33
IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1
Letak Geografis dan Administrasi Pemerintahan Provinsi Jawa Timur terletak pada 111˚0’ hingga 114˚4’ Bujur Timur, dan
7˚12’ hingga 8˚48’ Lintang Selatan. Disebelah utara Provinsi Jawa Timur berbatasan dengan Pulau Kalimantan, sebelah timur berbatasan dengan Pulau Bali, selatan dengan Samudera Indonesia.
Sedangkan disebelah barat
berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah. Secara umum, wilayah Provinsi Jawa Timur terbagi dalam dua bagian besar, yaitu Jawa Timur daratan dan Pulau Madura. Dimana luas wilayah Jawa Timur daratan hampir mencakup 90 persen dari seluruh luas wilayah Provinsi Jawa Timur. Luas wilayah Provinsi Jawa Timur sendiri mencapai 47.156 km², terbagi ke dalam 29 kabupaten, 9 kota, dan 657 kecamatan dengan 8.497 desa/kelurahan (785 kelurahan dan 8.484 desa).
Gambar 9 Peta Administrasi Provinsi Jawa Timur Panjang bentangan Jawa Timur pada Barat-Timur sekitar 400 kilometer dan lebar bentangan Utara-Selatan di bagian Barat sekitar 200 kilometer, sedangkan di bagian Timur lebih sempit, hanya sekitar 60 kilometer. Madura adalah pulau terbesar di Jawa Timur, dipisahkan dengan daratan Jawa oleh
34
Selat Madura, sementara Pulau Bawean berada sekitar 150 kilometer sebelah Utara Jawa. Di sebelah Timur Madura terdapat gugusan pulau, paling Timur adalah Kepulauan Kangean, dan paling Utara adalah Kepulauan Masalembu. Di bagian Selatan terdapat dua pulau kecil, Nusa Barung dan Pulau Sempu. Tabel 4 Luas dan Jumlah Kecamatan dan Desa di Jawa Timur No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Kabupaten/Kota Kota Surabaya Kota Mojokerto Kota Madiun Kota Kediri Kota Blitar Kota Malang Kota Pasuruan Kota Probolinggo Kota Batu Kabupaten Gresik Kabupaten Sidoarjo Kabupaten Mojokerto Kabupaten Jombang Kabupaten Lamongan Kabupaten Tuban Kabupaten Bojonegoro Kabupaten Pacitan Kabupaten Magetan Kabupaten Ngawi Kabupaten Ponorogo Kabupaten Madiun Kabupaten Trenggalek Kabupaten Tulungagung Kabupaten Nganjuk Kabupaten Kediri Kabupaten Blitar Kabupaten Malang Kabupaten Pasuruan Kabupaten Probolinggo Kabupaten Lumajang Kabupaten Jember Kabupaten Bondowoso Kabupaten Situbondo Kabupaten Banyuwangi Kabupaten Bangkalan Kabupaten Sampang Kabupaten Pamekasan Kabupaten Sumenep TOTAL
Luas (Ha) 355 1.647 3.392 6.340 3.258 11.006 3.658 5.212 19.408 119.513 71.479 96.936 115.950 181.280 185.840 230.706 141.944 68.885 129.794 150.291 101.086 126.140 113.167 122.434 138.605 162.880 351.753 147.357 169.617 179.080 329.334 156.010 163.850 345.669 124.888 122.887 79.126 199.854 4.713.015
Kecamatan 31 2 3 3 3 5 3 5 3 18 18 18 21 27 20 27 12 18 19 21 15 14 19 20 26 22 33 24 24 21 31 23 17 24 18 14 13 27 662
Desa 163 18 27 46 21 57 34 29 24 356 353 304 306 474 328 430 171 235 217 305 206 157 271 284 344 248 390 365 330 205 248 219 136 217 281 186 189 332 8.506
4.2 Iklim Jawa Timur memiliki iklim tropis basah. Dibandingkan wilayah Pulau Jawa bagian barat, Jawa Timur pada umumnya memiliki curah hujan lebih sedikit.
35
Curah hujan rata-rata 1.900 mm per tahun, dengan musim hujan selama 100 hari. Suhu rata-rata berkisar 21-34°C. Suhu di daerah pegunungan lebih rendah, bahkan di daerah Ranu Pane (lereng Gunung Semeru), suhu bisa mencapai minus 4°C, yang menyebabkan turunnya salju lembut.
