SEJARAH PERKEMBANGAN KESUSASTRAAN ARAB KLASIK DAN MODERN
oIeh: Dr. Fadlil Munawwar Manshur, M.S. (Dosen Jurusan Sastra Asia Barat Fakultas Ilmu Budaya UGM)
Makalah ini dipresentasikan pada "Seminar lntemasional Bahasa Arab dan Sastra Islam: Persoalan Metode dan Perkembangannya" yang diselenggarakan oleh Ikatan Pengajar Bahasa Arab se-Indonesia (IMLA) di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, 23-25 Agustus 2007
PANITiA MUNAS In DAN PINBf V 2007 ~ jAJ I ~..JJ ~ J:=taJ I ~ L2:;1 IITII-tl\OUl MUOARRISIIN U AL LUCHAH AL 'ARABIYAH OMLA) Sckrctariat: dan e Seni Unz'vers/'Ias P didik ' ~. .Program Pcndidikan Bahasa Arab Fakultas Pendidikan Bahasa , n z / all Ind nnesza II Dr. Sct iabudl ii 110, 229 BandLing 40154; Telp.: 022-2013163 ext ' 2408''Fax' e-tviail: I " 022-2015411', - , iml a_bnn d ling @ Q ya 100"
r-r-r-r-r-r--:
Bandung, 16 Agustus 2007 Nomor :026/PAN-MUNAS 1l1-PINBA V/IMLA/VlII/2007 Lamp, : 1 (Satu) berkas Hal :Permohonan Menjadi Pemakalah pada Seminar Intemasional Bahasa Arab dalam Rangka Muktamar Nasional Ill dan P1NRA V lMT.A ?nr)7 Kcpa da YtlL Dr.H.Fadlil Munawwar Manshur, MS Ju rusan Asia Barat / Bahasa Arab Fa kultas Ilrnu Budaya Universitas Cajah Mada YGYAKARTA
Dengan ini Panitia Mu'tamar Nasional III dan Pekan Ilmiah Nasional V Itihadul Mudarrisiin Ii Allughah al A'rabiyah (IMLA), mengundang Bapak untuk rnenjadi Pemakalah pada Seminar Intemasional Bahasa Arab dalam Rangka Muktamar Nasionalll L dan PINBA V IMLA 2007, Pada acara tersebut, kegiatan utamanya adalah Seminar lnternasional Bahasa Arab dengan pembicara para pakar bahasa Arab dari Timur Tengah, Negara Sahabat dan dari Indonesia, serta Pemilihan Pen gurus IMLA Pusat Periode 2007- 20 II, Peserta yang diundang adalah Pengajar Bahasa dan Sastra Arab Perguruan Tinggi se-lndonesia, Pondok Pesantren dan SLTA Se Jawa Barat, Pengurus IMLA Pusat dan Daerah. Jumlahnya kurang lebih 300 orang, Tcmpat
Pernbukaun dan Pelaksanaan
Sidang-sidang di D1VLAT
TELKOM JI. Gegerkalong Hilir No, 47 Bandung. Adapun waktunya Insya Allah akan dilaksanakan pada tanggal 23-25 Agustus 2007, Demikian surat ini kami sampaikan dan semoga mendapat perhatian Bapak pada waktunya. Terirnakasih Ketua
& lOUR
PA NITIA MUNAS III DAN PINBA V
~
200'!l
~y.J1 ;.ill «);.)l
.
)lj( ---vI
I
\ Drs.H. IDudung Rahmat Hidayat, M,Pd
~
~
j. -
~
~~
-
~
~ 71..
~~
ra
-
-::J
~
.~~
~ -
~ ~Ji
1-----1-
SEJARAH PERKEMBANGAN KESUSASTRAAN ARAB KLASIK DAN MODERN
1. Pendahuluan Sastra adalah bagian dari entitas budaya yang praktiknya tercennin dalam karya-karya sastra. Semua kebudayaan dan peradaban di dunia mengalami suatu
peri ode perubahan yang mendalam (Peursen, 1990:72), tennasuk kebudayaan dan peradaban bangsa Arab dengan segal a totalitasnya. Para penulis Arab telah banyak mewamai peradaban manusia dengan keahlian dan kecakapan khas mereka dalam bersastra. Peradaban itu berkaitan dengan term kolektif untuk menunjukkan kondisi suatu masyarakat yang beradab (Weintraub, 1969:27). Di antara ciri masyarakat beradab itu adalah kemampuan mengkreasi budaya dan mewujudkannya dalam entitas budaya yang adiluhung. Dalam perjalanan sejarahnya, masyarakat Arab mampu mengkreasi budaya sehingga dapat mencapai tingkat peradaban yang tinggi, yang tercermin, antara lain, pada produk budayanya yang berwujud karya sastra berbentuk puisi, prosa, dan drama. Sastra Arab, sebagai entitas budaya, sudah tentu mencenninkan pikiran dan perasaan bangsa Arab dengan segala kelebihan dan kekurangarmya. Dalam konteks kelebihan bangsa Arab, maka tidak ada pencapaian kebudayaan dan peradaban manusia yang mampu menunjukkan nilai-nilainya yang paling otentik dan khas kecuali apa yang telah dicapai oleh kesusastraan Arab. Puisi adalah diantara bentukbentuk dominan karya bangsa Arab dan secara spesifik yang membedakarmya dengan bangsa lain. Pembicaraan ini mendapatkan pembenararmya dengan adanya fakta tentang pengaruh besar sastra Arab - dalam struktur maupun fungsi - atas sastra lain yang secara langsung bersentuhan dengannya, seperti, sastra Persia, Turki, Indostanik, dan yang secara tidak langsung di antaranya adalah sastra (puisi) Gregorian, sastra Ibrani Abad Pertengahan, dan bahkan sastra Barat sekalipun. Sastra Arab meninggalkan jejaknya sampai menjelang permulaan era puisi-puisi tradisi Romawi (Cantarino, 1975). Jika diperhatikan klasifikasi puisi formal Yunani, maka puisi Arab tampak sangat lyricue bila dibandingkan dengan puisi Yunani yang lebih naratif dan cenderung dramatique. Puisi Arab lebih memiliki fungsi sosial daripada individual karena kehadiran audiens dipertimbangkan di dalarrmya, terlebih kabilah yang
menjadi asal daerah sang penyair. Puisi Arab walaupun pada hakikatnya bukan sebuah epique, tetapi dia memiliki kualitas untuk disebut sebagai epique. Terlebih dari style dan term yang dikandungnya. Puisi epique (asy-si'rul-qashashy) adalah ungkapan kejadian yang diceritakan dalam bahasa puisi, baik yang bermetrurn maupun yang tidak bermetrum (Zaydan, 1996:53). Puisi epique Arab dapat dilihat pada tema-tema kisah kepahlawanan dan keberanian anggota kelompok kabilah tertentu dalam menaIitang realitas kehidupan gurun yang keras. Adapun tema-tema kematian banyak mendapatkan perhatian dan diekspresikan dalam puisi-puisi elegi. Puisi elegi berisi renungan mengenai aspekaspek tragis dalam hidup manusia, bertepatan dengan meninggalnya seorang kekasih atau peristiwa menyedihkan (bdk. Hartoko, 1986:37). Tema-tema kesenangan hidup duniawi seperti cinta, anggur, judi, perburuan, dan ketangkasan berkuda juga menjadi tema-tema yang tidak jarang dieksplorasi dalam puisi epique (Badawi, 1975:2). Dalam konteks ini, tujuan ekspresi puisi adalah kreasi suprapersonal dan nilai-nilai abadi (Steiner, 1977:2) dari pengarangnya, yaitu nilai-nilai yang tumbuh subur dalam kebudayaan bangsa Arab. Tema-terna puisi yang ditulis berhubungan erat dengan model metrurn yang dipakai, yang pada umurnnya sangat rurnit. Seperti halnya konsep formula dalarn tradisi lisan (puisi) Yugoslavia, dalam puisi Arab dikenal juga formula, yaitu kumpulan kata yang sering digunakan pada kondisi metrurn yang sarna untuk menyatakan sebuah gagasan esensial (Lord, 1981). Formula dalam puisi Arab dapat dilihat pada penggunaan satu metrurn dan satu rima. Hal ini menjadi bukti yang jelas betapa penting pola bunyi dalam puisi Arab, apalagi bahasa yang digunakan dalarn puisi adalah bahasa khusus yang berbeda dengan bahasa sehari-hari (Scholes, 1977:22) yang tentu saja diperlukan pemahaman yang khusus pula karena bunyi kata dalam tradisi lisan mempunyai arti yang berbeda-beda, Keunikan puisi Arab terlihat pula apabila puisi panjang (kasidah) yang sering kali menjadi tampak pendek bila dibandingkan dengan puisi-puisi Eropa. Satu baris dalam puisi Arab, biasanya dibagi menjadi dua, dengan pembagian metrurn yang sarna, dan secara umum dengan pola rima di permulaan puisi, khususnya dalam kasidah. Kasidah tidak seperti potongan qith 'a yang sangat panjang dengan struktur
2
yang terbagi-bagi. Pada zaman pra-Islam, puisi, yang disebut mu 'allaqdt, sebagian besar ditulis dalam model kasidah. Oleh penulisnya, pembukaan kasidah-kasidah tersebut sering diawali dengan kata nasib yang maknanya berhubungan dengan rasa cinta dan kasih sayang atau menaruh iba pada diri sendiri. Untuk melupakan bayangan wajahkekasihnya itu, dia melakukan perjalanan panjang melintas dan menembus gurun dengan ontanya. Penyair mengakhiri puisinya dengan kata-kata pujian yang diperuntukkan bagi dirinya
sendiri atau kabilahnya,
bersamaan dengan
itu, ia menyindir atau
memperolok musuh-musuhnya atau musuh kabilahnya (Badawi, 1975:3). Formula nasib ini masih digunakan oleh para penyair Arab pada masa Umayyah karena dipandang sebagai ciri khas puisi Arab yang mengutamakan ungkapan perasaan yang dalam dan jujur (Zaydan, 1996:252).
