4
TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Wilayah Kota Ternate Kota Ternate secara geografis terletak antara 0o-2o LU dan 126o-128o BT, dibatasi oleh Laut Maluku di sebelah utara, selatan dan barat sedangkan di sebelah timur dibatasi oleh selat Halmahera. Wilayah Kota Ternate memiliki luas 249,75 km2
yang terdiri dari
2
Kecamatan Pulau Ternate dengan luas daratan 174,13 km , Kecamatan Ternate Selatan dengan luas daratan 53,56 km2 dan Kecamatan Ternate Utara dengan luas daratan 22,06 km2. Jumlah penduduk pada tahun 2006 adalah 148.946 jiwa (Ternate dalam Angka, 2006) Keadaan suhu minimum di Kota Ternate 24 oC dan suhu maksimum 31
o
C dengan suhu rataan adalah 27,5
o
C. Kelembaban udara 82% dan
intensitas penyinaran matahari 58%. Kecepatan angin minimum 19,16 km/jam, dengan arah angin 265o (Stasiun Meteorologi Babullah Ternate, 2003). Sementara menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (2003), pulau Ternate mempunyai tipe iklim IVB, yaitu memiliki curah hujan 3000-4000 mm/tahun dengan pola berfluktuasi, iklim basah dengan curah hujan < 100 mm/bulan selama kurang lebih 2 bulan, curah hujan 100-150 mm/bulan selama kurang lebih 3 bulan dan curah hujan lebih besar
200
mm/bulan selama 8 sampai 11 bulan. Jenis Tanah di Pulau Ternate Propinsi Maluku Utara Di propinsi Maluku Utara terdiri dari tanah Entisol (Regosol), Inceptisol, Andisol, Oxisol
(Latosol) dan Ultisol (Maluku Utara dalam Angka, 2002).
Sementara jenis tanah pulau Ternate berdasarkan Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor (2002) terdiri dari : Dystrudept, Eutrudept, Hapludalf, Hapludult, Hapludox dan Eutrudox. Elevasinya < 750 m dari permukaan laut, regim suhu isohiperthemic dan regim kelembaban termasuk udik. Fisiografi dataran sampai perbukitan dan pegunungan, dengan kelerengan antara 8-40 %. Tanah dilokasi penelitian ini didominasi oleh Inceptisol, yang mempunyai sifat dan ciri tanah sebagai berikut :
5
a. Inceptisol Inceptisol
adalah
tanah-tanah
yang
masih
relatif
muda,
yang
perkembangannya setingkat diatas Entisol. Jika entisol belum menunjukkan adanya horison bawah penciri yang jelas sebagai hasil proses pedogenesis, pada Inceptisol telah terbentuk hasil proses tersebut, walaupun belum memenuhi syarat penciri order lainnya. Pada kebanyakan Inceptisol penciri tersebut adalah horison kambik (Rachim, 2007). Horison dibagian permukaan mengalami proses eluviasi bahan atau senyawa (seperti liat, bahan organik, senyawa besi, alumunium dan basa-basa). Menurut Soil Survey Staff (2006), konsep sentral Inceptisol adalah tanah-tanah dari daerah dingin atau sangat panas, lembab, sub lembab dan memiliki horison kambik dan epipedon okrik. Order Inceptisol mencakup tanah-tanah yang variasi cukup lebar. Di beberapa daerah tanah ini mempunyai perkembangan minimum, dan di daerah lain telah mempunyai horison penciri yang hanya tidak memenuhi syarat kriteria order lain. Inceptisol di pulau Ternate, terdiri dari sub ordo Udept. Tanah ini memiliki regim suhu isohipertermik dan berkembang dibawah regim kelembaban udik. Udept terdiri dari Eutrudepts dan Dystrudepts. Eutrudepts adalah udept yang memiliki
kejenuhan basa 50% atau lebih pada kedalaman 25 cm sampai
