15 Psikologia, 2014, Vol. 9, No. 1, hal. 15-24
TORELANSI TERHADAP PEMALASAN SOSIAL: PERAN DIMENSI BUDAYA INDIVIDUALISME-KOLEKTIVISME Santa Vinensia Samosir* Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK Di dalam penelitian ini, saya meneliti hubungan antara dimensi budaya individualisme kolektivisme terhadap toleransi terhadap pemalasan sosial, yaitu sejauh mana individu bertahan dengan perilaku pemalasan sosial yang dilakukan oleh rekan kerjanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat kolektivisme, baik itu kolektivisme horisontal, maupun kolektivisme vertikal, yang dimiliki individu tidak berhubungan dengan toleransi individu terhadap perilaku pemalasan sosial yang dilakukan rekan kerjanya. Toleransi individu terhadap pemalasan sosial justru diprediksikan oleh derajat individualisme horisontal dan vertikal yang dimiliki oleh individu, semakin tinggi derajat individualisme, baik yang bersifat vertikal, maupun yang horisontal; semakin individu mentolerir perilaku pemalasan sosial yang dilakukan rekan kerjanya. Kata kunci: Individualisme vertikal, individualisme horizontal, kolektivisme vertikal, kolektivisme horisontal, dan toleransi pemalasan sosial
SOCIAL LOAFING TOLERANCE: THE ROLES OF INDIVIDUALISMCOLLECTIVISM
ABSTRACT In the present research, I examined the roles of individualism-collectivism on individual’s tolerance towards social loafing. The results showed that tolerance towards social loafing appear to be associated with individual’s degree of horizontal and vertical individualism. In contrast, vertical and horizontal collectivism did not predict individuals’ willingness to tolerate social loafing. Hence, the act of social loafing is more tolerable for individuals who possess high degree of individualism than those who are more collective. Keywords: Vertikal individualism, horizontal individualism, vertical collectivism, horizontal collectivism, social loafing tolerance
Pemalasan sosial (social loafing) merupakan suatu kondisi di mana individu mengurangi usaha dan upaya ketika bekerja dalam kelompok (Karau & Williams, 1993). Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bagaimana kelompok yang terdiri atas pelaku pemalasan sosial cenderung menghasilkan luaran atau produk yang lebih buruk daripada kelompok yang seluruh anggotanya berperan aktif dalam penyelesaian tugas (Latane, Williams, & Harkins, 1979). Pemalasan sosial melahirkan konsekuensi negatif yang mempengaruhi tidak hanya kelompok secara keseluruhan, namun juga bagi individu yang melakukannya (Schnake, dalam Liden, Wayne, Jaworski & Bennett, 2004). Para telah menemukan berbagai faktor yang berasosiasi atau menjadi penyebab individu melakukan pemalasan *Korespondensi mengenai penelitian ini dapat dilayangkan kepada Santa Vinensia Samosir melalui email:
[email protected]
sosial (lihat Liden, Wayne, Jaworski, & Bennet, 2004). Di dalam penelitian ini, saya mencoba untuk menelaah sejauh apa dimensi budaya individualismekolektivisme berdampak pada kerelaan individu terhadap perilaku pemalasan sosial yang dilakukan oleh rekan kerja atau sekelompoknya. TOLERANSI PEMALASAN SOSIAL Toleransi adalah kemampuan individu untuk bertahan, menderita, atau menerima sesuatu hal yang tidak disetujui atau tidak disukainya (Allport, 1954; lihat juga Chong, 1994). Sedangkan pemalasan sosial merupakan kecenderungan individu untuk mengurangi usaha ketika bekerja di dalam kelompok, khususnya ketika usaha yang diberikan individu tersebut tidak dapat dibedakan dengan usaha yang Rekomendasi mensitasi: Samosir, S. V. (2014). Toleransi terhadap pemalasan sosial: Peran dimensi budaya individualisme-kolektivisme. Psikologia, 9(1), hal. 1524.
