UNIVERSITAS INDONESIA
PERKEMBANGAN KESUSASTRAAN ARAB DI MAROKO (STUDI KASUS: RIHLAH KARYA IBNU BATHUTHAH)
MAKALAH NON SEMINAR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora
MARETHA WIDIA PUTRI 1206253312
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ARAB DEPOK 2016 1 Perkembangan kesusastraan …, Maretha Widia Putri, FIB UI, 2016
2 Perkembangan kesusastraan …, Maretha Widia Putri, FIB UI, 2016
3 Perkembangan kesusastraan …, Maretha Widia Putri, FIB UI, 2016
4 Perkembangan kesusastraan …, Maretha Widia Putri, FIB UI, 2016
PERKEMBANGAN KESUSASTRAAN ARAB DI MAROKO (STUDI KASUS: RIHLAH KARYA IBNU BATHUTHAH) Maretha Widia Putri 1206253312 Program Studi Arab, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
[email protected]
Abstrak Jurnal ini membahas perkembangan kesusastraan Arab di Maroko dengan studi kasus Rihlah karya Ibnu Bathuthah, yaitu pemaparan tentang profil Ibnu Bathuthah dan analisis unsur intrinsik karyanya. Maroko sebagai salah satu dari sekian banyak negara Arab menjadi menarik untuk dibahas perkembangan kesusastraannya karena menggunakan empat bahasa yang berbeda dalam penuturan kesehariannya, ditambah dengan adanya seorang pelancong terkenal dunia selain Marco Polo yang berasal dari negara tersebut yaitu Ibnu Bathuthah. Ia lahir dari sebuah keluarga Hakim ternama di zamannya, walau terlahir dengan latar belakang tersebut, ia tidak mengikuti begitu saja takdirnya, ia lebih memilih menjadi seorang muslim yang gemar melancong untuk melihat tempat-tempat baru di dunia dan mengambil banyak pelajaran dari berbagai perjalanannya. Hasil perjalanannya pun ia tuangkan dalam sebuah narasi berjudul Rihlah yang ditulis oleh seorang sastrawan muda bernama Ibnu Juzayy. Karya monumentalnya tersebut telah mendunia dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, salah satunya bahasa Indonesia. Penulisan jurnal ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data studi pustaka. Kata Kunci: Kesusastraan Arab; Maroko; Ibnu Bathuthah; Rihlah.
ARABIC LITERATURE DEVELOPMENTS IN MOROCCO (CASE STUDY: RIHLA WORK OF IBN BATTUTA) Abstract This journal discusses about the development of Arabic literature in Morocco with a case study of Rihla work of Ibn Battuta, that is the exposure of Ibn Battuta profile and analysis of the intrinsic elements of his work. Morocco as one of many Arabic countries that will be interesting to discuss about the development of its literature because it uses four different languages in a narrative of daily life, coupled with the existence of the world other than a famous traveler, Marco Polo who come from these countries, namely Ibn Battuta. He was born from a family of renowned judge in his day, though born with that background, he simply did not follow his destiny, he prefers to be a Muslim who likes to travel to see new places in the world and take lessons from his travels. The results of his trip, he pours into a narrative titled 'Rihla' written by a young poet named Ibn Juzayy. His monumental work has been worldwide and translated into many languages, one of them is Indonesian. Writing this journal by using qualitative research methodology with data collection techniques literature. Keywords: Arabic Literature; Morocco; Ibn Battuta; Rihla.
5 Perkembangan kesusastraan …, Maretha Widia Putri, FIB UI, 2016
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Maroko sebagai negara yang menggunakan empat bahasa, yaitu; Arab, Berber, Perancis, dan Inggris sebagai alat komunikasi juga memiliki karya-karya sastra yang ditulis dalam bahasa masing-masing tersebut. Keragaman sastra di Maroko ini lah yang mendorong penulis untuk lebih menggali karya-karya sastra di negeri matahari terbenam itu, terutama karya sastra dalam bahasa Arab, yang mana kini bahasa Arab menjadi bahasa utama yang digunakan di Maroko, selain hal itu sebagai protektorat Perancis (1912-1956), Maroko terus memproduksi sastra dalam bahasa Arab1. Maroko juga menjadi salah satu negara di antara negara-negara yang berkembang karya sastranya, dalam situs resmi negara Maroko dikatakan bahwa literatur Maroko adalah selimut rumit tenunan dari novel, puisi, esai, dokumen, biografi, historiografi, sains, dan ilmu pengetahuan alam2. Dari sekian banyak literatur Maroko tersebut saya akan membahas mengenai karya Ibnu Bathuthah dalam bentuk narasi atau novel yang berjudul Rihlah. Karya Ibnu Bathuthah yang berjudul Rihlah merupakan karya sastra Maroko yang paling produktif karena telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia. Rihlah merupakan catatan perjalanan Ibnu Bathuthah yang berlangsung selama hampir tiga dekade, termasuk dalam buku perjalanan yang paling terkenal dalam literatur Arab abad pertengahan3. Seperti yang dilansir oleh situs resmi negara Maroko sendiri bahwa pikiran sastra paling produktif dan terkenal adalah milik tokoh ikonik Maroko yaitu Ibnu Bathuthah. Ia menerbitkan narasi yang disebut Rihlah, yang berarti "Travels", pada tahun 1356 setelah ia melakukan perjalanan yang dimulai dari tanah kelahirannya di Maghrib (Maroko) – Afrika Utara, ke jazirah Arab, sampai ke Asia Kecil, wilayah yang disebut para pelancong Barat dengan “Bulan Sabit yang Subur”, kemudian menuju anak benua India, ujung pulau Sumatra, dan bahkan mengunjungi Cina. Karya Ibnu Bathuthah yang berjudul Rihlah ini bukan hanya sekadar sebuah catatan perjalanan yang biasa ke berbagai daerah di belahan dunia, melainkan juga sebagai catatan sejarah tentang situasi dunia Islam di zaman klasik, keadaan masyarakat di tiap daerah yang disinggahinya, bahkan mengenai letak geografis daerah yang saat itu belum dikenal oleh para 1
Julie Scott Meisami dan Paul Starkey, Encyclopedia of Arabic Literature, London: Routledge, 1998, hlm. 531. http://www.morocco.com/culture/literature/ diakses pada Rabu, 27 Januari 2016, pkl. 14.14 WIB. 3 Julie Scott Meisami dan Paul Starkey, Encyclopedia of Arabic Literature, London: Routledge, 1998, hlm. 318. 2
6 Perkembangan kesusastraan …, Maretha Widia Putri, FIB UI, 2016
pelancong, musafir, atau pengembara lainnya. Ibnu Bathuthah sendiri merupakan seorang ahli sejarah dan sosiolog besar yang hidup pada tahun 1303-13774, yang mana pada tahun-tahun itu merupakan zaman kemunduran kesusastraan Arab (1258-1798) atau ashr al-Inhithat5. Namun walau ia hidup di tengah zaman kemunduran itu tidak dapat dipungkiri bahwa perjalanan yang dilakukan oleh Ibnu Bathuthah dapat menyaingi jauhnya perjalanan yang ditempuh oleh Marco Polo, sehingga karya sastra yang Ibnu Bathuthah hasilkan berkat perjalanan panjang tersebut menjadi karya sastra yang monumental. 1.2 Tujuan Penulisan dan Rumusan Masalah Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui tentang siapa Ibnu Bathuthah melalui biografinya, namun tidak menutup kemungkinan bahwa biografinya yang tertulis di makalah ini masih jauh dari kata sempurna, juga mengungkap bagaimana lika-liku perjalanan hidup Ibnu Bathuthah, apa karya monumental yang ia tulis, dan bagaimana analisis intrinsik dari karyanya tersebut yang berbentuk novel berjudul Rihlah. Adapun rumusan masalahnya, yaitu: 1. Siapakah Ibnu Bathuthah? 2. Bagaimana perjalanan hidupnya? 3. Apa karya monumental miliknya? 4. Bagaimana analisis intrinsik dari novel Rihlah karya Ibnu Bathuthah?
2. METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penulisan jurnal ini menggunakan metode kualitatif yang mana hasil dari penelitian ini adalah mendeskripsikan mengenai perkembangan kesusastraan Arab di Maroko dengan studi kasus Rihlah karya Ibnu Bathuthah. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi pustaka, yaitu peneliti menelaah teori-teori, pendapat-pendapat, serta pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam media cetak6, juga dengan mengumpulkan sumber dari berbagai 4
Males Sutiasumarga, Kesusastraan Arab Asal Mula dan Perkembangannya, Jakarta: Zikrul Hakim, 2001, hlm. 94. Males Sutiasumarga, Kesusastraan Arab Asal Mula dan Perkembangannya, Jakarta: Zikrul Hakim, 2001, hlm. 89. 6 Jonathan Sarwono, Pintar Menulis Karya Ilmiah – Kunci Sukses dalam Menulis Ilmiah, Yogyakarta: Andi Offset, 2010, hlm. 34-35. 5
7 Perkembangan kesusastraan …, Maretha Widia Putri, FIB UI, 2016
bahan bacaan dalam media elektronik seperti website resmi, e-book, surat kabar, jurnal, dan skripsi yang berhubungan dengan jurnal ini.
3. HASIL PENELITIAN Maroko merupakan negara yang menggunakan empat bahasa untuk berkomunikasi dan salah satunya adalah bahasa Arab. Keempat bahasa tersebut memiliki kesusastraannya masingmasing dan dalam kesusastraan Arab di Maroko, karya sastra yang paling monumental dan mendunia adalah Rihlah karya Ibnu Bathuthah yang ditulis oleh Ibnu Juzayy atas perintah Raja Abu Anam al-Markisy. Karyanya tersebut telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di dunia. Rihlah ini berisikan tentang pahit getir perjuangan Ibnu Bathuthah dalam perjalanannya menapaki dunia, juga terdapat kisah kasih, suka cita dalam perjalanan yang ia tempuh itu.
