7
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Keluarga Pengertian Keluarga Undang-undang
Nomor
52
tahun
2009
tentang
Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menyebutkan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (Menkumham 2009). Menurut Megawangi (1999), keluarga adalah sebuah sistem sosial yang mempunyai tugas atau fungsi agar sistem tersebut berjalan. Tugas tersebut berkaitan dengan pencapaian tujuan, integritas dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga. Menurut Galvin dan Brommel dalam Tubbs and Moss (1996), keluarga adalah jaringan orang-orang yang berbagi kehidupan mereka dalam jangka waktu yang lama, yang terikat oleh perkawinan, darah, atau komitmen, legal atau tidak, yang menganggap diri mereka sebagai keluarga, dan yang berbagi pengharapan-pengharapan masa depan mengenai hubungan yang berkaitan. Guhardja et al. (1989) mengungkapkan bahwa sebuah keluarga adalah suatu sistem dengan bagian-bagiannya yang lebih kompleks daripada sistem pada kendaraan bermotor, di mana anggota-anggotanya berfungsi bersamasama. Keluarga bertanggung jawab dalam menjaga anggota-anggotanya serta menumbuhkan dan mengembangkan kepribadian anggota-anggotanya. Jumlah Anggota Keluarga Penelitian
Prabawa
(1998)
tentang
sumberdaya
keluarga
dan
kesejahteraan keluarga, mengungkapkan bahwa tidak semua anggota keluarga dalam rumahtangga bekerja produktif sehingga dapat memperbesar beban ketergantungan. Banyaknya jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi tinggi rendahnya pendapatan per kapita dan besarnya konsumsi keluarga. Oleh karena itu, jumlah anggota keluarga atau ukuran keluarga akan memberi dorongan bagi rumahtangga bersangkutan untuk lebih banyak menggali sumber pendapatan lainnya. Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga adalah seluruh pendapatan yang diterima oleh seluruh anggota keluarga atau rumahtangga ekonomi. Pendapatan ini terdiri dari:
8
1.
Pendapatan dari upah/ gaji yang diterima oleh seluruh anggota rumahtangga ekonomi yang bekerja sebagai buruh, sebagai imbalan bagi pekerjaan yang dilakukan untuk suatu perusahaan/ majikan/ instansi tersebut baik uang maupun barang dan jasa.
2.
Pendapatan dari seluruh anggota rumahtangga yang berupa pendapatan kotor, yaitu selisih nilai jual barang dan jasa yang diproduksi dengan biaya produksinya.
3.
Pendapatan lainnya adalah pendapatan di luar upah/ gaji yang menyangkut usaha lain. Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas
pangan yang dikonsumsi seseorang. Semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin besar pula persentase pertambahan pembelanjaannya termasuk untuk pangan dari golongan sayur dan buah-buahan serta berbagai jenis pangan lainnya, tetapi pertambahan kuantitas ini tidak selalu memperbaiki susunan menu makanan yang dikonsumsinya (Berg 1986 dalam Prasetyo 2004). Penelitian Mangkuprawira (1985) tentang kegiatan ekonomi rumahtangga di Sukabumi Jawa Barat menyebutkan bahwa pendapatan rumahtangga tampak nyata sebagai faktor yang amat berpengaruh terhadap perilaku pengeluaran rumahtangga. Ukuran pendapatan yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga adalah pendapatan keluarga yang diperoleh dari bekerja. Tiap anggota keluarga berusia kerja yang ada pada tiap keluarga akan terdorong bekerja
untuk
kesejahteraan
keluarganya.