16
diberikan oleh individu lain (Karau & Williams, 1993; Baron & Byrne, 2005). Menggabungkan kedua definisi ini, toleransi pemalasan sosial dapat didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk bertahan, menderita, menerima atau mengizinkan perilaku rekan kerja atau kelompok untuk mengurangi usaha terkait dengan pengerjaan tugas tertentu. INDIVIDUALISME-KOLEKTIVISME Individualisme Hofstede (2005) mengartikan individualisme sebagai tatanan sosial yang dikarakteristikkan oleh ikatan emosional antar individu yang longgar. Individualisme adalah budaya yang menekankan gagasan bahwa individu terpisah dan tidak tergantung dengan individu lain, mendefinisikan diri sebagai otonom dari ingroup, tujuan pribadi menjadi prioritas di atas tujuan kelompok, sikap individu secara personal lebih menentukan perilaku sosial individu daripada norma (Triandis, 1995). Triandis (dalam Lee & Choi, 2005) menyarankan bahwa individualisme dapat dibagi menjadi horisontal maupun vertikal. Individu yang memiliki derajat vertikal individualisme yang tinggi merupakan individu yang independen dan otonom tetapi juga kompetitif dan berusaha untuk menjadi yang terbaik serta berusaha untuk mendapatkan posisi status yang tinggi. Dalam pola budaya ini, kompetisi merupakan aspek penting bagi setiap individu. Individu-individu dengan derajat individualisme horizontal yang tinggi memandang diri mereka sepenuhnya otonom, dan percaya bahwa kesetaraan antar individu merupakan hal yang ideal. Meskipun menginginkan kemandirian dan keunikan pribadi, mereka tidak tertarik untuk memiliki status yang lebih tinggi dari anggota kelompok lainnya. Kolektivisme Hofstede (2005) mengartikan kolektivisme sebagai tatanan sosial yang
memiliki ikatan emosional antar individu yang kuat. Kolektivisme merupakan budaya yang menekankan bahwa individu saling tergantung dengan individu lain, mendefinisikan diri sebagai bagian dari kelompok, dan memprioritaskan tujuantujuan kelompoknya sebagai prioritas di atas tujuan-tujuan pribadi (Triandis, 1995). Seperti halnya individualisme , kolektivisme juga dibagi menjadi vertikal maupun horisontal (Lee & Choi, 2005). Individu dengan kolektivisme vertikal merupakan individu yang menekankan integritas kelompok, individu bersedia mengorbankan tujuan pribadi demi tujuan kelompok, dan memiliki preferensi dalam kompetisi antar kelompok yang tinggi. Individu ini juga melihat dirinya sebagai bagian penting kelompok, tetapi menyadari perbedaan antara satu anggota dengan yang lainnya (misal: status sosial pemimpin lebih tinggi daripada anggota). Selanjutnya, individu yang tinggi dalam dimensi kolektivisme horisontal adalah individu yang memandang dirinya sebagai bagian dari kelompok akan tetapi mereka memahami bahwa semua anggota kelompok setara. Individu kolektivisme horisontal melihat diri mereka mirip dengan dengan individu lain dan menekankan tujuan umum dengan orang lain, saling bergantung, dan bersosialisasi, namun mereka tidak mudah untuk tunduk pada otoritas. PERAN INDIVIDUALISMEKOLEKTIVISME TERHADAP TOLERANSI PEMALASAN SOSIAL Peran Individualisme vertikal Sebagaimana telah saya jelaskan, individualisme vertikal adalah budaya yang menilai individu berdasarkan keunikan, yang diakui berdasarkan hierarki atau status sosial yang didapatkan melalui kompetisi. Ketika bekerja dalam kelompok, individu yang tinggi dalam derajat dimensi ini menginginkan agar dirinya lebih baik daripada orang lain, keberhasilan atau kegagalan kelompok
17
