Trespass { Didedikasikan kepada para pembaca buku ini } Apasih, pelanggaran terbesar yang pernah lo lakukan didalam hidup lo? bolos sekolah? mencoret dinding? tidak membayar hutang? mencuri uang? Semua pelanggaran diatas pasti bisa lo tebus dengan hukuman. Tapi, gimana dengan gue? pelanggaran yang gue lakukan gak terikat norma, tapi mengikat 3 hati. Gue langgar, dia bakal sakit hati. Gue turuti, masa iya gue harus mengorbankan hati gue? Yaudahlah, terpaksa gue Trespass. - Violetta kalea {Ranking 1 paralel Pelita Nusa} Apasih, penghianatan terbesar yang pernah lo terima selama lo masih duduk dibangku SMA? anak buah lo yang jadi mata - mata musuh lo? dijadiin korban pas razia? gebetan lo direbut temen? Masih standar. Gimana kalau cewek yang lo suka, dekat dengan lo, dan ternyata cuma mau bikin lo jadian dengan temennya? Gue milih buat mundur. - Kaffa Argani {Kapten basket Pelita Nusa}
Part 1: Prologue Violetta Kalea Hai, gue Violetta. Baru naik kelas 12. Gue suka baca buku, apalagi tentang sains. Oh, gausah kalian tanya betapa cintanya gue dengan yang namanya sains. Bahkan, rak buku gue dipenuhi buku – buku ilmiah, ada beberapa komik, sih. Tapi, ya cuma beberapa aja, selingan kalau gue bosen. Pacaran? duh, gue belum terlalu mikir kesana, sih. Sekarang aja, gue udah kelas 12 dan belum punya satu mantan pun. Sebenernya ada yang ngedeketin. Eits, kalian jangan salah ya, walaupun gue ini kutu buku, gue bukan nerd. Gue eksis kok disekolah ini. Siapa sih, yang nggak kenal ranking 1 paralel se-angkatan? Yap, itu gue. Namun, kayaknya gue gak akan melewati masa – masa terakhir sekolah gue ini dengan tenang tanpa embel – embel cinta. Yap, ini semua berawa dari gue – kapten basket sekolah – dia yang tiba-tiba masuk di kelas unggulan – undian tempat duduk sialan itu – dan, ketua PMR yang notabene nya adalah teman satu eskul. Satu julukan lagi kini hadir untuk gue, selain peringkat 1 paralel, Violetta Kalea akan dikenal sebagai The Matchmaker. Kaffa Argani Panggil gue Kaffa, kapten basket Nusa Bangsa jabatan 2014 / 2015. Mendengar embel – embel kapten basket, gue yakin kalian para kaum hawa pasti langsung menjerit 'Anjrit! pasti ganteng!' itu udah biasa gue dengar. Apalagi kalau lagi tanding di lapangan, selalu aja riuh suara cewek-cewek anak Nusa bangsa maupun sekolah lain. Tapi, dari sekian banyak teriakan, Cuma satu teriakan yang gue harap, yaitu teriakan dari mulut seorang Violetta Kalea. Gadis yang gue suka sejak akhir kelas 11 lalu. Sekarang, gue sekelas sama dia. Tapi, harapan gue buat dapat hatinya pupus. Ini semua berawal dari Gue – Violetta – dan faktor x lain. Oh, ya, kadang gue merasa cupu. Sangar didepan lapangan, gue bisa. Tapi kenapa untuk mengungkapkan 3 kata itu ke lo susah banget, ya, Vio?
Part 2: X Kaffa men-dribble bola basketnya. Ia kini sedang berada di lapangan basket di depan pekarangan rumahnya. Nampak sosok sahabat dekatnya sejak kelas 10, Alvaro Maheswara, tengah duduk dibawah ring basket.
"udah dulu, sih, Kaf, mainnya. Gue capek." "yaelah, lebay banget mentang – mentang libur," Kaffa langsung mengambil tempat di sebelah Varo. "oh, iya. Lo udah liat kelas kita di website sekolah?" Tanya Varo Kaffa hanya menggelengkan kepalanya, "paling juga kita beda kelas, kan? Sekelas mulu sama lo dari kelas 10 bosen," balas Kaffa cuek. Nampak Varo ingin membalasnya namun terhenti karena teringat sesuatu, "oh, gitu. Sebenarnya gue pengen ngasih tau lo sesuatu, sih. Tapi kayaknya lo lagi gak berkenan, ya?" ujar Varo dibuat – buat. Sontak, Kaffa langsung menoleh dengan pandangan seribu tanda Tanya melayang diatas kepalanya. "jadi, gue sama lo masuk kelas unggulan," ucap Varo dalam sekali hembusan napas. "Buset! Kok bisa?!" Kaffa kaget bukan main, pasalnya, mereka bisa dikategorikan sebagai anak yang menonjol di eksul disbanding akademik. Pasti akan menjadi suatu beban bagi mereka nantinya berada di kumpulan orang – orang yang rajin. Varo mengangkat bahunya, seakan dapat membaca pikiran Kaffa, ia melanjutkan dengan santai "kata Elita, sahabatnya si ehem – ehem, ada dua orang pindah, mereka anak unggulan. Dan parahnya lagi, nama kita yang berada dibawah nama mereka jadi naik buat mengisi bangku kosongnya," Kaffa hanya mengangguk pasrah, ia kembali berdiri dan men-dribble bola basketnya lagi. Lagi – lagi, seperti bisa membaca tingkah laku sahabatnya itu, Varo berkata, "pasti gak akan terasa berat kok, kan, lo sekelas sama Violetta." "Hah?! Violetta?! Anjrit, serius lo?!" Kaffa melempar bolanya kesembarang arah saking semangatnya. Naas nya, bola itu mendarat di tempat yang salah. "buat apa sih, gue bo—Dugh," Kaffa berlari panik menghampiri sahabatnya, terlihat darah mengucur dari kedua lubang hidungnya. "ah, anjir, sakit. Gila ya lo!" omel Varo sembari menahan sakit. "eh, aduh, sorry Var, gue bener-bener excited," lanjut varo ketika tangannya terulur memberi handuk yang langsung diterima oleh Varo. "yaudah. Tanggung jawab nih!" tuntut Varo yang dibalas hanya dengan kekehan Kaffa. "lo tau gak sih, kata-kata lo itu, sounds like we're gay, you know?" "gaduli, yang penting gue gamau ketampanan gue berkurang gara-gara bola basket lo yang sialan itu," balas Varo sinis sementara Kaffa hanya bisa nyengir dan membuat simbol peace di tangannya.