Beberapa
hasil
penelitian
menunjukkan bahwa anggota keluarga seperti istri dan anak adalah penyumbang dalam berbagai kegiatan baik dalam pekerjaan rumahtangga maupun pencari nafkah. Pendidikan Tingkat pendapatan dan pendidikan suami berhubungan nyata dan positif terhadap kebiasaan merencanakan anggaran biaya. Rumahtangga yang dikepalai oleh seseorang dengan tingkat pendidikan rendah cenderung lebih miskin dibandingkan dengan rumahtangga yang dikepalai oleh mereka yang berpendidikan tinggi (Megawangi 1994). Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
9
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan, bahwa fungsi pendidikan, sejatinya
adalah
untuk
mengembangkan
kemampuan,
kualitas
individu,
meningkatkan mutu kehidupan, dan martabat manusia (Suyono 2006). Kepemilikan Aset Sumberdaya mengandung dua arti yakni sumber dan daya, yang bermakna sebagai sumber dari kekuatan, potensi dan kemampuan untuk mencapai suatu manfaat dan tujuan (Suratman 1994 dalam Fadlisyah 2010). Sumberdaya merupakan aset, yaitu sesuatu yang apapun baik yang dimiliki atau yang dapat diakses, yang dapat memberikan nilai tukar untuk mencapai tujuan. Aset tersebut bisa berupa sumberdaya ekonomi, potensi manusia, karakter pribadi, kualitas lingkungan, sumberdaya alam, dan fasilitas masyarakat (Rice & Tucker 1986 dalam Sunarti 2001). Sumberdaya ini tidak perlu bersifat langka, tetapi dapat pula bersifat melimpah. Sumberdaya yang melimpah memudahkan dalam memenuhi keinginan dan sebaliknya apabila sumberdaya itu terbatas (Guhardja et al. 1989). Menurut Gross, Crandall & Knoll (1980) dalam Guhardja et al. (1989), sumberdaya keluarga ditinjau dari sudut pandang ekonomi merupakan alat atau bahan yang tersedia dan diketahui fungsinya untuk memenuhi kebutuhan atau tujuan keluarga. Sumberdaya berdasarkan jenisnya dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya materi atau non manusia. Sumberdaya manusia mempunyai dua ciri, yaitu pribadi atau personal dan interpersonal, sedangkan sumberdaya materi terdiri dari benda-benda atau barang, jasa, waktu, dan energi. Sumberdaya materi dalam keluarga adalah aset atau kekayaan keluarga. Menurut Guhardja et al. (1989) aset keluarga dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu sebagai berikut: 1.
Aset lancar, yaitu barang-barang kekayaan yang relatif cepat dapat diuangkan misalnya emas, perhiasan, dan uang tunai.
2.
Aset tidak lancar, yaitu barang-barang kekayaan yang relatif agak lama jika diuangkan misalnya tanah, rumah, mobil, kebun, surat-surat berharga, saham, dan investasi modal.
Akses Informasi, Sumber Informasi, dan Jenis Informasi Wuyuri (2008) mengungkapkan bahwa pada awal sejarah, manusia bertukar informasi melalui bahasa. Maka bahasa adalah teknologi. Bahasa
10
memungkinkan seseorang memahami informasi yang disampaikan oleh orang lain. Tetapi bahasa yang disampaikan dari mulut ke mulut hanya bertahan sebentar saja, yaitu saat si pengirim menyampaikan informasi melalui ucapannya. Setelah ucapan itu selesai maka informasi berada di tangan si penerima. Selain itu jangkauan suara juga terbatas. Sampai jarak tertentu meskipun masih terdengar informasi yang disampaikan lewat bahasa suara akan terdegradasi bahkan hilang sama sekali. Setelah itu teknologi penyampaian informasi berkembang melalui gambar. Dengan gambar jangkauan informasi bisa lebih jauh. Gambar ini bisa dibawa-bawa dan disampaikan kepadaorang lain. Selain itu informasi yang ada bertahan lebih lama (Wuyuri 2008). Adanya alfabet dan angka arabik memudahkan penyampaian informasi dari yang sebelumnya satu gambar mewakili suatu peristiwa dibuat dengan kombinasi alfabet, atau penulisan angka yang tadinya MCMXLIII diganti dengan 1943. Teknologi ini memudahkan penulisan informasi. Teknologi percetakan memungkinkan pembuatan pintu informasi lebih cepat lagi. Teknologi elektronik seperti radio, televisi, komputer bahkan membuat informasi menjadi lebih cepat tersebar di area yang lebih luas dan lebih lama tersimpan (Wuyuri 2008). Menurut Wuyuri (2008), begitu eratnya keterjalinan antara manusia dan teknologi sebagai perpanjangan kemampuannya, sehingga yang asalnya merupakan minus dari kemampuannya (ability), bisa dikembangkan menjadi surplus bagi kesanggupannya (capability). Menurut fitrahnya manusia tidak mampu terbang, namun dengan teknologi dia mampu terbang, bahkan tinggal beberapa lama di angkasa luar, pertemuan tatap muka (face-to-face) secara berhadapan juga dapat dilaksanakan dalam jarak amat jauh melalui tatap citra (image-to-image) (Wuyuri 2008). Banyak lagi yang bisa dicontohkan sebagai ilustrasi untuk menunjukkan betapa teknologi telah memungkinkan terjadinya transformasi mendasar dan berskala luas, bahkan nyaris sulit dibatasi dalam peri kehidupan manusia dan kemanusiaan. Transformasi tersebut juga telah menimbulkan perubahan dalam berbagai pola hubungan antar manusia (patterns of human relations), yang pada hakikatnya adalah interaksi antar pribadi dan bersifat hubungan intersubjektif (Wuyuri 2008).
