GULMA DAN TUMBUHAN INVASIF DI WILAYAH TROPIKA SERTA PENGELOLAANNYA1 M.A. Chozin2 Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor I.
GULMA DI WILAYAH TROPIKA
1.1. Batasan dan Konsep Gulma Dalam mempelajari ilmu gulma terdapat tiga istilah yang sering ditemui yaitu tumbuhan (plant), gulma (weed) dan tanaman (crop). Oleh karena itu sebelum membahas apakah itu gulma, terlebih dahulu perlu dibedakan antara tumbuhan dan tanaman. Dalam pengertian umum, tumbuhan adalah semua jenis flora atau semua jenis makluk hidup yang berhijau daun. Secara khusus, tumbuhan adalah istilah yang digunakan untuk suatu jenis tumbuhan yang belum diketahui kegunaannya. Tumbuhan yang telah diketahui kegunaaanya untuk pemenuhan kebutuhan jasmaniah manusia (makanan, pakaian, obat-obatan), pemenuhan kebutuhan rohaniah (taman, estetika, keindahan) dan untuk konservasi (tanaman penutup tanah, tanaman pelindung) disebut sebagai tanaman. Gulma merupakan istilah khusus yang digunakan untuk tumbuhan yang dianggap mengganggu, sehingga sebelum istilah gulma dibakukan, tumbuhan yang termasuk ke dalam kelompok ini disebut sebagai tumbuhan penganggu. Tumbuhan pengganggu merupakan istilah yang terdiri dari dua kata yang berarti tumbuhan yang mengganggu atau tumbuhan yang bernilai negatif. Di negara lain juga disebut dengan istilah dan pengertian yang hampir sama yaitu zassou (Jepang), mauvaise herbe (Prancis), mala herba (Spanyol) dan onkruid (Belanda). Berdasarkan istilah tersebut, dapat diduga bahwa masalah gulma mulai timbul pada saat suatu jenis tumbuhan atau sekelompok tumbuhan mulai dirasakan menganggu aktivitas manusia baik dalam pemenuhan kebutuhannya, kesenangannya atau kepentingan lainnya. Istilah gulma sebetulnya bukan merupakan istilah yang ilmiah, melainkan suatu istilah yang sederhana dan bersifat subjektif. Secara umum masyarakat mempunyai konsepsi tentang gulma yang sangat luas, dan seringkali berbeda satu dengan yang lainnya. Istilah gulma seringkali ditujukan tidak hanya terhadap tumbuhan yang bernilai negatif tetapi juga terhadap semua jenis tumbuhan yang tidak bermanfaat atau yang belum diketahui manfaatnya. Berikut ini beberapa batasan atau definisi gulma yang banyak digunakan oleh masyarakat: a. b. c. d. e. f.
1 2
Gulma adalah tumbuhan yang tidak diinginkan (undesirable plant) Gulma adalah tumbuhan yang tumbuh tidak pada tempatnya (plant out of place) Gulma adalah tumbuhan yang tidak bermanfaat Gulma adalah tumbuhan yang belum diketahui manfaatnya Gulma adalah tumbuhan yang mempunyai nilai negatif Gulma adalah tumbuhan yang mempunyai nilai negatif lebih besar dari nilai positifnya.
Materi Kuliah Pengendalian Gulma tanggal 1 Oktober 2016 Guru Besar IPB, Dosen Tamu di Fakultas Pertanian Universitas Muhamadiyah Jakarta
1
Berdasarkan batasan-batasan tersebut tampak bahwa sebutan gulma untuk suatu jenis tumbuhan bersifat sementara (temporer), bukan merupakan istilah yang tetap (permanen) baik dari dimensi waktu maupun tempat. Hal ini karena satu jenis tumbuhan dapat berstatus sebagai tanaman (crop) di suatu tempat dapat berstatus gulma di tempat lain. Demikian juga satu jenis tumbuhan yang pada saat ini dianggap sebagai gulma dapat dianggap sebagai tanaman di masa yang akan datang. Untuk dapat lebih memahami hal tersebut, berikut ini diberikan masingmasing dua contoh untuk perbedaan status karena waktu dan tempat: 1.1.1. Perbedaan dari waktu ke waktu (1) Sambung rambat (Mikania cordata (Burn F) R. L). Tumbuhan merambat ini semula diintroduksikan sebagai cover crop (tanaman penutup tanah) di perkebunan karet. Saat ini dikelompokkan sebagai gulma utama di perkebunan karet dan perkebunan lainnya karena selain sebagai kompetitor juga diduga mempunyai sifat alelopatik terhadap beberapa tanaman perkebunan. Hal ini menunjukkan bahwa status gulma untuk tumbuhan tersebut dapat berubah dari waktu ke waktu. Perubahan ini terjadi mungkin karena adanya pandangan bahwa nilai positifnya sebagai cover crop lebih kecil dibandingkan dengan dampak negatif yang ditimbulkan karena keberadaannya. (2) Eceng gondok (Eichornia crassipes Solms). Tumbuhan air ini pada awalnya didatangkan dari dari Brazil ke Indonesia untuk digunakan sebagai tanaman hias di kolam-kolam taman karena mempunyai bunga yang indah berwarna biru. Beberapa tahun kemudian tumbuhan ini telah berubah status menjadi gulma utama dan termasuk sebagai gulma air penting nomor satu di Indonesia. Pada saat ini di samping upayaupaya pengendalian terus dilakukan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan tangan dan makanan ternak. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa faktor waktu dapat merubah status eceng gondok dari tanaman hias ke gulma dan mungkin akan menjadi tanaman makanan ternak. 1.1.2. Perbedaan dari tempat ke tempat (1) Eceng gondok (Eichornia crassipes Solms). Seperti telah dikemukakan, dalam keadaan masal tumbuhan ini merupakan gulma air nomor satu di perairan terbuka seperti waduk danau dan sungai. Meskipun demikian bila tumbuhan ini ditumbuhkan di akuarium atau kolam-kolam kecil di mana populasinya selalu dikendalikan, tumbuhan ini akan mempunyai status tetap sebagai tanaman hias. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa status tumbuhan dapat berubah dari status gulma di suatu tempat menjadi tanaman di tempat lain. (2) Gonda (Spenochlea zeylanica). Di daerah Jawa Barat tumbuhan ini termasuk gulma yang sering ditemukan di daerah persawahan, dan penduduk setempat menganggapnya sebagai gulma yang perlu dikendalikan. Di tempat lain, di beberapa daerah di Bali tumbuhan ini dibudidayakan karena penduduk setempat biasa menggunakannya untuk sayuran. Untuk hal ini dapat dilihat bahwa pandangan masyarat terhadap status tumbuha dapat berbeda antar tempat. Dalam hal ini juga dapat dilihat bahwa pandangan masyarakat terhadap status tumbuhan dapat berbeda karena faktor pengetahuan, pengalaman dan latar belakang budaya mereka.
2
Memperhatikan berbagai jenis definisi/batasan yang telah dikemukakan beserta penerapannya di lapangan, terlihat jelas bahwa semua definisi tersebut bersifat “antroposentris” yang berfokus pada fungsi dan manfaat tumbuhan bagi manusia. Definisi yang bersifat subjektif tersebut sangat dipengaruhi oleh orang yang melihatnya, bukan berdasarkan sifat-sifat morfologi, bentuk hidup, habitat atau karakter biologis lainnya. Banyak pakar ekologi cenderung memandang gulma sebagai tumbuhan yang mempunyai kemampuan untuk beradaptasi terhadap lingkungan yang telah mengalami gangguan manusia (disturbed habitat) dan menguasai habitat tersebut. Berdasarkan karakter ekologisnya Harper (1944) mendefinisikan gulma adalah tumbuhan yang tumbuh dengan sendirinya pada suatu habitat yang diusahakan manusia. Pakar lain membuat definisi yang hampir sama dengan lebih sederhana, ia mendefinisikan gulma sebagai tumbuhan pioner pada suksesi sekunder, terutama pada lahan-lahan pertanian. Dengan kemampuannya untuk beradaptasi pada pada lingkungan yang sudah ada campur tangan manusia, maka gulma akan ditemukan tumbuh bersama tanaman di lahan budidaya, di pekarangan, di sawah, di kolam, di tempat rekreasi dan tempat-tempat lainnya yang ada kegiatan manusia. Oleh karena itu, kemudian gulma dianggap merugikan atau mengangganggu aktivitas manusia khususnya dalam kegiatan budidaya tanaman. 1.2. Gangguan Gulma Telah dikemukakan bahwa gulma adalah tumbuhan yang menimbulkan gangguan terhadap aktivitas manusia. Kerugian atau gangguan yang ditimbulkan tidak hanya di bidang pertanian, tetapi juga di hampir semua bidang kehidupan manusia. 1.2.1. Bidang Pertanian Kerugian utama akibat gulma di bidang pertanian adalah penurunan produksi tanaman. Penurunan produksi tersebut diduga terutama karena adanya kompetisi gulma dengan tanaman dalam menggunakan sumberdaya yang relatif terbatas seperti air tanah, cahaya matahari unsur hara dan ruang tumbuh yang menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman terhambat. Besarnya penurunan produksi tanaman sangat tergantung kepada beberapa faktor, antara lain varietas tanaman, jenis dan kesuburan tanah, jenis dan populasi gulma serta teknik budidaya yang diterapkan. Di Indonesia penurunan produksi tanaman akibat gulma secara ratarata diperkirakan mencapai 10 – 20%. Gulma juga dapat menurunkan kualitas hasil tanaman akibat tercampurnya hasil tanaman dengan biji-biji gulma pada saat panen atau pada saat pengolahan hasil. Sebagai contoh biji gulma Ambrosia sp., Brassica sp., dan Agrostemma sp bila tercampur pada saat pengolahan gandum akan menyebabkan bau dan rasa tepung tidak enak dan tidak disukai konsumen sehingga harganya turun. Gulma juga menyebabkan kesulitan dalam praktek budidaya, seperti dalam pengolahan tanah, penyiangan, dan pemanenan yang menyebabkan peningkatan biaya produksi. Gulma pada saluran irigasi menghambat aliran air sehingga pemberian air ke sawah terhambat. Gulma dapat menjadi inang bagi hama atau patogen penyakit. Gulma harendong (Melastoma sp.) menjadi inang hama teh Helopeltis antonii, gulma jajagoan (E. crusgalli) menjadi inang penggerek padi (Tryphoriza innotata), gulma babadotan (Ageratum conyzoides) menjadi inang hama lalat bibit kedelai (Agromyza sp.), gulma Eupathorium adenophorum menjadi inang 3
penyakit pseudomozaik virus pada tembakau Deli, gulma ceplukan (Physalis angulata) menjadi inang penyakit virus pada kentang. Selain sebagai inang bagi hama dan penyakit, gulma juga dapat menjadi parasit bagi tanaman budidaya. Sebagai contoh, gulma rumput setan (Striga asiatica) dapat menjadi parasit pada tanaman jagung dan padi ladang, gulma Orobanche spp. pada padi, jagung, tebu, gandum, dan tembakau. Gulma juga dapat menimbulkan alelopati pada tanaman yang menyebabkan penurunan pertumbuhan tanaman. 1.2.2. Bidang Peternakan Pada bidang peternakan, gulma menyebabkan penurunan produksi pakan ternak akibat adanya kompetisi ataupun alelopati gulma yang menyebabkan mutu hasil ternak menurun. Sebagai contoh, gulma Allium sp., Hymenoxys odorata dan Ambrosia trifida bila termakan sapi perah akan menyebabkan susu yang dihasilkan berbau tidak enak dan mutu wol juga menurun. Terdapat spesies gulma tertentu beracun dan menyebabkan kematian pada ternak. Gulma kirinyuh (Eupathorium sp.) di Flores dilaporkan dapat mematikan sapi. 1.2.3. Bidang Perikanan Pada bidang perikanan, gulma dapat menyebabkan beberapa kerugian. Gulma air mempercepat hilangnya air (evapotranspirasi). Gulma Salvinia molesta menyebabkan evapotranspirasi yang lebih besar dibandingkan dengan tanpa gulma Salvinia molesta. Gulma Eichhornia crassipes juga menyebabkan evapotranspirasi lebih besar, yaitu 3-5 kali dibandingkan dengan tanpa E. crassipes. Adanya gulma di perairan juga menyebabkan menurunnya kapasitas waduk atau danau karena massa gulma air. Gulma di permukaan air juga dapat menghambat penetrasi cahaya matahari sehingga menyebabkan menurunnya pertumbuhan algae dan plankton yang berakibat menurunnya produksi ikan. Gulma yang tumbuh lebat di dalam perariran menyebabkan penurunan kadar oksigen sehingga menyebabkan pertumbuhan ikan terganggu. Pada kegiatan penangkapan ikan, gulma yang hidup di permukaan maupun di dalam air dapat menyulitkan penangkapan ikan. 1.2.4.
Bidang Lain
Keberadaan gulma dapat menyebabkan kerugian pada beberapa bidang lainnya. Gulma menyebabkan hambatan pada bidang transportasi dan rekreasi sungai, waduk, dan danau. Gulma yang tumbuh di taman pekarangan menyebabkan penurunan nilai estetika taman. Biaya pemeliharaan taman, lapangan golf, pekarangan, rel kereta api meningkat dengan adanya gulma. Gulma tertentu mengganggu kesehatan manusia, seperti serbuk sari gulma Artemisia vulgaris menyebabkan selesma, serbuk sari gulma Cynodon dactylon, Cyperus rotundus, Eleusine indica, dan Mimosa pudica menimbulkan alergi 1.3. Penggolongan Gulma 1.3.1. Berdasarkan Habitat (ekologi) Berdasarkan habitatnya, gulma digolongkan menjadi dua yaitu gulma obligat dan fakultatif. Gulma obligat yaitu gulma yang hidup pada tempat yang sudah ada campur tangan manusia, seperti pada daerah pemukiman dan pertanian. Sebagai contoh, gulma babadotan 4
(Ageratum conyzoides) dan gulma ceplukan (Physalis angulata) hidup pada habitat pertanian. Gulma fakultatif adalah gulma yang hidup pada tempat yang sudah ataupun belum ada campur tangan manusia. Sebagai contoh, gulma bawang liar (Allium sp.), pakis-pakisan (Ceratoptoris sp.dan Nephrolepsis sp.) 1.3.2. Berdasarkan Sifat Hidup (umur) Berdasarkan sifat atau umur hidupnya, gulma digolongkan menjadi gulma semusim (annual), gulma tahunan (perennial), dan gulma dwitahunan (biannual). Gulma tahunan adalah gulma yang dapat hidup lebih dari satu tahun hingga beberapa tahun (perennial). Beberapa contoh gulma perennial adalah Chromolaena odorata, Lantana camara dan Imperata cylindrica. Gulma dwitahunan adalah gulma yang memiliki siklus hidup dua tahun, umumnya terdapat di daerah temperate, contoh: Cyperus iria. 1.3.3.
Berdasarkan Daerah Asal
Berdasarkan daerah asal, gulma dibedakan menjadi gulma domestik dan gulma eksotik. Gulma domestik adalah gulma asli di suatu tempat/daerah, contohnya gulma alang-alang (Imperata cylindrica) di Indonesia. Gulma eksotik yaitu gulma yang berasal dari daerah (negara) lain, contohnya gulma eceng gondok (Eichhornia crassipes) dan gulma kiambang (Salvinia molesta) berasal dari negara lain. 1.3.4. Berdasarkan Kesamaan Respon terhadap Herbisida Berdasarkan kesamaan respon terhadap herbisida, gulma dibedakan menjadi tiga golongan yaitu gulma rumput-rumputan (grasses), gulma berdaun lebar (broadleaves), dan gulma teki (sedges). Gulma rumputan atau disebut sebagai gulma berdaun pita merupakan gulma dari kelompok graminae yang memiliki ciri-ciri tulang daun sejajar tulang daun utama, panjang dan lebar daun jelas berbeda. Contoh gulma golongan rumput antara lain Cynodon dactylon, Axonopus compressus, Paspalum conjugatum, dan masih banyak lagi. Gulma golongan teki merupakan gulma dari famili Cyperaceae dengan ciri utama penampang batangnya segitiga. Gulma berdaun lebar sebagian besar merupakan dikotil tetapi ada beberapa golongan monokotil, seperti eceng gondok dan lidah buaya. 1.3.5. Berdasarkan Tempat Tumbuh Berdasarkan tempat tumbuhnya, gulma digolongkan menjadi gulma darat (terestrial) dan gulma air (aquatic). Gulma terrestrial adalah gulma yang tumbuh di daratan, seperti Cyperus rotundus. Gulma aquatic adalah gulma yang tumbuh di air/perairan, seperti eceng gondok (Eichornia crassipes), kayu apu (Pistia stratiotes). 1.3.6. Berdasarkan Sifat Gangguannya (Kompetisinya) Berdasarkan sifat gangguannya, gulma digolongkan menjadi gulma biasa (common weed) dan gulma ganas (noxious weed). Gulma biasa (common weed) adalah gulma yang menyebabkan gangguan kurang nyata pada tanaman budidaya, gulma yang gangguannya lebih rendah lagi digolongkan sebagai gulma lunak (soft weed). Gulma ganas (noxious weed) adalah golongan gulma yang gangguannya nyata. Beberapa ciri gulma ganas antara lain : a) Menimbulkan kemerosotan hasil secara nyata. Sebagai contoh, Scirpus supinus dengan populasi 200/m2 belum menurunkan hasil tanaman 5
padi. Scirpus maritimus dengan populasi 20/m2 telah menurunkan hasil padi secara nyata; b) cara perbanyakan vegetatif dan ataupun generatif berlangsung cepat; c) laju pertumbuhan vegetatif sangat tinggi; d) propagula (alat perkembangbiakannya) mempunyai dormansi yang ekstrim; e) mampu bertahan terhadap keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan. Beberapa spesies gulma dapat bermodifikasi tertentu sesuai dengan keadaan lingkungan yang dihadapinya. Contoh gulma Paspalum vaginatum pada air tawar habitusnya besar, pada air asin atau keadaan kekurangan air habitusnya kecil. Gulma Portulaca sp. pada musim hujan daunnya besar, pada musim kering daunnya kecil. Dengan adanya berbagai sifat tersebut pada umumnya gulma ganas sukar dikendalikan. 1.3.7. Berdasarkan Jenis/Kelompok Tanaman Budidaya Dimana Gulma Berasosiasi Berdasarkan jenis tanaman budidaya yang menjadi tempat tumbuhnya, gulma digolongkan menjadi gulma tanaman pangan, gulma tanaman perkebunan, dan gulma tanaman padi sawah. Namun, penggolongan ini kurang jelas karena beberapa jenis gulma dapat berasosiasi dengan beberapa jenis tanaman. Sebagai salah satu contoh Borreria alata, dijumpai pada lahan tanaman perkebunan, tetapi juga dijumpai pada lahan tanaman pangan. 1.3.8. Berdasarkan Kondisi (sifat) Lahan Tempat Tumbuh Berdasarkan sifat lahan tempat tempat tumbuhnya, gulma dapat digolongkan menjadi gulma pada pH tinggi atau pH rendah, gulma pada tanah berlengas tinggi atau rendah, gulma yang tahan pada kadar garam tinggi, dan gulma yang tumbuh baik pada tempat terlindung cahaya atau sebaliknya. Sebagai contoh, gulma Imperata cylindrica mampu tumbuh dengan baik pada tanah sangat masam selama kondisi cahaya terbuka penuh. Gulma harendong (Melastoma malabathricum) merupakan indikator gulma di tanah masam. Gulma dari golongan pakis akan tumbuh subur pada areal yang lembab dan ternaungi. Seringkali gulma golongan pakis ini mendominasi areal perkebunan yang telah menghasilkan, karena kondisi ekologinya yang cocok. 1.4. Sifat Umum Gulma Dibandingkan dengan Tanaman Gulma memiliki sifat umum yang dapat membedakan dengan tanaman budidaya antara lain, adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan terganggu, jumlah biji yang dihasilkan banyak sekali, daya kompetisi tinggi, dormansi biji lama sekali, kesanggupan bertahan hidup pada keadaan lingkungan tumbuh yang tidak menguntungkan lebih besar, sanggup menyebar luas/berkembang biak secara vegetatif disamping pembiakan generatif. Dengan sifat-sifat tersebut, maka gulma sering mendapat julukan The Strong Competitor, The Exellent Travellers/The Silent Travellers, One Year of Seed Gives Seven Years of Weeds.