2. Keunikan Puisi Arab Pada zaman Arab pra-Islarn, puisi Arab menjadi fondasi utama dan dipandang sebagai sandaran dalam kaidah berpuisi. Dari sudut pandang prosodic, secara praktik, semua memang merujuk pada masa tersebut. Model puisi yang lazim pada masa itu adalah puisi dengan enam belas metrum dengan struktur bergabung, tanpa rima, yang penggunaannya hanya dalam puisi-puisi serius saja. Itu pun dengan rima tunggal (monorhym). Akan tetapi, kemudian terdapat sedikit inovasi, khususnya yang terjadi di wilayah Spanyol Islam pada abad ke-ll, dengan model puisi strophic atau stanzaic yang di sana lebih dikenal dengan nama muwashshah. Puisi-puisi dengan terna cinta dan kasih sayang, yang penuh dengan imagery gurun banyak disukai oleh sebagian besar penyair, dan gaya ini terus berlangsung sampai pada dekade pertama abad ke-20. Genre yang sering ditulis dan menjadi domain puisi zaman pra-Islam adalah : puji-pujian (fakhr), madich, satire .{hija'), elegi (ritsd '), deskripsi (wash/) dan puisi-puisi cinta (ghazal). Puisi religius atau puisi asketik (zuhd) adalah satu pengecualian walaupun sebenamya terdapat banyak puisi yang berbicara tentang moralitas seperti yang ditulis oleh Ka'ab bin Zuhayr pada zaman pra dan awal kelahiran Islam (Badawi, 1975:3). Dengan kelahiran Islam, sebagai agama baru, muncul beberapa perubahan. Sebagaimana yang juga terjadi pada puisi pada awal masa Anglo Saxon Kristen,
3
yang saat itu Kristus dan murid-muridnya dipandang dan digambarkan dalam tennterm pagan. Kelahiran Muhammad saw telah menandai dimulainya era baru yang mengubah tatanan hidup dan ideologi bangsa Arab yang dimulai dari Mekkah dan Madinah dengan Alquran sebagai fondasi tatanan masyarakat baru terse but (Bakalla, 1984:136). Kedatangan Islam dengan Alquran sebagai fondasi utamanya, mampu memberikan
pengaruh terhadap perkembangan puisi pada saat itu karena para
penyair muslim generasi pertama adalah orang-orang Arab yang berkarya dalam sebuah tradisi yang telah mempunyai konvensi dan aturan yang mapan. Para penyair itu terpengaruh oleh sastra dan keindahan Alquran (al-Khuly dan Zayd, 2004:87). Perkembangan penting setelah berdirinya agama baru tersebut adalah munculnya model puisi-puisi baru, yaitu puisi cinta, yang walaupun ditulis dengan penuh perasaan, tetapi secara umum ia bebas dari tendensi dan emosional serta khayalan biasa. Sejumlah penyair mulai menggabungkan diri dalam model puisi baru ini. Puisi ini adalah prototype bagi puisi-puisi cinta Abad Pertengahan Eropa yang kemudian lebih dikenal dengan nama al-Hawal-Udzry (diambil dari nama suku, Udzra), Mereka adalah Kuthayyir 'Azza, Jamil Buthayna, Ghaylan Mayya, dan
Layla Majnun, Satu dari mereka, Layla Majnun, menjadi subjek legenda penting dan menarik bagi drama Arab modem. Dalam puisi-puisi cinta, .biasanya sang penyair banyak menggambarkan wanita-wanita cantik dan ideal. Di antara tema-temanya adalah saling kepercayaan, adanya
seorang
utusan,
pengkhianatan,
dan
pertengkaran.
Sebagaimana
dikemukakan oleh Professor Arberry, terna-tema konvensional ini berkembang terutama dalam puisi-puisi zaman Abbasiyyah. Ungkapan yang seringkali digunakan di antaranya adalah: 'hati yang terbakar dan mata yang menangis darah, tatapan mata sang kekasih laksana pedang yang menusuk hati'. Hiperbola dan tema-tema sejenis mirip dengan puisi cinta konvensional gaya Elizabeth. Dalam hal ini, memang puisi Arab secara dominan ditandai dengan perasaan Cathifah) dan imajinasi (al-khaydli
(Sa'iy, 1985:73) penyaimya yang menggambarkan realitas zamannya. Pada abad ke-l l , di Spanyol Islam, khususnya puisi cinta Ibnu Zaydun terlihat sangat mencolok dengan penulisan yang dipadukan dengan kelembutan dan keindahan perasaan (Badawi, 1975:4) yang dalam ilmu sastra disebut estetika. Jan
Mukarovsky menyebut estetika sebagai ilmu yang membahas tentang keindahan
4
(Burbank and Steiner, 1978:29). Dalam hal ini, sesungguhnya fondasi sastra Arab adalah keindahan (al-jamal) seperti halnya fondasi ilmu adalah kebenaran (alchaqiqah) dan fondasi moral adalah kebaikan (al-khayr) (ath-Thanthawy, 1992:150). Jadi, perkembangan sastra Arab di Spanyol Islam telah mengenal konsep estetika yang dengannya karya-karya sastra Arab, termasuk kasidah, tampil dengan kata-kata yang indah, yang mengungkap pikiran dan
perasaan pengarangnya tentang
kecakapan, moralitas, dan kebajikan. Kasidah, yang dinilai sebagai puisi serius dengan rima dan metrurn tunggal, serta majaz-rnajaz gurunnya tetap menjadi model puisi ideal bagi banyak penyair. Demi alasan yang lebih baik ataukah sebaliknya, para penyair pada masa awal Dinasti Umayyah memperlihatkan satu kecenderungan bahwa mereka meniru dan terpengaruh dengan model puisi zaman pra-Islam, yang di dalamnya banyak berisi pujian dan sanjungan atas patron mereka. Masa Dinasti
Umayyah juga melahirkan penyair-penyair Naqa'id, seperti
Jarir dan Farazdaq yang sampai beberapa tahun saling berdebat lewat puisi-puisi mereka. Pada masa Dinasti
ini, muncul tema-terna politik dan polemik yang
menggambarkan pergulatan politik dan aliran keagamaan. Pada masa ini, Islam mencapai prestasi pembebasan wilayah yang luar biasa sehingga memunculkan puisi-puisi yang bertema pembebasan, dakwah Islam, dan tasawuf. Para penyair yang terkenal pada masa Dinasti
Umayyah disebut al- 'Udzriyyiin, antara lain Dzur-
Rimach, Farazdaq, Jarir, Akhthal, dan Qays Ibnu al-Mulawwich. Nama yang terakhir terkenal
dengan
sebutan
Majnfm
Layla
(Mucharnmad,
1982: 152;
www.geocities.com) atau populer juga dengan nama Layla Majnun, sebuah karya sastra Persia, yang berasal dari kesusastraan Arab. Kisah Layla Majnfm sangat populer dan mendapat sambutan besar di dunia Timur, khususnya di Timur Tengah dan Asia Tengah yang meliputi negara-negara Arab,
Turki, Iran, Afghanistan, Tajikistan, Kurdistan, India, Pakistan,
dan
Azerbaijan. Pada Abad Pertengahan, kisah Layla Majnfm memberikan pengaruh besar terhadap tradisi sastra Barat, dan pada abad ke-13 Masehi, sastra epic Jerman karya Gottfried Strassburg yang berjudul "Tristan und Isolde" dan juga fabel Prancis karya Shakespeare abad ke-16 Masehi, yang berjudul "Aucassin et Nicolette", mendapat pengaruh besar dari kisah Layla MajnOn (Guinhut, 1998:1). Para sastrawan
5
Arab, seperti Dzur-Rimach, Farazdaq, Jarir, Akhthal, dan Qays Ibnu al-Mulawwich (Brockelmann, 1937:87) banyak membawa perubahan dalam kehidupan kesusastraan Arab, khususnya puisi yang sangat digemari oleh para bangsawan Arab Dinasti Umayyah. Pada masa Umayyah tugas utarna penyair istana (pourt of court) adalah menggubah puisi yang berkisah tentang pre stas i yang telah dicapai oleh para pembesar kerajaan dan mengabadikan nama mereka di dalamnya. Tentu saja, muncul beragam macam suara yang tidak sependapat dengan fenomena ini. Bagi mereka, ini adalah sesuatu yang tidak relevan dan absurd menerapkan model puisi zaman praIslam dalam kehidupan modern. Lebih-lebih dengan adanya perluasan wilayah Abbasiyyah bersamaan dengan tingkat kehidupan dan peradaban yang telah mengalami kernajuan. Si 'penyair udik', Abu Nawas adalah satu dari mereka itu. la adalah penyair yang biasa membaca puisi sambiI minum khamr (anggur), walaupun sesungguhnya, menurut Dr. Syauqy Dhayf, ia bukanlah penyair pertama Arab yang suka melakukan hal itu (' Asyiyyi, 1973 :29). Pembukaan puisi dengan