Gambar 10 Curah Hujan Rata-rata Provinsi Jawa Timur
Suhu tertinggi terjadi pada Oktober dan November (35,3°C), dan terendah di bulan Agustus (19,3°C) dengan kelembaban 39%-97%. Tekanan udara tertinggi di bulan Agustus sebesar 1.012,0 Milibar. Jumlah curah hujan terbanyak terjadi di bulan Februari. Rata-rata penyinaran matahari terlama di bulan Agustus, sedangkan terendah di bulan April. Kecepatan angin tertinggi terjadi di bulan Oktober, dan terendah di bulan April.
4.3 Kondisi Topografi Provinsi Jawa Timur dapat dibedakan menjadi tiga wilayah dataran, yakni dataran tinggi, sedang, dan rendah. Dataran tinggi merupakan daerah dengan ketinggian rata-rata di atas 100 meter dari permukaan laut (Magetan, Trenggalek, Blitar, Malang, Batu, Bondowoso). Dataran sedang mempunyai ketinggian 45100 meter di atas permukaan laut (Ponorogo, Tulungagung, Kediri, Lumajang, Jember, Nganjuk, Madiun, Ngawi). Kabupaten/kota (20) sisanya berada di
36
daerah dataran rendah, yakni dengan ketinggian di bawah 45 meter dari permukaan laut.
Gambar 11 Ketinggian Wilayah diatas Permukaan Laut
4.4 Kondisi Sosial Penduduk di Jawa Timur Jumlah penduduk Jawa Timur pada tahun 2009 adalah 37.286.246 jiwa (BPS, 2010). Kota Surabaya mempunyai jumlah penduduk yang paling besar, yaitu 2.631.305 jiwa diikuti Kabupaten Malang 2.425.311 jiwa dan Kabupaten Jember 2.327.957 jiwa. Kepadatan penduduk Jawa Timur tahun 2009 adalah 803 jiwa setiap km2. Dari segi kependudukan, terdapat ketidakmerataan persebaran penduduk sebagai human capital untuk modal pembangunan. Sebagian besar penduduk terkonsentrasi di Kota Surabaya (18,88%) dan Kabupaten Sidoarjo (10,83%), sementara kabupaten/kota lainnya memiliki jumlah penduduk dengan proporsi kurang dari kurang dari 6%, bahkan Kepulauan Madura, Kabupaten Ngawi, dan Kabupaten Pacitan memiliki konsentrasi penduduk terendah, yaitu kurang dari 0,8% dari total penduduk Jawa Timur. Besaran Surabaya ditinjau dari jumlah penduduk adalah dua kali Sidoarjo sebagai kabupaten terbesar kedua, dan hampir 4 kali Kota dan Kabupaten Malang. Surabaya dibandingkan kabupaten terkecil di Jatim, yakni Pacitan, besarannya hampir enam puluh kali lipat. Demikian, kesenjangan yang sangat besar terkait dengan besaran kota dan
37
modal sumberdaya manusia untuk pembangunan. Penduduk Jawa Timur mayoritas (46,18%) memiliki mata pencaharian di bidang pertanian, selebihnya bekerja di sektor perdagangan (18,80%), sektor jasa (12,78%), dan sektor industri (12,51%). Berdasarkan laporan terakhir dari Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, pada tahun 2009 jumlah Desa Pangkuan Hutan (DPH) sebanyak 1.902 desa, dengan luas Pangkuan Hutan sebesar 894.026,2 hektar. Dalam upaya pemberdayaan masyarakat desa sekitar hutan, telah terbentuk desa PHBM sebanyak 1.746 desa, dengan jumlah rumah tangga sebanyak 1.053.321 kepala keluarga.
