TINJAUAN PUSTAKA Kerbau Kerbau merupakan ternak penghasil daging merah dan susu. Kerbau di Indonesia juga banyak digunakan sebagai ternak pengangkut dan pembajak sawah. Beberapa daerah di Indonesia, khususnya Tanah Toraja, Sulawesi Selatan banyak menggunakan kerbau sebagai simbol upacara adat. Kerbau terbagi menjadi dua jenis yaitu kerbau rawa (swamp buffalo) dan kerbau sungai (river buffalo). Menurut Fahimuddin (1975) dua jenis kerbau tersebut tergolong pada spesies yang sama. Taksonomi kerbau dapat dilihat sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Class
: Mamalia
Subclass
: Theria
Ordo
: Artodactyla
Subordo
: Ruminantia
Family
: Bovidae
Subfamily
: Bovinae
Genus
: Bubalus
Spesies
: Bubalus bubalis
Kerbau rawa dan kebau sungai memiliki beberapa perbedaan. Kerbau rawa memiliki warna tubuh keabu-abuan, leher terkulai dan memiliki tanduk besar yang mengarah ke belakang. Kerbau rawa ini sering digunakan sebagai ternak kerja. Pada umumnya kerbau rawa merupakan jenis kerbau penghasil daging dan sering ditemukan di daerah rawa atau berkubang pada tempat yang berlumpur. Kerbau sungai memiliki warna tubuh hitam atau abu-abu gelap dan tanduk melingkar atau lurus memanjang ke belakang. Pada umumnya kerbau sungai adalah jenis kerbau penghasil susu dan biasa berkubang pada sungai yang berair jernih. (Fahimuddin, 1975). Perbedaan antara kerbau rawa dan kerbau sungai dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
3
Gambbar 1. Kerbau Rawa Sumber : htttp://cybex.depptan.go.id/cateegory/bidang/ppeternakan/keerbau
Gam mbar 2. Kerrbau Sungai Sumbber : http://w www.ncbi.nlm.nih.gov//genome?terrm=bubaluss%20bubaliis
4
Ternak kerbau merupakan ternak semiaquatic, dimana kerbau harus dimandikan atau berkubang untuk mendapatkan produktivitas yang optimal. Tingkah laku kerbau yang sering berkubang dikarenakan kondisi fisiologis kerbau yang memiliki pori-pori keringat yang lebih kecil dibandingkan sapi. Peternak rakyat dengan sistem pemeliharaan ekstensif dan semiintensif memandikan kerbau di sungai atau di kandang pada pagi hari dan sore hari, sedangkan peternak dengan pemeliharaan intensif memandikan dengan menyiran air ke tubuh kerbau di dalam kandang. Populasi Ternak Kerbau di Indonesia Pendataan sapi potong, sapi perah dan kerbau 2011 yang merupakan program Kementrian Pertanian bekerjasama dengan BPS (Badan Pusat Statistik, 2011) menyatakan bahwa populasi kerbau tersebar merata di seluruh Indonesia. Hal ini berbeda dengan sebaran populasi sapi potong dan sapi perah yang dominan berada di pulau Jawa. Populasi kerbau terbesar berada di Sumatera dengan jumlah 512.821 ekor, serta populasi terendah terdapat di Pulau Maluku dan Papua sebesar 19.671 ekor. Rincian keseluruhan populasi kerbau, sapi potong, dan sapi perah dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil pendataan menunjukkan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi dengan populasi kerbau terbesar sebanyak 150 ribu ekor atau 11,5 persen dari populasi kerbau di Indonesia. Selama periode 2003-2011 berdasarkan hasil sensus pertanian dan pendataan sapi potong, sapi perah dan kerbau 2011 perkembangan populasi kerbau menunjukkan penurunan (Badan Pusat Statistik, 2011). Tingkat penurunan rata-rata sebesar 0,58 persen per tahun atau setara dengan 7,8 ribu per tahunnya (Tabel 2). Wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara mengalami penurunan masing-masing 2,61 persen dan 1,75 persen per tahun. Pertumbuhan populasi kerbau di Pulau Maluku dan Papua menunjukkan peningkatan yang tertinggi yaitu sebesar 4,61 persen per tahun, sedangkan daerah lainnya kurang dari 2 persen per tahun peningkatannya. Hilmawan (2010) menyatakan bahwa penurunan populasi ternak kerbau antara lain disebabkan oleh : 1) Meningkatnya pemotongan kerbau karena permintaan konsumsi masyarakat yang tinggi tetapi tidak diimbangi dengan peningkatan populasi kerbau, 2) Keterbatasan lahan penggembalaan bagi ternak kerbau, 3) Sistem reproduksi kerbau