"lima hari lagi masuk, gue jadi gak sabar gini, Var,"
Kini mereka sedang menonton kingsman di home theater keluarga Kaffa. Ya, Varo sedang menginap dirumahnya. Hal rutin yang sering mereka lakukan secara bergantian jika sedang libur atau tidak ada tugas. Sementara, kedua orang tua Kaffa sedang berlibur, jadilah mereka disini hanya bersama dengan Bi Minah. "whatever," balas Varo sekenanya. Ia memang tidak suka jika diajak berbicara ketika menonton. "kira - kira, gue bisa deket gak, sama dia? gue tertarik sih, lebih tepatnya, penasaran. Kok bisa ya dia gapernah pacaran selama ini? gimana cara gue biar bisa deket sama dia?" "uuu, kapten basket kebanggaan Pelita Nusa tunduk sama seorang cewek, guys." "cih, gue minta saran, bukan cemoohan, Alvaro Mahesa." Varo menghadap kekiri, menatap Kaffa. Tak dihiraukannya lagi film Kingsman yang sedari tadi mereka tonton. Ralat, hanya dirinya yang menonton, sedari tadi Kaffa uring-uringan tentang Violetta. "gini, ya, Kaf, be yourself aja. 95% diri lo, 5% nya, yaa, jaim dikit, lah," ujar Varo sembari menimangnimang dagunya. "maksud gue, cara deket sama dia nya gimana? Lo tau sendiri lah, siapa sih yang gak berusaha deketin dia? Cuma lo doang yang nggak," balas Kaffa lesu. "change yourself, maybe?" ujar Varo agak ragu. "lah, somplak, tadi katanya be yourself aja," protes Kaffa geregetan. "ya maksud gue, rubah dikit, kan kita masuk kelas unggulan, ganti image lo gitu dimata dia. From the Emotional Basketball Captain, to the Calm and Heart Warming Kaffa," balasan Varo dihadiahi tatapan 'maksud-lo-apa-gue-gak-ngerti' dan sejujurnya, ia agak geli dengan embel-embel 'heart warming'. "ya contohnya dengan cara minta diajarin pelajaran sama dia. Alasannya gampang, karena kita sama-sama mahluk goblok yang nyasar ditengah orang dengan IQ 500 keatas," balas Varo yang hanya dibalas dengan hembusan napas berat Kaffa. 'dasar lebay,' batin Kaffa.
A/n Okay! Gue dateng lagi dengan cerita abal lain, tolong dimaklumi kalau gue memang buntu untuk melanjutkan cerita sebelah. Ampun, mba, mas.
Part 3: O Hari senin, hari perdana gue masuk sekolah dikelas 12. A little bit excited, but in fact, gue udah bener - bener muak dengan seragam ini. Gue pengen cepet - cepet lepas dari sebuah nama yang berawal kata huruf S. Iya, SD, SMP, SMA. Dan, dalam hitungan bulan lagi gue bakal bebas dari tingkatan terakhir. "Bun, yah, aku berangkat dulu," gue pun pamit selepas menghabiskam setangkup roti bermeses cokelat, dan meneguk segelas susu putih hangat. "Hati - hati, ya. Kakak kamu udah nunggu didepan. Ingetin dia jangan ngebut," tukas bunda setelah gue
cium tangan. Kalau ayah, masih serius sama koran paginya. "Yuk, bang," ajak gue setelah selesai memakai sepatu. Bang Andre lagi asik sama handphonenya, bisa diliat dari salju - salju yang turun dan background berwana hijau, dia lagi buka aplikasi LINE. Yah, siapalagi kalau bukan chat sama honey-bunny-sweety nya.
"Belajar yang bener ya dek," gue yang mau buka handle pintu pun terhenti, terkekeh dan balik badan buat natap mata abang gue yang satu itu. "Violetta Kalea terkenal sebagai apa sih bang, diseantero Pelita Nusa?" Tanya gue dengan kekehan sombong. Bang Andre menghempaskan napas kesal. "Yaela, iyadeh. Salah ya gue ngingetin adek gue, Violetta Kalea, ranking satu paralel Nusa Bangsa selama 3 tahun berturut - turut buat belajar?" Jawabnya malas. Gue cuma ketawa dan mengecup pipinya cepat dan beranjak keluar mobil. "Kuliah yang bener, Bang!" Gue agak teriak sambil dadah - dadah kearah mobilnya yang mulai menjauh.