11
Dukungan Sosial Menurut Friedman (1999), dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Dukungan sosial adalah kesenangan, bantuan dan keterangan atau informasi yang diterima seseorang melalui hubungan formal dan informal dengan yang lain atau kelompok (Tati 2004). Caplan (1964) dalam Friedman et al. (1999) menjelaskan bahwa keluarga memiliki beberapa fungsi dukungan yaitu: a.
Dukungan Informasional Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator (penyebar) informasi tentang dunia. Menjelaskan tentang pemberian saran, sugesti, informasi yang dapat digunakan mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi.
b.
Dukungan Penilaian Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator indentitas
anggota
keluarga
di
antaranya
memberikan
dukungan,
penghargaan, perhatian. c.
Dukungan Instrumental Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya: kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, terhindarnya penderita dari kelelahan. Menurut Tati (2004), dukungan instrumental berupa dukungan finansial atau pengasuhan anak.
d.
Dukungan Emosional Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan. Menurut Tati (2004), dukungan emosional dapat ditunjukkan dengan adanya perhatian dan kepedulian, serta berbagi dalam kesulitan.
12
Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan sosial yang dipandang oleh keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses atau diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan). Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial keluarga internal, seperti dukungan dari suami atau istri atau dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal. Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan. Namun demikian, dalam semua tahap siklus kehidupan, dukungan sosial keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga. Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga lainnya adalah kelas sosial ekonomi orangtua. Kelas sosial ekonomi di sini meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan orangtua dan tingkat pendidikan. Dalam keluarga kelas menengah, suatu hubungan yang lebih demokratis dan adil mungkin ada, sementara dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih otoritas atau otokrasi. Selain itu orangtua dengan kelas sosial menengah mempunyai tingkat dukungan, afeksi dan keterlibatan yang lebih tinggi daripada orangtua dengan kelas sosial bawah (Friedman 1999).
Pola Komunikasi Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan, dari si pemberi pesan (sender) kepada si penerima pesan (receiver) dengan cara mempengaruhi individu untuk saling mengerti satu dengan yang lain. Pesan yang disampaikan bisa berupa perasaan, perhatian, kenyataan, kepercayaan, ataupun ide-ide, baik dari pemberi pesan ataupun dari orang ketiga (Guhardja et al. 1989). Komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tak langsung melalui media (Eko 2008). Dengan mekanisme komunikasi, maka manusia memberitahukan dan menyebarkan apa yang dirasakannya dan apa yang diinginkannya.