100 cm, dan Dystrudepts adalah Udept yang memiliki kejenuhan basa kurang dari 50% (Rachim, 2002). Inceptisol adalah tanah-tanah yang baru berkembang kecuali dapat memiliki epipedon ockhrik dan horison albik seperti yang dimiliki oleh tanah Andisol juga mempunyai beberapa sifat penciri lain (misal ; horison kambik) tetapi belum memenuhi syarat bagi ordo tanah yang lain. Inceptisol adalah tanah yang belum matang dengan perkembangan profil yang lebih lemah dibandingkan dengan tanah matang dan masih banyak menyerupai sifat bahan induknya (Birkeland, 1974). Inceptisol dapat mempunyai satu atau lebih macam horison penciri dan epipedon. Penciri-penciri tersebut adalah epipedon okrik, antropik, histik, molik plagen, atau umbrik. Namun hanya sedikit Inceptisol yang mempunyai epipedon molik. Epipedon molik tertahan pada tanah dengan kejenuhan basa rendah dibawahnya (Rachim, 2007). Menurut Boul, et al (1980) tanah dengan epipedon molik sebagai Inceptisol, jika epipedon terbentuk dari bahan piroklastik. Epipedon yang sangat
6
umum adalah okrik dan umbrik. Semua tanah yang mempunyai epipedon plagen adalah Inceptisol, dan beberapa tanah dibawah epipedon plagen dianggap terkubur (Rachim, 2007). Horison penciri bawah yang mungkin dimiliki Inceptisol adalah kambik, fragipan, duripan, plasik, kalsik, petroklasik, gipsik, petrogipsik, salik dan sulfurik. Secara tipikal Inceptisol mempunyai horison kambik, namun hal ini tidak diperlukan jika tanah memiliki epipedon molik, umbrik, histik atau plagen, atau jika terdapat fragipan, duripan, atau horison-horison bawah penciri yang telah disebut diatas. Sebaliknya, Inceptisol tidak dapat memiliki horison argilik, kandik atau natrik jika tidak horison-horison tersebut terkubur. Horison oksik dibolehkan ada hanya jika batas atas lebih dalam dari 150 cm. Sedangkan horison spodik boleh ada hanya jika tebalnya < 10 cm, atau jika batas atas > 50 cm dari permukaan tanah mineral dan lapisan-lapisan diatasnya tidak berukuran butir berpasir atau skeletal berpasir (Rachim, 2007). Inceptisol terbentuk diwilayah dengan lingkungan berselang sangat lebar, mulai dari daerah tropik hingga artik, atau menurut Soil Survey Staff (2006) dari daerah ekuator hingga tundra.
Namun konsep sentral Inceptisol adalah
tanah-tanah dari wilayah ustik dan udik, yang telah mengalami perubahan horison akibat dari translokasi Fe, Al atau basa-basa (Soil Survey Staff, 1975). Beberapa contoh tanah Inceptisol antara lain : tanah-tanah yang telah mengalami perubahan nyata akumulasi bahan organik yang agak tebal, dengan KB dipermukaan rendah, tanah-tanah yang telah mengalami pencucian CaCO3 dan terakumulasi dibawah horison kambik.
Namun jika didaerah arid tanah
tersebut dikelompokan sebagai Aridisol. Demikian pula, tanah-tanah berdrainase buruk yang mempunyai permafrost di dalam 100 cm dari permukaan diklaskan sebagai Gelisol. Inceptisol tidak mempunyai regim kelembaban aridik atau torik. Tanah ini biasa terjadi pada landskap yang relatif aktif, seperti lereng gunung dimana proses erosi secara aktif mengenai bahan induk tidak terlapuk, dan lembah sungai dimana sedimen yang relatif tidak terlapuk dideposisikan. Inceptisol dapat terjadi berasosiasi dengan tanah-tanah yang termasuk hampir tiap order (Rachim, 2007). Di Indonesia, Inceptisol termasuk tanah terluas. Pada umumnya tanah ini menempati lahan-lahan yang berasosiasi dengan jalur aliran sungai, dataran pantai, dan formasi yang masih relatif muda. Inceptisol menyebar hampir diseluruh pulau atau propinsi di Indonesia. Potensi terbesar berada di Papua,
7
Sulawesi, Sumatera, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara, Bali, Maluku dan Jawa (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2003). b. Proses Pedogenik Proses pedogenik yang bekerja pada Inceptisol tidak bersifat tunggal, kecuali proses pencucian. Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa semua proses pedogenik aktif hingga beberapa tingkat, tetapi tidak ada yang dominan. Inceptisol basah (Aquept) dicirikan oleh gleisasi aktif yang menghasilkan warna berkroma rendah.