"Lit, kita duduk bareng lagi, ya. Kayak biasa," pinta gue ke Elita. Sahabat sekaligus teman sebangku gue dari kelas 10. "Ah males banget duduk ama lo lagi tau ga," jawabnya sembari menaruh tas disebelah kursi gue. "Ck, yaela. Suka gitu deh," tak terdengar balasan, akhirnya gue meng-shuffle lagu dari ipod dan memasang earphone. Hey girl, open the walls, play with your dolls We'll be a perfect family. When you walk away, is when we really play You don't hear me when I say, "Mom, please wake up. Dad's with a slut, and your son is smoking cannabis." No one ever listens, this wallpaper glistens Don't let them see what goes down in the kitchen. Places, places, get in your places Throw on your dress and put on your doll faces. Everyone thinks that we're perfect Please don't let them look through the curtains. Picture, picture, smile for the picture Pose with your brother, won't you be a good sister? Everyone thinks that we're perfect Please don't let them look through the curtains. D-O-L-L-H-O-U-S-E I see things that nobody else sees. (D-O-L-L-H-O-U-S-E I see things that nobody else sees
Keasikkan gue dengerin lagu terusik sama sentuhan di sikut gue. Refleks, gue lepas earphone gue. "Kenapa Lit?" "Lo udah tau kabar ini, belum?" "Kabar yang mana? Lo aja belom cerita," "Duh, kudet banget sih lo!" Gue hanya muter mata males. Beda dengan Lita, gue gak tertarik dengan hal yang berbau kabar burung, gossip, atau semacamnya.
Part 4: X
A/n halo! sebelumnya gue mau ngasih tau, kalau di part yang judulnya 'X', itu sudut pandangnya Kaffa, dan yang 'O', itu sudut pandangnya Vio. Tapi, berhubung gue bakal nulis melalui sudut pandang penulisnya, maka disetiap part bakal gue kasih { Kaffa } atau { Violetta }. Kalau nggak ada, berarti part itu adalah sudut pandang penulis, atau author's POV. Oke, selamat menikmati, hehehe. p.s Selamat Tahun Baru 2016! yang tahun baru nya gakemana-mana, nih gue update buat kalian! Hehehe { Kaffa } "Kepada seluruh ketua dan wakil ketua kelas, harap segera berkumpul didepan ruang tata usaha setelah bel istirahat berbunyi, terimakasih," suara Bu Ratih dari speaker kelas terdengar sangat tidak nyelo itu, langsung diiringi bel istirahat. Ah, ya. Kalian gausah tanya lagi gimana gugupnya gue duduk sama Vio. Pengalaman pertama gue buat sekelas, apalagi duduk sama dia. Gue harus berterimakasih sama dua orang murid Pelita Nusa yang pindah, rejeki anak soleh, memang. Seharusnya, Vio, yang notabene nya adalah ketua kelas, udah langsung ngacir ke ruang TU. Tapi dia masih aja gabangun dari posisinya. "Vi, Vio," colek gue ke sikutnya, dia bergerak sedikit. "Hmm," Ya tuhan, bahkan dehamannya aja mengalihkan dunia gue. Ck, apasih. "Lo denger pengumuman tadi gak? Ketua sama wakil disuruh ke ruang TU," buru - buru ia langsung duduk tegap natap gue. "Oh, yaudah ayo," lah, dia malah langsung ngacir gitu aja.
"Loh, Kamu Kaffa kan? Kok tanda tangan dikelas IPA 1?" "Iya... Saya memang dikelas itu, bu," kesannya gue bego banget apa gimana sih? Gue kira dipanggil ke
ruang TU ada apa. Taunya, cuma ambil buku jurnal kelas sama jadwal pelajaran. "Bener, Vio? Dia wakil ketua kelas kamu?" Yaampun, Bu Ratih masih gapercaya juga, ternyata. Vio langsung ngangguk gitu aja. Refleks, gue langsung senyum bangga. "Yaudah deh bu, kita duluan ya," pamit gue. Di lapangan, Varo lagi main basket sama yang lain. Gue pengen gabung, deh. "Vio," "Apa?" Dia noleh sambil ngangkat satu alis. Gila, cuek banget ini mah. "Lo gak papa kalo gue tinggal main basket? Itu soalnya yang lain udah ngumpul," dia cuma ngangguk doang lagi. "Oh, yaudah. Kalo gitu, nih, jadwal pelajarannya. Jangan lupa tempel dimading kelas." "Hmm," akhirnya, kita pisah di depan tangga koridor. Dia naik, gue langsung ke lapangan.
"asik banget yang abis pdkt." "bawel lo, kantin ayok," Varo langsung melempar bola basket ring dari garis threepoint, tentu saja masuk. Secara, anak buah gue, hahaha. "gimana hari pertamanya, boss?" "orangnya tertutup banget, Var. Jadi makin tertarik kan, gue nya," sudut bibir gue tertarik keatas mengingat Vio. "lo harus berterimakasih pokoknya sama gue." "seporsi mie ayam cukup, kan?" akhirnya kita tertawa bersama sepanjang kantin.