13
Komunikasi adalah proses sosial di mana individu-individu menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam lingkunan mereka (Turner 2007). Komunikasi dalam keluarga berupaya membangun secara lebih jelas keterlibatan subsistem dalam mengungkap berbagai persoalan. Komunikasi yang dibangun adalah komunikasi interpersonal dalam lingkungan keluarga. Struktur komunikasi seperti ini akan menyebabkan adanya antisipasi yang kuat terhadap kebutuhan ke depan. Struktur komunikasi yang dimaksud adalah jaringan komunikasi antar anggota keluarga dalam menjaga kedekatan dan keterhubungan antar subsistem agar proses mencapai kesepakatan terhadap kebutuhan yang direncanakan menjadi nyata dan bukan utopia (Iskandar 2007). Keluarga mempunyai sistem jaringan interaksi yang lebih bersifat hubungan interpersonal, karena masing-masing anggota keluarga mempunyai intensitas hubungan satu sama lain dan saling tergantung. Sistem interaksi interpersonal ini dapat dilukiskan pada Gambar 1. Pesan yang dikirimkan bisa melalui kata-kata, bunyi, suara, gerakan tubuh, mata, dan lain-lain, yang biasa disebut bahasa. Terjadinya proses komunikasi tersebut bisa langsung (tanpa media pembantu) ataupun tidak langsung (dengan media pembantu, seperti surat, telepon, dan media lain). Dalam manajemen sumberdaya keluarga, komunikasi bertujuan: 1.
Memberikan arah dalam proses manajemen yang berorientasi ke masa depan.
2.
Membantu keluarga dalam melaksanakan kegiatannya sehari-hari dengan cara: a.
Menjaga komunikasi yang konstan (saluran tetap terbuka) di antara anggota keluarga.
b.
Menjaga pendelegasian wewenang agar sistem keluarga dapat berfungsi dengan baik.
3.
Membangun interaksi dalam keluarga: a.
Saling tukar menukar informasi antar anggota keluarga.
b.
Sebagai sarana sosialisasi bagi anak dalam melatih tugas-tugas yang ada dalam keluarga.
c.
Sebagai dasar untuk melakukan kerja sama dalam keluarga.
14
Komunikasi yang efektif akan memberikan kontribusi yang besar dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari dan pemecahan masalah, serta pengambilan keputusan (Guhardja et al. 1989).
Ayah
Ibu
Anak ke-1
Anak ke-2
Gambar 1 Sistem Interpersonal dalam Keluarga (Guhardja et al. 1989) Hasslet dalam Tubbs & Moss (1996) menyatakan bahwa bayi dan anakanak memiliki motivasi yang kuat untuk berkomunikasi, dan secara naluriah mampu memahami interaksi antarpersonal, karena mereka manyadari bahwa komunikasi merupakan alat untuk membina hubungan. Ibulah yang pertama kali mengajari anak-anaknya bagaimana berinteraksi dan menyesuaikan diri. Keretakan hubungan antaraanggota keluarga: orangtua-anak, antarsaudara dekat dan antarsaudara jauh, serta konflik antar tetangga, juga terutama disebabkan tidak adanya komunikasi yang efektif (Tubbs & Moss 1996). Terdapat dua sistem keluarga, yaitu sistem keluarga terbuka dan sistem keluarga tertutup. Perbedaan utama antara keduanya adalah sifat reaksi mereka terhadap perubahan, dari dalam dan dari luar. Dalam suatu sistem tertutup, bagian-bagian secara kaku dihubungkan atau diputuskan sekaligus. Informasi tidak mengalir antara bagian-bagian atau dari luar ke dalam atau dari dalam ke luar. Ketika bagian-bagian diputuskan, bagian-bagian itu sering tampak seolaholah bagian-bagian itu bekerja. Sistem yang terbuka adalah sistem di mana bagian-bagian saling berhubungan, responsif, dan sensitif terhadap satu sama lain, dan memungkinkan informasi mengalir antara lingkungan internal dan lingkungan eksternal (Satir dalam Tubbs & Moss 1996). Keluarga-keluarga yang terganggu adalah keluarga-keluarga tertutup, di mana komunikasi tidak langsung, tidak jelas, tidak spesifik, tidak sebangun, dan mengganggu pertumbuhan. Selain itu, aturan-aturan tertutup dan usang, dan orang-orang menyesuaikan kebutuhan-kebutuhan mereka dengan aturan-aturan
15
(Tubbs & Moss 1996). Tubbs dan Moss (1996) menguraikan adanya 3 (tiga) model dalam komunikasi: 1.