dipandang keberhasilan atau kegagalan pribadi (Triandis & Gelfand, 1998). Di satu sisi, ketika ada perilaku pemalasan sosial dalam kelompoknya individu dengan derajat individualisme vertikal yang tinggi dapat merasa terganggu, karena ia percaya bahwa perilaku pemalasan sosial akan menurunkan kinerja dan prestasi kelompok, yang berararti kegagalan bagi pencapaian prestasi pribadinya. Sebagai konsekuensi, individu dengan derajat individualisme vertikal yang tinggi akan akan sulit mentolerir perilaku pemalasan sosial, karena kegagalan kelompok dapat ia internalisasikan sebagai kegalan pribadi. Namun, di sisi lain, individu yang berorientasi pada dimensi ini menempatkan kepentingan personal di atas kepentingan kelompok (Triandis, 1995). Ketika ada anggota kelompok yang melakukan pemalasan sosial, ia justru dapat memandang hal tersebut sebagai kesempatan bagi dirinya untuk menunjukkan kehebatannya di atas anggota-anggota kelompok lain dengan cara menyelesaikan tugas sendirian (Sarwono, 2005). Dengan demikian, individu dengan derajat individualisme vertikal yang tinggi kemungkinan justru akan lebih mentolerir perilaku pemalasan sosial. Peran individualisme horizontal Dimensi budaya individualisme horisontal menekankan pada keunikan masing-masing individu, dalam ranah kesetaraan sosial. Di satu sisi, individu dengan derajat individualisme horisontal yang tinggi akan menolak pemalasan sosial yang dilakukan oleh rekan-rekan sekelompoknya, karena tindakan pemalasan sosial tersebut tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan (equality) pengalokasian sumber daya atau usaha setiap individu anggota kelompok terhadap kinerja kelompok (Soeboer, 2003). Jadi, individu dengan derajat individualisme horisontal yang tinggi akan memiliki toleransi yang rendah terhadap perilaku
rekannya yang melakukan pemalasan sosial. Di sisi lain, individu dengan individualisme yang tinggi merupakan individu yang memiliki kepedulian yang rendah terhadap anggota-anggota kelompoknya (Piezon & Donaldson, 2005). Pengurangan usaha yang dilakukan oleh anggota kelompoknya, selama hal tersebut tidak mengganggu kinerja dan prestasi pribadi, tidak akan membuat individu ini merasa terusik dengan pengurangan usaha yang dilakukan anggota kelompoknya. Penelitian terdahulu bahkan menyebutkan bahwa individu yang berorientasi pada dimensi ini menjaga jarak dengan anggota kelompok lain (Chrisnawati, 2007). Jarak ini akan membuat anggota individu tidak berusaha untuk mengomentari tanggung jawab individu lain, terlepas dari tinggi atau rendahnya kontribusi usaha yang dilakukan oleh anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, individu dengan derajat individualisme horisontal yang tinggi kemungkinan justru akan lebih mentolerir perilaku pemalasan sosial. Peran kolektivisme vertikal Budaya kolektivisme vertikal dicirikan dengan adanya saling ketergantungan antar individu, pengorbanan kepentingan pribadi demi kepentingan kelompok, serta kepatuhan kepada otoritas. Individu dengan yang memiliki derajat kolektivisme vertikal yang tinggi akan menjunjung tinggi norma kelompok dan menempatkan kesuksesan kelompok di atas kesuksesan pribadi (Husain, 2012). Individu yang tinggi dalam dimensi budaya ini juga memiliki sikap melayani dalam kelompok dan rela berkorban untuk keuntungan kelompok (Markus & Kitayama, 1991). Pengorbanan merupakan aspek penting dalam pola ini (Triandis dalam Soeboer, 2003). Oleh karena itu, ketika anggota kelompoknya melakukan pemalasan sosial, melakukan, individu ini akan rela menggantikan anggota kelompoknya dalam proses
18
pengerjaan tugas, karena ia percaya bahwa perilaku anggota kelompoknya akan memberikan dampak negatif bagi kesuksesan kelompok. Dengan kata lain, individu yang memiliki derajat kolektivisme vertikal yang tinggi akan memiliki toleransi terhadap perilaku pemalasan sosial yang dilakukan rekan kerjanya. Di sisi lain, individu dengan kolektivisme vertikal yang tinggi juga menjunjung tinggi fungsi kelompok secara keseluruhan. Di mana kelompok merupakan hal yang utama yang patut untuk diperjuangkan melebihi kepentingan pribadinya. Sedangkan penelitian menyebutkan bahwa pemalasan sosial merusak identitas kelompok secara keseluruhan (Triandis, 1995). Sehingga individu yang memiliki kolektivisme yang tinggi akan peduli terhadap kelompok dan tidak akan membiarkan satupun anggota kelompoknya