1.5. Beberapa Manfaat / Kegunaan Gulma Tuhan menciptakan segala sesuatu diyakini pasti mempunyai fungsi dan manfaat atau nilai positif. Gulma, yang dikelompokkan sebagai tumbuhan yang mengganggu dan merugikan, dalam beberapa hal diketahui memberikan manfaat bagi manusia. Beberapa manfaat yang diperoleh dari tumbuhan gulma antara lain sebagai bahan penutup tanah dalam bentuk mulsa yang kemudian akan meningkatkan bahan organik setelah melapuk, mengurangi 6
atau mencegah bahaya erosi, sebagai bahan makanan ternak, sebagai penghasil bahan bakar (biogas, arang), sebagai bahan baku industri/kerajinan (kertas, anyaman), sebagai media tumbuh jamur merang (gulma air), dan sebagai bahan obat-obatan a. Gulma mempunyai peran penting dalam ekosistem pertanian. Dalam ekositem pertanian, seluruh komponen yang terdiri atas petani, sapi, ayam, atau kerbau peliharaannya, serta komponenen lainnya baik biotik maupun abiotik saling berinteraksi satu sama lain secara terus menerus. Gangguan terhadap salah satu komponen akan menganggu keseimbangan ekosistem tersebut. Pengendalian gulma yang kurang tepat atau penggunaan herbisida yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya gangguan terhadap keseimbangan ekosistem dan dapat merugikan usaha pertanian. b. Gulma dapat menyuburkan tanah. Pada dasarnya setiap jenis tumbuhan mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menyerap unsur hara dari dalam tanah. Di lahan pertanian, keberadaan gulma tidak hanya memberikan pengaruh negatif karena berkompetisi dengan tanaman atau karena sifat alelopatinya, tetapi gulma juga mempunyai peran penting dalam menjaga kesuburan dan menyeimbangkan perbandingan unsur hara di dalam tanah. Beberapa jenis gulma yang mempunyai perakaran dalam sampai beberapa meter dapat berfungsi sebagai pompa yang dapat membawa unsur hara dari lapisan yang dalam ke permukaan tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman yang berakar dangkal. Keberadaan gulma juga dapat membuat lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan jasad renik. Pengaruh positif yang tiadak boleh dilupakan adalah fungsi dan perannya dalam perlindungan tanah dari bahaya erosi, khususnya daerah-daerah miring dengan curah hujan yang tinggi. Menurut Idjudin (2011) kombinasi antara pembuatan teras dengan penanaman penguat teras seperti rumput dan legume dapat dijadikan cara untuk pengendalian erosi. Selain itu, pengendalian erosi dengan menggunakan rumput dan legume sangat efektif untuk dataran rendah atau tinggi meliputi kemiringan 15%-25% dengan kedalaman solum mencapai 40 – 90 cm (Deptan, 2006). c. Gulma dapat mengurangi menurunkan populasi dan intensitas serangan hama. Beberapa jenis hama lebih menyukai gulma dibandingkan dengan tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Dengan perkataan lain hama tersebut akan menyerang tanaman, bila tidak ada gulma. Selain itu gulma dapat menjadi inang pemangsa jasad pengganggu (hama) tanaman, sehingga keberadaan gulma dapat mengurangi populasi dan intensitas serangan hama tanaman. Di India dan Kenya penggunaan trap crop untuk menghalau hama Plutella xylostella pada tanaman brokoli berdampak positif terhadap serangan hama dan penyaki. Trap crop yang biasanya digunakan adalah gulma dari golongan Brassica sp. (Bendenes-perez and Shelton, 2006) d. Gulma mempunyai peran penting dalam program pemuliaan tanaman. Banyak tanaman budidaya penting di dunia berasal dari gulma atau tumbuhan liar. Tanaman rye dan oat yang banyak dibudidayakan di Timur Tengah dan Eropa Barat berasal dari gulma pada tanaman barley dan gandum. Demikian juga tanaman bayam, squash dan Jagung, semula merupakan gulma pada tanaman singkong dan ubi jalar di 7
Amerika Tengah (1986). Di Indonesia, saat ini banyak gulma yang diteliti sebagai sumber bahan dan pakan baru ataupun sebagai sumber bahan simplisia obat. Gulma Phyllanthus niruri (meniran merah) dan Phyllanthus urinaria (meniran merah) ternyata memiliki kandungan filantin dan hipofilantin yang berguna untuk penyembuhan penyakit saluran uretra dan pencernaan mulai dibudidayakan untuk menghasilkan bahan simplisia (Oktavidiati, et al. 2011). e. Gulma digunakan sebagai sumber plasma nutfah untuk perbaikan genetik tanaman. Tanaman gandum yang toleran terhadap hama, penyakit dan cekaman lingkungan diperoleh dari persilangan Triticum dicocum (tanaman budidaya) dengan Triticum taushii (tumbuhan liar) (Plucknett dan Smith, 1986). Dengan kemajuan bioteknologi kemungkinan pemanfaatan gulma dalam program pemuliaan tanaman semakin besar. Saat ini para peneliti di Departemen Agronomi dan hortikultura, Institut Pertanian Bogor sedang mencoba memindahkan gen dari gulma Melastoma malabhatricum (harendong) yang sangat toleran masam ke tanaman budidaya, untuk memperoleh tanaman yang mampu beradaptasi pada tanah-tanah masam yang sangat banyak tersebar di Indonesia 1.6. Masalah Gulma di Wilayah Tropika 1.6.1. Potensi Wilayah Tropika 1.6.1.1. Letak Geografis Secara geografis Indonesia sebgai wilayah tropika terletak antara 95” BT sampai 141”B, dan 6” sampai 11” LS dengan lebar dari utara sampai selatan sekitar 2000 km, dan panjang timur sampai barat sekitar 5000 km. Keragaman suhu di bawah 500 m berkisar antara 3 – 4 “. Permukaan laut memiliki suhu maksimum berkisar antara 30 – 34”C dan suhu minimum antara 20 – 25”C. Pada ketinggian 500 m dpl suhu maksimum antara 27 – 31”C dan suhu minimum 17 – 22”C. Diatas ketinggiann 500 m dpl, suhu maksimum dan minimum akan menurun sebesar 6.01”C dan 5.33”C setiap peningkata 1000 meter. Kelembaban relatif pada umumnya tinggi dan seragam berkisar 80%, kecuali pada daerah kering di Nusa Tenggara Timur yang berbatasan dengan Timor Leste yang tingkat kelembabannya lebih rendah (60 – 65%) pada Juni – September. 1.6.1.2. Cahaya Matahari Sepanjang Tahun Wilayah tropika meliputi wilayah katulistiwa dengan wilayah ke utara dan ke selatan sampai sekitar garis balik lintang 23.5”. Wilayah tropika di dunia diperkiarakan seluas 40% permukaan bumi. Tidak semua wilayah yang terletak antara lintang tropika tersebut beriklim tropika, karena ketinggian tempat akan berpengaruh terhadap iklim setempat. Meskipun terletak antara lintang tropika, iklim di wilayah pegunungan akan mendekati iklim sub-tropika. Iklim tropika memiliki ciri intensitas radiasi surya, suhu dan kelembaban yang tinggi sepanjang tahun. Suhu rata-rata tahunan terendah di wilayah beriklim tropika adalah 18”C. Wilayah tropika ditandai dengan intensitas cahaya matahari yang tinggi yang bersifat konstan sepanjang tahun. Hal ini terjadi karena pancaran radiasi sinar matahari yang tegak lurus pada permukaan bumi. Keadaan demikian menyebabkan paparan cahaya pada permukaan tanah lebih merata dan suhu cukup tinggi pada hampir semua daerah. Meskipun demikian, 8
tingginya curah hujan dan keawanan juga berpengaruh terhadap tingkat intensitas sinar matahari aktual yang sampai ke permukaan bumi. Akibatnya, radiasi sinar matahari akan menurun seiring dengan ketinggian tempat. 1.6.1.3. Suhu Konstan Sepanjang Tahun Di wilayah tropika rata-rata suhu di dataran rendah lebih tinggi dibandingkan dengan di dataran tinggi. Secara linier makin tinggi suatu tempat, makin rendah suhunya. Tabel 2 menunjukkan rata-rata penurunan suhun setiap kenaikan 100 m adalah 0.6°C. Meskipun demikian, terdapat perkecualian untuk beberapa wilayah. Tabel 2. Perubahan Suhu Berdasarkan Perubahan Ketinggian Tempat Keterangan Zona panas Zona sedang Zona sejuk Zona dingin Zona salju tropis Sumber : Junghuhn (1853)
Ketinggian 0-600 dpl 600-1500 dpl 1500-2500 dpl 2500-4000 dpl >4000 dpl
Suhu 26.3o C – 22.0o C 22.0o C – 17.1o C 17.1o C – 11.1o C 11.1o C – 6.2o C <6.2o C
1.6.1.4. Distribusi Curah Hujan Secara Spasial dan Temporal Berdasarkan curah hujan Koppen membagi iklim tropika menjadi tiga kelompok besar, yaitu: tipe iklim tropika basah (Af), tipe iklim tropika basah dan kering (Am, Aw, Bs), dan iklim gurun tropika (Bw). Untuk Indonesia, tipe iklim Af, Am, Aw dan BS sangat relevan untuk menggambarkan lahan yang potensial untuk pertanian. Tipe iklim tropika basah berada pada lintasan ITCZ (Inter Tropical Convergen Zone) yang mendapatkan curah hujan tinggi dengan rata-rata tahunan sebesar >2000 mm. ITCZ merupakan wilayah yang mrngalami pemanasan lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya sehingga mempunyai tekanan udara yang rendah yang mendorong turunnya hujan. Secara umum di wilayah tropika Indonesia, mempunyai dua musim, yaitu: musim kemarau, pada saat suhu meningkat dengan kerapatan fluxs radiasi surya tinggi, dan musim hujan, pada saat terjadinya keawanan yang tinggi dan radiasi surya rendah yang menyebabkan suhu rendah. Pola umum curah hujan di Indonesia ditentukan oleh zone tekanan rendah ITCZ, yang dalam musim kemarau berada di sebelah utara Indonesia dan pada puncak musim penghujan di sebelah selatan Indonesia. Selama bulan Desember (musim penghujan) angin bergerak dari utara (Siberia) dan timur laut (Pasifik Utara) ke arah ITCZ melalui Indonesia membawa udara lembab. Selama bulan Agustus (musim kemarau) angin kering dan sejuk bergerak dari daerah tekanan udara tinggi di benua Australia dan mengakibatkan musim kering di sebagian besar wilayah Indonesia. Pantai barat Sumatera sebelah utara dipengaruhi oleh daerah tekanan udara tinggi di atas Samudera Hindia. Penentu curah hujan lain di Indonesia adalah barisan pegunungan yang terdapat di Sumatera, Jawa, Sulawesi dan Papua. Karena ada modifikasi tersebut, maka terjadilah pola hujan yang berlawanan seperti di Maros dan Sinjai (Sulawesi Selatan) dan pola curah hujan bimodal seperti yang terjadi di Banyumas, Lahat dan Pontianak. 9
Sekitar 94% dari wilayah di Indonesia menerima curah hujan lebih dari 1500 mm/tahun. Ini berarti jumlah curah hujan yang lebih besar dari laju evapotranspirasi aktual yang mencapai sekitar 1400 mm/tahun. Berdasarkan ketersediaan air, keadaan ini berarti memungkinkan dilaksanakannya kegiatan pertanian sepanjang tahun di seluruh Indonesia (Tabel 3). Demikian juga keadaan ini menunjukkan gulma dapat hidup sepanjang tahun. Tabel 3. Areal yang Menerima Curah Hujan Berbeda di Indonesia No 1 2
Jumlah Curah hujan <1000 mm/th 1000-2000 mm/th
3
2000-3000 mm/th
4
>3000 mm/th
Wilayah Nusa Tenggara, Sulawesi (Palu dan Luwuk) sebagian Nusa Tenggara, Merauke, Kepulauan Aru, Tanibar Sumatera Timur, Kalimantan Selatan, Kalimatan Timur, Jawa Barat (sebgaian besar), Jawa Tengah, Irian Jaya, Kepulauan Maluku, dan Sulawesi (sebagian besar) Dataran tinggi Sumatera Barat, Kalimatan Tengah, Dataran tinggi Irian bagian Tengah, sebagian Jawa, Bali, Lombok, dan Sumba
Hujan terbanyak di Indonesia terdapat di Baturaden Jawa Tengah, yaitu curah hujan mencapai 7,069 mm/tahun. Hujan paling sedikit di Palu Sulawesi Tengah, merupakan daerah yang paling kering dengan curah hujan sekitar 547 mm/tahun. Pulau-pulau di Nusa Tenggara, pada umumnya beriklim kering dengan curah hujan 1000 – 2000mm/tahun. Sebagian besar wilayah Flores, Sumba, Sumbawa dan Lombok mempunyai curah hujan 1000 – 3000 mm, dan curah hujan kurang dari 1000 mm terjadi di sekitar pantai, sedangkan didaerah pegunungan menerima curah hujan lebih dari 4000 mm/tahun 1.6.2. Tantangan Pertanian Tropika 1.6.2.1. Keragaman biodiversitas tinggi Sebagai salah satu negara di wilayah tropika, Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki plasma nutfah tertinggi di dunia setelah Brazil. Karena agroklimat yang mendukung, tumbuhan, hewan, mikroorganisme pada umumnya dapat berkembang dengan baik sepanjang tahun. Dari sudut pandang agronomi, lingkungan di wilayah tropika memungkinkan kegiatan penanaman sepanjang tahun. Secara lebih mendasar, dari sudut pandang biologi, tekanan abiotik yang tinggi di wilayah tropika akan mendorong terjadinya keragaman genetik yang tinggi dari tumbuhan asli maupun tanaman introduksi termasuk gulma. Keragaman genetik dari spesies gulma (Yakup, 1998, Guntoro 2011). Driving force berupa tekanan abiotik akan merupakan faktor pendorong keragaman plasma nutfah dan sumber keragaman genetik tanaman pertanian. 1.6.2.2. Cahaya matahari tidak terbatas Seperti telah dikemukakan, penyinaran di wilayah tropika relatif tetap ada sepanjang tahun. Sinar matahari yang selalu ada dengan intensitas yang tinggi memungkinkan proses fotosintesis menjadi kurang efektif karena proses respirasi juga relatif tinggi. 10
1.6.2.3. Variasi Jenis Lahan Lahan pertanian yang tersedia di wilayah tropika dapat dikelompokkan menjadi lahan kering dan lahan basah (termasuk rawa). Sistem pertanian yang dilakukan di lahan kering sangat tergantung dari ketersediaan air hujan. Meskipun demikian, kondisi tersebut dapat dimanfaatkan untuk merancang sistem produksi pertanian yang stabil di tingkat nasional, bila data perwilayahan (spasial) tersedia dan dimanfaatkan. Pada umumnya tanah-tanah yang terbentuk di wilayah beriklim tropika adalah masam, mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB) rendah, P, Ca, Mg rendah, dan sering diikuti oleh konsentrasi Al, Mn dan Fe tinggi hingga berpotensi meracuni tanaman. Kesuburan tanah relatif tinggi pada tanah-tanah vulkanik muda, alluvial, dan tanah yang terbentuk di daerah beriklim lebih kering. Tanah di daerah rawa khususnya bagian bawah secara periodik tergenang atau tidak pernah kering. Bahan tanah yang tergenang tersebut terdiri atas mineral endapan yang berasal dari tempat-tempat yang letaknya lebih tinggi dan gambut yang berakumulasi dari vegetasi mati yang tidak terdekomposisi secara sempurna. Berdasarkan tingkat pelapukan dan kandungan mineralnya dikenal gambut mentah (oligotropik), gambut matang (mesotropik) dan tanah bergambut (eutropik). Gambut tipis yaitu bila ketebalannya kurang dari 1 meter, dapat digunakan untuk usaha pertanian. Gambut oligotropik mempunyai kandungan hara tersedia yang rendah dan terakumulasi terutama pada lapisan atasnya. Asam-asam organik yang berlebihan dan senyawa sulfat di daerah pantai juga merupakan kendala lain bagi usaha pertanian (Rumawas, 1984) 1.6.2.4. Gangguan Cuaca Siklon tropika adalah sistem angin pusaran yang melanda wilayah pusat tekanan rendah atmosfer di antara lintang 23.5°LU – 23.5°LS. Badai topan biasanya berdiameter 650 km, bahkan di Laut Cina diperkirakan ukurannya lebih besar. Tekanan permukaan di pusat badai biasanya 950 mb, dan dalam keadaan luar biasa bisa mencapai 050 mb. Gangguan cuaca lainnya adalah adanya el Nino dan la Nina. Dua macam gangguan ini terjadi di wilayah tropika, tepatnya di lautan Pasifik Tengah hingga Timur sebagai pusat terbentuknya. Akibat gangguan cuaca ini 1982/1983 terjadi kekeringan yang juga melanda Indonesia. Mekanisme pembentukan la Nina merupakan kebalikan dari pembentukan el Nino. Udara yang sarat dengan uap air akan mengembun di wilayah Indonesia dalam perjalanannya menuju Samudera Hindia. Pada peristiwa bulan Desember 1988 – Januari 1989, karena wilayah Indonesia terdiri dari banyak pulau, maka arus masa udara yang menuju Samudera Hindia tersebut membentuk osilasi (gelombang udara). Keadaan ini merangsang pempentukan awan di beberapa daerah di Indonesia yang kemudian meningkatkan curah hujan. Akibatnya terjadi banjir di beberapa kota di Jawa seperti Semarang, Pekalongan, Indramayu, Bekasi dan Jakarta (Handoko, 1993) 1.6.2.5. Dinamika Organisme Pengganggu Tanaman Komposisi biologis daerah tropika umumnya terdiri dari spesies tumbuh-tumbuhan alami (asli) maupun introduksi yang sangat banyak dan beragam. Iklim tropika yang panas dan lembab sepanjang tahun memungkinkan terdapatnya produktivitas tanaman yang tinggi. Di sisi 11