Model komunikasi linier (one-way communication), dalam model ini komunikator memberikan suatu stimuli dan komunikan melakukan respon yang diharapkan tanpa mengadakan seleksi dan interpretasi. Komunikasinya bersifat monolog.
2.
Model komunikasi interaksional. Sebagai kelanjutan dari model yang pertama, pada tahap ini sudah terjadi feedback atau umpan balik. Komunikasi yang berlangsung bersifat dua arah dan ada dialog, di mana setiap partisipan memiliki peran ganda, dalam arti pada satu saat bertindak sebagai komunikator, pada saat yang lain bertindak sebagai komunikan.
3.
Model komunikasi transaksional. Dalam model ini komunikasi hanya dapat dipahami dalam konteks hubungan (relationship) antara dua orang atau lebih.
Pandangan
ini
menekankan
bahwa
semua
perilaku
adalah
komunikatif. Tidak ada satupun yang tidak dapat dikomunikasikan. Pengambilan Keputusan Keluarga Pengambilan keputusan adalah suatu proses dalam memilih dan menetapkan alternatif yang tepat untuk suatu tindakan yang diinginkan dan akan mendasari semua fungsi manajemen, walaupun sering dilakukan oleh keluarga dalam
melangsungkan
fungsinya
dan
dianggap
biasa,
tetapi
dalam
memperkirakan pilihan yang diambil merupakan suatu hal yang sulit (Guhardja et al. 1989). Menurut Herjanto (2007) pengambilan keputusan merupakan suatu proses manajemen, yang dimulai dengan proses perencanaan atau persiapan dan berakhir dengan proses persiapan. Deacon dan Firebaugh (1988) dalam Guhardja et al. (1989) mengemukakan bahwa pengambilan keputusan merupakan proses yang mendasari semua fungsi manajemen sumberdaya keluarga. Hal ini berarti bahwa selama proses manajemen sumberdaya berlangsung, maka proses pengambilan keputusan juga sering terjadi. Informasi tentang suatu ide memegang peranan yang cukup penting karena berdasarkan informasi atau pengetahuan seorang menyusun alternatif dalam pengambilan keputusan. Semakin jelas dan banyak informasi tentang suatu ide, memungkinkan semakin baik pula keputusan yang diambil (Hastuti et al. 1993).
16
Pada umumnya suatu keputusan dibuat dalam rangka memecahkan permasalahan atau persoalan (problem solving), setiap keputusan yang dibuat pasti ada tujuan yang ingin dicapai. Setiap proses pengambilan keputusan selalu terdapat pihak yang lebih berwenang (Kusumo 2009). Pola pengambilan keputusan untuk urusan rumahtangga dan urusan luar rumahtangga lebih sering ditentukan dalam musyawarah bersama antar suamiistri (Riyadi 1993 dalam Puspa 2007). Menurut Sajogyo (1983) diacu dalam Puspa (2007) menyatakan bahwa tingkat keputusan dihubungkan dengan pengeluaran dalam kebutuhan pokok yang terdiri dari: (1) makanan (biaya hidup, jenis atau menu makanan, distribusi), (2) perumahan (pembelian dan perbaikan), pakaian, pendidikan, kesehatan, dan perabot rumahtangga. Sedangkan untuk jenis keputusan rumahtangga, dikelompokkan dalam lima tingkatan yaitu: (1) keputusan dibuat oleh istri seorang diri tanpa melibatkan suami, (2) keputusan dibuat bersama oleh suami-istri, tetapi dengan pengaruh yang lebih besar dari istri, (3) keputusan dibuat bersama dan senilai oleh suami-istri (dengan tidak ada tanda-tanda bahwa salah satu mempunyai pengaruh yang relatif lebih besar), (4) keputusan dibuat bersama oleh suami-istri, tetapi dengan pengaruh yang lebih besar dari suami, (5) keputusan dibuat oleh suami seorang diri tanpa melibatkan istri. Berdasarkan penelitian Iskandar (2007), analisis pengambilan keputusan yang berkekuatan individualistik pusat perhatian ditujukan pada kedudukan, karakter, dan resource yang dimiliki, sedangkan analisis pengambilan keputusan yang berkekuatan keluarga pusat perhatian ditujukan pada dinamika humanistik (keputusan bersama). Pengambilan keputusan yang berkekuatan individualistik dalam penelitian ini mengungkap berbagai peran dan karakter individu serta sumberdaya yang dikuasai oleh satu anggota. Seorang istri atau suami yang mempunyai kedudukan tertentu lebih berperan, sehingga anggapan yang dibangun adalah bahwa tingkah laku anggota lain selalu lentur dan berusaha menerima dan menyepakati apa yang dilakukannya. Peran seperti ini bisa terungkap pada berbagai wilayah kehidupan seperti domestik, publik dan lain-lain yang lazim dimainkan oleh seorang ibu rumahtangga maupun suami. Menurut Guhardja et al. (1989), ada tiga tipe pengambilan keputusan dalam keluarga, yaitu: 1. Pengambilan Keputusan Konsensus