4. PEMBAHASAN 4.1 Biografi Ibnu Bathuthah Ibnu Bathuthah memiliki nama lengkap Abu „Abd Allah Muhammad ibn „Abd Allah ibn Bathuthah7. Ia merupakan seorang anak dari keluarga sarjana ahli hukum Islam di Tangier, Maroko, yang lahir pada hari Senin tanggal 17 Rajab tahun 700 H atau pada 14 Februari tahun 1303 M8. Keluarganya kaya raya dan terkenal sebagai keluarga yang arif bijaksana di Maghrib (Maroko sekarang) dan Andalusia9. Meski ia lahir dalam keluarga yang berlatar belakang sarjana ahli hukum, juga keinginan kedua orang tuanya agar ia menjadi ahli dalam bidang hukum, tidak menjadikan Ibnu Bathuthah sevisi dan semisi dengan keluarga dan kedua orang tuanya tersebut. Ia lebih suka menjadi seorang petualang. Buku-buku petualangan dan geografi dari kalangan Arab-Islam selalu mendapat perhatian yang antusias. Berita tentang situasi kenegaraan atau kerajaan menjadi minatnya, juga kejadian-kejadian masyarakat dan keajaiban-keajaiban dunia, tak terlewatkan satu pun dari pendengarannya10. Pengetahuannya ini ia dapatkan dari 7
Julie Scott Meisami dan Paul Starkey, Encyclopedia of Arabic Literature, London: Routledge, 1998, hlm. 318 Sulaiman Fayyadh, Ibnu Bathuthah Penjelajah Dunia, Solo: Pustaka Mantiq, 1993, hlm. 147. 9 Sulaiman Fayyadh, Ibnu Bathuthah Penjelajah Dunia, Solo: Pustaka Mantiq, 1993, hlm. 11. 10 Sulaiman Fayyadh, Ibnu Bathuthah Penjelajah Dunia, Solo: Pustaka Mantiq, 1993, hlm. 11-12. 8
8 Perkembangan kesusastraan …, Maretha Widia Putri, FIB UI, 2016
mendengarkan sahabat-sahabat ayahnya bercerita. Sahabat-sahabat ayahnya tersebut ada yang berprofesi sebagai pedagang wool yang menjelajah hingga ke seluruh penjuru dunia, mereka bercerita padanya mengenai kabar-kabar dunia dan keanehan yang begitu menakjubkan. Informasi-informasi menarik seputar apa yang terdapat di beberapa pelabuhan, seperti pelabuhan Thangir, Ashila, Asfa, atau Fez, ia dapatkan secara segera dari para musafir yang merupakan sahabat ayahnya sendiri. Berawal dari mendengarkan cerita-cerita ayahnya, sahabat-sahabat ayahnya, dan ditambah dari kegemarannya membaca pengetahuan tentang tempat-tempat di dunia dan kemudian ia memvisualisasikan pengetahuannya tersebut, semakin bertambah pula keinginannya untuk menjelajahi dunia. Pada saat umurnya menginjak usia dewasa, yaitu sekitar 21 atau 22 tahun, Ibnu Bathuthah berangkat dari Tangier pada Kamis, 2 Rajab 725 H atau pada 14 Juni 1325 M11 untuk melakukan perjalanan ibadah Haji di Saudi Arabia (Mekkah dan Madinah). Perjalanan ini ia lakukan karena hasratnya untuk berhaji dan bahkan berkeliling dunia sudah tidak terbendung lagi. Karena itu ia meminta izin ayahnya untuk melakukan perjalanan ibadah Haji, seketika itu ayahnya tidak langsung mengizinkannya, ayahnya lebih dulu terdiam lama, mungkin merenungkan permohonan anaknya itu. Dalam diam ayahnya tersebut, Ibnu Bathuthah merasa khawatir ayahnya tidak mengabulkan permohanannya itu. Namun, ayahnya dapat membaca perasaan anaknya yang sudah tidak sabar untuk melakukan perjalanan ibadah Haji, sehingga ayahnya pun mengizinkan anaknya untuk pergi melaksanakan ibadah Haji. Sebelum kepergiannya untuk melaksanakan ibadah Haji, ayahnya banyak berpesan kepadanya, dari sekian banyak pesan yang disampaikan ayahnya itu adalah agar ia menjaga untuk tetap berkirim kabar dengan kedua orang tuanya di kampung halamannya, selain itu ayahnya juga menyampaikan agar ia tak lalai membawa bekal, juga agar anaknya menginap di tempat-tempat orang shaleh dan rumah-rumah ibnu sabil12. Akhirnya berangkatlah Ibnu Bathuthah pada hari Kamis, tanggal 2 bulan Rajab tahun 725 Hijriyah (catatan perjalanannya ia tulis dalam tanggalan Islam) atau tanggal 5 bulan Juni tahun 1324/1325 (dan bahkan ada sumber yang mengatakan ia pergi untuk melakukan ibadah Haji pada tahun 1327) untuk melakukan perjalanan ibadah Haji, perjalanannya itu ia tempuh dengan kurun waktu satu setengah tahun. Di sepanjang perjalanan ibadah Haji tersebut ia melakukan
11
Ibn Battuta, Travels in Asia and Africa 1325-1354, tr. and ed. H. A. R. Gibb, London: Broadway House, 1929, hlm. 43 12 Sulaiman Fayyadh, Ibnu Bathuthah Penjelajah Dunia, Solo: Pustaka Mantiq, 1993, hlm. 14-16.