lain, pada kondisi tersebut organisme pengganggu seperti hama, penyakit dan gulma juga berkembang pesat, dan menimbulkan masalah yang besar. Penyakit virus, bakteri,cendawan dan sebagainya dan berbagai bentuk hama besar dan kecil merupakan masalah-masalah besar pada pertanian di wilayah tropika. Khususnya pada pertanian lahan kering, gulma merupakan masalah yang berat. Seperti telah dikemukakan, wilayah tropika termasuk Indonesia memiliki keragaman jenis tanah dan iklim serta keragaman biodiversitas yang tinggi. Dengan demikian kegiatan pertanian harus menyesuaikan terhap kondisi iklim dan tanah tersebut, dan mengahasilkan ekosistem pertanian yang sangat beragam. Berdasarkan kondisi air, secara garis besar terdapat dua kelompok sistem pertanian di Indonesia, yaitu sistem pertanian lahan basah dan sistem pertanian lahan kering. Kedua sistem pertanimempunyai masalah gulma yang berbeda. Secara lebih rinci, masalah gulma di wilayah tropika Indonesia menjadi masalah dalam berbagai ekosistem sebagai berikut: Gulma pada pertanian lahan basah (sawah, rawa) Gulma pada pertanian lahan kering tanaman semusim Gulma pada pertanian lahan kering tanaman tahunan Gulma pada kehutanan/hutan tanaman industri Gulma pada pertanian tanaman makanan ternak dan padang pengembalaan Gulma pada perikanan dan perairan terbuka 1.7. Pengaruh Gulma terhadap Pertumbuhan dan Produksi Sejak manusia mengusahakan pertanian, gulma yang berinteraksi langsung dengan kualitas panen telah menjadi masalah. Gulma menyebabkan gangguan pada tanaman budidaya dan menyebabkan kerugian seperti halnya hama dan penyakit, namun gejala gangguan akibat gulma tidak jelas dan spektakuler seperti serangan hama dan penyakit. Gulma mendapat perhatian lebih besar di bidang fisiologi tumbuhan, terutama sejak ditemukannya 2,4-D (asam 2,4-diklorofenoksiasetat) pada tahun 1940-an sebagai herbisida. Sejak tahun 1980, gulma diletakkan sejajar dengan hama dan penyakit sebagai organisme pengganggu tanaman. Menurut Sastroutomo (1990) gulma dapat mengganggu dan menurunkan produksi tanaman dengan tiga cara : 1. kompetisi atau alelospoli, yaitu persaingan terhadap satu atau lebih sumberdaya yang terbatas jumlahnya seperti cahaya, hara, dan air 2. alelopati, yaitu gangguan yang disebabkan oleh senyawa kimia yang dihasilkan oleh gulma baik sewaktu hidup atau setelah mati (bagian-bagian yang busuk) yang mempengaruhi pertumbuhan jenis-jenis lain yang tumbuh di dekatnya 3. alelomediasi yaitu sebagai perantara timbulnya sumber-sumber pengganggu lainnya yang berpengaruh terhadap faktor-faktor fisik maupun faktor biologis lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi seperti jenis-jenis yang bertindak sebagai inang hama penyakit . Kompetisi dan alelopati merupakan fenomena yang lebih banyak ditemukan dalam hubungan antara gulma dan tanaman. Perbedaan antara kompetisi dan alelopati yaitu pada kompetisi terjadi pengambilan dan pengurangan satu atau lebih faktor tumbuh (air, cahaya, hara) dari lingkungan, sedangkan pada alelopati terjadi penambahan senyawa yang dikeluarkan 12
ke lingkungan. Pada kenyataannya dalam suatu ekosistem, fenomena alelopati dan kompetisi sangat sulit dibedakan satu sama lain sehingga dikenal istilah interferensi yang mencakup batasan keduanya (Rice, 1995; Qasem dan Foy, 2001). 1.7.1. Kerugian akibat kompetisi gulma Menurut Odum (1971) kompetisi adalah hubungan interaksi dua individu tumbuhan baik yang sesama jenis maupun berlainan jenis yang dapat menimbulkan pengaruh negatif bagi keduanya sebagai akibat dari pemanfaatan sumberdaya yang ada dalam keadaan terbatas secara bersama. Kompetisi yang biasa terjadi di alam meliputi kompetisi intraspesifik yaitu interaksi negatif antar sesama jenis, misalnya antara kedelai dengan kedelai, dan kompetisi interspesifik yaitu interaksi negatif yang terjadi pada tumbuhan berbeda jenis, misalnya antara kedelai dengan gulma teki. Kompetisi gulma dapat menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas hasil panen. Penurunan kuantitas hasil panen terjadi melalui dua cara yaitu pengurangan jumlah hasil yang dapat dipanen, dan penurunan jumlah individu tanaman yang dipanen. Besarnya penurunan hasil panen sangat bervariasi tergantung dari jenis tanaman, jenis gulma, dan faktor-faktor pertumbuhan yang mempengaruhinya. Penurunan kualitas hasil akibat kompetisi gulma terjadi karena tercampurnya biji gulma dengan hasil panen dan adanya gulma yang mempengaruhi pemanenan seperti gulma merambat atau gulma berkayu. Harga hasil panen menurun akibat tercampur dengan biji gulma. Besarnya daya kompetisi gulma tergantung pada beberapa faktor antara lain jumlah individu gulma dan berat gulma, siklus hidup gulma, periode adanya gulma pada pertanaman, dan jenis gulma. 1.7.1.1. Pengaruh jumlah individu dan berat gulma.
Jumlah individu gulma, meskipun bukan ukuran yang tepat bagi kompetisi, menentukan daya kompetisi gulma dengan tanaman. Berat gulma merupakan ukuran yang lebih baik dibandingkan dengan jumlah individu karena lebih tepat dalam menggambarkan jumlah sumberdaya yang dapat diserap oleh gulma sehingga tidak dapat dimanfaatkan lagi oleh tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gulma Echinochloa crus-galli dengan kepadatan 1 individu per 0.1 m2 dapat menurunkan produksi padi sebesar 57%. Gulma dengan berat 1 kg dapat menurunkan hasil panen kedelai 0.16-0.65 kg/ha (Sastroutomo, 1990). 1.7.1.2.Pengaruh perbedaan siklus hidup. Siklus hidup yang singkat pada sebagian besar gulma semusim merupakan salah satu faktor yang menentukan daya kompetisi gulma terhadap tanaman. Sebagian besar gulma semusim mempunyai daya kompetisi yang lebih rendah dibandingkan dengan tanaman budidaya, namun dapat menurunkan hasil panen karena populasinya yang tinggi. Jenis gulma dengan siklus hidup singkat dapat mengakibatkan penurunan hasil panen pada tanaman jagung. Gulma jenis ini menghasilkan 15 - 18% dari seluruh berat totalnya hanya dalam waktu 2 – 3 minggu setelah berkecambah, sedangkan pada jagung dalam waktu yang sama hanya menghasilkan 1% dari seluruh total berat keringnya (Mahfudz et al., 2002). 1.7.1.3.Pengaruh jenis gulma. Gulma berdaun lebar cenderung dapat menurunkan hasil panen yang lebih besar dibandingkan dengan gulma rerumputan atau sejenisnya. Hampir semua jenis rerumputan 13
adalah jenis C4, maka pengaruh kompetisinya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan gulma berdaun lebar akibat dari pertumbuhannnya yang menyebar luas dengan daun yang tumbuh horizontal sehingga membuatnya semakin kompetitif terhadap cahaya. Dari 10 jenis gulma penting dunia, 8 diantaranya jenis rumput-rumputan. 1.7.1.4. Pengaruh periode adanya gulma.
Lamanya gulma berada bersama-sama dengan tanaman menentukan besar kecilnya daya kompetisi gulma terhadap tanaman. Sebagian besar tanaman budidaya hanya dapat bertahan hidup bersama-sama gulma dalam waktu yang relatif singkat, tergantung dari jenis gulma dan tanaman budidayanya. Secara umum, semua jenis tanaman akan memiliki periode ketahanan yang rendah terhadap gulma pada saat awal pertumbuhannya. Pertumbuhan awal tanaman yang berlangsung bersamaan dengan gulma yang jumlahnya sedikit tidak akan menurunkan hasil panen. 1.7.1.5. Kerugian akibat alelopati
Istilah alelopati (allelopathy) pertama kali dikemukakan oleh Hans Molisch tahun 1937. Alelopati berasal dari kata allelon (saling) dan pathos (menderita). Menurut Molisch, alelopati meliputi interaksi biokimiawi secara timbal balik baik yang bersifat penghambatan maupun perangsangan antara semua jenis tumbuhan termasuk mikroorganisme. Tahun 1974, Rice memberikan batasan alelopati sebagai keadaan merugikan yang dialami tumbuhan akibat tumbuhan lain, termasuk mikroorganisme, melalui produksi senyawa kimia yang dilepaskan ke lingkungannya. Batasan ini kemudian terus diverifikasi dengan berbagai penelitian. Tahun 1984, Rice melaporkan bahwa senyawa organik yang bersifat menghambat pada suatu tingkat konsentrasi, ternyata dapat memberikan pengaruh rangsangan pada tingkat konsentrasi yang lain. Sejak tahun tersebut, Rice dan sebagian besar ilmuwan yang menekuni alelopati merujuk terhadap batasan yang dikemukakan oleh Molisch. Alelopati kemudian didefinisikan sebagai pengaruh langsung ataupun tidak langsung dari suatu tumbuhan terhadap yang lainnya, termasuk mikroorganisme, baik yang bersifat positif/perangsangan maupun negatif/penghambatan terhadap pertumbuhan, melalui pelepasan senyawa kimia ke lingkungannya (Rice, 1995; Inderjit dan Keating, 1999; Singh et al., 2003). Terdapat dua jenis alelopati yang terjadi di alam, yaitu alelopati yang sebenarnya dan alelopati fungsional. Alelopati yang sebenarnya adalah pelepasan senyawa beracun dari tumbuhan ke lingkungan sekitarnya dalam bentuk senyawa aslinya yang dihasilkan. Alelopati fungsional adalah pelepasan senyawa kimia oleh tumbuh-tumbuhan ke lingkungan sekitarnya yang kemudian bersifat sebagai racun setelah mengalami perubahan yang disebabkan oleh mikroba tanah. Pada suatu agroekosistem, senyawa alelopati kemungkinan dapat dihasilkan oleh gulma, tanaman pangan dan hortikultura (semusim), tanaman berkayu (woody plant), residu dari tanaman dan gulma, serta mikroorganisme. Alelopati dari tanaman dan gulma dapat dikeluarkan melalui eksudat dari akar dan polen, dekomposisi organ, senyawa volatile dari daun, batang dan akar, serta pencucian (leachates) dari organ bagian luar (Reigosa et al., 2000; Qasem dan Foy, 2001).
14
1.7.1.6.Pengaruh allelopati terhadap pertumbuhan Banyak spesies gulma menimbulkan kerugian dalam budidaya tanaman yang berujung pada berkurangnya jumlah dan kualitas hasil panen. Rice (1984) mencatat 59 spesies gulma yang memiliki potensi alelopati. Inderjit dan Keating (1999) melaporkan hingga 112 spesies, bahkan Qasem dan Foy (2001) menambahkannya hingga 239 spesies. Selain itu, Qasem dan Foy (2001) mencatat 64 spesies gulma yang bersifat alelopati terhadap gulma lain, 25 spesies gulma yang bersifat autotoxic/autopathy, dan 51 spesies gulma aktif sebagai antifungi atau anti bakteri. Residu tanaman dan gulma dilaporkan menimbulkan efek alelopati pada spesies yang ditanam kemudian. Inderjit dan Keating (1999) melaporkan pengaruh alelopati dari residu tanaman jagung, buah persik (Prunus persica), gandum hitam (Secale cereale), gandum (Triticum aestivum) dan seledri (Apium graveolens). Chung et al. (2003) dan Jung et al. (2004) melaporkan pengaruh alelopati dari residu sekam, batang dan daun padi. Hong et al. (2004) melaporkan pengaruh alelopati dari beberapa jenis tumbuhan yang dapat menekan pertumbuhan gulma sekaligus meningkatkan hasil tanaman padi. Adanya senyawa alelopati dari residu tumbuhan perlu menjadi pertimbangan dalam kegiatan persiapan tanam (pengolahan tanah), pengendalian gulma dan penggunaan serasah sebagai mulsa organik. Residu gulma dan tanaman yang memiliki pengaruh negatif alelopati sebaiknya tidak dibiarkan terdekomposisi di areal pertanaman dan tidak dipergunakan sebagai mulsa organik. Alelopati dari mikroorganisme telah dilaporkan sejak tahun 1951, yaitu identifikasi senyawa griseofulvin dari Penicillium griseofulvum yang menghambat pertumbuhan tanaman gandum. Beberapa strain Fusarium equiseti juga dilaporkan menghasilkan senyawa yang bersifat toksik terhadap tanaman kapri. Beberapa deleterious rhizobacteria juga dilaporkan menyebabkan penghambatan perkecambahan benih, gangguan pertumbuhan akar dan menjadi peka terhadap serangan patogen pada tanaman target. Selain pengaruhnya pada tanaman, alelopati dari mikroorganisme juga dapat mempengaruhi mikroorganisme lain (Rice 1995). Pada pertanaman padi, inokulasi sianobakteria yang dimaksudkan untuk meningkatkan ketersediaan N, dilaporkan menghasilkan senyawa matabolit sekunder yang berperan sebagai alelopati (Inderjit dan Keating, 1999). Bakteri Streptomyces sagononensis, S. hygroscopicus, dan Pseudomonas flourescens dilaporkan mengeluarkan senyawa alelopati yang menghambat pertumbuhan beberapa tanaman (Singh et al., 2001). Tepung sari dari gulma Parthenium hysterophorus, Agrotis stolonifora, Erigeron annuus, Melilotus alba, Phleum pretense, Vicia craca, dan Hieracium aurantiacum dilaporkan memiliki pengaruh alelopati (Inderjit dan Keating, 1999). Ditambahkan, bahwa pengaruh alelopati tersebut dapat terjadi pada perkecambahan, pertumbuhan, maupun pembuahan dari spesies target. Senyawa alelopati mempengaruhi pertumbuhan tanaman melalui berbagai cara, antara lain berpengaruh terhadap penyerapan hara, penghambatan pembelahan sel, penghambatan pertumbuhan, penghambatan aktivitas fotosintesis, pengaruh terhadap respirasi, pengaruh terhadap sintesis protein, perubahan ketegangan membran, dan penghambatan aktivitas enzim. Pengaruh alelopati akan berbeda tergantung pada spesies, kultivar atau bagian tanaman dalam satu varietas. Khusus untuk alelopati yang menekan pada sistem perakaran, jenis tanah akan mempengaruhi efektifitas alelopati. 15
Bukti-bukti menunjukkan bahwa senyawa alelopati dapat menurunkan kecepatan penyerapan hara oleh tanaman. Hal ini merupakan salah satu mekanisme yang dihasilkan oleh adanya interaksi antar tumbuhan yang dikenal sebagai kompetisi. Adanya senyawa asam salisilat atau ferulat misalnya, dapat menghambat pengikatan kalium dan penyerapan oleh tanaman terutama pada pH rendah. Beberapa senyawa alelopati berpengaruh menghambat pembelahan sel-sel akar tumbuhan. Perlakuan pemberian kumarin terbukti menghambat pembelahan sel akar bawang secara total. Senyawa terpen yang dihasilkan oleh Salvia leucophylla terbukti menghambat pembelahan sel pada kecambah mentimun. Senyawa terpen juga menghambat pembelahan sel pada beberapa jenis bakteri. Hormon pertumbuhan yang mempengaruhi pembesaran sel pada tumbuh-tumbuhan adalah asam indol asetat (IAA) dan giberelin (GA). Beberapa senyawa alelopati diketahui menekan aktivitas IAA oksidase. Senyawa asam 3,4-dihidroksibenzoat dan asam ferulat diketahui merupakan senyawa penghambat yang sangat kuat terhadap aktivitas IAA oksidase. Senyawa golongan fenol dan tanin diketahui menghambat aktivitas GA. Senyawa alelopati dapat menghambat pertumbuhan tanaman melalui penghambatan fotosintesis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa asam fenolat dapat menurunkan kandungan klorofil dan kecepatan fotosintesis pada tanaman kedelai. Pemberian senyawa skopoletin pada bunga matahari, tembakau, dan bayam menurunkan aktivitas fotosintesis. Beberapa jenis enzim tumbuh-tumbuhan dihambat oleh adanya senyawa alelopati. Enzim fosforilase pada tomat, sebagai contoh, dihambat oleh adanya asam klorogenat, kafein, dan katekol. Tanin juga dapat menghambat aktivitas enzim peroksidase, katalase, selulose, poligalakturonase, amilase, dan enzim sejenis lainnya. Hasil penelitian Guntoro et al (2003) menunjukkan bahwa hasil perendaman ekstrak gulma Ageratum conyzoides, Cyperus rotundus, dan Borreria alata dapat menekan daya kecambah kedelai, pertumbuhan kedelai fase muda, panjang akar, dan berat kering biomassa. Selain itu, ekstrak tersebut juga dapat menekan jumlah polong, dan bobot biji per tanaman. Penekanan tersebut diduga disebabkan oleh adanya senyawa allelopati yang dihasilkan oleh ekstrak ketiga gulma tersebut. Lontoh et al. (1990) melaporkan bahwa allelopati yang dihasilkan oleh hijauan dan umbi C. rotundus dapat menurunkan indeks luas daun dan bobot 100 butir kacang tanah dan kedelai. Utomo dan Hermawan (1985) menunjukkan bahwa ekstrak alang-alang dapat menekan pertambahan tinggi kedelai sampai dengan 18%, sedangkan bobot kering kedelai menurun sekitar 55%. Pemberian ektrak teki (Cyperus rotundus) juga menunda perkecambahan benih padi gogo var Maninjau dan Tondano tetapi tidak berpengaruh pada var Danau Bawah. Tetapi pemberian ekstrak alang-alang tidak berpengaruh pada laju perkecambahan ketiga varietas tersebut. Dari informasi di atas diketahui bahwa efektivitas alelopati hanya pada varietas tertentu dan jenis gulma penghasil alelopati (Kurniasih, 2002). Ditambahkan bahwa, ekstrak teki juga nyata mempengaruhi pertumbuhan padi gogo var Danau Bawah pada peubah tinggi tanaman, jumlah daun, berat kering tajuk, berat kering akar dan laju pemanjangan akar tetapi tidak mempengaruhi rasio akar-tajuk.
