Dharma Ekonomi
No. 36 / Th. XIX / Oktober 2012
FAKTOR EMOSI DALAM PERILAKU KONSUMEN Oleh : Darsono Abstrak Tulisan ini membahas dari aspek rasional dan emosional bagi pemasaran. Pertama, tiga factor utama lingkungan toko (factor social, desain, dan ambient) harus dikelola sedemikian rupa sehingga dapat menciptakan mood positif bagi konsumen. Sherman, et al,. (1997) menemukan bahwa factor social dan desain dari lingkungan toko berpengaruh positif terhadap kesenangan (pleasure), sedangkan factor ambience berpengaruh positif terhadap arousal. Kedua, pemasar harus menerapkan pendekatan iklan yang berbeda untuk kategori individu yang berlainan. Pendekatan soft – sell (image-oriented) cocok diimplementasikan untuk menarik minat high self-monitoring individuals yang sangat mempedulikan “being the right person in the right place at the right time’’ (Synder dan Debono, 1985) Ketiga, pemasar dapat bahwa menawarkan nilai social dan emosional tertentu melalui prestige pricing; ketersediaan yang terbatas; komunikasi pemasaran yang berbasis citra social dan berfokus pada asosiasi dengan orang, obyek atau simbol tertentu ; dan penawaran eksklusif yang baru (Sheth, et al., 1999). Keempat, pemasar juga dapat membentuk kelompok konsumen eksklusif yang mengelola berbagai aktivitas khusus. Dalam kasus hedonic consumption, konsumen cenderung akan lebih terlibat dan berpatisipasi aktif dalam aktivitas-aktivitas khusus, karena event semacam itu dapat menawarkan kepuasan emosional kepada mereka. PENDAHULUAN Orientasi pelanggan merupakan faktor kunci keberhasilan dalam dunia pemasaran modern. Istilah ini telah menjadi semacam ‘mantra ajaib’ dalam sebagian besar buku-buku teks laris bidang pemasaran dan perilaku konsumen. Setiap organisasi, baik yang berorientasi pada laba maupun yang nirlaba, wajib menggunakan sudut pandang konsumen dalam merencanakan dan mengorganisasi aktivitas-aktivitas pemasarannya. Akan tetapi, memahami perilaku konsumen bukanlah pekerjaan gampang. Perilaku konsumen sangat kompleks dan sukar diprediksi. Pendekatan – pendekatan yang selama ini banyak digunakan untuk menyingkap sikap, minat, dan perilaku konsumen mengasumsikan bahwa konsumen bersikap rasional dalam setiap keputusan pembelian mereka. Salah satu pendekatan yang hingga saat ini masih mendominasi studi perilaku konsumen adalah paradigma pemrosesan informasi. Syangnya, pendekatan ini tidak banyak mengungkap faktor emosi yang peranannya juga tidak kalah penting.
Dharma Ekonomi
No. 36 / Th. XIX / Oktober 2012
Tulisan ini berusaha mengupas berbagai kelemahan paradigma pemrosesan informasi, kemudian membahas peranan faktor emosi dalam perilaku konsumen, dan akhirnya mendiskusikan implikasinya bagi strategi pemasaran. PARADIGMA PEMROSESAN INFORMASI Secara teoritis, setiap kali seseorang membeli barang/jasa, ia berharap barang/jasa tersebut akan memberikan utilitas atau kegunaan maksimal. Dengan kata lain, setiap konsumen adalah rational economic man yang memiliki alasan rasional dan membuat pilihan rasional dalam pembelian produk. Pandangan ini merupakan asumsi dasar paradigma pemrrosesan informasi (information processing paradigm) terhadap perilaku konsumen. Studi perilaku konsumen dalam teori ini berfokus pada mekanisme pemrosesan informasi, yaitu cara konsumen mengumpulkan, memproses , menyimpan, memanggil kembali, dan menggunakan informasi dalam proses pembuatan keputusan (Marsden dan Littler, 1998). Pada umumnya proses pembuatan keputusan pembelian yang lengkap dan paling kompleks terdiri atas lima tahap identifikasi kebutuhan, pencarian informasi, pengevaluasian informasi keputusan pembelian dan perilaku purnabeli (Hawkins, et al. 1992; Kotler,et al., 1998; Sheth, et al., 1999). Proses pembelian dimulai dengan identifikasi kebutuhan atau masalah, dimana konsumen merasakan adanya perbedaan antara kondisi aktual dan kondisi yang diinginkan. Hal ini terjadi karena stimulus internal (seperti rasa lapar dan haus) atau stimulus