In A lonely Heart Adelle Dwi Alexa, wanita angkuh yang selalu merasa bisa menggenggam dunia. Segala hal dapat dengan mudah ia miliki. Semua permasalahan selalu takluk ia kendalikan. Namun satu hal pasti yang ia tahu, kehampaan selalu setia menemani karena setetes cinta tak akan pernah berkenan hadir dihidupnya. Sampai disatu titik, ia harus benar - benar memperjuangkan hidupnya kembali dari nol. Segala hal seakan terenggut paksa dari genggamannya. Hidupnya harus terombang ambing menuju sebuah kehancuran. Begitu banyak teka - teki yang harus ia pecahkan. Mampukah ia mengungkap penyebab rasa benci seorang ayah yang harus ditanggungnya. Siapa dan untuk apa Jono seorang supir pengganti hadir mengisi hidupnya. Misteri apa yang disimpan rapi dibalik sosok seorang Rayyan Arkanta Pratama.
Part 1: In A lonely Heart Aku terlahir dari keluarga yang cukup mapan bahkan bisa dibilang kaya raya, banyak yang bilang aku cantik, kemampuan otakku bisa dibilang diatas rata - rata, banyak laki - laki diluar sana yang memujaku. Yaah,, dilihat sekilas kehidupanku terasa begitu sempurna, semua selalu berjalan sesuai mauku, tidak ada hal yang tidak bisa aku kendalikan, aku selalu mendapatkan apa yang aku mau, kecuali satu hal "CINTA". Huuuhhh.. aku tidak pernah tahu, kenal, mengerti, ataupun merasakan yang namanya CINTA ! Cinta keluarga, cinta saudara, cinta sahabat, atau mungkin cinta seorang pria, aahhh semuanya omong kosong! Bagiku saat kau terjatuh dalam lubang yang dinamakan cinta, maka saat itu lah kau menyerahkan seluruh kekuatanmu dan perlahan - lahan kau bersiap menemui kehancuranmu.
Part 2: Part 1 Author POV "Selamat pagi nona. Sepertinya demam anda sudah sedikit turun, wajah anda juga sudah tidak sepucat kemarin, walaupun sepertinya mata anda sedikit bengkak." Sapa Bu Grace, dengan sebelah tangannya yang menyentuh kening Adelle. Dengan kesadaran yang belum terkumpul seutuhnya, Adelle mencoba bangkit dan menepis tangan Bu Grace, kepala pelayan yang sudah 30 tahun setia mengabdi di keluarganya. Tampak sedikit raut keterkejutan di wajah Bu Grace akan perlakuan adelle, tapi dengan cepat dia merubah raut itu dengan sebuah senyuman tulus. "Maaf jika kedatangan saya mengganggu tidur anda, nona. Saya hanya ingin memastikan demam anda sudah turun atau.." belum sempat Bu Grace melanjutkan ucapannya, Adelle langsung memotong. "Siapkan mobil, dan suruh beberapa pelayan kemari membantuku bersiap! Aku ingin masuk kuliah hari ini!" perintah Adelle. "tapi nona, walaupun demam anda sudah sedikit turun tetap saja suhu tubuh anda masih belum normal. Anda masih harus berisitirahat nona." Bu Grace mencoba membujuk majikannya yang keras kepala itu.
"Diam Bu Grace, aku lebih tahu keadaan tubuhku dibanding anda! Anda lebih baik segera keluar dan ikuti perintahku." Adelle bangkit dari tempat tidurnya, medorong pelayan tua itu keluar dari kamarnya dan menutup pintu dengan keras tepat diwajah sang pelayan. Selama kelas berlangsung Adelle terlihat begitu gusar. Tak ada satupun penjelasan dosen yang dapat dicerna oleh otaknya. Konsentrasinya benar - benar terpecah memikirkan perbincangan ayahnya ditelepon semalam yang sempat ia curi dengar. "Aku tidak pernah ada niat jahat sedikitpun." "..." "Setiap aku melihat wajahnya, kebencian itu semakin memupuk dihatiku.' "..." "yah seperti yang kau bilang. Aku ini benar - benar ayah yang kejam, ayah yang begitu teganya membenci putrinya sendiri" Mendengar ucapan terakhir ayahnya benar - benar sukses merobohkan benteng pertahanan Adelle. Hatinya begitu hancur, air matanya tak kuasa ia bendung. Dengan langkah gontai ia berjalan menuju kamarnya. Niatnya yang semula ingin mengantarkan kopi panas untuk ayahnya, segera ia urungkan. Selama ini ayahnya memang selalu cuek seakan tak peduli akan kehadiran dirinya, tapi tak pernah terbersit dihatinya bahwa ayahnya membenci keberadaan adelle dihidupnya. 'Apa salahku? Kenapa ayah membenciku? Bukankah aku selalu berusaha menjadi sempurna hanya untuk ayah, hanya agar ayah bangga dan mencoba sedikit peduli terhadapku' tangis Adelle dalam hati.