4.5 Kondisi Prasarana Wilayah Pada 2007, panjang jalan raya di Jawa Timur mencapai 3.900,19 km terbagai atas jalan nasional (1.899,21 km), dan jalan Provinsi (2.000,98 km). Dari total panjang jalan tersebut, 16,06% di antaranya dalam kondisi baik, 65,18% lainnya dalam kondisi sedang, dan sisanya sebesar 18,76% dalam kondisi rusak ringan dan berat. Jika dilihat panjang jalan Provinsi yang 2.000,98 km, maka 5,35% (107,09 km) di antaranya dalam kondisi rusak berat; dan 14,58% (291,68 km) rusak ringan; 75,50% (1.510,63 km) dalam kondisi sedang; dan 4,58% (91,58 km) sisanya dalam kondisi baik. Total jumlah jembatan di Jawa Timur 2.740 buah, dengan panjang 34.385 meter, yang terbagi atas jembatan nasional sebanyak 1.306 buah dengan panjang 21.365 meter, dan jembatan Provinsi 1.216 buah dengan panjang 13.018 meter. Dari total jumlah jembatan tersebut, 2.491 buah (90,91%) atau sepanjang 31.463 meter di antaranya dalam kondisi baik. Keberadaan sarana prasarana wilayah, secara langsung maupun tidak langsung juga dipengaruhi oleh keberadaan dan kelestarian sumber daya hutan dan lahan. Ketidakmampuan sumber daya hutan dan lahan dalam pengaturan dan penyangga kondisi hidroorologi wilayah DAS dapat menyebabkan hancur dan rusaknya sarana prasarana wilayah seperti jalan dan jembatan. Banjir di Situbono yang menghancurkan jaringan jalan dan jembatan, adalah contoh nyata betapa besar peranan sumber daya hutan bagi kelestarian hasil pembangunan.
38
4.6 Produk Domestik Regional Bruto Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur atas dasar harga berlaku (ADHB) pada periode 2003-2008 menunjukkan kecenderungan terus meningkat sejalan kian membaiknya kondisi perekonomian. Pada 2004 sebesar Rp 341.065 miliar; 2005 (Rp 403.392 miliar); 2006 (Rp 470.627 miliar); 2007 (Rp 534.919 miliar); dan pada 2008 (Rp 621.582 miliar). Sedangkan berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan (ADHK) 2000, menunjukkan kecenderungan pertumbuhan ekonomi Jawa Timur terus membaik, meski pada 2006 terjadi sedikit perlambatan dibanding 2005, namun pada 2007 pertumbuhan ekonomi Jawa Timur meningkat kembali. Perlambatan pertumbuhan ekonomi pada 2006, antara lain, disebabkan dampak negatif kenaikan harga BBM dua kali, dan cukai rokok pada 2005, serta ditambah dampak luapan lumpur panas Lapindo. Pada 2003, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur hanya sebesar 4,78%, kemudian meningkat menjadi 5,83% pada 2004, dan meningkat tipis menjadi 5,84% pada 2005. Pertumbuhan ekonomi melambat menjadi 5,80% pada 2006, namun pada tahun berikutnya (2007) meningkat menjadi 6,11%. Tapi pada 2008, pertumbuhan ekonomi kembali melambat menjadi 5,90%, meski masih di atas angka pertumbuhan 2005. Melemahnya pertumbuhan ekonomi 2008 antara lain disebabkan dampak krisis ekonomi global. Jawa Timur berada pada posisi kedua dalam memberikan kontribusi ekspor nasional. Pesatnya pertumbuhan ekspor ini didukung oleh 10 komoditas utama Jawa Timur, yaitu pengolahan tembaga, timah; kimia dasar; pengolahan kayu; besi baja; pulp dan kertas; makanan dan minuman; tekstil; pengolahan karet; udang dan alat-alat listrik. Kesepuluh komoditas tersebut memberikan kontribusi terbesar terhadap ekspor Jawa Timur, yaitu sebesar 78,10%. Di sisi lain, Jatim masih memiliki kebutuhan terhadap komoditas-komoditas yang belum dapat memenuhi kebutuhan domestik atau kualitas berada di bawah kebutuhan domestik, sehingga diperlukan impor terhadap komoditas tersebut. Adapun sepuluh komoditas utama impor non-migas Jawa Timur adalah besi baja, kimia dasar, makanan dan minuman, makanan ternak, pulp dan kertas, hasil pertanian, pengolahan aluminium, barang-barang kimia, tekstil dan biji lainnya. Potensi ekonomi wilayah tersebar secara merata di Jawa Timur. Namun demikian, ada yang potensi itu bernilai besar secara ekonomi, atau sebaliknya.