Ternyata, hari ini cuma perkenalan, guru - guru masih sibuk sama kegiatan MOS. Bu Susi bahkan gak masuk lagi ke kelas gue. Suasana kelas tenang - tenang aja, sih. Beda banget sama kelas reguler yang dulu sempet gue tempatin. Vio aja sekarang lagi baca novel. Varo, yang duduk sama Henri, lagi asik adu rubik berdua. Kayaknya sih, cuma gue doang yang gak ada kerjaan.
Part 5: O Vio menghempaskan badannya dikasur. Pandangannya tak ia alihkan dari benda digenggaman tangannya. Ia menimang - nimang sebelum menggeser notifikasi di lockscreen nya. Kaffa A : Oh, gitu. Yaudah, gue cuma mau nanya aja, hehehe. Dengan pemikiran matangnya, ia menggeser notifikasi tersebut dan mengetik balasan singkat.
Violetta : Lo main, ya? Belum sampai semenit, pesannya tersebut sudah dibaca sang penerima. Tapi, ia malah merutuk dirinya. dari bunyi pesan singkatnya, terkesan sangat mengharapkann Kaffa untuk turun dilapangan besok. Kaffa A : emangnya kenapa? mau liat gue main, ya? masa kaptennya gak main. Tuh, kan, bener. Pasti dia kege-eran!, rutuknya dalam hati. Karena tak mau memperdalam topiknya, Vio memutuskan untuk mengakhiri percakapan mereka tersebut. Violetta : eh, iyaya, hahah. Yaudah, sampai besok, Kaf. Kaffa A : Sampai besok, Vio. Setelah membaca pesan singkat Kaffa, Vio mematikan handphone nya dan mematikan lampu kamarnya, lalu menyalakan lampu tidurnya. Ia menutup tubuhnya sampai leher dengan selimut, memiringkan badannya kearah jendela. Tidak ada bintang, memang. Tapi, bulan yang nampak utuh bersinar terang membuat dirinya merasa tenang. Setidaknya, tidak segelisah saat Kaffa menghampirinya disekolah ketika sedang bersama Vivian. Ah, Vivian. Ia teringat kembali dengan perkataan Vivian, yang merasa bahwa Vio sangat beruntung dapat duduk bersama Kaffa. Dari perkataannya dan sorot mata Vivian yang selalu memancar saat ia membicarakan Kaffa, Vio yakin betul bahwa gadis itu menyukai Kaffa. Vio memejamkan matanya, memanjatkan doa pengantar tidur, dan mulai memasuki alam mimpinya. Bel pulang membuat keadaan kelas menjadi ricuh. Karena memang itulah yang ditunggu seluruh siswa Pelita Nusa. Pasalnya, hari ini akan ada sparing dengan SMA Pilar Bangsa. Vio dengan cekatan membereskan alat tulisnya dan mengeluarkan seragam PMR nya. Ia menyandang tasnya dan melangkah keluar kelas menuju lapangan indoor sekolah. Baru beberapa langkah, sebuah panggilan membuatnya menoleh. "Kenapa, Kaf?" "Ah... Enggak. Lo jaga ya, hari ini?" Tanya Kaffa canggung. Vio mengangkat alisnya sebelah. Udah bilang dichat kan, semalem? Batinnya dalam hati. "Iya." "Oh... Yaudah, gue juga mau ke lapangan. Bareng yuk sekalian," Tawar Kaffa yang diangguki oleh Vio tanpa pikir panjang. Keheningan mengelilingi keduanya, hanya ada bunyi tapak sepatu converse yang menyentuh lantai. Koridor lantai 3 sudah sepi, semua murid pasti sudah berhambur kelapangan indoor, mencari posisi duduk strategis. Tak tahan dengan keheningan, Kaffa membuka suara. "Ehm, Vio." Yang dipanggil hanya menoleh. Menatapnya lurus meminta kelanjutan dari panggilannya. Menerima pandangan itu, apa yang sudah tersusun rapi dikepala Kaffa menjadi kacau. Seperti tersedot masuk kedalam pandangan gadis tersebut. Ia tersadar saat tapak sepatunya menyentuh anak tangga, mulutnya pun mulai berkata. "Kok lo bisa pinter banget, sih?" Buru - buru ia mengusap tengkuknya. Merutuki dirinya, kenapa harus itu sih yang keluar dari mulut gue?!.