Part 3: Part 2 Sudah lima jam lebih Adelle berada ditoko buku ini, berkeliling tak tentu arah dengan tatapan kosong. Tak ada satupun buku yang ia genggam ditangannya. Buku memang selalu menjadi obat penawar akan setiap saat Adelle merasakan kesedihan, tapi sepertinya tidak untuk kali ini. Hatinya benar – benar terasa hampa, jiwanya kosong. Tak akan ada yang bisa merenggut kesakitan dihatinya yang sedang ia rasakan kini. “brukkkk...” tiba – tiba Adelle merasakan tubuhnya seperti menabrak sesuatu yang keras. “aaarrrrggg..” terdengar sebuah teriakan yang sontak membuat Adelle mencari sumber suara. Tak jauh dari tempatnya berdiri adelle melihat seorang pemuda sedang terduduk dilantai dan sepertinya sedang menahan sakit dipunggungnya. “nona kalau jalan hati – hati dong! Matanya kemana sih!” bentak pemuda itu ketika melihat Adelle bingung menatapnya. “...” “hei kenapa kau diam saja? Gara – gara kau kardus – kardus buku ini menimpa punggungku!” “...” “aaah.. kenapa kau tetap diam begitu sih!kau buta? Tuli? Atau kau sedang berakting mencoba mengambil maaf dariku hah!?” pemuda itu benar – benar tersinggung akan sikap diam Adelle yang seolah mengacuhkannya. Apalagi banyak pengunjung toko buku yang menjadikan mereka tontonan semakin
menambah kekesalan pria tersebut. Tiba – tiba datang seorang pria paruh baya menghampiri mereka. “hmmm... permisi, maaf tuan. Saya Andi, kebetulan saya supir nona ini. Saya benar – benar minta maaf atas sikap dan kelakuan nona Adelle. Nona Adelle benar – benar tidak bermaksud melukai anda.” Sambil menarik Adelle kebalik punngungnya, pria paruh baya itu menunduk memohon maaf. “ooh kau supirnya. Cihh.. dasar anak orang kaya sombong! Aku tidak butuh permintaan maaf darimu! Suruh nona Adellemu itu yang minta maaf padaku!” pemuda itu kembali mendekat dan mencoba mengamati wajah Adelle, dan tiba – tiba ia terlonjak kaget. “Aaah ADELLE! KAU ADELLIA DWI ALEXA????” mata pemuda itu mebelalak seolah tak percaya. “maaf tuan, saya benar – benar minta maaf atas nama nona Adelle. Permisi.” Pak Andi kembali menunduk dan segera melesat membawa Adelle dari hadapan pemuda itu. ‘Adele.. Jadi kau Adele Dwi Alexa setelah sekian lama akhirnya aku bisa melihat wajah aslimu.’ Gumam pemuda itu dalam hati. Dengan senyum yang sulit dibaca pemuda itu terus memperhatikan kepergian Adelle dan supirnya.