39
4.7 Penggunaan Lahan Secara garis besar penggunaan lahan di Provinsi Jawa Timur dibagi dalam kelompok Kawasan lindung yang terdiri dari kawasan suaka alam, pelestarian alam dan perlindungan bawaan serta kawasan budidaya yang terdiri dari kawasan pertanian, perkebunan, perikanan, permukiman, industri dan perairan darat. Penggunaan lahan yang dominan adalah lahan pertanian tanah kering yang tersebar di seluruh Provinsi Jawa Timur. Penggunaan kedua terbesar adalah kawasan hutan produksi dan pemukiman, pemukiman, selanjutnya penggunaan penggunaanpenggunaan yang lain seperti hutan rakyat, perkebunan, hutan lindung, kawasan suaka alam, perikanan dan rawa/danau/waduk, dan industri .
Guna Lahan Eksisting
Kawasan Pertanian
7% 5% 1% 0%
Kawasan Hutan Produksi
8%
Kawasan Pemukiman
42%
8%
Kawasan Hutan Rakyat Kawasan Perkebunan
12% 17%
Hutan Lindung Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam
Gambar 12 Penggunaan Lahan Tahun 2011
Selama 5 tahun terakhir (2003-2007) (2003 2007) rerata per tahun alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian yaitu perumahan/bangunan rata-rata rata seluas 879,9 Ha (33,68%), industri seluas 403, 3 Ha(15,44%), prasarana seluas 123 Ha (4,71%), lahan kering seluas 168,6 Ha (6,45%), perkebunan seluas 249, 8 Ha (9, 56%), tambak seluas 618,5 Ha (23,68 %) dan pemanfaatan lain-lain lain n seluas 169,2 Ha (6,48%). Beralihnya fungsi lahan pertanian ke non pertanian yang tidak diimbangi pembangunan irigasi akan mempengaruhi perkembangan areal pertanian yang kemudian menjadi kendala bagi peningkatan ketahanan pangan di Jawa Timur. Meningkatnya a jumlah penduduk akan mempengaruhi luas kepemilikan lahan akibat pergeseran penguasaan lahan pertanian dari petani ke non petani. Hal ini nampaknya yang harus menjadi perhatian karena semakin menyempitnya
40
penguasaan lahan akan semakin sempit skala usaha ttani ani dan akan semakin kecil hasil usaha yang diperolehnya. Isu krusial lainnya adalah meningkatnya kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir secara ilegal di sungai Brantas, pendudukan kawasan hutan, alih fungsi hutan lindung, yang mengakibatkan ekskalasi bencana terutama banjir dan longsor, bahkan dikhawatirkan banjir di wilayah DAS Bengawan Solo mengancam daerah daerah-daerah daerah yang telah diprediksi sebagai pusat pertumbuhan investasi. Daerah Daerah-daerah daerah dimaksud antara lain Bojonegoro (eksplorasi migas), Tuban an (pabrik semen gresik dan pelabuhan), Lamongan (shore base) dan Gresik (kawasan industri dan pelabuhan). Bencana lainnya yang perlu mendapat perhatian adalah Lusi (luapan lumpur Sidoarjo) yang menjadi bencana nasional.
4.8 Kondisi Hutan Jawa Timur Luas kawasan hutan tetap di Jawa Timur adalah 1.364.395,82 Ha atau sekitar 28% % dari luasan daratan. Kawasan hutan ini terdiri dari kawasan hutan lindung seluas 314.720,50 Ha (23,07%), kawasan hutan konservasi seluas 233.828,50 Ha (17,14%) dan kawasan hutan pro produksi duksi seluas 815.850,61 Ha (59,79%).
18.008,60
297,50
176.696,20
27.868,30
Hutan Produksi 10.957,90
Hutan Lindung Cagar Alam
315.505,30
815.062,02
Suaka Margasatwa Taman Wisata Alam
Gambar 13 Sebaran Kawasan Hutan di Provinsi Jawa Timur
Kawasan hutan terluas erluas adalah hutan produksi d dimana imana hutan produksi ini pengelolaannya diserahkan kepada Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Selain mengelola hutan produksi Perum perhutani juga mengelola hutan lindung. Kawasan hutan yang lain dikelola oleh UPT Departemen Kehutanan berupa cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional dan taman wisata alam sedangkan Dinas Kehutanan Provinsi mengelola Taman Hutan Raya R. Soerjo Soerjo.