ekternal (iklan, pajangan, produk dan lain-lain). Bila kebutuhan telah teridentifikasi (baik dalam wujud kebutuhan fungsional, sosial, emosional, epistemik, maupun situasional; lihat Sheth,et al., 1999), konsumen kemudian mencari informasi mengenai berbagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Ia dapat saja mengandalkan pengalaman dan pengetahuan terdahulu atau mungkin pula mencari informasi dari sumber pribadi, sumber komersial, sumber publik dan sumber pengalaman (Kotler, et al., 1998). Tidak semua merek akan dipertimbangkan oleh konsumen. Sheth, et al. (1999) menegaskan bahwa konsumen hanya mempertimbangkan serangkaian merek yang terdiri atas awareness set (semua merek yang disadari/dikenal), evoked set (merek-merek yang diingat), dan consideration set (merek-merek yang dipertimbangkan) Dalam tahap evaluasi, konsumen memproses informasi untuk mengevaluasi berbagai alternatif merek, mengidentifikasi merek yang paling disukai, dan membentuk minat beli. Untuk itu, ada dua strategi dasar yang biasa digunakan: pendekatan kompensatoris dan non-kompensatoris (Craig-Lees, et al., 1995; Sheth, et al., 1999). Dalam pendekatan kompensatoris, konsumen
Dharma Ekonomi
No. 36 / Th. XIX / Oktober 2012
membuat pilihan dengan jalan mengevaluasi semua atribut produk dan melakukan trade off di antara atribut-atribut yang lemah dengan yang kuat. Di lain pihak, pendekatan non-kompensatoris terdiri atas: penetapan batas minimum (cut-off) untuk semua atribut (the conjunctive rule), penetapan batas minimum untuk atribut-atribut paling penting (the disjunctive rule), pemilihan alternatif terbaik dalam hal ranking derajat kepentingan (the lexicographic rule) ,dan kombinasi antara ranking derajat kepentingan dan nilai batas minimum (elimination by aspects model). Biasanya konsumen akan membeli merek yang paling disukainya, namun tindakan pembelian tidak selau sama dengan yang direncanakan. Ada dua intervening factors yang berpengaruh yaitu sikap orang lain yang dianggap penting dan faktor situasional yang tidak terduga (Lilien ,et al ., 1992; Kotler, et al,. 1998) Proses keputusan konsumen tidak berakhir dengan tindakan pembelian. Setelah menggunakan atau mengkonsumsi produk, konsumen akan merasakan tingkat kepuasan atau ketidak puasan tertentu. Kepuasan konsumen tergatung pada perbandingan atara harapan konsumen dan kinerja produk yang dipersepsikan konsumen (Oliver, 1997). Bila kinerja sama dengan harapan, konsumen akan puas; bila kinerja melebihi harapan, konsumen akan merasa senang/bahagia; namun bila kinerja lebih rendah daripada harapan, maka konsumen akan merasa tidak puas. Reaksi konsumen terhadap kepuasan/ketidakpuasan tersebut dapat dalam tiga bentuk: exit, voice (compalining) dan loyalty (Sheth, et al,. 1999). Berdasarkan model lima tahap tersebut, Hawkins, et al. (1992) mengembangkan tiga tipe pengambilan keputusan konsumen: extended, limited, dan habitual decision making. Tipe extended decisison making dan limited decision making mencakup kelima tahap yang ada. Namun, ada perbedaan di antara keduanya. Situasi extended decision making dihadapi bila pembelian dilakukan untuk pertama kalinya; jarang dilakukan (karena harga yang mahal atau daya tahan produk); atau situasi pembelian dengan resiko yang besar atas pilihan yang keliru. Dalam situasi seperti ini, konsumen akan mencari informasi eksternal secara ekstensif dan mengevaluasi setiap alternatif secara cermat. Di lain pihak, konnsumen relatif hanya melakukan sedikit usaha dan mencurahkan sedikit waktu untuk mencari informasi baru dan mengevaluasi alternatif dalam limited decison maikng. Situasi ini terjadi manakala konsumen sudah familiar dengan kelas produk, serta resiko pilihan yang keliru juga terbatas. Sementara itu, pencarian informasi relatif minimal dan keputusan umumnya dilakukan tanpa melalui evaluasi alternatif dalam habitual decision making, karena pembeliannya bersifat repetitif dan relatif tidak terlalu penting.
