10
TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Berdasarkan undang-undang no 52 tahun 2009 tentang kependudukan dan pembangunan keluarga, Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Salah satu pendekatan teori yang digunakan dalam institusi keluarga adalah pendekatan teori struktural-fungsional. Teori struktural fungsional berangkat dari asumsi, bahwa suatu keluarga terdiri dari berbagai bagian yang saling mempengaruhi. Teori ini mencari unsur-unsur yang mendasar yang berpengaruh di dalam suatu keluarga, mengklasifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi unsur-unsur tersebut bekerja di dalam keluarga. Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi dasar , yang pertama keluarga terbentuk atas substruktur-substruktur fungsi mereka masing-masing, saling bergantungan, sehingga perubahan yang terjadi dalam fungsi satu substruktur, akan mempengaruhi pada substruktur lainnya. Kedua, setiap substruktur yang telah mantap akan menopang aktivitas-aktivitas atau substruktur lainnya (Puspitawati 2009). Teori struktural-fungsional memiliki dua aspek yaitu aspek struktural dan aspek fungsional. Aspek struktural menjelaskan ketertiban sosial akan akan dapat tercipta kalau ada struktur dalam keluarga. Elemen-elemen utama dalam struktur internal keluarga yang saling berhubungan yaitu : status sosial, fungsi sosial , fungsi instrumental, fungsi ekspresif dan norma sosial (Puspitawati 2009). Menurut Parsons dan Bales (1955) dan Rice dan Tuker (1986) dalam Puspitawati (2009), peran orangtua di dalam keluarga terbagi menjadi dua yaitu peran instrumental dan peran ekspresif. Peran instrumental diharapkan dilakukan oleh seorang suami atau bapak. Peran instrumental dikaitkan dengan peran mencari nafkah untuk kelangsungan hidup seluruh anggota keluarga. Sedangkan peran emosional atau ekspresif yang biasanya dipegang oleh figur istri atau ibu. Peran ekspresif adalah peran pemberi cinta , kelembutan dan kasih sayang. Peran ini bertujuan untuk mengintegrasikan atau menciptakan suasana yang harmonis bagi
11
keluarga. Diferensiasi peran ini diharapkan dapat menuju satu sistem keseimbangan. Aspek fungsional sulit dipisahkan dengan aspek struktural karena keduanya saling berkaitan. Arti fungsi disini dikaitkan dengan bagaiman sebuah sistem atau subsistem dalam masyarakat dapat saling berhubungan dan dapat menjadi sebuah kesatuan solid. Keluarga yang fungsional adalah keluarga yang berfungsi stabil , harmoni, dan sempurna dari segala segi (Puspitawati,2009). Menurut Saxton (1990) dalam Puspitawati (2009) keluarga berperan dalam menciptakan stabilitas, pemeliharaan, kesetiaan, dan dukungan bagi anggotanya. Namun apabila fungsi keluarga tersebut tidak dapat dilakukan dengan optimal, maka akan timbul berbagai hal yang negatif baik bagi anggota keluarga itu sendiri maupun bagi masyarakat.