Tanah ini biasanya terbentuk di depresi lanskap, dimana
pencucian lebih ekstensif daripada bagian landskap lainnya. Sebaliknya, proses lessivage dan pembentukan horison argilik agak terhambat, mungkin karena tanah tidak mengalami desikasi (Rachim, 2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembentukan tanah ini secara umum, menurut Hardjowigeno (2003) adalah : 1. Bahan induk yang sangat resisten 2. Posisi dalam landscap yang ekstrim yaitu daerah curam atau lembah. 3. Permukaan geomorfologi yang muda sehingga pembentukan tanah belum lanjut. Faktor-faktor utama yang memungkinkan terbentuk Inceptisol, menurut Rachim (2007) adalah (1) tanah yang berkembang dari bahan sedimen atau landskap yang secara geologi masih muda,
contoh tipikal yaitu : Aluvium,
Koluvium, Abu volkan dan Loess. (2) tanah yang berkembang pada wilayah dimana kondisi lingkungan menghambat proses-proses pembentukan tanah, contoh tipikal yaitu Iklim (suhu rendah dan curah hujan rendah), bahan induk (sangat berkapur dan resisten terhadap pelapukan), hidrologi (muka air yang tinggi dan drainase yang menghalangi ; permafrost). Di
wilayah
tropik seperti Indonesia,
secara fundamental proses
pembentukan Inceptisol adalah sama dengan di wilayah subtropik. Namun ada perbedaan dalam intensitas proses. Pada suhu lebih tinggi kecepatan alterasi jauh lebih besar daripada di wilayah dengan suhu lebih rendah (Rachim, 2007). c. Penggunaan Lahan Interpretasi Inceptisol untuk penggunaan lahan sangat beragam. Di daerah miring sangat cocok untuk pepohonan, tempat rekreasi, atau cagar
8
alam. Inceptisol berdrainase buruk dapat digunakan secara ekstensif untuk tanaman setahun dengan memperbaiki drainase. Di daerah depresi atau dataran rendah pantai utara jawa, tanah ini sangat cocok untuk padi sawah. Sedangkan tanah yang berkembang dari tuf volkan relatif muda merupakan media yang cocok bagi berbagai tanaman,
tergantung pada iklim dan ketersediaan air
(Rachim, 2007). Inceptisol
yang
mempunyai
horison
sulfurik
seperti
Sulfaquept
memerlukan pengelolaan khusus, akibat pH yang sangat rendah (≤ 3,5). sekitar gunung berapi berbagai macam tanaman dapat dikembangkan.
Di Baik
sayuran, palawija, sawah atau tanaman tahunan dapat dikembangkan dengan baik asal sesuai dengan syarat tumbuh utama yaitu iklim (Rachim, 2007). Pada daerah yang kurang air (hanya mengandalkan air hujan) tanah ini banyak ditanami ketela pohon. Jenis-jenis tanaman pohon sangat baik tumbuh pada tanah ini seperti pisang, petai, durian, kelapa, alfukat, kemang, sirsak, rambutan dan lain-lain (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat,
2003). Penggunaan tanah Inceptisol untuk pertanian atau non pertanian adalah beraneka ragam.
Daerah yang berlereng curam diperuntukan untuk hutan,
rekreasi atau cagar alam. Tanah Inceptisol yang berdrainase buruk, dapat dijadikan lahan pertanian setelah drainasenya diperbaiki dan dapat pula dikembangkan tanaman lahan kering (Hardjowigeno, 2003) Bahan Organik dan Peranannya Bahan organik yang berasal dari campuran antara sisa tanaman dan kotoran hewan maupun sampah dan bila telah mengalami dekomposisi oleh mikrooragisme dapat menjadi pupuk organik (Soepardi (1983). Bahan organik mempunyai peranan
penting
terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah.
Peranan bahan organik terhadap sifat fisik tanah antara lain ; kemampuan menahan air meningkat, warna tanah menjadi coklat hingga kehitaman, merangsang granulasi agregat dan memantapkannya, menurunkan plastisitas, kohesi dan sifat buruk lain dari liat. Peranan bahan organik terhadap sifat kimia tanah antara lain ; meningkatkan daya jerap dan kapasitas tukar kation, kation yang mudah dipertukarkan meningkat, unsur N, P dan S diikat dalam bentuk organik atau dalam tubuh mikroorganisme sehingga terhindar dari pencucian kemudian tersedia kembali, pelarutan sejumlah unsur hara dari mineral oleh asam humus. Menurut Hakim et al (1986), peranan bahan organik terhadap sifat
9
biologi tanah ; jumlah dan aktivitas metabolik organisme tanah meningkat, kegiatan jasad mikro dalam membantu dekomposisi bahan organik juga meningkat. Mineralisasi bahan organik menyediakan unsur N, P dan S dalam larutan tanah dan berkorelasi dengan peningkatan hara dalam jaringan tanaman (Miller et al, 1990). Pemberian bahan organik akan mempengaruhi perpindahan ion-ion dari larutan tanah ke dalam akar tanaman, mampu memperbaiki aerasi tanah sehingga perkembangan sistem perakaran berlangsung dengan baik dan daya jangkau akar unsur hara jauh lebih tinggi (Sanchez, 1976). Menurut Anas (1999), bahan organik dapat mempengaruhi sifat tanah antara lain ; memperbaiki struktur tanah, memperbaiki aerasi tanah, meningkatkan jumlah air tersedia bagi tanaman, meningkatkan kesuburan tanah, menurunkan bobot isi tanah dan memudahkan pengolahan tanah.