Dharma Ekonomi
No. 36 / Th. XIX / Oktober 2012
Dalam pada itu, Lilien, et al. (1992) mengajukan beberapa model kuantitatif yang bermanfaat untuk memahami perilaku konsumen dalam setiap tahap secara lebih mendalam. Pertama, mereka mengusulkan penggunaan model sokastik purchase dan discrete choice models dalam tahap identifikasi kebutuhan. Kedua, mereka merekomendasikan penerapan individual awareness models, consideration models, dan information integration models dalam tahap pencarian informasi. Ketiga, mereka menawarkan implementasi perceptual mapping dan attitude models dalam tahap evaluasi. Keempat, mereka menyarankan pemakaian multinomial discrete choice models dan Markov models dalam tahap pembelian. Terakhir, mereka mengusulkan penerapan variety seeking models, satisfaction models, dan communication and network models dalam tahap purnabeli.
KRITIK TERHADAP PARADIGMA PEMROSESAN INFORMASI Menurut Marsden dan Littler (1998), ada lima perspektif perilaku konsumen kontemporer: kognitif (pemrosesan informasi, grand utopian, hierachy of effect), behavioral (behavior modification/learning, radical behaviorism), sifat ( psikografis, gaya pembuatan keputusan), interpretif (humanistik, phenomenological), dan postmodern (post-structuralism, deconstructionism). Meskipun paradigma pemrosesan informasi sebagai bagian dari perspektif kognitif hingga kini masih mendominasi studi perilaku konsumen (Oliver, 1997; Marsden dan nLittler, 1998), pendekatan tersebut tidak lepas dari berbagai kritik. Kritik utama terhadap perspektif kognitif adalah menyangkut asumsi dasarnya. Perspektif kognitif, behavioral, dan sifat diposisikan sebagai perspektif tradisional yang memiliki sembilan asumsi dasar berupa : determinism, environmentalism, reactive, unchangeability, homeostatis rationality,objectivity, elementalism dan knowable (Marsden dan Litler, 1998). Sebaliknya ,perspektif interpretif dan postmodern diklasifikasikan sebagai perspektif baru yang memiliki sembilan asumsi dasar yang berbeda yaitu : Freedom, constitutionalism, proactive, changeability, heterostatis, irrationality ,subjectivity, holism, dan unknowable (Marsden dan Littler, 1998). Perspektif kognitif berpandangan bahwa perilaku konsumen bersifat konsisten dan stabil. Perspektif ini juga berasumsi bahwa pengalaman konsumen dapat dipilah-pilah dan dianalisis secara parsial. Hal ini mengarah pada keyakinan bahwa tindakan konsumen dapat diprediksi berdasarkan pemahaman atas perilaku mereka pada setiap tahap dalam proses pengambilan keputusan mereka. Oleh sebab itu, perspektif kognitif hanya memberikan gambaran yang bersifat statis dan pasif mengenai perilaku konsumen. Perspektif
Dharma Ekonomi
No. 36 / Th. XIX / Oktober 2012
ini tidak dapat menjelaskan kompleksitas, variasi, kedalaman, dan dinamika pengalaman konsumen. Kritik lainnya berkaitan dengan pandangan bahwa konsumen merupakan pengambilan keputusan yang kompleks dan rasional yang selalu berusaha memaksimumkan utilitas dan melakukan trade off atas berbagai pilihan. Konsumen diasumsikan mengevaluasi berbagai merek/produk atas dasar manfaat atau utilitas fungsional (seperti reliabilitas, daya tahan, harga, kinerja, dan features) dan memilih merek/produk yang memberikan manfaat maksimum. Meskipun ada argumentasi bahwa paradigma pemrosesan informasi juga mencakup aspek- aspek eksperiensial dari konsumsi (Craig-Lees,1995), namun riset Holbrook dan Hirschman (1982) menunjukkan dengan jelas bahwa paradigma tersebut menyentuh hanya sebagian kecil dari aspek-aspek emosi. Emosi seperti kesedihan, malu, cinta dan kebencian tidak dicakup oleh paradigma tersebut. Psikolog dari UNSW Sydney, Michael Edwardson (1998) berpendapat bahwa emosi telah dengan sengaja dikeluarkan dari persamaaan dalam model pemrosesan informasi karena sulit mengukurnya. Dengan demikian, model pemrosesan informasi terlalu