Faktor Keluarga yang Berhubungan dengan Perilaku Konsumsi Rokok dan Minuman Beralkohol Remaja Gaya pengasuhan Kategorisasi gaya pengasuhan yang sudah dikenal dan diterima secara luas adalah kategorisasi Baumrind (Baumrind 1991) dalam Wise (2003). Dua dimensi yang termasuk dalam kategorisasi ini adalah : penerimaan dan dukungan (yang ditunjukkan orang tua melalui kehangatan dan ekspresi cinta) serta pengendalian yang terbagi menjadi pengendalian berdasarkan alasan induktif dan pengendalian berdasarkan penggunaan kekuasaan orangtua. Pengasuhan authoritative ditandai dengan penerimaan dan pengendalian yang tinggi, authoritarian ditandai dengan tinggi pengendalian dan rendah dalam penerimaan, sedangkan pengasuhan yang permissive ditandai dengan tingginya kehangatan dan rendahnya pengendalian. Banyak studi menemukan bahwa pengawasan supervisi orangtua dapat memprediksi perilaku antisosial dan penggunaan zat-zat berbahaya oleh anak. (Darling et al. 2004). Gaya pengasuhan dianggap mewakili iklim emosional global di mana fungsi keluarga, dapat juga mensosialisasikan kepada anak-anak konten yang lebih spesifik melalui praktek pengasuhan anti-merokok yang mencakup aspek sosialisasi yang bertujuan untuk meminimalisasi perilaku merokok remaja (Darling dan Cumsille 2003). Upaya orangtua dalam melakukan
12
pemantauan umumnya dianggap faktor kunci dalam menjelaskan dan mencegah perilaku merokok remaja dan termasuk komunikasi orangtua-anak tentang penggunaan narkoba dan substansi spesifik (Huver et al 2007). Komunikasi orangtua-anak tentang merokok, misalnya, telah memberikan manfaat terkait dengan penurunan tingkat merokok (Chassin et al 1996). Selanjutnya Huver et al (2007) menyatakan bahwa penetapan aturan dirumah tentang aturan merokok dikaitkan dengan penurunan risiko merokok pada remaja . Keterlibatan orang tua ditemukan merupakan perlindungan langsung terhadap perilaku merokok dan melindungi secara tidak langsung melalui pengaruh pengambilan risiko, religiusitas, dan kenakalan (Wynn 2000). Harapan orangtua tentang prestasi akademik anak-anak mereka dapat menjadi pelindung bagi sebagian orang, anak laki-laki yang orangtuanya mengharapkan mereka untuk berperilaku baik di sekolah, memiliki kemungkinan kecil menjadi perokok, bahkan dapat mengendalikan pencapaian Indeks Prestasi (scal et al 2003). Satu studi menemukan, bahwa pemantauan orang tua secara tidak langsung mendorong penurunan angka merokok tetapi pemantauan orangtua hanya berperan kecil pada pembatasan kesempatan anak, untuk bergaul dengan teman sebaya yang merokok (Caldwell dan Darling 1999 ; Darling dan Cumsille, 2003). Darling & Cumsille (2003) menyatakan bahwa pemantauan orang tua yang buruk, mungkin memiliki efek negatif sederhana hanya selama masa pertengahan kanak-kanak dan mungkin menjadi lebih bermasalah ketika anak semakin bertambah usia dan menjadi remaja. Pierce et al (2002) dalam penelitiannya menyatakan pengasuhan authoritative berpengaruh terhadap perilaku merokok remaja. Remaja dengan orangtua yang authorithative cenderung tidak merokok dibandingkan dengan remaja dari keluarga yang memberikan pengasuhan authoritarian dan pengasuhan permissive. Gaya pengasuhan orangtua, baik gaya pengasuhan ayah maupun gaya pengasuhan ibu, menentukan terbentuknya perilaku konsumsi minuman beralkohol pada anak. Anak yang memiliki ikatan emosional yang kuat dengan anggota keluarga memiliki risiko yang lebih rendah untuk terlibat dengan perilaku menyimpang (Durkin et al. 1999). Anak akan lebih berisiko untuk mengkonsumsi alkohol, apabila orangtua tidak memberikan larangan konsumsi alkohol dengan
13
tegas dan tidak memberikan pengawasan yang ketat kepada anak agar tidak mengkonsumsi minuman beralkohol (Jackson et al. 1997). Sebaliknya pemberian arahan positif, semangat, kasih sayang dan pelukan dari orangtua, serta tetap memberikan aturan dan pengawasan, memiliki kecenderungan rendah bagi remaja untuk mengkonsumsi minuman beralkohol (Jackson et al. 1997). Studi oleh Cohen and Rice (1997), juga menemukan bahwa remaja yang merokok dan mengkonsumsi minuman beralkohol memiliki orangtua dengan pengasuhan yang tidak authorithative. Dengan kata lain, remaja yang menerima pengasuhan authorithative, memiliki kecenderungan yang rendah untuk terlibat dengan minuman beralkohol dibandingkan dengan remaja yang menerima pengasuhan yang tidak authorithative. Pada Tabel 1 di bawah ini ditampilkan berbagai hasil penelitian yang menunjukkan hubungan antara gaya pengasuhan dengan perilaku konsumsi rokok dan minuman beralkohol remaja. Tabel 1. Hasil Penelitian Gaya Pengasuhan dengan Perilaku Konsumsi Rokok dan Minuman Beralkohol No