16
1.8. Pengelolaan Gulma Pengelolaan gulma meliputi tindakan pencegahan (prevention) pengendalian (control) dan pemanfaatan gulma. Pengelolaan gulma bertujuan untuk membatasi atau mengurangi pertumbuhan dan penyebaran gulma. Tindakan pencegahan didasarkan pada tahapan perkembangan gulma yaitu perkecambahan, pertumbuhan, pendewasaan, dan reproduksi. Berdasarkan tahapan tersebut, pendekatan pencegahan gulma meliputi mengurangi jumlah propagule yang diproduksi gulma, mengurangi jumlah gulma yang berkecambah, dan meminimalkan kompetisi yang terjadi antara tanaman dan gulma. Pengendalian gulma merupakan suatu usaha untuk membatasi atau menekan infestasi gulma sampai tingkat tertentu sehingga pengusahaan tanaman budidaya menjadi produktif dan efisien. Pengendalian gulma dapat dilakukan secara mekanis, kultur teknis, biologis (hayati), kimia (penggunaan herbisida), dan terintegrasi (terpadu). Tindakan pencegahan dan pengendalian bersifat komplementer. Beberapa tindakan dalam pencegahan maupun pengendalian gulma merupakan penerapan konsep ekofisiologi antara lain pengolahan tanah, pergiliran tanaman, penyiangan, pengaturan jarak tanam, penggunaan tanaman penutup tanah, penggenangan, dan penggunaan mulsa. 1.8.1. Pengolahan tanah Secara ekologi, pengolahan tanah mempengaruhi lingkungan fisik gulma dalam ekosistem gulma-tanaman. Pengolahan tanah mempengaruhi faktor-faktor penting bagi pertumbuhan gulma seperti regrowth dan seed bank. Namun demikian, pengolahan tanah sebelum penanaman dipandang sebagai tindakan pencegahan dan sekaligus tindakan pengendalian dalam pengelolaan gulma. Simpanan biji-biji gulma di dalam tanah (seed bank) berada dalam kondisi dorman (dormansi sekunder). Simpanan biji-biji gulma tersebut tidak dapat berkecambah karena kondisi lingkungan tanah yang tidak mendukung perkecambahan. Hasil penelitian (Chozin, 1987) pada gulma Cyperus iria L. dan Cyperus microiria Steud menunjukkan bahwa dormansi sekunder pada gulma tersebut disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan seperti suhu, kondisi penyimpanan, level air tanah dan cahaya. Pengolahan tanah menyebabkan biji-biji gulma di dalam tanah muncul ke permukaan tanah dan berkecambah. Selanjutnya, gulma yang berkecambah dan tumbuh pada lahan pertanaman dikendalikan dengan cara manual atau dengan metode pengendalian lainnya sehingga tidak memberi kesempatan gulma untuk berkembangbiak. Dengan tindakan pengolahan tanah yang berulang, semakin lama simpanan biji-biji gulma di dalam tanah semakin berkurang dan pada akhirnya gulma tersebut berada di bawah batas ekonomi pengendalian. Pengolahan tanah menyebabkan jenis gulma yang hidup lebih dari satu tahun (perennial weed) seperti teki dan alang-alang terpotong-potong dan terbenam di dalam tanah. Ukuran propagul menjadi kecil-kecil dan tidak cukup untuk tumbuh dan muncul ke permukaan tanah akibat cadangan karbohidrat gulma semakin menipis bahkan habis akibat terpotong-potong oleh aktivitas pengolahan tanah. Tunas-tunas baru yang muncul dari sistem perakaran atau rhizoma gulma juga terkendalikan dengan pengolahan tanah. Metode pengolahan tanah dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan gulma pada suatu pertanaman. Hasil penelitian Pramuhadi et al. (2005) menunjukkan bahwa 17
penutupan gulma dan bobot kering gulma pada pertanaman tebu cenderung meningkat dengan bertambahnya intensitas penggaruan tanah, tetapi cenderung menurun dengan bertambahnya intensitas pembajakan tanah, terutama pembajakan dengan bajak singkal. Gulma kalah bersaing dengan tebu pada kondisi densitas dan tahanan penetrasi tanah yang rendah. Metode pengolahan tanah dengan intensitas pengolahan tanah minimum yang menghasilkan densitas dan tahanan penetrasi sebesar 1.2 - 1.3 g/cc dan 6.0 - 14.0 kgf/cm2 menyebabkan pertumbuhan gulma menjadi tertekan. 1.8.2. Pergiliran tanaman Gulma spesies tertentu secara ekologis dapat tumbuh dengan baik pada daerah budidaya dengan jenis tanaman tertentu dan mendominasi daerah pertanaman budidaya. Pergiliran tanaman secara ekologis dapat mencegah adanya dominasi spesies gulma atau kelompok gulma tertentu pada daerah pertanaman budidaya. Pola tanam berpengaruh terhadap komposisi gulma. Pada pola monokultur dalam waktu yang lama menunjukkan komposisi gulma yang lebih rendah dibandingkan dengan pola tanam rotasi. Mahfudz, et al. (2005) melaporkan perubahan pola tanam dari monokultur jagung, tumpangsari jagung- kakao hingga menjadi monokultur kakao menyebabkan jumlah jenis gulma berkurang dan komunitas gulma cenderung didominasi oleh Paspalum conjugatum. Perubahan pola tanam juga merubah komposisi jenis gulma dominan, dari jenis gulma berdaun lebar digantikan oleh gulma golongan rumput. Ball dan Miller (1993) menemukan 190 jenis gulma pada pola monokultur jagung selama 5 tahun, 245 jenis gulma pada pola rotasi Phaseolus vulgaris (2 tahun)-jagung (3 tahun). Selain perubahan komposisi tersebut, pola tanam juga menyebabkan perbedaan jenis gulma dominan. Gulma Setaria viridis merupakan gulma dominan pada pertanaman jagung terus menerus, sedangkan gulma Amaranthus retroflexus merupakan gulma dominan pada rotasi P. vulgaris - jagung. 1.8.3. Penyiangan Penyiangan gulma merupakan tindakan pengelolaan gulma yang bertujuan untuk mengurangi/menghilangkan adanya kompetisi antara gulma dengan tanaman. Penyiangan gulma dapat dilihat sebagai tindakan pencegahan maupun tindakan pengendalian gulma. Penyiangan gulma didasarkan pada fase pertumbuhan gulma. Penyiangan yang dilakukan sebelum gulma memasuki fase generatif dapat mencegah perkembangan dan penyebaran gulma melalui biji dan juga mencegah penambahan biji gulma di dalam tanah (seed bank). Dilihat dari fase perkembangan tanaman budidaya, gulma tidak harus dikendalikan sepanjang periode pertumbuhan tanaman budidaya. Nietto et al. (1968) menyatakan bahwa kehadiran gulma di sepanjang siklus hidup tanaman tidak selalu berpengaruh negatif terhadap produksi tanaman. Terdapat fase dimana tanaman budidaya sensitif terhadap keberadaan gulma dan keberadaan gulma pada fase tersebut dapat menurunkan hasil secara nyata, disebut sebagai periode kritis. Pada periode kritis tersebut gulma perlu dikendalikan agar tidak terjadi kompetisi yang dapat menyebabkan penurunan produktivitas tanaman. Penentuan periode kritis tanaman sangat diperlukan dalam pengelolaan gulma agar dicapai efisiensi dalam pengendalian gulma baik dari segi waktu, biaya, maupun tenaga. Omafra (2002) menyatakan bahwa periode kritis tanaman terjadi pada saat kompetisi dengan gulma mulai menurunkan produksi tanaman sebesar 5%. Periode kritis tanaman sangat 18
ditentukan oleh jenis tanaman, jenis gulma, ukuran benih tanaman, saat tanam, jarak tanam, dan kesuburan tanah, cuaca dan kondisi pertanaman. Moenandir (1993) menyatakan kadar air tanah, jenis tanah, perbedaan musim tanam, dan pola tanam mempengaruhi periode kritis tanaman. Periode kritis tanaman telah banyak dilaporkan oleh para peneliti di bidang ilmu gulma. Periode kritis tanaman kedelai kultivar Kipas Putih pada jarak tanam 40 cm x 15 cm adalah pada saat 30 – 45 HST (Erida dan Hasanuddin, 1996), pada tanaman jagung manis antara 20 – 50 HST (Syawal, 1999), pada tanaman padi selama 8 minggu pertama setelah tanam (Tobing dan Chozin, 1980), pada tanaman jagung 20-50 hari setelah tanam (Mahfudz, 2005). 1.8.4. Pengaturan pola dan jarak tanam Pengaturan jarak tanam ditujukan untuk memposisikan tanaman dalam keadaan berkompetisi minimal antar sesamanya sehingga dapat memanfaatkan unsur hara dan cahaya sebaik-baiknya dan tanaman mampu bersaing dengan gulma. Jarak tanam yang terlalu lebar dapat memberikan keleluasaan bagi gulma untuk tumbuh dan berkembang pada barisan tanaman, sementara jarak tanam yang terlalu sempit dapat mengakibatkan terjadinya kompetisi intraspesifik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kepadatan tanaman dengan mengurangi jarak tanam dapat menekan pertumbuhan gulma (Rao, 2000). Semakin rapat jarak tanam pertumbuhan gulma semakin tertekan (Farnham, 2001; Kuepper et al., 2002). Pola tanam tumpangsari secara sangat nyata menekan pertumbuhan gulma dibandingkan dengan monokultur (Chozin, 1976). 1.8.5. Penggunaan tanaman penutup tanah Tanaman kacang-kacangan penutup tanah (legume cover crop = LCC) memiliki karakter pertumbuhan tajuk yang cepat sehingga dapat menutupi permukaan tanah dengan cepat. Karakter pertumbuhan tajuk yang cepat menutupi permukaan tanah dapat digunakan untuk menekan pertumbuhan gulma tanpa menimbulkan persaingan yang berat terhadap tanaman pokok. Selain itu, tanaman legume tersebut dapat memberikan pengaruh positif seperti peningkatan kesuburan tanah dan pencegahan erosi tanah. Tanaman legume yang sering digunakan untuk tanaman penutup tanah antara lain Calopogonium mucunoides (Cm), Centrosema pubescens (Cp), dan Pueraria javanica (Pj). Marpaung (1995) melaporkan bahwa penanaman LCC mengakibatkan perubahan dominasi gulma pada kebun kelapa TBM (Tanaman Belum Menghasilkan) yaitu gulma golongan berdaun lebar menggantikan dominasi gulma golongan rumput-rumputan. Penanaman LCC dengan cara larikan dapat menekan pertumbuhan gulma lebih baik dibandingkan dengan cara tugal dan sebar. Hasil penelitian Tampubolon (2004) menunjukkan bahwa Calopogonium caeruleum dapat menekan pertumbuhan gulma pada tanaman jagung. Mustari (2005) melaporkan bahwa penggunaan tanaman penutup tanah dapat menekan pertumbuhan gulma pada tanaman kelapa sawit. Pueraria javanica dan Centrosema pubescens dapat menekan gulma lebih baik dibandingkan dengan Calopogonium muconoides, Calopogonium caereleum, dan Psophocarpus palustris. Penekanan gulma tersebut disebabkan oleh kecepatan penutupannya yang lebih cepat dibandingkan dengan tanaman penutup tanah lainnya, yaitu sekitar 88.3% untuk P. javanica dan 89.3% untuk C. pubescens pada bulan ke-6 setelah tanam. 19
1.8.6. Penggenangan Pada pertanaman padi sawah, pengendalian gulma biasanya dilakukan dengan cara penyiangan. Selain penyiangan, penggenangan yang biasa dilakukan pada padi sawah juga dapat menekan pertumbuhan gulma. Kondisi anaerob akibat penggenangan dapat membatasi perkecambahan dan pertumbuhan gulma. Penggenangan menyebabkan kerusakan gulma melalui hambatan proses respirasi di daerah perakaran akibat berkurangnya oksigen di daerah perakaran. Beberapa tanaman memiliki toleransi terhadap penggenangan, sehingga mampu tumbuh dengan baik pada kondisi tergenang. Namun pada tanaman sensitif, penggenangan dapat menghambat petumbuhan bahkan menyebabkan kematian. Proses fisiologi ini dapat dimanfaatkan untuk menekan pertumbuhan gulma yang tidak toleran pada kondisi genangan. Penggenangan 5 – 15 cm dapat menekan perkecambahan biji-biji gulma teki dan rumput, sementara gulma golongan berdaun lebar tidak tertekan (Soerjani, et. al., 1977). Populasi gulma teki dapat ditekan dengan penggenangan 5 – 10 cm, sedangkan golongan rumput dapat ditekan dengan penggenangan 10 – 15 cm, bahkan penggenangan 10 – 15 cm dapat menekan populasi teki 3 – 6 kali (Bangun, 1981). Penggenangan 2.5 cm dapat menekan bobot kering gulma total sebesar 76.0% dan menurunkan persen penutupan gulma total sebesar 23.5% dibandingkan dengan tanpa penggenangan. Bobot kering Monochoria vaginalis dapat ditekan dengan penggenangan 2.5 cm (Rusyadi, 1993). Hasil penelitian Pramudyani et al. (2005) menunjukkan bahwa penggenangan dapat menekan pertumbuhan gulma Fimbristylis miliacea pada padi sawah. Semakin tinggi penggenangan, gulma F. miliacea semakin tertekan yang ditunjukkan dengan jumlah anakan gulma F. miliacea yang semakin rendah. 1.8.7. Penggunaan mulsa Mulsa merupakan bahan limbah/sisa proses tanaman/tumbuhan seperti jerami, serbuk gergaji, limbah hasil pertanian, ataupun bahan buatan seperti hasil industri, plastik, yang digunakan untuk menutupi permukaan tanah. Pemberian dapat menekan pertumbuhan gulma serta memberikan berbagai efek positif bagi tanaman. Pemberian mulsa ini bermanfaat untuk menekan pertumbuhan gulma, memperbaiki sifat fisik tanah dengan memperkecil fluktuasi suhu tanah, mulsa plastik dapat menaikkan suhu tanah, mengurangi terjadinya erosi, mempertahankan tata air tanah, memperbaiki struktur, aerasi dan konsistensi tanah, memperbaiki sifat kimia tanah, mulsa organik dapat menambah unsur hara ke dalam tanah setelah mulsa tersebut lapuk atau busuk, memperbaiki sifat biologi tanah, mikroorganisme di dalam tanah lebih diaktifkan terutama oleh mulsa alami. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan mulsa dapat menekan pertumbuhan gulma. Chozin dan Sumantri (1982) melaporkan bahwa mulsa plastik hitam paling efektif menekan gulma dibandingkan dengan berbagai perlakuan mulsa lainnya. Perlakuan mulsa sekam atau jerami mampu menekan pertumbuhan gulma golongan daun lebar dan golongan rumput pada pembibitan tanaman vanili (Wahyuni, 1994). Penggunaan jerami padi efektif menekan gulma pada tanaman bawang putih (Widaryanto dan Damanhuri, 1990), tanaman nanas dan tanaman jahe (Djauhari dan Agus, 2001). Penggunaan mulsa jerami dan daun bambu dapat menekan populasi dan berat kering gulma pada pertanaman melon dengan tingkat penekanan terbaik pada aplikasi mulsa daun bambu 8 cm (Setiawan et al., 2005).