sempit untuk menjelaskan gambaran keseluruhan mengenai pengalaman konsumsi, terutam aspek 3F: Fantasies, Feelings, dan Fun (Hiirshman dan Holbrook, 1982). Selain itu kesulitan dalam pengukuran emosi tidak lantas berarti tidak mungkin mengukurnya, Beberapa peneliti seperti Richins (1997) dan Edwardson (1998) mengajukan metode-metode praktis untuk mengukur emosi konsumen. Kritik berikutnya menyangkut pertanyaan “mungkinkah” konsumen membuat keputusan pembelian yang bersifat emosional dan tidak sepenuhnya rasional?” Berdasarkan asumsi paradigma pemrosesan informasi, situasi semacam itu tidak dimungkinkan namun dalam praktek dapat saja situasi semacam itu terjadi. Salah satu contohnya mencakup dua perilaku yang berbeda namun berkaitan, yaitu compulsive buying dan compulsive consumption. Sheth, et al. (1999) mendefinisikan compulsive buying sebagai” suatu tendensi kronis untuk membeli produk secara berlebihan dan melampaui kebutuhan dan sumber daya seseorang”. Seorang compulsive buyer cenderung senang (bahkan keranjingan) berbelanja, selalu membeli item-item yang mungkin dia sendiri tidak pernah memakainya (terutama barang-barang yang sedang diobral), dan bahkan membeli produk yang sesungguhnya di luar batas kemampuan finansialnya. Sementara itu, compulsive consumption didefinisikan sebagai “respon terhadap dorongan atau hasrat yang tidak terkendali untuk mendapatkan , menggunakan atau mengalami suatu perasaan, substansi, atau aktivitas yang menyebabkan individu secara berulang terlibat dalam perilaku yang akhirnya
Dharma Ekonomi
No. 36 / Th. XIX / Oktober 2012
dapat merugikan dirinya sendiri dan atau ornag lain” (O’Guinn dan Faber, 1989). Beberapa contoh perilaku semacam ini meliputi kecanduan minuman keras, compulsive gambling, penyalah gunaan obat-obatan, compulsive sexuality, eating disorders, compulsive exercising, dan compulsive smoking. Lebih lanjut, hedonic consumption (seperti pengalaman naik rollercoaster, bungry-jumping, skydiving, rock, climbing, membeli lukisan, nonton pertandingan sepak bola, atau nonton konser heavy metal) juga merupakan contoh lain keputusan pembelian yang lebih bersifat emosional. Aspek fundamental dari nilai konsumsi semacam ini adalah “pure enjoyment ,excitement, captivation, escapism, and spontaneity” (Babin, et al., 1994). Manfaat ekspresif (expressive benefits) berkaitan dengan produk yang dikonsumsi bersifat non-fungsional dan tidak sepenuhnya rasional (sekalipun dapat menjadi pertimbangan rasional berdasarkan pengalaman emosional sebelumnya) Selain itu karena pembelian impulsif lebih disebabkan oleh kebutuhan untuk membeli daripada kebutuhan akan produk (Rook,1987, dikutip dalam Babin et al., 1994), sebagian besar pembelian impulsif merupakan perilaku emosional. Perilaku seperti ini umumnya memiliki karakter istik spesifik: (1) hasrat spontan untuk bertindak yang menyimpang dari pola perilaku sebelumnya; (2) psychological disequiblibrium yang menyebabkan konsumen merasa diluar kendali untuk sementara waktu; (3) konflik psikologis antara mendapatkan kepuasan saat ini dan menghindari dorongan yang keliru atau tidak rasional; (4) adanya penurunan kriteria maksimisasi utilitas dalam evaluasi produk ; dan (5) adanya sikap acuh tak acuh terhadap konsekuensi negatif yang mungkin timbul akibat konsumsi produk (Rook dan Hoch, 1985, dikutip dalam Hirschman, 1992). Jadi jelaslah bahwa paradigma pemrosesan informasi bukan merupakan model perilaku konsumen yang lengkap. Pada kenyataanya, setiap perspektif perilaku konsumen memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tidak ada satupun model tunggal yang terbaik. Paradigma pemrosesan informasi tetap berguna, karena mampu menjelaskan berbagai aspek perilaku konsumen. Namun, integrasi berbagai perspektif akan memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai keseluruhan pengalaman konsumen.