41
Tabel 5 Luas Penutupan Lahan dalam Kawasan Hutan dan Luar Kawasan Hutan Berdasarkan Penafsiran Ctra Satelit Landsat 7 ETM+ 2009/2010 oleh Departemen Kehutanan No
Tutupan Lahan 1 Hutan Hutan Primer Hutan Sekunder Hutan Tanaman 2 Non Hutan 3 Tidak ada data Total
KSA-KPA 209,9 130 53,1 26,8 20,4 0 230,3
Kawasan Hutan x 1000 Ha Hutan Tetap HL HPT HP Jumlah 274,9 0 605,7 1090,5 90,7 0 33,3 254 93,7 0 60 206,8 90,5 0 512,4 629,7 40,6 0 205,8 266,8 0 0 0 0 315,5 0 811,5 1357,3
HPK 0 0 0 0 0 0 0
Total APL (x Jumlah x Jumlah 1000 Ha) % 1000 Ha 1090,5 457 1547,5 31,7 254 26,1 280,1 5,7 206,8 58,6 265,4 5,4 629,7 372,3 1002 20,5 266,8 3067,4 3334,2 68,3 0 0 0 0,0 1357,3 3524,4 4881,7 100,0
Sumber : Statitik Kehutanan Indonesia 2010 (Kementrian Kehutanan, Juli 2011)
Menurut Undang-undang 41 Tahun 1999 Pasal 18 ayat 2, luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional, dengan demikian Propinsi Jawa Timur perlu menambah luas kawasan hutan sekitar ± 2 % atau menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Timur Tahun 20092029 disebutkan bahwan rencana perluasan kawasan hutan Propinsi Jawa Timur seluas 400.000 Ha. Total kawasan hutan terluas berada di Kabupaten Banyuwangi, Jember dan Malang.
Kawasan konservasi terluas berada di Kabupaten Banyuwangi,
dimana terdapat Taman Nasional Baluran dan Alas Purwo serta cagar alam Kawah Ijen sebagai kawasan lindung. Kawasan hutan lindung terluas berada di Kabupaten Malang dan dan Jember sedangkan hutan produksi terluas berada di Bojonegoro dan Banyuwangi. Berdasarkan fungsi hutan, kawasan hutan yang dapat diperkenankan ditebang hanya pada hutan produksi yang tidak termasuk dalam kriteria kawasan lindung, sedangkan pada hutan lindung dan hutan konservasi pada hakekatnya lebih dititik beratkan sebagai fungsi ekologi, oleh karenanya harus tetap dipertahankan kelestariannya dan tidak diperkenankan untuk ditebang. Namun kondisi saat ini banyak fungsi kawasan hutan tidak optimal atau tidak seimbangnya antara manfaat lingkungan atau ekologi, manfaat sosial dan manfaat ekonomi secara lestari, hal ini karena disamping luasnya belum memenuhi syarat luas minimal, juga kawasan hutan banyak mengalami kerusakan dan alih fungsi lahan.
42
Kerusakan hutan Perum Perhutani berupa tanah kritis/ kosong/ gundul/ tidak berhutan sesuai data statistik tahun 2010 seluas + 160.000 Ha belum termasuk penjarahan yang mengakibatkan utama terjadinya bencana banjir dan tanah longsor di Kabupaten / Kota pada wilayah 3 (tiga) Daerah Aliran Sungai (DAS), DAS Brantas, DAS Sampean Madura, dan DAS Bengawan Solo yang setiap tahunnya meningkat. Tabel 6 Data Luas Kawasan Hutan Provinsi Jawa Timur
NO.