Selain itu
bahan organik dapat membentuk senyawa beracun bagi tanaman pada kondisi suhu tertentu.
Bahan organik yang berasal dari pupuk kandang, komposisi
haranya tergantung pada jenis hewan, umur hewan, jenis makanan, jenis alas kandang dan cara penyimpanannya (Setyamidjaja, 1990). Kotoran ayam yang dijadikan pupuk organik cukup baik karena rasio C/N relatif rendah yaitu 1-3 (Sutanto, 2002). Komposisi unsur hara pada pupuk kandang ayam terdiri dari 1,7% N, 1,9% P2O5 dan 1,5% K2O. Jumlah bahan organik yang diberikan pada tanah tergantung kadar bahan organik tanah. Pada tanah dengan kadar bahan organik tanah rendah, umumnya penambahan bahan organik berkisar 20 sampai 40 ton/ha. Sementara dengan tanah dengan kadar bahan organik tanah cukup tinggi atau berkisar 3 sampai 4% maka penambahan bahan organik 5 sampai 10 ton/ha relatif cukup (Sudarsono, 2004). Peranan Unsur Hara N P K Unsur hara N P K adalah hara esensial yang diperlukan oleh tanaman dalam jumlah besar untuk memenuhi proses fisiologi dan metabolisme tanaman. Bila unsur hara N P K tersedia dalam jumlah terbatas dalam tanah maka akan menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan dan produksi tanaman. Penyerapan hara oleh tanaman sifatnya selektif dan spesifik, yaitu tanaman hanya menyerap hara
yang
dibutuhkan
dan
sesuai
pertumbuhan tanaman (Marschner, 1986).
dengan
fungsi
berdasarkan
umur
10
Tanaman yang tumbuh harus mengandung N dalam membentuk sel-sel baru. Fotosintesis menghasilkan karbohidrat dari CO2 dan H2O namun proses tersebut tidak dapat berlangsung untuk menghasilkan protein, asam nukleat dan sebagainya bilamana N tidak tersedia. Dengan demikian, bila terjadi kekurangan N akan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman (Leiwakabessy et al, 2003). Banyaknya N yang diserap tiap hari persatuan berat tanaman adalah maksimum pada saat masih muda dan berangsur-angsur menurun dengan bertambah usia tanaman. Faktor penting yang perlu diperhatikan dalam hubungan antara respon tanaman dengan dosis pupuk adalah pada tingkat mana terjadi akumulasi pada tanaman. Tanaman jagung, akumulasi N terjadi pada pertumbuhan satu bulan setelah masa emergensi (Tisdale et al, 1975). Menurut Jones et al (1991) menyatakan bahwa kadar kecukupan N untuk Jagung berkisar 3.5-4,5.0%, kecukupan P 0,5-0,8%, kecukupan K adalah 2,8-3,8% dan untuk ubi jalar kecukupan N 3,3-4,5 %, kecukupan P untuk ubi jalar 0,23-0,5% dan kecukupan K adalah 3,5-4,5%. Respon unsur hara N juga tergantung pada seberapa besar tanaman disuplai oleh unsur hara lain. Hubungan ini telah dibuktikan sejumlah penelitian yaitu pengaruh perlakuan unsur hara lain atas respon tanaman terhadap tingkat pemberian N pada tanaman serelea (biji-bijian).
Hasilnya adalah tanpa
pemberian P dan K maka respon tanaman terhadap tingkat penambahan N adalah rendah, bila dibandingkan dengan pemberian sejumlah hara P dan K yang memadai (Putinella, 1997). Fosfor sangat berpengaruh terhadap perkembangan tanaman.