20
1.8.8. Penggunaan herbisida Pengendalian gulma secara khemis menggunakan bahan kimia yang disebut herbisida. Herbisida adalah bahan kimia yang digunakan untuk mematikan atau menghambat pertumbuhan gulma. Secara kasat mata tanaman dan gulma memiliki morfologi yang hampir sama namun berbeda peran dalam pertanian. Penyemprot harus memastikan bahwa herbisida yang diberikan terarah pada gulma dan meniadakan persentuhan semprotan herbisida terhadap tanaman. Herbisida merupakan bagian atau anggota dari pestisida. Selain herbisida, pestisida terdiri atas insektisida, fungisida, bakterisida dan lain-lain. Dalam integrated pest management herbisida digunakan sebagai alternatif terakhir jika masih ada cara lain yang lebih efektif dan aman digunakan. Pada tingkat tertentu herbisida merupakan senyawa beracun, sehingga pemakaian herbisida haruslah secara arif bijaksana dan memerlukan pendidikan konsumen dalam hal teknik aplikasi, pemakaian dan keselamatan. Hebisida umumnya relatif kurang beracun dibandingkan dengan insektisida dan fungisida. Herbisida juga tidak ampuh untuk segala jenis spesies gulma pada setiap tingkatan umur gulma. Herbisida menjadi penting dipertimbangkan pada saat efisiensi menjadi prioritas disaat modal menjadi terbatas atau pertanian dilaksanakan dalam skala luas. Pemakaian herbisida dalam jangka panjang perlu mempertimbangkan kemungkinan resistensi gulma terhadap aplikasi herbisida. Gulma menjadi lebih tahan terhadap penyemprotan herbisida karena dilakukan berulang-ulang dalam jangka waktu lama dengan menggunakan suatu jenis herbisida yang sama. Konsep penggunaan herbisida perlu memenuhi kriteria sedikit, selektif, sistemik dan sekuriti (keamanan). Dalam jumlah sedikit herbisida harus efektif menghambat atau mematikan gulma. Herbisida juga harus selektif mematikan gulma dan tanaman terhindar dari efek merugikan. Herbisida juga dimungkinkan untuk dapat masuk dalam sistem jaringan gulma dan mematikan gulma. Herbisida juga harus aman terhadap pemakai atau penyemprot dan lingkungan Beberapa keuntungan penggunaan herbisida dalam pengendalian gulma adalah : 1) pada umumnya ekonomis (tenaga kerja, waktu, modal) ; 2) gulma yang peka tertekan ; 3) dapat mengggantikan sebagian pengolahan lahan ; 4) kerusakan akar lebih sedikit daripada cara mekanis ; 5) mengurangi erosi ; 6) dapat mengendalikan gulma sejak awal (pra tumbuh) ; 7) dapat menghemat waktu dan tenaga kerja ; 8) dapat menjangkau tempat-tempat yang tidak tercapai secara manual/mekanis 9) saat pengendalian dapat disesuaikan dengan waktu yang tersedia ; 10) areal pemakaian dapat diperluas ; 11) herbisida yang selektif dapat mematikan gulma yang tumbuh dekat tanaman 12) dapat mengurangi gangguan terhadap struktur tanaman ; 13) gulma yang mati dapat berfungsi sebagai mulsa dan berperan sebagai sumber bahan organik. Selain keuntungan-keuntungan yang didapatkan dalam pemakaian herbisida perlu juga dipertimbangkan beberapa hal dalam pelaksanaannya dalam kerangka pengelolaan sumberdaya lingkungan yang berwawasan dan pembangunan yang berkelanjutan, diantaranya : 1) memerlukan kecakapan (pengenalan bahan, penggunaan alat, perlengkapan pelindung, kalkulasi); 2) keamanan bagi lingkungan ; 3) keselamatan pemakai ; 4) pendidikan konsumen. Oleh karena itu penelitian dan uji coba penggunaan herbisida perlu dilakukan secara lebih berhati-hati dan selektif. Disamping itu ditinjau dari berbagai aspek yang menyangkut penggunaan jenis, dosis, waktu, mutu dan keamanan terhadap petani serta lingkungannya patut mendapatkan perhatian 21
II.
TUMBUHAN INVASIF DI WILAYAH TROPIKA
2.1. Batasan dan Pengertian Tumbuhan invasif (invasive species) adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan spesies atau jenis tumbuhan yang mampu mengkoloni atau mengokupasi habitat alami secara massif. Wilkipidia (2008) menyebutkan ada tiga definisi yang banyak digunakan untuk tumbuhan invasif: (1) non-indigenous species atau spesies asing yang menyebabkan habitat diinvasi dan dapat merugikan baik secara ekonomis, lingkungan maupun ekologis; (2) native dan non-native species, spesies yang mengkoloni secara berat habitat tertentu; dan (3) widespread non-indigenous species, spesies yang mengekspansi suatu habitat. Berbeda dengan gulma pertanian, tumbuhan invasif pada umumnya adalah jenis-jenis tumbuhan yang berhasil dapat bertahan dan ternaturalisai dan menyebar di habitat alami tanpa bantuan manusia (Randall. 1997). Selanjutnya Mashhadi dan Radosevich (2003) menerangkan bahwa tumbuhan invasif pada umumnya adalah jenis pendatang, dan biasanya jenis ini responsif terhadap perubahan lingkungan seperti pembukaan lahan, kebakaran dan jenis gangguan lainnya. Di sisi lain, tumbuhan invasif dapat menginisiasi terjadinya perubahan lingkungan melalui dominasinya di suatu habitat (Hobbs et al. 2006). Selain itu, dijelaskan bahwa dampak negatif dari tumbuhan invasif baik secara spassial maupun temporal bervariasi dari skala lokal sampai skala global. Berdasarkan asal-usulnya tumbuhan invasif terdiri atas jenis pendatang (exotic atau alien species) sering dikenal dengan « invasive alien species atau IAS»; dan jenis asli yang tumbuh di habitat aslinya (domestic atau native species). Jumlah jenis pendatang invasif lebih banyak dari jenis asli. Berdasarkan data The Invasive Species Specialist Group/ISSG (2004) terdapat sekitar 100 spesies yang sangat invasif, termasuk diantaranya yang menjadi masalah di Indonesia seperti kirinyuh (Chromolaena odorata), eceng gondok (Eichornia crassipes, Mikania micrantha). Invasi hayati oleh spesies-spesies saat ini telah disadari sebagai salah satu ancaman pada keberlangsungan keanekaragaman hayat dan ekosistem asli. Sebagai kompetitor, predator, patogen dan parasit, spesies-spesies asing invasif ini mampu merambah semua bagian ekosistem alami/asli dan menyebabkan punahnya spesies-spesies asli. Dalam skala besar spesies asing invasif ini mampu merusak ekosistem alami/asli. Invasi biologi jenis pendatang merupakan salah satu ancaman utama bagi ekosistem alam dan biodiversiti, dan mereka juga menimbulkan kerugian yang hebat pada pertanian, kehutanan, perikanan, dan usaha manusia lainnya, serta kesehatan manusia. Cara yang ditempuh oleh jenis pendatang invasif mempengaruhi jenis asli dan ekosistem adalah banyak dan bersifat tidak dapat diubah. Dampaknya kadang-kadang sangat besar, tetapi sering tidak kentara Meskipun demikian, tidak semua jenis pendatang menimbulkan dampak negatif atau berbahaya. Tidak semua jenis pendatang atau introduksi berbahaya. Di banyak negara termasuk Indonesia, banyak tanaman pertanian adalah diintroduksi dari tempat lain, seperti juga tanaman hutan ternak dan ikan. Beberapa tanaman budidaya yang berkembang di Indonesia berasal dati tanaman introduksi atau pendatang. Demikian juga introduksi untuk penendalian hayati hama invasif dapat menghasilkan penghematan yang besar dari penggunaan pestisida dan kehilangan produksi tanaman. Hal penting yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa banyak spesies hama dan penyakit yang awalnya sengaja 22
dintroduksikan karena dianggap menguntungkan. Banyak varietas tanaman hortikultura dan hewan eksotis yang telah menjadi invasif dan merusak. Tabel 13.1. Beberapa jenis tanaman budidaya di Indonesia yang berasal dari jenis introduksi Spesies
Asal
Jagung Ketela pohon Kacang tanah Kedelai Karet Kentang Tomat Kakao Kopi The Tembakau Sawit Mangga Lombok
Meksiko Amerika Tengah Amerika Tengah Mansuria Amerika Tengah Amerika Selatan Amerika Selatan Afrika Barat Etiopia India, China Amerika Utara Arika Barat India Amerika Tengah
2.2. Dampak Negatif Berbeda dengan dampak gulma pertanian yang umumnya terbatas pada penurunan produksi tanaman budidaya, tumbuhan pendatang invasif mempunyai dampak yang lebih luas. Keberadaan tumbuhan pendatang invasif dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar pada pertanian, kehutanan, perikanan dan usaha pertanian lainnya serta terhadap kesehatan. Dampak yang terjadi akibat invasi jenis pendatang seringkali sulit dikembalikan ke keadaan semula. Dampak tumbuhan pendatang invasif sangat beragam, tetapi pada umumnya jenis ini mempunyai kemampuan penyabaran yang cepat, reproduksi yang tinngi, pertumbuhan cepat, daya saing yang tinggi sehingga mampu menginvasi wilayah baru dengan relatif singkat. Selain itu jenis invasif ini memiliki kecenderungan sifat agresif, mampu menembus hambatan alam dan mengalahkan jenis lokal sehingga mengubah komposisi keanekaraman hayati di habitat baru. Dengan demikian, tumbuhan pendatang invasif dapat dipandang sebagai suatu elemen utama dari perubahan global dan berkontribusi terhadap hilangnya keanekaragaman hayati, kerusakan ekosistem dan menimbulkan gangguan pada berbagai ekosistem di seluruh dunia. Secara garis besar dampak ekologis dari invasi tumbuhan pendatang invasif adalah sebagai berikut: a. Hilangnya keanekaragaman hayati akibat kompetisi ruang pada habitat oleh jenis pendatang invasif, b. Kepunahan jenis tumbuhan asli karena kalah kompetisi c. Hilangnya keanekaragaman hayati akibat kegiatan pengendalian (pembakaran terkendali) jenis pendatang pada padang rumput, d. Kelimpahan berbagai jenis berkurang sehingga menjadi terancam dan hampir punah. e. Perubahan proses-proses ekologis alami seperti proses suksesi komunitas 23
f. Perubahan frekuensi dan intensitas kebakaran hutan secara alami. g. Gangguan terhadap asosiasi atau interaksi biologis seperti penyerbukan, penyebaran biji dan asosiasi lain h. Terjadinya fragmentasi habitat dan perubahan iklim global Jenis pendatang invasif selain mengancam keanekaragaman hayati juga membebankan biaya yang sangat besar pada bidang pertanian, kehutanan, perikanan, dan bisnis lainnya, serta pada kesehatan manusia. Dalam beberapa kasus, tumbuhan dan hewan yang sengaja dipindahkan untuk pengembangan pertanian, kehutanan, peternakan, perikanan, diversifikasi kebun, perdagangan hewan peliharaan, dan untuk keperluan lainnya tidak menjadi masalah. Namun, beberapa kasus lainnya, tumbuhan d an atau hewan berkembang cepat, menyebar, dan menjadi invasif hingga menyebabkan kerusakan serius terhadap lingkungan, ekonomi, atau kesehatan manusia. Sebagai contoh, invasi Syzygium jambos telah mengubah komposisi vegetasi dan pola keragaman habitat di Pegunungan Luquillo, Puerto Rico setelah hampir 185 tahun sejak didatangkan ke tempat tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan Syzygium jambos dan keragaman spesies berkorelasi sangat negatif, artinya semakin rapat Syzygium jambos maka keragaman spesies semakin kecil (Brown, 2006). Contoh lain adalah Caragana arborescens Lam. (Fabaceae) disebutkan berasal dari Eurasia, kemudian didatangkan ke Amerika Utara pada pertengahan 1700-an. Dalam 250 tahun terakhir, jenis ini telah menyebar di hampir seluruh Kanada dan setengah dari negara bagian di Amerika Serikat (Shortt and Vamosi, 2012). Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa penyebaran spesies asing invasif telah menjadi salah satu ancaman signifikan terhadap keanekaragaman hayati Invasi tumbuhan pendatang dapat menyebabkan kerugian yang nyata secara ekonomi (misalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan kegiatan pencegahan, pengendalian, kehilangan produksi, dan seterusnya). Gulma merupakan salah satu kelompok tumbuhsn pendatang yang telah menyebabkan kehilangan hasil pertanian setidaknya 25% dan juga mengakibatkan penurunan kualitas daerah tangkapan ikan pada ekosistem laut dan perairan darat. Di negara-negara Afrika, kerugian akibat gulma eceng gondok (Eichornia crassipes) yang telah mencemari perairan dan sawah diperkirakan mencapai 60 juta dollar Amerika Serikat (AS). Biaya yang dikeluarkan oleh AS dalam menangani IAS gulma mencapai 137 milyar dollar AS per tahun. Contoh pada jenis hewan adalah keong emas (golden apple snail, Pomacea canaliculata) yang telah menyebabkan kerugian hampir 1 milyar dollar AS untuk biaya pengendalian dan kehilangan produksi padi di Filipina. Impor ternak dan hasil hutan seringkali juga membawa hama dan penyakit yang dapat mengakibatkan kehilangan hasil pertanian yang nyata pada negara importir. Berdasarkan pendekatan ekonomi, biaya langsung pengelolaan spesies asing invasif sangat mahal. Aksi yang cepat dapat lebih hemat biaya dan lebih berhasil daripada aksi setelah spesies menyebar (Mc Neely et al., 2001). Meskipun hanya sebagian kecil dari spesies asing menjadi invasif, efeknya dapat menghancurkan, studi di Amerika Serikat dan India menunjukkan bahwa jumlah biaya langsung pengelolaan spesies asing invasif di kedua negara tersebut sekitar US$ 130 miliar per tahun (Mc Neely et al., 2001).