PERANAN FAKTOR EMOSI Emosi dapat diartikan sebagai “consciousness of the occurrence of some physiological arousal followed by a behavioral response along with appraised meaning of both” (Sheth, et al., 1999). Dari definisi ini terlihat bahwa emosi terdiri atas tiga komponen, yaitu fisiologis, behavioral dan kognitif. Secara lebih rinci, elemen-elemen emosi dapat dijabarkan berdasarkan model fungsional,
Dharma Ekonomi
No. 36 / Th. XIX / Oktober 2012
yakni antecedent, appraisal,feeling action tendency, action dan goal (Roseman, Wiest, dan Swartz, 1994, dikutip dalam Edwardson, 1998). Plutchik (dalam Sheth, et al., 1999) mengidentifikasi delapan emosi primer yang masing-masing di antaranya dapat bervariasi intensitasnya: fear, anger, joy, sadness, acceptance, disgust, anticipation, dan surprise. Kombinasi dari emosi primer tersebut menghasilkan beberapa emosi lainnya, misalnya aggressiveness (antara anger dan anticipation), optimism (anticipation dan joy), love (joy dan acceptance), submission (acceptance dan fear), awe (fear dan surprise), disappointment (surprise dan sadness), remorse (sadness dan disgust), da contempt (disgust dan anger). Istilah emosi, affect, dan mood sering digunakan secara silih berganti. Meskipun demikian ,menurut Oliver (1997), ketiganya dapat dibedakan . Ia menyatakan bahwa affect mengacu pada “the feeling side of consiciousness,, as apposed to thinking, which taps the cognitive domain”, sedangkan emosi mencakup “ arousal ,various forms of affect, and cognitive interpretations of affect that may be given a single description”. Sementara itu, mood lebih merupakan “a temporary state of pleasant disposition, although it, too,has its many variations such as irritability or grouchiness” (Gardner, 1985, dikutip dalam Oliver, 1997). Forgas (dalam Ferrari, 1997) menyatakan bahwa dalam batas tertentu ,mood mempengaruhi apa yang dipelajari dan dihafalkan orang, dan cara mereka menangani informasi. Ia juga berargumen bahwa semakin lama kita memikirkan sesuatu masalah, semakin mungkin kita membuat kesimpulan yang cenderung emosional. Oleh sebab itu, studi mengenai peranan emosi kini semakin penting guna memahami perilaku konsumen, khususnya pengalaman konsumsi. Emosi dan mood states memainkan peranan penting dalam proses pengambilan keputusan konsumen, mulai dari identifikasi masalah sampai perilaku purnabeli. Umumnya, setiap produk tangible dan intangible memiliki ‘makna simbolis’ (Belk,1988; Levy dalam Holbrook dan Hirschman, 1982). Peranan simbolis sangat penting dan dominan dalam berbagai kasus, terutama dalam hedonic consumption. Hirschman dan Holbrook (1982) mendefinisikan hedonic consumption sebagai “those facets of consumer behavior that relate to the multisensory, fantasy and emotive aspects of one’s experience with products’’. Terdapat empat tipe hedonic consumption (Sheth, et al,. 1999), yaitu sensory pleasure (mengunjungi art gallery, membaca puisi, membeli lukisan), emotional experience (misalnya naik roller – coaster,merayakan ulang tahun ke 17, mengirim kado reuni sekolah, dan nonton opera sabun atau film di TV), dan fun and enjoyment (berolah raga, menari, main video game,dan berlibur).