Part 4: Part 3 Adelle POV Huuffft.. Sudah seminggu semenjak aku mencuri dengar percakapan ayah ditelepon malam itu. Hatiku masih begitu sesak dihimpit rasa sakit yang membuncah. Seminggu ini aku benar – benar merasa kosong, jiwa dan ragaku benar – benar sedang mati rasa. Para pelayan serta orang – orang dikampus benar – benar heran akan perubahan drastisku seminggu ini. Aku yang selalu angkuh, memandang rendah orang disekitarku, serta selalu membentak atau menghina segala macam hal yang tak sesuai seleraku, selama seminggu ini digantikan oleh sosok aku yang pendiam dengan mata penuh sirat kesedihan. Aku masih tidak percaya dengan pendengaranku malam itu. Ayahku membenciku. Yaah.. orang yang benar – benar aku hormati, orang yang benar – benar aku sayangi membenciku. Apa salahku? Apakah mungkin seorang ayah tega membenci anaknya? Berbagai pertanyaan terus memenuhi kepalaku. Aku benar – benar pusing memikirkannya. Toktoktoktok.. tiba – tiba ketukan pintu itu menyadarkan lamunanku. “Ya, masuk.” Aku tetap berdiri membelakangi pintu kamarku menghadap balkon. “Nona Adele, maaf saya mengganggu. Saya hanya ingin memberitahukan bahwa mulai hari ini Pak Andi mengambil cuti, istrinya sedang sakit keras dikampung.” Aku membalikkan badan perlahan dengan rona kaget diwajahku. Walaupun aku selalu terlihat angkuh, tapi aku cukup prihatin mendengar kabar sakitnya istri Pak Andi. Ku lihat Bu Grace memberikan senyumnya kepadaku, senyum tulus yang selalu ia berikan selama 20 tahun aku hidup. Tapi aku terlalu malas membalas senyum itu, hatiku masih belum membaik. “oohh..” hanya kata – kata itu yang mampu keluar dari mulutku. “Pak Andi tidak bisa memastikan sampai kapan ia akan mengambil cuti, maka dari itu saya memutuskan merekrut supir baru untuk anda nona.”
Aku sedikit mengerutkan keningku, aku pikir selama Pak Andi cuti aku bisa bebas mengendarai mobilku sendiri tanpa harus terikat dengan supir. “Aku rasa itu tidak perlu Bu Grace, aku akan menyetir sendiri. Aku tidak butuh supir pengganti.” Aku cepat – cepat mengajukan penolakan atas keputusan Bu Grace tersebut. “Maafkan saya nona, tapi saya tidak bisa membiarkan anda menyetir sendiri. Kecelakaan mobil yang anda alami 3 tahun lalu membuat tuan melarang keras anda menyetir mobil. Tuan akan sangat marah jika tahu saya membiarkan anda tidak memakai supir.” Jawaban Bu Grace mengingatkan ku kembali pada ingatan dimasa lalu. Aaaah kecelakaan sial. Sejak kecelakaan itu aku kehilangan seluruh kasih sayang ayah. Sejak kecelakaan itu ayah benar – benar seakan tak peduli padaku. Apa kecelakaan itu ada hubungannya dengan percakapan ayah ditelepon seminggu yang lalu, tapi apa hubungannya sebuah kecelakaan dengan rasa benci ayah. “Heii... siapa kau? Kenapa kau masuk mobilku seenaknya!” saat akan berangkat kuliah, tiba – tiba aku melihat seorang pemuda dengan lancangya duduk dikursi kemudi mobilku. “Apakah anda nona Adelle? Perkenalkan nona, saya Jono. Saya supir baru menggantikan Pak Andi.” Aku cermati pemuda dihadapanku ini dengan teliti dari ujung kepala hingga ujung kaki. Supir katanya? Yang benar saja! Wajah dan tubuhnya yang proporsional terlalu sempurna untuk menjadi seorang supir. Wajahnya tampan atau bisa dibilang sangat tampan tapi penampilannya... emm,, penampilannya memang benar – benar menegaskan dimana kastanya berada. “ehemm.. kenapa dari tadi anda memandangi