Part 6: X Decitan pintu membuat seisi ruangan menoleh, menemukan sosok Kaffa Argani dengan sahabatnya, Varo. "Maaf telat," ujarnya kepada seisi ruangan. Mendapati keheningan, mereka berdua langsung mengambil posisi duduk di bagian eskul basket. Kali ini, seluruh eskul sedang mengikuti briefing yang diadakan oleh pengurus OSIS mengenai demo eskul untuk kelas 10. Kaffa memperhatikan dengan saksama, matanya menatap lurus kedepan dengan tangan kanannya menopang dagu. Sebenarnya ia telah tau poin penting dari briefing ini berdasarkan pengalaman tahun lalu, tapi, tak ada salahnya mendengarkan. Ia mengedarkan pandangannya dan mendapati Vio sedang menulis hal - hal penting dibagian eskul PMR. Sudut bibirnya tertarik keatas, entah mengapa, ia betul - betul tertarik dengan Vio. Ia ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang gadis itu. Ia rasa, Vio masih memiliki sisi lain dari dirinya yang membuat dirinya terkesan misterius. Dan, Kaffa suka dengan misteri. Ia sungguh tergila - gila. Vio mendongak akibat tangannya yg disenggol Vivian. "Apaansih, Vi?" Rutuknya kesal. "Kaffa dari tadi senyum ke gue, Vio!" Ujar Vivian salah tingkah. Vio mengangkat sebelah alisnya dan mencari sosok Kaffa, memang benar, Kaffa sedang memandang kearah mereka berdua. Atau mungkin... Natap gue? Batinnya yang buru - buru ia tepis menyadari hal itu tak mungkin terjadi. Vio mengangkat kedua bahunya dan kembali meneruskan catatannya. Kaffa yang kedapatan menatap Vio buru - buru mengalihkan pandangannya. Briefing yang berlangsung selama 15 menit itu kini telah selesai. Kaffa bersama Varo sedang menyusuri koridor lantai 3, hendak mengambil tas dikelas mereka. Ya, keadaan sekolah sudah kosong dilantai 3 karena bel pulang sekolah sudah berbunyi dari sebelum briefing tadi. "Kaff." Kaffa menoleh, ia tidak pernah menjawab ketika seseorang yang berdampingan disebelahnya memanggil. Ia cukup menoleh dan berjalan dengan kedua tangannya didalam saku. Kebiasaannya. "Soal sparing kemarin," perkataan Varo terputus. Ia memutar otaknya, mencari kata - kata yang tepat untuk dikeluarkan dari mulutnya. "Gausah dibahas lagi, gue ngerti," sangkal Kaffa cepat, menganggap semuanya baik - baik saja. Tapi tidak dengan Varo. Ia merasa ada yang mengganjal diantara mereka. "Dengerin gue dulu," langkahnya berhenti, membuat kaffa memutar badannya, menghadap Varo. Kaffa memilih diam. Menunggu apa yang akan keluar dari mulut sahabatnya. "Lo... Inget kan, gue pernah ngomongin Vivian?" Kaffa mengangguk, mengingat topik pembicaraan mereka saat sedang makan di A&W seminggu lalu. "Jujur, gue tertarik sama dia. Tapi, kenyataannya kemarin dia ngasih handuk ke lo, dan Vio yang ngasih handuk ke gue. Gue juga gatau kenapa Vio ngasih ke gue. Tapi, kalo Vivian emang sering, kan ngasih
handuk ke lo? Please, jangan salah paham kayak gini." Kaffa menoleh kearah kelas mereka, memastikan tidak ada orang didalam kelas tersebut. Pintu kelas tertutup rapat, setelah yakin, ia kembali menoleh menatap Varo dan menaruh tangannya dibahu Varo. "Santai, gue juga yakin kok, Vivian bakal suka sama lo," ujar Kaffa dengan seulas senyum. "Lo sendiri sama Vio gimana?" Varo mengangkat topik baru, karena memang, ia ingin mengetahui lebih dalam tentang keduanya. Kaffa merangkul bahu sahabatnya itu, "ah, gue bener - bener penasaran sama dia. Gue tertarik," ujarnya sambil berjalan tanpa melepaskan rangkulan dipundak sahabatnya itu, ia hendak membuka mulutnya kembali sampai pintu kelas terbuka, seseorang disana muncul dengan tatapan meminta kejelasan. Gagang sapu yang digenggamnya tak ia lepaskan sembari tangan kirinya membuka kenop pintu.
Part 7: O "Lit, gue latihan dulu ya. Lo duluan aja," Ruang kelas 12 IPA1 menyisakan Vio dan Lita. Anggukan dari Lita kini meninggalkan Vio sendiri. "Oke, gue duluan," Lita keluar dari kelas, Vio masih merapikan alat tulisnya. Bawaan ditasnya hari ini melebihi rata - rata. Ya, ia mendapat tugas menyikan formulir pendaftaran eskul PMR yang berjumlah 600 lembar. Setelah selesai, ia melangkahkan kakinya menuju ruang PMR. Dilapangan outdoor seluruh eskul olahraga berlatih. Baik volley, futsal, dan, basket. Sepanjang koridor sembari memperhatikan lapangan, ia tak menemukan Kaffa. Hanya ada Varo bersama Tio dan kawan kawan. Entah kemana teman sebangkunya itu. Vio memalingkan pandangannya dan membuka kenop pintu ruang PMR. Terdapat Vivian dan yang lain tengah menyusun arsip anggota PMR dan materi untuk demo eskul besok. "Vi, nih formulirnya," tangannya menyerahkan plastik berisi kertas yang disahut Vivian tanpa mengalihkan pandangannya dari map arsip. "Taro aja dimeja, Vio," segera Vio taruh formulir tersebut dimeja. Ia mengambil duduk dikursi. Posisinya kini berhadapan dengan Vivian. "Masih ada lagi yang harus gue kerjain?" "Enggak a— eh, ada! Bentar ya," jari - jari lentil Vivian menutup map arsip dan menaruhnya di rak. "Oke, yang lain, diselesain ya, gue sama Vio mau ada urusan dulu keluar," Vivian langsung menarik tangan Vio dan menutup pintu. Ia berlari kecil diikuti Vio yang terseok - seok. "Eh ini mau kemana sih?" Pertanyaan Vio tak digubris, hingga sampailah mereka didepan pohon disebelah kantin. Sepi, tak ada seorangpun ditaman belakang sebelah kantin. "Gue... Boleh minta tolong gak?" Vivian menautkan kedua tangannya. Wajahnya memohon dengan ragu. Vio bingung, karena jujur saja, jika hal yang dimaksud adalah untuk mengerjakan tugas PMR atau bahkan mengajarinya materi sekolah, Vio malas. Tentu saja ia memilih untuk tidur sepulang sekolah ketimbang mengerjakan sesuatu hal. "Minta tolong apa?" "Mmm, kan lo deket nih, sama Kaffa...," ucapan Vivian menggantung, namun langsung dilanjutkannya, "dan