Judul Penelitian
Peneliti
1
Pengaruh orangtua dan teman sebaya pada perilaku konsumsi rokok dan minuman beralkohol remaja Apakah gaya pengasuhan orangtua mempengaruhi perilaku konsumsi minuman beralkohol pada siswa sekolah menengah dan mahasiswa Pengaruh sosial pada penggunaan zat berbahaya oleh remaja Gaya pengasuhan serta pengetahuan dan perilaku konsumsi rokok remaja Perilaku konsumsi rokok harian pada siswa sekolah menengah di Columbia: Gender terkait dengan faktor psikososial Hubungan antara gaya pengasuhan dan perilaku berisiko bagi kesehatan remaja: Ulasan literatur terintegrasi Perilaku konsumsi rokok pada siswa sekolah menengah di Poland Status perilaku konsumsi rokok dan faktor-faktor terkait pada siswa sekolah menengah di Isfahan
Morton et al
Tahun Penelitian 2001
Kusmierski et al
2002
Morton et al
2007
Huver et al
2007
Mantilla et al
2008
Newman K et al
2008
Kaminska et al
2008
Kazemi et al
2008
2
3 4 5
6
7 8
14 Tabel 1. Hasil Penelitian Gaya Pengasuhan dengan Perilaku Konsumsi Rokok dan Minuman Beralkohol (Lanjutan) No Judul Penelitian Peneliti Tahun Penelitian 9 Faktor risiko yang terkait dengan Scholte et al 2008 perilaku konsumsi minuman beralkohol remaja: peran perilaku konsumsi minuman beralkohol ayah, ibu, saudara kandung, dan teman sebaya 2010 National Institute on 10 Gaya pengasuhan untuk mencegah Alcohol Abuse and perilaku konsumsi minuman Alcoholism beralkohol pada anak Wattananonsakul et al 2010 11 Pemetaan pada perilaku konsumsi rokok dan minuman beralkohol: Peran keberfungsian keluarga, pengasuhan yang penuh dukungan, pengendalian diri, faktor risiko dan faktor pelindung pada remaja Thailand 12 Dampak dan strategi pengasuhan Yang et al 2010 pada perilaku konsumsi rokok anak : Peran pembentukan harga diri pada anak 13 Eksplorasi hubungan antara gaya Javdan et al 2011 pengasuhan dan zat-zat berbahaya pada siswa sekolah menengah di Minab
Perilaku konsumsi rokok orangtua Perilaku merokok pada orangtua memberi kemungkinan pada remaja, untuk memandang perilaku merokok dalam konteks yang positif. Paparan model ini, dapat meningkatkan kemungkinan bahwa seorang remaja akan mencoba rokok, jika ada yang menawarkan (Darling & Cumsille 2003). Buller et al. 2003 juga menemukan bahwa perilaku konsumsi rokok orangtua memberikan pengaruh yang kuat bagi terbentuknya perilaku konsumsi rokok anak. Berbagai hasil telah dilaporkan oleh sejumlah besar studi yang menyelidiki hubungan antara perilaku merokok orangtua dan perilaku merokok remaja, dalam sebuah ringkasan dari 27 studi prospektif, Conrad et al (1992) menemukan bahwa, dari 15 orangtua perokok, variabel orangtua ini memprediksi perilaku merokok tujuh remaja. Dalam sebuah penelitian di tujuh negara Eropa, Griesbach et al (2003) menemukan bahwa tingkat perilaku merokok remaja di empat negara lebih tinggi
15
dua kali lipat, jika remaja tersebut setidaknya memiliki satu orangtua perokok. Demikian pula, Kodl dan Mermelstein (2004) menemukan bahwa anak-anak dengan setidaknya salah satu orang tua sebagai seorang perokok dua kali lebih mungkin untuk bereksperimen dengan merokok dan dua setengah kali lebih mungkin untuk melampaui eksperimentasi awal. Ennett et al (2001) menemukan perilaku merokok orangtua meramalkan inisiasi merokok dan kebiasaan konsumsi alkohol pada remaja, dan Kebiasaan minum orangtua meramalkan peningkatan penggunaan tembakau remaja. Perlu diingat bahwa status merokok orangtua dapat menjadi prediktor dari perilaku merokok remaja. Hal ini tentu saja terkait dengan ketersediaan rokok di rumah. Orangtua dapat menjadi perokok tanpa memberikan akses kepada anak untuk mendapatkan rokok. Hal ini tampak sebagai salah satu strategi efektif, untuk mencegah anak merokok (Huver et al. 2007).