mengeksploitasi kenikmatan anggur biasa
digunakan sebagai ganti pembukaan puisi yang selalu dimulai dengan kata-kata perkabungan. Akan tetapi, reaksi melawan kecenderungan umum yang konvensional ini tarnpaknya hanya berjalan setengah hati. Abu Nawas sendiri tetap mengikuti praktik tradisional dalam banyak karya puisinya, seperti memunculkan tema-tema yang bersifat oposisi biner antara realisme dan imajinasi, antara kebendaan dan kerohanian, dan pujian yang berlebihan terhadap seseorang atau sesuatu yang menjadi objeknya (al-Ayyuby, 1984:378). Sebagian besar penyair di separuh abad pertama kekuasaan Islam adalah orang Badui, dengan segala atribut klasik mereka. Sebuah fakta yang tidak terelakkan adalah bahwa banyak dari pangeran dinasti Umayyah yang berimajinasi dan suka berperilaku seolah mereka adalah para pemuka suku Arab Badui ketika
sedang berada dalam tenda-tenda padang pasir. Bila mereka sedang berburu, sebagian besar bangsa Arab mumi zaman Islam menghindari lingkungan padang pasir; mereka lebih memilih tinggal di wilayah perkotaan dan menetap di tempat itu sehingga berpengaruh pada masuknya orang-orang non-Arab ke dalam agama barn, Islam, dan membangun sebuah kebudayaan dan kekuatan barn pula (Beeston, 1977).
6
Oleh karena itu, segera setelah kekuatan politik dinasti Umayyah mulai goyah, kekuatan barn ini mulai mempersiapkan langkah, menciptakan aliran-aliran barn dalam puisi dengan sentuhan dan konsep lebih modem daripada sebelurnnya. Bassar Ibnu Burdin (selanjutnya disebut Bassar) berada di garda depan gerakan ini. Banyak dijumpai perubahan fundamental dalam bait-bait puisi cinta yang ditulisnya. Dalam hal ini, Bassar berusaha keras mecoba menemukan cara-cara barn dalam penulisan puisi. Hal itu ditandai dengan penghematan dalam penggunaan kata serta pengungkapan perasaan jiwa yang berbeda dari puisi orang Badui. Usaha Bassar ini hampir mirip dengan reaksi yang ditunjukkan oleh Cowper dan Wordsworth ketika menentang gaya puisi Agustian yang muluk-rnuluk. Tindakan ini telah membuat Bassar memperoleh popularitas yang besar, khususnya di kalangan generasi muda.
Akan tetapi, popularitas itu tidak serta merta
menawarkan kehidupan yang lebih baik kepadanya. Karena kebutuhan hidupnya, sebagai seorang penyair profesional, sebenamya ia bergantung pada pemberian atau hadiah yang diberikan oleh sang patron atas puisi pujian yang dibacakan untuknya, sementara mereka biasanya lebih menyukai puisi-puisi gaya tradisional daripada modem. Sebenamya, bagi sang penyair sendiri menulis puisi tradisional ataupun modem bukan satu masalah yang berarti karena mereka bisa menulis kedua model itu. Ada sebuah puisi yang dimulai dengan kata Bakkira Shachibayya. Melalui PUlSl
ini sebenamya sang penyair bermaksud menunjukkan keahliannya dalam
memanipulasi gaya lama sekaligus menunjukkan keakrabannya dengan 'keanehan' gaya tersebut. Akan tetapi, gaya demikian jarang dipakai dalam puisi-puisi cinta. Bassar, penyair tunanetra dari Basra ini, sebenamya ketika melukiskan kehidupan gurun, dia tidak mengalaminya secara langsung, tetapi hanya menggubah dari karya
master pendahulunya. Para pembaca puisi Arab di Eropa yang memahami betul keunggulan puisi Badui tentu akan mengesampingkan peran penyair lain (Beeston, 1977). Dalam kaitannya dengan upaya memahami puisi-puisi Bassar, temyata
Kamus Bahasa Arab Modern karya Hans Wehr telah memuat seluruh kosa kata penting yang dibutuhkan dalam membaca puisi modem Bassar, Menguraikan makna puisi bagaimanapun akan selalu berbenturan dengan problem kosa kata (Beeston,
7
1977). Kamus Hans Wehr tersebut sampai abad ke-20 masih tetap dijadikan rujukan bagi perkembangan leksikologi dan leksigrafi Arab, bahkan dicetak ulang berkalikali, yaitu pada tahun 1961, 1966, 1971, dan 1974, diterbitkan oleh Libraire du Liban Beirut dan Macdonald & Evans Ltd. London, dan diedit oleh 1. Milton Cowan, seorang leksikolog dari Ithaca, New York Amerika Serikat (bdk. Wehr, 1980). Pada sisi yang lain, puisi Arab yang paling baik adalah puisi yang mampu menunjukkan unsur musikalitas sehingga siapa pun yang mendengarnya akan terbawa oleh alunan irama serta ritmenya. Dengan demikian, upaya menguraikan makna puisi
Badui adalah pekerjaan yang rumit. Puisi Bassar terkadang
menggunakan kata kiasan yang terlalu tinggi padahal puisi Badui biasanya tidak demikian. Sebagian puisi Bassar juga tetap menggunakan gaya lama, yaitu satu kata dipakai untuk menggambarkan beragam image (Beeston, 1977). Dominasi model puisi tradisional ini, secara tidak langsung, mendapat banyak dukungan di lapangan sastra, budaya, dan sosial karena kecenderungan umum dalam pikiran orang Arab adalah memegang tradisi lama. Apa pun alasan yang dikemukakan, semua bersumber dari keterbatasan tema dan ide. Sebagai hasilnya, banyak penyair yang akhimya terjebak dalam gaya dan bentuk semata. Dalam tradisi dimana rhythm dan suara (pola bunyi) memainkan perannya yang penting, maka mempertimbangkan struktur dan gaya menjadi faktor yang tidak terelakkan. Dengan demikian, hal ini juga bermakna bahwa tugas seorang penerjemah puisi Arab menjadi sangat berat dan sulit. Bagaimanapun, selama berabad-abad, prinsip yang berlaku bagi penyair adalah bahwa mereka tidak hanya mengungkapkan apa yang dirasakan dan dipikirkan, tetapi lebih dari itu, mereka harus menuliskan puisi-puisi itu dalam bentuk dan susunannya yang paling indah. Hal ini dipandang sebagai perkembangan positif, setidaknya dalam lapangan kritik sastra. Dalam analisis style, bahasa puisi, terutama metafora dan majaz, para kritikus Arab Abad Pertengahan sampai pada kesimpulan bahwa sebenamya banyak karya yang ditulis dengan bahasa yang halus dan modem. Seorang kritikus AngloAmerican seperti LA. Richards bahkan sudah menujukkan adanya hal tersebut pada delapan atau sembilan abad yang lalu. Akan tetapi, dalam penulisan kreatif, perhatian penyair serta gaya yang dimilikinya banyak termanifestasikan dalam aliran penulisan yang disebut badi'. Kata badi' sendiri secara harfiah berarti baru, tetapi kata itu biasa
8
digunakan untuk menunjukkan sebuah style puisi yang tinggi. Dalam konteks ini, penyair modern meneoba untuk mengungkapkan individualitas dan orisinalitasnya berhadapan dengan unsur-unsur lama. Di tangan para penyair besar seperti Abu Tammam (805 Masehi) dan al-Mutanabby (915 Masehi), puisi-puisi panjang berubah menjadi style yang heroik, yang menggambarkan maksud (intention) pengarangnya untuk menggelorakan semangat kepahlawanan bagi para prajurit dalam perluasan wilayah Islam ke berbagai kawasan.