untuk melakukan pemalasan sosial, karena akan mengganggu performa dan produktivitas kelompok secara keseluruhan menurun (Schnake, 1991). Peran kolektivisme horizontal Budaya kolektivisme horisontal dicirikan dengan adanya status yang sama pada setiap individu dan penolakan terhadap otoritas atau dominasi yang bersifat hierarkis di dalam kelompok. Hubungan atau relasi dengan anggotaanggota kelompoknya sangat penting bagi individu yang memiliki derajat kolektivisme horisontal yang tinggi. Individu ini akan menjauhi hal-hal yang akan mengancam relasinya dengan anggota kelompoknya yang lain (Bond, dalam Triandis, 1995). Ketika anggota kelompok melakukan hal yang kurang disukainya (e.g. pemalasan sosial), individu akan mentolerir perilaku anggota kelompoknya tersebut dengan alasan untuk menjaga relasinya dengan anggota lain tersebut. Di sisi lain, individu yang berorientasi pada dimensi ini juga kemungkinan tidak dapat menerima perilaku pemalasan sosial
yang dilakukan anggota kelompoknya. Salah satu ciri dari budaya dengan dimensi kolektivisme horisontal yang tinggi adalah adanya kelekatan emosional yang kuat antar anggota kelompok (Triandis, 1995). Ikatan emosional ini membuat individu untuk tidak membiarkan anggota kelompoknya melakukan pemalasan sosial, karena anggota kelompok yang melakukan pemalasan sosial akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan dirinya dan kelompok tidak akan menghasilkan performa yang maksimal (Welter dkk., 2002). Dengan demikian, individu yang berorientasi pada dimensi kolektivisme vertikal akan menolak pemalasan sosial dan berusaha membantu anggota kelompok lain untuk dapat mengembangkan dirinya (Carron, Burke & Prapavessis, 2004). Sesuai dengan penalaran saya diatas bahwa toleransi pemalasan sosial akan memiliki hubungan dengan individualisme vertikal (hipotesis 1), individualisme horisontal (hipotesis 2), kolektivisme vertikal (hipotesis 3) dan kolektivisme horisontal (hipotesis 4), dimana hubungan yang terjadi dapat bersifat positif maupun negatif. METODE Partisipan Partisipan dalam penelitian ini merupakan mahasiswa baru (angkatan 2012 dan 2013) Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara dan Universitas Medan Area. Sampling dilakukan dengan metode incidental sampling. Sampel penelitian berjumlah 100 mahasiswa (44 orang dari USU dan 56 orang dari UMA) yang terdiri dari 91 perempuan dan 9 laki-laki (M = 121,18; SD = 7,77). Alat ukur Untuk mengumpulkan data penelitian, saya menyusun alat ukur untuk mengukur variabel-variabel dalam penelitian. Metode
19
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah self report berupa kuesioner. Dalam penelitian ini saya menggunakan dua buah skala yakni, skala individualisme-kolektivisme dan skala toleransi pemalasan sosial yang masingmasing menggunakan penskalaan model likert. Alat ukur individualismekolektivisme yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala individualisme kolektivisme yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia agar dapat lebih mudah dipahami dan sesuai dengan kondisi individu di Indonesia. Skala saya ciptakan dengan mererata aitem untuk membentuk skala individualisme kolektivisme yang merentang antara 1 sampai 4 (1 = rendah – 4 = tinggi). Jadi, semakin tinggi skor partisipan pada pengukuran individualisme kolektivisme, maka semakin tinggi derajat individualisme kolektivisme yang ia miliki. Alat ukur ini terdiri dari 32 item. Di mana partisipan diminta untuk memilih “STS” (sangat tidak setuju), “TS” (tidak setuju), “S” (setuju), atau “SS” (sangat setuju). Setiap aitem akan diberikan skor 1 = “STS”, 2 = “TS”, hingga 4= “SS”. Jumlah aitem pada skala ini ada 32 aitem dan terbagi menjadi 4 dimensi, di mana individualisme horisontal memiliki 10 aitem. Individualisme vertikal memiliki 5 aitem. Kolektivisme horisontal memiliki 12 aitem. Kolektivisme vertikal terdiri atas 5 aitem. Toleransi pemalasan sosial pada penelitian ini akan diukur dengan menggunakan skala yang disusun berdasarkan defenisi yang dikembangkan oleh Chong pada tahun 1994. Skala ini memiliki 8 pernyataan dengan 4 poin skala likert yang akan mengarahkan responden untuk menentukan tingkat toleransi yang dimilikinya terhadap individu lain yang melakukan pemalasan sosial. Skala saya ciptakan dengan mererata aitem untuk membentuk skala kolektivisme vertikal yang merentang antara 1 sampai 4 (1 =