17
Pengambilan keputusan konsensus merupakan pengambilan keputusan secara bersama-sama antar anggota keluarga, setiap anggota keluarga mempunyai hak untuk mengemukakan pendapatnya. Keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama dan akan menjadi tanggung jawab semua anggota keluarga. Konflik antar anggota keluarga tidak terjadi dan semua anggota keluarga akan puas. 2. Pengambilan Keputusan Akomodatif Pengambilan keputusan ini dicirikan oleh adanya orang yang dominan, sehingga keputusan yang diambil adalah dengan menerima pendapat orang yang dominan tersebut, karena hanya orang tertentu yang akan merasa puas, maka ada dua akibat dari pengambilan keputusan ini, yakni: keputusan ini akan dilakukan oleh orang lain dengan persyaratan dan dalam melaksanakan keputusan akan didominasi oleh orang-orang yang mempunyai pendapat tersebut. 3. Pengambilan Keputusan De Facto Keputusan dalam tipe ini yang diambil karena terpaksa, misalnya ada pasangan muda-mudi ingin mengisi malam minggunya, kemudian berdiskusi tentang acara yang ingin dinikmasti bersama, antara keinginan untuk nonton di bioskop dan makan-makan saja. Karena berdiskusi tersebut, sampai waktu main bisokop terlewati, sehingga pasangan tersebut mengambil keputusan menikmati acara malam minggunya dengan makan-makan saja. Sedangkan pengambilan keputusan dalam keluarga dikenal dua pola: 1. Pola Tradisional Merupakan pengambilan keputusan keluarga yang memberikan wewenang kepada suami untuk mengambil keputusan. Sedangkan sang istri hanya sebagai pelancar dalam pengambilan keputusan. 2. Pola Modern Merupakan pengambilan keputusan dalam keluarga secara bersama-sama, ada semacam persamaan hak istri dalam mengambil keputusan, dengan tanpa menghilangkan peran dan masing-masing anggaran (Guhardja et al. 1989).
Kesejahteraan Keluarga Kesejahteraan sering diartikan secara luas yaitu sebagai kemakmuran, kebahagiaan, dan kualitas hidup manusia baik pada tingkat individu atau
18
kelompok keluarga dan masyarakat. Keadaan sejahtera dapat ditunjukkan oleh kemampuan mengupayakan sumberdaya keluarga untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang dianggap penting dalam kehidupan berkeluarga (Prabawa 1998). Menurut Megawangi (1993), fungsi-fungsi keluarga utama seperti yang diuraikan di dalam resolusi majelis umum PBB adalah “keluarga sebagai wahana untuk mendidik, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan sosial yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera”. Kesejahteraan Objektif Menetapkan indikator kesejahteraan keluarga serta cara pengukurannya merupakan hal yang sulit untuk dirumuskan secara tuntas. Hal ini disebabkan permasalahan keluarga sejahtera bukan hanya menyangkut permasalahan di satu bidang saja, tetapi menyangkut berbagai bidang kehidupan yang sangat kompleks. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan pendekatan integrasi berbagai bidang disiplin ilmu dan atau melalui pengamatan empirik berbagai kasus untuk dapat menemukan indikator keluarga sejahtera yang berlaku umum dan spesifik (Prabawa 1998). Pendekatan yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga yaitu berdasarkan pendekatan objektif dan subjektif. Pendekatan objektif diturunkan dari data kuantitatif diperoleh dari angka-angka yang langsung dihitung dari aspek yang ditelaah. Pendekatan objektif atau disebut dengan istilah kesejahteraan objektif melihat bahwa tingkat kesejahteraan individu atau kelompok masyarakat hanya diukur secara rata-rata dengan patokan tertentu baik ukuran ekonomi, sosial, maupun ukuran lainnya. Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan pendekatan yang baku (tingkat kesejahteraan masyarakat semuanya dianggap sama). Ukuran yang sering digunakan yaitu terminologi uang, pemilikan akan tanah, pengetahuan, energi, keamanan,
dan
lain-lain.
