sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXXII, Nomor 2, Tahun 2007 : 1 - 10
ISSN 0216-1877
TERIPANG (HOLOTHUROIDEA) : KEKAYAAN ALAM DALAM KERAGAMAN BIOTA LAUT Oleh Prapto Darsono1) ABSTRACT TERIPANG (HOLOTHURIOIDEA): A NATURAL HERITAGE IN THE MARINE BIOTIC DIVERSITIES. Holothurians as a group member of the phylum Echinodermata, have three characteristic features of skeleton, pentamerous symmetry and the water-vascular system. Holothurian typically has a cylindrical body, elongated orally-aborally. The axist of its pentamerous radial symmetry is horizontal, but it is modified by dorsoventral plane of bilateral symmetry. The skeleton is usually reduced to microscopic spicules and scattered in the body wall. The spicules are very important in their classification and identification. Holothurians are distributed in marine environments throughout the world from intertidal zones to the deep sea. Over 1,200 species of the described holothurians contain three subclasses (Dendrochirotacea, Aspidochirotacea, Apodacea), six orders and 25 families. The greatest diversity is in shallow tropical waters, but often dominate the overall biomass of deep ocean trenches. The Indonesian echinoderm fauna, including holothurians, have been collected by several oceanographic expeditions since 1899. Some holothurians are targeted for "beche-de-mer" fisheries, at least 29 species of holothurians are traded internationally. Holothurian fisheries are primarily based on shallow water and up to 50 m depth, utilizing two families of the five genera : Actinopyga, Bohadschia, Holothuria (Holothuriidae) and Stichopus, Thelenota (Stichopodidae). Holothurians are threatened by overexploitation due to international market demands, as well as sources of aquaria organisms and specimens for biomedical research. Habitat degradation and loss are the second threat contributing their decline in population. Holothurians are broadcast spawners and a successful fertilization is highly dependent on population density. Recently, holothurians may be qualified for listing in CITES Appendix II.
Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
PENDAHULUAN Teripang (Holothurioidea, Echinodermata) merupakan salah satu kelompok biota laut yang spesifik dan mudah dikenal. Bentuk tubuh teripang secara umum adalah silindris, memanjang dari ujung mulut ke arah anus (orally-aborally). Mulut terletak di ujung bagian depan (anterior), dan anus di ujung bagian belakang (posterior). Seperti pada Ekhinodermata umumnya, tubuh teripang adalah berbentuk simetri lima belahan menjari (pentamerous radial symmetry) dengan sumbu aksis mendatar (horizontal). Namun bentuk simetri tersebut termodifikasi oleh lempeng tegak (dorsoventral plane) sehingga nampak sebagai belahan simetri (bilateral symmetry). Seperti halnya Ekhinodermata lain, selain radial simetri tersebut, karakteristik lain adalah adanya bentuk skeleton dan sistem saluran air (water-vascular system). Skeleton pada teripang termodifikasi dalam bentuk spikula yang mikroskopis dan tersebar dalam seluruh dinding tubuh. Bentuk spikula tersebut sangat penting dalam identifikasi jenis teripang. Teripang merupakan sekelompok biota laut yang kehadirannya tidak menarik perhatian, baik dari kalangan yang seharusnya memberikan perhatian (concerned) terhadap kekayaan jenis biota (biodiversity) dan pelestarian alam, apalagi masyarakat awam. Kekayaan jenis teripang secara keseluruhan mungkin belum terungkap. Sementara itu beberapa jenis teripang yang komersil telah mengalami tekanan eksploitasi. Beberapa jenis teripang merupakan komoditi perikanan yang diperdagangkan secara internasional. Pada saat ini perburuan teripang tidak saja pada jenisjenis yang berharga mahal, tapi juga terhadap jenis-jenis yang murah yang pada awalnya tidak menjadi perhatian. Tekanan eksploitasi terhadap jenis-jenis teripang tersebut telah menyebabkan populasi alaminya sangat menurun. Hal ini bisa menjadi masalah yang
Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007
dilematis, karena tidak ada usaha pengelolaan dan pelestariannya. Bila terjadi kepunahan suatu jenis teripang, berarti kehilangan plasma nutfah yang sangat mungkin belum dimanfaatkan. Dalam dekade terakhir ini teripang mendapat perhatian yang lebih serius secara internasional dengan terbitnya buletin Bechede-mer sejak tahun 1990. Media ini semestinya menggugah perhatian kita bahwa ada suatu sumberdaya laut yaitu teripang, yang kita miliki di perairan Indonesia, tetapi selama ini terkesampingkan tidak mendapat perhatian secara proposional. Sementara itu telah berkembang wacana internasional untuk melarang/membatasi eksploitasi teripang, dan memasukkan teripang dalam daftar Appendik II CITES (Convention on Trade of Endanger Species). DIVERSITAS TERIPANG Teripang adalah kelompok hewan invertebrata laut dari kelas Holothurioidea (Filum Ekhinodermata), dibedakan dalam enam bangsa (ordo) yaitu Dendrochirotida, Aspidochirotida, Dactylochirotida, Apodida, Molpadida, dan Elasipoda. Kekayaan jenis teripang diperkirakan tidak kurang dari 1.200 jenis (BAKUS, 1973) terutama tersebar di perairan dangkal tropika. Jenis-jenis teripang komersial, khususnya dari daerah tropika, termasuk dalam bangsa Aspidochirotida dari suku Holothuriidae dan Stichopodidae, meliputi marga Holothuria, Actinopyga, Bohadschia, Thelenota dan Stichopus. Pada Tabel 1, diberikan 29 jenis teripang yang saat ini menjadi komoditi perdagangan dan lokasi asal pengumpulannya. secara global (BRUCKNER et al., 2003). Diantara jenisjenis tersebut banyak yang terdapat di perairan Indonesia seperti diidentifikasikan oleh DARSONO (1995). Ilustrasi foto-foto beberapa jenis teripang berpotensi komersil dan variasi bentuknya disajikan pada Gambar 1.
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tidak banyak taksonom yang bekerja dengan teripang. Namun demikian teripang tetap menarik perhatian beberapa naturalist. Koleksi teripang telah dilakukan di berbagai lokasi di dunia, dalam berbagai kesempatan ekspedisi kelautan. Beberapa ekspedisi kelautan, khususnya yang mengambil lokasi di Indonesia, diantaranya yaitu Ekspedisi Siboga (1899-1900), Ekspedisi Snellius I (1929-1930), beberapa kali Ekspedisi Rhumpius di sekitar daerah Maluku (sejak 1972), Ekspedisi Corendon (1980), dan Ekspedisi Snellius II (1985-1986). SLUITER (1901) melaporkan hasil identifikasi koleksi teripang dari Ekspedisi Siboga. Laporan atau publikasi tentang hasil koleksi teripang di perairan Indonesia pada tahun-tahun akhir ini disampaikan oleh MASSIN (1987, 1996, 1999) dan JANGOUX et al. (1989). Tidak kurang sebanyak 188 jenis teripang telah diidentifikasi dari hasil berbagai ekspedisi di Indonesia tersebut Diantaranya terdapat jenisjenis yang belum pernah ditemukan sebelumnya maupun ditemukan jenis-jenis baru yang didiskripsikan oleh MASSIN (1987, 1996 dan 1999) (Tabel 2). Sementara itu jenis-jenis baru selalu mungkin ditemukan, seperti jenis Thelenota rubralineata (MASSIN & LANE, 1991). Kekayaan jenis teripang, khususnya di perairan dangkal tropika, tersusun secara sistimatis dalam bentuk monograph oleh CLARK & ROWE (1971). Gambaran tentang jenis teripang di perairan dangkal juga disampaikan oleh ROWE & DOTY (1977) hasil koleksi dari Guam. Menurut ROWE (1969) marga Holothuria sendiri paling sedikit terdiri dari 114 jenis. KEBERADAAN TERIPANG Keberadaan teripang merupakan kekayaan diversitas alami yang tidak terlepas dalam fungsi ekologi di habitatnya. Kehadirannya dianalogikan sebagai "cacing
Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007
tanah" yang membantu menyuburkan substrat di sekitarnya dengan sifatnya yang "mengaduk" dasar perairan. Teripang mencerna sejumlah besar sedimen, yang memungkinkan terjadinya oksigenisasi lapisan atas sedimen. Proses ini mencegah terjadinya penumpukan busukan benda organik dan sangat mungkin membantu mengontrol populasi hama dan organisme patogen termasuk bakteri tertentu. Kelangkaan teripang bisa mengakibatkan terjadinya pengerasan dasar laut, dan berakibat ketidak cocokan habitat bagi bentos lain dan organisma meliang (infaunal organism). Teripang adalah hewan bentik yang lambat geraknya, hidup pada dasar dengan substrat pasir, lumpur maupun dalam lingkungan terumbu. Dalam struktur trofik (trophic levels), teripang berperan sebagai pemakan deposit (deposit feeder) dan pemakan suspensi (suspensi feeder). Dalam lingkar pangan (food web) dari ekosistem setempat, teripang adalah penyumbang pangan dalam bentuk telur-telur, larva dan juwana teripang, bagi biota laut pemangsa di sekitarnya. Teripang ditemukan pada habitat yang selalu berada di bawah garis surut terendah. Topografi dan tingkat kekeringan dari rataan terumbu pada lokasi setempat sangat berpengaruh terhadap distribusi teripang yang ada pada lokasi tersebut. Habitat dengan dasar pasir karang yang ditumbuhi lamun (seagrass) merupakan tempat hidup teripang. Beberapa jenis teripang, ada yang hidup di daerah dengan habitat yang berbongkah karang (boulders), dan di sekitar kelompok karang hidup. Beberapa jenis teripang merupakan bahan makanan tradisional di beberapa negara Asia, khususnya Cina. Teripang olahan kering dalam perdagangan dikenal sebagai Beche-demer atau trepang atau hai-sum (CONAND & SLOAN, 1989). Teripang disukai karena mengandung zat-zat obat (medicinal properties), makanan ini berkhasiat penyembuhan (curative), dan mempunyai daya
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
aphrodisiac (PRESTON, 1993 dan AKAMINE, 2000). Dari hasil analisa proksimat daging teripang diperoleh komposisi protein 43%, lemak 2%, kadar air 17%, mineral 21% dan kadar abu 7% (JAMES, 1989). Kandungan lemak yang rendah, teripang direkomendasikan untuk orang-orang yang bermasalah dengan kolesterol. Sejak akhir 1990 pasar teripang bertambah dengan berkembangnya riset produk alam (natural products) dan penggunaannya sebagai biota akuarium. Potensi kandungan bioaktif pada teripang telah diungkap oleh beberapa peneliti, disarikan dalam DARSONO (1993).
ANCAMAN TERHADAP TERIPANG Ancaman utama terhadap keberadaan teripang adalah terjadinya tangkap lebih (overexploitation) akibat meningkatnya permintaan pasar, juga penggunaan teripang sebagai biota akuarium maupun sebagai bahan riset biomedis. Daur hidup teripang yang spesifik menjadikan teripang sangat rentan oleh terjadinya tangkap lebih. Hal kedua yang juga mengancam keberadaan teripang adalah degradasi habitat tempat hidupnya. Habitat adalah tempat hidup sekaligus tempat mendapatkan pakannya. Kerusakan habitat berarti hilangnya "rumah" dan tempat mencari makan. Teripang berkelamin terpisah, memijah dalam air dan fertilisasi terjadi dalam kolom air. Disamping itu pergerakan teripang sangat lambat (sluggish) sehingga ruang geraknya (home range) sempit atau terbatas. Sifat ini menyebabkan teripang sangat mudah dipungut dan mengakibatkan populasinya cepat berkurang. Padahal untuk terjadinya sukses fertilisasi harus dalam kepadatan populasi tertentu. Jarak keberadaan antara jantan dan betina yang terlalu jauh sangat mungkin gagalnya fertilisasi.
Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007
Perikanan atau eksploitasi teripang telah terjadi ratusan bahkan ribuan tahun yang berlangsung secara tradisional dan subsisten (CAMBELL & WILSON, 1993).Tidak banyak catatan tentang kegiatan perburuan teripang di Indonesia, namun kegiatan ini berlangsung terus bahkan cenderung meningkat aktifitasnya (CONAND & TUWO, 1996). Berdasarkan lamanya eksploitasi teripang berlangsung, diduga bahwa populasi teripang mengalami tekanan yang cukup serius mengancam kelestariannya. Hal ini akan terjadi karena laju pertambahan (recruitment) tidak sebanding dengan laju pemungutannya. Penurunan populasi sumberdaya teripang dirasakan terjadi terutama terhadap jenis-jenis komersial seperti teripang pasir, Holothuria scabra, dan teripang susuan, Holothuria nobilis. Sekali kepadatan populasi teripang turun di bawah titik kritis, maka sangat sulit populasi akan pulih kembali. PELESTARIAN TERIPANG Perikanan teripang di Indonesia bersifat multispecies, banyak jenis dipungut dijadikan produk teripang kering untuk diperdagangkan. Sekitar 25 jenis teripang potensial komersil diidentifikasikan dari perairan Indonesia (DARSONO, 1995). Jenis teripang yang termasuk dalam kategori mahal adalah teripang pasir atau teripang putih, Holothuria scabra, teripang susuan, H. nobilis dan H. fuscogilva, teripang nenas, Thelenota ananas. Jenis yang termasuk dalam kategori sedang yaitu teripang marga Actinopyga, seperti teripang lotong (A. miliaris), teripang batu (A. echinites), teripang bilalo (A. lecanora dan A. mauritiana). Jenis-jenis lainnya termasuk kategori murah (CONAND, 1990). Kegiatan eksploitasi teripang di Indonesia umumnya berskala kecil. Para nelayan mengumpulkan teripang sedikit demi sedikit dan diproses dikeringkan kemudian
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
dijual kepada tengkulak pengumpul. Meningkatnya permintaan pasar mendorong peningkatan usaha eksploitasinya. Sulitnya menemukan teripang target dari jenis yang mahal, maka jenis yang murahpun saat ini menjadi target perburuan. Keadaan ini menyebabkan akselerasi penurunan populasi teripang dipercepat. Indikasi tentang hal ini sudah terlihat dengan makin sulitnya menemukan jenis-jenis teripang komersil, baik yang mahal, sedang maupun yang murah harganya, di habitat alaminya. Keberadaan teripang sudah sangat jarang dan jenis-jenis mahal menjadi langka. Belum ada pengelolaan teripang dilakukan di Indonesia. Perlu dikembangkan pola pengelolaan yang melindungi sumberdaya dan usaha eksploitasinya. Fungsi ekologis dan fungsi ekonomi teripang diharapkan berjalan seiring. Azas manfaat dan lestari perlu diupayakan, kalau tidak dikehendaki punahnya suatu plasma nutfah. Dengan demikian kelestarian sumberdaya teripang mempunyai dua aspek, melindungi keberadaan sumberdaya dan menjaga keberlanjutan perikanannya. Pengelolaan tersebut meliputi antara lain daerah perburuan, kuota, sistem perijinan, musim panen, ukuran, jumlah panenan dan lain-lain, yang kesemuanya bertujuan untuk mencegah terjadinya tangkap lebih (ADAMS, 1993). Cara lain untuk melestarikan sumberdaya teripang adalah dengan pengayaan stok (stock enhancement) terhadap jenis-jenis target, dan produksi teripang yang berbasis budidaya (BATTAGLENE, 1999). Kedua hal terakhir ini diperlukan stok "benih" teripang hasil rekayasa di panti benih (hatchery). Dalam hal ini pembenihan teripang menjadi kunci berlangsungnya kegiatan ini. Budidaya teripang nampaknya merupakan usaha yang harus diwujudkan untuk mengantisipasi wacana internasional tentang akan dimasukkannya jenis teripang komersil dalam daftar CITES Appendix II (BRUCKNER et al., 2003).
Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007
DAFTAR PUSTAKA ADAMS, T. 1993. Management of Beche-demer (sea cucumber) fisheries, Bechede-mer, Info. Bull. 5 : 13-16. AKAMINE, J. 2000. Sea cucumbers from the coral reef to the world market. In : Bisayan knowledge, movement and identity. VMAS III 1996-1999 (I. Ushijima & C.N. Zayas, eds.). Quezon city, University of the Philippines: 223 -244. BAKUS, G.J. 1973. The biology and ecology of tropical holothurians. In : Biology and Geology of Coral Reefs (O.A. Jones & R. Endean, eds.), vol. 2 Biology 1. Academic Press, N.Y. & London : 325-367. BATTAGLENE, S.C. 1999. Culture of tropical sea cucumbers for stock restoration and enhancement. Naga, the ICLARM Quarterly22(4):4-ll. BRUCKNER, A.W.; K.A. JOHNSON and J.D. FIELD 2003. Conservation strategies for sea cucumber : Can a CITES Appendix II listing promote sustainable international trade ?. Beche-de-mer Inform. Bull. 18 : 2433. CAMPBELL, B.C. and BU V.E. WILSON 1993. The politic of exclusion : Indonesian fishing in the Australian Fishing Zone. Indian Ocean Centre for Peace Studies, Curtin Univ. : 221 pp. CLARK, A.M. and F.W.E. ROWE 1971. Monograph of shallow water IndoWest Pacific echinoderms. Trustees Brotish Museum (Natural History). London, 238 pp + 31 pls.
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
CONAND, C. 1990. The fishery resources of Pacific Island countries. Part 2. Holothurians. FAO Fishery Technical paper 272.2 : 7-10, 27-41, 95-100. CONAND, C. and N. SLOAN 1989. World fisheries for echinoderms. In : Marine Invertebrate Fisheries (J. CADDY, ed.). Wiley & Sons, New York : 647-663. CONAND, C. and A. TUWO 1996. Commercial holothurians in South Sulawesi, Indonesia : fisheries and mariculture. Beche-de-mer, Inform. Bull. 8: 17-21. DARSONO, P. 1995. Sumberdaya teripang komersil di Indonesia. Prosid. Sem. Kelautan Nas. (B.M. GANIE, B. HERUNADI, A. ALKITRI, A. SUDARYANTO dan N. HENDIARTI, eds.), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta. Bab. II.7 : 1-10. DARSONO, P. 1993. Kandungan substansi bioaktif pada teripang. Oseana XVIII (3) : 87-94. JAMES, D.B. 1989. Beche-de-mer : Its Resources, Fisheries and Industry. Marine Fisheries Information Service, Indian Council of Agricultural Research, special issue No. 92 : 30 pp. JANGOUX, M.; Chantal de RIDDER; C. MASSIN and P. DARSONO 1989. The Holothuroids, Echinoids and Asteroids (Echinodermata) collected by the Snellius-II Expedition. Netherlands Journal of Sea Research 23 (2) : 161-170.
Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007
MASSIN, C. 1987. Holothuries nouvelles et peu connues recoltees en Indonesie au cours de la Snellius-II Expedition. Bull. De L’Institut Royal Des Sciences Naturelles de Belgique, Biologie, 57 : 97-121. MASSIN, C. 1996. Results of the Rumphius Biohistorical Expedition to Ambon (1990). Part 4. The Holothurioidea (Echinodermata) collected at Ambon during the Rumphius Biohistorical Expedition. Zoologische Verhandelingen
307:1-53. MASSIN, C. 1999. Reef-dwelling Holothuroidea (Echinodermata) of the Spermonde Archipelago (South-West Sulawesi, Indonesia). Zoologische Verhandelingen
329 : 1 - 144. MASSIN, C. and D.J.W. LANE 1991. Description of a New Species of Sea Cucumber (Stichopodidae, Holothuroidea, Echinodermata) from the Eastern Indo-Malayan Archipelago
: Thelenota rubralineata n. sp. Micronesica 24 (1) : 57-64. PRESTON, G.L. 1993. Beche-de-mer. In : Nearshore Marine Resources of the South Pacific : Information for Fisheries Development and Management (A. WRIGHT and L. HILL, eds.). Forum Fisheries Agency, Honiara, Solomon Islands : 371-407. ROWE, F.W.E. 1969. A review of the family Holothuriidae (Holothuroidea, Aspidochirotida). Bull. Br. Mus. Nat. Hist. (Zool.) 18(4): 119-170.
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
ROWE, F.W.E. and J.E. DOTY 1977. The Shallow-Water Holothurians of Guam. Micronesica 13 (2) : 217-250.
SLUITER, C.R 1901. Die Holothurien der Siboga Expedition. Siboga Exped. 44: 1-142.
10
Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007