saya nona ? Apa ada yang aneh dengan muka saya?” sontak pertanyaannya menyadarkanku dari kegiatanku mengamati supir baruku ini. “ooh kau supir yang menggantikan Pak Andi.Sudah lah antarkan aku ke kampus segera ! Aku sudah terlambat!” akhirnya aku mencoba bersikap ketus padanya untuk menutupi rasa maluku. “Baiklah nona Adelle, silahkan masuk.” Pemuda ini membukakan pintu mobil dengan sopan, sekilas dia menampilkan senyum yang entah mengapa aku merasa pernah melihat senyum itu. Author POV Adelle turun dari mobil dengan angkuh. Langkah anggun dihiasi mata penuh kesinisan kini kembali kediri Adelle. Semalaman Adelle berusaha menata hatinya kembali, ia tak ingin berlama – lama larut dalam kesedihan. Adelle memilih bangkit dan kembali menjadi Adelle yang semula. Adelle bertekad akan mencari penyebab masalah dirinya dengan ayahnya dengan caranya sendiri. Untuk itu ia perlu kembali menjadi ADELLE DWI ALEXA. “Pagi Adelle. Aku seneng kayaknya kamu udah kembali jadi Adelle yang dulu. Sedih liat kamu seminggu ini kayak merana banget gitu.” Tiba – tiba muncul Cindy dan gengnya melangkah disebelah Adelle. ‘Aaah kelompok wanita pencari muka.’ pikir adelle dalam hati. “aku sedang tidak ingin diganggu! Menyingkirlah dari jalanku.” Adelle menghentikan langkahnya, ia terlihat benar – benar terganggu akan kehadiran Cindy. “Kita gak mau ganggu kok. Kita – kita Cuma mau bertemen kok sama kamu del.” Jawab Cindy sekenanya yang tidak menyadari raut emosi diwajah Adelle. “Berteman ? Dengan kalian ? aku tidak butuh teman! Dan lagipula apa kalian tidak punya kaca dirumah! Kalian benar – benar tidak pantas jadi temanku !” Adelle sudah benar – benar emosi, dari dulu dia tidak pernah suka dengan Cindy dan gengnya. Menurutnya mereka hanya sekelompok benalu pengganggu, yang
suka memanfaatkan orang lain. Adelle melangkah pergi tanpa pernah tahu bagaimana tatapan membunuh Cindy melihat punggung Adelle menjauh. ‘kita lihat saja nanti ADELLE DWI ALEXA! Kamu akan menyesali tiap huruf yang kamu ucapkan padaku hari ini.’ Ucap Cindy setengah berbisik. Disebuah gedung perusahaan cukup ternama, seorang pemuda dengan senyum mengembangnya bergegas memasuki sebuah ruangan meeting. Diketuknya pintu ruangan tersebut perlahan. Tak berapa lama terdengar suara berat pria paruh baya yang menyuruhnya masuk. “kau terlihat begitu senang sepertinya.” Pria paruh baya itu mencoba membuka percakapan tanpa repot – repot mengangkat kepalanya dari berkas – berkas yang sedang ia baca. “Ya ku rasa sepertinya begitu. Belum pernah aku merasa sebahagia ini.” Jawab pemuda itu dengan senyum tetap menghias disudut – sudut bibirnya. “Berhati – hatilah. Kau tidak sadar sedang bermain – main dengan pusaran api yang siap membakarmu kapan saja.” Akhirnya pria paruh baya itu mengangkat kepalanya dari tumpukan berkas yg dipegangnya. “Tenanglah ayah. Aku sudah melangkah sejauh ini, aku tidak mungkin mundur. Aku akan membuat wanita itu merasakan apa yang aku rasakan.” pemuda itu menjawab dengan santai. “terserah kau sajalah. Yang penting aku sebagai ayahmu sudah berusaha mengingatkanmu. Semoga Tuhan memberkati rencana kotormu itu.” Pria paruh baya itu terlihat gusar dan sedikit kesal. “hahahaha.. ini bukan rencana kotor ayah. Ini hanya permainan kecil, untuk membalas dendam masa lalu.” Pemuda itu kemudian diam, tatapannya terlihat menerawang, kembali ke masa silam.