lo juga pasti tau kan gue suka sama dia...," Vivian menarik napas, memainkan jarinya, "tolong dong, buat gue sama dia deket," Vivian menghembuskan napasnya setelah mengatakan permintaannya. Vio mengerjapkan mata, sebenarnya ia tak percaya, Vivian yang termasuk kategori cewek incaran di Pelita Nusa meminta bantuannya untuk mendekati seorang cowok. "Iya, gampang deh. Gue usahain," jawab Vio, "eh tapi gue belum terlalu deket sama dia," lanjutnya menyadari. Ia meringis sambil menampilkan giginya. "Ya gakpapa! Lo deketin dia supaya deket sama gue, gituu!" Jawab Vivian semangat. "Iyadeh. Gue usahain ya. Lo juga usaha, Vi," tukas Vio. Vivian menganggukkan kepalanya cepat. "Tadi pagi tuh, dia nabrak gue terus nolong gue, loh!" Tuturnya senang. "Tapi karna udah mau bel, dia buru - buru keatas, jadi gasempet ngobrol," jelasnya lagi. Vio membulatkan bibirnya, ternyata itu yang bikin dia buru - buru. Batinnya dalam hati. "Yaudah, gue pengen balik nih," Vio melirik jam tangannya. Seharusnya, sejak setengah jam yang lalu ia sudah ada dirumah. "Iya. Yaudah yuk balik," Vio berjalan disamping Vivian. Disejajarkannya tubuhnya yang hanya sebatas telinga Vivian. Ia menunduk, tak memperhatikan jalan. Langkah kakinya terhenti mendapati sepasang sepatu basket yang berdecit didepan sepatunya. Karena kagetnya, refleks ia mengambil langkah kebelakang dan mengangkat kepalanya. Menatap pemilik sepasang sepatu dan kaki tersebut.
Part 8: X There's no words to describe when you looking at me that way - Then There's You, Charlie Puth. Lapangan Pelita Nusa yang luas dikelilingi gerombolan siswa. Kebanyakan anak kelas 10, terutama kaum hawa. Acara demo eskul membuat banyak dari mereka memanfaatkan kesempatan melihat 'anugrah tuhan'—senior-senior tampan, tentunya. Vio mengusap dahinya yang penuh peluh. Giliran PMR sudah selesai dan ia bergabung dengan Lita yang tengah meminum es jeruk dipinggir lapangan. Tangannya menepuk bahu Lita dan menyambar es jeruk ditangannya. "Eh! Lo langsung nyerebot aja deh!" Protes Lita. Vio meneguk es jeruk hingga habis dan mengelap bibirnya, "duh sumpah, panas banget deh," keluhnya. "Abis ini Kaffa, loh," celetuk Lita. "Terus kenapa?" Vio mengarahkan matanya ke lapangan. Tim futsal sedang tampil disana. "Hmm gapapa sih," ujar Lita angkat bahu. Keduanya sibuk dengan diri masing - masing, tak menghiraukan keadaan lapangan. Vio yang asik melamun dan Lita yang asik dengan handphone ditangannya. "Hai, siang semua," suara bass yang familiar itu membuat Vio mencari dimana keberadaan sosok tersebut. "Ada yang tau gue siapa?" Sontak, sekeliling lapangan berteriak, menyebut nama sang pemilik suara. Kaffa
Argani. Salah satu dari beberapa siswa yang ditunggu gilirannya untuk tampil. "Oke, gue Kaffa Argani, kapten basket Pelita Nusa, dan di lapangan itu temen - temen satu tim gue," terlihat Varo dkk melambai-lambaikan tangannya. "Hm, kita bakal nunjukin ke kalian, rutinitas eskul basket dari pemanasan sampai tanding," ujar Kaffa. Selanjutnya, ia bergabung dan melakukan pemanasan. Vio serius menatap lapangan, matanya mengekor arah pergerakan bola. Hingga bola itu berada ditangan Kaffa. Diikutinya terus menerus, sampai Kaffa mengoper bola dan DUGH ... Aroma tajam menusuk penciuman Vio membuatnya membuka mata. Putih. Sekelilingnya hanyalah gorden putih. Ia merasakan benda asing di hidungnya. Tangannya berusaha menggapai benda tersebut. Namun, kepalanya terasa berputar. Tangannya yang tadinya hendak meraba benda yang ternyata adalah selang oksigen itu kini beralih memegang kepalanya. Ia merapatkan matanya dan merintih. Sebuah tangan menggenggam tangannya, "eh, lo udah bangun, Vio?" Perlahan tangan itu menuntun tangan Vio turun dari kepala, "lo masih pusing?" Tanya Kaffa ketika tangannya telah menggantikan posisi tangan Vio. "Sedikit," jawab Vio dengan suara seadanya. Sibakkan gorden membuat mereka berdua menoleh kearah Varo dan Lita yang muncul. Vio baru sadar, ia berada diruang UKS. "Lo gak papa kan, Vio?" Tanya Lita cemas. Vio mengangguk lemah. "Masih pusing gak Vio?" Kini Varo yang bertanya. "Sedikit," jawab Vio. "Nih, lo minum dulu, deh," Lita menyodorkan sebotol air mineral kepada Vio. Sontak, Kaffa langsung membantu Vio duduk dan membuka segel botol tersebut. Sementara Varo dan Lita hanya saling bertukar pandang melihat keduanya.