5
yang tergolong lamban, 4) Kecenderungan masyarakat yang lebih tertarik dalam budidaya ternak sapi potong terkait perputaran modal yang cepat. Tabel 1. Sebaran Populasi Kerbau, Sapi Potong dan Sapi Perah Beberapa Provinsi Berdasarkan Hasil Akhir Perhitungan Populasi Sapi Potong, Sapi Perah dan Kerbau (PSPK) di Indonesia 2011 Provinsi Sumatera 1. Aceh 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau 5. Jambi 6. Sumatera Selatan 7. Bengkulu 8. Lampung 9. Kep. Bangka Belitung 10. Kepulauan Riau Jawa 11. DKI Jakarta 12. Jawa Barat 13. Jawa Tengah 14. D.I Yogyakarta 15. Jawa Timur 16. Banten Bali dan Nusa 17. Bali 18. Nusa Tenggara Barat 19. Nusa Tenggara Timur Kalimantan 20. Kalimantan Barat 21. Kalimantan Tengah 22. Kalimantan Selatan 23. Kalimantan Timur Sulawesi 24. Sulawesi Utara 25. Sulawesi Tengah 26. Sulawesi Selatan 27. Sulawesi Tengah 28. Gorontalo 29. Sulawesi Barat Maluku dan Papua 30. Maluku 31. Maluku Utara 32. Papua Barat 33. Papua Indonesia (Total)
Sapi Potong Populasi % 2.724.384 18,3 462.840 3,12 541.698 3,65 327.013 2,21 159.855 1,08 119.888 0,81 246.295 1,66 98.948 0,67 742.776 5,01 7.733 0,05 17.338 0,12 7.512.273 50,6 1.691 0,01 422.989 2,85 1.937.551 13,0 375.844 2,54 4.727.298 31,8 46.900 0,32 2.101.916 14,1 637.473 4,30 685.810 4,63 778.633 5,25 437.406 2,95 153.320 1,03 54.647 0,37 138.691 0,94 90.748 0,61 1.790.318 12,0 105.225 0,71 230.682 1,56 983.985 6,64 213.736 1,44 183.868 1,24 72.822 0,49 258.076 1,74 73.976 0,50 60.840 0,41 41.464 0,28 81.796 0,55 14.824.373 100
Sapi Perah Populasi % 2.838 0,40 31 0,01 894 0,15 484 0,08 172 0,03 81 0,01 154 0,03 247 0,04 201 0,03 119 0,02 592.520 99,2 2.728 0,46 139.970 23,4 149.931 25,1 3.522 0,59 296.350 49,6 19 0,00 189 0,03 139 0,02 18 0,00 32 0,01 369 0,06 227 0,04 110 0,02 32 0,01 1.741 0,29 22 0,00 8 0,00 1.690 0,28 8 0,00 13 0,00 11 0,00 11 0,00 597.213 100
Kerbau Populasi % 512.821 39,2 131.494 10,0 114.289 8,76 100.310 7,69 37.716 2,89 46.538 3,57 29.143 2,23 19.971 1,53 33.124 2,54 222 0,02 14 0,00 362.049 27,8 192 0,01 130.157 9,97 75.674 5,80 1.208 0,09 32.675 2,50 123.143 9,44 257.610 19,7 2.181 0,17 105.391 8,08 150.038 11,5 41.534 3,18 3.166 0,24 6.491 0,50 23.843 1,83 8.034 0,62 110.393 8,46 3.271 0,25 96.505 7,39 2.492 0,19 13 0,00 8.112 0,62 19.671 1,51 17.568 1,35 863 0,07 1 0,00 1.239 0,09 1.305.07 100
Sumber : Badan Pusat Statistik 2011
6
Tabel 2. Perkembangan Populasi Kerbau Menurut Pulau 2003-2011 Tahun Perkembangan Rataan /tahun Regional 2003 2011 Ekor % Sumatera 464.157 512.812 6.100 1,25 Jawa 448.566 363.490 -10.700 -2,61 Bali dan Nusa 296.794 257.610 -4.900 -1,75 Kalimantan 40.446 41.534 100 0,33 Sulawesi 103.553 110.393 900 0,80 Maluku dan Papua 13.718 19.671 700 4,61 INDONESIA 1.367.234 1.305.078 -7.800 -0,58 Sumber : Data Hasil Populasi Sapi Potong, Sapi Perah dan Kerbau 2011 (Badan Pusat Statistik 2011)