24
Tabel 1. Indikasi Biaya dari Beberapa Spesies Asing Invasif (dalam US$) --------------------------------------------------------------------------------------------S pesies Introduksi organisme penyakit Contoh spesies tumbuhan dan hewan asing Salt Cedar
Knapweed dan Leafy spurge
Sebra mussel
Spesies tanaman asing invasif yang paling serius 6 spesies gulma
Pinus, Hakeas, dan Akasia Water hyacinth Kelinci
Varroa mite
Variabel Ekonomi Biaya kesehatan untuk manusia, tumbuhan dan binatang di USA Biaya ekonomi dari kerusakan di USA
Dampak Ekonomi $41 M ilyar/tahun
Referensi Dassak et al., 2000
$137 M ilyar/tahun
Pimentel et al., 2000
Nilai dari pelayanan ekosistem yang hilang di USA bagian barat Dampak ekonomi di 3 negara bagian USA
$7-16 M ilyar selama 55 tahun
Savaleta, 2000
Biaya langsung $40,5 Juta/tahun, biaya tidak langsung $89 Juta/tahun Komulatif biaya 19882000 + $750 Juta sampai $1 M ilyar $344 Juta/tahun untuk 12 spesies
Bangsund, 1999; Hirsch and Leitch, 1996
Biaya agroekosistem di Australia
$105 Juta/tahun
Biaya restorasi di Afrika Selatan Biaya di 7 negara Afrika Biaya di Australia
$2 M ilyar
CSIRO, 1997 dalam Watkinson, Freckleton, dan Dowling, 2000 Turpie dan Heydenrych, 2000 Joffe_Cooke dalam Kasulo, 2000 Wilson, 1995 dalam White dan NewtonCross, 2000 Wittenberg et al., 2001
Kerusakan pada tanaman industri di USA dan Eropa Biaya kontrol herbisida di Britania 1983-1993
Biaya ekonomi untuk menjaga lebah di New Zealand
$20-50 Juta/tahun $373 Juta/tahun (kehilangan dari potensi agrikultur) $267-602 Juta
National Aquatic Nuisances Species Clearinghouse, 2000 Williamson, 1998
(Sumber : Mc Neely et al., 2001) Tabel 1 mengindikasikan bahwa selain biaya langsung pengelolaan jenis pendatang invasif, biaya ekonomi juga termasuk biaya tidak langsung terhadap konsekuensi lingkungan. Jenis pendatang invasif dapat menyebabkan perubahan ekologi dengan mengganggu siklus hidrologi, konservasi dan regenerasi tanah, penyerbukan tanaman, dan penyebaran benih (Mc Neely et al., 2001). Umumnya, jenis pendatang invasif yang berupa tanaman atau lebih dikenal dengan jenis tumbuhan invasif menempati habitat terbuka dan terdegradasi yang baru pulih dari beberapa jenis gangguan. Grindelia squarrosa dilaporkan terdeteksi pertama kali pada tahun 1998 di Rumania. Spesies ini menginvasi habitat yang terganggu terutama dekat dengan rel kereta api di Timur Laut dan Selatan dari Moldova (Iaşi dan Galaţi). Spesies tanaman eksotis Azadirachta indica telah menginvasi hutan yang terdegradasi selain 18 jenis lainnya yang teridentifikasi invasif diantara 414 jenis spesies di bagian selatan Togo. Penelitian ini mengungkap adanya fenomena spesies invasif di hutan-hutan yang terdegradasi (Radji et al., 2010). Di Indonesia, Introduksi jenis tumbuhan pendatang d telah lama terjadi, baik disengaja maupun tidak disengaja. Introduksi spesies asing tersebut dalam beberapa kasus telah menimbulkan dampak yang cukup besar. Spesies asing berupa gulma, telah menimbulkan kerugian yang cukup besar di sektor pertanian. Sementara itu banyak juga jenis pendatang yang berubah menjadi jenis yang dominan dan berkompetisi dengan spesies lokal yang pada 25
akhirnya mengganggu keberadaan spesies lokal. Disamping jenis pendatang, terdapat juga jenis asli yang invasif. Berikut ini beberapa kasus jenis tumbuhan invasif, yang terjadi di sektor kehutanan, khususnya di kawasan konservasi. (1) Taman Nasional Ujung Kulon Keberadaan langkap (Arenga obtusifolia) di Taman Nasional (TN) Ujung Kulon Banten, walaupun bukan spesies asing sangat mengganggu habitat satwaliar, terutama Badak Jawa. Hampir sebagian besar kawasan TN Ujung Kulon diinvasi dan didominasi oleh langkap, sehingga menekan habitat tumbuhan lain yang berfungsi sebagai pakan Badak Jawa (Arief, 1995). (2) Taman Nasional Baluran Salah satu alasan ditetapkannya Baluran sebagai Taman Nasional adalah karena adanya padang savana alami yang cukup luas (10.000 ha) yang dihuni oleh berbagai spesies satwaliar langka dan dilindungi salah satu diantaranya Banteng (Bos javanicus). Oleh karena itu keberadaan ekosistem savana dan banteng menjadi salah satu objek utama dan sekaligus prioritas dalam pengelolaan kawasan TN Baluran Jawa Timur. Luas areal padang savana dari tahun ke tahun mengalami penyusutan/penyempitan akibat invasi akasia (Acacia nilotica) yang semula ditanam pada tahun 1969 sebagai sekat bakar (Mutaqin, 2002). Pertumbuhan atau perkembangan akasia ini sangat pesat hingga menyebar ke seluruh kawasan savana Baluran, yang diperkirakan sudah mencapai 5.000 ha. Akibatnya ekosistem savana yang semula sebagai habitat satwa telah berubah menjadi hutan akasia yang sangat rapat dan ini sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan bahkan dapat mematikan rumput sebagai pakan satwa, terutama untu banten dan rusa. (3) Taman Nasional Wasur Di Taman Nasional Wasur, Papua, terdapat beberapa spesies flora dan fauna eksotik atau asing yang berpotensi mengancam kelestarian flora dan fauna asli dan keberadaan ekosistem TN Wasur. Jenis-jenis flora eksotik tersebut adalah (KLH 2002): a. Eceng gondok (Eichornia crassipes) Spesies tumbuhan eceng gondok (Eichornia crassipes) masuk ke TN Wasur pada tahun 1990 dan menginvansi sungai-sungai besar seperti Sungai Maro dan Sungai Wanggo serta anak-anak sungainya, yang mengakibatkan terganggunya transportasi air dan pendangkalan sungai karena akarnya mengikat lumpur yang terdapat di sekitarnya. Pada tahun 2000 luasan tumbuhan eceng ini telah menyebar sampai ke daerah hilir sungai yang berbatasan dengan Papua Nugini. b. Kirinyuh (Chromolaena odorata) Tumbuhan kirinyuh (Chromolaena odorata) menginvasi kawasan TN Wasur di daerah tepi jalan Trans Irian km 35 dan sekitar kebun-kebun masyarakat, yang bersaing dengan rumputrumput asli. Kehadiran spesies tumbuhan ini sangat berpotensi sebagai material terjadinya kebakaran hutan pada musim kemarau. c. Klampis air atau putri malu raksasa (Mimosa pigra) Tumbuhan klampis air (Mimosa pigra) telah tersebar di TN Wasur seluas 15,6 ha menutupi kedua sisi tepi Sungai Maro sampai Sungai Wanggo.
26
Ekor tikus atau jarong (Stachytarpheta urticaefolia) Semak ekor tikus (Stachytarpheta urticaefolia) tersebar di daerah padang rumput Ukra dan Kankania seluas 403 ha. Biji spesies tumbuhan ini mempunyai sifat tahan terhadap pembakaran, sehingga dapat berkecambah kembali pada awal musim penghujan di daerah padang rumput. d.
e. Spesies tumbuhan eksotik lainnya adalah tebu rawa (Hanguana sp.), selada air (Pistea sp.), salvinia (Salvinia sp.), sidagori (Sida acuta), saliara (Lantana camara), akasia (Acacia nilotica). Keenam spesies tumbuhan tersebut berpotensi mengancam kelestarian spesies flora dan fauna endemik, disamping itu pengendalian untuk spesies tumbuhan tersebut belum banyak dilakukan. 2.3. Proses dan Mekanisme Invasi Secara umum invasi dari suatu jenis tumbuhan terjadi karena adanya proses interaksi antar jenis tumbuhan terutama interaksi dalam bentuk kompetisi. Di alam dalam keadaan sumberdaya yang terbatas suatu jenis tumbuhan akan berkompetisi dengan jenis lainnya dalam mendapatkan sumberdaya sebanyak-banyaknya. Salah satu caranya adalah dengan tumbuh dan berkembang biak sebanyak dan secepat mungkin. Keadaan ini dapat memungkinkan punahnya jenis tumbuhan asli karena kalah bersaing dengan jenis tumbuhan pendatang dalam memperebutkan sumberdaya yang terbatas. Beberapa hal yang memungkinkan suatu jenis tumbuhan untuk mampu menginvasi dan menguasai habitat adalah (a) Kemampuan bereproduksi secara vegetative maupun generatif, (b) kemampuan tumbuh dan berkembang dengan cepat, (c) kemampuan penyebaran (dispersal), (d) kemampuan menyesuaikan diri terhadap berbagai lingkungan, (e) toleransi terhadap berbagai cekaman (biotik dan abiotik), (f) kemampuan berasosiasi dengan kegiatan manusia. Penelaahan terhadap hasil-hasil penelitian karakter bio-ekologi jenis tumbuhan invasif yang berhubungan dengan kemampuannya dalam menginvasi suatu habitat telah dilakukan oleh Rejma’nek dan Pitcrain (2002), antara lain sebagai berikut: (1) Tumbuhan invasif memiliki kemampuan individu dan populasi yang relative tinggi untuk menjaga kejaguran (fitness) pada berbagai kondisi lingkungan (2) Memiliki umur atau siklus hidup yang pendek, masa vegetatif yang pendek, ukuran biji yang kecil, leaf area ratio yang tinggi dan laju pertumbuhan relatif yang tinggi. (3) Mudah disebarkan (dispersal) oleh manusia dan hewan (4) Memiliki kemampuan reproduksi secara vegetatif, suatu karakter penting khususnya untuk jenis akuatik. (5) Tumbuhan invasif yang termasuk jenis pendatang (exotic) umumnya lebih invasif dinandinkan dengan tumbuhan asli (native). Hal ini diduga terkait dengan keberadaan musuh alami dari jenis tumbuhan tersebut. (6) Tumbuhan invasif biasanya termasuk jenis tumbuhan yang tidak tergantung secara mutualistik dengan organisme lain di habitatnya seperti simbiosis akar, penyerbukan, penyebaran dan lainnya
27
(7) Tumbuhan yang tinggi seperti pohon cenderung menginvasi komunitas tumbuhan di daerah yang lembab. (8) Tumbuhan invasif biasanya memiliki simpanan seed bank yang persisten dengan dormansi yang bertingkat yang dapat berkecambah setiap saat sehingga jenis tersebut dapat tumbuh dan bertahan di suatu habitat. Apa yang akan terjadi ketika suatu jenis tumbuhan diintroduksi ke dalam suatu ekosistem dimana jenis tumbuhan tersebut sebelumnya tidak terdapat secara alami, apakah jenis tersebut akan tumbuh dan bertahan? Sebagai pendatang, pada awalnya jenis tumbuhan introduksi harus mampu bertahan pada populasi rendah, sebelum menjadi invasif. Pada kondisi populasi yang rendah, jenis tersebut akan sulit untuk tumbuh, berkembang dan bertahan. Tjitrosoedirdjo dan Tjitrosoedirdjo (2013) mengemukakan bahwa proses invasi merupakan proses yang dinamis, yang biasanya diawali dengan datangnya jenis pendatang di suatu ekosistem yang mengalami perubahan (disturbance) besar. Beberapa contoh dari ekosistem yang mengalami perubahan tersebut adalah: hutan yang dibalak berlebihan dan tidak ditanami kembali, savana atau padang pengembalaan yang over-grazed, perkebunan atau hutan tanaman industri, dan wilayah perairan tawar seperti waduk, danau dan sungai. Selanjutnya dikemukakan bahwa proses invasi dapat dibagi menjadi 4 tahap sebagai berikut : (1) Tahap introduksi. Tahap ini diawali dengan kedatangan jenis tumbuhan pendatang di suatu ekosistem. Frekuensi dan kelimpahan propagul dari jenis pendatang akan berbanding lurus dengan tingkat keberhasilan invasi jenis pendatang. Bila berhasil, akan diikuti dengan proses kemapanan (established). (2) Tahap kemapanan. Proses yang terjadi antara waktu introduksi sampai mulai mapan sangat bervariasi. Ada yang berpendapat bahwa propagul jenis pendatang akan beradaptasi terlebih dahulu dengan perubahan lingkungan sebelum tumbuh membentuk suatu populasi. Setelah mulai mapan, selanjutnya memasuki tahap (dispersal)
penyebaran
(3) Tahap penyebaran. Pada tahap ini, propagul yang terbentuk dari populasi awal, akan disebarkan dan membentuk populasi baru. Keberhasilan dari tahap penyebaran ini akan sangat tergantung
dari kemampuan
jenis
pendatang untuk
penyebaran,
serta
kemampuan untuk berkompetisi dengan jenis local. Jenis pendatang invasif biasanya memiliki kemampuan kompetisi yang lebih tinggi yang mungkin terjadi karena tidak adanya musuh alaminya, dan umumnya mempunyai laju pertumbuhan yang tinggi. (4) Tahap ekspansi dan invasi. Jenis pendatang invasif akan menyebar dan berkembang tidak hanya pada lingkungan seperti pada awal datang di suatu ekosistem, tetapi akan menjelajah ke lingkungan baru sehingga akan menginvasi habitat-habitat dengan keragaman lingkungan yang tinggi.
28
2.4. Jalan Masuk dan Penyebaran Dalam ekologi, invasi didefinisikan sebagai pergerakan suatu spesies dari suatu area dengan kondisi tertentu menuju ke area lain dengan kondisi yang berbeda kemudian secara perlahan spesies tersebut mengokupasi habitat barunya. Definisi lain menyatakan bahwa invasi merupakan proses masuknya propagula berbagai spesies organisme pioneer (invaders) baik itu berupa buah, biji, spora, telur, larva dan sebagainya dari suatu daerah ke daerah yang baru dan menetap di daerah baru tersebut. Pergerakan tersebut dapat terjadi secara sengaja maupun tidak sengaja. Terutama untuk jenis tumbuhan yang tidak mampu bergerak dari suatu wilayah ke wilayah lain, umumnya perpindahan ke tempat yang relatif jauh terjadi melalui media atau perantara. Secara alami tumbuhan akan melakukan penyebaran melalui media manusia, hewan, air dan angin. Pergerakan secara alami seringkali terbatas karena ada hambatan alami. Selama jutaan tahun, hambatan alam berupa lautan, pegunungan, sungai dan gurun menjadi isolasi alam yang berfungsi sebagai penghalang pergerakan alami sehingga keunikan berbagai spesies dan ekosistem tetap terjaga. Penghalang alam yang telah ada dalam ratusan tahun tersebut menjadi tidak efektif disebabkan berbagai perubahan global yang membuat suatu spesies dapat berpindah melintasi jarak yang jauh dan masuk ke suatu habitat baru dan menjadi spesies asing invasif. Penghalang alami yang mampu menahan interaksi berbagai spesies selama jutaan tahun telah berakhir dengan meningkatnya pergerakan dan kegiatan manusia. Transportasi global, pertumbuhan volume perdagangan dan wisata serta ditambah adanya perdagangan bebas memberikan kesempatan yang lebih besar bagi suatu spesies untuk berpindah dari habitat aslinya. Penghalang pergerakan alami yang semula mampu mengisolasi pergerakan spesiesspesies asing ini dapat terjadi secara disengaja, melalui introduksi spesies komoditas, perdagangan dan kepariwisataan, atau tidak disengaja, melalui penempelan berbagai spesies makhluk hidup ini pada kapal, kontainer, mobil, benih, dan tanah. Menurut CBD-UNEP jenis pendatang invasif atau Invasive Alien Species (IAS) merupakan jenis yang diintroduksi baik secara sengaja maupun tidak sengaja dari luar habitat alaminya pada tingkat spesies, subspesies, varietas dan bangsa, meliputi organisme utuh, bagian-bagian tubuh, gamet, benih, telur maupun propagul yang mampu hidup dan bereproduksi pada habitat barunya yang kemudian menjadi ancaman bagi biodiversitas, ekosistem, pertanian, sosial ekonomi maupun kesehatan manusia, pada tingkat ekosistem, individu maupun genetik (spesies impor). Jenis asli adalah spesies yang telah menjadi bagian suatu ekosistem secara alami dan mengalami proses adaptasi yang telah berlangsung lama. Sedangkan jenis pendatang/asing/alien adalah jenis yang dibawa atau terbawa masuk ke suatu ekosistem secara tidak alami. Jenis invasif merupakan jenis asli maupun pendatang yang dapat mempengaruhi habitat, dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, kerugian ekonomi, dan membahayakan manusia. Jenis asing tidak selalu invasif, spesies invasif belum tentu pendatang yang berasal dari luar atau asing. Sedangkan jenis pendatang invasif atau IAS merupakan jenis pendatang yang invasif. Terdapat dugaan bahwa perdagangan dan perjalanan internasional merupakan jalur utama masuknya jenis pendatang invasif, tetapi belum ada data yang pasti dan akurat tentang hal tersebut. Fakta lain menunjukkan bahwa beberapa jenis pendatang yang diintroduksikan 29
selama puluhan tahun tidak menjadi invasive. Hal ini mengindikasikan bahwa laju pemapaman (establishment) jenis asing bervariasi. Beberapa hal yang mempengaruhi sifat invasif anatara lain adanya perubahan dalam spesies asing itu sendiri, perubahan jalur pengangkutan (waktu pengangkutan yang lebih pendek memberikan peluang hidup yang lebih baik bagi spesies tertentu), perubahan iklim, serta perubahan perilaku manusia pada wilayah introduksi, dan sebagainya. Fakta ini menunjukkan bahwa introduksi yang tidak disengaja juga masih merupakan faktor penting dalam perkembangan jenis pendatang invasif. Sebagian besar jenis/spesies tanaman dan hewan diintroduksikan secara sengaja untuk berbagai keperluan misalnya sebagai tanaman hias, hewan sirkus atau kebun binatang, burung piaraan, dan ikan hias atau pemancingan. Sedangkan di sisi lain introduksi invertebrata (termasuk organisme laut) dan mikroba, umumnya terjadi secara tidak disengaja, menempel pada spesies lain yang sengaja diintroduksikan. Gulma juga seringkali terbawa sebagai kontaminan pada biji-bijian yang diimpor, sedangkan tanaman hias yang kemudian menjadi gulma awalnya diintroduksikan secara sengaja untuk hiasan. Pupuk, bahan ameliorasi tanah, kayu bakar, dan sebagainya, kadang terbawa secara tidak sengaja dalam program bantuan kemanusiaan ataupun perdagangan. Sebagai contoh 13 spesies gulma yang dinyatakan berbahaya di Polinesia Perancis, awalnya merupakan spesies-spesies yang sengaja diintroduksikan sebagai tanaman hias dan keperluan lainnya. Di samping jalur tradisional seperti pintu-pintu masuk barang dagangan di pelabuhan, beberapa jalur perlu mendapat perhatian sebagai jalur masuk IAS. Meskipun demikian, hingga saat ini belum ada kesepakatan internasional mengenai hal-hal berikut ini (CBD Subsidiary Body on Scientific and Technological Advice, 2005): 1. Alat Angkut Alat angkut dapat membawa IAS atau dapat menjadi tumpangannya. Alat pengangkutan seperti kapal laut, ferry, kayu gelondongan, perlatan mesin, dan sebagainya perlu diwaspadai. 2.
Aquaculture/Mariculture Introduksi hewan air eksotik dari wilayah lain dapat menjadi IAS di habitat yang baru atau menjadi pembawa IAS yang membahayakan spesies lokal.