9 Perkembangan kesusastraan …, Maretha Widia Putri, FIB UI, 2016
persinggahan di Afrika Utara, Mesir, Palestina, dan Suriah13. Sesuai dengan apa yang ayahnya amanatkan kepadanya, ia singgah dan tinggal di tempat orang-orang sholeh. Beberapa di antaranya merupakan penguasa daerah itu, dan beberapa yang lain merupakan rakyat biasa. Perjalanan menuju baitullah dilaluinya dengan tidak mudah. Disebutkan di beberapa sumber jika pada persinggahannya menuju Mekkah ia sempat menikah dengan perempuan-perempuan cantik dan baik yang berasal dari tempat persinggahannya, namun tidak diceritakan dengan detil bagaimana kehidupan pernikahannya. Setelah menunaikan ibadah Haji yang merupakan ibadah Haji pertamanya itu, ia memutuskan untuk menjelajahi Irak dan Persia (tepatnya Iran Selatan), lalu kembali ke Mekkah pada tahun 730 H/1330 M. Penjelajahannya ini dilakukan dengan berbagai rintangan, keletihan, kegigihan, dan sukacita. Ibnu Bathuthah menyikapi perjalanannya itu dengan bersyukur. Syukur atas kesempatan yang datang kepadanya, untuk menjelajahi bumi Allah. Setelah melaksanakan ibadah Haji kembali pada tahun 1330, di tahun yang sama pula ia memberanikan diri untuk pergi ke India dalam rangka memperoleh pekerjaan yang layak dari pemerintahan Kesultanan Delhi. Perjalanan ini ditempuhnya bukan melalui jalan laut yang biasanya melewati Laut Arab menuju pantai barat India, tetapi ia menempuhnya dengan berjalan ke arah utara melalui Mesir dan Suriah menuju ke Asia Kecil. Selanjutnya karena beberapa keberuntungan yang ia dapatkan dalam perjalanannya kali ini, ia mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke Istanbul, ibu kota imperium Byzantium kala itu, dengan ditemani oleh seorang putri Turki yang tentunya cantik jelita. Pada beberapa sumber dan seperti yang sudah saya tuliskan di paragraph sebelumnya jika dikatakan bahwa pada perjalanannya yang ia tempuh untuk melaksanakan ibadah Haji pertama kali, ia sempat bertemu dengan beberapa perempuan cantik di daerah yang disinggahinya, dan melakukan pernikahan. Namun karena beberapa konflik yang melanda dalam pernikahannya tersebut, Ibnu Bathuthah dan isterinya terpaksa untuk berpisah, dan kemudian Ibnu Bathuthah melanjutkan perjalanannya menuju Mekkah dan Madinah. Melanjutkan kisah persinggahannya ke Istanbul, sekembalinya ia ke padang rumput Asia, ia berjalan ke arah timur melalui Transoxiana, Khurasan, dan Afghanistan, lalu ia sampai di tepi
13
Ross E. Dunn, The Adventures of Ibn Battuta, A Muslim Traveler of the 14th Century, California: University of California Press, 1986, hlm. xxxvi.