3. Sastra Arab: antara Kemunduran dan Kemajuan Perkembangan penting lain dalam puisi Arab sebagai akibat dari perluasan wilayah kekuasaan Islam seeara geografis adalah perkembangan dan perluasan wawasan orang-orang Arab. Berhubungan dengan ini, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama adalah muneulnya genre deskriptif, terutama dalam puisi-puisi Abu Nawas dan model puisi-puisi alam yang menggambarkan pemandangan gurun yang banyak dijumpai di wilayah Spanyol Islam, Sisilia, dan Afrika Utara. Kedua, adalah berkembangnya puisi sufistik yang meneapai puncaknya dalam karya penyair Mesir, Ibnul-Farid (1182-1235) dan penyair Andalusia Ibnu Araby (1165-1240). Pada masa Mamlfik dan Utsmany, para penyair lebih terfokus pada bentuk dan eara ekspresi, kelihaian verbal mereka pada akhimya mengalami degradasi dan jatuh dalam akrobat kata-kata semata (Badawi, 1975:6). Sebagian sejarawan sastra bersepakat bahwa sastra Arab pada masa Utsmany - periode yang dimulai dengan penaklukan Utsmany atas SOOah (I510) dan Mesir (1517) sampai pada masa ekspedisi Napoleon ke Mesir (1798) - dicatat sebagai masa kemunduran kebudayaan Arab. Akan tetapi, tentu saja periode ini tidaklah betulbetul mengalami kemunduran total sebagaimana tertulis dalam banyak buku sejarah. Sarjana seperti Gibb dan Bowen teguh dengan pendiriannya bahwa "menolak semua nilai penting sastra Arab abad ke-18 sungguh sangat tidak beralasan". Bahkan Gibb dan Bowen mengakui sastra Arab tetap sangat menarik walaupun pada saat kondisi masyarakat yang melahirkannya mengalami kelelahan. Upaya penegakan kembali sastra Arab dengan gerakan yang seeara luas dikenal dengan Nabda atau al-Inbi 'dts yang bermakna Renaissance, untuk pertama kalinya dimulai di Lebanon, SOOah, dan
9
Mesir. Dari ketiga negara tersebut gerakan ini menyebar luas ke belahan dunia Arab yang lain (Badawi, 1975:6). Akan tetapi, dalam perkembangan sastra Arab berikutnya, ternyata di Suriah keadaannya menjadi terbalik dan cukup memprihatinkan. Hal ini bisa dilihat pada stagnasi kehidupan sastra Arab yang ditandai, antara lain, dengan tidak adanya majalah sastra, kecuali hanya "ath-Thali'ah" yang diterbitkan oleh para lulusan perguruan tinggi Eropa. Selain itu, novel-novel pun tidak banyak bermunculan, kalaupun ada,
para
mempublikasikannya.
penulisnya
sulit
mendapatkan
Para sastrawannya (penyair)
penerbit yang
berminat
seolah-olah sedang "tidur
panjang" (an-naumuth-thowils sehingga tiap lima tahun hanya bisa terbit satu kasidah yang bermutu (ath-Thanthawy, 1992:166-167). Pada abad ke-18,
gejala stagnasi itu makin tampak ketika negara-negara
Arab berada dalam wilayah provinsi kekaisaran Utsmany yang mulai mengalami kemunduran sehingga wilayah ini terisolasi dari gerakan intelektual yang terjadi di Barat. Provinsi-provinsi pada kekaisaran ini hidup dalam keterkungkungan dan keterbelakangan budaya. Pada saat yang bersamaan terjadi ketidakstabilan politik di wilayah-wilayah kekuasaan Turki yang menyebabkan urusan pendidikan menjadi terbengkalai, jumiid, dan hanya mementingkan pendekatan teosentris belaka. Tidak ada ide-ide barn dan inisiatif yang dilahirkan. Kedudukan bahasa Arab selama kekuasaan
Turki
pemerintahan.
digantikan
dengan
Dengan demikian,
bahasa
Turki
kebudayaan Arab
sebagai
bahasa
resmi
mengalami kelumpuhan,
termasuk di dalamnya adalah sastra. Tidak banyak karya yang mampu dihasilkan. Semua terjebak dalam romantika kejayaan masa lalu, sebagai akibatnya adalah keterputusan generasi. Pandangan-pandangan lama sastra Abad Pertengahan tetap mendominasi lapangan sastra. Tidak ada pembaruan dalam bersastra, hampir semuanya adalah peniruan-peniruan gaya atau model-model lama (Badawi, 1975:7). Sebagian besar puisi Arab abad ke-l S diramaikan dengan kata-kata yang bemuansa ' akrobat' . Apa yang dilakukan penyair adalah untuk menarik dan memberikan kesan bagi audiensnya, dengan cara memanipulasi kata-kata tertentu dan menambahkan beberapa efek khusus. Mereka berlomba-lomba satu sarna lain dalam membuat puisi-puisi dengan cara barn ini, yaitu setiap kata dalam puisi ini dibuat sarna, atau kata-kata tersebut dimulai dengan huruf-huruf yang sarna, atau
10
setiap huruf dan kata dibubuhi titik-titik. Ada juga yang menuJis puisi dengan cara memulainya dari belakang. Fenomena gaya penuJisan yang tidak serius ini juga dijumpai dalam badi' (Badawi, 1975:7). Kondisi sastra Arab pada masa yang memprihatinkan itu disebut sebagai kitsch, yaitu seni semu, yang oleh Eco, seorang linguis Italia, disebut "sebuah dusta struktural" (bdk. Hartoko, 1986:73). Artinya, dusta yang dibuat secara sengaja oleh penyair karena kebuntuan pikiran dan daya imajinasinya yang dangkal sehingga puisi-puisi yang dihasilkannya tidak bermutu.
4. Sastra Arab dan Sastra Eropa : Dua Entitas yang saling Mempengaruhi Dalam konteks teori puisi, LA. Richard, seorang penganut madzhab New Criticism, mengatakan bahwa intention (maksud) pengarang dalam karya sastra
(puisi) itu penting. Pemyataan ini mengisyaratkan bahwa kedirian dan maksud pengarang dalam analisis teks sastra patut dipertimbangkan. Oleh karena itu, untuk menilai penampilan penyair, maka intention memainkan peranan penting karena pembaca akan mengetahui apa yang dimaksudkan oleh penyair (Lambropoulus & Miller, 1987: 103). Dalam buku yang berjudul Principles oj Literary Criticism yang dipublikasikan pertama kali pada tahun 1924, Richards berpolemik secara radikal dengan T.S. Eliot tentang keterlibatan pengarang dalam analisis teks sastra (Jefferson, 1987:73-74). Dalam polemik itu, T.S. Eliot yang juga seorang AngloAmerican (Erlich, 1964:253) mengatakan bahwa tidaklah relevan apabila maksud
pengarang dihubungkan dengan karyanya (Olsen, 1987:28), artinya, para tokoh cerita di dalam karya itu tidak mungkin dapat diidentifikasi melalui pengarangnya (Chatman, 1980:147). Dalam konteks ini, Eliot meniadakan kedirian dan intention pengarang dalam karya yang diciptanya. Konsep meniadakan keterlibatan dan intention pengarang dalam memahami sebuah teks sastra disebut intentionalJallacy,
sebuah konsep yang dimunculkan oleh W.K. Wimsatt dan -Monroe C. Beardsley (LambropouJos & Miller, 1987:103). Perdebatan teori sastra seperti yang terjadi di Barat, juga muncul di dunia sastra Arab karena para penulis Arab banyak yang meresepsi teori-teori sastra Barat. Hal ini dapat dilihat pada buku karya Syafi' as-Sayyid (2005) yang berjudul Nazhariyyatul-Adab, Dirdsatun fil-Maddrisin-Naqdijyatil-Chaditsah yang dengan
jelas dan detail membahas tentang polemik antara madzhab sastra yang memandang
11
intention pengarang itu penting dengan yang menganggap intention tidak perlu ada dalam anal isis sebuah teks sastra Budaya "menerima dan memberi" antara tradisi Arab dan Barat dalam dunia sastra merupakan suatu hal yang menarik, tennasuk dalam pengembangan teori sastra Arab. Pada awalnya, Barat banyak meresepsi
