau
3
Oseana, Volume XXV no. 3, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
grove tersebut, seharusnya masyarakat menyadari hanya pada areal seluas 445.460 hektar yang sudah dicanangkan oleh pemerintah inilah yang hams digunakan untuk berbagai usaha perikanan tambak dan
pembangunan lainnya. Namun yang terjadi beberapa tahun terakhir ini, justru areal yang sudah disepakati dan ditunjuk sebagai kawasan suaka alam malahan juga sudah dikonversi untuk kegunaan lain.
Tabel 1. Gambaran luas dan sebaran hutan mangrove di Indonesia (PARRY 1996).
4
Oseana, Volume XXV no. 3, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
PEMANFAATAN LAHAN MANGROVE
1997, 2000) dan di Muara Angke (Jawa Barat) dirubah menjadi pemukiman elite, jalan tol dan bandara internasional SUKARNO-HATTA di Cengkareng (SOEMODMARDJO 1984). Berbagai kegiatan penambangan di daerah hutan mangrove dalam upaya pemerintah meningkatkan pendapatan negara, dampaknya juga akan merusak hutan mangrove. Efek yang disebabkan oleh kegiatan penambangan atau pengeboran adalah pengendapan bahan-bahan (limbah tanah dll.) pada lahan mangrove dan apabila limbah tersebut dalam jumlah yang berlebihan akan mengganggu kestabilan lingkungan atau menumbuhkan kerusakan tumbuhan mangrove, karena terjadi penghambatan pertukaran air, hara dan udara dalam substrat dan air di atasnya. Selain itu, janngan mata rantai yang terjadi pada ekosistem mangrovepun pada akhirnya juga akan terganggu, di mana dampaknya juga akan menurunkan produktivitas ikan, udang dan lain sebagainya.
Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem yang sangat komplek merupakan sumberdaya alam yang sangat potensial. Di samping itu, hutan mangrove juga sangat menjanjikan untuk dikonversi menjadi bebagai kegiatan yang sangat menguntungkan, khususnya usaha tambak ikan dan udang. Sudah sejak lama masyarakat yang tinggal disekitar hutan mangrove telah memanfaatkan hutan mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, misalnya sebagai tempat memancing ikan, menangkap kepiting, mencari kayu bakar, mencari kayu untuk bangunan rumah mereka. Namun, sejalan dengan meningkatnya laju populasi manusia dan perkembangan pembangunan di segala bidang, hutan mangrove tidak saja digunakan sebagai kebutuhan sehari-hari, tetapi sudah bersifat komersial dan cendeung mengarah pengrusakan hutan mangrove. Terkait dengan pertambahan jumlah penduduk yang semakin meningkat, tekanan terhadap hutan mangrove atau bentuk pemanfaatan tidak saja dilakukan terbadap basil perolehan dan hutan mangrove, namun berkembang ke bentuk pemanfaatan lahan mangrove. Konversi hutan mangrove tersebut sebagian besar diperuntukkan sebagai usaha pertambakan udang, di mana pada tahun 1977 diperkirakan seluas 17.605 hektar, namun pada tahun 1993 meningkat menjadi 268.743 hektar (ALIKODRA 1998). Selain usaha pertambakan udang, lahan hutan mangrove di beberapa daerah telah disulap menjadi tempat pemukiman atau areal pertanian dan perkebunan, misalnya daerah pesisir Cilacap (Jawa Tengah) dan Riau (Sumatera) areal hutan mangrove sudah digunakan sebagai perkebunan kelapa. Kemudian di Waisilay (Halmahera, Maluku) dirubah menjadi tempat pemukiman transmigrasi ilegal, daerah Teluk Ambon digunakan sebagai bangunan doking kapal, pelabuhan dan pemukiman (PRAMUDJI