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
KAB/KOTA
2 Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Ngawi Madiun Magetan Ponorogo Pacitan Nganjuk Jombang Mojokerto Kediri Kediri (Kota) Trenggalek Tulungagung Blitar Malang Kota Batu Pasuruan Probolinggo Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Lumajang Jember Bondowoso Situbondo Banyuwangi Kota Surabaya Sidoarjo TOTAL
PRODUKSI (Ha)
LINDUNG (Ha)
4 90.579,30 50.783,40 33.034,70 1.017,00 42.093,60 40.631,92 3.498,00 31.519,20 1.769,40 43.341,10 18.840,00 11.595,70 13.844,60 556,20 44.169,70 31.545,72 23.387,55 45.239,90 3.464,30 14.663,40 23.971,50 2.592,80 674,30 592,70 21.280,40 23.341,20 32.038,48 29.160,95 48.370,00 78.876,60 `
5 1.516,30 730,80 252,90 3.085,90 5.314,40 3.982,00 16.987,00 241,80 7.708,60 874,40 4.402,70 8.217,00 107,40 17.988,40 8.642,40 11.863,10 39.889,70 2.965,60 7.225,30 22.650,80 673,90 58,40 274,40 20.974,30 11.493,00 39.821,80 30.674,60 9.527,90 37.355,20 -
Cagar Alam 6 3,00 740,00 218,40 19,00 877,00 50,40 430,00 6.118,80 2.497,80 3,50
KAWASAN HUTAN (Ha) KAWASAN KONSERVASI (Ha) Suaka Taman Taman TAHURA Margasatw Wisata Nasional a Alam 7 8 9 10 3.831,60 - 2.864,70 - 11.411,80 - 18.692,96 3.585,70 - 5.342,50 205,50 4.642,52 4.663,60 7.452,00 - 3.600,37 - 23.340,35 4.375,00 - 28.370,00 1.275,00 1.075,00 - 25.000,00 92,00 73.050,00 -
815.062,02 315.505,30 10.957,90 18.008,60
JUMLAH
LUAS 11 3,00 4.571,60 218,40 2.864,70 11.411,80 19,00 23.155,66 5.342,50 9.562,02 11.052,37 430,00 23.340,35 38.863,80 3.772,80 26.075,00 73.145,50 -
TOTAL (Ha) 12 92.095,60 51.517,20 5.588,60 45.179,50 45.946,32 7.480,00 48.724,60 2.011,20 51.049,70 22.579,10 27.410,20 22.080,60 663,60 62.158,10 40.188,12 35.250,65 108.285,26 11.772,40 31.450,72 57.674,67 3.266,70 732,70 867,10 42.684,70 58.174,55 110.724,08 63.608,35 83.972,90 189.377,30 -
297,50 176.696,20 27.868,30 233.828,50 1.364.395,82
Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur
Terjadinya bencana alam berupa banjir, tanah longsor di beberapa daerah dalam tahun-tahun terakhir ini merupakan indikasi bahwa fisik kawasan hutan diperlukan kebijakan penebangan hutan produksi pada kawasan yang tidak termasuk dalam kriteria kawasan lindung, dengan ketentuan kelerengan
43
40% atau lebih, sempadan sungai/ anak sungai/ waduk/danau/ rawa/pantai/ sumber mata air, rawan bencana alam, dan daerah resapan serta sudah mencapai umur masak tebang, percepatan rehabilitasi, dan penataan kembali fungsi hutan utamanya hutan produksi yang disesuaikan dengan topografi, jenis tanah, iklim. Hutan produksi dimaksudkan untuk menyediakan komoditas hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan untuk keperluan industri, sekaligus untuk melindungi kawasan hutan yang ditetapkan sebagai hutan lindung dan hutan konservasi dari kerusakan akibat pengambilan hasil hutan yang tidak terkendali.
Perum
Perhutani sebagai pengelola hutan produksi hanya mampu melaksanakan rehabilitasi kawasan hutan maksimal 37.000 Ha setiap tahunnya sedangkan kawasan hutan yang kritis/kosong/gundul/ tidak berhutan setiap tahunnya terus meningkat. Sebagai upaya penertiban, pengendalian dan percepatan rehabilitasi hutan produksi agar dapat dicapai keseimbangan hutan sebagai fungsi ekologi, ekonomi dan sosial Pemerintah Provinsi Jawa Timur menerapkan penertiban dan pengendalian hutan produksi dengan mengatur Jatah Produksi Tebang Perum Perhutani Unit II setiap tahunnya. Dengan diberlakukannya JPT (Jatah Produksi Tebang) disatu sisi diharapkan akan meningkatkan fungsi ekologi akan tetapi disisi lain terjadi penurunan pasokan bahan baku kayu untuk industri. Perum Perhutani unit II sebelum diberlakukan JPT merupakan penghasil bahan baku kayu terutama jati terbesar di Jawa Timur. Dengan adanya JPT yang semakin menurun setiap tahun pasokan kayu dari Perhutani hanya sekitar 0,5% dari kebutuhan bahan baku kayu IPHHK. Saat ini kekurangan pasokan ini mulai dipenuhi dari kayu rakyat yang berasal dari hutan rakyat.