Produktivitas Kerbau Peran ternak kerbau bagi kehidupan peternak masih sangat penting. Menurut Suhuby (2007) terdapat tiga alasan utama mengapa kerbau mempunyai peran penting. Pertama, ternak kerbau memberikan kontribusi yang cukup besar bagi kehidupan peternak dan petani di pedesaan sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD) walaupun tanpa dukungan pemerintah dan tanpa perbaikan pola hidup. Kedua, ternak kerbau masih dapat berproduksi dan bereproduksi dengan baik pada kondisi alam dan agroekosistem yang sangat kritis, misalnya wilayah lahan kering bagian Timur Indonesia (Pulau Sumbawa, Sumba, Flore, dll). Ketiga, ternak kerbau dapat mengubah pakan yang sangat rendah nilai mutu gizinya seperti limbah pertanian dan rumput alam yang bulky dan memiliki kandungan serat kasar yang sangat tinggi, menjadi daging dan susu yang bergizi bagi manusia. Kerbau merupakan ternak yang potensial untuk produksi daging, karena kerbau memiliki bobot karkas yang lebih tinggi dibandingkan sapi lokal. Bobot hidup kerbau rawa sebesar 370 kg, akan memperoleh bobot potong sebesar 360 kg, dengan karkas panas sebesar 171,5 kg (Miskiyah dan Usmiati, 2009). Produksi daging kerbau di Indonesia pada tahun 2010 hanya sebesar 37.299 ton, angka ini sangat kecil dibandingkan kontribusi daging sapi yang sebesar 435.299 ton (Tabel 3). Kebutuhan ternak potong/pedaging meningkat dari tahun ke tahun, ternak sapi dan unggas merupakan ternak sumber daging (halal) utama di Indonesia. Besarnya peran unggas dan sapi hingga saat ini disebabkan oleh pelaku industri dan pemerintah hanya memfokuskan perhatian kepada dua jenis ternak ini saja. Hal ini menyebabkan ternak sumber daging lainnya seperti kerbau, kambing, domba, dan kuda kurang dapat dioptimalkan. Meningkatnya kebutuhan daging sapi di masa
7
mendatang seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat, tetapi peningkatan ini tidak diimbangi dengan laju populasi sapi yang cenderung datar (Tabel 4). Maka dibutuhkan subtitusi dari ternak lain seperti kerbau dan ternak ruminansia lainya untuk mengantisipasi terjadinya krisis kebutuhan pangan hewani di Indonesia (Suhubdy, 2007). Tabel 3. Produksi Daging Ternak (ton) di Indonesia Tahun 2009-2010 Pulau Sapi Kerbau 2009 2010 2009 Sumatera 78.529 82.035 16.338 Jawa 256.439 273.959 10.318 Bali 6.383 6.325 16 Nusa 13.053 13.909 3.015 Kalimantan 21.806 22.691 1.402 Sulawesi 27.414 30.217 3.205 Maluku 1.561 1.659 290 Papua 4.123 4.504 61 INDONESIA 409.308 435.299 34.645
2010 17.336 11.803 17 3.040 1.440 3.294 308 61 37.299
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011
Tabel 4. Populasi Ternak (000 ekor) di Indonesia dari tahun 2007-2010 Ternak 2007 2008 2009 Sapi potong 11.515 12.257 12.760 Sapi Perah 374 458 475 Kerbau 2.086 1.931 1.933 Kuda 401 393 399 Kambing 14.470 15.147 15.815 Domba 9.514 9.605 10.199 Babi 6.711 6.338 6.975 Ayam Buras 272.251 243.423 249.964 Ayam Petelur 111.489 107.955 99.768 Ayam Pedaging 891.659 902.052 991.281 Itik 35.867 38.840 42.318
2010*) 13.633 495 2.005 409 16.821 10.932 7.212 268.957 103.841 1.249.952 45.292
Keterangan : *Angka Sementara Sumber : Direktorat Jendral Peternakan 2011
Reproduksi Kerbau Sistem reproduksi kerbau pada pertanian rakyat yang tidak ada recording dan cara birahinya yang silent heat atau tidak mengeluarkan suara dan cenderung diam merupakan salah satu penyebab lambatnya perkembang biakan kerbau di Indonesia. Menurut Lita (2009) Karakteristik reproduksi ternak kerbau di Muara Muntai, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur dapat dilihat pada Tabel 5.