Pendekatan
ini
disebut
sebagai
pendekatan
konvensional untuk kepentingan politik karena pengukurannya sangat praktis dan mudah dilakukan, namun sedikit sekali menyentuh kebutuhan masyarakat yang sebenarnya (Santamarina et al. 2002 dalam Suandi 2007). Kesejahteraan Subjektif Kesejahteraan
dengan
pendekatan
subjektif
diukur
dari
tingkat
kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat sendiri bukan oleh
19
orang lain. Ukuran ini merupakan ukuran kesejahteraan yang banyak digunakan di negara maju termasuk Amerika Serikat (Milligan 2006 dalam Suandi 2007). Kesejahteraan subjektif merupakan seseorang yang memiliki penilaian yang lebih tinggi tentang kebahagiaan dan kepuasan hidup cenderung bersikap sepertinya mereka lebih bahagia dan lebih puas. Sebagai tambahan, orang lain juga merasa orang-orang itu lebih bahagia dan lebih puas (Anonim 2009). Kesejahteraan subjektif sendiri merupakan hasil evaluasi seseorang terhadap kesejahteraan emosional, kesejahteraan psikologis, dan kesejahteraan sosial terhadap dirinya (Suratmining 2009). Kesejahteraan subjektif (subjective well being) mengacu pada bagaimana orang menilai kehidupan mereka, dan termasuk beberapa variabel seperti kepuasan hidup dan kepuasan perkawinan, kurangnya depresi, kegelisahan, suasana
hati
dan
emosi
positif.
Ada
dua
pendekatan
umum
untuk
mempertanyakan tentang apa yang penting dari kebahagiaan. Pendekatan yang pertama yaitu bahwa kebahagiaan dan kepuasan tergantung pada jumlah kesenangan dan peristiwa bahagia, yang dikenal sebagai teori bottom-up, kesejahteraan adalah penjumlahan pengalaman-pengalaman positif dalam kehidupan seseorang. Teori tersebut mengasumsikan bahwa orang menciptakan penilaian pribadi tentang kesejahteraan subjektif dengan cara menjumlahkan bebagai macam keadaan eksternal dan kemudian membuat penilaian. Semakin banyak peristiwa yang menyenangkan yang dialami, seseorang akan semakin merasa bahagia. Teori top-down didukung oleh studi-studi yang menemukan bahwa sifat personal tertentu, perilaku dan persepsi pribadi sangat berhubungan dengan penilaian pribadi seseorang tentang kesejahteraan hidup. Seseorang dikatakan telah memiliki kesejahteraan subjektif tinggi jika ia mengalami kepuasan hidup dan sering gembira, dan hanya pengalaman yang tidak menyenangkan jarang emosi seperti kesedihan dan kemarahan. Sebaliknya, seseorang dikatakan telah memiliki kesejahteraan subjektif rendah jika ia tidak puas dengan kehidupan, sedikit pengalaman sukacita dan kasih sayang, dan sering merasa emosi negatif seperti kemarahan atau kecemasan. Kesejahteraan subjektif ditentukan oleh bagaimana kita mengevaluasi informasi yang datang secara terus-menerus (Anonim 2009). Menurut
Puspa (2007), pengukuran kesejahteraan subjektif
diperlukan untuk melengkapi pengukuran kesejahteraan secara objektif.