3. Ballast Water Ballast water adalah air yang dibawa dalam lambung kapal laut untuk membantu kestabilan kapal selama berlayar. Volume ballast water dapat mencapai puluhan ribu ton bergantung pada ukuran kapal. Potensi dari ballast water dalam membawa IAS patut diperhitungkan. Apalagi sampai saat ini belum ada peraturan internasional mengenai pengendalian dan pengelolaan ballast water untuk melindungi dan meminimalkan resiko masuknya IAS 4. Alat transportasi udara Pesawat terbang sangat berpeluang untuk membawa IAS melalui barang-barang yang dibawa oleh para penumpang. 5. Bantuan militer Bantuan militer dapat menjadi pembawa IAS dari suatu wilayah ke wilayah lainnya melalui peralatan, perlengkapan pasukan, dan sebagainya. Sampai saat ini tidak ada peraturan yang mengharuskan dilakukannya inspeksi terhadap peralatan militer, personil pasukan dan perlengkapan yang dibawanya. 30
6. Bantuan internasional Bantuan kemanusiaan internasional sangat berpeluang membawa IAS melalui kendaraan, peralatan khusus (pertanian, kesehatan, dan sebagainya), dan makanan. Pengawasan IAS melalui jalur ini belum diatur. 7. Penelitian Pertukaran materi penelitian untuk kegiatan ilmiah sangat memungkinkan terbawa IAS. Misalnya pertukaran materi genetik tanaman, spesimen biologi, koleksi klutur mikroba, alat laboratorium, dan pembungkusnya. 8. Pariwisata Turis mancanegara dan domestik dapat menjadi pembawa IAS secara sengaja maupun tidak sengaja melalui barang-barang souvenir maupun sebagai kontaminan pada baju, sepatu, tas dan peralatan pribadi lainnya. 9. Hewan peliharaan dan tanaman hias Perdagangan spesies hewan peliharaan dan tanaman hias dapat membawa IAS. 10. Agen hayati Agen hayati yang diitroduksikan dari wilayah lain dapat menjadi pembawa IAS. Oleh karena itu sebelum digunakan secara massal, agen hayati harus melalui evaluasi kelayakan terhadap keamanannya baik pada tanaman, serangga berguna, hewan, spesies berguna lokal lainnya, dan manusia. 11. Program penangkaran hewan secara ex-situ Pertukaran spesies hewan untuk penangkaran, kebun bianatang dan sarana berburu dari luar negeri perlu diwaspadai kemungkinannya menjadi IAS atatupun membawa IAS. Beberapa contoh jalur invasi penting dari jenis tumbuhan dan hewan pendatang invasif adalah sebagai berikut: Introduksi disengaja • Dintroduksikan untuk tanaman pertanian, kehutanan dan tanaman untuk produksi biofuel • Dintroduksikan sebagai tanaman untuk perbaikan tanah atau untuk pengendalian erosi • Dintroduksikan untuk tanaman hias (hortikultura) • Dintroduksikan atau dilepas sebagai burung atau hewan dengan tujuan untuk berburu • Dintroduksikan atau dilepas sebagai hewan sumber makanan (hewan ternak,perikanan budidaya air dan budidaya air laut) • Penglepasan hewan dan ikan akuarium ke alam liar •Penangkaran kebun binatang atau budidaya tanamandi kebun raya • Diintroduksikan sebagai pengendali hayati Introduksi Tidak Sengaja • Kontaminan dari hasil pertanian, benih atau jerami • Kontaminan tanaman hortikultura, bunga potong, atau di tanah • Organisme di dalam atau pada produk kayu / kayu, palet kayu yang digunakan dalam pengiriman • Kendaraan, mesin untuk pembangunan jalan, peralatan konstruksi, kendaraan militer dan peralatan, pemadam kebakaran, bahan bangunan dan lainnya • Pembuangan air ballast • Tanah Impor • Turis beserta barang-barang dan peralatan mereka = Patogen penyakit pada hewan yang diperdagangkan untuk tujuan pertanian dan lainnya • Kontaminan dalam atau pada bahan,kargo kemasan atau kargo pesawat • Pada pejalan kaki dan nelayan pakaian atau sepatu, dalam kemasan atau tenda, alat tangkap dan lainnya 31
2.5. Pencegahan Pencegahan jenis pendatang invasif (IAS) adalah pendekatan yang paling efektif, murah dan aman untuk melindungi keanekaragaman hayati dan wilayah hutan lindumg dari pengaruh nrgatif jenis pendatang invasif. Pencegahan ini lebih ditujukan untuk melindungi kawasan lindung atau mencegah wilayah tersebut dari masuknya jenis pendatang invasif. Hal ini dapat diterapkan pada skala yang kawasan lindung (atau lokasi tertentu dalam kawasan lindung), wilayah, negara, bangsa atau pada skala yang lebih besar yaitu benua dan internasional. Keberhasilan program pencegahan banyak tergantung pada kegiatan perdagangan dan impor serta peraturan pembatasan, kontrol perbatasan, inspeksi dan lainnya. Pada skala yang lebih besar program pencegahan sangat penting untuk mencegah pendatang baru di kawasan lindung. Program pencegahan dapat ditargetkan untuk menghentikan masuknya jenis pendatang invasif baik yang tidak disengaja ( transportasi) ataupun yang diintoduksi secara sengaja. Pencegahan berhubungan erat dengan identifikasi jalur invasi dan media penyebaran jenis pendatang masuk ke lokasi baru. Meskipun mungkin ada ratusan atau ribuan jenis pendatang yang bisa menjadi invasif di wilayah baru, hanya relatif sedikit jalur dimana jenis pendatang bisa masuk dan menjadi mapan dalam kawasan lindung, daerah atau bahkan suatu negara (Mack 2003; Ruiz & Carlton 2003). Gamba1 menunjukkan bahwa pola penyebaran jenis pendatang invasif terdiri dari 4 tahap: intoduksi, establishment, invasion dan spread. Pada skala proyek, , kebanyakan upaya pengelolaan jenis pendatang invasif biasanya banyak dilakukan untuk manajemen dan kontrol selama tahap lanjut dari kurva pertumbuhan ini. Hal ini dalam jangka panjang dan dalam skala besar sangat tidak efisien. Penggunaan sumber daya yang tersedia untuk mengatasi jenis pendatang invasif pada dua fase pertama (introduksi dan establihment), dan pada tahap deteksi dini dan tahap respon cepat terhadap pendatang baru (biasanya selama tahap kedua atau ketiga) akan lebih efisien dan efektif dalam melindungi keanekaragaman hayati dalam jangka panjang (Chornesky et al 2005;. FICMNEW 2003; Leung et al. 2002). Seperti sudah dikemukakan jenis tumbuhan pendatang (IAS) diintroduksikan sengaja dan tidak sengaja. Sebagian besar yang tidak disengaja masuk menyebar melalui perdagangan makhluk hidup (tumbuhan dan hewan), sedangkan yang tidak disengaja terbawa dalam perdagangan, transportasi dan transportasi. Jenis tumbuhan pendatang dapat terbawa oleh alat transportasi, peralatan dan bahan kemasan, atau sebagai kontaminan pada kargo itu sendiri. Oleh karena itu, untuk menentukan strategi pencegahan, perlu memperhatikan jalur masuk dan penyebarannya. Pendekatan yang biasanya dilakukan untuk pencegahan organisme invasif adalah untuk target jenis individu. Pendekatan yang lebih komprehensif adalah dilakukan dengan cara mengidentifikasi jalur masuk utama yang menyebabkan invasi berbahaya dan mengelola resiko yang menyertainya. Sekalipun perdagangan dan lalu lintas internasional diyakini sebagai penyebab masuknya jenis pendatang invasif yang berbahaya, namun tidak ada pengetahuan yang berbasiskan jalur masuk nyata, kecuali di sebagian kecil negara. Metoda identifikasi berdasarkan pathway lebih dari satu jenis individu diduga sebagai cara yang lebih efisien untuk memusatkan upaya dimana hama paling mungkin untuk memasuki perbatasan negara dan terhindar dari pemborosan sumberdaya di tempat lain. 32
Untuk memprediksi sifat invasif suatu jenis, metode yang lebih dapat dipercaya adalah meramalkan kemungkinan terjadinya invasi atas dasar laporan jenis invasif di tempat lain dengan kondisi yang sama. Suatu jenis yang diketahui invasif di suatu tempat harus dimasukkan sebagai prioritas utama dalam daftar hitam (black list) untuk pencegahan. Daftar lainnya yaitu daftar putih (white list) merupakan daftar yang memuat jenis-jenis yang sudah dibebaskan untuk diintroduksi dan dinyatakan aman. Seluruh jenis yang belum masuk list diperlakukan sebagai potensi ancaman terhadap biodiversity, ekosistem atau ekonomi. Introduksi tumbuhan yang disengaja untuk kepentingan tertentu harus dijamin keamanannya atas proses penilaian resiko sebelum diintroduksi. Catatan potensi suatu jenis eksotik bersifat invasif tetap perlu ditambahkan baik dalam white maupun black list. Hal lain yang perlu difahami adalah bahwa sifat invasif dari suatu jenis eksotik dapat berubah karena waktu, komposisi genetik populasi yang diintroduksi dan perubahan perilaku manusia (misalnya tata guna lahan). Oleh karena itu, jenis-jenis dalam white list haruslah dinilai kembali secara periodik. Beberapa metode yang diperlukan untuk dalam pencegahan jenis pendatang invasif adalah: (1)Undang-undang dan peraturan karantina; (2) Kemudahan informasi tentang organisme invasif; (3) Pendidikan untuk masyarakat tentang jenis pendatang invasif; (4) Inspeksi atau pemeriksaan yang teratur; dan (5) Pengembangan teknologi untuk pencegahan bio-invasi melalui berbagai jalur masuk. Tindakan pencegahan dapat dilakukan terbatas terhadap suatu kawasan lindung atau lebih luas terhadap suatu negara, regional maupun internasional. Untuk suatu kawasan lindung, beberapa tindakan pencegahan sebagai berikut: (1) Tindakan pembersihan semua peralatan utuk semua pengunjung termasuk peralatan untuk berkemah, kendaraan,sepatu, pakaian dan lainnya, sebelum masuk ke lokasi. (2) Hanya menggunakan tanah dan bahan penanaman yang bebas dari jenis pendatang untuk keperluan restorasi, pengendalian erosi dan penanaman. (3) Mencari jalan dan akses jalan yang jauh dari tempat yang diketahui terinfestasi jenis pendatang. (4) Menggunakan sistem transportasi internal untuk mencegah kendaraan eksternal membawa organisme memasuki daerah hutan lindung. (5) Melakukan pembersihan peralatan pemadam kebakaran pada saat dilakukan pemadaman kebakaran. (6) Menutup jalan dan jalur yang mungkin berfungsi sebagai jalur invasi jenis pendatang. (7) Memberi pendidikan kepada masyarakat tentang sanitasi peralatan, tidak membuang tanah atau tumbuhan atau hewan dari luar di lokasi hutan lindung. 2.6. Deteksi Dini Bersamaan dengan pencegahan, strategi lain diperlukanuntuk tetap menjaga kawasan lindung terhadap jenis pendatang invasif yaitu deteksi dini jenis atau spesies baru di lokasi kawasan lindung dan respon yang cepat untuk memberantas jenis tersebut sebelum terjadi penyebaran (Chornesky et al 2005;. Hobbs & Humphries 1995). Keberhasilan dalam mendeteksi dini potensi invasi suatu jenis dapat cepat menghindari dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati dan mata pencaharian, serta dapat menghemat sumber daya manajemen lainnya (Leung et al. 2002; Rejmánek & Pitcairn 2002). Banyak jenis pendatang invasif sulit atau tidak mungkin untuk dikelola setelah jenis tersebut memasuki fase pemantapan (established). 33
Deteksi dini dan respon cepat dapat digunakan mulai skala kecil sampai skala besar, mulai dari kawasan lindung sampai wilayah atau negara. Hal ini dapat diimplementasikan dengan sumber daya staf yang terbatas atau sebagai bagian dari program yang komprehensif yang melibatkan banyak staf dan relawan. Bila jumlah karyawan atau relawan yang tersedia terbatas, maka kepada mereka dapat diberikan informasi dan pemahaman tentang jenis pendatang invasif baru serta potensinya untuk menginvasi daerah tertentu. Bila jumlah staf dan relawan mencukupi, mereka dapat dilakukan survei tentang jenis invasif beserta potensinya dengan lebih komperhensif (FICMNEW 2003): Salah satu unsur penting dalan mengimplementasikan deteksi dini dan respon cepat adalah kerjasama dengan masyarakat pemilik tanah di sekitar lokasi. Program deteksi dini dan respon cepat sepenuhnya dapat dilakukan di lokasi atau hutan lindung, tetapi perlu upaya keras untuk bekerjasama dengan pemilik tanah di sekitarnya terutama daerah yang berbatasan dengan hutan lindung yang mungkin menjadi sumber infestasi dari jenis pendatang. Bekerja sama dengan pemilik tanah sekitarnya. Kerjasama semacam ini akan memerlukan koordinasi dan komunikasi serta waktu di antara semua pemangku kepentingan. Menjadi sangat penting untuk semua pemangku kepentingan untuk secara bersama menetapkan sasaran jenis pendatang invasif baru berdasarkan hasil survey dan informasi lainnyan dengan data dan informasi yang lengkap. Selain itu, keterlibatan stakeholder mungkin sangat diperlukan untuk mengembangkan pendekatan publik atau komunikasi yang sistematk untuk mendapatkan dukungan untuk isu-isu serta kegiatan yang direncanakan. Deteksi dini jenis-jenis asing atau pendatang sebaiknya berdasarkan pada suatu sistem survey reguler untuk menemukan jenis mapan baru. Meskipun demikian, tidak seluruh jenis tersebut akan mapan, dan hanya sedikit persentasinya yang akan menjadi invasif, dan merupakan ancaman terhadap biodiversity dan ekonomi. Dengan demikian, beberapa survey akan dibutuhkan untuk fokus terhadap target jenis tertentu yang diketahui menjadi invasif dalam kondisi yang sama. Metode untuk mendeteksi perbedaan jenis antara grup taksonomi seringkali menjadi masalah untuk kelompok taksonomi yang besar. Teknik sampling perlu dikembangkan untuk mendapatkan data dan informasi yang akurat, khususnya untuk kelompok taksonomi besar. Beberapa hal penting dalam pelaksanaan deteksi dini dan tanggap cepat terhadap ancaman invasi jenis pendatang invasif ke suatu kawasan lindung adalah sebagai berikut: 1. Pelatihan sumberdaya manusia Menyusun dan melaksanakan program deteksi dini dan respon cepat memerlukan informasi cepat dan memerlukan edukasi atau pelatihan kepada masyarakat, termasuk peneliti, pengunjung, dan pemangku kepentingan lain selain staf dan relawan dari lokasi yang dilindungi. Pengelola kawasan lindung perlu memahami beberapa hal sebagai berikut: o Menetapkan lokasi dan prioritas survey o Memahami protokol survey termasuk waktu survei dan pemetaan o Membuat daftar jenis pendatang invasif yang mungkin akan menginvasi kawasan lindung. o Menentukan jalur pelaporan (kepada siapa siapa dan lembaga apa harus melapor), dan o Menetapkan bagaimana dan siapa yang akan merespon IAS baru;
34
Untuk mereka yang akan melakukan deteksi dini perlu mengetahui beberapa hal penting sebagai berikut: (a) Mengetahui lokasi terpenting di mana jenis invasive mungkin menginvasi dan dimana lokasi yang paling penting untuk dikonservasi; (b) Mengidentifikasi jenis tumbuhan dalam daftar jenis yang perlu diwaspadai, dan menentukan memeriksa jenis yang diduga sebagai jenis invasive; (c)Mengetahui bagaimana dan ke mana melaporkan tentang keberadaan jenis tumbuhan baru tersebut.
2. Identifikasi Jenis Asing Invasif Jenis asing hasil deteksi dini perlu secara taksonomis diidentifikasi oleh para ahli yang kompeten, selanjutnya diawetkan dalam betuk herbarium untuk berbagai kepentingan. 3. Pelaporan Hasil Deteksi Dini Jika jenis pendatang baru telah terdeteksi, maka perlu sesegera mungkin kepada otoritas tepat. Semua fihak yang terkait harus tahu bagaimana melaporkan jenis invasive baru dan harus jelas siapa yang bertanggung jawab untuk menangani laporan tersebut. 4. Penilaian Cepat Penilaian cepat terhadap distribusi jenis tumbuhan invasive baru yang terdeteksi serta mengevaluasi potensinya, dapat memberikan pilihan untuk melakukan tidakan yang tepat. Pilihan dapat brupa tindakan pemberantasan atau cukup dengan mengendalikannya. 5. Berdasarkan informasi yang lengkap dari penilaian cepat,selanjutnya dibuat perencanaan untuk tindakan pemberantasan atau pengendalian.Dalam perencanaan ini perlu ditetapkan penanggungjawab kegiatan tersebut. 6. Tanggapan Cepat Mengambil tindakan atau respon cepat perlu dilakukan agar jenis tumbuhan baru invasive tidak menyebar atau menginvasi wilayah lai. Tidakan apapun yang dilakukan perlu didokumtasikan alasan pengambilan keputusannya. 7. Monitoring dan Evaluasi Tahap selanjutnya adalah pemantauan keberadaan jenis pendatang tersebut secara teratur. Data hasil pemantauan harus dievaluasi dan membuat rencana dan tidakan berikutnya. Perlu dipastikan person yang bertanggung jawab dalam pemantauan, evaluasi dan pelaporan. Beberapa hal penting lain dalam pengembangan deteksi dini dan respon cepat dalam pengelolaan kawasan lindung adalah sebagai berikut: (1) Mengidentifikasi dan menentukan staf dan ahli kapasitas, sumber daya dan kendala; (2) Menentukan kebutuhan dan ketersediaan dukungan dari lembaga penelitian, LSM dan mitra lainnya; dan (3) Mengembangkan rencana kontinjensi dan sumber pendanaan untuk pekerjaan deteksi (survei periodik) dan untuk tanggap darurat yang akan diperlukan jika jenis invasif terdeteksi. 2.7. Strategi Pengelolaan Dalam pengelolaan kawasan lingkungan jangka panjang, paling sedikit terdapat empat strategi utama yang berhubungan dengan jenis eksotik invasif yang mapan, (a) pemberantasan (eradication); (b) pengurungan; (c) Pengendalian (control); dan (d) Mitigas (mitigation). Berikut penjelasan secara singkat dari keempat strategi tersebut.