PERMASALAHAN LINGKUNGAN Hutan mangrove merupakan filter dan juga sebagai "buffer" yang mampu berperan dalam menekan pengaruh bahaya perubahan lingkungan dan memiliki peranan yang sangat penting dalam melindungi wilayah pantai. Mangrove juga digambarkan sebagai rangkaian tempat penyimpan bahan yang dihubungkan oleh pendauran bahan dan digerakan oleh interaksi antara matahari dan material melalui proses fotosintesis. Melihat besarnya peran dan fungsi ekosistem mangrove, namun di sisi lain hutan mangrove telah banyak dikonversi menjadi berbagai peruntukan, maka permasalahan yang munculpun juga sangat komplek. Meningkatnya populasi manusia dan tingginya tekanan penduduk terhadap lahan hutan mangrove adalah merupakan faktor yang dominan sebagai penyebab terjadinya perubahan bentuk pemanfaatan yang
5
Oseana, Volume XXV no. 3, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
tradisional menjadi skala yang besar, berlebihan dan modern. Akibatnya adalah lahan mangrove menjadi semakin menipis dan mengalami kerusakan serta kualitas perairan di sekitamya menurun atau tercemar, misalnya di daerah pantai utara Jawa, Lampung, Lombok Barat, Ujung pandang, Dobo (Kepulauan Aru) dan beberapa daerah lainnya. Reklamasi seperti tersebut di atas, akan menghilangkan ekosistem mangrove dan pada akhirnya mengakibatkan dampak negatif terhadap perikanan di sekitar hutan mangrove. Resiko dari pemanfaatan hutan mangrove yang tidak ramah lingkungan pada beberapa tahun terakhir ini menimbulkan berbagai masalah yang cukup pelik, di mana pada akhirnya akan mengakibatkan terjadi penurunan kualitas lingkungan perairan hutan mangrove, fungsi ekologis mangrove akan hilang dan mengakibatkan kestabilan lingkungan akan terganggu. Permasalahan terganggunya lingkungan hutan mangrove dan kondisi perairan di sekitamya, menimbulkan efek negatif bagi kehidupan biota yang hidup di sekitamya termasuk biota bernilai ekonomi tinggi dan dampak selanjutnya adalah menurunkan tingkat hidup masyarakat setempat. Faktor penyebab kerusakan hutan mangrove, adalah pemanfaatan lahan yang berlebihan yang dilakukan manusia. Faktor yang mendorong aktivitas manusia untuk mengkonversi hutan mangrove dalam rangka mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga menimbulkan masalah lingkungan antara lain adalah: •
•
•
•
SOLUSI PEMECAHAN Solusi untuk menciptakan kondisi lingkungan yang baik di wilayah pesisir dengan ekosistem hutan mangrove, diperlukan adanya kerjasama antara masyarakat setempat atau siapapun yang menginvestasikan modalnya dengan instansi pemenntah terkait. Pengelolaan lingkungan secara berkesinambungan perlu dilakukan dengan pengawasan dan penanganan limbah yang memenuhi peraturan yang sudah dicanangkan, sehingga kehidupan biota laut di wilayah pesisir tetap lestari. Kebijakan pengelolaan lingkungan tersebut, harus didasarkan pada kerangka hukum yang telah dicanangkan oleh Pemerintah dalam rangka untuk pemanfaatan dan pengelolaan hutan mangrove. Dasar hukum tersebut antara lain adalah Undangundang No 24 tahun 1992, tentang Penataan Ruang; Undang-undang No 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; Undang-undang No 5 tahun 1985, tentang Perikanan; Undang-undang No 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan ekosistemnya; Peraturan Pemerintah No 51 tahun 1993, tentang Analisa Mengenai
Tekanan ekonomi masyrakat miskin yang tinggal sekitar hutan mangrove, sehingga terpaksa melakukan penebangan kayu mangrove untuk dijadikan kayu bakar, kayu bangunan dan arang untuk dijual ke pasar dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang sangat mendesak.
6
Oseana, Volume XXV no. 3, 2000
Rendahnya pengetahuan masyarakat akan manfaat, peran dan fungsi hutan mangrove terhadap perairan di sekitarnya yang berkaitan dengan kehidupan biota laut. Keinginan untuk membuka pertambakan secara besar-besaran dengan harapan memperoleh keuntungan yang menjanjikan, namun tanpa dibekali pengetahuan yang memadai untuk melakukan budidaya udang dan ikan. Lebih dipengaruhi oleh dominasi pertimbangan aspek ekonomi daripada pertimbangan lingkungan hidup.