toleransi pemalasan sosial rendah; 4 = toleransi pemalasan sosial tinggi). Jadi, semakin tinggi skor partisipan pada pengukuran toleransi pemalasan sosial ini, maka individu akan memiliki toleransi yang tinggi terhadap perilaku pemalasan sosial. Prosedur Alat ukur yang telah saya konstruk kemudian saya distribusikan kepada para partisipan penelitian. Kemudian saya minta mereka untuk mengisi skala individualisme kolektivisme dan toleransi pemalasan sosial. Setelah partisipan melengkapi alat ukur secara keseluruhan kemudian saya meminta mereka untuk menyerahkan kembali alat ukur kepada saya. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi Regresi Berganda dengan menggunakan bantuan komputer program SPSS for windows 20.0 version. HASIL Sebelum melakukan pengujian hipotesis, terlebih dahulu, saya periksa, satu-per-satu, linearitas setiap variabel bebas terhadap variabel terikat dengan menggunakan opsi curve estimation pada program SPSS 20. Dapat dilihat pada Tabel 1, hanya Kolektivisme Horisontal yang tidak memiliki hubungan linear yang signifikan terhadap Toleransi Pemalasan Sosial. Sebagai konsekuensi, Hipotesis 4 secara otomatis ditolak dan analisis saya lanjutkan untuk mengujikan Hipotesis 1, 2, dan 3. Tabel 1 Linearitas setiap variabel bebas terhadap toleransi pemalasan sosial
20
Analisis saya lanjutkan dengan melakukan analisis regresi berganda, di mana Kolektivisme Vertikal, Individualisme Horisontal, dan Individualisme Vertikal saya masukkan sebagai prediktor Toleransi Pemalasan Sosial. Untuk menghindari permasalahan asumsi normalitas, analisis saya jalankan dengan pengaturan sampel bootstrap sebanyak 20.000 (lihat Field, 2009). Hasil menunjukkan equasi yang signifikan, F(3, 96) = 5,72; R2 = 0,15; p = 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa peranan setiap variabel bebas terhadap toleransi pemalasan sosial adalah sebesar 15%, sedangkan sisa 85% dipengaruhi oleh faktor lainnya. Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan individualisme vertikal (B = 0.25; p = 0,047) dan individualisme horisontal (B = 0,28; p = 0,052) memiliki hubungan yang unik terhadap toleransi pemalasan sosial, sedangkan kolektivisme vertikal tidak (B = 0,23; p = 0,06). Dengan demikian, sesuai dengan Hipotesis 1 dan 2, hasil menunjukkan bahwa semakin tinggi derajat individualisme vertikal dan horisontal, semakin tinggi pula toleransi individu terhadap perilaku pemalasan sosial yang dilakukan oleh rekan sekelompoknya. Bertolak belakang dengan Hipotesis 3, derajat kolektivisme vertikal bukanlah determinan toleransi pemalasan sosial yang unik. DISKUSI Di dalam penelitian ini saya memeriksa peran individualisme kolektivisme, yang dapat berupa individualisme vertikal dan horisontal maupun kolektivisme vertikal dan horisontal terhadap toleransi pemalasan sosial. Sesuai dengan Hipotesis 1 dan 2, individualisme vertikal dan individualisme horisontal berhubungan searah (positif) secara unik dengan toleransi pemalasan sosial. Ini berarti bahwa semakin tinggi derajat individualisme vertikal dan horisontal yang dimiliki individu, semakin