8
Sistem reproduksi ternak kerbau berbeda dengan sistem reproduksi ternak sapi. Ternak sapi mengalami birahi pertama pada sekitar umur 1 tahun, beranak pertama pada umur 2,5 tahun, dan lama bunting umur 283 hari. Tingkah laku birahi sapi pun berbeda dengan kerbau. Sapi yang sedang birahi akan mengeluarkan suara yang sering dan terlihat gelisah. Ciri-ciri lain yang dapat dilihat pada bagian belakang (anus) sapi seperti, berwarna merah, bengkak, dan basah. Sistem reproduksi ternak kerbau yang lebih lama dan susah terlihat saat birahi dibandingkan dengan ternak sapi merupakan salah satu penyebab usaha ternak kerbau di Indonesia kurang berkembang dengan baik dibandingkan ternak sapi (Affandy et al., 2007). Hal ini menyebabkan populasi kerbau di Indonesia mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Selain itu usaha pembibitan dan penggemukkan kerbau berskala industri hampir tidak ada, dan Pemerintah lebih fokus pada pengembangan ternak sapi sedangkan ternak kerbau kurang diperhatikan. Tabel 5. Karakteistik Reproduksi Ternak Kerbau di Desa Pulau Muara Mutai Sifat Reproduksi Hasil Nusbah jantan : betina 1:4 Umur berahi pertama 2,8 tahun Umur Kawin 2,8 tahun Lama berahi Panjang siklus berahi 18,5 hari Service per conception Angka kebuntingan Lama kebuntingan 365 hari Persentase kelahiran 75% Calf crop 67% Tingkat kematian anak 11% Umur kematian anak 1,7 bulan Berahi kembali 1,0 bulan Selang beranak 13 bulan Sumber : Lita (2009)
Kelebihan Ternak Kerbau Kerbau merupakan ternak ruminansia yang mempunyai banyak kelebihan dibandingkan ternak ruminansia lainnya. Kelebihan ternak kerbau dapat dilihat dari habitat, karakteristik morfologi hingga pada anatominya, fisiologi pencernaan, dan status nutrisinya. Sebagai ternak semi-aquatik kerbau dapat hidup dengan baik pada dua kawasa (ecological zone). Kerbau di wilayah Timur Indonesia seperti di daerah NTB, NTT dan Sulawesi memiliki produktivitas yang baik walaupun berada pada
9
wilayah yang cukup kering dan panas, sedangkan kerbau rawa atau sungai di wilayah Barat Indonesia seperti di daerah Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sumatera Selatan dapat tetap berproduksi dengan habitat di dalam sungai dan rawa setiap harinya. Hal ini menunjukkan bahwa ternak kerbau merupakan ternak yang sangat adaptif bila ditempatkan dimana saja (Suhubdy, 2007). Kelebihan ternak kerbau yang lainnya adalah kemampuannya yang luar biasa dan spesifik dalam memanfaatkan pakan yang kurang berkualitas (hijauan dengan protein kasar rendah dan serat kasar tinggi). Kemampuan ternak kerbau dalam mencerna serat kasar lebih baik dibandingkan ternak sapi dikarenakan kandungan mikroba selulotik didalam tubuh kerbau lebih banyak dibandingkan ternak sapi (Astuti, 2010). Hal ini dapat dilihat dengaan membandingkan jumlah kandungan bakteri rumen kerbau dan sapi (Tabel 6). Tabel 6. Jumlah Bakteri Rumen (x108/ml) pada Kerbau dan Sapi yang Diberikan Pakan Berserat Tinggi Bakteri Sapi Kerbau Selulotik 2,58 6,86 Proteolitik 0,41 0,54 Amilolitik 8,63 11,05 Sumber : Astuti (2010), Kamra (2005)