Perilaku konsumsi Minuman beralkohol orangtua Hasil penelitian Van der Vorst et al. (2005) menunjukkan bahwa perilaku konsumsi minuman beralkohol pada anak berhubungan dengan perilaku konsumsi minuman beralkohol pada orangtua. Selain itu remaja yang memilki orangtua peminum berat juga memiliki kecenderungan untuk remaja tersebut menjadi peminum berat (Cohen dan Rice 1997).
Faktor Diri yang Berhubungan dengan Perilaku Konsumsi Rokok dan Minuman Beralkohol Remaja Usia Perilaku merokok pada saat ini dimulai pada usia yang semakin muda. Berdasarkan hasil penelitian Zapata et al (2004) , pada tahun 2002 sekitar 25 persen remaja berusia 12 tahun memiliki kebiasaan merokok dan proporsi remaja dengan kebiasaan merokok ini lebih tinggi pada remaja berusia 17 tahun, yaitu sebesar 66 persen. Semakin muda usia remaja memulai
merokok, maka
kecenderungan untuk menjadi perokok akan semakin tinggi dan akan semakin sulit untuk berhenti merokok (Breslau dan Peterson 1996).
16
Jenis kelamin Terdapat perbedaan gender yang cukup bermakna dalam hal memiliki perilaku berisiko pada remaja di Filipina. Remaja laki – laki di Filipina lebih banyak yang mengkonsumsi minuman beralkohol, merokok dan menggunakan obat-obatan terlarang dibandingkan dengan remaja perempuan. Menurut Kann et al. (2000) Terdapat perbedaan gender yang sangat besar dalam hal memiliki perilaku yang berisiko pada remaja di negara – negara Asia dibandingkan dengan Amerika Serikat. Perbedaan gender yang cukup bermakna pada remaja di Asia dalam hal memiliki perilaku yang berisiko, adalah hasil dari norma sosial yang berlaku di masyarakat. Pada masyarakat Filipina, secara umum, lebih memberikan kebebasan pada laki – laki untuk melakukan berbagai aktifitas sosial dibandingkan dengan perempuan. Orangtua di Filipina akan membiarkan anak laki – lakinya untuk merokok maupun mengkonsumsi minuman beralkohol, tetapi tidak akan membiarkan anak perempuan untuk memiliki perilaku-perilaku tersebut. Hal tersebut memberikan indikasi bahwa laki laki akan dimengerti atau diterima oleh lingkungan, apabila memiliki perilaku berisiko seperti merokok dan mengkonsumsi minuman beralkohol, dibandingkan dengan perempuan (Choe 2001).
Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan pengukuran dapat dilakukan dengan memberikan pertanyaan subjektif tentang isi materi yang ingin diukur, pertanyaan ini membutuhkan jawaban dalam bentuk essay. Selain itu pengukuran pengetahuan juga dapat dilakukan dengan memberikan pertanyaan objektif, yaitu pertanyaan yang jawabannya sudah tersedia seperti pilihan ganda, benar atau salah, atau menjodohkan.
17
Sikap Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2007) sikap merupakan keadaan mental dan saraf dari kesiapan yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamika atau terarah terhadap respon individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari individu terhadap suatu stimulus atau objek. Salah satu faktor yang mempengaruhi sikap seseorang adalah kepercayaan dirinya. Teknik yang sederhana dalam melakukan pengukuran sikap adalah dengan menempatkan benda atau orang ke dalam dua kategori pilihan seperti setuju atau tidak setuju. Teknik yang lebih komplek adalah dengan menempatkan benda atau orang ke dalam kategori yang pilihannya lebih dari dua seperti sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, sangat tidak setuju.
Faktor Eksternal yang Berhubungan dengan Perilaku Konsumsi Rokok dan Minuman Beralkohol pada Remaja Teman Sebaya Selama beberapa tahun, banyak peneliti di Amerika telah menyimpulkan bahwa bahwa teman sebaya memberikan pengaruh nyata pada perkembangan remaja, tetapi ada juga beberapa peneliti yang menyangkal bahwa teman sebaya mempengaruhi kehidupan sosial remaja. Oleh karena itu penting untuk diketahui bagaimana bentuk interaksi remaja dengan teman sebaya baik yang memberikan pengaruh positif ataupun negatif terhadap perilaku remaja (Lerner et al. 2004).