10 Perkembangan kesusastraan …, Maretha Widia Putri, FIB UI, 2016
Sungai Indus pada bulan September tahun 734 H/1333 M (ada yang menyatakan ia sampai pada tahun 1335)14. Rupanya darah keturunan sarjana ahli hukum tidak hilang begitu saja dalam diri Ibnu Bathuthah. Sebagian besar waktu delapan tahun di India ia habiskan dengan berprofesi sebagai Kadi atau Hakim, pada pemerintahan Muhammad Tughluq, Sultan Delhi pada masa itu. Raja Muhammad Tughluq memerintahkan Ibnu Bathuthah untuk memimpin sebuah misi diplomatik ke istana kerajaan Mongol di daerah Cina. Namun malang, ekspedisi itu berakhir dengan sebuah kecelakaan berupa rusaknya kapal di ketinggian pantai barat-laut India. Kecelakaan tersebut meninggalkan Ibnu Bathuthah tanpa pekerjaan dan sumber biaya hidup. Kemudian ia melakukan pengembaraan di bagian selatan India, dan sempat menetap di Sri Lanka dan Kepulauan Maladewa selama kurang lebih dua tahun. Walaupun misi diplomatik surut karena adanya kecelakaan, tapi tidak cukup menyurutkan tekadnya untuk mengunjungi Cina. Maka, pada tahun 1345 ia melakukan perjalanannya sendiri menuju Cina. Dalam perjalanannya menuju Cina ini ia sempat singgah ke beberapa pantai dan pulau, karena perjalanan ini ia tempuh melalui jalur Laut. Tercatat pada beberapa sumber bahwa daerah yang sempat ia kunjungi adalah Benggala, pantai Burma, dan pulau Sumatra yang ketika itu bernama pulau Andalas. Konon ketika ia sampai di Sumatra, Ibnu Bathuthah teringat negeri Andalusia, sehingga menyebut pulau itu sebagai Andalas (Andalusia)15. Sumber ini lah yang dijadikan rujukan oleh beberapa tokoh sejarah, bahwa Ibnu Bathuthah pernah menginjakkan kakinya di atas tanah Indonesia. Pada tahun 1346/1347 ia meneruskan perjalanannya menuju Mekkah dan Madinah untuk menunaikan perjalanan ibadah Haji yang terakhir kalinya. Ia menempuh jalur India Selatan, Teluk Persia, Suriah, dan Mesir. Setelah selesai dari melaksanakan ibadah Haji terakhirnya, akibat rindu juga dengan kampung halaman, maka ia memutuskan untuk kembali ke Maroko di penghujung tahun 1949. Setelah rasa rindu pada kampung halamannya terobati, ia kembali melanjutkan perjalanan petualangannya dengan melakukan kunjungan singkat ke Andalusia (Spanyol kala itu), lebih tepatnya ia melakukan kunjungan ke Kerajaan Muslim di Granada. Dalam perjalanannya itu ia melewati selat Gibraltar (Jabal Thoriq) dan melihat benteng-benteng pertahanan kaum muslimin pada zaman dahulu ketika melalui selat Gibraltar itu. Kerajaan 14
Ross E. Dunn, The Adventures of Ibn Battuta, A Muslim Traveler of the 14th Century, California: University of California Press, 1986, hlm. xxxvi. 15 Sulaiman Fayyadh, Ibnu Bathuthah Penjelajah Dunia, Solo: Pustaka Mantiq, 1993, hlm. 8.
11 Perkembangan kesusastraan …, Maretha Widia Putri, FIB UI, 2016
Muslim di Granada pada saat itu adalah kekuasaan milik Bani Naser. Sekembalinya ia dari Andalusia, ia pergi ke Maroko untuk menemui Raja Abu Anam al-Markisy, penguasa Marinid dan Maroko, untuk meminta izin melakukan perjalanan ke Sudan, Afrika Barat. Saat itu Raja yang mendengar permohonan izin dari Ibnu Bathuthah sempat menertawakannya namun ada perasaan bangga di sana, bangga karena seakan-akan Ibnu Bathuthah sebagai musafir muslim ingin sekali mengunjungi seluruh negara-negara yang berpenduduk muslim. Raja pun memberikan izinnya bahkan memberikan perbekalan untuk perjalanan Ibnu Bathuthah. Pada tahun 1355 ia kembali ke tanah kelahirannya Maroko untuk menetap. Selama karier hidup perjalanannya yang ia lewati hampir selama tiga puluh tahun, ia telah melintasi kawasan Dunia Timur, mengunjungi daerah-daerah yang luasnya sama dengan luas 44 negara zaman modern, dan di balik punggungnya tertinggal suatu jarak sejumlah kira-kira 73.000 mil16, bahkan ini hanya angka kalkulasi seorang Ross E. Dunn. Henry Yule memperkirakan bahwa Ibnu Bathuthah telah melakukan perjalanan lebih dari 75.000 mil selama riwayat pekerjaannya, dengan tanpa menghitung perjalanan-perjalanannya selama ia tinggal menetap di India. Pada tahun 1356, Raja Abu Anam al-Markisy memerintahkan Ibnu Juzayy, seorang sastrawan muda dari Andalusia untuk menuliskan kisah perjalanan panjang Ibnu Bathuthah ke dalam sebuah karya sastra berbentuk narasi atau buku atau yang sekarang kita kenal dengan novel. Kemudian Ibnu Juzayy dan Ibnu Bathuthah bekerja sama selama dua tahun untuk menyelesaikan karya tersebut. Ibnu Bathuthah mendiktekan langsung yang kemudian Ibnu Juzayy menuliskannya dalam bentuk narasi. Karya ini berisikan pengalaman-pengalaman perjalanan Ibnu Bathuthah selama mengelilingi tiga benua, termasuk pulau-pulau yang pernah ia kunjungi di Samudra Hindia maupun Pasifik, dan juga hasil pengamatannya mengenai dunia Islam pada zamannya. Setiap makhluk telah diciptakan oleh Sang Khalik dengan berpasang-pasangan. Laki-laki dan perempuan, langit dan bumi, laut dan daratan, juga hidup dan mati. Ibnu Bathuthah dijemput oleh ajalnya di kota kelahirannya, Tangier, Maroko, pada tahun 779 H atau tahun 1378 M. Meskipun jasadnya telah tiada, namun nama Ibnu Bathuthah tetap ada. Namanya tetap abadi melalui karya tulis yang ia hasilkan bersama Ibnu Juzzay yang berjudul Rihlah, sebuah memoar perjalanannya yang sangat berarti dan penuh makna. Setiap orang yang mengunjungi Maroko pun
16
Ross E. Dunn, The Adventures of Ibn Battuta, A Muslim Traveler of the 14th Century, California: University of California Press, 1986, hlm. xxxviii.