Sistem Pemeliharaan Kerbau Sistem pemeliharaan ternak kerbau di Daerah Kalimantan Timur dilakukan dengan cara ekstensif, dimana kerbau digembalakan pada padang rumput atau lahan rawa dan pada malam hari kerbau beristirahat di kalangan. Kalangan adalah susunan kayu yang dibangun sedemikian rupa di atas rawa sebagai tempat kerbau beristirahat pada malam hari. Kalangan juga merupakan tempat kerbau betina melahirkan dan merawat anaknya. Sistem pemeliharaan ekstensif sangat bergantung pada musim hujan dan kemarau. Aktivitas kerbau pada musim hujan lebih banyak dihabiskan di dalam kalangan, sedangkan pada musim kemarau kerbau banyak beraktivitas di padang penggembalaan (Hamdan et al., 2005). Sistem pemeliharaan secara ekstensif banyak dilakukan di kawasan Timur Indonesia, dimana kondisi agroklimat dan topografi daerahnya didominasi hamparan lahan kering yang luas bervegetasi rumput alam dan semak belukar sehingga (Suhubdy, 2007). Hilmawan (2010) menyatakan bahwa kendala yang dihadapi peternak dengan sistem pemeliharaan ekstensif dan
10
semi intensif adalah musim dan terbatasnya lahan penggembalaan saat ini. Pada musim kemarau peternak sulit memperoleh pakan hijauan sehingga harus mencari ke tempat lain, sedangkan pada musim hujan sering terjadi banjir pada lahan penggembalaan. Meningkatnya pembangunan infrastruktur di berbagai daerah menyebabkan lahan penggembalaan ternak menyempit. Sistem pemeliharaan kerbau tidak hanya secara ekstensif, di Kabupaten Kudus, Jawa Timur ternak kerbau dipelihara menggunkan sistem pemeliharaan semiintensif dan intensif. Sebanyak 26,67% peternak memelihara kerbau secara intensif dan 73,33% secara semiintensif. Peternak di sekitar persawahan dan bantaran sungai yang memiliki rerumputan umumnya melakukan pemeliharaan secara semiintensif. Sedangkan pemeliharaan intensif pada umumnya dilakukan oleh peternak kerbau yang disekitar perkandangannya tidak memiliki lahan. Menurut Parakkasi (1999) Pemeliharaan sistem ekstensif bila ditinjau dari segi usaha tidak merugi, karena biaya produksi hampir tidak ada. Namun untuk memenuhi kebutuhan daging nasional sistem ini sangat tidak diharapkan. Hal ini disebabkan oleh lama waktu yang dibutuhkan untuk penggemukkan sangat lama atau dapat dikatakan produktivitasnya rendah. Pencapaian bobot badan 150 kg, memerlukan waktu sekitar 5 tahun. Sedangkan pemeliharaan dengan sistem intensif menghasilkan produksi yang lebih efisien dan dapat memendekkan waktu produksi. Sistem pemeliharaan intensif dapat memungkinkan ternak mengkonsumsi ransum yang berkualitas baik dan dapat memanfaatkan bahan hasil ikutan industri pertanian sebagai pakan tembahan. Sistem intensif juga mempermudah dalam pengawasan kesehatan ternak dan menggunakan lahan yang sedikit dibandingkan sistem ekstensif. Pembibitan dan Penggemukan Kerbau Pada umumnya usaha peternakan kerbau dibagi menjadi dua jenis yaitu usaha pembibitan dan penggemukkan. Usaha Pembibitan adalah usaha memperbaiki dan memperbanyak populasi ternak dengan melakukan seleksi terlebih dahulu untuk menghasilkan bibit unggul bagi ternak pada generasi berikutnya. Aspek utama yang harus diperbaiki dalam manajemen pembibitan kerbau adalah penyediaan bibit unggul, peningkatan kualitas pakan, teknik reproduksi, dan pengawasan kesehatan, utnuk mendukung perbaikan manajemen pembibitan tersebut diperlukan permodalan, pemasaran, dan aspek penyuluhan (Hendayana dan Matondang, 2010). 11