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Dampak Lingkungan; Peraturan Pemerintah No 28 tahun 1985, tentang Perlindungan hutan dan Keputusan Presiden No 32 tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Konsep peraturan perudang-undangan tersebut di atas mengharuskan kita untuk menerapkannya di lapangan, sehingga kita dapat menjaga kelestarian sumberdaya alam yang dapat mendukung kehidupan yang terus berkembang. Kebutuhan hidup manusia tidak saja bertambah karena meningkatnya jumlah populasi, namun juga karena pola kehidupannyapun meningkat. Kondisi tersebut mengakibatkan kebutuhan perkapita masyarakat setempat meningkat baik jumlah, ragam maupun kualitas lingkungan tempat mereka tinggal. Strategi untuk menjaga agar keseimbangan antara sumberdaya alam yang tersedia dengan kebutuhan yang terus meningkat, yaitu dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang didasarkan atas dasar kelestarian sumber daya alam, peningkatan manfaat ekonomi maupun ekologi agar kesejahteraan manusia juga meningkat. Di samping itu, perlu diupayakan peningkatkan pengelolaan hutan mangrove agar diperoleh nilai lingkungan dan nilai ekonomi yang seimbang, dengan mengupayakan rehabilitasi hutan yang telah rusak sebagai prioritas utama. Reboisasi sebagai upaya rehabilitasi hutan mangrove yang telah rusak, pada dasarnya adalah untuk memulihkan fungsi ekologis ekosistem mangrove yang sangat besar artinya bagi kehidupan biota laut dan juga bagi manusia. Dalam pelaksanaan reboisasi selain bertujuan untuk memulihkan peran dan fungsi mangrove, proyek tersebut juga diharapkan agar masyarakat setempat yang terlibat memperolah penghasilan, sehingga dapat menanggulangi masalah ekonomi keluarganya. Peranan sosial-ekonomi hutan mangrove melalui usaha intensifikasi yang dapat
menjamin kelanggengan ekosistem hutan mangrove dan peningkatan pendapatan petani tambak, juga perlu ditingkatkan. Prinsip adanya jalur hijau harus tetap dipertahankan sesuai dengan intruksi Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian No H. I. /4/18/75 tanggal 22 November 1975 tentang jalur hijau, yaitu selebar 400 meter di daerah ganas pantai. DAFTAR PUSTAKA ALIKODRA, H. S. 1998. Kebijakan pengelolaan hutan mangrove dilihat dari lingkungan hidup. Prosiding Seminar VI Ekosistem hutan mangrove, di Pekanbaru. 33-43. BUJANG, J. S., E. KAMAL, S. OTHMAN dan M. RAHMAN 1998. Mangrove: fungsi, manfaat dan pengeloiaannya. Prosiding Seminar VI Ekosistem Mangrove. Pekanbaru 288-292. COULTER, D. D. and W. G. ALLA WAY 1979. Litter-fall and decomposition in a mangrove stand Avicennia marina (Forsk) Vierh in Middle Harbour, Sydney. Aust. J. Mar. Fresh. Res. 30: 671-738. DARSIDI, A. 1984. Perkembangan pemanfaatan hutan mangrove di Indonesia. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. 19-28. JIMENEZ, J. A., A. E. LUCO and G. CITRON 1985. Tree mortality in mangrove forest. Bioropica 17 (3): 177-185. ODUM, W. E. and E. J. HEALD 1972 Tropic analyses of an estuarine mangrove community. Bulletin of Mangrove Science. 22: 67 1-737. PRAMUDJI, D. SAPULETE dan F. S. PULUMAHUNY 1994. Komunitas hutan mangrove di daerah Teluk Kotania, Seram Barat. Perairan Maluku dan Sekitarnya. BPPSDL, P3O-LIPI, Ambon 7: 27-33.
7
Oseana, Volume XXV no. 3, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
SNEDAKER, S. C. 1978. Mangrove, their values and perpetuation. National Research 14: 6-13
PRAMUDJI 1997. Mangrove forest in Maluku province eastern part of Indonesia and the effort to conserve the area. Paper presented on the SIMCOAST Managed Ecosystem Workshop on August 1997 in The Philippine.
SRIVASTANA, P. B. L., A. SAN! and D. KAMIS 1980. Status and dispersal of natural regeneration in Matang mangrove reserve on Paninsular, Malaysia. Tropical Ecology and Development. 113-120.
PRAMUDJI 2000. Dampak perilaku manusia pada ekosistem hutan mangrove di Indonesia. In publish.
SOEMODIHARDJO, S. 1984. Impact of human activity on mangrove ecosystem in Indonesia. Proc. MAB/COMAR regional Seminar. Tokyo 15-19.
8
Oseana, Volume XXV no. 3, 2000