Part 5: Part 4 “toktoktoktok..Heii!Kau supir pengganti! Buka pintunya! Aku lelah dan aku mau pulang! Sampai kapan kau akan tidur!” Adelle terlihat tengah berdiri disamping pintu mobilnya, memukul – mukul kaca mobil tersebut dengan kesal. Beberapa menit kemudian tiba – tiba pintu mobil itu akhirnya terbuka. Dari dalamnya muncul wajah panik Jodoh. “aahh.. Maafkan saya nona, saya membuat anda menunggu lama. Saya bingung harus melakukan apa selama menunggu anda kuliah, jadinya saya putuskan untuk tidur tadi.” Jono buru – buru membuka pintu belakang mobil, mempersilahkan Adelle masuk dan meminta maaf berkali – kali pada majikannya itu. Terlihat jelas raut penyesalan diwajahnya. “Aaaargggh!!! Kau benar – benar menyulut emosiku! Aku tidak akan semudah itu memaafkanmu! Sekarang bawa aku kerumah aku benar – benar lelah ! dan kita lihat nanti hukuman apa yang pantas kau terima, SUPIR PENGGANTI!” bentak Adelle sambil membanting pintu mobil dengan keras. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah tak henti – hentinya Jono berusaha meminta maaf pada majikannya itu. Berbagai alasan dan rayuan dia keluarkan demi mendapatkan maaf dari sang majikan. Namun sayang, Adelle terlihat tidak begitu tertarik menanggapi Jono. Dia lebih memilih diam memandangi kaca jendela dengan tatapan kosong. Setelah satu jam perjalanan, mobil itu pun akhirnya memasuki garasi sebuah rumah mewah. Setelah
memarkirkan mobilnya dengan benar, jono bergegas turun membukakan pintu sang majikan. “Silahkan nona.” Adelle turun dengan angkuhnya, kemudian dia berjalan menuju pintu rumah. Selang beberapa langkah Adelle berbalik menghadap Jono. “Heii kau, supir pengganti! Sepertinya aku sudah memikirkan hukuman apa yang tepat untukmu.” Terlihat kilat kesenangan dimata Adelle saat memikirkan hukuman yang tepat untuk Jono. “Apapun itu, saya akan menerima dengan ikhlas nona.” Jawab Jono pasrah sambil menunduk. “Oke, aku senang mendengarnya. Tunggu aku dimobil! Satu jam lagi kau harus mengantarku ke suatu tempat!” Adelle lalu berbalik dan berlalu meninggalkan Jono dengan senyum licik diwajahnya. “Nona, kenapa saya dibawa kesini ? Lalu kenapa saya harus memakai semua ini nona ?” Mendengar supirnya yang tak berhenti bertanya dari tadi membuat Adelle akhirnya membuka mulut. “Kau bisa diam tidak sih! Tutup mulutmu dan nikmati saja suasana disini ! tidak usah banyak tanya, kau ikuti saja aku!” usai menjawab pertanyaan Jono dengan ketus, adelle segera berjalan menyeret lengan supirnya tersebut. Beberapa waktu yang lalu Jono benar – benar bingung. Majikan cantiknya ini tiba – tiba datang membawakannya t-shirt, celana pendek, dan sebuah vans merah, kemudian Adelle memaksanya untuk memakai barang – barang tersebut. Tak hanya itu, Adelle memaksa Jono untuk membawanya ke suatu tempat. Dan disinilah sekarang mereka berada. Taman Bermain di Pusat Kota. Menurut Adelle ini hukuman tepat yang harus diterima Jono akibat kelalaiannya tadi siang. Akan tetapi Jono benar – benar heran, sejak kapan ke taman bermain menjadi sebuah hukuman. “Supir Pengganti, sini cepat! Kau harus menemani aku naik itu!” Dengan cepat Jono melihat kearah yang ditunjuk Adelle. “Nona mau naik komedi putar itu???” dari suaranya, Jono benar – benar tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Hatinya seakan tak percaya, bagaimana mungkin seorang yang angkuh seperti Adelle bisa bersikap begini kekanakan. “Kenapa suaramu seperti itu sih ! Memang ada yang salah kalau aku mau naik itu!” Jawab Adelle sengit menanggapi pertanyaan jono.
Part 6: Part 5 Tampak sebuah lamborghini aventador hitam memasuki pekarangan rumah mewah dipinggir kota. Sang pemilik memarkirkan mobilnya asal, melesat keluar membuka pintu rumah dengan cepat. Kakinya melangkah pasti berkeliling rumah mencari seseorang yang sudah tak sabar ingin ia temui. Dihentikan langkahnya saat matanya bertemu pandang dengan sesosok pria paruh baya tak jauh dari hadapannya. “Kenapa kau melihat ayah seperti itu Rayyan? Sepertinya kau terlihat begitu bahagia.” Laki – laki bernama Rayyan itu berjalan mendekat menuju sofa dimana sang ayah duduk.