4.9 Perkembangan Hutan Rakyat di Jawa Timur Pembangunan hutan rakyat bertujuan untuk rehabilitasi lahan dan konservasi tanah serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan hutan rakyat pada awalnya dilakukan dengan proyek kegiatan penghijauan. Namun setelah masyarakat merasa mendapat keuntungan ekonomi, maka masyarakat mengembangkan sendiri sehingga terbentuklah sentra-sentra hutan rakyat. Masyarakat mengembangkan hutan rakyat dengan model yang berbedabeda. Pemilihan model tersebut didasarkan pada pengalaman petani yang diduga berdasarkan kesesuaian jenis dengan lokasi tempat tumbuh, kebiasaan petani dan pasar kayu. Hutan rakyat telah memperbaiki kondisi lingkungan,
44
sosial dan ekonomi petani dan masyarakat. Namun demikian, pengembangan hutan rakyat sangat spesifik sehingga pengembangannya harus memperhatikan kondisi biofisik, sosial, ekonomi, budaya, kelembagaan, dan preferensi petani terhadap pola hutan rakyat yang dikembangkan. Perkembangan
hutan
rakyat
tidak
terlepas
dari
perkembangan
penanganan lahan kritis. Pada mulanya hutan rakyat diperkenalkan melalui program Karang Kitri. Hutan rakyat dibangun dan dikembangkan dengan tujuan untuk menghijaukan pekarangan, talun, dan lahan-lahan rakyat yang gundul untuk konservasi tanah dan air serta perbaikan lingkungan. Namun pada perkembangan selanjutnya, hutan rakyat ditujukan pula untuk perbaikan sosial ekonomi dan pemenuhan kebutuhan bahan baku industri. Program pembangunan hutan rakyat oleh pemerintah merupakan usaha untuk mengatasi masalah kerusakan hutan dan erosi yang telah dimulai sejak tahun 1961, dengan dilaksanakannya program Pekan Penghijauan Nasional untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi lahan dan konservasi tanah. Selanjutnya pada kurun waktu tahun 1970-an telah dilaksanakan
proyek-proyek
konservasi
tanah
secara
vegetatif
berupa
pengembangan hutan pada lahan petani yang dikombinasilkan dengan tanaman pertanian
(semusim).
Pola
ini
berkembang
sebagai
usaha
wanatani
(agroforestry) dan pada akhirnya pola ini relatif dominan dalam pengembangan hutan rakyat selanjutnya. Dilihat dari fungsi dibangunnya hutan rakyat, maka hutan
rakyat
merupakan
bentuk
pengelolaan
lahan
yang
sangat
mempertimbangkan segi kelestarian hasil dan konservasi namun tetap memberi peluang untuk meningkatkan hasil tanaman, pendapatan, dan perbaikan kesejahteraan petani. Salah satu dampak dari kegiatan tersebut adalah berkembangnya sentra-sentra hutan rakyat di berbagai daerah. Pada awal perkembangannya, hutan rakyat hanya merupakan program penghijauan dari pemerintah baik berupa konservasi lahan kritis dan kering maupun program penghijauan pekarangan. Teknisnya, masyarakat diberikan bibit oleh dinas Kehutanan Kabupaten lalu masyakarakat yang dikoordinir oleh kepala desa dan petugas penyuluh menanam bibit tanaman keras di lahan milik baik pekarangan maupun tegalan.
Pengembangan hutan rakyat kurang
memperhatikan kesejahteraan petani sehingga pengembangan hutan rakyat dianggap kurang bernilai (Cahyono et al., 2002a) dan kurang mendapat perhatian (Ekawati et al., 2003).