12 Perkembangan kesusastraan …, Maretha Widia Putri, FIB UI, 2016
tentu akan teringat akan dirinya, karena di sana namanya abadi menjadi sebuah nama jalan di salah satu sudut kota, tepatnya terletak di dekat pasar Tangier, di sana terdapat rumah kediamannya dahulu, di sana juga bersemayam jasadnya dalam sebuah makam yang diberi nama Kubah Hijau.
4.2 Analisis Unsur Intrinsik Rihlah Karya Ibnu Bathuthah Karya sastra berbentuk narasi atau novel yang ditulis oleh Ibnu Bathuthah dan Ibnu Juzayy ini ditulis dalam gaya sastra yang konvensional pada zamannya dan merupakan karya sastra yang monumental, sehingga beberapa abad setelahnya banyak sastrawan yang menuliskan kembali karya ini. Pada beberapa karya tersebut tentu ditemukan banyak perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Terdapat bermacam cara penulisan dan hasil tulisan yang mereka tuangkan dalam bentuk novel yang berisi tentang catatan perjalanan Ibnu Bathuthah atau Rihlah. Pada makalah ini, saya menggunakan novel Rihlah yang ditulis oleh Sulaiman Fayyadh seorang sastrawan yang berasal dari Mesir, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia novel ini berjudul Ibnu Bathuthah Penjelajah Dunia. Kemudian, analisis unsur intrinsik karya sastra yang berjudul Rihlah yang ditulis oleh Ibnu Bathuthah dan Ibnu Juzayy meliputi unsur tema, tokoh, penokohan, latar (tempat, waktu, suasana), alur, amanat, dan sudut pandang. a. Tema Karya sastra berupa novel ini bertemakan “perjalanan panjang penuh perjuangan yang sarat makna bagi diri sendiri dan orang lain” b. Tokoh dan penokohan 1. Ibnu Bathuthah; yang memiliki rasa keingintahuan yang tinggi akan dunia dan memiliki tekad kuat untuk berkeliling dunia, hormat terhadap orang tua dan tidak ingin membuat orang tua resah, seorang yang bertawakkal dalam perjalanannya, seorang pemberani yang menegakkan keadilan, memiliki sikap hati-hati terhadap orang yang baru ia temui, seorang yang
13 Perkembangan kesusastraan …, Maretha Widia Putri, FIB UI, 2016
bijak, memiliki sifat rendah hati, memiliki kesadaran akan betapa beratnya medan perjalanan yang akan ia lalui namun tidak mudah putus asa. “Ah, betapa senangnya...betapa gembira aku, bila dapat mengikuti pelayaran mereka... Menjelajah dunia..menyaksikan keindahan alam dan mempelajari segalanya” (halaman. 13-14) “Jangan khawatir Ayah, akan kuingat selalu pesan-pesan Ayah” (halaman. 15) “Wahai teman, Allah rupanya telah menentukan kematianku. Kalau aku mati, biarlah dalam perjalanan menuju Hijaz, hingga tergolong sebagai orang yang syahid...” (halaman. 20) “Betul, saya memang menyukai yang demikian (berkelana keliling dunia)” (halaman. 24) “Wahai yang mulia, Anda kukenal sebagai salah seorang putra Sultan Atabik Ahmad yang terkenal shaleh dan zuhud. Kulihat Anda dalam keadaan baik kecuali yang ada di dua tempat itu.” (halaman. 50) “Ah bagaimana bisa? Akankah ia menyebrangi sebuah sungai? Jangan-jangan...Yah, janganjangan orang ini hendak menipuku dengan membawa lari barang-barangku. Bagaimana mungkin si petunjuk jalan menunjukkan jalan yang tak nyaman?” (halaman. 75) “Tak sadarkah perpisahan itu merupakan suatu keharusan yang tak bisa dilawan? Ah, sayang Sang Sultan tak mau tahu tentang itu.” (halaman. 91) “Ya...betul Syaikh Dada...semoga kedatangan saya ini membawa kebaikan.” (halaman. 92) “Betapa jauh dan beratnya,” (halaman. 105) 2. Ayah Ibnu Bathuthah; penyayang terhadap keluarga, seorang yang mengingat kehidupan akhirat, dan seorang yang bijak. “Wahai anakku, baiklah... Aku tidak keberatan dengan keinginanmu ini. Berangkatlah segera untuk menunaikan ibadah Haji, juga kelanamu... Semoga aku masih menghirup kehidupan ketika kau pulang nanti. Jangan lupa, sering-seringlah berkirim kabar kepada orang tua untuk memberi tahu di mana saja engkau saat itu di bumi Allah!.” (halaman. 15)
14 Perkembangan kesusastraan …, Maretha Widia Putri, FIB UI, 2016