karya-karya sastra Arab yang dipandang masterpiece yang kemudian ditiru model dan konsepnya oleh para penulis sastra Barat. Kemudian lahirlah karya-karya sastra Barat yang dipandang masterpiece, yang juga diresepsi oleh penulis sastra Arab. Kembali pada masalah individualitas dan orisinalitas puisi Arab, yang berkaitan erat dengan tarik-rnenarik antara mempertahankan konvensi lama dengan menganut model baru, dapat dikatakan bahwa kernenangan-kemenangan dalam peperangan banyak yang diabadikan dalam puisi-puisi model baru. Al-Mutanabby juga berupaya keras untuk keluar dari konvensi lama. Abul-' Ala 'al-Ma'am, seorang penyair .buta Suriah (973-1058), dengan sangat percaya diri, mampu keluar dari konvensi-konvensi lama dalam berpuisi, ia tidak lagi menuliskan kata-kata pujian untuk sang patron dalam pembukaan puisinya sebagaimana yang lazim dilakukan oleh para penyair pada masa itu. Dia banyak menuliskan pandangannya tentang hidup dan mati manusia serta keyakinan-keyakinannya dalam puisi yang beragam modelnya. Puisi yang ditulisnya terkadang hanya terdiri atas dua sampai tiga baris saja. Sikap rasionalistik, skeptik, pesimistik, kejujuran, dan keberaniannya menolak konvensi lama telah membuat ia dikenal luas di kalangan penyair modern (Badawi, 1975:6). Dalam keterkaitan masalah sastra Arab ini, maka siapa pun harus menengok kembali pada masalah-masalah yang pernah menjadi wacana pada zaman Yunani, yaitu tradisi Aristotelian karena pengaruhnya begitu besar terhadap pennulaan dan perkembangan teori puisi Arab. Sebagaimana dimaklumi bahwa karya-karya penting Aristoteles telah banyak yang disalin ke dalam bahasa Arab. Akan tetapi, bila dicermati lebih mendalam, karya-karya besar Aristoteles yang popu1er di kalangan bangsa Arab dan yang disalin itu bukan karya-karya sastra, tetapi karya filsafat dan ilrnu pengetahuan. Disiplin puitika Arab dikembangkan dan berasal dari beragam pendekatan yang berbeda, dan pada dasarnya, merupakan hasil usaha yang dibuat oleh ahli filologi yang mempertimbangkan dan mengkaji komposisi puisi-puisi Arab. Di bawah pengaruh tradisi Aristotelian, bagaimanapun, para sastrawan Arab semakin
12
handal dalam mengembangkan definisi puisi dan memformulasikan pengamatan rnereka sendiri melalui cara yang berbeda dengan pengayaan kosa kata yang lebih logis. Menurut Cantarino (1975), walaupun pandangan mereka tentang hakikat [enomena puisi sangat
luar
biasa,
tetapi
terkadang kesimpulannya kurang
rneninggalkan kesan, kehilangan sentuhan tradisional, terjebak pada retorika, dan konkretisasi puisi yang terlalu formal. Lebih jauh Cantarino (1975) melontarkan kritiknya bahwa di bawah pengaruh tradisi Aristotelian, kemudian menjadikan sarjana-sarjana Barat sebagai acuan, rnembuat esai-esai sastra Arab seringkali berakhir sebagai enumerasi dari varietas
Aristotalica semata. Kemungkinan bahwa pendapat ini benar sangatlah kecil karena hal itu berarti menolak atau mengabaikan fakta bahwa sarjana-sarjana Arab berusaha keras
menganalisis kualitas komposisi puisi Arab dari perspektif terminologi
Aristotelian yang dipahami dalam term mereka sendiri. Menolak fakta ini berarti rnenolak seluruh alasan inteligensi dan prestasi yang telah dicapai oleh sebagian besar penulis dan filosof Arab temama dalam sejarah kebudayaan mereka. Dengan demikian, juga menolak kontribusi berharga yang telah disumbangkan dalam analisis puis i . Di bawah pengaruh tradisi Aristotelianlah para penulis Arab mampu rnengembangkan teori analisis puisi. Ketidakmampuan mengubah kecenderungan puisi atau retorika dalam kritik sastra Arab tidak perlu menjadi alasan menolak gaya berpikir Aristotelian. Para kritikus sastra Arab, di satu pihak, secara intensif terns melakukan pengamatan dan studi komposisi puisi dalam rangka mencari formulasi filosofis dan teoretis, tetapi di pihak lain mereka tidak mencoba menyusun teori-teori estetika dalam komposisi dan studinya. Salah satu problem yang sering ditemui para sarjana dalam menganalisis teori puisi
Arab adalah lemahnya sistem dalam pengkajian teks-teks tertulis yang
dilakukan oleh para kritikus Arab. Para sarjana itu tampaknya kurang berminat
daharri mengungkapkan subjek bahasan secara organik dan menarik. Hal ini patut disayangkan karena bertolak belakang dengan prestasi intelektual dan budaya yang telah dicapai. Dengan kondisi seperti ini, banyak topik yang dalam pandangan stru.k:turalisme, semestinya mendapat pembahasan serius, tetapi akhirnya terkesan hanya
dianggap sambil lalu. Problem lain yang lebih pelik adalah adanya
13
ketidakmampuan para kritikus sastra menganalisis puisi Arab dengan teori-teori baru. Analisis teks-teks puisi Arab masih sering menambahkan konsep-konsep baru dengan tanpa menolak konsep-konsep lama. Hal ini terus saja berlanjut tanpa perubahan di sepanjang sejarah kritik sastra Arab (Cantarino, 1975). Dari tinjauan kronologis, produktivitas teori sastra Arab membentuk sebuah kurva dan setara dengan studi-studi lain di dunia Arab, mempresentasikan dari apa yang disebut sebagai zaman keemasan Islam (the golden age); dari abad ke-9 sampai dengan abad ke-12 Maseru. Dimulai dengan permulaan pertumbuhan yang sangat cepat, kemudian datar, dan pelan-pelan mengalami kemunduran. Kelahiran kembali dunia Arab, yang jejak-jejaknya masih dapat disaksikan sampai saat ini, dalam budaya dan kesadaran sastra mereka, bukanlah kelanjutan dari warisan besar sejarah mereka, tetapi lebih merupakan prod uk dari pengaruh peradaban Barat, dan hal ini diakui oleh para pemikir Arab sendiri. Demikian juga, teori sastra Arab modem lebih merupakan hasil resepsi dari tradisi sastra Eropa daripada kelanjutan dari sastra tradisional Arab (Cantarino, 1975).
5. Resepsi Sastra Arab dalam Sastra Eropa Sebagian besar karya sastra Arab telah banyak yang disalin ke dalam bahasa Barat. Karya ini setidaknya memberikan kesempatan kepada para pembaca untuk mengetahui lebih mendalam mengenai kritik sastra Arab. Tidak lama berselang setelah kemunculannya di Inggris pada tahun 1956, drama karya John Obsorme,
Lock Back in Anger, telah mengalami pengalihan ke dalam bahasa Arab dan diproduksi menjadi serial sandiwara radio. Pada saat itu, beragam kelompok drama lokal Cairo sangat gencar menampilkan drama-drama terjemahan karya para sastrawan besar dunia, mulai dari
Sheakspeare, Chekov, Sartre, Arthur Mill,
Durrenmatt, Ionesco, dan Samuel Beckett. Karya-karya sastra Barat seperti novel Jerman "Isolde Blanchemein" dan novel Prancis "Flo ire et Blanche Fleur" adalah cerita-cerita yang mirip dengan novel karangan al-Qasim yang berasal dari tradisi puisi dramatique Arab. Puisi dramatique (asy-syi'rut-tamtsilyi diartikan sebagai ungkapan kejadian yang berisi nasihat dan hikmah kehidupan manusia (asy-Syak'ah, 1974:713; Zaydan, 1996:55) yang dalam tradisi sastra Arab biasanya diungkapkan melalui sarana puisi dan prosa.
14
Karya sastra Arab monumental yang mendapat sarnbutan besar masyarakat Barat adalah Kasidah Burdah yang ditulis oleh al-Bushiry pada abad ke-l J Masehi. Kasidah ini menjadi bukti akan keutamaan sastra Arab di mata sastra Eropa dan dunia. Kasidah Burdah adalah sebuah puisi panjang yang berisi sejarah kehidupan dan kepribadian Nabi Muhammad saw yang digemari oleh tiap generasi bangsa Muslim dan non-Muslim, yang disarnbut oleh bangsa Arab sendiri dan bangsa nonArab yang tersebar di lima benua : Asia, Afrika, Eropa, Amerika, dan Australia.