Hal ini
disebabkan P banyak terdapat dalam sel tanaman berupa unit nukleotida. Sedangkan nukleotida merupakan suatu ikatan yang mengandung P, sebagai penyusun RNA dan DNA yang berperan dalam perkembangan sel tanaman. Peran unsur P pada tanaman jagung terutama pada proses pembentukan biji. Unsur P dapat menstimulir pertumbuhan dan perkembangan perakaran tanaman, keadaan ini berhubungan dengan fungsi P dalam metabolisme sel. Dari percobaan-percobaan pada tanah yang kekurangan P, bila dipupuk P ternyata bahwa pertambahan bagian akar lebih besar jika dibandingkan dengan bagian atas tanaman (Havlin et al, 1999). Peran P pada tanaman umbi-umbian sangat besar dalam pembentukan akar, yang mana akar tersebut akan menimbun sejumlah karbohidrat sehingga
11
ukuran umbi menjadi lebih besar.
Dari banyak penelitian bahwa penambahan
P kedalam tanah dapat meningkatkan hasil tanaman maupun bahan keringnya (Putinella, 1997). Pengaruh unsur K terhadap pertumbuhan tanaman adalah menguatnya jerami dari tanaman biji-bijian, sehingga tidak mudah rebah. Sedangkan pengaruh kalium terhdap produksi tanaman umbi-umbian sangat nyata. Semakin tinggi kadar kalium tanah semakin tinggi kadar tepungnya, kuantitas dan kualitas umbi semakin baik (Putinella, 1997). Beberapa peneliti melaporkan bahwa ada dampak dari K pada asimilasi CO2. Hasil kajian mereka menyatakan bahwa K tidak berpengaruh langsung pada sistem fotosintesis tetapi agaknya mengembangkan sintesa enzim ribulosa bifosfat karbosilase yang menunjukkan meningkatkannya asimilasi CO2. Paralel dengan meningkatnya fotorespirasi dan menurunnya respirasi gelap. Sejumlah penulis mengatakan bahwa K mempertinggi translokasi fotosintat (hasil fotosintesis). Kalium tidak hanya mengembangkan translokasi hasil sintesa fotosintesis yang baru terbentuk tetapi juga berperan pada mobilisasi bahan fotosintesis yang tersimpan (Putinella, 1997). Klasifikasi dan Marfologi Tanaman Jagung Tanaman jagung (Zea mays L) dalam sistematika (taksonomi) tumbuhtumbuhan menurut Warisno (2003) diklasifikasi sebagai berikut : Kingdom
: Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisio
: Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Sub Diviso : Angiospermae (Berbiji tertutup) Classis
: Monocotyledone (berkeping satu)
Ordo
: Gramineae (rumput-rumputan)
Famili
: Graminaeceae
Genus
: Zea
Spesies
: Zea mays
Jagung termasuk pada keluarga graminae dan mulanya berkembang dari jagung tipe dent dan flint. Jagung tipe dent disebut jagung gigi kuda. Jagung ini mempunyai lekukan dipuncak bijinya karena ada pati keras dibagian pinggir dan pati lembek pada bagian puncak biji.
Jagung
tipe flint disebut juga jagung
mutiara, biji jagung ini berbentuk bulat, bagian luarnya keras dan licin. Jagung manis statusnya sebagai jagung hibrid (hasil hibridasi antara jagung tipe dent
12
dan tipe flint kemudian terjadi mutasi (Budiarto, 1996). Sistem perakaran pada tanaman jagung
bervariasi
terdiri atas akar primer (pertama muncul pada
kecambah), akar lateral (memanjang kesamping) dan akar udara atau akar yang tumbuh dari bulu-bulu (Danarti dan Najiyati, 1996). Batang jagung berwarna hijau sampai keunguan berbentuk bulat dengan penampang melintang 2,25 cm, tinggi tanaman berfariasi antara 125-250 cm, batang berbuku-buku dibatasi oleh ruas-ruas. Daun jagung terdiri atas pelepah daun dan helaian daun. Helaian daun memanjang dengan ujung daun meruncing.
Antara pelepah daun dan
helaian daun dibatasi oleh spicula yang berfungsi untuk menghalangi masuknya air hujan atau embun didalam pelepah daun (Suprapto, 1993). Jagung termasuk tanaman berumah satu dengan bunga jantan berwarna putih krem.
Bunga
tanaman ini bersifat monocius dan bungan jantannya mengandung banyak bunga kecil pada ujung batangnya yang disebut tassel.