3. Walikota Iskandariyah; seorang zahid yang bersikap zuhud (tidak cinta terhadap dunia), baik hati terhadap orang yang baru sekali ia temui, memiliki banyak relasi di berbagai belahan dunia. “Bila sampai nanti ke India, temuilah saudaraku bernama Fariduddin, dan Ruknuddin yang berada di Sind. Mereka Insya Allah akan membantu kesulitan anda bila menemui sesuatu rintangan. Juga jumpai Burhanuddin, saudaraku yang berada di Cina. Bila sampai pada mereka, sampaikan salamku” (halaman. 24) 4. Bapak Ketua Lembaga Wakaf; seorang yang dermawan, baik hati, bijaksana, dan memiliki sifat kebapakan yang baik. “Janganlah gusar, wahai anakku. Terimalah uang ini untuk mengganti mangkukmu yang pecah.” (halaman. 36) 5. Pak Nuruddin, seorang guru; memiliki hati yang baik, suka menolong orang, ramah terhadap orang yang baru ia temui, dermawan, dan berharap doa atas kebaikannya kepada orang lain. “Enakkanlah badanmu istirahat di rumah ini. Santailah, anggaplah ini rumahmu, atau rumah ayah dan saudara-saudaramu.” (halaman. 37) “Terimalah semua ini sebagai bekalmu, dan doakan aku di Baitul Haram dan Arafah kelak!.” (halaman. 38) 6. Sultan India (Muhammad Tughluq); seorang raja yang mempercayai bawahannya dan memberikan kesempatan pada bawahannya untuk melakukan tugas sesuai dengan apa yang mereka sukai. “Wahai Ibnu Bathuthah, saya lihat engkau seorang yang suka berlayar mengelilingi dunia. Oleh karena itu, saya memilihmu untuk menjadi utusanku kepada Raja Cina.” (halaman. 117) 7. Sultan Maroko (Abu Anan al-Marini); seorang penguasa yang baik hati, mengerti apa yang diinginkan oleh bawahannya.
15 Perkembangan kesusastraan …, Maretha Widia Putri, FIB UI, 2016
“Engkau seakan-akan ingin mengunjungi negara-negara yang berpenduduk muslim, wahai pengelana muslim.” (halaman. 141) c. Latar (tempat, waktu, dan suasana) 1. Tempat; berbagai negara-negara Islam dan juga non Islam yang termasuk dalam tiga benua, dan beberapa pulau-pulau di Samudra Hindia maupun Pasifik. “Dia menjelajah berbagai negeri dari Cina di sebelah timur sampai lautan Atlantik di sebelah barat. Dari sungai Volga di sebelah utara sampai di Yaman, Oman, dan Somali, di sebelah selatan.” (halaman. 145-146) 2. Waktu; -
Malam hari “Usai melaksanakan shalat Tarawih, Ibnu Bathuthah merebahkan badannya untuk istirahat secara total.” (halaman. 104)
-
Pagi hari “Azan Shubuh pun hampir tak terdengar oleh telinga yang sedang nyenyak menikmati istirahatnya.” (halaman. 105)
3. Suasana; -
Penuh perjuangan “Ia melihat medan yang akan ia tempuh kali ini benar-benar berat dan menuntut kesiapan yang sempurna.” (halaman. 105)
d. Alur; alur maju -
Awal:
Orang mengenalnya sebagai Ibnu Bathuthah. Tetapi nama sebenarnya adalah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad Ibnu Ibrahim. Keluarganya kaya raya dan terkenal sebagai keluarga yang arif bijaksana di Maghrib dan Andalusia. -
Tengah:
16 Perkembangan kesusastraan …, Maretha Widia Putri, FIB UI, 2016
Perjalanan Ibnu Bathuthah setelah berbulan-bulan dan bertahun-tahun akhirnya sampai di kota Majir yang sekarang kota itu dikenal dengan nama Burajumadi Zahra. Letaknya di tepi sungai Koma, tempat fakir miskin dari Arab, Persi, Romawi, dan Turki berdomisili. -
Akhir:
Dia dilahirkan di kota Tangier, Maroko. Dia juga meninggal di kota kelahirannya pada tahun 779 Hijriyah atau tahun 1378 Masehi. Setiap orang yang datang ke Maroko, tentu akan melihat jalan yang diberi nama Jalan Ibnu Bathuthah. Di tempat itu terdapat kediamannya, yang terletak di dekat Pasar Tangier. Di situ terdapat pula kuburannya yang diberi nama Kubah Hijau. e. Sudut Pandang; orang ketiga serba tahu. Penulis menceritakan orang lain dan mengetahui semua perasaan dan keadaan dalam tokoh tersebut. “Ibnu Bathuthah mengelilingi kota Iskandariyah. Ia melihat-lihat keadaan kota, terdapat empat pintu gerbang dan menara yang sangat terkenal.” (halaman. 23) f. Amanat Jika kita memiliki cita-cita tinggi, maka kita harus memiliki jiwa semangat berjuang yang tinggi pula demi menggapai cita-cita itu. Mengutip dari kata-kata mutiara bahasa Arab Man Jadda wa Jada, barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti ia akan mendapatkan apa yang telah ia usahakan. Sungguh-sungguh pun tidak cukup untuk menggapai mimpi dan cita kita, harus sertakan sabar juga dalam setiap usaha kita. Sebagaimana kata-kata mutiara bahasa Arab yang berbunyi Man Shabara Zhafira, barang siapa yang bersabar maka ia akan beruntung. Beruntung untuk mendapatkan apa yang telah ia sabarkan, ia usahakan.