Struktur hubungan pertemanan remaja dengan teman sebaya Hubungan pertemanan adalah konteks sosial yang penuh dengan tantangan, khususnya pada masa remaja karena gambaran hubungan dengan teman sebaya pada masa ini bersifat kompleks dan bertingkat. Para peneliti membagi interaksi antara remaja dan dan teman sebaya kedalam tiga tingkatan yang berbeda. Pertama, tingkatan diadic(ikatan dua orang) praktik hubungan pertemanan ini, pada umumnya telah dipelajari oleh setiap individu remaja sejak masa balita. Tingkatan yang kedua jelas terbentuk sebelum masa remaja. terdiri dari kelompok-kelompok kecil rekan-rekan yang secara teratur berinteraksi satu sama
18
lain. Dikarenakan kelompok remaja bebas dari pengawasan orang dewasa, kelompok remaja leluasa dalam membentuk pola perilaku baik perilaku antisosial maupun pola perilaku prososial. Tingkat ketiga interaksi pertemanan remaja ini sering dikenal sebagai suatu komunitas sehingga tiap individu remaja tidak dapat mengenal satu sama lain secara pribadi. Seperti pergantian rekan kelas karena adanya perpindahan kelas pada sekolah dasar maupun sekolah menengah. Perluasan hubungan pertemanan pada tingkatan ini lebih bersifat kognitif daripada perilaku, serta bersifat simbolis dalam interaksional. Selain itu terdapat hubungan formal dari beberapa kelompok remaja dalam sekolah atau lingkungan yang mendapat pengawasan dari orang dewasa. Misalnya kelompok atau mitra dalam laboratorium, kelompok olah raga tertentu, kelompok berdasarkan ekstrakurikuler ataupun kelompok pemuda yang dibentuk oleh suatu komunitas maupun kegiatan keagamaan. Hubungan pertemanan pada tingkatan ini jarang sekali diteliti sehingga tidak dapat digambarkan dengan jelas bentuk hubungannya dikarenakan waktu interaksi pertemanan yang singka (Lerner et al. 2004).
Perilaku konsumsi rokok teman sebaya Teman sebaya didefinisikan oleh Australian Institute Health and Welfare dalam dalam National Drug Strategy Household Survey (2004) sebagai orangorang dengan usia yang sama yang memiliki identifikasi sosial dengan satu sama lain. Kebanyakan penelitian menemukan perilaku merokok oleh teman sebaya menjadi salah satu faktor risiko terkuat untuk perilaku merokok remaja, terutama dalam kaitannya dengan mencoba merokok (scal et al 2003) Ada juga bukti substansial yang menunjukkan bahwa perilaku merokok teman sebaya lebih berpengaruh pada remaja daripada perilaku merokok orangtua (Griffin et al. 1999). Seorang remaja jauh lebih mungkin untuk merokok jika temannya perokok (Tyas dan Pedersen. 1998). Analisis data dari Survei Pemuda di Tennessee menemukan bahwa kemungkinan terjadinya perilaku merokok pada remaja yang pernah merokok menjadi dua kali lipat setiap memiliki teman dekat yang merokok (Goodrow et al. 2003).
19
Perilaku konsumsi minuman beralkohol teman sebaya Teman sebaya mempengaruhi remaja untuk mengkonsumsi alkohol dengan dua cara, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Cara teman sebaya mempengaruhi secara langsung yaitu dengan aktif dan eksplisit mengajak temannya untuk mengkonsumsi minuman beralkohol , seperti mengajak untuk konsumsi minuman beralkohol dengan teman – teman, ataupun menawarkan minuman alkohol gratis. Sedangkan cara tidak langsung yang digunakan oleh teman sebaya untuk mempengaruhi temannya misalnya dengan memberikan informasi bahwa perilaku konsumsi minuman beralkohol, adalah perilaku yang diterima masyarakat dan dikagumi oleh remaja seusia mereka (Borsari et al. 2001). Menurut Jackson (1997) perilaku konsumsi minuman beralkohol teman sebaya memberikan pengaruh yang lebih kuat dibandingkan pengaruh perilaku konsumsi minuman beralkohol orangtua terhadap pembentukan perilaku konsumsi minuman beralkohol remaja. Teman sebaya juga memiliki peran yang signifikan dalam pembentukan kebiasaan untuk terus mengkonsumsi minuman beralkohol pada saat remaja menjadi individu dewasa (Scholte et al. 2008). Perilaku Perilaku adalah segenap manifestasi hayati individu dalam berinteraksi dengan lingkungan mulai dari perilaku yang nampak sampai yang tidak tampak, dari yang dirasakan sampai yang paling tidak dirasakan (Dimyati 1990). Skinner
(1938)
dalam
Notoatmodjo
(2007)
menyatakan,
perilaku
merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori skinner ini dikatakan sebagai teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respon.