Dharma Ekonomi
No. 36 / Th. XIX / Oktober 2012
Konsumen membeli dan mengkonsumsi produk bukan sekedar karena nilai fungsionalnya, namun juga karena nilai sosial dan emosionalnya. Nilai social dan emosional tersebut mencakup sensory enjoyment, attainment of desired mood states, achievement of social goals, dan self concept fulfillment (Sheth, et al,. 1999). Dengan kata lain, pembelian dilakukan atas dasar kemampuan produk untuk menstimulasi dan memuaskan emosi. Baik emosi positif (seperti meningkatnya rasa percaya diri karena memakai jas ekslusif dan parfum terkenal) maupun emosi negative (seperti rasa takut saat nonton film horror atau naik roller-coaster) dapat menjadi pengalaman yang menyenangkan. Sejumlah riset menunjukkan bahwa emosi memainkan peranan signifikan dalam pengumpulan informasi, evaluasi dan seleksi produk, Batra dan Ray (1986, dikutip dalam Craig – Less, et al,. 1995), misalnya menemukan bahwa mood positif berpengaruh positif pada product recall dan sikap terhadap produk dan iklan, sementara mood negative memiliki pengaruh sebaliknya. Jadi individu yang sedang dalam mood positif lebih gampang menerima stimulus pemasaran seperti iklan dan wiraniaga daripada mereka yang sedang dalam mood negative. Riset lainnya oleh Hirschman dan Holbrook (1992) menunjukkan bahwa enosi mempengaruhi seleksi produk, khususnya bila produk yang dibeli itu merupakan symbol ekspresif, misalnya sebagai hadiah kepada kekasih atau untuk memperingati peristiwa penting dalam hidup (ulang tahun, pertunangan, pernikahan kelahiran dan lain-lain) Lebih lanjut O’ Guinn and faber (1989) menekankan pentingnya emosi seperti “arousal, exicitation, enhanced perceptions of sights, sounds and tactile sensations, and feelings of power and being liked” selama berbelanja guna mendorong pembelian. Seperti halnya emosi, mood konsumen juga penting dalam pengambilan keputusan, karena berpengaruh pada kapan dan dimana konsumen berbelanja, apa mereka berbelanja sendiri ataukah bersama orang lain, dan bagaimana mereka merespon suasana belanja actual (Schiffman, et al,. 1997). Atas dasar pentingnya factor emosi, Holbroook, O’Shaughnessy dan Belll (1990, dikutip dalam Craig Less,1995), mengembangkan model pengambilan keputusan yang memasukkkan pula factor emosi. Emosi juga memainkan peranan penting dalam tahap purnabeli. Krishman dan Olshavsky (1995) menemukan bahwa emosi memiliki peranan ganda dalam kepuasan pelangggan ,yaitu “emotions evoked during perception of performance and emotions evoked during evaluation of performance”. Ditinjau dari sudut pandang model fungsional terhadap emosi, cognition dan appraisal merupakan bagian dari respon emosional dalam kepuasan pelanggan (Edwardson, 1998). Jadi, dalam tahap purnabeli konsumen tidak hanya merasakan kepuasan/ketidakpuasan, namun juga berbagai emosi lainnya, seperti marah, jengkel, kesal, sedih, dan lain-lain. Dengan kata lain, konsumen bukan sekadar “attribute accountants” yang membandingkan harapan dan kinerja
Dharma Ekonomi
No. 36 / Th. XIX / Oktober 2012
produk berdasarkan atribut-atribut kunci dalam penilaian kepuasan mereka (Swan dan Bowers,1998). Dengan demikian, faktor emosional tidak boleh diabaikan dalam analisis perilaku konsumen. Pemahaman mengenai sisi rasional dan emosional konsumen dapat memberikan manfaat berupa gambaran yang lebih utuh mengenai perilaku konsumen secara keseluruhan.