Kasidah Burdah adalah salah satu karya sastra yang populer selarna berabadabad (Nasr, 1994: 114) yang mendapat sarnbutan besar dalarn sejarah perkembangan sastra dunia sepanjang zaman (Glasse, 1996:65). Tidak ada satu pun puisi lain dalarn bahasa Arab yang marnpu menandingi kemashuran Kasidah Burdah. Lebih dari 90 komentar (syarah) atas puisi itu telah disusun. Bait-bait Kasidah Burdah masih sering dijadikan mantera, bahkan kaum Drusis hingga saat ini selalu membaea puisipuisi itu dalarn upaeara pemakarnan (Hitti, 2005:883). Popularitas Kasidah Burdah dapat dilihat pada sarnbutan besar atasnya yang berupa terjemahan dan komentar dalarn bahasa-bahasa dunia : Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Italia, Spanyol, Persia, Turki, Rusia, Cina, Berber, Urdu, Swahili, dan bahasa-bahasa yang digunakan oleh bangsa Nordic, yaitu Norwegia, Swedia, Denmark, Islandia, dan Finlandia (asy-Syantanawy, 1.1.:524, Hitti, 2005:883, islarnierxtbooks.com/rus, www.sandalaco.uk/chinese, www.al-ghazali.org.2004). Selain itu, karya sastra Arab terkenal seperti Alfu Laylah wa Laylah (Seribu
Satu Malam) mulai diterjemahkan ke dalarn berbagai bahasa Eropa pada tahun 1704 dan telah mengalarni eetak ulang sebanyak 30 kali. Setelah itu, novel Arab yang sangat populer ini mengalarni proses penerjemahan di Eropa sebanyak 300 kali. Novel ini telah banyak mengilharni para novelis Eropa dalarn memproduksi karyakarya sastranya. Tidak ketinggalan juga karya Boccacio, seorang penulis Italia, yang telah menghimpun seratus cerita, banyak dipengaruhi oleh Alfu Laylah wa Laylah, bahkan Gibb menyatakan bahwa kalaulah tidak ada kisah Alfu Laylah wa Laylah, maka orang-orang Eropa, terutama Inggris, tidak akan bisa membaca dua novel terkenal, yaitu Gulliver's Travels dan Robins Karzou (asy-Syak'ah, 1974:723).
Di samping itu, Cervantes dengan karyanya yang terkenal Don Quixote adalah contoh nyata sebuah novel heroik (Weimann, 1984:83) yang mendapat
15
pengaruh dari sastra Arab Andalusia (Spanyol Islam). Simbol-simbol budaya Spanyol Islam tampak kental dalam Don Quixote, dan hal ini tidaklah mengherankan karena interaksi dan akulturasi budaya antara Spanyol Islam dengan Eropa sangat intensif. Pengaruh sastra Arab dalam sastra Eropa dapat dilihat pula pada karya sastrawan Spanyol, Don John Manuel, yang menu lis novel berjudul El Conde
Lucanor. Dalam lembaran awal novelnya itu, dengan jelas Don John Manuel menggambarkan kehidupan renik-renik budaya Arab di Spanyol (asy-Syak'ah, 1974:715-716). Hal ini menunjukkan bahwa betapa sastra Arab mendapat tempat yang baik di mata sastrawan-sastrawan Eropa, yang berarti di antara kedua bangsa ini telah tercipta dialog intelektual melalui wacana resepsi dan transformasi budaya. Di bidang drama, pengaruh sastra Arab dan pemikiran Islam pada drama Eropa dapat dilihat pada karya dramawan Italia, Dante (abad 13-14 Masehi), yang sangat terkenal, yaitu Diviana Comedia (Divine Comedy). Pada masa itu, Dante dan
Diviana Comedia-nya lebih dikenal di dunia Arab daripada di Eropa sendiri. Sambutan masyarakat Arab begitu antusias karena dalam karya drama itu termuat simbol-simbol Islam yang dikemas oleh Dante sedemikian rupa sehingga seolah-olah isi ceritanya bemafaskan Islam padahal sesungguhnya cerita itu diangkat dari ide-ide Katolik (Catholic ideas) (bdk. Chatman, 1980:149). Pada masa itu, kesusastraan Arab dan pemikiran Islam di Spanyol, Prancis selatan, dan sebagian wilayah Italia selatan sedang mengalami kemajuan karena bahasa Arab digunakan sebagai bahasa ilmu, bahasa kebudayaan dan peradaban (asy-Syak'ah, 1974:719).
Diviana Comedia dipandang oleh masyarakat Arab sebagai karya sastra Eropa yang "bernafaskan" Islam karena di dalam ceritanya dilukiskan perjalanan manusia ke tiga tempat di akhirat yang ada di dalam ajaran Islam, yaitu neraka, tempat tertinggi (al-' Araf), dan surga. Dante seolah-olah melakukan perjalanan sendiri ke langit (akhirat) untuk mencari kekasih yang dicintainya, yaitu Beatrice, yang akhimya ditemukanlah kekasihnya itu di surga. Selain itu, Dante juga dipengaruhi oleh Plathios, seorang sastrawan Spanyol, yang menulis kisah Isrd dan
Mi'rdj Nabi. Pola kisah perjalanan ke akhirat dalam Diviana Comedia mirip dengan pola kisah perjalanan Nabi ketika mi'rdj (asy-Syak'ah, 1974:720-722). Kerniripan cerita dalam Diviana Comedia dengan ajaran kehidupan akhirat dalam Islam menjadi
16
bukti nyata bahwa Dante memiliki pengetahuan tentang Islam yang didapatnya dari hasil dialog budaya antara ide-ide Katolik dengan ide-ide Islam. Di samping itu, ada hal yang menarik lagi adalah novel Vathek karya Beckford, sastrawan Inggris, yang alur ceritanya di samping bergaya Inggris dan Prancis, juga dipengaruhi oleh gaya sastra Arab, Yunani klasik, Latin, dan Romawi (asy-Syak'ah, 1974:724). ladi, novel Vathek ini adalah contoh sebuah akulturasi budaya Eropa dengan hipogramnya adalah Yunani, Romawi, dan Latin dengan budaya Arab yang hipogramnya adalah Islam. Karya sastra Arab yang bemuansa filosofis, dan menjadi terkenal di dunia Barat, adalah novel Hayy bin Yaqzhdn karya Ibnu Thufayl, seorang sastrawan Arab Islam Spanyol yang hidup pada abad ke-12 Masehi. Keunggulan novel ini terletak pad a ketajaman dan keluasan berpikir tokoh-tokoh ceritanya, komposisinya yang akurat, konsep-konsep filsafatnya yang canggih, dan imajinasinya yang segar. Novel ini pertarna kali diterjernahkan ke dalam bahasa Ibrani oleh Musa bin Norboun pada tahun 1439, sedangkan ke dalam bahasa Latin dan Inggris diterjemahkan pada tahun 1708. Pengaruh novel Hayy bin Yaqzhdn terhadap sastra Eropa dapat dilihat pula pada karya novelis Inggris, Danial de Foe, yang menulis novel panjang terkenal, yaitu Robins Karzou. Danial de Foe dalam novelnya itu menulis cerita yang berbasis pada pemikiran Ibnu Thufayl tentang filsafat. Dialog antartokoh dalam Robins
Karzou mirip dengan Hayy bin Yaqzhdn yang sarat dengan kata-kata filosofis yang sulit dipahami oleh pembaca biasa. Hal yang membedakan adalah tokoh utama dalam Hayy bin Yaqzhdn lebih memerankan diri sebagai seorang filosofyang ideal is, sedangkan tokoh utama pada Robins Karzou lebih memerankan diri sebagai laki-laki yang berwawasan pragrnatis, tetapi memiliki pemikiran yang filosofis (asy-Syak'ah, 1974:723)." Selain itu, puisi model empat baris (poetry quaterly) gaya Lebanon sepanjang tahun 1957-1969 banyak yang diterbitkan dalam bentuk asli dan terjemahannya secara bersamaan oleh para sastrawan Prancis dan Inggris. Puisi itu seringkali tertata secara berdampingan dengan teks aslinya dalam bahasa Arab. Akan tetapi, terkadang juga tidak berdampingan dengan teks aslinya, seperti pada kasus John Wain. Satu dari fitur bentuk review sastra Arab, seperti dalam majalah bulanan di Lebanon, Al-
17