toleran individu tersebut terhadap pemalasan sosial yang dilakukan oleh rekan sekelompoknya. Bertolak belakang dengan Hipotesis 3 dan 4, kolektivisme vertikal dan horisontal tidak berhubungan secara unik dengan toleransi pemalasan sosial. Pembahasan terkait dengan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa individualisme vertikal dan horisontal berhubungan searah dengan toleransi pemalasan sosial, yang berarti bahwa semakin tinggi derajat individualisme vertikal dan horisontal yang dimiliki individu, semakin individu tersebut dapat mentolerir perilaku pemalasan sosial. Hal ini dapat terjadi karena individu yang berorientasi pada dimensi individualisme vertikal menempatkan kepentingan personal di atas kepentingan kelompok (Triandis, 1995). Ketika ada anggota kelompok yang melakukan pemalasan sosial, individu justru dapat memandang hal tersebut sebagai kesempatan bagi dirinya untuk menunjukkan kehebatannya di atas anggota-anggota kelompok lain dengan cara menyelesaikan tugas sendirian (Sarwono, 2005). Demikian halnya, dengan individualisme horisontal yang tinggi merupakan individu yang memiliki kepedulian yang rendah terhadap anggotaanggota kelompoknya (Piezon & Donaldson, 2005). Pengurangan usaha yang dilakukan oleh anggota kelompoknya, selama hal tersebut tidak mengganggu kinerja dan prestasi pribadi, tidak akan membuatnya merasa terusik. Penelitian terdahulu, bahkan menyebutkan bahwa individu yang berorientasi pada dimensi ini menjaga jarak dengan anggota kelompok lain (Chrisnawati, 2007). Jarak ini membuat individu tidak berusaha untuk mengomentari tanggung jawab anggota kelompoknya. Dengan demikian, individu dengan derajat individualisme horisontal yang tinggi justru memiliki toleransi terhadap perilaku pemalasan sosial. Untuk kolektivisme (baik itu vertikal dan horisontal), pada awalnya, saya menduga bahwa kedua variabel akan
21
memiliki hubungan dengan toleransi pemalasan sosial. Adapun dugaan ini berdasarkan penalaran bahwa kolektivisme vertikal dicirikan dengan adanya saling ketergantungan antar individu, pengorbanan kepentingan pribadi demi kepentingan kelompok, serta kepatuhan kepada otoritas dimana individu memiliki sikap melayani dalam kelompok dan rela berkorban untuk keuntungan kelompok (Markus & Kitayama, 1991). Sedangkan budaya kolektivisme horisontal dicirikan dengan adanya kesetaraan pada setiap individu dan menolak otoritas di dalam kelompok. Individu akan sangat memperhatikan hubungan atau relasinya dan menjauhi hal-hal yang akan mengancam relasinya dengan anggota kelompoknya yang lain (Bond, dalam Triandis, 1995; Ali, Lee, Hsich & Krishnan, dalam Dewantoro, 2012). Dari penalaran tersebut saya menyimpulkan bahwa individu yang memiliki derajat kolektivisme baik vertikal maupun horisontal dalam dirinya akan memiliki sikap toleransi terhadap perilaku pemalasan sosial yang dilakukan oleh anggota kelompoknya. Bertolak belakang dengan penalaran yang saya lakukan, derajat kolektivisme vertikal individu tidak berhubungan dengan toleransi pemalasan sosial. Tidak adanya hubungan antara kolektivisme vertikal dengan toleransi pemalasan sosial dapat dijelaskan dengan menggunakan teori identitas sosial. Identitas sosial adalah pengetahuan individu tentang keanggotaannya terhadap kelompok (atau kelompok-kelompok) tertentu (Tajfel & Turner, 1979). Identitas sosial juga merupakan bagian dari konsep diri seseorang yang dibentuk berdasarkan afiliasinya dengan kelompok di mana dirinya bernaung (Hogg & Vaughan, 2002). Individu yang mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari kelompok, akan berperilaku sesuai dengan harapanharapan dalam kelompok. Individu yang berorientasi pada dimensi kolektivisme vertikal memiliki kecenderungan untuk