“Ayah. Hari ini aku bertemu dengannya. Aku bertemu dengan gadis itu. Setelah sekian lama menunggu akhirnya kami kembali dipertemukan.” Dengan gerakan cepat Rayyan duduk disofa berhadapan dengan sang ayah. Tampak binar kebahagian terpancar jelas diwajahnya. “Gadis yang mana lagi yang kau maksud nak. Berhentilah bermain – main. Fokuslah pada satu wanita.” Terlihat jelas kejengahan diwajah sang ayah menanggapi perkataan anaknya ini. “Astaga, ayah kau salah mengerti maksudku. Aku sedang tidak membicarakan kekasih - kekasihku. Secara kebetulan tadi aku bertemu Adelle. Aku akhirnya dapat bercengkrama langsung dengan seorang Adelle Dwi Alexa.” Mata Rayyan tampak menerawang jauh, mengingat kejadian beberapa waktu lalu yang dialaminya. “Adelle kau bertemu Adelle?!? Aku tidak yakin pertemuan itu hanya sebuah kebetulan. Bagaimana kau merencanakannya Rayyan?” tampak keterkejutan diraut wajah ayahnya saat nama Adelle disebut - sebut. Sorot mata dingin sang ayah langsung menusuk tepat dimanik mata Rayyan. “Huuhhh... Berhentilah memandangku dengan tatapan membunuh seperti itu ayah. Baiklah, aku akui pertemuan itu tidak murni sebuah kebetulan. Sudah beberapa hari ini aku mengikutinya, dan secara kebetulan tadi dia mengunjungi taman bermain kita dipusat kota. Dan secara kebetulan lagi, Adelle tiba – tiba menabrakku. Kesempatan itu tentu tidak aku sia - siakan begitu saja, Tuhan sudah benar – benar membuka jalan untuk kita.” Jelas Rayyan panjang lebar, tanpa mempedulikan sorot ketidaksukaan diwajah sang ayah. “Cukup Rayyan! Hentikan! Hentikan semua hal, apapun itu yang sekarang sedang terancang rapi diotakmu, nak. Jangan ganggu kehidupan Adelle!” Ayah Rayyan meninggikan suara, kekesalannya terlihat jelas. “Tidak bisa, dan tidak akan ayah! Aku tidak mau menghentikan semua rencana yang sudah kita susun sejak lama. Kita sudah semakin dekat menuju Adelle, semua rencana kita terasa begitu mudah untuk dijalani sekarang. Kenapa ayah jadi melemah seperti ini, bukankah ayah yang dulunya begitu menggebu akan rencana ini.” Rayyan menegakkan punggungnya, mencoba menolak semua ucapan ayahnya. “Tidakkah kau sadar bahwa semua ini hanya akan menyakiti Adelle, Adelle yang akan menjadi korban. Aku benar - benar tidak mau anak itu terluka.” Terdengar desah berat dari nafas sang ayah. “Tapi yah, penantian kita akan sia – sia jika kita mundur sekarang. Jerih payah kita membangun semua ini dari awal hanya akan terbayar jika Adelle bisa kita raih. Kita harus mengambil apa yang menjadi hak kita, aku muak melihat lelaki tua itu masih hidup bahagia sampai sekarang!” Rayyan menggertakan gigi dengan kuat, ditahannya emosinya sekuat mungkin agar tak meledak didepan sang ayah. “Nak, ayah rasa Adelle sudah cukup bahagia dengan kehidupannya sekarang. Dan soal lelaki itu, biarkan saja dia. Ayah yakin suatu saat ia akan menemui karmanya sendiri.” Ayahnya bangkit, lalu mendekat menepuk pundak Rayyan, mencoba menenangkan emosi sang anak. “Ayah, kenapa kau melemah seperti ini! Mana semangatmu yang dulu! Aku benar – benar sudah bulat dengan tekadku, aku tidak akan mundur. Aku akan mendapatkan Adelle segera! Aku akan mengambil apa yang seharusnya dari awal menjadi milik kita!” Rayyan bangkit dari sofanya, melangkah lebar meninggalkan sang ayah yang terpaku menatap punggung sang anak menjauh. Detik berikutnya terdengar dentuman keras bunyi pintu rumah dibanting.
Part 7: part 6 Adelle tampak elegan dengan setelan blazer maroonnya memasuki Citramandiri Company, perusahaan kenamaan dengan cabang yang hampir tersebar diseluruh ASEAN yang bergerak dibidang properti ini.