Part 9: O "I know that we just met, maybe this is dumb, but it feels like there was something from the moment that we touched, 'Cause, it's alright, it's alright, I wanna make you mine" - Kid In Love, Shawn Mendes. "Loh, Vivian, kan?" adegan freeze ditempat itu diakhiri oleh sahutan Papa Kaffa, yaitu Hardi, "kalian saling kenal?" "Iya, pa."
"iya, om," keduanya lagi - lagi saling tatap ketika berbicara berbarengan. "yaudah, kamu ganti baju dulu, gih, baru gabung makan malam sama kita, ya?" perintah Sarah, Mama Kaffa. "hmm, iya," ucap Kaffa yang selanjutnya berlalu dengan menyandang tas dibahu kanannya. kaffa tak habis pikir, ternyata perumpaan dunia begitu sempit itu nyatanya benar. Orang tuanya berteman dengan orang tua Vivian, gadis yang katanya eksis disekolah. Sayangnya, Kaffa baru mengetahui Vivian baru-baru ini. Itu pun karena Varo. Yah, untuk dekat dengan satu perempuan saja sudah cukup untuk Kaffa. Cukup repotnya. Dengan Vio, contohnya. Ketika jantungnya berdetak lebih kencang saat berada didekatnya, ketika ia harus menahan wajahnya yang ingin tersenyum saat melihat Vio tersenyum, ketika Kaffa harus menahan ekspresi salting nya didepan Vio, dan yang paling sulit, adalah untuk menahan rasa yang mulai tumbuh. Bisa saja, 'kan, kalau yang Kaffa rasakan saat ini hanya berada disebelah pihak? miris. Kaffa mengeringkan rambutnya, kegiatan mandi bebek dengan segala hal tentang Vio dikepalanya cukup membuatnya pusing. Ia menuruni anak tangga dan beralih ke ruang makan. Dilihatnya kedua orang tuanya beserta keluarga Hutomo sedang asik makan sambil berbincang-bincang. Kaffa menarik kursi dan duduk disebelah mamanya, persis berhadapan dengan Vivian. "kamu udah besar, ya, Kaffa. Dulu terakhir om ketemu kamu, jalan saja kamu masih belum bisa," kata Om hutomo yang sukses membuat Kaffa melongo. 'Ini orang udah kenal gue dari zaman kapan, sih?' sahutnya dalam hati. Melihat ekspresi bingung Kaffa, Hardi pun menjelaskan, "Om Hutomo dan Tante Wilda ini dulu tetangga papa sama mama waktu rumah kita masih di Solo. Tapi semenjak kamu lahir dan papa dipindah tugas, maka kita pindah ke Jakarta." Kaffa hanya manggut-manggut paham. Kini, gantian Tante Wilda yang berbicara, "kamu ganteng ya, Kaffa. Pasti banyak yang suka deh. Udah punya pacar, ya?" "biasa aja kok, tan. Kaffa gak punya pacar," jawab Kaffa jujur diikuti cengiran. "wah, sayang banget kalo kamu gak punya pacar. Sama Vivian aja, nih. Dia juga gak punya pacar," mendengar perkataan ibunya, Vivian menunduk malu dan menyenggol sikut ibunya. Sontak seisi ruangan tertawa, kecuali Kaffa dan Vivian. "masa, sih, Vivian belum punya pacar? Kaffa gaberminat deketin, niih?" goda Sarah. Vivian semakin menunduk malu dan Kaffa malah menyangkal ibunya. "apaansih, ma," ujar Kaffa setelah meneguk air digelasnya, "Kaffa kenyang, Kaffa keatas duluan ya, semuanya." ... Vio menimang - nimang ponselnya. Sudah dua jam sejak Kaffa pulang, tapi handphonenya belum berbunyi atau bergetar. Bahkan kini Vio sudah memakai piyama dan menyelesaikan PR. Ia menghela frustasi, namun sedetik kemudian ia tersadar, apa yang harus ia tunggu? Dan mengapa mulutnya bisa berkata untuk menyuruh Kaffa mengabarinya? Toh, hasilnya nihil. Dan mengapa pula Vio harus cemas? Ini semua hanya untuk Vivian, kan? Vio menarik rambutnya frustasi. Ia kesal, bingung, tapi juga cemas. Rasanya macam-macam, seperti nanonano! Setelah berdebat dengan dirinya sendiri, Vio menaruh ponselnya di nakas, ia lalu membuka pintu kamar, hendak makan malam.