Usaha penggemukkan atau lebih banyak disebut program finish bertujuan untuk memperbaiki kualitas karkas/daging. Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas tersebut, salah satu diantaranya adalah deposit lemak dalam karkas. Lama proses penggemukan berhubungan dengan pertambahan bobot badan, grade, dan komposisi karkas ternak. Hubungan tersebut yaitu semakin lama penggemukkan maka pertambahan bobot badan semakin turun, tetapi persentase karkas meningkat dan mencapai grade prime minimal mencapai grade standart. Lama penggemukkan juga berpengaruh pada peningkatan kadar lemak, kadar air menurun, tetapi kadar protein cenderung tetap (Parakkasi, 1999). Penggemukkan sapi/kerbau menggunakan sistem feedlot adalah cara termurah pada kondisi negara-negara maju seperti Amerika. Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemeliharaan secara feedlot pada ternak sapi/kerbau adalah ketersediaan feeder (sapi/kerbau yang digemukkan), ketersediaan hijauan (segar/kering), konsentrat selama periode penggemukkan, ketersediaan pasar yang baik, dan skill peternak harus terjamin (Parakkasi, 1999). Karakteristik Kerbau dan Sapi Ternak kerbau dan sapi merupakan ternak ruminansia yang memiliki banyak persamaan. Salah satu persamaan antara ternak sapi dan kerbau adalah saluran pencernaan dan proses yang terjadi di dalamya. Pencernaan ruminansia pada umumnya dilakukan secara mekanik, fermentatif, dan enzimatik. Proses mekanik terdiri dari pengunyahan atau perombakkan pakan didalam mulut menjadi partikel yang lebih halus dan kontraksi yang terjadi di sepanjang usus. Pencernaan fermentatif dilakukan oleh mikrobia yang hidup dalam beberapa bagian saluran pencernaan ternak ruminansia, pada umumnya pencernaan fermentatif terjadi di rumen. Pencernaan enzimatis dilakukan enzim yang dihasilkan oleh sel-sel tubuh yang berupa getah pencernaan (Tillman et al., 1991). Lambung ternak kerbau/sapi terdiri dari empat bagian, yaitu retikulum, rumen, omasum, dan abomasums. Pada bagian retikulum terjadi proses pencernaan secara mekanis, pada rumen terjadi proses fermentasi yang dibantu oleh mikroorganisme (bakteri dan protozoa) yang terkandung di dalamnya, dan pada bagian omasum dan abomasum terjadi proses pencernaan secara enzimatis (Tillman et al., 1991). Saluran pencernaan pakan yang sama antara sapi dan kerbau tidak berarti kedua jenis ternak ini memiliki kapasitas fisiologi nutrisi dan feeding behavior yang 12
sama. Menurut Suhubdy (2007) ternak kerbau memiliki potensi yang relatif mudah dari segi kapasitas fisiologi nutrisi dan feeding behaviour, sehingga akan cocok hidup pada kondisi lingkungan yang bervariasi. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7. Perbandingan Kondisi Fisiologis Nutrisi Kerbau dan Sapi Karakteristik Jenis pakan Konsumsi BK pakan Pola makan Kapasitas rumen/perut Jumlah mikroba dalam rumen Pergerakan rumen Waktu tinggal pakan dalam rumen Aktivitas ruminasia Laju produksi saliva Kecernaan
Laju pakan Metabolisme puasa (kkal/Wkg0,75) Habitat
Kerbau Tidak terbatas/ tidak selektif Relatif sedikit Merumput Lebih besar Lebih banyak, bacteria selulotik = 6,86x 108/ml Relatif lambat Lebih lama
Sapi Terbatas/ selektif Relatif banyak Merumput Relatif kecil Relatif sedikit, bacteria selulotik = 2,58 x 108/ml Relatif cepat Relatif cepat
Lama Cepat Lebih efisien terutama untuk pakan berkualitas rendah Lama Rendah (68,4)
Relatif cepat Lambat Kurang efisien
Cepat Tinggi (81,6)
Semi-aquatik
Dataran kering
Sumber : Suhubdy (2007)
Penelitian terhadap sepuluh ekor ternak kerbau persilangan Filipina dan sepuluh ekor sapi persilangan Phillippine dengan sistem pemeliharaan dan umur yang sama (18-24 bulan) menunjukkan bahwa ternak kerbau memiliki konsumsi pakan, konsumsi nutrient (PK, TDN, dan EM), pertambahan bobot badan, bobot potong, dan konversi pakan yang lebih tinggi dibandingkan ternak sapi (Lapitan et al., 2008). Tabel 8, memperlihatkan hasil penelitian tersebut.