Terlihat beberapa karyawan menunduk sopan saat berpapasan dengan Adelle. Tanpa mempedulikan karyawan – karyawan itu Adelle terus saja melenggang angkuh hendak menuju ruang meeting yang telah dijanjikan. Diliriknya jam tangannya sekilas. Sudah jam setengah 12, ini menandakan bahwa ia telah telat 30 menit dari waktu yang dijanjikan. Dilangkahkan kakinya lebar – lebar dengan maksud agar cepat sampai ke ruang meeting. Benar – benar bukan sifat seorang Adelle yang suka mebiarkan orang lain menunggu dirinya, ia termasuk gadis disiplin yang tak pernah mau membuang waktu percuma. Tiba didepan pintu ruang meeting, Adelle terlihat menghembuskan nafas perlahan, diaturnya ritme nafasnya kembali ke normal dengan gerakan pasti dibukanya pintu ruang meeting. Tampak Pak Roy, orang kepercayaan ayahnya tengah asyik mengobrol dengan seorang pemuda yang bisa dibilang cukup tampan dan seorang wanita muda di tengah ruang meeting. “Ah sepertinya nona Adelle sudah datang, silahkan nona.” Menyadari kehadiran Adelle, Pak Roy menghentikan obrolannya tersenyum lembut mempersilahkan Adelle mendekat. Mendengar Pak Roy menyapa Adele, pemuda dan wanita itupun kontan menoleh dan tersenyum pada Adelle. “Iya Pak roy, saya benar – benar minta maaf sudah begitu terlambat. Jalanan hari ini begitu macet.” Tampak raut penyesalan dalam diwajah cantik Adelle. “Tidak apa – apa nona, oh ya perkenalkan ini Pak Dika dan ini Ine sekretarisnya.” Pak roy menunjuk 2 orang yang tengah berdiri disampingnya. “Senang berkenalan dengan anda Pak Dika, perkenalkan saya Adelle. Saya benar – benar minta maaf atas keterlambatan saya. Maaf sudah membuang waktu berharga anda.” Dengan senyum ramah, Adelle mengulurkan tangannya menjabat tangan Pak Dika Dan Ine sekretarisnya. “Oh, tak masalah nona Adelle. Saya mengerti, sepertinya hari ini jalanan memang begitu padat. Dan satu hal lagi, cukup panggil saya Dika. Pak Dika, kesannya saya sudah benar – benar tua. Hahaha.” Pemuda itu menyambut uluran tangan Adelle dengan hangat. Tampak senyum tulus mengembang dipipinya. Adelle tak menyangka klien yang harus ia temui tergolong masih muda atau bahkan usia mereka hanya terpaut beberapa tahun saja. ‘Syukurlah kali ini bukan lelaki tua, semoga rapat ini tak membosankan seperti biasa.’ Gumam Adelle dalam hati. “Baiklah, sepertinya Dika memang lebih baik, anda juga harus memanggil saya Adelle tanpa nona kalo begitu.” Adelle bertingkah seolah memperingatkan anak kecil. Pak Roy, Dika , dan Ine kontan tertawa melihat tingkah Adelle. Suasana hangat dan bersahabat mulai menyelimuti ruang meeting itu “Yaah, sepertinya begitu terdengar lebih akrab. Baiklah kalo begitu Adelle.” “Oke, Bisa kita mulai sekarang rapatnya Dika?”
Adelle mulai berjalan menuju kursinya diikuti Pak Roy, sedangkan Dika dan Ine mulai duduk dikursi seberang Adelle. Dipersiapkannya beberapa berkas yang akan dirapatkan. Pak roy membantu Adelle menganalisa mana saja berkas yang mereka perlukan. Suasana begitu hening hingga tiba – tiba Dika seakan teringat sesuatu. “Oh ya, sebelumnya saya benar – benar minta maaf Adelle, seharusnya rapat ini dihadiri langsung oleh Pak Azka Aldric, tapi berhubung beliau ada urusan yang lebih penting jadi saya yang mewakilkan.” “Tak masalah, rapat ini juga seharusnya ayah saya yang menghadiri, tapi berhubung pagi – pagi tadi beliau harus pergi dinas keluar negeri, yaah terpaksa saya yang menggantikan.” Adelle menjawab dengan fokusnya tetap terpusat pada berkas – berkas dimeja, tangannya masih sibuk memilah – milah berkas.