Part 10: Little talk Tes, tes, one two three! Halo warga-warga wattpad sejagad raya yang telah menyempatkan diri mampir ke lapak saya, hehehe. Maaf sekali karena notification yang mampang di handphone kalian bukan update tapi cuma pemberitahuan aja dari aku *peace* Oke, jadi gini, karena aku udah kelas 9 yang minggu-minggu ini sedang ujian sekolah dan kurang lebih sebulan lagi bakalan UN, aku mohoon banget pengertian dan maklumnya kalau aku mungkin bakalan update lagi setelah UN. Emang sih bisa dibilang reader cerita ini gak terlalu banyak, tapi bukan itu yang aku pikirin, yang aku pikirin adalah kepuasan kalian dengan membaca cerita aku. Akhir-akhir ini juga aku udaha fokus untuk ke ujian dulu, dan sekalian aku minta feedback serta saran, 1. Menurut kalian apa yang membuat cerita ini beda dari cerita yang lain? 2. Kekurangan dari cerita ini ? 3. Saran untuk Trespass kedepannya? 4. Tolong vote part ini sama jawab pertanyaan di comment ya! Aku mau tau siapa aja yang baca ceritaku, ehehehe. Oke! Kayaknya itu aja buat little talk ini, salam untuk adik kelas 6, teman-teman kelas 9, dan kakak-kakak kelas 12 yang bakalan UN! 2016 pasti bisaa! Salam, alttcaps
Part 11: X Vio menyesap cappucino nya. Lita yang sedang berada didepannya urung merespon pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. Kini keduanya tengah berada di kafe sebelah toko buku langganan mereka. "lo yakin? Gimana kalo ujungnya malah lo yang bakalan suka sama dia? You know, lah. Kadang kan novelnovel dengan segala drama nya itu bisa aja bener kejadian," ucap Lita akhirnya. "gue sempet ragu buat bilang iya ke Vivian, tapi gimana lagi, lo tau sendirikan gue orangnya gak bisa nolak?" balas Vio sambil mengetukkan jarinya ke meja. "no, lo gak bisa nyamain gue sama novel-novel yang sering kita baca, Lit. Gue gak akan suka sama dia, kita jauh beda, dia populer, banyak penggemar, terke—" "lo gak ngerasa diri lo populer? Coba ditotal, berapa cowok yang udah ngedeketin dan nembak lo dari kelas 10? Ayolah, buka mata lo dan lihat sekitar, gimana kalo nanti malah lo yang sakit hati ngeliat Kaffa sama Vivian?" potong Lita yang tak mengerti jalan pikiran sahabatnya. Bukan hal yang tidak mungkin kan, kalau nanti ujungnya Vio yang akan menderita? Vio menarik napas dalam, untunglah kafe ini sepi, hanya ada mereka berdua dan seorang mahasiswi di pojok jendela yang sedang berkutat dengan laptopnya. "bantu gue ya? Gue harus gimana supaya Vivian deket sama Kaffa? Makin cepat makin baik kan? Supaya urusan gue kelar sama mereka" Vio melunakkan suaranya, ia sadar berdebat bukanlah jalan yang tepat untuk menyelesaikan suatu masalah dengan sahabatnya itu. Lita memandang kearah lain, memikirkan jalan keluar. Benar juga apa yang dikatakan oleh Vio barusan, semakin cepat mereka dekat, semakin cepat Vio dapat keluar dari permasalahan ini. Namun Lita memikirkan
perkataan Kaffa di kafe waktu itu. Bagaimana jika keduanya malah berujung di patah hati? "gue bantu sebisa gue," jawab Lita seadanya. ... Vio bimbang. Ini adalah kali pertama ia bimbang yang bukan disebabkan oleh menentukan jawaban disaat ujian. Pernah gak kalian bimbang, mau ngegreet duluan tapi takut. Takut gak dibales, takut dia keganggu, sama takut dia malah ilfeel gitu. Haaaah. Vio kembali menghapus kata-kata yang sudah disusunnya dengan rapi, mengetik kata-kata baru, tapi langsung dihapus lagi. Ia melirik jarum jam didinding kamarnya. Setengah sepuluh malam. Ia mendesah frustasi. Apakah ini tidak terlalu malam untuk memulai chat? Vio bersender di pintu kamarnya, terduduk sambil memutar-mutar ponselnya. Sesaat ia telah putus asa dan hendak mematikan lampu kamar, getaran diponsel nya hampir membuatnya melempar benda itu saking kagetnya. Kaffa A. Is calling You. Termangu. Ia hanya menatap ponselnya tak percaya. Kaffa menelponnya. KAFFA MENELPONNYA! Buru-buru ia geser simbol telepon hijau yang tampil dilayar ponselnya. Ini adalah kali kedua Kaffa meneleponnya, meski hanya lewat aplikasi LINE. "halo?" "ehm, Vio. Lo belum tidur?" Vio tersenyum mendengar ucapan itu. Kalau ia sudah terlelap, lantas siapa yang mengangkat panggilan ini? "udah." "eh, kok?" "ya belom, lah. Ada apa?" "ini, bisa gak, besok abis pulang sekolah, lo temenin gue cari kado buat ibu gue?" tanya Kaffa ragu. Sebuah ide terlintas dibenak Vio. Ini kesempatan yang bagus! Batinnya. "iyaa.. mau aja sih, tapi gue gak pinter milih kado, gue sekalian aja temen gue juga, ya! Gak papa kan? Biar gak salah pilih. Oke? Oke ya?" rentet Vio.