13
Tabel 8. Perbandingan Performa Kerbau dan Sapi yang Digemukkan Pada Sistem Pemeliharaan dan Umur yang Sama Parameter Konsumsi BK Total (g/BW0,75/day) Konsumsi PK Total (g/BW0,75/day) Konsumsi TDN Total (g/BW0,75/day) Konsumsi ME Total (kcal/day) BB Potong (kg) PBBH (g/day) FCR
Sapi Persilangan 81,2
Kerbau Persilangan 93,0**
SEM 0,03
7,75
8,64**
0,14
41,3
49,9**
1,31
9,68
14,2
0,61
296,3 362,5 14,5
389,3* 493,9* 14,8
12,8 22,9 0,79
Keterangan : *P<0,01 (sangat berbeda nyata), **P<0,05 (berbeda nyata), SEM (Standart Erorr of The Mean) Sumber : (Lapitan et al., 2008)
Performa ternak kerbau yang lebih baik pada penelitian di Filipina berbanding terbalik dengan tingkat konsumsi daging kerbau di Indonesia. Seperti contohnya konsumsi daging kerbau di daerah Banten, Jawa Barat lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi daging sapi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satu diantaranya adalah kualitas fisik daging kerbau yang berada di daerah Banten memiliki nilai keempukkan yang rendah atau tergolong daging keras, lemak yang berada pada ternak kerbau berwarna putih gelap dan putih kekuning-kuningan. Hal ini dikarenakan sistem pemeliharaan, umur potong dan bahan pakan yang diberikan pada ternak kerbau berbeda dengan ternak sapi (Rosmaya, 2011). Sapi Peranakan Ongole Sapi peranakan ongole (PO) merupakan sapi hasil persilangan antara sapi sumba ongole dengan sapi setempat di Jawa menghasilkan anakan yang mirip sapi ongole (Sarwono dan Arianto, 2003). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sapi PO baik dalam menanggapi perubahan maupun perbaikan pakan. Secara fisiologis sapi PO mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan tropis (Astuti, 2003). Ciri-ciri sapi ongole menurut Sudarmono dan Sugeng (2008) yaitu, ukuran tubuhnya besar dan panjang, warna tubuhnya putih, tetapi warna leher dan punuk sampai leher berwarna putih keabu-abuan sedangkan lututnya hitam. Kepalanya berukuran panjang, sedangkan telinganya agak tergantung, tanduknya
14
pendek dan tumpul yang pada bagian pangkalnya berukuran besar, tubuh kearah luar belakang. Sapi ongole juga memiliki gelambir yang lebar, bergantung, dan berlipat yang tumbuh sampai tali pusar. Karakterisrik Sapi PO dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Sapi Peranakan Ongole Kebutuhan Nutrisi Ternak Kerbau dan Sapi Usaha Peternakan sangat dipengaruhi oleh biaya produksi yaitu biaya pembelian pakan untuk ternak, maka dari itu pengusaha peternakan harus efisien dalam menggunakan pakan tetapi tetap harus memenuhi kebutuhan nutrisi ternak. Faktor yang mempengaruhi jumlah konsumsi pakan adalah faktor ternak, faktor bahan pakan, dan faktor lingkungan tempat pemeliharaan ternak. Faktor ternak meliputi bobot badan, jenis kelamin, umur, genetik, dan tipe produksi (susu atau daging). Faktor bahan pakan meliputi sifat fisik pakan, komposisi pakan, kecernaan, dan tingkat konsumsi pakan. Sedangkan, faktor lingkungan yang secara langsung mempengaruhi adalah temperatur, kelembaban, dan sinar matahari tempat pemeliharaan ternak (Parakkasi, 1999). Pemberian pakan pada ternak harus memperhatikan komposisi pada pakan yang diberikan. Pakan yang diberikan pada ternak yang dipelihara secara intensif dalam program penggemukkan harus memiliki kandungan protein yang tinggi dan 15
kandungan lemak yang rendah. Kadar lemak yang dianggap ideal berkisar 8-12 persen atau konsumsi lemak/porsi : 8-9 g (Parakkasi 1999). Kebutuhan komposisi pakan suatu ternak dapat dilihat dari bobot badan ternak tersebut, hal ini dapat di lihat pada Tabel 9. Tabel 9. Kebutuhan Zat Makanan Sapi Pedaging Jantan Berkerangka Sedang dalam Masa Pertumbuhan dan Penggemukkan (Konsentrasi dalam Bahan Kering) Bobot badan (kg) 180
PBB
Konsumsi Protein (kg) 0,57 0,65 0,72 0,78
Protein (%)
0,6 0,9 1,1 1,4
Konsumsi Bahan Kering (kg) 4,8 5,0 5,0 4,9
225
13,4 13,1 14,4 16,1
2,24 2,40 2,56 2,80
61,5 65,5 70,0 76,5
0,6 0,9 1,1 1,4
5,7 5,8 5,9 5,8
0,61 0,68 0,76 0,81
10,7 11,7 12,8 14,1
2,24 2,40 2,56 2,80
61,5 65,5 70,0 76,5
0,6 6,5 0,65 0,9 6,7 0,72 1,1 6,8 0,79 1,4 6,6 0,81 Sumber : National Research Council, 1984
10,0 10,8 11,6 12,7
2,24 2,40 2,56 2,80
61,5 65,5 70,0 76,5
270
ME TDN (Mkal/kg) (%)
Minyak Ikan Lemuru Menurut Rusmana et al. (2008) minyak ikan lemuru (Sardinella longiseps) merupakan hasil samping pada industri pengalengan ikan lemuru yang cukup potensial sebagai sumber asam lemak tak jenuh dengan kandungan sekitar 85,61%. Minyak ikan lemuru dapat dimanfaatkan sebagai alternatif penangkap hidrogen (hydrogen sinks) sehingga dapat menurunkan produksi gas metan. Ransum yang banyak mengandung hijauan, sedikit banyak meningkatkan produksi metan dalam rumen. Beberapa sifat positif dari penambahan lemak dalam ransum ruminan adalah menurunkan produksi metan dalam rumen. Penambahan asam lemak tak jenuh dapat menurunkan produksi metan tersebut, dengan demikian akan meningkatkan efisiensi penggunaan energi dan dengan pemberian minyak ikan akan meningkatkan produksi propionat (Parakkasi, 1999).