5. Kesimpulan Ibnu Bathuthah seorang muslim penjelajah dunia yang fonumenal berasal dari Maroko, ia bekerja sama dengan Ibnu Juzayy seorang sastrawan muda menuliskan hasil penjelajahannya dalam karya sastra yang berjudul Rihlah. Hal ini dilakukannya atas perintah seorang raja di Maroko kala itu yang bernama Raja Abu Anam al-Markisy. Oleh karena berisi petualangan Ibnu Bathuthah dalam menjelajahi dunia, karya ini melegenda, dan bahkan pada abad 21 ini telah 17 Perkembangan kesusastraan …, Maretha Widia Putri, FIB UI, 2016
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia dan ditulis kembali oleh para sastrawan dunia. Begitu banyak versi dari karya sastra yang berjudul Rihlah, namun semua versi tersebut memiliki inti yang sama, yaitu menceritakan perjalanan seorang Ibnu Bathuthah. Banyak hikmah yang terkandung dalam kisah perjalanan Ibnu Bathuthah, bergantung kepada dalamnya seorang pembaca menyelami dan menafsirkan karya ini. Karya sastra seperti ini lah yang sangat dianjurkan untuk dibaca oleh para pemuda masa kini, agar mereka dapat terinspirasi oleh perjuangan yang telah dilalui Ibnu Bathuthah selama masa hidupnya. Karya sastra ini juga memiliki pesan bahwa sebagus apa pun pengalaman hidup yang telah kita lewati, jika tidak dituliskan dalam sebuah karya, maka pengalaman itu akan menguap dan terhapus oleh zaman. Rihlah bagi saya sendiri merupakan karya sastra yang dapat membawa para pembacanya, kali ini khususnya saya untuk turut terbawa dalam semangat perjuangan menggapai keinginan, cita-cita, dan harapan yang kita miliki. Sesulit apa pun medan yang dihadapi jika kita bersabar, bersyukur, dan bertawakkal kepada Allah atas semua itu, maka tidak ada yang tidak mungkin. Bahkan sebagaimana yang sudah Allah janjikan kepada kita yang tertulis dalam kitabNya, yaitu jika kita banyak bersyukur maka Dia akan menambahkan nikmat dan sebaliknya jika kita kufur maka Dia akan menimpakan laknat, na‟udzubillaah. Seperti itu pula Ibnu Bathuthah dalam perjalanan hidupnya. Ia mensyukuri segala apa yang ia hadapi dalam menggapai keinginannya, meski tidak dapat dipungkiri bahwa sifat manusia yang suka mengeluh juga kadang timbul dalam dirinya. Namun seringkali dengan segera ia sadar bahwa mengeluhkan apa yang ia hadapi tidak akan membawa kemaslahatan apa pun untuk dirinya, bahkan hanya menyusahkan dirinya sendiri. Jadi, dia memilih untuk bersabar sekaligus bersyukur dalam menghadapinya.
Daftar Referensi
Buku: Battuta, Ibn. 1929. Travels in Asia and Africa 1325-1354. London: Broadway House. E. Dunn, Ross. 1986. The Adventures of Ibn Battuta, A Muslim Traveler of the 14th Century. California: University of California Press. Fayyadh, Sulaiman. 1993. Ibnu Bathuthah Penjelajah Dunia. Solo: Pustaka Mantiq.
18 Perkembangan kesusastraan …, Maretha Widia Putri, FIB UI, 2016
Meisami, Julie Scott, dan Paul Starkey. 1998. Encyclopedia of Arabic Literature Volume 2. London: Taylor and Francis Group. Sarwono, Jonathan. 2010. Pintar Menulis Karya Ilmiah – Kunci Sukses dalam Menulis Ilmiah. Yogyakarta: Andi Offset. Sutiasumarga, Males. 2001. Kesusastraan Arab Asal Mula dan Perkembangannya. Jakarta: Zikrul Hakim. Website: Http://www.morocco.com/culture/literature/ diakses pada Rabu, 27 Januari 2016, pkl. 14.14 WIB.
19 Perkembangan kesusastraan …, Maretha Widia Putri, FIB UI, 2016