Perilaku konsumsi rokok Terdapat variasi definisi tentang perilaku merokok pada remaja. Australian Institute Health and Welfare dalam National Drug Strategy Household Survey (2004), menyatakan 'pernah merokok’ meski tidak pernah teratur sebagai perilaku. Merokok sebagai bentuk perilaku merupakan manifestasi dari kebutuhan-
20
kebutuhan tertentu yang dapat terpuaskan apabila seseorang merokok. Perilaku merokok merupakan reaksi seseorang dengan cara mengisap rokok yang dapat diamati atau diukur dengan melihat volume atau frekuensi merokok seseorang (Shiffman 1993). White dan Hayman (2004) mendefinisikan perilaku merokok berdasarkan frekuensi merokok dalam hari/minggu/bulan. Sementara Okuyemi et al (2002) mendefinisikan perilaku merokok berdasarkan
jumlah rokok yang
dihisap per hari . Mayhew et al (2000) mendefinisikan perilaku merokok pada remaja dengan mengkategorikan sesuai dengan tahap perkembangan dari merokok (misalnya inisiasi, eksperimen , dan seterusnya). Smet (1994) mendefinisikan perokok sebagai banyaknya rokok yang dihisap, yaitu : a. Perokok berat yang menghisap lebih dari 15 batang rokok dalam sehari b. Perokok sedang yang menghisap 5 – 14 batang rokok dalam sehari c. Perokok ringan yang menghisap 1-4 batang rokok dalam sehari.
Perilaku konsumsi minuman beralkohol Menurut Wresniwiro (1999) berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.: 86/Men.Kes/Per/IV/77, yang dimaksud dengan minuman keras adalah semua jenis minuman beralkohol, tetapi bukan obat yang meliputi minuman keras golongan A, minuman keras golongan B dan minuman keras golongan C. Minuman keras golongan A adalah minuman keras dengan kadar ethanol dari 1% sampai 5%. Minuman keras golongan B adalah minuman keras dengan kadar ethanol lebih dari 5% sampai dengan 20%. Minuman keras golongan C adalah minuman keras dengan kadar ethanol lebih dari 20% sampai dengan 55%. Menurut Wresniwiro (1999) berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 3 tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, yang dimaksud dengan minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung ethanol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi, baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau tidak, maupun yang diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan alkohol atau dengan cara pengenceran minuman yang mengandung ethanol.
21
Tahapan mengenai perilaku minum-minuman keras dan obat-obatan berbahaya dikemukakan oleh Furhmann (1990), yang membedakan menjadi tiga yaitu, (a) eksperimen, (b) kebiasaan, dan (c) ketergantungan. Pada tahap eksperimen, biasanya seseorang menggunakan alkohol bila seseorang berada di tengah-tengah kelompoknya. Toleransi terhadap obat-obatan maupun minuman keras pada tahap ini masih rendah. Tahap kebiasaan akan terjadi jika pada tahap eksperimen penggunaannya makin meningkat. Individu akan berusaha mencari teman sebaya yang juga menggunakan obat-obatan. Pada tahap ini sudah muncul gejala-gejala peningkatan toleransi untuk mendapatkan efek seperti yang didapatkan sebelumnya. Tahap ketergantungan terjadi jika keinginan untuk menggunakan secara teratur sudah makin meningkat. Muncul gangguan yang bersifat fisik maupun psikologis, seperti kehilangan kesadaran (blackout), berat badan menurun drastis, suka memberontak, melawan orang tua dan tidak mampu bekerja dengan baik.