Bunga betina juga
mengandung banyak bunga kecil yang ujungnya pendek dan datar, pada saat masak disebut tongkol (Warisno, 2003). Syarat Tumbuh Tanaman Jagung Faktor iklim yang paling mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah curah hujan dan suhu. Jumlah dan sebaran curah hujan merupakan dua faktor lingkungan yang memberikan pengaruh terbesar terhadap kualitas jagung (Rukmana, 1997). Menurut Budiarto (1996), secara umum jagung memerlukan air sebanyak 200-300 mm/bulan. Suhu yang baik untuk pertumbuhan jagung manis adalah 210-300 C dan keasaman tanah yang baik adalah 5,5-7,0, dengan ketinggian dari dataran rendah sampai diatas 1.300 meter dari permukaan laut. Tanah yang gembur dan subur sangat dikehendaki untuk pertumbuhan tanaman jagung juga memerlukan aerasi dan draenase yang baik.
Secara umum
tanaman jagung dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dengan syarat tanah tersebut diolah dengan baik. Namun yang terbaik untuk pertumbuhan yaitu yang bertekstur lempung berdebu (Arifudin, 1996). Dosis
anjuran pemupukan rataan adalah urea 200-300 kg/ha, SP-36
100-200 kg/ha dan KCl 50-100 kg/ha.
Pemupukan dapat dilakukan secara
bertahap yaitu pada saat tanam 1/3 dosis urea dengan cara tugal atau diberikan pada larikan tanaman, sedangkan pemupukan SP-36 dan KCl diberikan pada saat tanam dan pemupukan kedua diberikan pada saat tanaman jagung berumur 45 hari yaitu 2/3 dosis urea (Rukmana, 1997).
13
Morfologi Tanaman Ubi Jalar Ubi jalar adalah tanaman semusim yang termasuk dalam klas Dicotyledonae, famili Convolvulaceae, genus Ipomea.
Tanaman ubi jalar
memiliki susunan tubuh utama yang terdiri dari batang, umbi, daun, bunga dan biji.
Batang berbentuk bulat, tidak berkayu, berbuku, tipe pertumbuhan
merambat, panjang batang tipe tegak antara 1-2 meter, sedangkan tipe merambat panjang batang 2-3 meter. Warna batang biasanya hijau tua sampai keungu-unguan (Rukmana, 1997). Menurut Wargiono (1980), bentuk daun ubi jalar bulat, lonjong dan runcing yang umumnya berwarna hijau tua dan kuning.
Tanaman berbatang
besar biasanya berdaun besar, demikian sebaliknya. Bentuk bunga menyerupai torempet dengan satu tangkai putik dan kepala putik pada bagian ujungnya. Bentuk umbi yang ideal adalah lonjong agak panjang, kulitnya tebal dan tipis terdiri dari warna putih, kuning, jingga dan sedikit ungu.
Pada suhu 25o C
tanaman ini tumbuh maksimal, tetapi terhambat jika suhu dibawah 12o C atau diatas 35o C. Sifat lain tanaman ini adalah menyukai cahaya matahari dan curah hujan yang rendah yaitu 600-1600 mm/tahun pada masa pertumbuhannya, umur panen ubi jalar berkisar antara 3-4 bulan (IBPGR, 1980). Tanaman ubi senang tumbuh pada klas tekstur pasir berlempung, gembur, banyak mengandung bahan organik, aerasi dan drainase baik, dengan pH tanah 5,5-7,5. Suhu udara 210-270 C, kelembaban udara 50-60%, curah hujan 750 mm-1500 mm/tahun (Rukmana, 1997). Tanah dengan bobot isi yang tinggi atau kurang aerasi akan menghambat pembentukan umbi sehingga hasilnya menurun. Pada tanah yang terlalu banyak mengandung air, sistem perakaran menjadi terhambat dan pembentukan umbi akan terhambat dan kondisi yang lebih parah lagi maka umbi akan menjadi busuk (Rukmana, 1997). Budidaya ubi jalar di tanah yang kandungan liat tinggi diusahakan dengan pemberian bahan organik agar membantu perkembangan umbi. Hara yang hilang terangkut oleh ubi jalar yang dipanen ternyata cukup tinggi yaitu N 105 kg/ha, P2O5 41 kg/ha dan K2O 210 kg/ha (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 1995). Dosis anjuran pupuk untuk tanaman ubi jalar adalah urea 200 kg/ha, SP-36 50 kg/ha dan KCl 100 kg/ha (Rukmana, 1997).