mengidentifikasikan dan menjunjung tinggi kelompok sebagai bagian penting dari dirinya (Stephan, Ybarra, & Morrison, 2009). Identifikasi terhadap kelompok yang tinggi ini berdampak pada kerelaan individu untuk menjaga dan melindungi identitas kelompok (Branscombe, Ellemers, Spears, & Doosje, 1999; Ellemers, Kortekaas, & Ouwerkerk, 1999; Stephan & Renfro, 2002). Pemalasan sosial merupakan ancaman yang dapat merusak identitas kelompok secara keseluruhan (Triandis, 1995). Oleh karena itu, untuk melindungi kelompok dari ancaman identitas, individu yang memiliki derajat kolektivisme vertikal yang tinggi akan cenderung mengusahakan agar anggota-anggota kelompoknya tidak melakukan pemalasan sosial (Schnake, 1991). Selanjutnya, derajat kolektivisme horisontal individu tidak berhubungan dengan toleransi pemalasan sosial. Salah satu ciri dari budaya dengan dimensi kolektivisme horisontal yang tinggi adalah adanya kelekatan emosional yang kuat antar anggota kelompok (Triandis, 1995). Ikatan emosional ini membuat individu untuk tidak membiarkan anggota kelompoknya melakukan pemalasan sosial, karena anggota kelompok yang melakukan pemalasan sosial akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan dirinya dan kelompok tidak akan menghasilkan performa yang maksimal (Welter dkk., 2002). Selain itu, individu dengan orientasi kolektivisme horisontal memandang kesetaraan dalam kelompok (Triandis, 1995), sehingga setiap anggota kelompok seharusnya mendapatkan dan memberikan hal yang sama untuk kelompok. Dapat disimpulkan bahwa individu dengan derajat kolektivisme baik secara vertikal maupun horisontal tidak memiliki toleransi terhadap perilaku pemalasan sosial yang dilakukan oleh rekan kelompoknya. Pada penelitian ini, ditemukan bahwa hasil analisis berbeda dengan hasil penelitian terdahulu seperti yang telah saya
22
bahas sebelumnya. Hal ini mungkin disebabkan teori yang digunakan dalam penelitian ini masih kurang komprehensif, di mana belum banyak penelitian yang meneliti tentang toleransi terhadap pemalasan sosial. Selain itu, skala yang saya gunakan masih kurang reliabel. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji reliabilitas skala penelitian yang saya gunakan seperti skala toleransi pemalasan sosial yang hanya 0,69 dan dimensi kolektivisme vertikal pada skala individualisme kolektivisme hanya 0,62. Walaupun ada ahli yang menyatakan bahwa 0,60 sudah bisa dikatakan reliabel, namun nilai ini masih sangat kurang dalam melakukan analisis data. Kurang memuaskannya koefisien reliabilitas tiap komponen dalam skala toleransi pemalasan sosial adalah karena jumlah aitem yang sedikit, yaitu 15 item, dan pada dimensi kolektivisme vertikal hanya 5 aitem. Azwar (2009) dan Suryabrata (2000) menyatakan kan bahwa panjang tes akan berpengaruh terhadap reliabilitas suatu alat ukur. Selanjutnya, hasil penelitian ini juga mungkin dipengaruhi kurang baiknya adaptasi aitem skala penelitian. Kemungkinan aitem tidak dapat diterjemahkan secara baik dari bahasa aslinya dan tidak sesuai dengan budaya sampel penelitian yang akan dijadiikan partisipan penelitian. Untuk penelitian lebih lanjut dapat dicermati penerjemahan secara lebih teliti dan menghindari ambiguitas makna pada tiap-tiap item, gunanya untuk meningkatkan validitas dan reliabilitas skala. Hal ini yang menjadi kelemahan dari penelitian ini. Untuk memperkaya penelitian ini, saya juga menghubungkan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Murniati (1996) yang menyebutkan bahwa Indonesia berada di antara dimensi individualisme-kolektivisme, dan agaknya tepat berada di ambang individualisme. Hasil penelitian menyebutkan, meskipun sedang terjadi pergeseran menuju individualisme, namun nilai-nilai budaya tampaknya masih cukup mengakar dalam
kehidupan masyarakatnya. Hal tersebut yang kemungkinan mempengaruhi hasil penelitian ini, yang mengakibatkan nilai individualisme lebih berhubungan dengan tingkat toleransi pemalasan sosial anggota kelompok. PERNYATAAN Terima kasih saya ucapkan kepada Omar Khalifa Burhan atas waktu dan tenaga yang diberikan dalam membimbing saya untuk menyelesaikan dan menuliskan manuskrip penelitian ini. REFERENSI Allport, G. W. (1954). The Nature of Prejudice. Oxford, England: AddisonWesley Azwar, S. (2009). Reliabiltas dan validitas. Jakarta: Pustaka Pelajar. Baron, R. A.,dan Byrne, D. (2005). Psikologi sosial (ed. ke-10). Jakarta: Erlangga. Branscombe, N. R., Ellemers, N., Spears, R., & Doosje, B. (1999). The context and content of Social identity threat. In N. Ellemers, R. Spears, & B. Doodje (Eds), Social Identity: Context, commitment Content. Oxford: Blackwell. Carron, A., Burke, S., & Prapavessis, H. (2004). Journal of Applied Sport Psychology, 16, 41-58. Chrisnawati, N. (2007). Pengaruh SelfConstrual, IndividualismeKolektivisme, dan Identitas Etnik Terhadap Kecenderungan Individu dalam Memilih Pasangan dalam Kelompok Etnis Batak. Jakarta: Universitas Indonesia. Chong D. (1994). Tolerance and Social Adjustment To New Norms and Practices. Political Behavior. 