Part 8: part 7 “Bagaimana hasil rapatmu dengan Aldric Coorporate?” Ditengah keheningan sarapan pagi itu tiba – tiba ayah Adelle membuka suara. Beliau baru pulang dari perjalanan dinasnya semalam, dan pagi ini Adelle benar – benar dikejutkan dengan kehadiran sang ayah yang telah menunggunya dimeja makan. Beberapa waktu yang lalu suasana meja makan begitu sunyi. Mereka berdiam diri seolah tak mengenal satu sama lain. Kecanggungan terlihat jelas dari gerak – gerik Adelle, Adelle selalu merasakan perasaan tak nyaman berada didekat ayahnya. Ia begitu ingin cepat – cepat menyudahi sarapannya dan berlari kekamar. “Semuanya berjalan lancar, aku menerima tawaran kerjasama dari mereka.” Adelle menjawab pertanyaan ayahnya acuh tak acuh, matanya tetap terfokus pada roti dipiringnya, ia masih enggan untuk berhadapan muka dengan sang ayah. “Bagaimana bisa kau membuat keputusan secepat itu ? Apa kau sudah menyelidiki sepak terjang perusahaan itu?” Ada nada meremehkan dalam kalimat ayahnya. Adelle menghentikan gerakannya memotong roti, diangkatnya kepalanya tegak menatap wajah sang ayah. “Perusahaan itu didirikan oleh Aldric Dinata, seorang pria yang tegas dan terkenal workaholic. Perusahaan itu sudah berdiri puluhan tahun dan namanya sudah mulai dikenal di kawasan Eropa, bahkan kudengar mereka sedang bersiap membuka cabang disana. Tapi karena kondisi Aldric Dinata yang cenderung menurun akhir – akhir ini, maka perusahaan itu sekarang diambil alih oleh putra tunggalnya Azka Aldric. Ditangan putranya perusahaan itu makin berkembang pesat, banyak perusahaan ingin menjadi mitra bisnis mereka. Dan kurasa ini sebuah keuntungan yang besar jika perusahaan kita bisa menjalin kerjasama dengan perusahaan itu.” Adelle menjelaskan panjang lebar mengenai Aldric Coorporate, gadis ini begitu percaya diri saat menyampaikan penjelasannya didepan sang ayah. Sebelum pergi mewakili ayahnya rapat Adelle memang telah menggali informasi mengenai Aldric Coorporate dari orang – orang suruhannya. Bahkan Adelle rela membuang waktu 30 menit dari waktu yang dijanjikan demi mengorek informasi dari kenalannya yang sempat mengabdi lama di perusahaan itu. “Kau sudah bertemu dengan Azka! Apa saja yang anak itu bicarakan denganmu?” Ayahnya tiba - tiba meninggikan suaranya beberapa oktaf, ada nada tak suka saat ia harus mengucapkan
nama itu. “Aku tak bertemu dengannya, ia sedang ada urusan lain jadi manajernya yang datang mewakili. Ada apa dengan dia?” Adelle bingung mengapa sang ayah seolah lebih tertarik membahas soal pertemuannya dengan pemuda bernama Azka itu. Penjelasan panjang lebarnya pun seolah tak mendapat tanggapan dari sang ayah. “Apa kau sama sekali tak merasa mengingat sesuatu tentang anak itu?” Ayahnya semakin mencondongkan tubuhnya kearah Adelle, menuntut Adelle untuk menggali lebih dalam ingatannya tentang pemuda itu. “Kurasa aku baru pertama kali mendengar nama itu saat aku mencari tahu tentang Aldric Coorporate. Apa ada sesuatu hal penting yang terkait antara aku dan seorang Azka Aldric?” “Sudahlah, tak apa. Kuharap nantinya kau tak perlu membangun hubungan yang terlalu dekat dengan anak itu.” Adelle hanya menatap heran mendengar perkataan ayahnya. Ia sadar ada sebuah kenyataan penting yang harus ia cari tahu mengenai seorang Azka Aldric, bertanya langsung kepada ayahnya sekarang akan percuma karena ia tahu benar bahwa ayahnya tak akan menjawab keingintahuannya itu. Tiba – tiba Ayahnya kembali membuka mulut memecah semua pemikirannya akan sosok seorang Azka. “Kau seharusnya lebih berhati – hati pada setiap langkah yang kau ambil.” Nada bicara ayahnya kembali terdengar biasa.