Adab (1953) adalah penulisan summary dari karya-karya utama sastra Barat dan peristiwa budaya yang terjadi di negara tersebut. Al-Majalla (1957-1971) sebuah majalah bulanan di Cairo, memberikan banyak ruang bagi review mendalam karyakarya sastra Barat. Selain itu, juga tidaklah mengejutkan kalau al-Ahrdm, sebuah surat kabar terbesar di Cairo, merelakan banyak halaman yang dimilikinya untuk mendiskusikan novel Perancis atau puisi terjemahan karya Mayakovsky atau Yevtushenko (Badawi, 1975: 1). Selain itu, dalam bidang sastra dan drama, Lessing (1721-1781), seorang kritikus sastra asal Prancis, Goethe (1749-1832) dan Shiller (1759-1805), dua sastrawan Jerman, termasuk tokoh-tokoh yang menjadi rujukan teori sastra dan drama Arab modern (as-Sayyid, 2005:9). Pada zaman dan sisi yang lain, pencarian bentuk atau model drama Arab tidak hanya diupayakan oleh golongan muda sebagai ujung tombaknya, tetapi juga oleh seorang tokoh tua dari Mesir, Taufiq al-Chakim. Sebagai dramawan sekaligus sastrawan, Taufiq al-Chakirn adalah penulis Arab yang mampu memotret realitas sosial masyarakat Arab melalui novel dan karya-karya dramanya. Di samping itu, ia juga mampu mendialogkan perasaan dan pikiran masyarakat Arab melalui teks-teks dramanya itu (Muchammad, 1982: 192). Pengamatan sekilas atas drama Arab modern, sebagairnana yang muncul di Cairo, sudah menciptakan gambaran betapa mudahnya unsur luar, terutama model-model Barat, memberikan pengaruhnya pada kebudayaan Arab. Hal ini juga tampak dalam karya sastra lain yang dapat dilihat pada sebuah terjemahan novel karya Boris Pasternak, Dr. Zhivago, dan sebagian besar karya Jean Paul-Sartre serta Albert Camus telah tersedia dalam bahasa Arab. Pada mulanya Albert Camus (selanjutnya disebut Camus) memasuki kalangan eksistensialis di bawah pengaruh Jean-Paul Sartre. Eksistensialisme berpandangan bahwa manusia itu ada dulu dan esensinya tumbuh kemudian. Akan tetapi kemudian Camus "melepaskan diri" dari eksistensialisme Sartre karena perbedaan pandangan antara keduanya. Bagi Sartre, hidup ini hanya mempunyai nilai bila manusia memberikan nilai itu, sedangkan bagi Camus, manusia sendirian tidak mempunyai nilai, tetapi nilai itu diperoleh karena solidaritas dan sirnpati. Mengenai Camus sendiri dapat dikategorikan sebagai pemikir keturunan Arab karena ia lahir di Mondovie, Aljazair dan dibesarkan di Aljir. Ia meninggal di Villeblevin, Prancis pada tanggal 7 November 1913 (Hoed, 1992:18). Dalam hal ini, tidak sedikit penulis
18
Arab yang terpengaruh, terutama, oleh pemikiran Camus yang tercermin dalam novel-novel Arab modem dengan menampilkan tokoh-tokoh cerita yang berpikiran eksistensialis. Sudah tentu, terjalinnya hubungan kebudayaan antara Arab dengan Barat telah menjadi fakta kultural yang tidak terelakkan. Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar sastrawan besar Arab modem, tanpa kecuali, langsung atau tidak langsung, terpengaruh oleh kebudayaan Barat (Badawi, 1975:2). Hal ini dapat dipahami apabila meminjam pemikiran Madzhab Marburg, yang dipelopoi oleh Ricket, yang menyatakan bahwa tidak ada realitas yang independen. Realitas tidak dapat dikenal pada dirinya sendiri, atau dalam ungkapan Immanuel Kant, realitas tidak cukup hanya dipahami dari dirinya sendiri (thing in itself) (Peursen, 1990: 11). Artinya, perkembangan sastra Arab tidak dapat dilepaskan dari realitas yang lain, yaitu realitas pengaruh sastra Barat, apalagi ketika Prancis menjajah Mesir dari tahun 1798-1801, temyata negara itu telah menanarnkan pengaruh yang besar atas perkembangan pemikiran sastra Arab modem (as-Sayyid, 2005:59).
6. Pengaruh Pemikiran Barat terhadap para Penulis Sastra Arab Di antara sastrawan-sastrawan Arab (Mesir) terkemuka yang dipengaruhi oleh pemikiran Barat adalah Abdur-Rachman Syukry (1887-1956), Abbas Machmfid 'Aqqad (1779-1964), dan Ibrahim Abdul-Qadir al-Mazany (1890-1949) (as-Sayyid, 2005:9). Dalam madzhab sastra Arab, ketiga sastrawan ini termasuk dalam kelompok
pre-romantics (Badawi, 1975) yang menghidupkan pembaruan pemikiran sastra Arab di Mesir dengan mendirikan perkumpulan yang disebut "Jamd 'atut-Diwdn ". Perkurnpulan sastra ini didirikan sebagai respons terhadap perkumpulan sastra Arab
mahjar di Amerika Serikat yang bemama "ar-Rdbithatul-Qalamiyyah" yang didirikan oleh Jibran Khalil Jibran (1871-1931), Michael Nu' aymah (1889-1988), Nasib 'Aridhah (1887-1946), Rasyid Ayyub (1871-1941), dan Elya Abu Madha (1890-1941). Pemikiran sastrawan Arab yang tergabung dalam Jamd 'atut-Diwdn lebih cenderung ke madzhab Romantics, yaitu penonjolan kekuatan perasaan dalam teks sastra, sedangkan pemikiran sastrawan Arab yang tergabung dalam ar-Rdbithatul-
Qalamiyyah Iebih condong ke formalisme, yaitu paham yang mereduksi teks sastra
19
dari aspek-aspek nonsastra (bdk. Scholes, 1977: 170). Jamd 'atut-Diwtin lebih memfokuskan perhatiannya pada terna-tema : keindahan, kemuliaan, kejayaan, dan hal-hal yang berkaitan dengan ungkapan perasaan. Madzhab yang pertana ini lebih dekat pada pandangan Wordsworth yang mengatakan bahwa puisi adalah ungkapan spontanitas perasaan yang kuat dan tajam (dalam Belsey, 1980:8) Adapun arRabithatul-Qalamiyyah lebih mengutamakan perhatiannya pada upaya pembaruan
gaya bersastra yang tidak terikat pada tradisi Romantics. Perkumpulan sastra yang kedua ini didirikan pada bulan April 1920 di kota New York yang diketuai oleh Jibran dan Nu'aymah sebagai penasihatnya, sedangkan Jamd 'atut-Diwdn didirikan di Cairo, Mesir. Dua perkumpulan sastra yang berada di dua negara yang berbeda kebudayaannya itu menjadi pusat kegiatan dan produksi karya sastra Arab modem yang karya-karyanya tersebar ke dunia Barat dan ke dunia Timur (as-Sayyid, 2005: 130-131). Penolakan para penyair sastra Arab mahjar terhadap madzhab Romantics paralel dengan pandangan penulis sastra Spanyol abad ke-18 Masehi, Jose Ortega y Gasset, yang juga antiromantics dan aristocratic. Ortega menolak keras hegemoni definisi
sastra
hanya
dari
perspektif elite
intelektual
saja.
Ortega juga
mengkhawatirkan munculnya karya sastra elitis yang diproduksi oleh sebuah hegemoni kultural yang disebut "kebudayaan tanpa hari kemarin" C'culture without yesterday"), yaitu kondisi budaya yang tidak memiliki visi historis dari warisan
budaya bangsanya (Weimann, 1984:83). Dalam konteks ini, teori sastra Arab yang dipelopori oleh para sastrawan Arab mahjar itu menolak definisi sastra yang sudah sekian lama didominasi oleh madzhab Romantics, dan pemaknaan karya sastranya cenderung dalam hegemoni para penafsir elite intelektual saja. Selain itu, perkembangan teori sastra Arab modem dapat dilihat, antara lain, pada karya-karya Dr. Syauqy Dhayf yang berjudul "al-Fannu wa Madzahibuhu fisySyi 'ril- 'Araby" ("Seni dan Madzhab-Madzhabnya dalam Puisi Arab") dan "al-Fannu wa Madzdhibuhu fin-Natsril- 'Araby" ("Seni dan Madzhab-Madzhabnya dalam Prosa
Arab), dan karya Dr. Darwisy al-Jundy yang berjudul "ar-Ramziyyatu fil- 'Adabil'Araby"
("Simbolisme
dalam
Sastra
Arab)
(al-Ayyuby,
1984:379).
Selain
perkembangan teori, kemajuan sastra Arab modemdapat juga dilihat pada novelnovel yang membicarakan sastra realisme, antara lain novel (i) "Zaynab" karya
20
Muchammad Chussayn Haykal, (ii) "al- 'Ayyam" karya Thaha Chusayn, (iii)
"<Ushfiaun minasy-Syarqi" karya Taufiq al-Chakim, dan (iv) "t Adibun fis-Suqi" karya Umar Fakhury. Novel-novel tersebut berisi cerita tentang kehidupan sosial dan moral masyarakat Arab modern (al-Ayyuby, 1984:380). Tulisan-tulisan tentang teori sastra dan karya-karya sastra Arab ini, dilihat dari latar belakang pendidikan para penulisnya, adalah buah pikiran konvergensial antara tradisi sastra konvensional Arab dengan tradisi sastra Barat. Dalam konteks ini, Taufiq al-Chakim mampu menjembatani karya seni sebagai das Sol/en dengan realitas sosial sebagai das Setn sehingga antara keduanya mempunyai hubungan fungsional. Perdebatan antara karya seni dengan realitas sosial menjadi ciri utama masa Romantics Arab. Di Barat, perdebatan tentang hubungan antara seni, khususnya sastra dan drama, dengan realitas sosial mencapai puncaknya ketika seni mencapai otonomi dan menolak untuk tunduk pada norma dan aturan sosial yang berIaku (Jauss, 1982:14). Oposisi dan kritik terhadap karya seni yang tidak memperhatikan realitas sosial, dalam dunia sastra Arab, dilakukan oleh para sastrawan yang hijrah ke Amerika Serikat seperti Jibran Khalil Jibran, Nasib 'Aridhah, Michael Nu'aymah, Rasyid Ayyub, dan Elya Abu Madha (Badawi, 1975: 181-182).