16(1), 21-53. Dewantoro, R. S. (2012). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Karyawan
23
terhadap Keanggotaan Serikat Pekerja PT. Linfox Logistics Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia. Ellemers, N., Kortekaas, P., & Ouwerkerk, J. W. (1999). Self-categorization, commitment to the group, and group self esteem as related but distinct aspects of social identity. European Journal of Social Psychology, 29, 371389. Field, A. (2009). Discovering Statistic Using SPSS (3rd ed.). London: Sage Publication Ltd. Hofstede, G. (2005). Cultures and organizations: Software of the mind. New York: McGraw Hill. Hogg, M. A., & Vaughan, G. M.. (2002). Social psychology (3rd ed.). London: Tottenham Court Road. Husain, Akbar. (2012). Social Psychology. India: Dorling Kindersley (India) Pvt. Ltd. Karau S. J., & Williams K. D. (1993). Pemalasan sosial: A Meta Analytic Review and The Integration. Journal of Personality and Social Psychology 65(4), 681-706. Latane, B., Williams, K., & Harkins, S. (1979). Many hands make light the work: The causes and consequences of pemalasan sosial. Journal of Personality and Social Psychology, 37(6), 822-832. Lee, W., & Choi S. M. (2005). The Role of Horizontal and Vertical Individualism and Collectivism in Online Consumers’ Responses Toward Persuasive Communication on the Web. Journal of Computer-Mediated Communication. 11(1). Liden, R. C., Wayne, S. J., Jaworski, R. A. & Bennett, N. (2004). Social loafing: A field investigation. Journal of Management 30(2), 285-304. Markus, H. R., & Kitayama, S. (1991). Culture And The Self: Implications For Cognition,
Emotion, And Motivation. Psychological Review. 98, 224-53. Piezon, S. L., & Donaldson, R. L. (2005). Online groups and social loafing: Understanding Student Group Interactions. Online Journal of Distance Learning Administration. 8(4). Sarwono, Sarlito Wirawan. (2005). Psikologi sosial: psikologi kelompok dan psikologi terapan (ed. Ke-3). Jakarta: Balai Pustaka. Schnake, M. E. (1991). Equity in Effort: The 'sucker effect' in co-acting groups. Journal of Management, 17(1), 41-56. Soeboer, R. (2003). Keadilan Distributif dalam Konteks Mayoritas-Minoritas (Studi Lapangan di Dua Perguruan Tinggi di Jakarta). Jakarta: Universitas Indonesia. Stephan, W. G., & Renfro, C. L. (2002).The role of threats in intergroup relations. In D. Mackie& E. R. Smith (Eds.), From prejudice to intergroup emotions (pp. 191-208). New York: Psychology Press. Stephan, W. G., Ybarra, O., & Morrison, K. R. (2009). Intergroup threat theory. In T. D. Nelson (Eds.), Handbook of prejudice (pp. 43-60). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Suryabrata, S. (2010). Metodologi penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Tajfel, H., & Turner, J. C. (1979). An integrative theory of social confict. In W. Austin, & S. Worchel (Eds), The social psychology of intergroup relations. California: Brooks/Cole.. Triandis, H. C . (1995). Individualism and Collectivism. Boulder, CO: Westview. Triandis, H. C. & Gelfand, M. J. (1998). Converging Measurement Horizontal and Vertical Individualism and Collectivism. Journal of Personality and Social Psychology. 74(1), 118-128.
24
Welter, Canale, Fiola, Sweeney & L’armand. (2002). Effects of Pemalasan sosial on Individual Satisfaction and Individual Productivity. Psi Chi, The National Honor Society in Psychology. 7(3), 142-144.