45
Departemen Kehutanan telah lama memprogramkan pengembangan hutan rakyat dan selalu mengalami perbaikan, misalnya, program sengonisasi, program
penghijauan,
program
hutan
rakyat
daerah
transmigrasi
dan
sebagainya. Bahkan sejak tahun 1984 terdapat Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah di kabupaten yang berfungsi untuk mengurusi hutan rakyat. Meskipun demikian, pengembangan hutan rakyat belum dilakukan sepenuhnya oleh petani. Di beberapa tempat, masyarakat masih enggan mengembangkan lahannya untuk dijadikan hutan rakyat (Departemen Kehutanan, 1997). Bahkan masyarakat yang sudah mengembangkan hutan rakyat kembali mengusahakan lahannya untuk usahatani semusim seperti terjadi di daerah Ponorogo, Wonogiri, dan Boyolali (Donie, 1996a) dan Bangkalan (Indrawati et al., 1997). Kalaupun ada, pada awalnya konsep pengelolaan hutan rakyat sangat sederhana yaitu hanya
menanami
tanah
milik
dengan
tanaman
berkayu
dan
membiarkannya tumbuh tanpa pengelolaan intensif. Tahun 2002, pemerintah mencanangkan proyek Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) atau Gerhan untuk menangani lahan kritis
di lahan milik penduduk maupun di hutan negara (dalam maupun luar
kawasan hutan). Tabel 7 Data Luas Lahan Kritis di Provinsi Jawa Timur No 1
Wilayah
2006
2007
Tahun 2008
2009
2010
Luar Kawasan Hutan
430.827,68 400.151,02 383.482,72 453.769,48 407.088,06
- DAS Brantas
116.101,81 104.116,02 183.792,65
95.490,41
87.299,29
- DAS Solo
128.020,90 111.995,00
44.205,07
44.405,78
- DAS Sampean
186.704,97 184.040,00 139.780,00 314.074,00 275.382,99
2
Hutan Produksi
148.684,82 119.150,10
3
Kawasan Konservasi Total
5.518,00
4.518,00
59.910,07 70.189,00
33.515,20
14.473,77
5.865,35
5.868,82
3.153,57
585.030,50 523.819,12 459.537,07 493.153,50 424.715,40
Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur (2011)
Penanganan lahan kritis tersebut dilakukan baik secara teknis vegetatif maupun sipil teknis. Salah satu teknis vegetatif penanganan lahan kritis adalah dengan pengembangan/pembangunan hutan rakyat. Proyek ini terutama sukses di lahan milik penduduk karena dalam perkembangannya masyarakat mulai akrab dengan tehnik-tekhnik budidaya hutan, seperti perbanyakan tanaman metode stek, sambung dan cangkok. Berkembang juga model penanaman beragam jenis dan beragam lapisan tanaman (multi layer), serta cara
46
pemanenan kayu yang tidak merusak tanaman lain. Pelaksanaan GNRHL di Provinsi Jawa Timur tingkat keberhasilannya mencapai 99,6% atau sebesar 311.246 ha dari rencana 312.632 ha. Tahun-tahun terakhir petani hutan rakyat mulai melihat ada kemanfaatan secara ekonomi ketika menanam tanaman keras seperti jati, mahoni, gmelina, sengon dan lain-lain di tegalan maupun di pematang sawah maupun tanah-tanah kosong yang semula berupa lahan kritis. Maka ketika ada bantuan bibit terutama dari dinas kehutanan, masyarakat menyambutnya dengan baik, bahkan cenderung berebut untuk mendapatkan bibit tesebut untuk ditanam dilahan mereka sehingga luasan hutan rakyat di Provinsi Jawa Timur semakin meningkat Semakin berkurangnya pasokan bahan baku dari hutan alam serta adanya penjarahan besar-besaran hutan negara pada masa reformasi yang menyebabkan menurunnya produksi hutan negara membuat hutan rakyat mulai dilirik oleh industri berbasis kayu baik Jawa Timur maupun di provinsi lain. Permintaan kayu dari hutan rakyat semakin meningkat sehinga menyebabkan harga kayu rakyat juga semakin meningkat sehingga semakin meningkatkan pendapatan petani itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa hutan rakyat selain memberikan
manfaat
dalam
perbaikan
kualitas
lingkungan
hidup
juga
memberikan sumbangan terhadap ketahanan ekonomi keluarga petani di desa serta turut menjaga tetap berjalannya industri pengolahan hasil hutan di Indonesia.
47
Contents IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ............................. 33 4.1 Letak
Geografis
dan
Administrasi
Pemerintahan
33 4.2 Iklim .................................................................................................... 34 4.3 Kondisi Topografi .............................................................................. 35 4.4 Kondisi Sosial Penduduk di Jawa Timur ........................................... 36 4.5 Kondisi Prasarana Wilayah ................................................................. 37 4.6 PDRB .................................................................................................. 38 4.7 Penggunaan Lahan ............................................................................. 39 4.8 Kondisi Hutan Jawa Timur ................................................................. 40 4.8Perkembangan 43
Hutan
Rakyat
di
Jawa
Timur