7. Kesimpulan Para sastrawan Arab mahjar ini menginginkan terciptanya otonomi sastra dan drama yang tidak begitu saja tunduk pada norma dan aturan sosial yang berIaku pada masyarakat Arab. Jadi, puisi-puisi Arab mahjar lebih cenderung pada realisme, yaitu penghampiran karya sastra pada kenyataan sosial. Dalam konteks ini, realisme diartikan sebagai "objectivity" yang dioposisikan maknanya dengan hal-hal yang bersifat subjektif.
Jadi,
pengarang
harus
menyisihkan .subjektivitasnya dan
menghindarkan diri dari hal-hal yang bersifat individual. Selain itu, karya-karya sastra yang berkutub pada realisme, sesungguhnya, selalu dioposisikan dengan madzhab
romantic fiction. Berdasarkan pemikiran ini, puisi-puisi sastra Arab
mahjar diposisikan sebagai kekuatan "oposisi" terhadap madzhab romantic fiction itu.
21
Dari sejarah perkembangan sastra Arab tersebut terlihat bahwa karya prosa, puisi, dan drama Arab modem lebih cenderung pada pemotretan realitas sosial daripada ekspresi idealisme para pengarangnya. Jadi, sastra realisme menjadi tampak dominan dalam perkembangan sastra Arab modem itu. Dalam tataran serniotik, tampak jelas bahwa sastrawan Arab lebih condong ke praktik solipcism, atau disebut textual subjectivism, yang berpandangan bahwa teks sebuah karya sastra hanya dapat dipahami dan dikembangkan melalui subjektivitas pembacanya. Artinya, pembaca menginginkan adanya keterkaitan antara teks sastra dengan realitas sosial, yang pada gilirannya sastra Arab tidak hanya berada dalam dunia imajinasi belaka. Sastra Arab harus menjadi kontributor dan pemberi solusi atas persoalan nyata yang dihadapi bangsa Arab, sekecil apa pun kontribusi dan solusi itu.
22
DAFTARPUSTAKA 'Asyiyyi, Ilyas, 1973. Abu Nuwds. Darul-Kitabil-Lubnany, Bayrut. al-Ayyuby, Yasin. 1984. Madzdhibul- 'Adab. Ma 'dlimun wan- 'Ikdsdt, alKaldsikiyyah, ar-Ramanthiqiyyah, al-Wdqi'iyyah. Darul-Tlrni lil-Malayin, Bayrut. Badawi, M.M. 1975. Modern Cambridge.
Arabic Poetry. Cambridge University Press,
Bakalla, M.H. 1984. Arabic Culture Through its Language and Literature. Kegan Paul International, London, Boston, Melbourne and Henley. Beeston, A.F.L. 1977. Selections from the Poetry of Bassdr. Cambridge University Press, Cambridge. Belsey, Catherine. 1980. Critical Practice. Methuen & Co., London and New York. Brockelmann, C. 1937. Geschichte Der Arabischen Litteratur. Supplementband 1. E.J.Beill, Leiden. Burbank and Steiner, John, Peter. 1978. Structure, Sign, and Function. Selected Essays by Jan Mukaiovsky. Yale University Press, New Haven and London. Cantarino, Vincente. 1975. Arabic Poetics in The Golden Age. EJ. Brill, Leiden. Chatman, Seymour. 1980. Story and Discourse, Narrative Structure in Fiction and Film. Cornell University Press, Ithaca and London. Erlich, Victor. 1964. Russian Formalism, History - Doctrine. Mouton Publishers, The Hague, Paris, New York. Glasse, Cyril. 1996. Ensiklopedi Islam. Terjemahan dari The Concise Encyclopaedia ofIslam. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Guinhut, Jean-Pierre. 1998. "The Man Who Loved Too Much, The Legend of Leyli and Majnfm" dalam www.librarycomell.edu/-colldev/I?ideastlmajnun.htm. Hartoko Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Hitti, Philip K. 2005. History of The Arabs. Diterjemahkan oleh Cecep Lukrnan Yasin dan Dedi Slamet Riyadi dari judul History of The Arabs: From the Earliest Times to the Present. P.T. Serambi llmu Semesta, Jakarta. Hoed, Benny H. 1992. Kala dalam Novel, Fungsi dan Penerjemahan-nya. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
23
Jauss, Hans Robert, 1982. Aesthetic Experience and Literary Hermeneutics. University of Minnesota Press, Minneapolis. Jefferson, Ann, David Robey, 1987. Modern Literary Theory. B.T. Batsford Ltd., London. al-Khuly, Amin dan Nashir Chamid Abu Zayd. 2004. Metode Tafsir Sastra. Diterjemahkan oleh Khairon Nahdiyyin dari judul asli Naqdul-Khithdb adDiniy dan Mandhijut-Tajdid fin-Nachwi, wal-Baldghah, wat-Tafsir, walAdab. Adab Press, Fakultas Adab lAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Lambropoulus, Vassilis, Miller, David Neal. 1987. Twentieth Century Litetary Theory. State University of New York Press, Albany. Lord, Albert B. 1981. The Singer of Tales. Harvard University Press, Massachusetts. Martin, Wallace. 1986. Recent Theories of Narrative. Cornell University Press. Ithaca and London. Mucharnmad, Ibrahim Abdur-Rachman. 1982. An-Nazhariyyatu wat-Tathbiq filAdabil-Muqdran. Darul-'Audah, Bayrfrt. Nasr, Seyyed Hossein. 1994. Menjelajah Dunia Modern. Terjemahan dari A Young Muslim's Guide to the Modern World. Mizan, Bandung. Olsen, Stein Haugom. 1987. The End of Literary Theory. Cambridge University Press, Cambridge, London, New York, New Rochelle, Melbourne, Sydney. Peursen, C.A. van. 1990. Fakta, Nilai, dan Peristiwa. Tentang Hubungan antara Ilmu Pengetahuan dan Etika. Diterjemahkan oleh A. Sonny Keraf dari judul asli Facts, Value, Events. P.T, Gramedia, Jakarta.
Sa'iy, Achmad Bassam. 1985. Al-Wdqi'iyyatul-Isldmiyyah fil- 'Adabi wan-Naqdi. Darul-Manarah, Jeddah. as-Sayyid, Syafi'. Nazhariyyatul-Adab, Dirdsatun Chaditsah. Maktabatul-Adab, al-Qahirah.
fil-Maddrisin-Naqdiyyatil-
Scholes, Robert. 1977. Structuralism in Literature. Yale Upiversity Press, New Haven and London. Seung, T.K. 1982. Semiotics and Thematics in Hermeneutics. Columbia University Press, New York. Steiner, Peter, John Burbank. 1977. The Word and Verbal Art, Selected Essays by Jan Mukarovsky. Yale University Press, New Haven and London. asy-Syak'ah. Musthafa, 1974. Al-Adabu, Maukibul-Chadhdratil-Isldmiyyah. Darul-
Kitabil-Lubnany, Bayrut, asy-Syantanawy, Achmad. b.s. Dd 'lratul-Ma 'drifil-Isldmiyyah. Darul-Fikr, Bayrfit.
24
ath-Thanthawy, ' Aly. 1992. Fikrun wa Mabdchitsun. Darul-Manarah, Jeddah. Wehr, Hans. 1980. A Dictionary of Modern Written Arabic. Libraire du Liban, Macdonald & Evans Ltd., Beirut & London. Weimann, Robert. 1984. Structure and Society in Literary History, Studies in the History and Theory of Historical Criticism. The John Hopkins University Press, Baltimore and London. Weintraub, Karl 1. 1969. Visions ofCulture. University of Chicago Press, Chicago & London. Zaydan, Jurjy. 1996. Tdrikhul-Addbil-Lughatil- 'Arabiyyah. Al-Mujallidul-Awwal. Darul-Fikri, Bayrfrt. www.geocities.com. islamicrxtbooks.comlrus www.sandalaco.uk/chinese www.al-ghazali.org.2004 www.1911encyclopedia.-2004 www.uni-koeln.de.2004
25