35
A. Pemberantasan
Pemberantasan atau eradikasi adalah pembersihan seluruh populasi jenis eksotik invasif termasuk yang dalam tahap dormansi, dalam suatu wilayah kelola. Ketika pencegahan tidak berhasil menghentikan masuknya jenis eksotik, program pemberantasan adalah suatu metode upaya banyak disukai. Pemberantasan adalah suatu respon cepat untuk deteksi dini suatu jenis pendatang seringkali menjadi kunci sukses dan solusi yang efektif. Meskipun demikian, pemberantasan seharusnya hanya dilakukan di lokasi yang tertentu yang terbatas dan mudah. Tentu saja dalam menerapkan metode pemberantasan ini perlu mempertimbangkan keefektifan teknis, ketersediaan sumberdaya manusia, analisis biaya dan dampak terhadap lingkungan. B. Pengurungan
Pengurungan atau containment jenis pendatang invasif adalah suatu bentuk kontrol atau pengendalian khusus. Tujuannya adalah untuk membatasi penyebaran jenis eksotik dan menahan populasi dalam suatu wilayah geografis tertentu. Pengurungan ini juga dilakukan untuk menghentikan penyebaran jenis invasif dan untuk mencegah jenis tersebut menetap dalam wilayah yang berdekatan. Hal ini juga dapat dilakukan jika penghalang alami yang menghalagi penyebaran ini cukup luas. Dalam beberapa kasus penahanan/pengurungan dapat digunakan sampai ditemukan metoda control yang efektif seperti pengendalian kulturtenik atau pengendalian hayati. Dalam metode ini, monitoring dan evaluasi serta keterlibatan masyarakat umum menjadi faktor kritis. Salah satu komponen penting program pengurungan adalah kemampuan untuk mendeteksi dengan cepat koloni baru jenis invasif dan penyebarannya dari batas distribusinya atau di wilayah baru secara lengkap, sehingga upaya kontrol dapat diimplementasikan pada waktu dan cara setepat mungkin. Koloni jenis pendatang invasif yang baru tersebut awalnya akan berada pada kepadatan yang sangat rendah. Dengan demikian, deteksi dini akan menjadi tantangan. Populasi jenis invasif dapat ditekan dengan menggunakan berbagai metode di sepanjang perbatasan wilayah pengurungan.Penyebaran individu dan koloni yang melewati wilayah ini perlu dicegah. Demikian juga , introduksi ke wilayah di luar wilayah pengurungan perlu dicegah. Metode pengurungan akan efektif bila dilakukan terhadap jenis tumbuhan yang termasuk dalam kelompok spesies yang memiliki pola penyebaran yang lambat, dan daerah penyebarannya relatif dekat. Demikian juga akan mudah akan mudah dan efektif bila metode ini diterapkan pada suatu pulau yang tidak mempunyai jaringan yang memungkinkan mudahnya penyebaran. C. Pengendalian
Pengendalian atau kontrol jenis eksotik invasif ditujukan untuk pengurangan kepadatan dan kelimpahan populasi dam jangka panjang untuk tetap berada di bawah ambang populasi tertentu yang diperbolehkan. Kerusakan yang disebabkan oleh jenis invasif di bawah ambang ini adalah pertimbangan yang bisa diterima dengan tidak mengabaikan kerusakan terhadap biodiversity dan ekonomi. Nilai ambang ini bervariasi tergantung dari keinvasifan jenis dan jenis habitat atau ekosistem. Penelitian tentang ambang ekonomi dan dampak tingkat populasi terhadap kerusakan biodiversitas sangat penting dilakukan. Penekanan populasi jenis pendatang sampai di bawah ambang membuat kondisi jenisjenis asli mampu bersaing. Keadaan jenis pendatang yang lemah dapat menjadikan jenis asli untuk memperoleh kembali sumberdaya yang selanjutnya mengurangi kelimpahan jenis 36
pendatang. Pada kasus tertentu yang mungkin langka, kemapanan jenis-jenis asli memungkinkan mendorong kearah pemusnahan jenis pendatang. Hal ini akan terjadi bila dikombinasikan dengan upaya restorasi habitat untuk mendukung jenis-jenis asli dan meletakan kembali sistem dan kondisi alami secara utuh. Sama seperti pengendalian gulma pada umumnya, metoda pengendalian jeis tumbuhan invasive di kawasan lindung dapat dikelompokkan menjadi pengendalian fisik/mekanik, pembakaran, pengendalian hayati dan pengendalian kimiawi. Dalam pengelolaan kawasan lindung juga dikenal metode pengendalian restorasi. 1. Pengendalian Fisik/Mekanik. Metode ini menggunakan tenaga kerja manual, alat-alat tangan, dan / atau mesin untuk mengendalikan. Contohnya termasuk tangan mencabut, menggali dengan sekop, atau menggunakan mesin pemotong atau peralatan lain untuk mencabut dan memotong tumbuhan. Untuk pengendalian jangka panjang metode ini sering dikombinasikan dengan metode lain seperti metode kimiawi maupun pengendalian hayati 2. Pengendalian dengan Pembakaran. Metode ini adalah metode menggunakan api terkendali secara disengaja untuk mengendalikan jenis tumbuhan invasf di kawasan lindung. Metode ini sering dikombinasikan dengan pengendalian secara kimiawi. 3. Pengendalian Hayati. Metode ini menggunakan jenis atau spesies lain untuk mengendalikan jenis tumbuhan invasive sasaran. Untuk tumbuhan invasive pendatang banyak digunakan jenis serangga monofag yang inangnya terbatas pada jenis tumbuhan invasive sasaran. Pengendalian hayati tidak ditujukan untuk memberantas atau mengeradikasi tumbuhan invasive sasaran, tetapi lebih ditujukan untuk mengendalikannya hingga batas populasi tertentu yang dapat diterima 4. Pengendalian Kimiawi. Metode kimiawi merupakan metode pengendalian dengan menggunakan herbisida. Metode ini dapat bekerja dengan cepat dan efektif, tetapi seharusnya menjadi pilihan terakhir, dan digunakan dengan sangat hati-hati. Hal ini karena metode kimiawi dapat memberikan dampak negatif terhadap organisme nontarget, kesehatan manusia, dan lingkungan. 5. Restorasi. Metode ini digunakan dengan cara revegetasi dan reintroduksi jenis tumbuhan atau vegetasi yang diinginkan untuk merehabilitasi bagian-bagian lahan yang kosong akibat perlakuan pengendalian. Revegetasi dengan vegetasi asli atau nonpribumi (tetapi non-invasif) dapat membantu mencegah erosi serta untuk mencegah invasi kembali lokasi kawasan lindung dari jenis invasif pendatang baru yang lain. D. Mitigasi
Jika pemberantasan, pengurungan dan kontrol bukan pilihan yang tepat atau telah gagal dalam pengelolaan jenis pendatang invasif, usaha terakhir adalah hidup bersama jenis pendatang invasif dengan cara terbaik dan mitigasi dampak terhadap biodiversity dan jenisjenis lokal yang terancam. Mitigasi yang digunakan dalam kontek ini berbeda dari pengurungan dan pengendalian terhadap jenis pendatang, tetapi lebih fokus pada perlakuan terhadap jenis asli. Mitigasi sebagian besar umumnya digunakan pada konservasi jenis terancam dan bisa didekati pada berbagai level. Bila memungkinkan, secara ekstrim dapat dilakukan dengan cara translokasi populasi jenis terancam kedalam suatu ekosistem yang bebas dari suatu jenis pendatang invasif.
37
DAFTAR PUSTAKA [Omafra] Ontario Ministry of Agriculture, Food and Rural Affairs. 2002. Principles in integrated weed management: critical period of weed control. http///www.agsolutions.ca. [29 Januari 2006]. Ball, D.A. and S.D. Miller. 1993. Cropping history, tillage and herbicide effect on weed flora composition in irrigation corn. Agron. J. 85: 817-821. Bangun, P. 1981. Pengaruh pengelolaan air terhadap infestasi gulma, pertumbuhan dan hasil tanaman padi sawah. Thesis Fakultas Pasca Sarjana, IPB. Bogor. CBD (Convention on Biological Diversity). 1992. United Nations Environment Programme [online] Available from www. biodiv.org. Chomskey, E. A. A. M. Bartuska, G. H. Aplet, K. O. Briton, J. Cummings-Carlson, F. W. Davis, J. Eskow, D. R. Gordon, K. W. Gottschalk, R. A. Haack, A. J. HansenR.N. Mack, R. J. Rahel, M. A. Shannon, L. A. Wainger, and T. B. Wigley. 2005. Science priorities for reducing the threat of invasive species to sustainable forestry. Bioscience 55(4):335 - 348 Chozin, M. A. 2006. Peran Ekofisiologi Tanaman dalam Pengembangan Teknologi Pertanian. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB. Chozin, M.A. dan R. Poerwanto. 1999. Teknologi budidaya pertanian masa depan. Simposium Nasional Inovasi Pertanian, WTC Surabaya, 24-25 November 1999 Chozin, M.A. 1987. Studies on the mechanism of reproduction by seed in cyperaceous weeds : seed dormancy and germination of Cyperus iria L. and Cyperus microiria Steud. Thesis. Division of Agricultural Sciences, Graduate School Okayama University. Japan. Chozin, M.A. and K. Nakagawa. 1987. Effects of strorage periods on the seeds germination of Cyperus iria and C. microiria. 26th Conference of Japanese Weed Sci. Soc. Kyoto, Japan, April 910th , 1987. Chozin, M.A. and Sumantri. 1984. The use of mulch following preemergence herbicide in maize (Zea mays). Symposium on Weeds Science. SEAMEO-BIOTROP, Bogor, Indonesia, July, 1984 Chung, I.M., K.H. Kim, J.K. Ahn, S.B. Lee, S.H. Kim, S.J. Hahn. 2003. Comparison of allelopathic potential of rice leaves, straw, and hull extracts on Barnyardgrass. Agron J 95:1063-1070. Djauhari, E. dan Agus S. 2001. Pengaruh beberapa jenis mulsa terhadap pertumbuhan jahe, gulma dan hasil rimpang jehe muda. Prosiding Konferensi Nasional XV Himpunan Ilmu Gulma Indonesia. Erida, G. dan Hasanuddin. 1996. Penentuan periode kritis tanaman kedelai terhadap kompetisi dengan gulma. Prosiding I Konferensi Nasional XIII Himpunan Ilmu Gulma Indonesia. Bandar Lampung 5-7 November 1996. Guntoro, D., M.A. Chozin dan A. Wibowo. 2003. Pengaruh Allelopati Beberapa Jenis Gulma pada Tingkat Konsentrasi Ekstrak Bahan Kering yang Berbeda terhadap Pertanian. Prosiding Konferensi Nasional XVI Himpunan Gulma Indonesia. Hal 132-139. Handoko. 1993. Klimatologi Dasar-Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer dan Unsur-Unsur Iklim. PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta Hong, N.H, T.D. Xuan, T. Eiji, and T.D. Khanh. 2004. Paddy weed control by higher plants from Southeast Asia. Crop Prot J 23:255-261. Inderjit and K.I. Keating. 1999. Allelopathy: principles, procedures, processes, and promises for biological control. Di dalam: Sparks DL (ed). Adv Agron Vol 67. San Diego: Academic Press. Jung WS, Kim KH, Ahn JK, Hahn SJ, Chung IM. 2004. Allelopathic potential of rice (Oryza sativa L.) residues against Echinochloa crus-galli. Crop Prot J 23:211-218. Kasasian, L. 1971. Weed Control in The Tropic. Leonard Hill, London
38
Kephart, K. D., D. R. Buxton and S. E. Taylor. 1992. Growth of C3 and C4 perennial grasses in reduced irradiance. Crop Sci. 32:1033-1038. Leung, B., Lodge, D.M., Finnoff, D., Shogren, J.F., Lewis, M.A. and G. Lamberti. 2002. An ounce of prevention or a pound of cure; Bioeconomic risk analysis of invasive species. Proc. R. Soc. London 269: 2407-2413
Lontoh, A.P., I. H. Utomo, J. Wiroatmodjo, dan L.I.R.M. Tumbeleka. 1990. Allelopati teki (Cyperus rotundus L.) dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai (Glycine max Merr.) serta kacang tanah (Arachis hypogaea L.). Buletin Agronomi 22(1) : 43-50. Mack, R.N. 2003. Global plant dispersal, naturalization and invasion: Pathways, modes, and circumstances. In: Ruiz, G.M. and J.T. Carlton (eds.) 2003. Invasive Species: Vectors and Management Strategies. Washington.
Mahfudz, M.A. Chozin, S. Tjitrosemito, and Sri S. Tjitrosoedirdjo. 2002. Study on weeds dynamic in some cropping system in the forest margins of Lore Rindu National Park. Paper presented in the International Symposium on Land Use, Nature Conservation and Stability of Rainforest Margins in Southeast Asia. Bogor, September 30 – October 1, 2002 Mahfudz. 2005. Dinamika infestasi dan karakter ekofisiologi gulma di daerah penyangga taman nasional Lore Lindu. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 103 hal. Mangoensoekarjo, S. 1983. Pedoman Pengendalian Gulma pada Budidaya Perkebunan. Perkebunan, Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.
Dirjen
Marpaung, R.D.R. 1995. Pengaruh sistem tanam dan takaran benih kacangan penutup tanah terhadap penekanan gulma pada kebun kelapa belum menghasilkan. Skripsi Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian IPB. McNelly, J. A., Mooney, H. A. Neville, L. E. Schei, P. and Waage, J. K. 2001. A global strategy on invasive alien species. Gland, Switzerland, UK: IUCN Moenandir, J. 1993. Pengantar Ilmu dan Pengendalian Gulma I. Rajawali Press. Jakarta. 122hal. Molisch, H. 1937. Der Einfluss Einer Pflanze Auf Die Andere-Allelopathie. Jena: Fischer Mutaqin, I. Z. 2001. Upaya penanggulangan tanaman eksotik Acasia nilotica di Kawasan Taman Nasional Baluran. Dalam Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Jenis Asing Invasif. The Nature Conservacy, Jakarta, Indonesia. Mustari, K. 2005. Penggunaan tanaman penutup tanah untuk menekan pertumbuhan gulma di perkebunan kelapa sawit (implemetasi sistem pertanian berkelanjutan). Prosiding Konferensi Nasional XVII Himpunan Ilmu Gulma Indonesia. Hal II-10 – II-16. Nietto, J.H., M.A. Brondo, and T.J. Gonzales. 1968. Critical period of crop growth cycle for competition from weed. PANS (C) 14: 159-166. Pramudyani, L., Khairuddin, dan A.T. Suyono. 2005. Pengaruh takaran pupuk urea dan tinggi genangan air terhadap pertumbuhan anakan produktif padi sawah dan anakan gulma Fimbristylis miliacea (L.) Vahl serta serapan nitrogen. Prosiding Konferensi Nasional XVII Himpunan Ilmu Gulma Indonesia. Pramuhadi, G., E.N. Sembiring, R. P. A. Setiawan dan M.A. Chozin. 2004. Efek Insensitas Pengolahan Tanah dan Aplikasi Herbisida terhadap Pertumbuhan Tebu dan Gula. Prosiding Simposium Nasional Pertanian Organik, Bogor. 30 November 2004. Qasem, JR dan C.L. Foy. 2001. Weed allelopathy, its ecological impacts and future prospects: a review. J of Crop Prod 4:43-119. Rao, V.S. 2000. Principles of Weed Science. Science Publishers, Inc. California, USA.
39
Reigosa, M.S, L. Gonzalesy, X.C. Souto, J.E. Pastoriza. 2000. Allelopathy in forest ecosystem. Dalam: Narwal SS, Hoagland RE, Dilday RH, Reigosa MJ (ed). Allelopathy in Ecologycal Agriculture and Forestry. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. hlm 183-193. Rice EL. 1984. Allelopathy. Ed ke-2. Orlando: Academic Press. Rice EL. 1995. Biological Control of Weeds and Plant Diseases: Advances in Applied Allelopathy. Orlando: Academic Press. Rusyadi, E. 1993. Pengaruh tinggi genangan air dan cara pengendalian gulma terhadap populasi gulma dan produksi padi IR-64. Skripsi Jurusan Budidaya Pertanian, Faperta IPB. Bogor. 52 hal. Sastroutomo, S.S. 1990. Ekologi Gulma. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Singh, H.P., D.R. Batish, R.K. Kohli. 2001. Allelopathy in agroecosystems: an overview. J of Crop Prod 4:1-41. Singh, H.P., D.R. Batish, R.K. Kohli. 2003. Allelopathic interaction and allelochemicals: new possibilities for sustainable weed management. Crit Rev Plant Sci 22:239-311. Smith, J.R. Jr. 1968. Weed competition in rice. Weed Sci. 16: 252-254. Soerjani, M. 1978. Mencegah kehilangan produksi dengan pengendalian gulma secara tepat. Menara Perkebunan 46(4) : 175-180. Soerjani, M., S. Mangoendihardjo, dan M. Sundaru. 1977. Pengelolaan tumbuhan pengganggu tanpa herbisida. Dalam Wrdojo, S., Soehardjo, S. Adisoemarto, E. Soenarjo dan M. Ismunadji (Ed), Aspek Pestisida di Indonesia. Lembaga Pusat Penelitian Pertanian. Edisi Khusus 3. Bogor Syawal, 1999. Pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis pada andisol dengan pemupukan nitrogen dan penyiangan gulma pada periode kritis tanaman. Prosiding I Konferensi Nasional XIV Himpunan Ilmu Gulma Indonesia Tampubolon, B.H. 2004. Pertumbuhan dan hasil tanaman jagung yang ditumpangsarikan dengan Calopogonium caeruleum Hemsl disertai pemupukan nitrogen. Bulletin. Agron. 32(1) : 13-19. Tobing, I.E. and M.A. Chozin. 1980. A critical period of lowland rice to weed competition. Buletin Agronomi 11(2): 1-6. Utomo, I.H. dan W. Hermawan. 1985. Allelopati. Laporan Penelitian Institut Pertanian Bogor. Bogor. 47 hal. Widaryanto dan Damanhuri. 1990. Pengaruh cara pengendalian gulma dan pemberian mulsa jerami terhadap pertumbuhan dan produksi bawang putih. Prosiding Konferensi Nasional X Himpunan Ilmu Gulma Indonesia.
40