16
Asam lemak yang masuk ke dalam rumen akan mengalami biohidrogenasi yaitu terjadinya proses pengikatan hidrogen oleh asam lemak tak jenuh pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk radikal kompleks antara hidrogen dan asam lemak tak jenuh (Ketaren, 1986). Asam lemak tidak jenuh dalam minyak ikan dapat digolongkan menjadi tiga jenis yaitu asam linoleat (omega-3), linoleat (omega-6), dan oleat (omega-9). Diantara ketiga jenis asam lemak tak jenuh ini, asam linoleat (omega 3) adalah asam lemak tak jenuh yang sangat penting bagi gizi dan kesehatan. EPA dan DHA adalah produksi dari omega-3 yang sangat berperan dalam meningkatkan kecerdasan otak anak dan mempercepat pertumbuhan anak (Simopaulus, 2002). Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK) Proses perlindungan pakan yang mengandung lemak (asam lemak poli tak jenuh) dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti saponifikasi, menggunakan formalin, menggunakan hidrolisis basa, dan hidrolisis asam. Campuran garam karboksilat kering merupakan jenis perlindungan pakan dengan cara hidrolisis asam. Minyak ikan yang diolah menggunakan proses hidrolisis asam memiliki waktu yang lebih singkat dibandingkan proses hidrolisis basa. Pembuatan Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK) menurut Tasse (2010) adalah dengan membuat garam karboksilat terlebih dahulu melalui proses kimiawi dengan mereaksikan bahan lemak, larutan asam klorida (HCL) dan KOH,
garam karboksilat yang telah
terbentuk dicampur dengan onggok 1:5. Setelah tercampur dengan merata campuran garam karboksilat dan onggok dikereringkan menggunakan oven bersuhu 32˚C hingga kadar air 15%. Menurut Tasse (2010) pemberian campuran garam karboksilat kering dalam pakan sapi perah dapat menghasilkan inkorporasi EPA dan DHA dalam lemak susu. Mekanisme proteksi asam lemak tak jenuh tidak didasari oleh titik cair asam lemak tetapi pada level keasaman atau pH rumen dan usus halus. Garam kalium akan tetap utuh pada lingkungan netral (pH 6-7), tetapi akan terurai pada lingkungan asam (pH 2-3). Pada lingkungan pH asam garam kalsium dipisahkan dalam bentuk lemak dan kalium, saat itu lemak akan terbebas dan mudah dipecah dan diserap.
17
Body Scoring Penilaian suatu kondisi ternak dengan mengevaluasi nilai perlemakan serta penonjolan kerangka dengan menduga rataan kondisi sapi dalam suatu pemeliharaan disebut skor kondisi tubuh (body scoring). Skor kondisi tubuh merupakan metode penilaian secara visual yang mempertimbangkan frame size atau bentuk tubuh (Phillips, 2001). Kondisi tubuh dinilai dari satu (sangat kurus) sampai lima (sangat gemuk). Pembagian lima point kategori skor kondisi pada umumnya berdasarka nilai perlemakan dan perdagingan sapi, penggunaan metode ini pertama kali dikemukakan tahun1917 digunakan untuk memprediksi rasio antara nilai lemak dan bukan lemak pada sapi (Phillips, 2001). Penggunaan skor kondisi tubuh dalam melihat kondisi tubuh ternak pada pertumbuhan dan perlemakan memiliki banyak keuntungan, diantaranya adalah mudah dipelajari, cepat, sederhana, murah, tidak memerlukan alat khusus dan cukup akurat dalam beberapa situasi manajemen dan penelitian. (Rutter et al, 2000). Gambar dan penjelasan mengenai kriteria skor body scoring dapat dilihat pada lampiran 13.
18