IMPLIKASI PADA STRATEGI PEMASARAN Ada banyak implikasi dari aspek rasional dan emosional konsumen bagi strategi pemasaran. Tulisan ini hanya akan membahas beberapa diantaranya . Pertama, tiga factor utama lingkungan toko (factor social, desain, dan ambient) harus dikelola sedemikian rupa sehingga dapat menciptakan mood positif bagi konsumen. Sherman, et al,. (1997) menemukan bahwa factor social dan desain dari lingkungan toko berpengaruh positif terhadap kesenangan (pleasure), sedangkan factor ambience berpengaruh positif terhadap arousal. Riset tersebut juga menemukan bahwa pleasure berpengaruh positif terhadap uang yang dibelanjakan dan preferensi terhadap toko, dan arousal berpengaruh positif pada uang yang dibelanjakan di toko, waktu yang dicurahkan di toko, dan jumlah item yang dibeli di toko tersebut. Karena factor social ditentukan oleh interaksi antar orang yang hadir di toko, para pemasar harus memberdayakan dan melatih setiap stafnya, terutama wiraniaga dan staf layanan pelanggan, agar dapat memahami dan menanganai berbagai respon emosional pelanggan (Edwardson, 1998). Staf yang terlatih baik cenderung memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk menjalin hubungan yang positif, hangat dan akrab dengan para pelangggan. Hal ini pada gilirannya akan berkontribusi pada terciptanya pengalaman konsumen yang menyenangkan. Para pemasar juga harus mempertimbangkan dengan cermat unsur -unsur visual atau factor desain (seperti layout, warna, kebersihan, dan ruang/space) dalam suasana toko. Banyak cara yang dapat diterapkan untuk membuat konsumen merasa nyaman dan senang pada saat pembelian (at the point of purchase), misalnya, merancang layout yang menarik dan cukup luas, menggunakan warna-warna terang, menggunakan pewangi ruangan atau mengggunakan alunan musik yang tenang (Holbrook dan Gardner, 19993, dikutip dalam Sherman, et al., 1997). Kedua, pemasar harus menerapkan pendekatan iklan yang berbeda untuk kategori individu yang berlainan. Pendekatan soft – sell (image-oriented) cocok diimplementasikan untuk menarik minat high self-monitoring individuals yang
Dharma Ekonomi
No. 36 / Th. XIX / Oktober 2012
sangat mempedulikan “being the right person in the right place at the right time’’ (Synder dan Debono, 1985) Contohnya, iklan rokok lucky strike menekankan citra ”an American” dan ”original”, parfum Axe (macho dan atraktif), Pepsi (generation next), dan Swatch (generasi anak muda). Dilain pihak pendekatan hard-sell (product-quality-orieneted) sesuai digunakan untuk menarik minat low self-monitoring individuals yang menekankan aspek keselarasan perilaku mereka dalam konteks social dan sikap, nilai, serta watak mereka (Snyder dan DeBono, 1985). Sebagai contoh ,iklan Burger King dan Kentucky Fried Chicken menekankan aspek rasa yang enak dan kualitas makanan mereka. Ketiga, pemasar dapat bahwa menawarkan nilai social dan emosional tertentu melalui prestige pricing; ketersediaan yang terbatas; komunikasi pemasaran yang berbasis citra social dan berfokus pada asosiasi dengan orang, obyek atau simbol tertentu ;dan penawaran eksklusif yang baru (Sheth, et al., 1999). Mobil eksklusif dengan harga selangit seperti Rolls Royce dan Lamborghini, serta lukisan orisinal dan langka karya pelukis terkenal seperti Van Gogh memberikan prestige sosial kepada para pemilikinya. Contoh menarik lainnya adalah taktik para pemasar yang menjual produk-produk hadiah Hari Valentine (seperti bunga dan berlian) sebagai symbol kasih sayang. Keempat, pemasar juga dapat membentuk kelompok konsumen eksklusif (seperti Harley Owner Group) yang mengelola berbagai aktivitas khusus. Dalam kasus hedonic consumption, konsumen cenderung akan lebih terlibat dan berpatisipasi aktif dalam aktivitas-aktivitas khusus, karena event semacam itu dapat menawarkan kepuasan emosional kepada mereka.
REFERENSI
Fandy Tjiptono, (2000), “ Perspektif Manajemen & Pemasaran Kontemporer”, Penerbit Andi Yogyakarta. Marsden, D. dan Littler, D. (1998), “Positioning Alternative Perspectives of Consummer Behaviour”, Journal of Marketing Mangement, 14,h. 3-28. Oliver ,R.L (1997), Satisfaction: A Behavioral Perspective on the Consumer. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc. Phlip Kotler, (2005), “Manahemen Pemasaran Edisi Kesebelas Jilid 2”, Penerbit ,PT Indeks Kelompok Gramedia
Dharma Ekonomi
No. 36 / Th. XIX / Oktober 2012
Sheth ,J.N., et al. (1991), Consumption Values and Market Choices: Theory & Application. Cincinnati: South –Western Publishing Co. Sheth ,J.N., Mittal, B. dan Newman, B.I. (1999), Customer Behavior: Consumer Behavior and Beyond. Fort Worth: The Dryden Press. Uyung Sulaksana, (2003), “Integrated Marketing Communications”, Penerbit Pustaka Pelajar Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta.